arsitektur tradisional jawa - paper 2

Upload: nusantara-knowledge

Post on 20-Feb-2018

275 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    1/26

    ii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR........................................................................................................................i

    DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................................1

    1.2 TUJUAN ..................................................................................................................................1

    1.3 RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................1

    1.4 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................................1

    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 POINT-POINT DALAM ARSITEKTUR JAWA..............................................................................2

    2.2 TIPE-TIPE RUMAH ARSITEKTUR JAWA ...................................................................................3

    2.3KOMPOSISI DAN LINGKUNGAN RUMAH TEMPAT TINGGAL .....................................18

    2.3.1 KAWERUH GRIYA....................................................................................................21

    III PENUTUP

    3.1 KESIMPULAN.............................................................................................................24

    3.2 SARAN ......................................................................................................................24

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    2/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (kejawen) sering dianggap oleh kalangan lain

    sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitive, walaupun sebenarnya

    karena faham-fahjam itulah mereka kemudian dikatakan mempunyai sifat-sifat khusus.

    Hubungan antara sesama manusia didasarkan pada dua motif , hubungan antara

    kawula lan Gusti (Hamba dan Majikan) dan hubungan yang nantinya akan menyebut dirinya

    dengan ingsun (saya untuk kaum bangsawan). Hubungan manusia dengan alam sekitarnya

    didasarkan pada anggapan bahwa eksistensi (Hidup) dalam kosmos alam raya dipandang sebagaisuatu yang tersususn teratur secara hierarki.

    Kehidupan manusia dalam lingkungan budaya Jawa pada dasarnya dinyatakan dengan

    berlandaskan pada empat areal atau lingkup keyakinan yaitu, kepercayaan, ikatan sosial,

    ekspresi pribadi (kepribadian), dan permasalahan (makna). Keempat hal; tersbut akan

    berpengaruh terhadappola piker, prbuatan, dan karyanya. Dalam karya , di dalanya berlaku pula

    keberadaan lingkungan buatan atau tempat tinggal atau rumah tinggal atau karya arsitektur

    sebagai bagian dari kehidupan budaya.

    1.2 Tujuan

    Untuk lebih memahami unsur-unsur tradisional yang terkandung pada bangunan-bangunan

    modern khususnya arsitektur Jawa.

    1.3 Rumusan Masalah

    1. Apa sajakah point-point dalam arsitektur Jawa?

    2. Apa saja tipe rumah pada arsitektur Jawa?3. Apa sajakah komposisi arsitektur tradisional Jawa?

    1.4 Tinjauan Pustaka

    Perolehan atau pengumpulan data adalah berdasarkan pencarian data dan contoh bangunan

    lewat literatur ataupun internet.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    3/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    2

    BAB II

    P EMBAHASAN

    2.1 Point-Point Dalam Arsitektur Jawa

    Landasan membangun yang digunakan dalam arsitektur Jawa adalah manunggali

    kawula lan Gusti dan Golong Gilig menjadi acuan untuk landasn pembangunan, bahkan dapat

    lebih luas dan mendalam sebab dari sudut:

    a) Lingkup, meliputi spiritual sampai fisik

    b) Jangkauan, meliputi makro sampaiu mikro

    c) Kedalaman, meliputi lahir sampai batin

    d) Pemaknaan, meliputi logic sampai simbolik

    e) Pemahaman, meliputi ontologism sampai axiologis

    f) Operasional, kebijakan sampai pelaksanaan

    Landasan pembangunan kebudayaan tidak tampak dengan jelas dalam rumusan kinerja

    pembangunan. Selain itu kehidupan dalam system adat jawa tidak lagi berpengaruh aktif dalam

    dalam tiap-tiap aspek dalam kehidupan social.ekonomi dan kebudayaan.

    Gmb. 1 omah

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    4/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    3

    2.2 Tipe Rumah Arsitektur Jawa

    Di dalam masyarakat Jawa, baik sebagai sentana, abdi maupun kawula dalem, walaupun

    tidak tertulis, secara tradisional tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap pranata-

    pranata sosial masyarakat. Misalnya tata aturan sopan santun, tingkah laku, gaya hidup, tata cara

    pergaulan dan rumah tempat tinggal pun termasuk dalam aturan tersebut dan dibuat secara

    hierarkis.

    Dalam interaksi sosial, misalnya kawula dalem sering merasa sulit untuk dapat bergaul

    secara bebas dan langsung dengan sentana atau abdi dalem tingkat tinggi. Di lain pihak para

    sentana dan abdi dalem tersebut sering bertindak mempertinggi diri dan menjaga ketertiban

    stratifikasi sosial secara ketat.

    Gmb. 2 Rumah Jawa

    Dalam suasana kehidupan feodal, sebagai raja, misalnya tidak dbenarkan membangun

    rumah tempat tinggal (dhatulaya, istana) dengan menggunakan bangun sinom mangkurat untuk

    Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau joglo atau kampung tetapi sebaliknya menggunakan

    bangun sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau joglo hanyalah untuk

    bangunan pelengkap saja, misalnya untuk kantor, pertemuan, perlengkapan, paseban dan

    sejenisnya. Bagi golongan ningrat (bangsawan sentana dalem) dan abdi dalem derajat tertentu

    berhak membuat rumah tempat tingga; dengan bentuk limasan, sinom, ataupun joglo. Sedangkan

    untuk bangunan pelengkap boleh membuat bangun rumah yang lain yang tingkatannya lebih

    rendah, misalnya daragepak, sethong, kalabang nyander, dan sebagianya (Narpawandawa,

    1935:91-94).

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    5/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    4

    Aturan tersebut didasarkan pada kedudukan sosial pemiliknya yang merupakan simbol

    ststus bagi pemiliknya golongan raja, jogiswara, abdi dalem dan sentana dalem termasuk strata

    atas. Golongan ini dianggap sebagai golongan penguasa dan bahkan suci, maka bangunan

    bangunan rumah tempatnya harus meniru bangunan suci; tinggi (seperti gunung suci); besar

    (seperti dunia yang luas);bersekat-sekat seperti candi, pura atu bangunan suci lainnya (ada

    tempat-tempat yang profan, sakral dan paling sakral). Bentuk bangunan rumah dikompleks istana

    (dhatulaya) dalam batas-batas tertentu boleh dicontoh oleh para sentana dan abdi dalem, tetapi

    dilarang bagi kawula dalem.

    Gmb. 3 Rumah Jawa Type Limas

    Gmb. 4 Rumah Jawa Type Joglo

    Kita ketahui bahwa bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yaitu: panggung

    pe, kampung, limasan, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya, jenis tersebut

    berkembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat Jawa, hanya bangunan dasarnya masih

    tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut (Narpawandawa, 1937-1938).

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    6/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    5

    Gmb. 5 Keraton Jogja

    Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan ukuran, kondisi perawatan

    rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah, yang

    dikaitkan dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya

    ikut berperanan. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum

    membuat rumah dipetang (diperhitungkan) dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak pintu utama

    rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah, ukuran dan bengunan rumah yang akan dibuat,

    dan sebagainya. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan

    membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu bensa-benda tertentu yang disajikan

    untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha

    pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    7/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    6

    Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan

    kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah adat

    Jawa sebagai berikut.

    Bangunan model/bentuk Panggung dalam perkembangannya terdapat bangunan

    Panggung Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet, Empyak

    Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung berkembang

    menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang Nyander,

    Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere Gancet Semar

    Tinnadhu, Cere Gancet

    Semar Pinondhong,

    dan sebagainya.

    Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan,

    Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan,

    Apitan, Pacul Gowang, Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar

    Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung Rangka Usuk

    Ngambang, dan sebagainya. Dari perkembangan bangunan rumah Joglo terdapatlah bangunan

    Gmb. 6 Inetrior Joglo

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    8/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    7

    rumah Joglo, Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jampongan,

    Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan sebagainya. Dari

    jenis tajug dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug (biasa untuk rumah

    ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug lambang gantung, tajug

    semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambnag

    gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya (Narpawandawa 1936-1936).

    Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk

    musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau binatang ternak (kandang,

    gedhongan, kombong), untuk alat-alat (gudang) dan sebagainya (Gatut Murdiatmo, 1979/1980;

    Koentjaraningrat, 1971; almanak Narpawandawa, 1935-1938; Sugiyanto Dakung, 1982/1982;

    Radjiman, 1986.

    Joglo

    Rumah Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini

    disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal

    daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa

    rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya

    diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang

    terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah joglo digunakan oleh segenap

    lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan dan kantor-

    kantor.

    Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah

    bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga

    membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan

    perlu diperbaiki.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    9/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    8

    Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh,

    terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan

    seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus

    memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya

    secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu

    kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan

    sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya

    menjadi melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya.

    Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini

    mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar

    bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas

    makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman

    sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian

    samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan. Selain itu bentuk denah juga mengalami

    perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar

    tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi.

    Dari perubahan-perubahan tersebut timbulah bentuk-bentuk rumah joglo yang beraneka

    macam dengan namanya masing-masing. Adapaun, jenis-jenis joglo yang ada, antara lain : joglo

    jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom

    apitan, joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo

    wantah apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat.

    Gmb. 7 Denah dan potonganJoglo

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    10/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    9

    Bagian-bagian dari rumah joglo:

    1.PendopoPendopo merupakan bangunan terdepan dari rumah joglo yang berfungsi sebagai tempat

    menerima tamu atau tempat mengadakan upacara-upacara adat. Pada umumnya pendopo

    selalu terbuka atau tidak diberi dinding penutup. Kalaupun memakai penutup, maka yangdigunakan adalah dinding dari kayu yang mudah dibuka atau gebyok. Secara filosofis, hal ini

    menggambarkan adanya prinsip keterbukaan yang dianut oleh tuan rumah.

    2.SentongBagian ini pada prinsipnya digunakan sebagai tempat tidur. Tetapi sebelum orang tua

    menikahkan anaknya, maka pintu sentong akan selalu tertutup atau terkunci. Sentong barudibuka atau dipakai untuk tidur setelah anaknya dinikahkan. Sentong ini terbagi menjadi tiga

    yaitu:

    Sentong Tengen ( Kanan )

    Sentong Tengen dipergunakan sebagai tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah

    dinikahkan.

    Sentong kiwo ( Kiri)Sentong ini merupakan tempat tidur bagi anak perempuan yang telah dinikahkan.

    Sentong TengahSentong Tengah disebut juga Petanen, Pasren, Pedaringan atau Krobongan. Sentong

    ini dianggap sakral dan digunakan untuk pemujaan. Masyarakat Jawa yang mayoritas

    Gmb. 8 Denah Joglo Semar Tinandu Gmb. 9 Potongan Joglo Semar Tinandu

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    11/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    10

    menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian, percaya bahwa Sentong Tengahadalah tempat bersemayamnya roh nenek moyang yakni Dewi Sri sebagai Dewi

    Kesuburan. Karena dianggap sakral, maka tidak sembarangan orang boleh

    memasukinya kecuali ada keperluan. Orang yang masuk sentong inipun harus hati-hati dan bersifat menghormati tuan rumah dalam hal ini Dewi Sri. Di sentong tengah

    ini diletakkan tempat tidur atau kantil lengkap dengan bantal guling, cermin dan

    sisir. Selain itu ada lampu minyak yang selalu menyala, baik di siang hari maupun

    malam hari.

    3.Gandok

    Gandok merupakan bangunan yang terletak di samping (pavilium). Biasanya menempeldengan bangunan bagian belakang. Arah membujur gandok melintang pada rumah belakang.

    Gandok berfungsi sebagai tempat penyimpanan perabot dapur, ruang makan dan terkadang

    berfungsi sebagai dapur.

    4.Pringgitan

    Pringgitan merupakan bangunan yang biasanya terletak di antara pendopo dan dalem.Bangunan ini dipakai untuk pementasan wayang/ ringgit.

    5.KuncungKuncung adalah bangunan yang terletak di samping atau depan pendopo yang berfungsi

    sebagai tempat bersantai misalnya minum teh atau membaca koran.

    6. Pawon

    Pawon merupakan bagaian dari suatu rumah joglo yang dipergunakan sebagai tempat untuk

    memasak.

    Rumah Panggangpe

    Rumah panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan

    merupakan bentuk bangunan dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan pertamayang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan.

    Ciri-ciri dari rumah tradisional jawa bentuk panggang pe adalah sebagai berikut :

    Bangunannya berbentuk sederhanaMempunyai bentukpokok berupa tiang atau saka sebanyak 4 atau 6 buah.

    Pada bagian sisi sekelilingnya diberi dinding yang hanya sekedar untuk menahan hawa

    lingkungan sekitar atau dapat dikatakan sebagai bentuk perlindungan yang lebih bersifat

    privat dari gangguan alam.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    12/26

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    13/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    12

    keyong. Rumah ini kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang jawa menyebutnyadesa. Kampung berarti desa. Pada masa lalu rumah bentuk kampung merupakan tempat

    tinggal yang paling banyak ditemukan. Sehingga ada sebagian masyarakat yang berpendapat

    bahwa rumah kampung sebagian besar dimiliki oleh orang-orang desa yang kemampuanfinansial/ ekonominya berada di bawah.

    Rumah bentuk kampung dapat dibedakan menjadi:

    1. Rumah Kampung Pokok

    Merupakan rumah dengan dua buah atap persegi panjang yang ditangkupkan.

    2. Rumah Kampung Pacul GowangAdalah Rumah Kampung yang beratap emper pada salah satu sisi panjang, sedangkan sisi

    lain tanpa atap emper.

    3. Rumah Kampung Dara GepakRumah Kampung yang beratap emper pada keempat sisinya.

    4. Rumah Kampung Gotong MayitRumah Kampung bergandengan tiga buah pada sebuah blandar sesamanya.

    5. Rumah Kampung Klabang NyanderRumah Kampung bertiang lebih dari delapan buah atan berpengerat lebih dari empat buah.

    6. Rumah Kampung Apitan

    Rumah Kampung dengan ander satu buah di tengahtengah molo.

    7. Rumah Kampung Lambang Teplok Semar Tinandu

    Disebut Lambang Teplok karena penghubung atap brunjung dan atap penanggap masih

    merupakan satu tiang. Disebut Semar Tinandu karena tiang penyangga di atas bertumpu padabalok blandar yang ditopang oleh tiang-tiang di pinggir atau tiang-tiangnya tidak langsung

    sampai ke dasar rumah.

    8. Rumah Kampung Gajah Ngombe

    Rumah Kampung dengan sebuah atap emper pada salah satu sisi samping.

    9. Rumah Kampung Gajah NjerumMerupakan Rumah Kampung dengan tiga buah emper terdiri dari dua atap emper di mukadan belakang dan sebuah lagi pada sisi samping. Sedangkan sisi samping yang lain tidak

    diberi atap emper.

    10. Rumah Kampung Lambang TeplokRumah Kampung yang mempunyai renggangan antara atap brunjung dan atap penanggap,

    tetapi kedua jenis atap dihubungkan dengan tiang utama.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    14/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    13

    11. Rumah Kampung Cere GencetRumah Kampung bergandengan terdiri dari dua buah. Misalnya pada atap emper atau

    sebuah blandar sesamanya

    12. Rumah Kampung TrajumasRumah Kampung bertiang enam buah atau mempunyai tiga buah pengerat sehingga rumah

    ini terbagi dua, masing-masing bagian disebut rongrongan.

    13. Rumah Kampung Semar Pinondong

    Rumah Kampung dengan tiang-tiang berjajar di tengah menurut panjangnya rumah. Atapditopang balok yang dipasang horisontal pada tiang tersebut.

    Gmb. 11 Rumah Kampung

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    15/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    14

    Rumah Tajug

    Rumah Tajuk tidak dipakai sebagai rumah tinggal, melainkan dipakai sebagai rumah

    ibadah. Ciri-ciri rumah Tajuk adalah pada langgar tanpa pananggap berkeliling serta payonnyagathuk (bertemu-beradu). Rumah ini mempunyai denah bujursangkar, dan bentuk inilah yangmasih mempertahankan bentuk aslinya hingga sekarang.

    Berikut merupakan jenis-jenis dari rumah tajug :

    1.Tajug Tawon BoniTajug dengan denah bujur sangkar memakai kepala gada tanpa ander penyangga puncak.

    2.Masjid dan cungkupRumah ini pada umumnya bertiang empat buah dan kapnya seperti Rumah Limasan Empyak

    Setangkep.

    3.Tajug Semar Sinongsong

    Rumah ini bertiang satu seperti payung.

    4.Masjid Payung Agung/ Meru

    Biasanya bertingkat lebih dari dari tiga. Pada tingkat kedua masih disangga oleh tiang utama.Sedangkan tiang berikutnya disangga tingkat sebelumnya.

    5.Tajug Lambang SariTajug ini memakai kepala gada, antara brunjung dan atap penanggap terdapat renggangan

    yang dihubungkan dengan balok yang disebut lambang sari.

    6.Tajug Tiang Satu Lambang Teplok

    Rumah yang memakai penguat bahu danyang, brunjung diangkat ke atas sedang atap

    penanaggap merenggang dengan atap brunjung.

    7.Tajug Lambang Gantung

    Adalah rumah yang memakai soko bentung sebagai penggantung atap penanggap pada atapbrunjung.

    8.Masjid LawakanBentuknya hampir sama dengan Rumah Limasan Atap Setangkep tetapi ditambah atap

    penanggap.

    9.Tajug Semar Tinandu

    Adalah rumah yang brunjungnya tidak ditopang langsung oleh satu tiang, tetapi tiang-tiangmenyangga balok-balok yang mengangkat brunjung.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    16/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    15

    10.Tajug CeblokanAdalah Tajug yang tiangnya tertanam dalam tanah, atapnya teplok yaitu tidak memakai tiang

    bentung kecualai atap pengapit memakai lambangsari.

    11.Tajug MangkuratAdalah rumah yang memakai tumpangsari, uleng, tiang bentung dan lambangsari.

    12.Tajug Lawakan Lambang Teplok

    Rumah yang brunjungnya secara langsung disangga tiang utama.

    13.Masjid Lambang Teplok

    Adalah rumah dengan tiang utama langsung ke atas menyangga brunjung atap paling atasdan memakai sebuah ander sampai dada peksi pada tingkat kedua.

    14.Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung/ Masjid Soko TunggalRumah ini bertiang satu dengan bahu danyang, memakai lambang gantung sebagai

    penggantung dan penanggap pada brunjung.

    15.Tajug Semar Sinom TinanduDisebut Semar Tinandu karena letak atap penanaggap lebih tegak dibandingkan dengan atap

    penanggap tajug-tajug lain. Disebut Semar Tinandu karena atap penanggap dan brunjungtidak disangga langsung oleh tiang utama tetapi dipikul oleh tiang-tiang yang berderet di

    pinggir memakai lambangsari.

    Rumah Limasan

    Rumah Limasan merupakan salah satu bentuk rumah tradisional jawa yang

    dipergunakan sebagai tempat tinggal, khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa

    daerah di Jawa barat serta pesisir pantai utara dan selatan.

    Ciri-ciri rumah Limasan :

    Dinamakan Limasan, karena jenis rumah tradisional ini mempunyai denah empat persegi

    panjang atau berbentuk limas.

    Pada masa lalu rumah jenis ini kebanyakan dimiliki oleh masyarakat dengan status

    ekonomi menengah.

    Terdiri dari empat buah atap, dua buah atap bernama kejen/ cocor serta dua buah atap

    bernama bronjong yang berbentuk jajaran genjang sama kaki. Kejen berbentuk segi tiga

    sama kaki seperti enam atap keyong, namun memiliki fungsi yang berbeda. Pada

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    17/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    16

    perkembangan selanjutnya rumah limasan diberi penambahan pada sisi-sisinya yang

    disebut empyak emper atau atap emper.

    Sistim dari kostruksi bangunannya dapat dibongkar pasang (knock down) tanpa merusakkeadaan rumah tersebut.

    Menggunakan material kayu jati secara keseluruhan pada sistem konstruksinya.

    Selain dari Kontruksi utamanya yang terbuat dari kayu, konstruksi dinding pengisi juga

    terbuat dari lembaran kayu solid dengan bukaan-bukaan jendela yang juga terbuat dari

    kayu.

    Rumah Limasan dapat dibedakan menjadi:

    1. Rumah Limasan CeblokanRumah Limasan yang sebagian tiangnya (ujung bawah) terdapat bagian terpendam. Bentuk

    ini semata-mata dapat dilihat dari cara bertumpunya tiang.

    2. Rumah Limasan Klabang NyanderRumah Limasan yang mempunyai pengeret lebih dari empat buah sehingga kelihatan

    panjang. Bentuk rumah ini semata-mata dilihat banyaknya pengeret dan tiang (tengah) sertasusunan tiang.

    3. Rumah Limasan Apitan

    Adalah Rumah Limasan bertiang empat dengan sebuah ander yang menopang molo di tengah-

    tengahnya.

    4. Rumah Limasan LawakanAdalah semacam Rumah Limasan Klabang nyander, susunan tiangnya seperti Limasan

    Trajumas yang diberi atap emper pada keempat sisinya.

    5. Rumah Limasan Pacul GowangAdalah Rumah Limasan memakai sebuah atap emper terletak pada salah satu sisi

    panjangnya, sedangkan pada lainnya diberi atap cukit (atap tritisan) dan sisi sampingdengan atap trebil.

    6. Rumah Limasan Gajah MungkurRumah Limasan yang memakai tutup keong pada salah satu sisi pendek, sedangkan sisi

    lainnya memakai atap kejen. Bentuk ini sering diberi atap emper tetapi pada sisi yang

    memakai tutup keong tidak diberi atap emper. Sehingga bentuknya setengah limasan dansetengah kampung.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    18/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    17

    7. Rumah Limasan Gajah NgombeAdalah Rumah Limasan memakai sebuah empyak (atap) emper terletak pada salah satu sisi

    samping (sisi pendek), sedangkan sisi lainnya memakai trebil dan kedua sisi panjang diberi

    cukit atau atap tritisan.

    8. Rumah Limasan Gajah Njerum

    Merupakan Rumah Limasan yang memakai dua buah atap emper pada kedua sisi panjangdan sebuah atap emper pada salah satu sisi samping (sisi pendek). Sedangkan sisi lainnya

    memakai atap trebil.

    9. Rumah Limasan Semar TinanduRumah Limasan dengan dua buah tiang berjajar pada memanjangnya rumah dan terletak di

    tengah-tengah. Jika ada empernya maka diberi tiang emper. Bentuk ini biasanya untukregol / pintu gerbang atau los pasar.

    10. Rumah Limasan BapanganRumah limasan yang panjang blandarnya lebih panjang dari pada jumlah panjang pengeret

    biasanya memakai empat buah tiang.

    11. Rumah Limasan Cere Gancet

    Rumah Limasan ini dapat bergandengan pada salah satu emper masing-masing atau

    bergandengan/ memakai salah satu blandar sesamanya. Jika bergandengan pada salah satublandar sesamanya disebut Rumah Limasan Kepala Dua.

    12. Rumah Limasan Gotong Mayit

    Rumah Limasan bergandengan tiga, baik bergandengan pada blandar sesamanya atau padaatap emper sesamanya.

    13. Rumah Limasan Lambangsari

    Rumah Limasan yang memakai lambangsari / balok pengandeng atap brunjung dan atappenanggap.

    14. Rumah Limasan Semar TinanduRumah Limasan Tinandu terdapat pada Masjid Besar Yogyakarta, bila dilihat dari depan

    (pintu gerbang). Tiang utama tidak kelihatan

    15. Rumah Limasan Semar PinondongPindong artinya digendong. Pada dasarnya rumah ini sama dengan Rumah Limasan Semar

    Tinandu, tetapi pada bentuk ini diberi penyangga yang disebut bahu danyang.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    19/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    18

    Gmb. 12 Rumah Limasan

    2.3 Komposisi dan Lingkungan Rumah Tempat Tinggal

    Yang dimaksudkan dengan komposisi rumah ialah susunan dan pengaturan cetak

    bangunan lain terhadap bangunan rumah tempat tinggal (induk). Sedangkan yang dimaksud

    dengan lingkungan di sini ialah rumah tempat tinggal dan rumah-rumah kelengkapan dengan tata

    susunannya dalam suatu rumah tangga sebuah keluarga

    Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri daribeberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur,

    istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan

    lain dai keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhapa, terletak di depan

    rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah buri) digunakan

    untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan.

    Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang

    bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Dalam pertunjukan

    tersebut tamu laki-laki ditempatkan di pendapa, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah

    belakang. Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa, misalnya

    Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    20/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    19

    Bagi warga masyarakat umum (kawula dalem) yang mampu, disamping bangunan rumah

    tersebut, tempat tinggalnya (rumah) masih dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung,

    tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan

    Pringgitan. Letaknya agak berjauhan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang

    (omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri

    atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang

    terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang, untuk tempat binatang

    ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar

    disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda

    disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang

    diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas. Gedhongan biasanya

    menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di

    sebelah kiri agak jauh dari pendhapa.

    Gmb. 13 Denah Bangunan Utama Dalam Ling. Temp Tinggal

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    21/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    20

    Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping

    kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk

    markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya.

    Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil

    ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian

    pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya

    untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa.

    Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.

    Demikian sedikit variasi bangun rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga. Hal

    tersebut sangat bergantung pada kemampuan keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat

    tinggal orang Jawa adala rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan),

    lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya.

    Besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat menurut selera serta harus diingat status sosial

    pemiliknya didalam masyarakat.

    Gmb. 15 Joglo Modern Gmb. 14 Joglo

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    22/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    21

    2.3.1 KAWRUH GRIYA

    Di sekitar pergantian dari abad 19 ke abad 20 sejumlah naskah yang berkenaan dengan

    arsitektur Jawa telah dihadirkan dalam bentuk tulisan tangan. Naskah-naskah yang berragam itu

    memiliki

    judul naskah yang juga berbeda-beda, namun di kalangan pengkaji arsitektur Jawa dikenal secara

    umum sebagai `Kawruh Kalang' dan `Kawruh Griya',

    Masyarakat Jawa disusun atas dasar kedudukan sosial, teritorial, komunal, dan religius.

    Dasar tersebut dalam proses pembentukan masyarakat Jawa akan terpancar dalam ciri-ciri dasar

    masyarakat Jawa yang tetap mereka pertahankan dan mereka lestarikan keberadaannya dalam

    wujud pandangan dunia orang Jawa. Pandangan dunia dimaksudkan sebagai keseluruhankeyakina deskriptif tentang kenyataan suatu kesatuan antara alam, masyarakat, dan alam gaib,

    yang daripadaNya manusia memberi suatu struktur yang bermakna bagi pengalamannya. Bagi

    orang Jawa, baik sebagai individual maupun anggota masyarakat, realita itu tidak dibagi-bagi

    secara terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sam lain, melainkan ia dilihat sebagai satu

    kesatuan yang menyeluruh.

    Gmb. 16 Interior

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    23/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    22

    Bagi orang jawa dunia masyarakat dan dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati bukanlah tiga bidang

    yang berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan

    merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak membedakan antara

    sikap religius atau tidak religius dan interaksi-interaksi sosial religius, tetapi tetapi ketiganya

    merupakan penjabaran manusia Jawa tentang sikapnya terhadap alam, seperti halnya sikap alam

    yang sekaligus mempunyai relevansi sosial. Di sini antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada

    perbedaan yang hakiki (Mulder, 1975:36).

    Tolok ukur anti pandangan dunia orang Jawa adalah nilai pragmatisme atau kemanfaatannya

    untuk mencapai keadaan senang, tenteram dan seimbang lahir dan batin antara dunia sini dengan

    dunia sana. Oleh karena itu, apabila kita membicarakan pandangan dunia orang Jawa tidak

    terbatas pada bidang agama, kepercayaan dan mitos, melainkan juga sistem pertanian, perayaan

    pameran, kehidupan keluarga Jawa, seni dan budaya Jawa, sistem tempat tinggal dan lingkungan

    tempat tinggal mereka.

    Dari Kawruh Griya-Slamet Soeparno (G-Sla)

    Bangunan "regol" (gapura), asalnya dari kata "rigol" juga "parigolan", dimaksudkan

    sebagai pengetrapan tata-krama/tata-susila antara muda kepada tua, antara kecil kepada yang

    besar. "Parigolan" adalah batas pemberhentian dari kendaraan, atau membuka/menutup payung,

    topi, atau turunnya dari pendapa ke "regol". Hormat kepada tamu lebih tua atau tinggi

    derajat/pang-katnya. Turunnya dari tempat atau kendaraan itu diumpamakan "rigol" (rigol =

    jatuh). Adapun "dapur" dalam bahasa Jawa adalah "pawon". Bangunan dapur atau "pawon" ini

    disebut karena penggunaannya "pawon" atau dapur adalah tempat memasak. Untuk memasak ini

    mempergunakan kayu bakar, maka dengan sendirinya akan terdapat "abu" yang dalam bahasa

    Jawa "awu". "Paawon" atau "pawon" artinya tempat "awu" (tempat abu) lalu disebut "pawon"

    yang dalam bahasa Indonesia "dapur". "GANDHOK"; Bangunan yang berhubung- an tritisnya

    (overstek) dengan bangunan belakang. Jadi "gandhok' artinya "gan- dheng", tetapi bangunannya

    sendiri juga mempunyai nama menurut modelnya. "LUMBUNG"; mengambil kata dari burung-

    burung yang terbang bergerom- bolan, dalam bahasa Jawa disebut "alalumbungan". Jadi

    mengatur padi dalam lumbung itu juga bergerombol ditumpuk/ disusun bulat ke atas. Pada

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    24/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    23

    umumnya bangunan lumbung itu dengan model "taju" dengan beratap kampung, jadi

    dihubungkan memakai "tutup keyong", pada bagian bawah (lantai berongga). "KANDHANG",

    disebabkan alat-alatnya dengan palang-palang atau dari bahasa Jawa "kahadhang-hadhang"

    (dihalang- halangi). "GEDHOGAN" atau gedhogag", atau "gedhugag". "Gedhogan" adalah

    kandang kuda. Kepercayaan orang, kuda adalah binatang piaraan yang paling berharga sendiri,

    atau "gegedhug"nya binatang piaraan. "Gegedhug" berarti paling tinggi, paling atas dan bagi

    orang pandai adalah "empu". Kuda disebut juga "turangga" atau "turaga", "satu-raga". Pada

    waktu per- tempuran dengan musuh tidak usah dikendalikan, diibaratkan "raganya" sudah

    bersatu dalam suka dan duka. "Kuda", atau "jaran" dalam bahasa Jawa, bahasa halusnya adalah

    "kapal", ini berasal dari kata "kaapal" (sudah diapalkan/diketahui). Dari K-Sla terlihat bahwa

    penerjemah me- ngalami kesulitan untuk mengindonesiakan `griya' yang mengawali bangunan-

    bangunan `griya-regol, griya gandhok, griya pawon' dan seterusnya. Dari Kawruh Griya

    berbahasa Jawa menjadi jelas bahwa `griya' dan `omah' tidak dapat dengan segera dimengerti

    dan diindone- siakan atau diterjemahkan menjadi rumah'. Griya atau omah memang di satu sisi

    dapat dimengerti sebagai rumah, tapi di sisi yang lain tidak dapat dimengerti sebagai rumah.

    Dalam wilayah bahasa Jawa baru, kata `griya' dan `omah' adalah sama artinya,

    hanya\penggunaannya yang berbeda. Kata griya menunjuk pada tingkatan atau tataran kramasedangkan kata omah digunakan dalam tingkatan atau tataran krama-ngoko.

    Kawruh Griya ditegaskan bahwa sebutan- sebutan itu harus dengan tepat digunakan bagi

    pengukuran jenis bangunan, bukan digunakan untuk membuat tipe atap tertentu. Membangun

    rumah tinggal, lalu bagaikan menanam pohon; sedangkan membuat atap adalah bagaikan

    menghadirkan hiasan kepala. Keadaan ini pulalah yang mungkin menjadi penyebab mengapa

    redaksi Kawruh Griya terkelompokkan ke dalam dua redaksi utama. Redaksi pertama adalah

    yang meletakkan penjelasan sebutan hitungan dalam pasal yang menerangkan tentangpengukuran kerangka utama bangunan (tiang-utama/sakaguru dan balok/blandar); sedangkan

    pada redaksi kedua menempatkannya pada penghitungan banyaknya usuk atap bangunan. Kalau

    pada redaksi terdahulu dipakai anggapan di mana membangun rumah adalah bagaikan menanam

    pohon; maka dalam redaksi kedua penekanannya adalah membangun atap itu adalah bagaikan

    membuat dan memasangkan hiasan kepala.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    25/26

    Arsitektur Nusantara-Jawa 2009

    24

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 KESIMPULAN

    Rumah tradisional jawa merupakan salah satu kekayaan arsitektur nusantara yang patut

    dilestarikan. Rumah ini digolongkan menjadi 5 bagian yaitu, panggangpe, limasan, joglo, tajug,dan kampung. Masing-masing rumah memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai

    dengan status sosial kepemilikan dan kedudukan pemiliknya dalam lingkungan masyarakat.

    Tiap-tiap rumah diatas juga memiliki jenis-jenis rumah yang beraneka ragam pula. Bentuk fisik

    dari rumah adat jawa ini sangatlah sederhana dengan bentuk serupa yaitu bujursangkar, dandengan atap berbentuk limasan. Selain itu, rumah ini juga terdiri dari saka-saka yang

    menopangnya.

    3.2 SARAN

    Rumah-rumah tradisional di negara indonesia ini sudah semakin mengalami

    perkembangan yang semakin mengikuti jaman. Unsur-unsur budayanya pun sedikit demi sedikit

    mulai pudar. Rumah tradisional jawa ini merupakan salah satu kekayaan arsitektur nusantara,maka dari itu kita sebagai warga negara indonesia sudah sepatutnya harus melestarikan

    kebudayaan indonesia dalam bidang arsitektur pada khususnya. Contoh yang riil ada ada pada

    pembangunan replika-replika rumah adat tiap-tiap provinsi di kawasan Taman Mini IndonesiaIndah. Hal ini dapat kita tiru agar generasi berikutnya masih menikmati warisan-warisan

    leluhurnya.

    3.3 PRESENTASI

    Presentasi pada : Sabtu, 16 Mei 2009

    Tempat : Kampus Sudirman

    Dosen saat presentasi : Ir. Tjok Sajang Putra

    Keterangan : Tidak ada sesi tanya jawab

    Banyaknya bentuk rumah merupakan variasi dari bentuk dasar atau bentuk awal. Rumah-rumah tradisional yang megah adalah variasi yang mewah dari variasi bentuk asal dengan atau

    tanpa penerapan arsitektur asing. Sebagia contoh yang memiliki rumah mewah adalah mereka

    yang memiliki jabatan dalam masyarakat biasanya adalah yang berkedudukan sebagai pemimpin.Rumah mereka banyak dihiasi oleh ornamen. Contoh-contoh lain yang dianggap sebagai rumah

    tradisional yang megah adalah kraton Jogja dan Solo karena disitulah dipandang adanya

    penerusan hidup sejak jaman mataram. Dalam bentuknya yang sekarang keempat kraton yang

    ada di Jawa sudah banyak terkena pengaruh Barat.

  • 7/24/2019 Arsitektur Tradisional Jawa - Paper 2

    26/26

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya

    sehingga paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

    Paper ini berjudul ARSITEKTUR NUSANTARA-JAWA yang disusun untuk memenuhi

    salah satu persyaratan dalam rangka mengikuti Mata Kuliah Arsitektur Nusantara

    Dalam penyusunan paper ini, Penulis banyak memperoleh bimbingan dan petunjuk-

    petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dan dosen pembimbing.

    Penulis menyadari bahwa dalam paper ini masih terdapat kekurangan dan diharapkan

    adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga paper ini bisa memberikan sumbangan

    ilmiah bagi dunia Arsitektur terutama bidang Arsitektur Jawa dan berguna bagi masyarakat.

    Terima kasih.

    Denpasar, Mei 2009

    Penulis