apakah pancasila masih relevan di era globalisasi

Upload: dhevi-dwi

Post on 10-Oct-2015

1.173 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN DI ERA GLOBALISASI?

Pancasila Sebagai Ideologi Negara Indonesia

Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun tak sebatas itu, termasuk juga sebagai nilai budaya yang menjiwai setiap gerak langkah rakyatnya. Hal ini mengartikan bahwa kualitas akan produk hukum, budaya atau apa pun yang menjadi produk anak bangsa ini, ditentukan oleh seberapa jauh bangsa Indonesia mampu memaknai atau memahami sumber dasarnya itu sendiri. Akan tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah semakin lama pemahaman terhadap nilai nila pancasila justru semakin memudar, oleh karena itu sepertinya kita perlu mempelajari kembali akan nilai yang terkandung didalam pancasila. Pengaruh masuknya budaya asing di tengah kehidupan masyarakat yang selalu dikuti tanpa adanya penyaringan kaidah merupakan salah satu penyebab semakin terkikisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

Kecenderungan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya, seperti komunisme, misalnya, telah terjadi sejak era presiden pertama, Soekarno. Demikian juga pada era sekarang, ada banyak kalangan yang bersikukuh untuk mengganti ideologi yang telah sesuai dengan kondisi alam dan budaya Indonesia itu, dengan ideologi baru, termasuk dari kelompok-kelompok garis keras. Pancasila itu menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang secara otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara. Ini karena masyarakat kita saat ini cenderung mengabaikan ideologi bangsanya sendiri. Lantas, apakah Pancasila masih sesuai dengan semangat kemanusiaan Indonesia saat ini? Ideologi pada dasarnya adalah suatu kesadaran kemanusiaan yang lahir dan terbentuk karena diakibatkan adanya gesekan-gesekan kepentingan. Karena itu, ideologi mesti mencerminkan dan harus relevan dengan kepentingan kelas sosial. Boleh jadi Pancasila relevan dengan kepentingan masyarakat Indonesia pada saat ideologi itu dibuat oleh para founding father.

Sebenarnya, Pancasila itu masih sangat relevan dengan kepentingan masyarakat Indonesia. Misalnya yang terkandung dalam butir ketiga yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia harus bersatu karena masyarakatnya heterogen, multietnik, multikultural, dan sebagainya. Dalam hal ini Pancasila sesuai dengan kepentingan masyarakat karena ia dijadikan sebagai ideologi kesatuan/penyatuan etnik, budaya dan lainnya, Indonesia adalah negara kesatuan atau disebut NKRI. Akan tetapi, saat Pancasila berbenturan dengan arus globalisasi, maka ideologi dirasakan tak cukup lagi dapat mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat Indonesia. Globalisasi menciptakan babak baru, di mana hubungan interpersonal kini menjadi lebih individualistik, mementingkan diri sendiri, dan pragmatis. Globalisasi juga menjadikan hubungan interpersonal kini tak dibatasi lagi dengan letak geografis. Hubungan itu dapat dilakukan lewat dunia maya, internet, telepon genggam, jaringan TV kabel, dan sebagainya.

Globalisasi tak diciptakan oleh siapa-siapa, tak diciptakan oleh Timur atau Barat, melainkan ia dikehendaki bersama-sama. Jelas semangat keduanya berbeda sekali, oleh karenanya pertanyaan apakah Pancasila masih relevan dengan kepentingan manusia zaman kita sekarang ini, nampaknya akan sulit menemukan relevansinya. Kini kita harus berangkat dari pengalaman bangsa Eropa Timur yang dulu berideologi komunis. Komunisme pada masanya menjadi hantu yang menyebar di hampir seluruh belahan Eropa, karena asumsinya ideologi itu relevan dengan kepentingan masyarakat. Sebelumnya kaum proletar ditindas oleh penguasa ekonomi, kapitalisme menjadi momok, sehingga ideologi komunisme dijadikan sebagai instrumen perlawanan. Namun kini ideologi itu ditinggalkan pasca ambruknya pada akhir Abad ke-19. Masyarakat Eropa Timur meninggalkan komunisme karena ideologi itu sudah benar-benar tak mencerminkan kepentingan masyarakat; para penguasa ekonomi, kaum kapitalis telah memenuhi kewajibannya, dan kaum buruh telah mendapatkan hak-hak mereka.Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: paca berarti lima dan la berarti prinsip atau asas. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia berisi : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman dan gagasan-gagasan bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional, melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna.

Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri dari dunia luar. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta tradisi yang tumbuh dalam masyarakat. Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa. Kedua, pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain:Perdamaian bukan perangDemokrasi bukan penindasanDialog bukan konfrontasiKerjasama bukan eksploitasiKeadilan bukan standar gandaTata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup. Menggantikan Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila dengan teramat mudah.

Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de facto faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Sebetulnya Indonesia bisa melepaskan diri dari perangkap hegemonik negara-negara maju. Cina, Korea Selatan, Brazil, India, dan masih banyak negara lain yang notabene sebelumnya termasuk negara berkembang, berhasil menunjukkan jalan keluar untuk lepas dari perangkap neoliberalisme. Upaya melepaskan diri dari jerat neoliberalisme tersebut mampu mereka lakukan dengan mengandalkan kekuatan lokal yang terus dibangun dan digunakan sebagai senjata dalam menghadapi pasar bebas.

Peran Pancasila sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Karena Pancasila merupakan sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari luar, sebagai sistem syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem dan pandangan hidup yang merupakan konsensus dasar dari berbagai komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial, toleransi, dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi bermacam identitas yang ditawarkan dari luar. Tetapi sangat disayangkan jika wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk dimunculkan kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya agar terus berdialektika dalam jaman yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara analitis. SARAN Perlu ditanamkannya nilai nilai dalam Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Agar kita mampu memfilterisasi arus globalisasi yang ada. Sesuaikah dengan nilai nilai Pancasila. Pancasila dapat berperan dalam era globalisasi apabila dari diri masing masing sudah tertanam nilai nilai luhur Pancasila. Tentu akan percuma peran Pancasila dalam era globalisasi ini, apabila dalam diri sendiri tidak mempunyai kesadaran akan pentingnya nilai nilai Pancasila dalam kehidupan.

Jadi, jika ada pertanyaan Apakah Pancasila masih relevan di era globalisasi? maka jawabannya ya. Kita tak mungkin ingin terulang lagi kejadian G30S/PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi Komunisme. Dan juga yang terjadi di Amerika yang menganut paham Liberalisme sehinnga kurangnya terjamin hak-hak warga negara.

Karena itu, kia harus mempertahankan ideologi Pancasila. Upaya untuk mempertahankan ideologi Pancasila dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:1)Menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila2)Melaksanakn ideologi Pancasila secara konsisten3)Menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum dalam pembuatan peraturan perundangan nasional4)Menempatkan Pancasila sebagai moral dan kepribadian bangsa Indonesia

Jalur yang dapat digunakan untuk mempertahankan Pancasila antara lain melalui jalur pendidikan dan media massa.

http://professorabrar51.blogspot.com/2011/10/apakah-pancasila-masih-relevan-di-era.html

Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

Selasa, 25 Maret 2008

Azyumardi AzraDirektur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 dan juga Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI sejak Mei 2007.Gagasan saya tentang rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen wawasan kebangsaan dan identitas nasional negara-bangsa Indonesia mendapat pengayaan penting dari berbagai kalangan publik, khususnya melalui Tajuk RencanaKompasmaupun artikel Prof. Musa Asyarie (lihatKompas9, 11, 12 Juni 2004). Saya sendiri telah meresponi tanggapan publik tersebut dalam HarianKompas17 Juni 2004.

Makalah ini merupakan elaborasi lebih lanjut tentang relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia dan kepemimpinan nasional di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Dan tidak kurang pentingnya, makalah ini juga melihat Pancasila dalam kaitan dengan tantangan krisis identitas budaya, dan akhirnya mencoba menawarkan penguatan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika melalui perspektif multikulturalisme dan pendidikan multikultural.Rejuvenasi PancasilaApakah ideologi? semacam Pancasila masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam hiruk-pikuk politik yang masih berlangsung hingga kini, pertanyaan seperti ini mungkin terlalu akademis untuk diajukan kepada para politisi; namun pertanyaan itu sering diajukan audiens kepada saya dalam berbagai diskusi dan seminar tentang posisi dan relevansi Pancasila dalam Indonesia yang lebih demokratis; Indonesia yang lebih bebas dalam berbagai segi kehidupan.

Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada akhir 1060an telah berbicara tentang the end of ideology?. Tetapi perang dingin yang terus meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dengan Blok Timur dengan ideologi sosialisme-komunisme menunjukkan bahwa ideologi tetapi relevan dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain.

Gelombang demokrasi (democratic wave) yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai the end of history?, masa akhir sejarah? di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologibaik universal maupun lokaltetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacamethno-nationalismdan bahkantribalismjustru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab Balkanisasi?, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis,common platformdan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadicommon platformdalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimenlocal-nationalismyang dapat tumpang tindih denganethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupunby implicationkian kehilangan posisi sentralnya.

Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, hemat saya, cukupalarming, lampu kuning bagi masa depan Indonesia yang tetap terintegrasi. Dalam pandangan saya, Pancasilameski menghadapi ketiga masalah taditetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagaicommon platformbagi negara-bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya birokrasi kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi politik yang menghasilkan fragmentasi elit politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu; corak kepemimpinansolidarity makeryang dapat mencegah disintegrasi tetap belum tampil.

Saya percaya tidak ada yang salah dengan Pancasilaas such. Yang keliru adalah membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih jauh, hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagaicommon platformideologis negara-bangsa Indonesia yang palingfeasibledan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Sampai saat inidan juga di masa depansaya belum melihat alternatifcommon platformideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi jugaviabledalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaanreligious-based ideologiesini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.

Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagaipublic discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukanreassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional. Tiga kepemimpinan nasional pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang: baik Presiden SBY maupun Wapres MJK jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan rejuvenasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Ada kesan traumatik untuk kembali membicarakan Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarangPresiden SBY dan Wapres MJK dan pejabat-pejabat publik lainnyamemberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia.Peradaban Indonesia dan Krisis IdentitasPeradaban Indonesia merupakan subyek yang rumit, yang kelihatan masih menjadi perdebatan di tanahair. Pertanyaan yang sering menjadi titik perdebatan adalah; apakah ada peradaban Indonesia? itu? Kalau ada, bagaimana bentuk dan sosoknya? Bahkan pada tingkat yang lebih rendah? terjadi juga perdebatan mengenai (ke)budaya(an) Indonesia? (Indonesian culture) atau kebudayaan nasional?; apakah ada (ke)budaya(an) Indonesia?, bagaimana bentuk (ke)budaya(an) Indonesia? itu, dan apa hubungan antara (ke)budaya(an) Indonesia? tersebut dengan (ke)budaya(an) lokal?, (ke)budaya(an) etnis, dan bahkan dengan (ke)budaya(an) global.

Perdebatan tentang subyek-subyek ini bisa kita ulangi kembali dalam seminar ini untuk mendapatkan perspektif yang lebih jernih. Terlepas dari itu, terdapat kecenderungan pendapat umum, bahwa peradaban (civilization) lebih daripada kebudayaan (culture); peradaban mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, sejak dari pandangan hidup, tata nilai, sosial-budaya, politik, kesenian, ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan banyak lagi, yang bisa kita bahas dan rumuskan secara lebih jelas dalam konteks Indonesia pada seminar ini. Makalah ini memusatkan perhatian hanya pada salah satu aspek peradaban tersebut, yakni sosial-budaya, yang pada gilirannya perlu kita akselerasikan menuju masyarakat multikultural, yang berprinsip pada pandangan dunia multikulturalisme.

Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannyayang kemudian sering disebut sebagai era reformasi? sekarang ini, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, juga mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, semakin sulitnya lapangan kerja dan lain-lain.

Krisis sosial budaya itu dapat disaksikan muncul dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya, disintegrasi sosial-politik yang antara lain juga disebabkan euforia kebebasan yang hampir kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; pecahnya konflik dan kekerasan yang bersumberatau sedikitnya bernuansa etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah tertentu Kalimantan, Maluku dan Sulawesi.

Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya umumnya di kalangan masyarakat kita semakin bertambah dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Baratkhususnya Amerikasebagai akibat proses globalisasi yang hampir tidak terbendung. Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya alien? (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan gaya hidup? baru yang tidak selalu positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-Roubaie 2002). Hal ini misalnya, bisa dilihat dari semakin merebaknya budaya McDonald?, makanan instan dan dengan demikian, budaya serba instan; meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan hedonisme; mewabahnya MTVisasi, Valentines Day?, dan kini juga proms night? di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada cultural imperialism? baru, menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam Orientalisme?.

Dari berbagai kecenderungan ini, maka orang bisa menyaksikan kemunculan kulturhybriddi Indonesia dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budayahybridnampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi pada segi lain, budayahybridapalagi yang bersumber dari dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan informasi merekadapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih jauh. Tidak hanya itu, budayahybriddapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas nasional dan lokal tersebut sangat krusial bagi integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa.Multi-Kulturalisme: Bhinneka Tunggal IkaPluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura, seperti dikemukakan Hefner (2001:4) sangat mencolok; terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah inikhususnya Indonesiadipandang sebagai lokus klasik? bagi konsep masyarakat majemuk/plural? (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnival (1944, 1948).

Menurut Furnivall, masyarakat plural? adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Teori Furnivall ini banyak berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif homogen?, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama dan gender. Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:468-9).

Meski demikian, berbeda dengan doomed scenario? Furnivall, masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhirnya setelah Perang Dunia II dapat menyatu dalam satu kesatuan unit politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan realitas pluralitas sosial-budaya yang bukannya tidak sangat divisif, khususnya jika negara-bangsa baru seperti Indonesia gagal menemukan common platform? yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negara-negara baru ini mendorong bangkitnya sentimen etno-relijius yang dapat sangat ekplosif, karena didorong semangat yang bernyala-nyala untuk mengontrol kekuasaan (Geertz 1973).

Berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga eksistensi negara-bangsa (nation building) yang mengandung keragaman tersebut, para penguasa negara-negara baru ini memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik keseragaman budaya? (monokulturalisme). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaankhususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarnodan masa Orde Baru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme.

Secara restrospektif, politik monokulturalisme Orde Baru atas nama stabilitas untukdevelopmentalismtelah menghancurkanlocal cultural geniuses, seperti tradisi pela gandong? di Ambon, republik nagari? di Sumatera Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi,local geniusesjuga berfungsi sebagaidefense mechanismdan sekaligusearly warning systemyang dapat memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik mono-kulturalisme yang telah menghancurkanlocal geniusini, pada gilirannya mengakibatkan kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal. Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak di beberapa daerah sejak 1996 tidak terlepas dari hancurnyalocal geniusestersebut.

Tetapi penting dicatat, dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme?, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala provinsialisme? yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas?. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

Sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural?. Tetapi pada pihak lain, realitas multikultural? tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekontruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia? yang dapat menjadi integrating force? yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Pandangan dunia multikultural? secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara bhinneka tunggal ika? mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.

Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secarataken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis,integrateddan berkesinambungan, dan bahkan perlu percepatan (akselerasi). Salah satu strategi penting dalam mengakselerasikannya adalah pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas.

Kebutuhan, urgensi, dan akselerasi pendidikan multikultural telah cukup lama dirasakan cukup mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin multikultural? karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut (cf Hefner, 2001:2-3), pendidikan multikultural menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya dikembangkan pendidikan interkultural?. Berhadapan dengan meningkatnya multikulturalisme? di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan multikultural? semakin relevan dantimely.

Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu hal baru di Indonesia. Meski belakangan ini sudah mulai muncul suara-suara yang mengusulkan pendidikan multikultural tersebut di tanah air, tidak berkembang wacana publik tentang subyek ini. Pembahasan dan literatur mengenai subyek ini sangat terbatas. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan budaya bangsa, khususnya sejak era reformasi? yang penuh dengan gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat, membuat pendidikan multikultural terasa semakin dibutuhkan.Multikulturalisme; Basis KewargaanKeragaman, atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.

Tetapi, penting dicatat, keragaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Dan, lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab, pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat berbagai simbol, nilai, struktur dan lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi.Semuanya ini, dan lebih khusus lagi, lembaga-lembaga, struktur-struktur, dan bahkan pola tingkah laku (patterns of behavior) memiliki fokus tertentu terhadap kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan. Dengan demikian, mereka potensial untuk menyelesaikan konflik yang dapat muncul dan berkembang sewaktu-waktu. Semua simbol, nilai, struktur dan lembaga tersebut juga sangat menekankan kehidupan bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi masyarakat nasional.

Pada tahap ini, komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humanness). Semua ini juga mencakup komitmen dan kohesi kemanusiaan melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal. Manusia, ketika berhadapan dengan berbagai simbol, doktrin, prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaanbaik secara personal maupun komunaldan kebudayaan yang dihasilkannya.

Dalam konteks ini, multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai kepercayaan? kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan.

Multikulturalisme sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaiancivility(keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangandemocratic civility, makacivil society(CS) dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental.

Terdapat persepsi dalam masyarakat untuk secarataken for grantedmenerima bahwa CS selalu mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat kecenderungan, bahwa CS terorganisasi berdasarkan distingsi sosial, budaya, etnis, dan agamasehingga cenderung eksklusif dan merasa paling benar sendiri; akibatnya dapat kontra-produktif tidak hanya terhadap multi-kulturalisme, tetapi juga bahkan terhadap demokrasi. Karena itu, dalam hal CS seperti ini, perlu pengembangan sikap inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat yang sama, juga harus dikembangkan CS yang mengatasi berbagai garis demarkasi tersebut, menjadi organisasi yang melintasi batas-batas etnis, agama dan sosial, sehingga pada gilirannya dapat menjadi social and cultural capital? yang esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban (cf. Hefner 2001:9-10).

Dalam konteks pengembangan CS yang benar-benar merupakan social and cultural capital? bagi keadaban dan demokrasi, pendidikan merupakan salah satujika tidak satu-satunyasarana terpenting. Tidak perlu uraian panjang lebar, social and cultural capital? sangat krusial dan instrumental bagi terwujudnyasocial and cultural cohesivenessdan, pada gilirannya, integrasi negara-bangsa. Sebaliknya, negara-bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak memilikisocial and cultural capital. Dalam kerangka pengembangansocial and cultural capital, diperlukan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai nilai sosial-budaya, tetapi juga pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa-bernegara. Di sinilah terletak peran instrumental pendidikan.

Untuk penumbuhan dan pengembangan social and cultural capital? melalui pendidikan, pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secaratrial and erroratau diperlakukan secarataken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. MelaluiCivic Educationdapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban (Azra 2002).Pendidikan MultikulturalSecara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan?. Agar definisi ini bermanfaat, perlu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan budaya? dan kebudayaan?. Upaya perumusan ini jelas tidak mudah, karena perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat.

Menurut Tilaar (2002:495-7), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang inter-kulturalisme? seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran interkulturalisme? ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan interkultural? dan interkelompok? (intercultural and intergroup education). Pada dasarnya pendidikan interkultural merupakancross-cultural educationyang bertujuan mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda (cf. La Belle 1994:21-27).

Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.

Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.

Karena itu, seperti dikemukakan Tilaar (2002:498), dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan ataumainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budayamainstreamyang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakatmainstream.

Pendidikan interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak peduli (indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural yang rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli? dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition?, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas (Cf Taylor et al 1994).

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap indifference? dan non-recognition? berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

Paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ethnic studies?, untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang semua subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.

Istilah pendidikan multikultural? (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isyu-isyu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti; toleransi; tema-tema tentang perbedaan etno-kultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, dan subyek-subyek lain yang relevan.

Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural di Indonesiahemat sayamasih memerlukan pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya terpadu? atau terintegrasi (integrated). Terlepas dari berbagai isyu dan masalah ini, yang jelasmenurut sayaperkembangan Indonesia sekarang kelihatannya membutuhkan pendidikan multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan keikaan? di tengah kebhinnekaan? yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1659

Relevensi Ideologi Pancasila [Apakah ideologi semacam Pancasila masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas pada saat ini apakah pada sekarang ini pancasila masih kita jadikan sebagai suatu tiang pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada akhir 1060-an telah berbicara tentang the end of ideology. Tentang perang dingin yang terus meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme-liberalisme melawan Blok Timur dengan ideologi sosialisme-komunisme, perang ideologi dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain. Menunjukkan bahwa, Blok Barat lebih mendominasi di sebagian besar negara-negara dunia.Gelombang demokrasi (democratic wave)[ telah lama gelombang demokrasi muncul dipermukaan yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai the end of history, masa akhir sejarah di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologibaik universal maupun lokaltetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar, semacamethno-nationalism dan bahkantribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab Balkanisasi, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang melanda indonesia pada tahun 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis,common platformdan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya lima faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi, mengaa bisa demikian sobat.berikut factor yang bisa membuat idiologi semakin sulit dan tidak dihargai lagi karna pencemaran oleh bangsa sendiri berikut faktornya :

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4.Kedua,liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama. Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadicommon platformdalam kehidupan politik.

Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi, bisa menumbuhkan sentimen kedaerahan yang dapat tumpang tindih dengan nasionalisme. Dalam proses ini, ada indikasi bahwa Pancasila kian kehilangan posisi sentralnya.

Keempat,disebabkan euforia kebebasan yang hampir kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; pecahnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah tertentu Kalimantan, Maluku dan Sulawesi.

Kelima,fundamentalisme kapitalis global terus menghantui perekonomian masyarakat Indonesia, pemerintah telah dibuat bertekuk lutut atas sabda kapitalisme ini. Awal dari merasuknya nilai-nilai kapitalisme global dan berujung pada globalisasi kemiskinan. Dari globalisasi kemiskinan itu akhirnya banyak golongan yang kemudian membalik fundamentalisme ini menjadi fundamentalis agama yang diusung bersama nilai-nilai kekerasan, kembali mempersoalkan asas pancasila, syariat, hubungan agama dan negara yang ideal, dan mungkin piagam Jakarta yang telah selesai masalahnya pada abad IX dulu. Bukankah itu adalah bentuk-bentuk baru yang banyak mengancam eksistensi pancasila ?

Pelanggaran Terhadap Ideologi Pancasila[ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik bangsa ini,bangsa ini banyak melanggar apa yang telah menjadi sebuah suatu kebanggaan kita,namun, hal itu di saat ini telah banyak di langgar,Hari ini kita melihat bagaimana Pancasila usai reformasi seakan telah dikuliti kesaktiannya. Reformasi yang membawa angin demokrasi yang diharapkan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik justru memberikan liberalisasi yang tidak terkontrol di semua aspek kehidupan. Pancasila-pun di kritisi bahkan tak jarang dihinakan, dan banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai pancasila. Jangankan masyarakat, para pemimpin negeri ini pun juga telah melakukan pelanggaran terhadap sila-sila dari Pancasila itu sendiri. Pejuang kita para birokrat besar yang memimpin bangsa indonesia saja banyak melanggar sila yang ada,dan mereka tanpa merasa bersalah sedikit pun,ironisnya indonesia.

Pelanggaran idiologi pancasila oleh presiden [Berikut merupakan para pelanggar idiologi pancasila oleh para presiden indonesia yang telah melanggar sila-sila yang ada bukan dari pejabat kecil yang melanggar namun pejabat besar malah melanggar seperti presiden republic indonesia .ini lah nama presiden pelanggar sila-sila pancasila dari kalangan presidden yaitu :1.Presiden Soekarno [ presiden pertama ini telah melanggar sila pada pancasila yakni melanggar Sila 1; Ketuhanan Yang Maha Esa, karena membiarkan adanya faham Komunisme yang identik tak mempercayai adanya Tuhan (atheis). Padahal dialah sang arsitek pancasila.

2.Presiden Soeharto [ presiden ini melanggar Sila 2; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada masa pemerintahan Soeharto, terdapat Petrus, atau penembak misterius, yang melenyapkan siapa saja yang dianggap membahayakan ketertiban masyarakat, juga ada Kopkamtib yang tugasnya kurang lebih sama dengan Petrus untuk menghilangkan siapa saja yang dianggap dapat membahayakan eksistensi pemerintahan yang sedang berkuasa.

3.BJ. Habibie,dianggap melanggar Sila 3; Persatuan Indonesia. Karena pada masa inilah Timor Timur (Timor Leste) yang telah susah payah diperjuangkan masuk kedalam NKRI, lepas dan merdeka melalui sandiwara referendum. Dimana slogan NKRI harga mati !!!

4.Abdurrahman Wakhid atau Gus Dur,melanggar Sila 4; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Gus Dur melecehkan keberadaan Wakil Rakyat dengan mengatakannya seperti para murid Sekolah Taman Kanak-kanak (TK). DPR hampir di bubarkan.

5.Megawati Soekarnoputri,melanggar Sila 5; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden ini pada masanya beberapa kali menaikkan harga BBM, cukup meresahkan dan menyengsarakan rakyat, serta menjual beberapa aset negara ke negara tetangga Singapura. Jika dia mengaku orang nasionalis, nasionalisme macam mana yang dia pegang?

6.Presiden SBY,melanggar Sila 5; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. SBY menerapkan pasar bebas. Sebab sistem ekonomi konsitusi yang dilandasi Pancasila berbeda sama sekali dengan pasar bebas. Dalam sistem ekonomi konstitusi, tidak semua komoditas bisa dipasarkan dan pelaku ekonomi bukan hanya korporasi. Sementara dalam sistem pasar bebas, semua komoditas bisa dipasarkan dan pelaku ekonomi hanya korporasi. Jadi sistem ekonomi SBY berbeda dengan sistem ekonomi Pancasila.

PelanggaranparaPemimpin Negeri[ pelanggaran terhadap pengamalan Pancasila ini, Ada kecenderungan untuk tidak menganggap Pancasila sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk dipahami dan diaplikasikan.Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa semuanya itu hanya dipakai sebagai tirai asap untuk menutup-nutupi kegagalan negara dalam melaksanakan Pancasila itu sendiri.Masih kita temukan pada sebagian anak bangsa yang mencari jati diri lain, yang konon tidak sesuai dengan nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Orang semakin jarang menyuarakan makna Pancasila dan bahkan terkesan alergi. Lembaga pendidikan formalpun tidak lagi mengajarkan materi Pancasila sebagai salah satu bagian pembangunan karakter bangsa dalam kurikulum pendidikan.

Pancasila juga dianggap sudah tidak ampuh lagi sebagai perekat bangsa, karena disana-sini timbul berbagai konflik, benturan dan disharmoni sosial. Semangat toleransi dalam kehidupan masyarakat terus mengendor. Hal ini diperparah dengan makin banyak sosok teladan yang buruk, danminimnya sosok pemimpin yang memberikan teladansehinggapatut diteladani.

Demokrasi Pancasila ( Pancasila dalam Demokrasi) [ Secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.Pancasila sebagai ideologi Negara belakangan ini menghadapi ancaman yang serius terkait adanya upaya mengganti ideologi Negara dengan ideologi lain, seperti fenomena munculnya gagasan pendirian negara Islam dengan memberlakukan Syariat Islam dan bangkitnya kembali ideologi komunis di Indonesia.

Dalam Masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, terdapat beberapa hal yang diharamkan untuk dikritik, yaitu: Tidak boleh mengkritik Pancasila dan UUD 45, tidak boleh mengkritik kebijaksanaan pemerintah, tidak boleh mengkritik dwi fungsi ABRI, dan tidak boleh mengungkapkan kesalahan pegawai pemerintah. Siapa pun yang melanggar rambu-rambu ini, pelakunya akan berhadapan dengan alat negara dan dituduh melanggar undang-undang anti subversi.Namun sekarang setelah Reformasi yang membawa arah Demokrasi baru yang menjunjung tinggi HAM, semua orang mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat dan memperjuangkan idenya. Semua orang punya hak untuk mengkritisi atau dikritisi, bukan hanya rakyat, pejabat negara tetapi Presiden-pun boleh dikritik. Bahkan Ideologi Pancasila juga dikritik, walaupun ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa kebebasan seperti ini telah melanggar konstitusi. Konsekuensinyaketika Pancasila masuk dalam arena Demokrasi Liberal. Ia tak akan luput dari kritik yang akan melemahkan pancasila itu sendiri. Negara menjadi arena pertarungan terbuka antara ideologi dari berbagai pemikiran. Baik ide yang masih tetap mempertahankan Ideologi Pancasila, ide mendirikan Negara Islam, ide mendirikan Negara Komunis, ataupun ide-ide lain yang ada dalam kemajemukan bangsa ini.

Pancasila Adalah Sebuah Fase Ideologi [sebagianBangsaIndonesia saat iniberkeyakinan bahwaideologi Pancasila adalah final dan telah mendapatkan kesepakatan seluruh pendirinegara. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan seiring perkembangan globalisasi, Pancasila sebagai ideologinegara seolah terlupakan dan dilupakan. Nilai-nilai Pancasila, cenderung mulai luntur dan tergerus oleh perkembangan jaman. Sejumlah kalangan bahkan mulai mengkhawatirkan dan prihatin terhadap kecenderungan nilai-nilai Pancasila yang tidak lagi menjadi pedoman dalam berbagai kebijakan publik untuk meraih cita-cita bangsa.

Jika kita membaca sejarah bangsa di negeri ini jauh sebelum nama "Indonesia" ada, ketika tanah ini belum bernama. berawal dari kehidupan animisme dinamisme, hari ini kita akan mengatakan bahwa ideologi pada waktu itu adalahideologi anismisme dinamisme.Lalu lambat launberalihdengan ideologi yang berorientasi pada ajaran Hindu Budha lalu masa kesultanan Islam dengan ideologi yang berdasar pada akidah agama Islam. kemudian masa penjajahan dengan ideologi kolonialismenya. dan terakhir ketika negeri ini sudah bernama Indonesia dengan ideologi Pancasila.

Sebagian besar masyarakat yang hidup dalam setiap fase ideologi selalu menganggap bahwa apa yang ia yakini adalah yang paling benar, dan berusaha mempertahankannya jangan sampai hilang atau tergantikan. Namun, benturan ideologi adalah suatu hal yang pastiterjadi,dan prosesmetamorfosisideologiinipun pasti di lewati dengan perang pemikiran bahkan perang fisik.Jadi, menurunnya pengamalan nilai-nilai Pancasila ini bisa jadi adalah sebuah fase peralihan ideologi. Bertahan tidaknya Ideologi pancasila di negeri ini tergantung seberapa besar para Pancasilais mampu mempertahankan ideologinya. Tidak ada yang mampu menjamin bahwa sebuah ideologi akan bertahan Abadi. Pertarungan Ideologi adalah suatu hal yang pasti, seperti halnya hukum alam "siapa yang kuat dialah yang menang". : dia yang tinggi : dilah yang berkuasa .http://avisbungsu.blogspot.com/2014/04/metamorfosis-idiologi-bangsa-indonesia.html

Rejuvenasi Pancasila, yaitu semangat untuk mengembalikan Pancasila seperti apa yang dicita-citakan oleh paraFounding Fathers, Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai alat politik tetapi Pancasila ditujukan untuk mencapai masyarakat yang mempunyai budaya harmonis, bermartabat dan mempunyai visi yang luas.

Apakah "ideologi" semacam "Pancasila" masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam hiruk-pikuk politik yang masih berlangsung hingga kini, pertanyaan seperti ini mungkin terlalu akademis untuk diajukan kepada para politisi; namun pertanyaan itu sering diajukan audiens kepada saya dalam berbagai diskusi dan seminar tentang posisi dan relevansi Pancasila dalam Indonesia yang lebih demokratis; Indonesia yang lebih bebas dalam berbagai segi kehidupan.

Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada akhir 1060an telah berbicara tentang "the end of ideology"?. Tetapi perang dingin yang terus meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dan Blok Timur dengan ideologi sosialisme-komunisme menunjukkan bahwa ideologi tetap relevan dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain.

Gelombang demokrasi (democratic wave) yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai "the end of history"?, masa "akhir sejarah"? di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologibaik universal maupun lokaltetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacamethno-nationalismdan bahkantribalismjustru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab "Balkanisasi"?, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis,common platformdan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4.Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadicommon platformdalam kehidupan politik.Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak mungkin bisa menumbuhkan sentimenlocal-nationalismyang dapat tumpang tindih denganethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya.

Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, tentu cukup alarming, lampu kuning bagi masa depan Indonesia yang tetap terintegrasi. Pancasilameski menghadapi ketiga masalah taditetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagai common platform bagi negara-bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya birokrasi kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi politik yang menghasilkan fragmentasi elit politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu; corak kepemimpinan solidarity maker yang dapat mencegah disintegrasi tetap belum tampil.

Sudah tentu tidak ada yang salah dengan Pancasila as such. Yang keliru adalah membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih jauh, Pancasila telah terbukti sebagaicommon platformideologis negara-bangsa Indonesia yang palingfeasibledan sebab itu lebihviablebagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Sampai saat inidan juga di masa depanbelum terlihat alternatifcommon platformideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi jugaviabledalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, jelas nampak urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.

Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagaipublic discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional. Tiga kepemimpinan nasional pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang: baik Presiden maupun Wapres jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan rejuvenasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Ada kesan traumatik untuk kembali membicarakan Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarangPresiden, Wapres dan pejabat-pejabat publik lainnyamemberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia.

Mengembalikan Kemurnian Pancasila

Pancasila telah dinobatkan sebagai dasar negara Indonesia, ideologi pemersatu bangsa yang dijadikan landasan dalam kehidupan bernegara seperti yang diimpikan para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia. Namun realitas saat ini sama sekali tidak sesuai dengan harapan mulia itu.

Pancasila seakan sekadar menjadi simbol belaka tanpa pemahaman dari masyarakat. Mereka tidak menyadari Pancasila sebagai dasar negara mereka. Di saat problem menimpa, justru Pancasila bukan yang pertama kali dijadikan solusi.

Bukan bermaksud menyepelekan landasan dan ideologi lain, semisal agama. Kita semua tentu sadar betul bahwa Pancasila sangat memperhatikan urusan agama. Hal ini dibuktikan dengan menempatkan permasalahan ketuhanan pada sila pertama. Yang perlu disayangkan adalah nasib Pancasila di tengah kemajemukan Indonesia sekarang ini akibat gempuran globalisasi yang tiada henti.

Negara kita memiliki beragam suku dan ideologi. Kemajemukan ini disadari betul oleh para pendiri bangsa kita. Maka pada tanggal 1 Juni 1945, saat persidangan Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno untuk pertama kali memperkenalkan konsep Pancasila. Hal ini didasari semangat untuk mempersatukan Indonesia yang luas dan majemuk. Setelah melalui perdebatan di kalangan tokoh pergerakan nasional, akhirnya Pancasila diterima sebagai dasar negara. Ia menjadi pandangan hidup Indonesia yang bersifat universal bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari aspek ketuhanan, kemanusiaan, keindonesiaan, demokrasi dan keadilan yang tertuang dalam kelima sila.

Sepanjang perjalanannya, Pancasila tidak terlepas dari berbagai penyimpangan politik penguasa. Jika Presiden Soekarno dengan Dekrit Presidennya menjadikan dirinya sebagai kekuasaan otoriter yang bertentangan dengan Pancasila, Presiden Soeharto justru telah menjadikannya sebagai alat kekuasaan politik (political tool) semata. Melakukan penyelewengan tafsir melalui penataran dan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, membungkam kedaulatan rakyat atas nama pembangunan nasional.

Saat itu pula, banyak terjadi tindakan-tindakan yang sama sekali berlawanan dengan Pancasila. Korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan hukum adalah secuil dari dosa yang diperbuat penguasa Orde Baru. Akibat ulah Orde Baru, Pancasila yang seyogianya dapat kembali menjadi perekat komponen bangsa, telah diidentikkan dengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Seiring dengan lengsernya Orde Baru, munculah sikap dan pandangan baru di kalangan warga negara Indonesia terhadap dasar negara. Mereka menilai Pancasila sudah tidak bersahabat dengan rakyat. Sedangkan demokrasi yang sesungguhnya identik dengan keadilan, persamaan, penghormatan terhadap HAM dan taat hukum.

Sebagai sebuah dasar negara dan pandangan hidup yang telah tercemar, Pancasila memerlukan revitalisasi makna bagi masa depan Indonesia. Azyumardi Azra menegaskan, harus dilakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Hal ini dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagaipublic discource(wacana publik). Melalui langkah awal ini sekaligus dapat dilakukan penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini untuk mendapatkan pemaknaan baru.

Sudah semestinya Pancasila ditempatkan secara terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisinya sebagai panduan nilai dan pedoman bersama (common platform) untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bangsa. (Sumber: M Amsar Roedi FT IAIN Walisongo).***

[Suprapto Estede: Materi ini disiapkan untuk Testimoni tentang Eksistensi dan Rejuvenasi Pancasila di Era Reformasi pada Acara Final Lomba Cerdas Cermat Wawasan Kebangsaan Tahun 2012, diselenggarakan oleh Badan Kesbang Linmas Kabupaten Bojonegoro pada Tanggal 11 Juli 2012 di Pendopo Malowopati Pemkab. Bojonegor

http://supraptoestede.blogspot.com/2013/11/rejuvenasi-pancasila.html

Rejuvenasi Pancasila Sebuah KebutuhanBersamaRate This

I. PENDAHULUANSejarah perkembangan ideologi politik umat manusia, menurut Fukuyama, akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Kapitalisme sebagai ideologi tampak menjadi semakin meguat dengan adanya blok perdagangan maupun penyatuan negara-negara di kawasan tertentu untuk kepentingan ekonomi. Sedangkan demokrasi liberal yang kini diterapkan di negara-negara maju, akan menjadiprototypedari pola-pola pemerintahan di masa mendatang.[1]Pada era perang dingin dunia terbentuk dua blok dengan idiologi Liberalisme dan Komunisme yang menurut pemahaman bangsa Indonesia kedua Isme tersebut memiliki kecendrunganPower Politicsuntuk mencapaiWorld Domination.Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989, menunjukkan Amerika Serikat sebagai pemenang dalam perang dingin, sehingga peperangan ideologi antara blok Timur dan Barat telah berakhir dengan kemenangan ideologi Liberalisme. Dunia memasuki era globalisasi yang menampakkan diri sebagai era dominansi negara industri Barat terhadap negara-negara berkembang. Dengan mengkapanyekan issu demokratisasi, pelanggaran HAM, perdagangan bebas dan lingkungan hidup maka negara Barat terus mendesak untuk memaksakan kehendaknya termasuk ideologi terhadap negara-negara berkembang.Dilihat dari dua ideologi yang bertentangan tersebut diatas maka Pancasila menjelmakan diri sebagaiMoral persuasive power dengan mengambil sisi yang baik dari kedua Isme tersebut yangadaptabledengan karakteristik bangsa Indonesia yang menghendaki suatu tatanan dunia baru yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia, dan bangsa oleh bangsa. Kekuatan Pancasila adalah dibidang falsafah, idiologi moral dan persuasi serta hanya menggunakan kekuatan force bila dipaksa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.Pada era globalisasi saat ini, seakan-akan dunia tanpa ada batasnya, dimana arus informasi dan telekomunikasi telah canggih sehingga umat manusia pada setiap detik dapat mengetahui semua kejadian atau peristiwa di seluruh dunia. Sejalan dengan perkembangan globalisasi maka gelombang demokratisasi seakan-akan membuat ideologi makin tidak relevan dalam dunia yang tanpa batas. Namun globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi, dimana sebagian orang memandang globalisasi merupakan berkah sedangkan sebagian orang mengatakan sebagai bencana. Dilihat dari aspek ideologi globalisasi mengakibatkan kebangkrutan ideologi universal dan lokal, namun dilain pihak globalisasi mendorong bangkitnya nasionalisme lokal.[2]Perkembangan lingkungan strategi global sangat dipengaruhi oleh issu demokratisasi, liberalisasi, HAM, lingkungan hidup yang telah dijadikan sebagai kriteria dalam hubungan internasional yang implementasinya sering dimanfaatkan oleh negara maju untuk mendukung kepentingan politiknya. Pada tataran global pengaruh dari globalisasi telah terjadi pergeseran tata nilai menuju dunia baru yang transparan, bebas, dinamis dan interdependency dan telah melahirkan sejumlah issu yang mempengaruhi hampir segenap aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.Seiring dengan gelombang demokratisasi yang mendunia, begitu juga di Indonesia telah mendorong terjadinya gerakan reformasi yang merupakan titik tonggak demokrasi di Indonesia, dimana telah mampu menumbangkan Pemerintahan Orba yang otoriter dan selanjutnya terjadi perombakan besar terhadap Konstitusi yang lebih banyak memberikan kebebasan terhadap rakyat. Hal yang menjadi pemicu terjadi gerakan reformasi mulai tahun 1997, adalah terjadinya krisis moneter dan ekonomi,yang terus berlanjut menjadi krisis politik, moral dan Ideologi. Pancasila sebagai basis ideologi bangsa Indonesia yang plural seolah-olah semakin kehilangan relevansi dan semakin termarjinalkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari maupun dalam pemerintahan.Keterkaitan Pancasila dan globalisasi ternyata mengungkap diri dalam dua wujud yang tidak berpanggahan (inconsistent) antara satu dengan yang lain. Keterkaitan pertama berujud relasi dominasi negara industri Barat terhadap negara berkembang. Keterkaitan kedua berada dalam tataran konsep, yaitu Pancasila yang berpaham kebersamaan atau kekeluargaan atau integrasi, berpadanan dengan struktur dari globalisasi dunia, yaitu saling ketergantungan antarbangsa. Perdefinisi, kondisi kebersamaan adalah keluaran dari interaksi saling memberi antar bangsa yang berelasi saling tergantung.[3]Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia menghadapi ancaman ideologi liberalisme lebih unggul dan terbukti telah mampu membawa negara dan masyarakatnya dalam berbagai kemajuan. Selain itu juga menghadapi hambatan yang berasal dari dalam negeri yang berupa sinisme dari sebagian rakyat Indonesia, karena pengalaman masa Orde Baru Pancasila telah didiskreditkan dan dibelokkan oleh penguasa untuk melestarikan kekuasaan. Pada kenyataannya Pancasila telah cukup teruji dari dari jaman kemerdekaan sampai sekarang dan palingfeasiblesehingga akanviabledalam kehidupan saat ini dan masa depan. Mengesampingkan Pancasila dari kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar trauma pada pemaknaan Pancasila pada jaman Orba adalah tindakan yang salah besar, karena tidak ada yang salah dari ideologi Pancasila itu sendiri, yang keliru adalah pemaknaan dan pengamalannya.Sehubungan dengan suksesi kepemimpinan pada tahun 2004 yang dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat maka kita menaruh harapan lebih pada pemilu Presiden secara langsung, dengan harapan bahwa pemilu Presiden langsung dapat melahirkan seorang Presiden Indonesia yang mampu menjadikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia, diantaranya dapat mengembalikan kebijakan, perilaku kekuasaan negara dan hukum untuk perlindungan dan pemenuhan hak mayoritas rakyat. Dengan demikian pada kepemimpinan nasional mendatang adalah momentum yang paling tepat untuk melakukan rejuvenasi dan merehabilitasi Pancasila.II. DASAR PEMIKIRANIdeologi adalah istilah yang sejak lama telah dipakai dan menunjukkan beberapa arti, semula oleh Destutt de Tracy (1796) istilah ideologi dengan pengertianscience of ideas, yaitu suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Prancis, namun pandangan tersebut dicemooh oleh Napoleon dan Marx, bahwa ideologi hanya sebagai khayalan belaka yang tidak mempunyai arti praktis, namun selanjutnya bahwa mereka mengakui bahwa ideologi ternyata mempunyai arti yang praktis.[4]Pada perkembangannya ideologi merupakan keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan, serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian ideologi mengandung orientasi yang menempatkan seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi itu manusia mempunyai pandangan hidup atau wawasan tentang alam, masyarakat, manusia dan segala realitas yang dijumpai serta dialaminya. Dengan demikian terjadi proses penuangan orientasi dan wawasan ke dalam bentuk nilai dan asas yang normatif ke dalam bidang-bidang kehidupan dan tingkah laku politis. Begitu juga halnya dengan Pancasila sebagai ideologi harus mampu memberikan orientasi, wawasan,asas dan pedoman yang normatif dalam seluruh bidang kehidupan negara.Kehidupan bermasyarakat itu mempersyaratkan adanya persatuan warganya, dan ideologi yang menyediakan cara tertentu yang berlaku umum tentang bagaimana individu memandang dirinya, memandang masyarakat, untuk membantu mempersatukannya. Dengan demikian dalam fungsinya yang seperti itu, ideologi melakukan fungsi instrumental yang penting bagi tingkah laku politik dalam menciptakan atau merubah tatanan masyarakat. Jadi ideologi menunjukkan adanya sejumlah fungsi yang saling berkaitan bagi individu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.[5]Setiap ideologi terbentuk melalui pengalaman sejarah masyarakat tempat ideologi itu tumbuh. Demikian juga pengalaman sejarah bangsa Indonesia merupakan akar dan pembenaran dari ideologi Pancasila. Sifat dinamis dari ideologi ialah kemampuannya untuk menyerap pengalaman-pengalaman empiris ke dalam sistemnya secara terus menerus berhadapan dengan perubahan dan perkembangan baru melalui sebuah proses dialektik. Pancasila sebagai sebuah ideologi merupakan hasil dari proses sejarah kehidupan bangsa Indonesia, yang digali oleh para pendiri bangsa Indonesia.Ideologi sebagai serangkaian gagasan yang mengarah perbuatan dapat dibagi dalam ideologi murni dan praktis. Ideologi lahir dari nilai-nilai teoritik yang dipadukan dengan praktik, yang dalam hal ini ideologi Pancasila lahir dari filsafat Pancasila yang dipadukan dengan pengalaman revolusi kemerdekaan dan sejarah bangsa sesudahnya. Ideologi murni Pancasila tampak dalam Pembukaan UUD 1945 dan isi pokok batang tubuh UUD 1945, sedangkan ideologi praktis timbul dari pengalaman sejarah selama ini.[6]Pancasila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 berkualifikasi sebagai dasar negara, yang mengandung filsafat politik, yaitu yang terumus sebagai empat pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai dasar negara beserta filsafat politiknya, mengikat secara moral dan sebagai cita hukum mengikat hukum, segenap subyek kehidupan negara. Artinya setiap subyek kehidupan negara wajib mengamalkan Pancasila dalam menjalankan fungsi parsialnya dari seluruh usaha perwujudan cita-cita bangsa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Kelima Sila merupakan kesatuan yang utuh, dimana kelima sila dalam Pancasila itu ibaratnya sebuah jala, apabila salah satu bagian dari jala itu diangkat, maka terangkatlah semuanya karena jala yang luas itu sebenarnya adalah satu barang, demikian pula kelima Pancasila. Kelima sila dari Pancasila itu adalah amat luas dan amat lebar karena meliputi segala apa saja yang ada. Asal ada mesti tercakup dalam Pancasila, yang tidak dicakup oleh Pancasila pastilah karena tidak ada. Yang ada ini sebenarnya hanyalah tiga hal saja yaitu Tuhan, manusia dan benda. Jadi Pancasila sangatlah luas, kalau dipikirkan salah satu silanya harus berarti menyangkut dan meliputi semua silanya, kalau diangan-angankan salah satu silanya, harus berarti diangan-angankan semua silanya, kalau diamalkan salah satu silanya, harus berarti diamalkan semua silanya.[7]Mengamalkan salah satu sila, tetapi lepas dari keempat sila lainnya bukanlah mengamalkan Pancasila namanya, hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Mengenai kesatuan sila-sila Pancasila sebagai kesatuan yang bulat dan utuh ada rumusannya, yang dinamakan rumus rangkaian kesatuan sila-sila Pancasila. Rumus ini ada dua macam, yaitu hirarkis piramidal dan saling mengkualifikasi. Hirarkis piramidal dimana sila pertama adalah sebagai basis dari piramida tersebut sedangkan sila kelima sebagai puncaknya. Dari puncak kebawah semakin luas dan dari bawah ke puncak semakin sempit, dalam arti semakin khusus. Jadi sila yang di bawahnya itu meliputi dan menjiwai sila diatasnya, sedangkan sila diatasnya itu diliputi dan dijiwai oleh sila dibawahnya. Sedangkan rumus saling mengkualifikasi, sebenarnya sama saja dengan rumus hirarkis piramidal, hanya cara mengatakannya yang berbeda.III. KONSEP REJUVENASISebagaimana pendapat Prof. Azyumardi Azra, pada dasarnya Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tidak ada yang salah atau keliru dengan Pancasila itu sendiri, yang keliru justru pemaknaan dari Pancasila pada masa Orde Baru dimana menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal dari semua Orpol, Ormas dan bentuk organisasi lainnya. Hal ini sengaja dilakukan oleh penguasa Orde Baru sebagai strategi untuk melanggengkan kekuasaannya dengan membelenggu seluruh rakyat Indonesia dengan membelokkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Selanjutnya terdapat tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan termajinalkan dalam kehidupan bangsa Indonesia yakni : Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan penguasa Orba yang mendominasi pemaknaan Pancasila untuk mempertahankan kekuasaan, Kedua liberalisasi politik yang dilakukan pada masa pemerintahan BJ. Habibie dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam setiap organisasi, Ketiga adalah perubahan pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga cukup mendorong sentimen kedaerahan.[8]Dalam sejarah bangsa Indonesia ideologi Pancasila telah teruji mulai masa kemerdekaan hingga sekarang dalam menghadapi ancaman, tantangan dan kemajuan jaman, dimana Pancasila mampu menghadapinya dan sampai saat ini tidak diketemukan lagi ideologi yang tepat bagi bangsa Indonesia yang heterogen terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, adat, budaya dan lain-lain. Pancasila merupakan dasar penting dari cara hidupnya (way of life),common platform, integrating forcebangsa Indonesia sehingga posisi Pancasila sangat krusial bagi kelangsungan hidup bangsa. Namun pada kenyataannya pada saat ini baik di tingkat birokrasi pemerintah maupun di masyarakat, telah terjadi kemerosotan dalam pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.Untuk itu pada kepemimpinan nasional yang baru mendatang hasil pemilu Presiden secara langsung merupakan momentum yang tepat untuk melakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, sehingga diperlukan pemimpin nasional yang mau memikirkan ideologi Pancasila demi kemajuan bangsa Indonesia di masa datang.Sebelum lebih jauh kita masuk dalam konsep rejuvenasi maka perlu diketahui apa maksud dari Rejuvenasi Pancasila ? Seperti telah diuraikan diatas bahwa Pancasila pada masa orde baru telah terjadi kesalahan pemaknaan dari ideologi Pancasila itu sendiri, maka pada era reformasi yang didorong oleh arus globalisasi dan demokratisasi saat ini maka nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila perlu adanya peremajaan pemaknaan kembali nilai-nilai tersebut sesuai dengan nilai filosofi yang terkandung dalam Pancasila tanpa adanya pengaruh kekuasaan dan pembelokan pemaknaan untuk kepentingan politis para penguasa, sehingga pemaknaan tersebut murni dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.Pengaruh dari arus globalisasi dan demokratisasi yang melanda dunia termasuk di Indonesia, yang telah merubah sistem nilai maupun budaya serta kebiasaan umat manusia yang membawa manusia dalam dunia yang saat ini nyaris tanpa batas. Dari pengaruh globalisasi dan demokratisasi tersebut seakan-akan membuat ideologi makin tidak relevan dalam dunia baru yang global, begitu juga halnya di Indonesia apakah ideologi Pancasila masih relevan pada saat ini ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita perlu menengok apa sebenarnya ideologi Pancasila tersebut. Pancasila merupakan gagasan vital yang berasal dari kebudayaan bangsa Indonesia yang terkandung nilai-nilai benar yang diramu dari sistem nilai bangsa Indonesia sendiri yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.Perumusan Pancasila secara formal harfiah yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada hakekatnya merupakan suatu sistematisasi pandangan hidup bangsa Indonesia akan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, kepada siapa kita semua bertaqwa, keyakinan bahwa kita sebagai mahluk ciptaan-Nya dikaruniai harkat dan martabat yang sama, keyakinan bahwa dalam kehidupan dalam satu kelompok, keyakinan bahwa dalam kehidupan dalam satu keterkaitan kelompok itu segala sesuatu dipatuhi bersama, demi tercapainya keadilan. Kesatuan dan keutuhan unsur-unsur pandangan hidup seperti tersebut diatas yang merupakan makna yang terkandung dalam Pancasila. Oleh para pendiri negara (fouding fathers),Pancasila dimaksudkan sebagai dasar yang kekal dan abadi,filosofische grondslagbagi kehidupan bangsa Indonesia yang terangkai dalam pokok-pokok pikiran yang runtut, jelas, dan lengkap.Pancasila hanya mengatur pokok-pokok pikiran dasar hasil pemikiran dan sekaligus merangkum ciri-ciri atau kepribadian yang digali dari bangsa Indonesia sendiri dengan perkembangan yang terjadi dalam pemikiran dan kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dalam menghadapi kemajuan jaman, era globalisasi dengan demokratisasinya, gerakan reformasi di Indonesia, maupun kemajuan teknologi dan informasi, maka Pancasila masih tetap relevan sebagai ideologi bangsa Indonesia pada masa kini dan mendatang.Kepribadian suatu bangsa sebagaimana juga kepribadian seseorang, tidak mungkin terus saja sama dengan yang semula tanpa ada perkembangan. Memang dalam perkembangan itu ada yang bersifat asli atau permanen, unsur yang membuatnya berbeda dari yang lain. Namun disamping yang permanen, berkembang sifat-sifat hasil adaptasi atau pertumbuhan baru dalam diri sendiri. Kalau suatu bangsa tidak sanggup untuk memperkuat diri dengan menumbuhkan satu perkembangan dalam kepribadiannya, maka sangat disangsikan masa depannya dalam kehidupan umat manusia yang penuh perubahan. Memang merupakan tantangan bagi setiap bangsa untuk dapat menempuh jalan yang mulus dalam proses perkembangannya. Untuk menghadapi era globalisasi dan demokratisasi serta segala bentuk tantangan di masa mendatang, maka Pancasila perlu adanya rejuvenasi dan rehabilitas dalam hal pemaknaan dan pelaksanaan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.Upaya untuk melakukan rejuvenasi maupun rehabilitasi memang merupakan perjuangan yang sangat berat, karena upaya tersebut harus menghadapi ancaman dari agresifnya ideologi barat yang ingin menguasai bangsa Indonesia Kaum neo-imperalis barat, dalam hal ini AS telah mengkapanyekan bahwa ideologi liberalisme lebih unggul dan terbukti telah mampu membawa negara dan masyarakatnya dalam berbagai kemajuan. Selain itu juga menghadapi hambatan yang berasal dari dalam negeri yang berupa sinisme dari sebagian rakyat Indonesia, karena pengalaman masa Orde Baru Pancasila telah didiskreditkan dan dibelokkan oleh penguasa untuk melestarikan kekuasaan.[9]Mengembangkan ideologi Pancasila berarti memikirkan bagaimana Pancasila dapat menyambut masa yang akan datang. Hal ini dapat dimulai dengan melenyapkan dari pemikiran kita bahwa Pancasila yang diasumsikan pada sejarah dan tradisi bangsa Indonesia bersifat kuno, namun kita harus berpandangan bahwa Pancasila bersifat dinamis sehingga dapat mengikuti kemajuan jaman. Yang kedua adalah bahwa cara pandang yang mendasari Pancasila yang dirumuskan sebagai asas kekeluargaan diartikan kekerabatan sehingga sedikit banyak dianggap primodial. Sifat kekeluargaan berarti tidak bersifat perseorangan atau idividualistik, namun mencakup arti kebersamaan antar umat manusia.[10]Dewasa ini yang mendesak untuk dilakukan adalah mengadakan penjabaran konsepsional Pancasila ke dalam bidang-bidang kehidupan, sehingga Pancasila benar-benar nampak dalam sistem penyelenggaraan dan kebijaksanaan negara. Keterlambatan dan kelambanan dalam menjabarkan pedoman konsepsional ini, akan menimbulkan kekaburan orientasi dan membuka kesempatan bagi banyak orang untuk menyalahgunakan Pancasila dan bahkan bernaung di balik Pancasila untuk membenarkan tingkah lakunya yang tercela. Bagaimana penjabaran konsepsional itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya ? Suatu pertanyaan yang fundamental dan perlu dipikirkan sedalam-dalamnya, secara cermat dan tepat. Pendekatan yang dilakukan bukannya bersifat sektoral namun harus bersifat komprehensif, sehingga tidak dapat direduksi pada salah satu sektor atau bidang kehidupan, tetapi yang bersifat integral yaitu mengikutsertakan semua aspek dan bidang kehidupan manusia.Kemudian penjabaran konsepsional seharusnya dilaksanakan dengan langkah-langkah mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang konsepsional pula. Pemikiran-pemikiran dan nilai-nilai yang fundamental yang tepat dan relevan untuk diintegrasikan ke dalam kesatuan ideologis Pancasila, terutama dalam menghadapi tantangan masa depan. Ideologi Pancasila dijabarkan secara rasional dan kritis sehingga harus mampu membuka iklim hidup yang bebas dan rasional. Demikian pula ideologi tidak boleh bersifat mutlak (absolutisme) dan mengakui memiliki kebenaran tidak secara eklusif, sehingga bisa peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri dari nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna positif bagi pembinaan budaya bangsa.Hal tersebut menunjukkan bahwa Pancasila bersifat dinamis yakni memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan atau peremajaan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat.[11]Setelah kita megerti kedudukan dan pentingnya ideologi bangsa Indonesia Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun keberadaan Pancasila pada saat ini di era globalisasi dan demokratisasi maka dapat merumuskan konsep untuk melakukan rejuvenasi dan rehabilitasi Pancasila sebagai berikut :Menjadikan Pancasila sebagai wacana publik sehingga secara langsung maupun tidak langsung rakyat Indonesia tidak lagi alergi dengan ideologinya sendiri, sehingga diperoleh pemikiran dan masukan untuk menghasilkan pemaknaan Pancasila secara murni tanpa adanya motif politik dan kepentingan lainnya.[12]Untuk mewujudkan Pancasila sebagai wacana publik diperlukan sosok pemimpin nasional yang menaruh perhatian khusus terhadap ideologi Pancasila, bermoral, beretika, berjiwa patriot, tegas, demokratis, sehingga ideologi Pancasila mampu menjadi pemersatu bangsa dan mengantar negara dan bangsa Indonesia yang maju.Kepemimpinan nasional tersebut diatas harus di dukung oleh jajaran kabinetnya dan secara hierarkis kebawah, untuk dapat menaruh perhatian khusus terhadap ideologi Pancasila guna mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan.Pemimpin nasional hasil pemilu tahun 2004, perlu mengeluarkan kebijakan khusus untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan.[13]Bidang pendidikan diperlukan perhatian khusus, untuk meningkatkan moral dan akhlak bangsa Indonesia yang telah mengalami degradasi baik pengaruh dari luar maupun dari dalam negeri efek dari kebebasan dan informasi dunia.Pemerintah berani menangkal segala bentuk pengaruh maupun ancaman ideologi asing yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila, karena Indonesia mempunyai ideologi tersendiri dan ideologi asing tidak tentu relevan terhadap bangsa Indonesia yang mempunyai berbagai keragaman.IV. IMPLEMENTASI DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA DAN BERMASYARAKATSetelah perang dingin usai permasalahan yang dihadapi dunia secara umum dan oleh bangsa Indonesia khususnya justru semakin komplek, walaupun secara perhitungan kasar yang semula terdapat dua kubu kekuatan yang berpengaruh dan saat ini hanya satu kekuatan tetapi bentuk ancaman terhadap ketahanan khususnya idiologi yang dianut suatu bangsa tidak kemudian menjadi kecil tetapi justru yang