2009-2-00430-sp bab 2-b

Download 2009-2-00430-SP Bab 2-b

If you can't read please download the document

Upload: ferdi-aparat

Post on 21-Jan-2016

30 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab2

TRANSCRIPT

Microsoft Word - Bab2.doc

b. Tulangan Beton

Mutu/ kualitas tulangan beton dapat terjaga dengan baik dari berbagai kerusakan, seperti karat akibat hujan dan lain-lain. Hal ini memungkinkan karena pengerjaannya pada ruangan pabrik, serta pengerjaannya yang secara horizontal sehingga perakitan tulangan menjadi mudah dan dapat memaksimalkan ketelitian. Pembuatan beton prategang pun dapat terjaga mutu dan tegangannya dijaga sesuai kebutuhan. Penempatan posisi tulangan

yang presisi dan mudah dilakukan pemotongan beton.

Gambar 2.9. Tulangan Prategang Beton Pracetak

2.3.Klasifikasi Sistem Pracetak Beton

Beton pracetak digunakan tidak saja hanya pada bangunan gedung, tetapi juga digunakan sebagai struktur bangunan lain seperti halnya pada jembatan dan lainnya. Sistem pracetak dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Sebagai komponen struktur

Tiang pancang beton dan sistem sambungan

Ada beberapa bentuk dari tiang pancang. Bentuk yang paling umum adalah persegi massif, karena paling mudah dibuat. Varian lain adalah bentuk bulat berongga (spinning) dalam cetakan yang berbentuk bulat.

Pelat Lantai Pracetak

Pada tahun 1984, komponen pracetak lantai mulai dikenal di Indonesia pada pembangunan menara BDNI. Bentuk yang umum digunakan adalah pelat prategang berongga (hollow core slab) seperti pada Gambar 2.10 berikut ini.

Gambar 2.10. Pelat Lantai Prategang Berongga

Girder jembatan dan Jalan Layang

Komponen ini sangat popular karena jelas lebih mudah dibandingkan struktur baja. Varian pertama berbentuk void slab, dengan sistem prategang pratarik, varian berbentuk I, dengan sistem prategang pasca- tarik, varian berbentuk Y, varian berbentuk box dengan sistem prategang pasca-tarik.

Turap

Adalah struktur geoteknik yang fungsinya menanam perbedaan tinggi tanah, misalnya pada struktur galian, kolam atau timbunan.

Bantalan Rel

Sejak jaman Belanda bahan kayu popular digunakan untuk bantalan rel.

b. Sebagai sistem struktur

Sistem Waffle Crete (1995)

Sistem ini termasuk katagori sistem dinding pemikul dengan komponen pracetak berupa panel lantai dan panel dinding beton bertulang yang disambung dengan baut baja.

Sistem Column-Slab (1996)

Keunggulan sistem ini terletak pada perencanaan struktur elemen dan kepraktisan pemasangannya. Pemasangan ini sangat cepat yaitu dua hari perlantai bangunan.

Sistem L Shape Wall (1996)

Komponen utamanya adalah dinding pracetak beton bertulang L, yang berfungsi juga sebagai dinding pemikul.

Sistem All Load Bearing Wall (1997)

Komponen pracetaknya adalah komponen dinding dan lantai beton bertulang massif setebal 20 cm, merupakan sistem dinding pemikul.

Sistem Bangunan Jasubakim (1998)

Sistem ini termasuk kategori sistem pracetak komposit hybrid berbentuk langka. Sistem ini mengkombinasikan monolit konversional, formwork dan pracetak. Komponen pracetak ini selain bersifat struktur juga berfungsi sebagai formwork dan perancah untuk beton cor di tempat.

Sistem Bresphaka (1999)

Ciri khas sistem ini adalah menggunakan bahan beton ringan untuk komponen kolom dan balok. Bahan beton ringan utamanya adalah agregat kasar yang terbuat dari bahan abu terbang. Ciri khas yang lain adalah kolom berbentuk T serta komponen lainnya adalah balok dan pelat.

Sistem, Cerucuk Matras Beton

Solusinya dengan menggunakan sistem cerucuk matras beton yang dapat dipasang sedalam yang direncanakan dengan melakukan penyambungan, sehingga dapat diperoleh daya dukung, penurunan dan tingkat kestabilan yang diinginkan.

2.4.Metode Membangun dengan Konstruksi Precast

Untuk saat ini metode pembangunan dengan beton pracetak dapat dilihat pada beberapa bagian bahasan berikut ini:

a. Serangkaian Kegiatan yang dilakukan pada Proses Produksi adalah:

Pembuatan rangka tulangan,

pembuatan cetakan,

Pembuatan campuran beton,

Pengecoran beton,

Perawatan (curing),

Penyempurnaan akhir,

Penyimpanan.

b. Transportasi dan Alat Angkut;

Transportasi adalah pengangkatan elemen pracetak dari pabrik ke lokasi pemasangan. Sistem transportasi berpengaruh terhadap waktu, efisiensi konstruksi dan biaya transport.

Yang perlu diperhatikan dalam sistem transportasi adalah:

Spesifikasi alat transport,

Rute transport,

Perijinan.

Alat angkat yaitu memindahkan elemen dari tempat penumpukan ke posisi penyambungan (perakitan). Peralatan angkat untuk memasang beton pracetak dapat dikategorikan sebagai berikut:

Keran mobile

Keran teleskopis

Keran menara

Keran portal

c. Pelaksanaan Konstruksi ( Ereksi )

Metode dan jenis pelaksanaan konstruksi pracetak diantaranya adalah :

Dirakit per-elemen;

LiftSlab system;

Adalah pengikatan elemen lantai ke kolom dengan menggunakan dongkrak hidrolis.

Prinsip konstruksinya sebagai berikut :

Lantai menggunakan pelat-pelat beton bertulang yang dicor pada lantai bawah.

Kolom merupakan penyalur beban vertikal, dapat sebagai elemen pracetak atau cor di tempat.

Setelah lantai cukup kuat dapat diangkat satu persatu dengan dongkrak hidrolis.

Slip Form System;

Pada sistem ini beton dituangkan diatas cetakan baja yang dapat bergerak memanjat ke atas mengikuti penambahan ketinggian dinding yang bersangkutan.

Push Up/ Jack Block System;

Pada sistem ini lantai teratas atap di cor terlebih dahulu kemudian diangkat ke atas dengan hidraulijack yang dipasang di bawah elemen pendukung vertikal.

Box System;

Konstruksi menggunakan dimensional berupa modul-modul kubus beton.

Gambar 2.11. Pengangkutan Pelat Lantai pada Proyek

2.4.1. Prinsip Konstruksional

Berikut prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk desain struktural:

a. Struktur terdiri dari sejumlah tipe-tipe komponen yang mempunyai fungsi seperti balok, kolom, dinding, pelat lantai, dll.

b. Tiap tipe komponen sebaiknya mempunyai sedikit perbedaan.

c. Sistem sambungan harus sederhana dan sama satu dengan yang lain, sehingga komponen-komponen tersebut dapat dibentuk oleh metode yang sama dan menggunakan alat bantu yang sejenis.

d. Komponen harus mampu digunakan untuk mengerjakan beberapa fungsi.

e. Komponen-komponen harus cocok untuk berbagai keadaan dan tersedia dalam berbagai macam-macam ukuran produksi.

f.Komponenkomponen harus mempunyai berat yang sama sehingga mereka bisa secara hemat disusun dengan menggunakan peralatan yang sama.

2.4.2. Berbagai Macam Konstruksi Prefabrikasi

Ada 3 macam konstruksi prefabrikasi, diantaranya adalah:

a. Pembuatan didalam sebuah pabrik, dimana komponen-komponen mudah untuk dibuat dan nyaman untuk pengangkutan.

b. Pembuatan pada site dengan menggunakan alat-alat mekanik.

c. Rangkaian dari komponen dirakit ke dalam komponen-komponen yang lebih luas.

2.5.Sistem Pracetak untuk Struktur Gedung

Beton Pracetak memerlukan sambungan sebagai ikatan antar elemennya, ikatan tersebut memiliki perbedaan teknik dari tiap perusahaan yang harus melalui uji coba kekuatan sambungan dan menjadi hak paten masing-masing perusahaan.

2.5.1.Sistem Koneksi Beton Pracetak a. Sambungan

Pada umumnya sambungansambungan bisa dikelompokkan sebagai berikut:

Sambungan yang pada pemasangan harus langsung menerima beban

(biasanya beban vertikal).

Akibat beban sendiri dari komponen.

Sambungan yang pada keadaan akhir akan harus menerima beban-beban yang selama pemasangan di terima oleh pendukung pembantu.

Sambungan dimana tidak ada persyaratan ilmu gaya tapi harus memenuhi persyaratan lain seperti: kekedapan air, kekedapan suara.

Sambungansambungan tanpa persyaratan konstruktif dan semata-mata menyediakan ruang gerak untuk pemasangan.

b. Ikatan

Cara mengikatkan/ melekatkan suatu komponen terhadap bagian komponen konstruksi yang lain secara prinsip dibedakan sebagai berikut:

Ikatan Cor ( In Situ Concrete Joint )

Penyaluran gaya dilakukan lewat beton yang dicorkan

Diperlukan penunjang/ pendukung pembantu selama pemasangan sampai beton cor mengeras.

Penyetelan berlangsung dengan bantuan adanya penunjang/ pendukung pembantu. Toleransi penyusutan diserap oleh Coran Beton.

Ikatan Terapan

Cara menghubungkan komponen satu dengan yang lain secara lego (permainan balok susun anak-anak) disebut Ikatan Terapan. Dimulai dengan cara hubungan Peletakan, kemudian berkembang menjadi Saling Menggigit.

Proses pemasangan dimungkinkan tanpa adanya pendukung/

penunjang pembantu.

Ikatan Baja

Bahan pengikat yang dipakai: Plat baja dan Angkur. Sistem ikatan ini dapat dibedakan sebagai berikut:

Menyambung dengan cara dilas (Welded Steel).

Menyambung dengan Baut/ Mur/ Ulir (Corble Steel). Catatan:

Harga dari profil baja sebagai pengikat relatif tinggi.

Mungkin dilaksanakan tanpa pendukung/ penunjang.

Harus dilindungi dari : korosi, api dan bahan kimia. Dengan Mortar/

In Situ Concrete Joint sebagai pelindung/ Finishing ikatan.

Ikatan Tegangan

Merupakanperkembanganlebihjauhdariikatanbajadengan memasukkan unsur Post Tensioning dalam sistem koneksi.

Memerlukan penunjang/ pendukung Bantu selama pemasangan.

Perlu tempat/ ruang yang relatif besar untuk Post Tensioning.

Angkur cukup mahal.

Balok pracetak memiliki 2 jenis penyambungan, yaitu dilakukan pengecoran pada joint-joint antara kolom bawah dengan kolom atas (biasa disebut sambungan basah) dan pengecoran joint antara balok, kolom ataupun pelat lantai (biasa disebut sambungan kering). Dapat dilihat pada Gambar 2.12. beberapa jenis sambungan yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan struktur beton pracetak.

Gambar 2.12.a. Joint Diamond Belt oleh P.T. Java Perkasa

Gambar 2.12.b. Joint menerus oleh P.T. HK Precast

Gambar 2.12.c. Joint Column-Slab oleh P.T. JHS PCI

Gambar 2.12.d. Joint with Bearing Plate oleh P.T. Rang Pratama

Gambar 2.12.e. Joint Grouting oleh P.T. Tribina Primalestari

Gambar 2.12.f. Joint Bearing Plate oleh P.T. Waskita Karya

2.6.Sistem Pracetak Platcon 07 (P.T. Rang Pratama)

Di Indonesia banyak badan-badan usaha yang mengandalkan keperluan joint pada beton pracetak untuk menghubungkan elemen beton yang satu dengan yang lainnya sebagai keunggulan dari tiap-tiap perusahaan, baik menggunakan bahan dan sistem yang berbeda serta sudah melalui penelitian secara uji laboratorium sebagai suatu keunggulan penawaran tiap-tiap perusahaan.

Berbeda perusahaan maka berbeda pula sistem dan teknik-teknik perhitungannya. Masing-masing memiliki serfitikat kelayakan yang membuktikan kemampuan yang baik dengan sistemnya. Perbedaan ini harus kita teliti lebih lanjut untuk mendapatkan biaya pembangunan yang paling ekonomis dan bermutu. Salah satu yang membedakan tiap sistem ini adalah nilai daktilitas yang dihasilkan dari uji coba yang telah dilakukan untuk menganalisa faktor gempa pada struktur, yang selain mempengaruhi dimensi beton pracetak juga mempengaruhi keperluan jumlah tulangan yang harus dipakai. Berikutnya saya memilih untuk menggunakan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan sistem Platcon07 untuk melakukan studi perbandingan antara beton konvensional/ monolit dengan beton pracetak.

Gambar 2.13.a. Joint Balok Kolom Interior pada Sistem Platcon 07

Gambar 2.13.b. Joint Balok Kolom Exterior pada Sistem Platcon 07

2.6.1. Pengujian Struktur Joint Balok-Kolom Sistem Platcon Precast 07

Pengujian telah dilakukan dalam rangka penelitian lebih cermat mengenai sistem pracetak untuk bangunan gedung bertingkat sampai 10 lantai dengan sistem portal rangka terbuka yang menggunakan spesifikasi komponen struktur pracetak sebagai berikut:

a. Bahan

Beton

Mutu beton rencana benda uji joint balok kolom pracetak interior dan

exterior sistem PLATCON adalah sebagai berikut:

Struktur: fc = 33,20 Mpa

Grouting: fc = 40 Mpa

Baja Tulangan

BJTP atau fy = 240 Mpa ( 12mm) BJTD atau fy = 390 Mpa (D 12mm)

b. Elemen Struktur

Sistem Struktur: Sistem struktur rangka terbuka (tabel 2.12)

Sistem sambungan: Menggunakan tulangan

Sistem Joint: Menggunakan sambungan basah

Dari hasil analisis pushover yang dapat diketahui bahwa portal rangka terbuka dengan sistem pracetak PLATCON mempunyai daktilitas parsial 2,66, nilai faktor reduksi gempa antara 4,25 dan 7,61, nilai faktor kuat lebih beban dan bahan f1 = 1,45, nilai faktor kuat lebih total f = 2,44, dan nilai kekakuan leleh sebesar 37,76% terhadap nilai kekakuan leleh portal monolit seperti pada gambar

2.14 berikut:

Gambar 2.14. Perbandingan Hasil Analisis Pushover Portal Pracetak dan Portal

Monolit

Dari hasil pengujian joint lnterior beton sistem pracetak yang dilakukan oleh P.T. Rang Pratama, Nilai Daktilitas pada kondisi dorong dan tarik berturut- turut adalah 4,83 dan 4,22 (Daktail Parsial). Daktilitas rata-rata = 4,53. Nilai R pada pada kondisi dorong dan tarik adalah 7,73 dan 6,75. Nilai R rata-rata = 7,24 sedangkan dari hasil pengujian joint exterior beton sistem pracetak yang dilakukan, Nilai Daktilitas pada kondisi dorong dan tarik berturut-turut adalah

5,28 dan 4,05 (Daktail Parsial). Daktilitas rata-rata = 4,76. Nilai R pada pada kondisi dorong dan tarik adalah 8,46 dan 6,49. Nilai R rata-rata = 7,47.

2.6.2. Perilaku Tegangan-Regangan Beton

Benda uji sistem struktur beton pracetak dalam penelitian menggunakan beton normal sedangkan joint balok kolom benda uji menggunakan semen grouting. Kurva tegangan-regangan beton, seperti yang dikemukakan oleh Hognestad, dapat dilihat pada gambar 2.15. Pendekatan yang umumnya

digunakan pada model kurva tegangan-regangan sebelum mencapai tegangan maksimumnya adalah parabola berderajat dua. Walaupun demikian, bagian awal kurva dianggap linear sampai tegangan beton lebih kurang 0,5fc. Kemiringan garis lurus bagian awal kurva, yaitu pada daerah elastis, didefinisikan sebagai modulus elastisitas beton (Ec).

f c"

Tegangan (f c)

Ec=tan a

aRegangan

ec( ec)

Gambar 2.15. Kurva Hubungan Tegangan-Regangan Beton pada Pembebanan

Uni-Aksial Tekan

2.6.3. Perilaku Tegangan-Regangan Baja

Kurva hubungan tegangan-regangan tipikal untuk baja tulangan yang digunakan dalam konstruksi beton bertulang yang digunakan dalam konstruksi beton bertulang terhadap beban monotonik tarik, dapat dilihat pada Gambar 2.16. Pengujian tarik baja tulangan dilakukan dengan pembebanan monotonik tarik sampai putus dan hasilnya digunakan untuk perencanaan dimensi tulangan benda uji.

f s"

Tegangan (f s)

f s

eyeshesuesf

Regangan

( es)

Gambar 2.16. Kurva Hubungan Tegangan-Regangan Baja terhadap Beban

Monotonik Tarik

Kurva diatas memperlihatkan 4 (empat) daerah, sebagai berikut:

a. Daerah elastis linear (0 s y), dimana tegangan baja meningkat secara linear terhadap regangan baja dengann modulus elastisitas baja adalah

200.000 MPa;

b. Daerah elastis leleh atau yield (y s sh), dimana tegangan atau regangan baja fy konstan;

c. Daerah strain hardening (sh s su), dimana tegangan baja meningkat secara nonlinear;

d. Daerah penuruunan tegangan (su s sf), dimana terjadinya penurunan tegangan baja sampai putus (fracture).

2.6.4. Set-up Benda Uji

Set-up benda uji yang dilakukan P.T. Rang Pratama untuk sistem pracetak

Platcon 07 dapat dilihat pada Gambar 2.17.a dan 2.17.b berikut ini.

Gambar 2.17.a. Set-up Joint Balok Kolom Interior Sistem Platcon 07

Gambar 2.17.b. Set-up Joint Balok Kolom Exterior Sistem Platcon 07

2.6.5. Pengamatan Pola Retak dan Keruntuhan Joint Sistem Pracetak

Retak yang terjadi selama proses pembebanan bolak-balik pada benda uji diamati secara terus menerus. Setiap akhir siklus retak yang terjadi digambar dan diberi nomor tahap pembebanan (step loading). Garis berwarna merah

memperlihatkan retak akibat beban tarik, garis warna hitam memperlihatkan

retak akibat beban dorong.

Gambar 2.18.a. Pola Retak Joint Balok Kolom Interior Sistem Platcon 07

Pada pengujian ini didapatkan hasil bahwa leleh baja tulangan pertama kali terjadi pada tulangan longitudinal balok, lalu pada tulangan longitudinal kolom, sedangkan pada tulangan pada zona joint tidak terdapat tulangan yang

mengalami leleh.

Begitu pula hasil yang didapatkan pada pengujian joint balok kolom exterior sistem Platcon 07 yang dapat dilihat pada Gambar 2.18.b berikut ini.

Gambar 2.18.b. Pola Retak Joint Balok Kolom Exterior Sistem Platcon 07

2.6.6. Kesimpulan Hasil Uji Coba Sistem Platcon 07

Berdasarkan hasil pengujian struktur joint balok kolom interior Sistem

Platcon 07, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Kualitas Bahan

Kuat tekan karakteristik beton terpasang umur 28 hari untuk benda uji:

Struktur: fc = 48,03 MPa

Grouting : fc = 48,31 MPa

Baja tulangan jenis ulir D13 dan D25 yang digunakan mempunyai tegangan leleh berturut-turut fy = 410,08 dan fy = 389,27 MPa, dengan regangan leleh berturut-turut y = 2050 dan y = 1946 .

b. Pengujian struktur joint balok kolom interior pracetak sistem Platcon menunjukkan tingkat keandalan struktur dengan kriteria hasil uji yaitu:

Kriteria beban nominal (Pn).

Akibat pembebanan lateral dorong.

-Vy(+) = 186,75 kN dengan y(+) = 29,10 mm.

-Vmax(+) = 278,30 kN dengan m(+) = 62,44 mm.

-Pn(+) = 76,12 kN.

Akibat pembebanan lateral tarik.

-Vy(-) = 171,04 kN dengan y(-) = 25,99 mm.

-Vmax(-) = 268,70 kN dengan m(-) = 62,56 mm.

-Pn(-) = 76,12 kN.

Nilai Daktilitas joint interior pracetak pada kondisi dorong dan tarik berturut-turut adalah 4,83 dan 4,22 (Daktilitas Parsial). Daktilitas rata-rata

= 4,53. R pada kondisi dorong dan tarik adalah 7,73 dan 6,75. R rata-rata

=7,24.

Nilai kuat lebih bahan (f1) interior pracetak pada kondisi dorong dan tarik berturut-turut adalah 2,45 dan 2,25. Rata-rata f1 = 2,35. Kapasitas benda uji tersebut diatas kapasitas yang diperlukan.

Pola retak dan data regangan tulangan baja menunjukkan bahwa sendi plastis terjadi pada balok.

Dari data regangan, terlihat pada pola keruntuhan pertama terjadi pada tulangan longitudinal balok, kemudian pada tulangan longitudinal kolom. Sedangkan, pada zona join, tidak terdapat tulangan yang leleh. Maka,

pola keruntuhan yang terjadi berurutan adalah balok, kolom, kemudian zona joint.

c. Pengujian struktur joint balok kolom exterior pracetak sistem Platcon menunjukkan tingkat keandalan struktur dengan kriteria hasil uji yaitu:

Kriteria beban nominal (Pn).

Akibat pembebanan lateral dorong.

-Vy(+) = 98,59 kN dengan y(+) = 26,34 mm.

-Vmax(+) = 130,40 kN dengan m(+) = 39,14 mm.

-Pn(+) = 74,92 kN.

Akibat pembebanan lateral tarik.

-Vy(-) = 103,31 kN dengan y(-) = 30,46 mm.

-Vmax(-) = 130,40 kN dengan m(-) = 62,69 mm.

-Pn(-) = 74,92 kN.

Nilai Daktilitas joint exterior pracetak pada kondisi dorong dan tarik berturut-turut adalah 5,28 dan 4,05 (Daktilitas Parsial). Daktilitas rata-rata

= 4,67. R pada kondisi dorong dan tarik adalah 8,46 dan 6,49. R rata-rata

=7,47.

Nilai kuat lebih bahan (f1) exterior pracetak pada kondisi dorong dan tarik berturut-turut adalah 1,32 dan 1,38. Rata-rata f1 = 1,35. Kapasitas benda uji tersebut diatas kapasitas yang diperlukan.

Pola retak dan data regangan tulangan baja menunjukkan bahwa sendi plastis terjadi pada balok.

Dari data regangan, terlihat pada pola keruntuhan pertama terjadi pada tulangan longitudinal balok, kemudian pada tulangan longitudinal kolom. Sedangkan, pada zona join, tidak terdapat tulangan yang leleh. Maka, pola keruntuhan yang terjadi berurutan adalah balok, kolom, kemudian zona joint.

d. Analisis Pushover

Kinerja model portal rangka terbuka pracetak hasil analisis Pushover:

Perbandingan kinerja portal pracetak terhadap portal monolit:

= 2,66

R (Tabel #2 SNI 03-1726-2002)= 4,25

R (Analisis Pushover)= 7,61

f1= 1,45

f= 2,44

kyield= 37,76%

2.6.7. Tahapan Konstruksi Sistem Platcon a. Pengantar

Komponen pracetak dicetak bersamaan dengan pekerjaan persiapan dimulai (atau saat pekerjaan tanah dimulai).

Pemasangan komponen harus sesuai dengan jadwal (schedule) yang diberikan.

Setiap komponen diberi kode identifikasi yang mencakup:

Lokasi pemasangan komponen.

Keperluan pemasangan shoring dan stud.

Pengangkatan komponen (erection) harus pada titik angkat yang telah disediakan.

b. Peralatan erection

Peralatan erection dapat menggunakan Tower Crane (TC) atau Mobile Crane. Pada awal perencanaan komponen harus diperkirrakan dengan benar mana dari kedua peralatan erection diatas yang akan dipakai, kemudian berapa kapasitas angkat dari peralatan erection, serta bagaimana keadaan struktur tanah sekitar proyek (keras atau lembek karena akan berpengaruh pada dudukan crane nantinya).

c. Proses Pengangkatan (Handling).

Jika dalam perencanaan peralatan yang akan digunakan pada saat erection adalah Mobile Crane, untuk proses handling di pabrik maupun di lokasi, dibutuhkan mobile crane dengan kapasitas:

Handling dari Workshop ke lokasi proyek: kapasitas 12 ton.

Handling untuk erection di lokasi proyek: kapasitas 25 ton.

d. Sistem Perakitan (Erection)

Pada saat proses perakitan komponen pracetak, dibutuhkan hal-hal sebagai berikut:

Perakitan:

Peralatan:

Untuk peralatan digunakan alat bantu mobil kran kapasitas 25 ton atau dengan TC.

Tim perakitan komponen yang dibutuhkan terdiri dari 10 orang pekerja, yaitu:

1 orang pengawas pelaksana

1 orang mandor

2 orang tukang

6 orang pekerja

Tim perakitan tersebut didukung oleh tim stoking area untuk mengaarahkan komponen-komponen yang akan di-erection supaya berjalan lancar.

Pekerja Grouting Joint Balok Kolom

Untuk Grouting Joint Balok Kolom digunakan Combextra atau setara dengan mutu K-450, dicampur dengan screening campuran 1:3, dilakukan tidak dengan vibrator tetapi hanya dengan besi tulangan saja.

Pekerjaan Topping Lantai

Untuk Topping Lantai digunakan beton ready mix dengan mutu beton K-

400, menggunakan alat bantu mobil kran untuk mengangkat pasta beton atau dengan concrete pump, Tim pengecoran cast in-situ terdiri dari 8 orang pekerja (1 mandor dan 7 pembantu), dan untuk seluruh proyek hanya dibutuhkan 1 tim pengecoran saja, serta pengerjaannya tidak menggunakan vibrator.

e. Pemeliharaan Beton

Paska Pengecoran Komponen

Setelah pengecoran komponen selesai dilaksanakan maka hal-hal yang perlu dilaksanakan adalah:

Hindarkan dari panas terik matahari karena dapat menyebabkan penguapan air yang terlalu besar sehingga proses pengikatan antar material beton kurang sempurna.

Komponen baru bisa diangkat (Handling) dari moulding setelah minimum 1x24 jam.

Hindarkan pembebanan yang berlebihan pada komponen sebelum usia beton 28 hari.

Paska Grouting

Setelah pekerjaan grouting dengan menggunakan bahan non-shringkage dari Combextra atau yang setara maka harus dilindungi dari panas matahari dan dijaga kelembabannya.

Pasca Topping

Proses pemeliharaan (curing) paska pekerjaan topping lantai dapat dilakukan dengan:

Ditutupi dengan karung basah seluruh permukaan lantai yang ditopping dan dibasahi secara berkala bila karung menjadi kering selama minimum 1x24 jam.

Hindarkan pembebanan yang berlebihan.

Hindarkan getaran yang berlebihan.

f. Pelaksanaan Pemasangan Komponen Pracetak

Flow Chart pelaksanaan erection

Gambar 2.19. Flow Chart Pelaksanaan Konstruksi Pracetak

2.7.Metode Analisis

Analisis komponen struktur harus mengikuti kekuatan berikut: semua komponen struktur rangka direncanakan terhadap pengaruh maksimum dari beban terfaktor yang dihitung sesuai dengan metode elastis, atau mengikuti peraturan khusus.

2.7.1. Pembebanan

Prosedur dan asumsi dalam perencanaan serta besarnya rencana mengikuti ketentuan berikut ini :

a. Ketentuan mengenai perencanaan dalam tata cara ini didasarkan pada asumsi bahwa struktur direncanakan untuk memikul semua beban kerjanya.

b. Beban kerja diambil berdasarkan SNI 03-1727-1989-F, Tata Cara

Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung, atau penggantinya.

c. Dalam Perencanaan terhadap beban gempa, seluruh bagian struktur yang membentuk kesatuan harus direncanakan berdasarkan tata cara ini.

2.7.2. Perhitungan Massa

Meliputi perhitungan massa segmen dan massa lantai beserta pusat massa, besarnya massa diambil sebagai kombinasi dari :

DL + LL, dengan DL = beban mati

LL = beban hidup

Kombinasi pembebanan yang akan digunakan adalah :

a. 1,4 DL + 1,4 SDL.......................................................................................(2.1) b. 1,2 DL + 1,2 SDL + 1,6 LL........................................................................(2.2) c. 1,05 (DL + SDL + LL 0,3 E)...................................................................(2.3) d. 0,9 (DL + SDL 0,3 E)..............................................................................(2.4)

Dimana : SDL = beban mati tambahan

E= beban gempa (arah X dan Y dikombinasikan)

2.7.3. Penentuan dan Perhitungan Gempa Rencana

SNI 03-1726-2002 menentukan pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung serta berbagai bagian dan peralatannya secara umum. Akibat pengaruh gempa rencana, struktur gedung secara keseluruhan harus masih berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan. Gempa rencana ditetapkan mempunyai perioda ulang 500 tahun, agar probabilitasnya terjadi sebatas pada 10% selama umur gedung 50 tahun.

Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan SNI 03-1726-2002 tentang Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung sebagai berikut :

a. Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat atau 40 m.

b. Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun mempunyai tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut.

c. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah struktur gedung secara keseluruhan.

d. Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari

75 % dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya.

e. Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat.

f. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini.

g. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.

h. Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

Dalam perencanaan struktur gedung, arah utama pengaruh gempa rencana harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga memberi pengaruh besar terhadap

unsur-unsur subsistem dan sistem gedung secara keseluruhan. Dalam hal ini arah gempa rencana yang memberikan pengaruh terbesar terhadap struktur adalah arah 0 dan 90. Jadi struktur direncanakan untuk dapat menerima pengaruh gempa rencana dalam arah tersebut.

2.7.4. Satuan dan Berat Jenis

Satuan sangat penting digunakan untuk menganalisa suatu struktur gedung. Berikut ini akan disajikan satuan-satuan yang sering digunakan pada perhitungan teori dalam peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia.

Pada perhitungan yang akan dilakukan pada bab IV akan mengunakan satuan yang biasa kita gunakan sehari-hari dan satuan-satuan kontektual yang ada dalam buku peraturan dapat digabungkan/digunakan dalam suatu analisis model struktur secara bersamaan.

Satuan: Gravitasi

1 g = 9,81 m/dt2

Gaya

1 kN = 101,97 kg

1 kg=9,81 N Tekanan

1 N/mm2 = 1 MPa

1 MPa = 1000 kPa

1 MPa = 10,197 kg/cm2

1 kg/cm2 = 0,0981 N/mm2

Momen

1 kN.m

=

101,97 kg.m

1 kN.m

1 N.mm

1 N.mm

=

=

=

10197,16 kg.cm

1,0197.10-4 kg.m

1,0197.10-2 kg.cm

g= Gravitasi

N= Newton

kN= kilo Newton MPa= Mega Pascal kPa= kilo Pascal kg= kilogram

m= meter

cm= centimeter mm= milimeter

Berat Jenis Material menurut SNI 03-1727-1989-F Baja= 7.850 kg/m3

Besi tuang= 7.250 kg/m3

Beton Bertulang= 2.400 kg/m3

Beton Polos= 2.200 kg/m3

Pasir (kering udara)= 1.600 kg/m3

Pasir (jenuh air)= 1.800 kg/m3

Pasangan Bata= 1.700 kg/m3

2.7.5. Pembebanan Gedung Menurut SNI 03-1727-1989F

Pembebanan pada struktur gedung yang akan dianalisia sesuai dengan fungsi, tipe, dan karakter gedung tersebut, yaitu mencakup beban hidup, beban mati, beban mati tambahan karena fungsi (beban dinding, beban plafond, screed dan keramik, dan beban mekanikal elektrikal (dacting, pemipaan,dan exhaust fan), beban angin, beban gempa, dan beban khusus).

a. Beban Mati

Beban Mati adalah beban yang bersifat tetap yang membebani suatu struktur bangunan, termasuk peralatan tetap, perlengkapan tambahan, finishing-finishing, dan mesin-mesin.

Tabel 2.2. Beban Mati menurut SNI-03-1727-1989-F

Komponen Bangunan

Berat (kg/m2)

Adukan (per tebal 1 cm) Dinding pasangan bata merah

- satu batu

- setengah batu

21

450

250

Dinding pasangan batako

Berlubang:

- tebal dinding 20 cm (HB 20)

- tebal dinding 10 cm (HB 10) Tanpa lubang:

- tebal dinding 15 cm

- tebal dinding 10 cm (HB 10)

200

120

300

200

Langit-langit dinding

(termasuk rusuk namun tanpa pengaku)

- semen asbes, tebal maksimum 4 mm

- kaca, ketebalan 3-5 mm

11

10

Lantai kayu sederhana dengan balok kayu, dengan beban hidup maksimum 200 kg/m2

40

Atap genteng dengan reng dan kaso

50

Komponen Bangunan

Berat (kg/m2)

Atap sirap dengan reng dan kaso

40

Atap seng gelombang (BJLS-25), tanpa

gording

10

Penutup lantai dari ubin semen Portland,

teraso, dan beton, tanpa adukan (per tebal 1 cm)

24

Beban mati dapat dikalikan dengan koefisien reduksi 0,9 apabila beban mati tersebut memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap pengerahan kekuatan suatu struktur atau unsur struktur suatu gedung.

b. Beban Hidup

Beban Hidup terdiri dari dua arah yaitu beban hidup arah vertikal dan beban hidup arah horizontal. Beban hidup arah vertikal yang paling sering digunakan/diterapkan, tetapi untuk beban hidup arah horizontal jarang dijumpai karena jarang sekali terjadi (membebani suatu bangunan). Berikut ini dilampirkan muatan/ beban-beban hidup lantai bangunan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku:

Tabel 2.3. Beban Hidup menurut SNI 03-1727-1989-F

Komponen Bangunan

Berat (kg/m2)

Atap (tanpa difungsikan untuk fungsi

struktural lain)

100

Lantai dan tangga rumah tinggal

200

Lantai sekolah, ruang kuliah, kantor, toko,

toserba, restoran, hotel, asrama, dan rumah sakit

250

Balkon yang menjorok bebas keluar, tangga,

bordes tangga dan gang untuk ruang yang disebutkan diatas (lantai sekolah, ruang kuliah, dan lainnya)

300

Komponen Bangunan

Berat (kg/m2)

Lantai ruang olahraga, masjid, bioskop, pabrik, bengkel, gudang, perpustakaan, ruang arsip, toko buku, ruang alat-alat dan mesin, harus diambil minimum (atau dianalisis sendiri sesuai kondisi aktual)

400

Lantai ruang dansa, panggung penonton

dengan tempat duduk tidak tetap atau penonton berdiri

500

Tangga, bordes tangga, dan gang yang

disebutkan sebelumnya

500

Lantai gedung parkir bertingkat:

- pada lantai bawah

- pada lantai diatasnya

800

400

Probabilitas tercapainya beban hidup penuh (mendekati 100%) yang membebani pada suatu gedung sangat kecil, maka beban hidup tersebut dapat dikalikan dengan koefisien reduksi yang akan dijelaskan dalam tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.4. Koefisien Reduksi Beban Hidup menurut SNI 03-1727-1989-F

Penggunaan Gedung

Koefisien Reduksi Beban Hidup

Untuk perencanaan balok induk dan portal

untuk peninjauan gempa

PERUMAHAN

Rumah tinggal, asrama, hotel, rumah sakit

0,75

0,30

TEMPAT PENDIDIKAN

Sekolah, ruang kuliah

0,90

0,50

BANGUNAN UMUM

Masjid, gereja, bioskop, restoran, ruang dansa, ruang pagelaran

0,90

0,50

KANTOR

Kantor, Bank

0,60

0,30

Penggunaan Gedung

Koefisien Reduksi Beban Hidup

Untuk perencanaan balok induk dan portal

untuk peninjauan gempa

TEMPAT PERDAGANGAN Toko, toserba, pasar TEMPAT PENYIMPANAN

Gudang, perpustakaan, ruang arsip

BANGUNAN INDUSTRI Pabrik, bengkel

TEMPAT KENDARAAN Garasi, gedungg parkir TANGGA DAN GANG

- perumahan

- Kantor, sekolah, kampus

- Tempat kendaraan, pertemuan umum, perdagangan, penyimpanan, industri

0,80

0,80

1,00

0,90

0,75

0,75

0,90

0,80

0,80

0,90

0,50

0,30

0,50

0,50

Pada perencanaan unsur-unsur struktur vertikal (kolom-kolom, dinding-dinding serta beban pada fondasinya), untuk perhitungan gaya normal (gaya aksial) beban hidup kumulatif dapat dikalikan dengan koefisien reduksi, yang dijelaskan dalam tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.5. Koefisien Reduksi Beban Hidup Kumulatif (SNI 03-1727-1989-F)

Jumlah lantai yang

dipikul

Koefisien reduksi yang dikalikan dengan beban

hidup kumulatif

1

1

2

1

3

0,9

4

0,8

5

0,7

6

0,6

7

0,5

8 atau lebih

0,4

c. Beban Gempa dan Wilayah Gempa

Beban Gempa pada gedung dianalisa dengan dua macam metode, yaitu ditinjau secara statik ekuivalen dan secara dinamik. Analisa yang akan digunakan harus dikaji sesuai dengan teori dan peraturan teknis yang berlaku di Indonesia, yaitu SNI 03-1726-1989 (Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung). Untuk gedung sampai tinggi 40 meter dengan bentuk yang beraturan (tanpa ada tonjolan yang berarti pada denah gedung ), maka analisis yang digunakan adalah analisis beban statik ekuivalen. Adanya tonjolan dalam bentuk denah pada gedung tersebut dan tonjolan tersebut lebih besar dari 0,25 x ukuran terbesar dari denah (ukuran bersih, tanpa adanya penambahan tonjolan), maka gedung tersebut dikategorikan gedung tidak beraturan. Untuk gedung dengan denah tidak beraturan (umumnya denah berbentuk U, H, dan L) selain yang dijelaskan dalam penjelasan diatas, maka analisis gempa yang digunakan adalah analisis dinamik.

Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa seperti ditunjukan oleh gambar 2.14, dimana wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah dan wilayah gempa 6 dengan kegempaan yang paling tinggi. Pembagian wilayah gempah ini didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun, yang nilainya ditetapkan dalam tabel 2.6. berikut ini:

Tabel 2.6. Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka

Tanah untuk masing-masing Wilayah Gempa Indonesia

Wilayah

Gempa

Percepatan puncak batuan dasar

(g)

Percepatan puncak muka tanah Ao (g)

Tanah

Keras

Tanah

Sedang

Tanah

Lunak

Tanah

Khusus

1

2

3

4

5

6

0,03

0,10

0,15

0,20

0,25

0,30

0,04

0,12

0,18

0,24

0,28

0,33

0,05

0,15

0,23

0,28

0,32

0,36

0,08

0,20

0,30

0,34

0,36

0,38

Diperlukan evaluasi khusus di

setiap lokasi

Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 < T < 0,2 detik terdapat ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam tingkat daktilitas strukturnya, maka dalam kisaran waktu getar alami pendek tersebut, nilainya tidak diambil kurang dari nilai maksimumnya untuk jenis tanah yang bersangkutan. Dengan menetapkan A0 sebagai percepatan puncak batuan dasar dan muka tanah sehingga didapat percepatan respons maksimum Am sebesar

Am = 2,5 Ao .(2.5)

Pada waktu getar alami sudut Tc sebesar 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik untuk jenis tanah berturut-turut tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak, maka faktor respons gempa C ditentukan oleh persamaan- persamaan sebagai berikut :

untuk T < Tc :

C = Am ..................................................................... (2.6)

untuk T > Tc :

C = Ar ...(2.7)

T

dengan

Ar =AmTc. (2.8)

Dalam Tabel 2.7, nilai-nilai Am dan Ar disajikan untuk masing-masing wilayah gempa dan masing-masing jenis tanah.

Tabel 2.7. Spektrum Respons Gempa Rencana

Wilayah

Gempa

Tanah Keras

Tc = 0,5 det.

Tanah Sedang

Tc = 0,6 det.

Tanah Lunak

Tc = 1,0 det.

Am

Ar

Am

Ar

Am

Ar

1

2

3

4

5

6

0,10

0,30

0,45

0,60

0,70

0,83

0,05

0,15

0,23

0,30

0,35

0,42

0,13

0,38

0,55

0,70

0,83

0,90

0,08

0,23

0,33

0,42

0,50

0,54

0,20

0,50

0,75

0,85

0,90

0,95

0,20

0,50

0,75

0,85

0,90

0,95

Sehingga dapat digambarkan respon spectrum gempa rencana untuk masing-masing wilayah gempa. Dalam gambar tersebut C adalah faktor respons gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi dan T adalah waktu getar alami struktur gedung dinyatakan dalam detik. Untuk T = 0 nilai C tersebut menjadi sama dengan A0.

d. Analisia Beban Statik Ekuivalen

Tinjauan beban statik untuk analisis ini adalah gaya geser dasar arah horizontal, untuk gaya geser dasar arah vertikal tidak perlu ditinjau untuk merencanakan gedung tersebut yang menurut para ahli perlu ditinjau gaya geser dasar arah vertikalnya.

Gaya geser dasar akibat gempa (V) dirumuskan sebagai berikut:

V= C1 .I .Wt .....................................................................(2.9)

R

Wt = Kombinasi dari beban mati seluruhnya dan beban hidup vertikal yang direduksi dan bekerja diatas taraf penjepitan lateral (fondasi).

C1 = Koefisien gempa dasar, yang bergantung pada pembagian zona gempa di Indonesia (lihat Gambar 2.20 Gambar 2.26) dengan waktu getar alami struktur dirumuskan dalam pembahasan selanjutnya.

R= faktor reduksi gempa

I= faktor keutamaan struktur, bergantung jenis gedung (Tabel 2.8).

Gambar 2.20. Wilayah-wilayah Gempa untuk Indonesia

Gambar 2.21. Koefisien Gempa Dasar Wilayah 1

Gambar 2.22. Koefisien Gempa Dasar Wilayah 2

Gambar 2.23. Koefisien Gempa Dasar Wilayah 3

Gambar 2.24. Koefisien Gempa Dasar Wilayah 4

Gambar 2.25. Koefisien Gempa Dasar Wilayah 5

Gambar 2.26. Koefisien Gempa Dasar Wilayah 6

Tabel 2.8. Faktor Keutamaan (I) Berbagai Jenis Gedung

Jenis Gedung

Faktor Keutamaan (1)

Gedung-gedung monumental

1,5

Rumah sakit, sekolah, bangunan penyimpanan pangan, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, pusat pembangkit tenaga, bangunan air minum, fasilitas televisi dan radio, tempat orang berkumpul

1,5

Fasilitas distribusi bahan gas dan minyak bumi didaerah perkotaan

2,0

Gedung tempat penyimpanan bahan berbahaya (zat asam, bahan beraccun, dan sebagainya)

2,0

Gedung-gedung lainnya

1,0

Waktu getar alami diperlukan (T) untuk analisa pendahuluan struktur dan pendimensian pendahuluan dari unsur unsurnya. Untuk struktur berupa portal, waktu getar alami dihitung dengan rumus:

T= 0,085 . H1/4 untuk portal baja

T= 0,060 . H1/4 untuk portal beton

T = 0,090.H B

untuk struktur gedung-gedung yang lain........(2.10)

Keterangan:

H= ketinggian sampai puncak dari bagian utama struktur gedung diukur daritingkat penjepitan lateral (dalam meter), apabila tidak ditentukan lain, atas fondasi dapat dianggap sebagai penjepitan lateral.

B= panjang denah struktur gedung

Untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel, nilai waktu getar alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung pada koefisien untuk wilayah gempa tempat struktur gedung berada dan jumlah tingkatnya n menurut persamaan:

T1 < n.........................................................................................(2.11) Dimana koefisien ditetapkan menurut Tabel 2.9.

Tabel 2.9. Koefisien yang Membatasi Waktu Getar Alami Fundamental

Struktur Gedung

Wilayah Gempa

1

2

3

4

5

6

0,2

0,19

0,18

0,17

0,16

0,15

Masing-masing tingkat gedung memiliki beban geser dasar akibat gempa sendiri-sendiri sesuai tingkat lantainya, untuk menghitung beban geser

masing-masing tingkat dirumuskan dengan:

Fi =

Wi.hi

n

Wi.hi

i =1

.V ............................................................................(2.12)

Keterangan:

Fi= beban horizontal terpusat yang bekerja pada masing-masing tingkat lantai. Beban ini diperoleh dari beban geser dasar akibat gempa (V) yang didistribusikan sepanjang tinggi gedung.

Wi = bagian dari seluruh badan vertikal yang disumbangkan oleh beban- beban vertikal yang bekerja pada tingkat i (dalam kg) pada peninjauan gempa.

hi= ketinggian sampai tingkat i yang diukur dari tinggi penjepitan lateral (atas fondasi).

V= beban geser dasar akibat gempa.

Untuk perhitungan Fi, jika perbandingan antara tinggi dan lebar sistem penahan gempa adalah sama atau lebih besar dari tiga, maka 0,1V harus dianggap sebaagai beban terpusat di lantai puncak (atap), dan 0,9V sisanya harus dibagikan menurut rumus Fi diatas.

Untuk Perencanaan suatu struktur, unsur-unsur primer harus direncanakan terhadap pengaruh 100% dari gempa rencana dalam satu arah utama yang dikombinasikan dengan pengaruh 30% dari gempa rencana dalam arah tegak lurus padanya.

Untuk memperhitungkan gerakan memuntir yang menimbulkan gaya geser tambahan pada unsur-unsur vertikal (kolom-kolom dan dinding- dinding) dari suatu tingkat, maka beban geser tingkat itu akibat gempa (Fi di atas tinggi tingkat yang ditinjau) harus dikerjakan dengan suatu eksentrisitas rencana (ed) terhadap pusat kekakuan momen dalam bidang horizontal yang terjadi akibat bekerjanya beban geser tingkat yang eksentris terhadap pusat kekakuan. Rumus untuk mencari ed ditentukan sebagai berikut:

ec < 0,1b & tinggi gedung 4 lantai, maka ed = 0.............................(2.13)

0,1 b < ec < 0,3b & tinggi gedung > 4 lantai, maka ed = ec 0,05b (2.14)

ec > 0,3b maka struktur gedung harus dianalisa berdasarkan analisa dinamik tiga dimensi...........................................................................(2.15)

Keterangan:

b= ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung pada tingkat yang ditinjau, diukur tegak lurus pada arah pembebanan.

ec = eksentrisitas teoritis adalah jarak antara pusat massa dan pusat kekakuan yang diukur tegak lurus pada arah pembebanan.

Pusat kekakuan suatu lantai adalah titik tangkap resultante gaya geser gempa yang bekerja didalam semua penampang unsur vertikal (kolom-kolom dan dinding-dinding) yang terdapat pada lantai tingkat yang bersangkutan.

Pusat massa adalah titik tangkap teoritis dari beban geser tingkat dan harus dihitung sebagai titik pusat dari semua beban gravitasi yang bekerja diatas lantai tingkat yang ditinjau (kumulatif), dan yang ditumpu pada tingkat lantai itu.

e. Beban Khusus

Beban Khusus adalah beban yang terjadi karena adanya gaya-gaya khusus seperti gaya dinamik, gaya sentrifugal, gaya rem, rangkak, susut, penurunan pondasi, pemasangan material, dan selisih suhu. Untuk beban khusus karena selisih suhu, dianggap naik turunnya suhu sebesar 10C. Gaya dinamik pada lantai ruang mesin dianalisa sesuai dengan standar teknis mesin (berat sendiri mesin, power/ daya mesin, frekuensi mesin, analisis beban yang digunakan adalah minimal empat kali berat sendiri mesin.

2.7.6. Ketentuan Mengenai Kekuatan Struktur Material Menurut Standar

Nasional Indonesia (SNI)

Struktur dan komponen struktur harus direncanakan sedemikian rupa sehingga kuat rencana harus lebih besar dan sama dengan kuat perlu (U), yang sesuai dengan fungsi dari pembebanan yang diperlukan. Secara sederhana hal tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kuat Rencana Kuat Perlu (U)

a. Kuat Perlu untuk Perencanaan Struktur Beton (SNI 03-2847-2002)

Kuat perlu (U) untuk menahan beban mati (DL) minimal harus sama dengan:

U = 1,4DL.......................................................................(2.16) Kuat perlu (U) untuk menahan beban mati (DL), beban hidup (LL), dan juga beban hidup atap (LLa), atau beban hujan (Hj), minimal harus sama dengan:

U= 1,2DL + 1,6LL + 0,5(LLa atau Hj).........................(2.17)

Apabila ketahanan struktur terhadap angin (W) diperhitungkan dalam perencanaan, maka pengaruh kombinasi beban DL, LL, dan W harus ditinjau untuk menentukan nilai U yang terbesar, yaitu (*)(**):

U = 1,2DL + 1,0LL 1,6W + 0,5 (LLa atau Hj)...........(2.18) Kombinasi beban juga harus memperhitungkan kemmungkinan beban hidup (LL) yang jenuh dan kosong untuk mendapatkan kondisi yang paling berbahaya, yaitu (*):

U= 0,9DL 1,6W..........................................................(2.19)

Apabila ketahanan struktur terhadap beban gempa (E) harus diperhitungkan dalam perencanaan, maka nilai kuat perlu (U) harus diambil sebagai (**):

U= 1,2DL + 1,0rLL 1,0E............................................(2.20) Atau

U= 0,9DL 1,0E...........................................................(2.21) Dalam hal ini nilai E ditetapkan berdasarkan ketentuan SNI 03-1726-

1989-F, tata cara perencanaan gempa untuk rumah dan gedung, atau

penggantinya. Catatan:

(*) Faktor beban untuk W boleh dikurangi menjadi 1,3 apabila beban angin

(W) belum direduksi oleh faktor arah.

(**) faktor beban untuk LL boleh direduksi menjadi 0,5 kecuali untuk ruang garasi, pertemuan dan ruangan dengan beban hidup (LL) lebih dari 500 kg/m2.

b. Kuat Rencana untuk Perencanaan Struktur Beton (SNI 03-2847-2002) Kuat Rencana= Faktor Reduksi Kekuatan () x Kuat Nominal Berikut ini akan disajikan faktor-faktor reduksi kekuatan () menurut

SNI 03-2847-2002:

Tabel 2.10. Faktor Reduksi () untuk Kekuatan Nominal Beton

Gaya

Faktor Reduksi

Kekuatan ()

Lentur tanpa beban aksial

0,8

Aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur

Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur

0,8

Gaya

Faktor Reduksi

Kekuatan ()

- penampang dengan tulangan spiral

- penampang lainnya

0,7

0,65

Geser dan torsi

- geser pada komponen struktur penahan gempa yang kuat geser nominalnya lebih kecil daripada gaya geser yang timbul akibat pengembangan kuat lentur nominalnya.

- geser pada hubungan balok-kolom dan pada balok perangkai yang diberi tulangan diagonal.

0,55

0,8

Tumpuan pada beton kecuali pada daerah pengangkuran pasca tarik

0,65

Penampang lentur tanpa beban aksial pada komponen

komponen struktur pratarik, dimana panjang penanaman strand-nya kurang dari panjang penyaluran yang ditetapkan

0,75

Lentur, tekan, geser, dan tumpu pada beton polos

struktural

0,55

2.7.7. Joint dan Derajat Kebebasan

Joint merupakan titik pertemuan yang menghubungkan elemen-elemen. Komponen pergerakan/ pemindahan pada joint tersebut berupa pergerakan arah translasi dan rotasi. Pada setiap joint memiliki komponen pergerakan masing- masing yang disebut dengan derajat kebebasan (Degree of Freedom disingkat DOF).

Joint mengalami gerak translasi dalam tiga arah pada sumbu lokal, yang dinotasikan U1, U2, dan U3. Joint juga mengalami gerak rotasi dalam tiga arah pada sumbu lokal, yang dinotasikan sebagai R1, R2, dan R3. Keenam gerak translasi dan rotasi tersebut adalah derajat kebebasan joint.

Dalam perencanaan struktur gedung, derajat kebebasaan joint harus ditentukan secara jelas. Hal ini sangat penting dipahami karena menyangkut hasil analisa model yang direncanakan.

Perletakan dukungan model struktur ada tiga macam, yaitu rol, sendi, dan jepit. Peletakan rol menahan gaya akibat gerak translasi dalam arah vertikal (arah

3). Perletakan sendi menahan gaya akibat gerak translasi dalam semua arah (1, 2, maupun 3). Perletakan jepit menahan semua gaya akibat gerak arah translasi dan

gerak rotasi dalam semua arah (1, 2, maupun 3).

Gambar 2.27. Derajat Kebebasan Joint pada Sistem Koordinat Lokal

2.8.Daktilitas dan Faktor Reduksi Gempa

Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur atau komponen struktur untuk berdeformasi melampaui batas elastisnya, yang biasanya dinyatakan dengan leleh pertama, tanpa adanya penurunan kekuatan dan kekakuan yang berlebihan, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah

berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Tingkatan daktilitas terbagi menjadi 2 yaitu :

a. Daktil penuh

Suatu tingkat daktilitas struktur gedung, dimana strukturnya mampu berdeformasi melampaui batas elatisnya pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan yang paling besar, yaitu dengan mencapai nilai faktor daktilitas sebesar 5,3.

b. Daktil parsial

Seluruh tingkat daktilitas struktur gedung dengan nilai faktor daktilitas di antara untuk struktur gedung yang elastik penuh sebesar 1 dan untuk struktur gedung yang daktail penuh sebesar 5,3.

Faktor daktilitas struktur yang umumnya dipakai dalam praktek perencanaan adalah daktilitas yang ditinjau dari hubungan beban dan perpindahan. Nilai daktilitas ( ) struktur didefinisikan sebagai perbandingan antara perpindahan maksimum struktur ( m ) dengan perpindahan pada saat

terjadinya leleh pertama pada struktur yang ditinjau ( y ).

= m

y

....................................................................(2.22)

dengan :

= faktor daktilitas

m= simpangan maksimum

y= simpangan saat leleh pertama

Jika f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1.6, dan R disebut

faktor reduksi gempa, sehingga didapat persamaan :

1,6

R =

f1

R m ...........................................(2.23)

Dalam tabel 2.11. dicantumkan nilai faktor reduksi gempa (R) untuk berbagai nilai faktor daktilitas ( ) yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa nilai dan nilai R tidak dapat melampaui nilai maksimumnya.

Tabel 2.11. Parameter Daktilitas Struktur Gedung

Taraf kinerja struktur gedung

R - pers.( 6)

Elastik penuh

1,0

1,6

Daktail parsial

1,5

2,4

2,0

3,2

2,5

4,0

3,0

4,8

3,5

5,6

4,0

6,4

4,5

7,2

5,0

8,0

Daktail penuh

5,3

8,5

Dalam tabel 2.12 ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimun Rm.

Tabel 2.12. Faktor Daktilitas Maksimum, Faktor Reduksi Gempa Maksimum, Faktor Tahanan Lebih Struktur dan Faktor Tahanan Lebih Total beberapa Jenis Sistem dan Subsistem Struktur Gedung

Sistem dan subsistem struktur gedung

Uraian sistem pemikul beban gempa

m

Rm

f

1. Sistem dinding penumpu

(Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpuatau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing).

1. Dinding geser beton bertulang

2,7

4,5

2,8

2. Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing tarik

1,8

2,8

2,2

3. Rangka bresing di mana bresingnya memikul beban gravitasi

a. Baja

2,8

4,4

2,2

b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)

1,8

2,8

2,2

2. Sistem rangka gedung

(Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing).

1. Rangka bresing eksentris baja (RBE)

4,3

7,0

2,8

2. Dinding geser beton bertulang

3,3

5,5

2,8

3. Rangka bresing biasa

a. Baja

3,6

5,6

2,2

b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)

3,6

5,6

2,2

4. Rangka bresing konsentrik khusus

a. Baja

4,1

6,4

2,2

5. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail

4,0

6,5

2,8

6. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail penuh

3,6

6,0

2,8

7. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial

3,3

5,5

2,8

3. Sistem rangka pemikul momen

(Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka

pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur)

1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)

a. Baja

5,2

8,5

2,8

b. Beton bertulang

5,2

8,5

2,8

2. Rangka pemikul momen menengah beton (SRPMM)

3,3

5,5

2,8

3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)

a. Baja

2,7

4,5

2,8

b. Beton bertulang

2,1

3,5

2,8

4. Rangka batang baja pemikul momen khusus(SRBPMK)

4,0

6,5

2,8

4. Sistem ganda

1. Dinding geser

Sistem dan subsistem struktur gedung

Uraian sistem pemikul beban gempa

m

Rm

f

(Terdiri dari: 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi; 2) pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah

mampu memikul sekurang- kurangnya 25% dari seluruh beban

lateral; 3) kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama-sama seluruh beban lateral

dengan memperhatikan interaksi

/sistem ganda)

a. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang

5,2

8,5

2,8

b. Beton bertulang dengan SRPMB baja

2,6

4,2

2,8

c. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang

4,0

6,5

2,8

2. RBE baja

a. Dengan SRPMK baja

5,2

8,5

2,8

b. Dengan SRPMB baja

2,6

4,2

2,8

3. Rangka bresing biasa

a. Baja dengan SRPMK baja

4,0

6,5

2,8

b . Baja dengan SRPMB baja

2,6

4,2

2,8

c. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang

(tidak untuk Wilayah 5 & 6)

4,0

6,5

2,8

d. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang

(tidak untuk Wilayah 5 & 6)

2,6

4,2

2,8

4. Rangka bresing konsentrik khusus

a. Baja dengan SRPMK baja

4,6

7,5

2,8

b. Baja dengan SRPMB baja

2,6

4,2

2,8

5.Sistem struktur gedung kolom kantilever: (Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral)

Sistem struktur kolom kantilever

1,4

2,2

2

6.Sistem interaksi dinding geser dengan rangka

Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3, 4, 5 & 6)

3,4

5,5

2,8

7. Subsistem tunggal

(Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan)

1. Rangka terbuka baja

5,2

8,5

2,8

2. Rangka terbuka beton bertulang

5,2

8,5

2,8

3. Rangka terbuka beton bertulang dengan balok beton pratekan (bergantung pada indeks baja total)

3,3

5,5

2,8

4. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail penuh.

4,0

6,5

2,8

5. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial

3,3

5,5

2,8