bab v revisi 24 februari

Upload: istimewa-khomaria

Post on 08-Oct-2015

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

199

BAB VDISKUSI HASIL PENELITIAN

Tindakan pencegahan (prevensi) dan reduksi miskonsepsi siswa kelas X SMA pada konsep reaksi redoks telah dilakukan. Pembahasan atas hasil-hasil penelitian terkait dengan tindakan itu dan temuan-temuan dinarasikan dalam sub-sub bab berikut ini.A. Profil Prakonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Pada kelas X-2, semua konsep yang diujikan menyebabkan siswa-siswa mengalami MK (memiliki prakonsepsi alternatif). Jumlah individu MK melebihi jumlah individu yang berstatus TK. Jumlah individu yang berstatus TTK masih jauh lebih besar daripada jumlah individu yang berstatus TK dan MK1, MK2, dan MK3. Tujuh buah konsep reaksi redoks yang tersebar dalam 21 butir soal yang dikerjakan siswa, semua berpotensi menyebabkan MK, namun yang terbesar pada konsep reaksi redoks ditinjau dari perubahan elektron. Konsep yang lain yang berpotensi menyebabkan terjadinya MK adalah bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan bilangan oksidasi. Istilah bilangan oksidasi memang belum pernah dipelajari secara formal di sekolah. Apalagi istilah tersebut tidak tampak dalam suatu unsur, ion, atau senyawa, namun dalam menentukannya perlu dihitung dengan mengikuti aturan tertentu, dan terkait dengan konsep-konsep yang lain. Karakteristik siswa yang berlaku pada kelas X-2, tidak persis sama dengan siswa kelas X-3 dan X-4, namun ada beberapa yang mirip, yaitu prakonsepsi siswa yang berupa TTK dominan pada semua konsep yang diujikan. Ke tujuh konsep tersebut berpotensi menyebabkan MK pada tingkatan MK3 cenderung dominan daripada MK1 dan MK2, hal ini dapat terlihat jelas pada Gambar 4.2a, 4.2b, dan 4.2c. Pada kelas X-2 konsep yang berpotensi menyebabkan terjadinya MK3 yang dominan terjadi 5 dari 7 konsep yang diujikan, sedangkan pada kelas X-3 dan X-4 terjadi pada 3 konsep dari 7 konsep yang diujikan. Merupakan gambaran yang wajar, profil prakonsepsi siswa pada ketiga kelas tersebut dominan pada status TTK, hal ini memberikan gambaran bahwa siswa belum pernah mengikuti pembelajaran konsep reaksi redoks. Siswa belum dilibatkan pembelajaran yang melatihkan tahapan pembangunan konsep (menurut teori konstruktivis). Ditemukan prakonsepsi individu pada MK1, MK2, atau MK3 yang menurut Suparno (2005) guru harus memberikan perhatian lebih pada individu-individu tersebut, sebab berpotensi menyebabkan terjadinya miskonsepsi dalam menerima konsep yang baru. Keberadaan yang wajar ditemukan siswa mempunyai konsepsi alternatif, hal sesuai dengan pendapat Ibrahim (2012) bahwa prakonsepsi (konsep awal) merupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomena alam, dalam pembahasan ini adalah reaksi redoks yang belum dipelajari secara formal di sekolah. Sebagian dari konsep awal pada diri siswa ada yang sesuai dengan konsep ilmiah, namun ada yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah, yang disebut mempunyai konsepsi alternatif. Ketika pemahaman siswa atas konsep tertentu berbeda dengan konsep ilmiah, maka tidak boleh dihakimi sebagai miskonsepsi, namun dapat dinyatakan sebagai konsepsi altenatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Horton (2004) bahwa istilah miskonsepsi tampaknya terlalu menghakimi dalam pandangan dari sifat tentatif dari ilmu pengetahuan dan fakta bahwa banyak dari konsepsi pada diri anak telah berguna bagi siswa di masa lalu. Sifat tentatif ilmu pengetahuan yang dimaksud di sini adalah kebenarannya dapat berubah jika ditemukan bukti lain yang lebih dipercaya secara ilmiah. Didasarkan atas fakta bahwa konsepsi alternatif tadi banyak timbul selama pengajaran, akhirnya penggunaan istilah konsepsi alternatif lebih disepakati. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Barke et al. (2009). Gambaran prakonsepsi siswa, bagaimanapun keadaannya, sesuai atau tidak sesuai dengan konsep ilmiah, adalah hal yang sangat penting yang harus diketahui oleh guru. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Barke el al. (2009), bahwa data prakonsepsi siswa jangan digunakan untuk menyimpulkan siswa dalam status MK, TTK, dan TK semata, namun digunakan sebagai pemahaman guru tentang kondisi awal siswa yang bermanfaat untuk perencanaan pembelajaran yang akan dilakukan, dan untuk memastikan bahwa konsep redoks belum pernah diterima oleh siswa sebelumnya.B. Keterlaksanaan dan Kualitas Pembelajaran Redoks dengan Model Learning Cycle 7E

Sebelum dilaksanakan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan Learning Cycle 7E dilakukan pre-test untuk mengetahui prakonsepsi siswa dan pre-test konsep prasyarat. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa prakonsepsi siswa digunakan guru untuk memastikan bahwa konsep redoks belum pernah diterima sebelumnya oleh siswa, sedangkan sehubungan dengan konsep prasyarat, seperti saran Gagne et al. (1988) menyatakan bahwa sebelum meng-awali pada pembelajaran perlu dilakukan tes kemampuan prasyarat. Pengetahuan awal siswa tentang konsep prasyarat berpengaruh pada penguasaan konsep berikutnya (Gagne et al., 1988).

Konsep prasyarat yang utama pada konsep redoks meliputi konsep struktur atom, sistem periodik unsur, dan ikatan kimia. Sehubungan dengan tiga pokok bahasan ini peneliti mengidentifikasi lebih lanjut konsep yang berhubungan erat dengan redoks yaitu model atom, hubungan sifat-sifat SPU dan konfigurasi elektron, hubungan kepolaran senyawa kovalen dengan sifat keelektronegatifan, struktur Lewis senyawa kovalen dan ionik, dan sifat-sifat senyawa ionik. Soal-soal disusun dengan tipe three tier diagnostics test yang disadur sebagian dari Horton (2004), Al Balusyi et al.(2012), dan Barke et al. (2009 & 2012). Pengungkapan kembali konsep prasyarat dilakukan pada awal setiap pertemuan dalam pengajaran redoks, disesuaikan konsep yang akan dibahas.Berdasarkan indikator keterlaksanaan sintaks dan kualitasnya, model pembelajaran Learning Cycle 7E terlaksana dengan kategori baik hingga sangat baik pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Keadaan tersebut berlaku pada kelas X-2, X-3, dan X-4. Secara deskriptif hasil penilaian kedua pengamat dalam ketiga pertemuan dalam kategori baik hingga sangat baik. Pembelajaran dengan model ini dilaksanakan dalam 6 jam pelajaran (6 x 45 menit). Pertemuan pertama dilakukan selama 3 jam pelajaran, kedua selama 1 jam pelajaran, dan pertemuan ketiga selama 2 jam pelajaran. Pre-test, post-test I, pengambilan nilai psikomotorik, dan post-test II dilakukan di luar jam tersebut. Pada setiap awal pertemuan, kegiatan diawali dengan fase elicit, pengetahuan awal siswa diungkap melalui tanya jawab. Selain Gagne et al. (1988) yang memandang pentingnya kemampuan prasyarat dalam pembelajaran berikutnya, Piaget (di dalam Suparno, 1997) keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Piaget menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Sebagai contoh pelepasan dan penangkapan elektron yang akan dibahas di konsep reaksi redoks perlu pengetahuan prasyarat tentang struktur atom dan kemampuan suatu atom untuk melepaskan atau menangkap elektron.

Fase berikutnya adalah engage, menarik perhatian siswa dengan dengan menampilkan fenomena dan dilanjutkan demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa orang siswa. Fenomena yang ditampilkan adalah membawa benda yang berkarat. Ada siswa menjawab karena reaksi kimia, teman yang lain menjawab karena bereaksi dengan oksigen, dan ada lagi yang bereaksi dengan air, dan ada yang bereaksi dengan udara. Berkaitan dengan sekian banyak jawaban siswa, guru tidak membenarkan atau menyalahkan, namun langsung menunjukkan reaksi yang terjadi di slide power point. Kegiatan lain yang dapat menarik perhatian siswa adalah demonstrasi. Kegiatan ini dilakukan beberapa siswa, ketika guru meminta beberapa anak tampil ke depan, siswa-siswa berebut untuk maju ke depan, menunjukkan siswa antusias terhadap kegiatan ini. Demonstrasi yang dilakukan adalah tentang pembakaran logam magnesium dan logam tembaga. Guru melontarkan pertanyaan kepada siswa, apa yang sedang terjadi pada peristiwa pembakaran kedua logam tersebut. Fase berikutnya adalah explore, guru mengarahkan siswa belajar dalam kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok dibuat heterogen, yang didasarkan pada pre-test konsep prasyarat. Dasar teori dari pembuatan kelompok belajar adalah Vygotsky (di dalam Nur, 2008) berpendapat seperti Piaget, belajar tidak terlepas dengan lingkungan, maka dalam belajar keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok belajar dengan anggota kelompok yang berbeda-beda kemampuan untuk mengupayakan adanya take and give dalam belajar. Pada fase ini guru mengarahkan siswa untuk melakukan pengamatan, percobaan, dan menyelidiki pertanyaan atau fenomena. Hal ini sesuai dengan teori Piaget, bahwa pengetahuan dibentuk dalam proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema pengetahuan seseorang. Seseorang semakin mempunyai banyak pengalaman mengenai persoalan, lingkungan, atau objek yang dihadapi, ia akan semakin mengembangkan pemikiran dan pengetahuannya. Semakin orang terbuka dengan banyak pengalaman di laboratorium atau di dunia luar, ia akan semakin dibantu untuk mengembangkan pengetahuan dan cara berpikirnya.Fase ketiga adalah explore, siswa diarahkan bekerja secara berkelompok untuk melakukan pengamatan, percobaan, dan menyelidiki pertanyaan atau fenomena. Siswa juga diarahkan untuk menyiapkan laporan (menuliskan data percobaan, membuat analisis data, menyusun simpulan) eksperimen dengan kata-kata sendiri. Hal ini sesuai dengan gagasan Piaget dan Vigotsky (di dalam Nur, 2008) bahwa guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Siswa secara individual harus menemukan informasi-informasi kompleks bagi diri sendiri, membangun pengetahuan dari kegiatan, refleksi dan interpretasi pemahaman oleh siswa berdasarkan skemata yang dimilikinya. Guru dapat membantu proses belajar dengan cara membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan dengan kehidupan siswa. Pelaksanaan fase explore, dalam pertemuan 1 dan 3 berbasis laboratorium, sedangkan pada pertemuan kedua berbasis pustaka, yang hanya berdasarkan pada struktur Lewis, dan data keelektronegatifan. Pada pertemuan kedua, walaupun tidak berbasis laboratorium, namun sangat menantang bagi siswa, berdasarkan sruktur Lewis dan data keelektronegatifan, bilangan oksidasi dapat ditentukan, jadi siswa tidak terpaku pada aturan penentuan biloks, melainkan terdapat proses pemahaman secara mendasar tentang bilangan oksidasi suatu unsur. Misalnya unsur oksigen dapat bernilai positif pada senyawa H2O ataupun negatif pada senyawa OF2 seperti terlihat dalam Gambar 5.1a dan 5.1b. Data keelektronegatifan H=2,2, O=3,5, dan F=4,0, berdampak pada gaya tarik pasangan elektron mengarah pada atom yang lebih elektronegatif. Pada senyawa OF2, pasangan elektron lebih tertarik ke arah F, dan oksigen seperti kehilangan 2 elektron, sehingga bilangan oksidasinya adalah +2. Berbeda pada senyawa H2O pasangan elektron antara atom O dan H lebih tertarik ke arah O, sehingga seperti atom O menerima dua elektron dari dua atom H, sehingga bilangan oksidasi atom O pada senyawa H2O adalah -2 (Lee, 1996). Gambar 5.1a Biloks O adalah +2 Gambar 5.1b Biloks O adalah -2

Pada pertemuan pertama belajar dengan Learning Cycle 7E masih perlu bimbingan dari guru karena pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E masih baru bagi siswa. Vygotsky menggunakan istilah scaffolding atau mediated learning untuk membantu siswa. Semula siswa diberi tugas yang kompleks kemudian diberikan bantuan secukupnya sehingga siswa dapat menyelesaikan sendiri tugas yang harus mereka kerjakan (Nur, 2008).

Fase keempat adalah explain, siswa diarahkan untuk mempersiapkan presentasi hasil kerja eksplorasi dengan kata-kata sendiri. Berkaitan dengan terbatas waktu, maka presentasi tiap kelompok berbeda-beda bagiannnya, sedemikian rupa sehingga semua hal-hal penting dalam fase explore yang tertuang dalam LKS dan worksheet dipresentasikan semua oleh siswa. Menurut Piaget (di dalam Suparno, 2000) dengan saling mendengar pendapat dari temannya, seorang siswa dapat membandingkan pemikiran dan pengetahuan yang telah dibentuknya dengan pemikiran dan pengetahuan orang lain. Secara individu siswa merasa tertantang untuk semakin mempekembangkan pemikiran dan pengetahuannya sendiri. Tantangan antar kelompok akan membantu siswa melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap skema pengetahuan yang telah dimiliki.Fase kelima adalah elaborate, siswa diajak untuk menggunakan istilah umum guna menerapkan apa yang telah dijelaskan pada fase explain dan memberikan soal atau permasalahan dan mengarahkan siswa untuk menyelesaikan soal pada LKS. Contoh fase elaborate dalam pertemuan 1 dan 2, identifikasi apakah reaksi 2Ag+ + Cu 2Ag + Cu2+ merupakan redoks, jika betul reaksi tersebut adalah redoks manakah zat yang mengalami oksidasi dan mana yang mengalami reduksi. Berdasarkan contoh pertanyaan tersebut siswa diajak untuk menerapkan konsep redoks menurut tinjauan serah terima elektron. Oksidasi adalah reaksi yang ditandai suatu zat melepaskan elektron, zat tersebut adalah Cu, dengan reaksi Cu Cu2+ + 2e. Kebalikannya reduksi, adalah reaksi yang ditandai suatu zat menangkap elektron, zat tersebut adalah Ag+, dengan reaksi Ag+ + e Ag. Reaksi oksidasi reduksi secara bersamaan dan dalam reaksi redoks terdiri atas setengah reaksi oksidasi dan setengah reaksi reduksi.

Dua fase yang terakhir adalah evaluate dan extend. Masing-masing kegiatan yang dilakukan adalah memberikan pertanyaan terkait konsep yang telah dibahas dan memberikan pertanyaan apakah peranan reaksi redoks dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan pada siswa sebagai berikut: Berdasarkan pada reaksi CuO(s) + H2(g) Cu (s) + H2O (l), manakah zat yang mengalami oksidasi dan manakah zat yang mengalami reduksi? Pada fase extend: Mengapa daging buah apel yang dilapisi jeruk nipis berubah menjadi coklat lebih lama jika dibandingkan dengan tanpa dilapisi jeruk nipis? Pertanyaan ini untuk dikerjakan dan dilakukan percobaan di rumah secara berkelompok. Secara umum model pembelajaran Learning Cycle 7E telah dilaksanakan dengan baik, hal ini berdasarkan pada hasil observasi dua orang pengamat terhadap kegiatan yang dilakukan guru dan aktivitas siswa pada kelas X-2, X-3, dan X-4 dengan memperoleh nilai pada tahapan-tahapan dalam kategori baik hingga sangat baik. Walaupun penilaian pelaksanaan pembelajaran dalam kategori baik hingga sangat baik, karena keterbatasan waktu penilaian terhadap aktivitas siswa secara berkelompok, sehingga aktivitas siswa secara individu tidak dapat teramati lebih detail lagi, namun sudah dapat menggambarkan aktivitas siswa secara keseluruhan di dalam kelas. Berdasarkan uji Mann-Whitney kedua pengamat telah memberikan penilaian secara seragam.Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fase dalam Learning Cycle 7E adalah fase eksplorasi (explore), sebagian besar kegiatan dilakukan dengan kegiatan laboratorium dan diskusi dalam kelompok. Salah satu amanat penting dalam lampiran Permendiknas nomor 22 tahun 2006 bahwa dalam pembelajaran kimia sebaiknya menekankan pemberian pengalaman langsung agar peserta didik mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Ketika guru memfasilitasi terjadinya kegiatan praktikum, maka guru telah membelajarkan dengan pengalaman langsung. Siswa banyak dilibatkan dalam aktivitas pemerolehan data yang kemudian diinduksikan menjadi sebuah bangunan konsep. Pendekatan pembelajaran induktif juga merupakan amanat pemendiknas nomor 22 tahun 2006. Pengalaman-pengalaman belajar yang menantang akan memfasilitasi terjadinya proses berpikir untuk mengkonstruksi fakta atau informasi yang ditemukan sendiri menjadi konsep-konsep yang terasimilasi dan terakomodasi di dalam struktur kognitifnya (aliran konstruktivis).Tujuan dari model Learning Cycle 7E adalah untuk menekankan pentingnya mengenali pengetahuan dan memperluas pengetahuan yang diperoleh melalui perubahan konseptual (Eisenkraft, 2003). Pelaksanaan pembelajaran LC 7E sesuai urutan fase-fase pembelajaran diejawantahkan dalam LKS dan worksheet. Ditinjau dari aspek pengerjaan LKS dan worksheet, pada kelas X-2 diperoleh hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam pengerjaan LKS dan worksheet telah mengerjakan LKS dan worksheet dengan baik. Hal yang hampir sama terjadi pada kelas X-3 dan X-4.

Penilaian LKS dan worksheet berupa angka-angka tersebut bukan diambil sebagai nilai psikomotorik siswa, melainkan penilaian dalam domain mengamati kualitas pembelajaran ditinjau dari aktivitas siswa. Pada pertemuan pertama pengisian LKS dan worksheet hampir semua kelompok belum menunjukkan kinerja yang positip. Baru pada pertemuan kedua dan ketiga pengerjaan LKS dan worksheet siswa menjadi lebih baik dan mandiri, namun masih perlu ditingkatkan, semestinya tingkat kesempurnaan pengerjaan mendekati 3 (skala 0-3). Berkaitan dengan pembahasan LKS dan worksheet, setelah dibahas siswa pun mengetahui konsep yang benar dan penting untuk dikuasai. Pada hakekatnya membuat kesalahan bukan persoalan dalam belajar karena membuat kesalahan bagian dari proses alami pemecahan masalah, yang merupakan dasar dari siswa belajar (Sumarni, 2010).

Berkaitan dengan aktivitas siswa dalam pengerjaan LKS dan worksheet merupakan bagian dari kegiatan seperti seorang ilmuan yang bekerja dengan metode ilmiah. Sanjaya (2010) mengemukakan bahwa pengetahuan yang dikonstruksi sendiri oleh siswa akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan, kebalikannya jika siswa aktif dalam pembelajaran, konsepnya akan tersimpan awet di pikirannya sesuai dengan Slameto (2010) menyatakan bahwa jika siswa menjadi partisipan yang aktif dalam proses belajar, maka ia akan memiliki pengetahuan yang diperolehnya dengan baik. Hal yang sangat penting selain pemahaman terhadap suatu konsep adalah kemampuan menggunakan alat laboratorium (kemampuan psikomotorik).

Kemampuan psikomotorik yang dituntut dalam pembelajaran ini adalah penggunaan gelas ukur dan pipet volum, karena kedua alat ini banyak digunakan dalam kegiatan laboratorium pada pembelajaran konsep reaksi redoks pada khususnya dan ilmu kimia pada umumnya. Penilaian psikomotorik yang dimasukkan dalam nilai siswa adalah penilaian terhadap cara menggunakan kedua alat tersebut. Penilaian ini dilakukan di luar jam pertemuan formal di kelas, dan pada pertemuan sebelumnya siswa sudah dibimbing/dilatih cara menggunakan kedua alat tersebut bersamaan dengan kegiatan pembelajaran sesuai tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Kemampuan psikomotorik per individu siswa dalam menggunakan gelas ukur dan pipet volum diuji di luar jam pertemuan di kelas. Pada umumnya siswa pada kelas X-2, X-3, dan X-4 dalam menggunakan gelas ukur untuk mengukur volume larutan berturut-turut adalah 88%, 85%, dan 89%. Kemampuan psikomotorik dalam menggunakan pipet volume masing-masing adalah 89% pada kelas X-2, 87% pada kelas kelas X-3, dan 89% pada kelas X-4. Simpulan yang diperoleh bahwa kemampuan psikomotorik siswa dalam menggunakan gelas ukur dan pipet volum dalam kategori sangat baik.Berdasarkan indikator aktivitas sikap dan keterampilan sosial, siswa diamati selama mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas dan laboratorium. Siswa-siswa pada umumnya telah bekerja sama dengan teman yang lain. Sikap siswa saling menghargai pendapat satu teman dengan teman yang lain juga tampak sesuai hasil pengamatan terhadap karakter dan keterampilan sosial pada ketiga kelas. Sikap dan keterampilan sosial merepresentasi perilaku berkarakter, yaitu kehidupan hidup bersih di lingkungan sekolah, baik di kelas maupun di laboratorium dan menunjukkan kerjasama dan kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas) dalam kategori baik. Jujur dalam mencatat data percobaan dan membuat simpulan berdasarkan analisis data-data tesebut (Lampiran 21-29).

Aktivitas psikomotorik, sikap, dan keterampilan sosial siswa selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran merupakan perfomance yang tampak pada diri siswa sebagai respon skenario pembelajaran yang dijalankan oleh guru. Data psikomotorik dan sikap sosial ini merupakan verifikator bagi data kualitas pembelajaran yang diberikan pengamat terhadap pelaksananaan pembelajaran. Berdasarkan skor yang diperoleh pada penilaian terhadap kemampuan psikomotorik siswa pada ketiga kelas pada umumnya siswa dapat menggunakan gelas ukur dan pipet volum dengan rentangan kriteria baik hingga sangat baik dengan rubrik tertentu. Berkaitan dengan kemampuan psikomotorik siswa, diharapkan dengan frekuensi menggunakan alat tersebut semakin banyak pada kegiatan laboratorium, maka dengan sendirinya kemampuan psikomotorik siswa akan meningkat. Ditinjau dari karakter (sikap) dan keterampilan sosial siswa yang diamati pada ketiga kelas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran LC 7E dinyatakan sangat baik.

Menurut Amien (1988) proses pembelajaran akan berkembang baik jika keterlibatan siswa semakin besar. Prinsip psikologi menyatakan, apabila pada proses belajar keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran semakin besar, maka makin besar bagi siswa untuk mengalami proses belajar. Proses belajar meliputi semua aspek yang menunjang siswa menuju pembentukan manusia yang utuh. Siswa tidak saja diarahkan mampu dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, tetapi juga mengalami proses tentang pengarahan diri sendiri, bertanggung jawab, dan pengembangan keterampilan sosial.

Pengintegrasian aspek psikomotorik, sikap (karakter), dan keterampilan sosial ke dalam pembelajaran telah dilaksanakan guru dengan baik. Pengintegrasian aspek-aspek tersebut ke dalam proses pembelajaran akan mendukung penguasan konsep yang dibelajarkan. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses, anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dari interaksi-interaksi yang dilakukan (Nur, 2008). Selanjutnya menurut Nur (2008) bahwa Vygotsky berpendapat seperti Piaget, belajar tidak terlepas dengan lingkungan, maka dalam belajar keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok belajar dengan anggota kelompok yang heterogen, sehingga memungkinkan adanya take and give dalam belajar. C. Profil Konsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Setelah Pembelajaran dengan LC 7E

Profil konsepsi siswa setelah pembelajaran Learning Cycle 7E pada kelas X-2, X-3, dan X-4 menunjukkan fenomena yang khas. Pada Kelas X-2 sebagian besar siswa menguasai konsep dengan baik pada konsep reaksi redoks ditinjau dari serah terima atom oksigen dan reaksi redoks ditinjau dari serah terima elektron. Pada 5 konsep yang lain pemahaman siswa tidak sebaik pada konsep reaksi redoks ditinjau dari serah terima atom oksigen dan reaksi redoks ditinjau dari serah terima elektron. Pada 5 konsep tersebut yang dominan justru pada siswa yang berstatus tidak tahu konsep. Hal yang tidak menggembirakan lagi pada konsep reduktor-oksidator dan reaksi redoks terapan, selain siswa tidak tahu konsep, banyak ditemukan siswa mengalami miskonsepsi pada tingkatan MK3.

Ditinjau dari pemahaman konsep siswa, fenomena yang terjadi pada kelas X-3 ada beberapa persamaan, pada konsep reaksi redoks ditinjau dari serah terima atom oksigen dan serah terima elektron menunjukkan banyak siswa yang berstatus TK, walaupun persentasenya lebih rendah dibandingkan pada siswa kelas X-3. Pemahaman paling bagus justru pada konsep reaksi redoks terapan, persentase siswa yang tahu konsep paling tinggi dibandingkan pada kelas X-2 dan X-4. Kebalikannya di kelas X-3 pada konsep bilangan oksidasi dan reaksi redoks ditinjau dari bilangan oksidasi ditemukan siswa yang mempunyai beban MK3 paling besar dibanding dua kelas lainnya. Beban siswa pada TTK sangat sedikit, namun yang lebih besar adalah siswa yang mengalami miskonsepsi terutama pada MK3.

Hal yang positif dijumpai pada siswa kelas X-4 adalah sebagian besar siswa mampu menjelaskan terjadinya serah terima atom oksigen pada suatu reaksi. Zat pereaksi yang menangkap atom oksigen mengalami reaksi oksidasi dan zat pereaksi yang melepas atom oksigen mengalami reaksi reduksi. Adanya temuan Barke et al. (2009) terhadap miskonsepsi siswa bahwa oksidasi hanya melibatkan oksigen memberikan kewaspadaan guru dalam menyampaikan konsep tersebut sehingga pada konsep ini sebagian besar siswa memahaminya dengan baik. Akan tetapi, pada konsep bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari perubahan bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan bilangan oksidasi menunjukkan bahwa siswa banyak yang mengalami miskonsepsi pada tingkatan MK3. Pada kelas X-4 juga ditemukan siswa yang masih berstatus TTK.

Pada kelas X-2, X-3, dan X-4 banyak siswa yang mengalami miskonsepsi pada tingkatan MK3, hal yang hampir sama dengan siswa yang mengalami TTK, siswa masih kurang memahami terhadap konsep yang dipelajari, hanya saja membentuk skema yang seolah-olah merupakan konsep yang benar dan siswa yakin terhadap konsep yang dipahami tersebut. Oleh Khaltaksi (2006) disebutnya siswa mengalami miskonsepsi pada tingkatan MK3. Keadaan ini sesuai dengan Teori Piaget (di dalam Suparno, 2000) bahwa skema seseorang dibentuk oleh pengalaman sepanjang waktu. Skema menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan orang saat ini tentang dunia sekitarnya. Skema ini suatu konstruksi, bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada. Ditemukannya miskonsepsi, apa lagi pada tingkatan MK3 harus diatasi karena akan berpengaruh pada pembelajaran konsep berikutnya. Jika siswa berhasil mempelajari pada suatu konsep, hasil tersebut dengan sendirinya dapat memberikan penguatan pada dirinya untuk mempelajari konsep berikutnya (Gagne et al.,1988). Fenomena ini tidak sesuai dengan dua harapan ideal yaitu tidak ada miskonsepsi dalam pembelajaran, dan jika terjadi miskonsepsi pada suatu konsep, maka jumlah siswa yang berstatus miskonsepsi tidak melebihi jumlah siswa yang tidak tahu konsep.Berdasarkan hasil analisis dari post-test I siswa setelah pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan Learning Cycle 7E. Tiga konsep yang sangat perlu perhatian dari guru untuk diremediasi adalah konsep bilangan oksidasi, reaksi oksidasi reduksi ditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan bilangan oksidasi. Pemahaman siswa pada ketiga konsep ini pada umumnya masih kurang, hal ini ditunjukkan masih banyak siswa mengalami miskonsepsi, dan yang terbanyak pada tingkatan MK3. Siswa belum bisa menjawab suatu soal dan memilih/memberikan alasan dengan benar, namun merasa yakin terhadap jawaban yang telah diberikan pada pengerjaan post-test. Penentuan biloks pada ion, unsur, ataupun senyawa yang belum benar akibat siswa ada yang belum bisa membedakan ion, unsur, ataupun senyawa dan belum terampil dalam mengoperasikan hitungan matematika. Hal ini didukung oleh Sidauruk (2003) yang telah meneliti kesulitan siswa dalam memahami reaksi redoks salah satunya adalah siswa kesulitan dalam menentukan bilangan oksidasi dengan alasan di antaranya adalah siswa belum bisa membedakan unsur, senyawa, dan ion, serta kesulitan dalam operasi matematika.

Tiga konsep yang menyebabkan status TK yang paling rendah dibandingkan dibandingkan konsep-konsep lainnya adalah pada konsep bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan bilangan oksidasi. Ketiga konsep ini sangat terkait dengan bilangan penentuan bilangan oksidasi. Keadaan ini terutama terjadi pada siswa kelas X-3 dan X-4. Misalnya siswa masih kesulitan dalam menentukan bilangan oksidasi karena belum memahami aturan bilangan oksidasi dengan baik, seperti pada soal di bawah ini:

Bilangan oksidasi unsur F pada suatu senyawa bisa +1 atau -1 tergantung dengan atom mana atom tersebut berikatan seperti halnya bilangan oksidasi S pada H2S adalah -2 sedangkan S dalam SO2 adalah +4.

Bagaimanakah pendapat Anda terhadap pernyataan tersebut?

A. Benar

B. Salah

Pada umumnya siswa menjawab A (benar), padahal unsur F adalah unsur yang paling elektronegatif, sehingga biloksnya dalam senyawa selalu -1. Contoh yang lain adalah Berapakah biloks S dalam SO42-? Sebagian siswa menjawab -2. Semestinya bilangan oksidasi S pada SO42- adalah +6, dan -2 menunjukkan jumlah muatan dalam ion SO42-, dengan mengikuti aturan jumlah bilangan oksidasi unsur-unsur dalam ion poliatomik sama dengan muatannya. Contoh yang lain yang ditemui di lapangan adalah siswa belum bisa membedakan unsur dan senyawa, seperti senyawa MgCl2. Ada beberapa siswa dalam menentukan biloks Mg dan Cl pada seyawa tersebut masing-masing nol, karena siswa beranggapan MgCl2 terdiri atas unsur bebas Mg yang biloksnya nol, dan Cl2 yang biloksnya nol. Berkaitan dengan contoh di atas, pemahaman yang kurang terhadap konsep prasyarat menimbulkan terjadinya miskonsepsi. Berdasarkan uraian di atas yang mengacu pada Gambar 4.2a, 4.2b, dan 4.2c bahwa pembelajaran dengan Learning Cycle 7E menunjukkan ada peningkatan siswa mengarah ke tahu konsep, namun masih menyisakan banyak beban siswa pada MK1, MK2, dan MK3. Sebagain besar siswa masih bertahan pada status prakonsepsinya. Pendapat ini diperkuat Ibrahim (2012) yang menyatakan bahwa walaupun konsep yang benar telah diperkenalkan kepada siswa, masih terdapat peluang kembali kepada prakonsepsinya sendiri yang salah (miskonsepsi).

Sesuai dengan teori Piaget (di dalam Suparno, 2000) bahwa siswa yang mempunyai prakonsepsi tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang dimiliki siswa, karena pengalaman yang baru tidak sesuai dengan skema yang ada. Pada keadaan yang demikian siswa akan melakukan akomodasi. Jika dibandingkan pada ketiga kelas tersebut, pada kelas X-2, justru yang dominan adalah siswa yang tidak tahu konsep (TTK), hal ini memberikan gambaran bahwa konsep reaksi redoks belum dipahami oleh siswa.Menurut Sumarni (2010) penurunan miskonsepsi pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E tidak dapat terjadi hanya pada satu siklus saja, namun setelah melewati tiga siklus, penurunan miskonsepsi mahasiswa pada materi ikatan kimia baru terlihat secara signifikan. Pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E siswa diberikan kebebasan yang cukup luas mengemukakan pengetahuan yang dimiliki, membuktikan hipotesis sehingga kreativitas siswa sangat tampak, maka diperlukan persiapan bagi guru secara matang agar peran guru sebagai motivator dan fasilitator dapat berjalan dengan baik. Akibat dari dua hal tersebut, maka hal yang tidak dapat dipungkiri adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena siswa diajak untuk dapat mengeksplorasi pengetahuannya sendiri.

Meskipun model pembelajaran Learning Cycle 7E yang berbasis inkuiri dapat memprevensi terjadinya miskonsepsi siswa, namun berdasarkan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan model inkuiri masih menyisakan miskonsepsi. Berdasarkan hal tersebut wajar bahwa dengan pengajaran menerapkan Learning Cycle 7E masih menyisakan adanya miskonsepsi. Sebagai contoh Bartlow (2011) melakukan penelitian tentang efektivitas pembelajaran inkuiri terbimbing (POGIL) untuk mereduksi miskonsepsi, penerapan model inkuiri hanya terjadi pengurangan miskonsepsi siswa sebesar 14,8% dibandingkan dengan penggunaan metode tradisional. Sumarni (2010) menemukan bahwa dalam menggunakan model Learning Cycle 7E dalam rangka mereduksi terjadinya miskonsepsi mahasiswa dilakukan dalam beberapa siklus belajar, dan pada siklus terakhir masih menyisakan individu pebelajar berstatus miskonsepsi. Pada siklus I, masih menyisakan 68,7% MK pada salah satu konsep yang diprevensi dengan Learning Cycle 7E dan menyisakan rata-rata 40,2% MK pada konsep yang telah dipelajari mahasiswa. Jika dibandingkan dengan penelitian Sumarni (2010), maka model pembelajaran Learning Cycle 7E cukup efektif jika digunakan untuk memprevensi terjadinya miskonsepsi. Sehubungan masih tersisa miskonsepsi yang cukup banyak, maka peneliti mempersiapkan pembelajaran remediasi dengan model ECIRR.

Miskonsepsi dapat direduksi tetapi memerlukan proses. Piaget (1972) yang dikutip oleh Dahar (1988) menjelaskan tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik (konkret) sampai tahap formal/abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret menjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan terbatasnya kemampuan mengkonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat dan benar. Secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu.Jika ditinjau dari keterlaksanaan pembelajaran dengan penerapan Learning Cycle 7E kegiatan belajar terlaksana dengan sangat baik dan siswa pun menjalankan aktivitas belajar sesuai dengan fase-fase Model Learning Cycle 7E. Hal yang agak aneh terlihat bahwa profil konsepsi siswa pada kelas X-2 dominan siswa tidak tahu konsep, berbeda dengan X-3 yang sedikit sekali ditemukan siswa berstatus TTK. Siswa yang berstatus TTK juga banyak ditemukan di kelas X-4, namun tidak sebanyak pada kelas X-2. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dari kedua pengamat bahwa pada kelas X-2 ada kekurangan waktu yang lebih banyak dibandingkan siswa pada kedua kelas lainnya. Karena siswa kurang waktu dalam memahami konsep reaksi redoks sehingga pada saat mengerjakan post-test I pada kedua kelas, yaitu kelas X-2 dan X-4 banyak yang memilih tidak yakin pada tier-3, sehingga banyak ditemukan siswa berstatus TTK. Hal ini juga didukung oleh angket siswa, sebagian besar siswa merasakan kurang waktu dalam memahami konsep reaksi redoks menurut skenario pembelajaran yang dilaksanakan. Menurut pendapat siswa pemahaman konsep reaksi redoks perlu waktu yang cukup agar dapat memahaminya dengan baik. Sebagian kecil siswa merasa pengajaran guru terlalu cepat, siswa belum menguasai benar konsep pada petemuan sebelumnya, sudah dilanjutkan ke materi berikutnya. Apalagi bahwa siswa terbiasa dengan pembelajaran yang berpusat pada guru yang dibawa siswa sejak masih belajar di SMP, sehingga ketika siswa dilibatkan dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti Learning Cycle 7E maka dirasakan berat bagi siswa. Hal ini sesuai dengan kelemahan pembelajaran dengan Learning Cycle 7E bahwa waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena siswa diajak untuk dapat mengeksplorasi pengetahuannya sendiri (Budiasih, 2003).

Jika ditinjau dari faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi yang telah dibahas pada penelitian ini, bahwa konsep prasyarat menempati urutan ke-2 di bandingkan dengan prakonsepsi dan cara mengajar guru. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa belum bagusnya pemahaman siswa pada konsep reaksi redoks, karena pemahaman terhadap konsep prasyarat juga belum sesuai yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan Gagne et al.(1988) bahwa konsep prasyarat mendasari pemahaman konsep berikutnya. Atau dengan kata lain jika siswa mengalami kesulitan dalam pemahaman konsep prasyarat, maka akan ditemukan juga kesulian pada pembelajaran konsep berikutnya.

Selama observasi pembelajaran pada pertemuan 1, 2, dan 3 dalam pembelajaran dengan Learning Cycle 7E diberikan catatan dari pengamat, yang salah satu pengamat adalah guru di sekolah tempat penelitian sebagai berikut:

1. Budaya dari SMP siswa masih terbawa (terbiasa dengan kegiatan pembelajaran teacher centered).2. Intake siswa yang rendah (tanpa seleksi) pada tahun ajaran 2013/2014 ini.

3. Pembelajaran di sekolah sampai dengan pukul 16.00 WIB, fisik siswa sudah lelah di sekolah, sehingga pengerjaan PR di rumah tidak maksimal. Berdasarkan uraian dari faktor-faktor yang berpengaruh pada belajar di atas, maka ketiga catatan dari pengamat merupakan faktor-faktor sosial dan nonsosial yang kemungkinan mempengaruhi terhadap belajar siswa khususnya dalam memahami konsep redoks. Berkaitan dengan intake siswa yang berbeda, berdampak pada waktu yang diperlukan untuk memahami konsep yang dipelajari. Menurut Carrol dan Block (di dalam Ischak dan Warji, 1987) bahwa tidak semua siswa mempunyai kecepatan yang sama dalam memahami konsep-konsep tersebut, hal ini erat sekali hubungan antara tingkat penguasaan belajar siswa dengan waktu yang disediakan dan yang digunakan sungguh-sungguh oleh siswa tersebut. Terkait dengan waktu yang berbeda-beda yang diperlukan siswa untuk memahami suatu konsep, maka dimungkinkan karakteristik siswa berpengaruh terhadap kecepatan siswa dalam pemahaman konsep. Menurut Piaget (di dalam Suparno, 2000) bahwa intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium ke arah mana semua adaptasi sifat-sifat sensomotorik dan kognitif dan juga interaksi-interaksi antara asimilasi dan akomodasi antara organisme dengan lingkungan. Berdasarkan pada hasil analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa capaian pemahaman siswa setelah pembelajaran dengan model LC 7E adalah sebagai berikut:1. Tindakan pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E yang dilakukan cukup meningkatkan pemahaman siswa, hanya saja masih menyisakan miskonsepsi dalam jumlah cukup besar dan hampir pada semua konsep yang dipelajari, maka diperlukan pengajaran remedial secara klasikal.2. Ditemukan banyak miskonsepsi siswa pada konsep prasyarat kemungkinan berpengaruh kuat terhadap pemahaman konsep reaksi redoks.

3. Secara deskriptif faktor lingkungan belajar dan intake siswa berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan siswa.

D. Perubahan Hasil Belajar Siswa Setelah Pembelajaran dengan Learning Cycle 7ESetelah pembelajaran dengan Learning Cycle 7E dilakukan, maka tahapan penting yang harus dilakukan guru adalah menganalisis perubahan hasil belajar. Perubahan hasil belajar siswa dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk menguji ketuntasan klasikal, sedangkan analisis inferensial lebih ditujukan untuk menguji efektivitas model Learning Cycle 7E dalam meningkatkan pemahaman siswa. Secara deskriptif dengan standar ketuntasan KD = 70, maka pada kelas X-2 hanya satu siswa yang tuntas. Pada kelas X-3 terdapat dua siswa yang tuntas, sedangkan pada kelas X-4 belum ada satu orang pun yang tuntas. Pembelajaran konsep reaksi redoks menggunakan Learning Cycle 7E belum mampu menghantarkan siswa mencapai ketuntasan baik secara individual maupun klasikal. Secara klasikal berarti siswa yang tuntas di kelas di atas 75%. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya tingkat prakonsepsi dan kemampuan prasyarat yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan penghitungan sumber-sumber miskonsepsi siswa yang diuraikan di subbab berikutnya yang diperoleh simpulan prakonsepsi merupakan sumber miskonsepsi terbesar dan disusul oleh kemampuan prasyarat di antara 3 faktor yang dihimpun datanya.Menurut Ibrahim (2012) prakonsepsi merupakan salah satu faktor terjadinya miskonsepsi. Prakonsepsi yang dimiliki siswa berupa konsep yang belum lengkap, sederhana, dan berbeda. Seringkali kali siswa berpikir mengasosiasikan konsep yang dipikirkan dengan sesuatu yang lain. Pengalaman di kelas pada saat penelitian, warna coklat kemerahan yang langsung terbentuk ketika paku besi dicelupkan ke dalam larutan CuSO4, pada saat post-test I sebagian besar siswa menjawab endapan coklat kemerahan tersebut merupakan karat besi. Warna coklat kemerahan diasosiasikan sebagai karat, padahal terbentuknya karat tidak terjadi serta merta. Sebelumnya dilakukan post-test I sebenarnya pada saat pembelajaran, siswa telah menyaksikan demonstrasi oleh temannya sendiri pencelupan paku besi ke dalam larutan CuSO4, namun karena warna coklat kemerahan dihubungkan dengan paku besi, asosiasi pemikiran yang terjadi adalah karat besi.Secara inferensial pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E berdampak positip dalam peningkatan hasil belajar siswa secara signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%, namun jika ditinjau dari ketuntasan belajar model Learning Cycle 7E belum menunjukkan ada keberhasilan. Reduksi miskonsepsi tidak terlepas dari pemahaman konsep siswa yang memerlukan proses. Piaget (di dalam Dahar, 1988) menjelaskan bahwa tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik (konkret) sampai tahap formal/abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret menjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan terbatasnya kemampuan mengonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat dan benar. Secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu. Sebagai bahan pertimbangan, menurut Miller et al. (di dalam Dazhi and Inanc S., 2013) bahwa prevensi miskonsepsi dengan pembelajaran berbasis inkuiri tidak berhasil dilakukan di sekolah tingkat SLTP dan SLTA), dan baru berhasil pada tingkat universitas.

Jika melihat kembali pada amanat Permendikanas nomor 22 tahun 2006, bahwa pengajaran di kelas adalah harus berbasis inkuiri, pembelajaran harus dihadapkan langsung dengan fenomena alam, bersifat induktif, pembelajaran dengan Learning Cycle 7E tetap dilanjutkan walaupun belum berhasil jika ditinjau dari ketuntasan belajar. Perlu adanya tahapan refleksi pada pembelajaran baik sisi dari guru maupun siswa. Guru perlu merefleksikan bagaimana respon siswa terhadap materi yang dibawakan dengan menggunakan model Learning Cycle 7E dan dari sisi siswa bagaimana kegiatan tindak lanjut pembelajaran siswa masing-masing di rumah dilakukan atau tidak. Jika belajar hanya mengandalkan pertemuan di kelas, maka konsep yang seharusnya harus direview lagi di rumah dan latihan soal pun tidak banyak dikerjakan. Materi redoks di kelas X banyak konsep yang perlu latihan soal, seperti pada penentuan bilangan oksidasi.

Seperti pada analisis konsepsi siswa setelah pembelajaran yang telah dipaparkan dalam grafik pada bab IV, bahwa status siswa miskonsepsi yang dominan yaitu pada konsep bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari perubahan bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut bilangan oksidasi. Dilihat dari sudut pandang penguasaan konsep redoks, berarti pada ketiga konsep ini pada umumnya siswa belum menguasai dengan baik. Hal ini sesuai penelitian Sidauruk (2010) bahwa kesulitan siswa kelas X dalam mempelajari materi reaksi redoks, siswa kesulitan menentukan bilangan oksidasi, mengidentifikasi reaksi termasuk redoks atau bukan, serta menentukan zat yang berperan sebagai reduktor ataupun oksidator dalam suatu reaksi reaksi. Padahal penguasaan bilangan oksidasi sangat penting, karena untuk mengidentifikasi reaksi yang panjang dan yang terdiri atas molekul yang tidak sederhana, maka keterampilan siswa dalam menentukan bilangan oksidasi merupakan suatu keharusan. E. Pemetaan Miskonsepsi Siswa pada Setiap Butir Tes pada Setiap Kelas Sebelum Pembelajaran dengan Model ECIRR Langkah awal sebelum pembelajaran dengan model ECIRR adalah konsepsi siswa dipetakan terlebih dahulu, terutama pada siswa yang mengalami MK. Hasil pemetaan siswa MK pada setiap butir tes pada kelas X-2, X-3, dan X-4 disajikan pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa setiap siswa memiliki beban MK yang menyebar pada semua butir tes yang diujikan. Di antara siswa yang berstatus MK, status MK3 paling banyak dijumpai, diikuti MK2, dan yang paling sedikit adalah individu yang berstatus MK1. Di antara MK1, MK2, dan MK3 tidak dijumlahkan jika digunakan untuk menganalisis konsepsi seseorang pada suatu konsep, karena ketiganya kedudukannya tidak persis sama, MK1 dan MK2 kedudukannya hampir sama, pada status MK1 dan MK2 siswa kurang utuh menangkap informasi tentang suatu konsep, karena siswa hanya bisa menjawab salah satu dari tier 1 atau 2 dan menjawab yakin pada tier 3. Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa bisa menjawab tetapi tidak dapat memilih salah satu alasan yang tersedia, atau tidak dapat memberikan alasan tertulis pada kolom isian yang tersedia. Kemungkinan lainnya adalah siswa tidak dapat menjawab, namun dapat menilai pernyataan-pernyatan yang mengarah pada soal yang semestinya dijawab. Tidak utuhnya pemahaman konsep inilah yang menyebabkan siswa pada status MK1 ataupun MK2. Lain halnya dengan status MK3, jika seorang siswa mempunyai beban miskonsepsi pada tingkatan ini, ada 2 hal yang tidak dikuasai siswa adalah memberikan jawaban dan alasan, namun siswa merasa yakin terhadap jawaban dan alasan yang diberikan adalah benar, maka pada tingkatan MK3 dikatakan Turker (2005), Khaltaksi (2006), dan Arslan et al. (2012) merupakan tingkatan miskonsepsi yang mempunyai tingkat retensi paling kuat. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut pengajaran prevensi dengan model Learning Cycle 7E, yang masih menyisakan miskonsepsi pada semua konsep redoks yang diajarkan dan dialami oleh seluruh anggota kelas, maka peneliti berketetapan untuk melakukan pembelajaran remedial dengan model ECIRR yang telah dipersiapkan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis ini, maka model pembelajaran ECIRR diberlakukan pada pembelajaran keseluruhan konsep yang ada dan melibatkan keseluruhan siswa kelas X-2, X-3, dan X-4. Jadi pembelajaran remedial dalam rangka mereduksi miskonsepsi siswa dilakukan secara klasikal, artinya siswa satu kelas terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

F. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa pada Reaksi RedoksMasih berdasarkan pada pemetaan konsepsi siswa setelah dilakukan pembelajaran prevensi dengan Learing Cycle 7E, ternyata siswa masih banyak mengalami miskonsepsi dan sebagian lagi tidak tahu konsep, maka peneliti meminta siswa untuk mengisi angket terkait kesulitan belajar yang dialami yang berpotensi melahirkan miskonsepsi dan tidak tahu konsep pada diri siswa. Sangatlah sulit mengamati pemikiran siswa dalam memahami suatu konsep, walaupun kegiatan pembelajaran telah berjalan dengan baik, namun setelah diberikan tes ternyata masih banyak ditemukan siswa yang mengalami miskonsepsi.Menurut Suparno (2005) banyak kemungkinan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi, secara garis besar penyebabnya adalah siswa, guru/pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar guru. Faktor-faktor tersebut masih ada jabarannya lebih banyak lagi. Sebagai upaya memperkuat pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian, peneliti mempertimbangkan perlunya diungkap faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa berdasarkan pada respon siswa setelah pembelajaran prevensi dilakukan dan kemungkinan adanya faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan dalam memahami redoks pada khususnya dan ilmu kimia pada umumnya. Data-data yang mungkin disimpulkan sebagai faktor-faktor miskonsepsi dikumpulkan berdasarkan pre-test konsep prasyarat redoks, pre-test pemahaman konsep redoks, dan berdasarkan angket yang diberikan kepada siswa.Menurut Gagne et al. (1988) hirarki belajar (learning hierarchy) dapat digunakan untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa yang disusun dalam hirarki konsep dari konsep utama, konsep subordinat, dan keterampilan yang lebih sederhana, serta dapat dibantu dengan jabaran tujuan dan indikator pembelajaran. Kemampuan prasyarat mempunyai peran penting dalam mendasari pemahaman konsep berikutnya. Ketika siswa dihadapkan pada materi reaksi redoks ditinjau dari serah terima elektron, maka konsep prasyarat yang diperlukan adalah struktur atom dan konfigurasi elektron. Berkaitan dengan pembentukan senyawa ionik, sebagai contoh pada magnesium oksida (MgO) magnesium yang mempunyai 2 elektron pada kulit terluar cenderung melepas elektron, mengalami oksidasi dan oksigen menangkap 2 elektron dari atom Mg membentuk ion oksida (O2-) berarti mengalami reduksi. Terkait dengan konsep-konsep yang dimiliki siswa maka pada pembelajaran dengan Learning Cycle 7E terdapat fase elicit, fase yang mengarahkan konsep awal siswa dapat tergali sebagai konsep prasyarat yang sangat membantu pada pemahaman konsep yang baru (Gagne et al., 1988). Melalui serah terima elektron atom natrium dan klorin membentuk molekul garam dapur (NaCl). Logam natrium cenderung melepas elektron dan atom klorin cenderung menarik elektron. Definisi oksidasi adalah reaksi melepas elektron, dan reduksi adalah reaksi menangkap elektron. 2Na(g) 2 Na+ (g) + 2 e

(oksidasi)

Cl2 (g) + 2e Cl2 (g)

(reduksi)Jadi konsep oksidasi reduksi berhubungan dengan konsep sebelumnya tentang elektron dan sifat periodik unsur, dan keduanya merupakan konsep prasyarat redoks (sterlund et al., 2010).Sehubungan dengan profil kemampuan prasyarat yang dimiliki siswa, konsep prasyarat utama yang harus dimiliki siswa sebelum mempelajari redoks adalah siswa harus menguasai konsep tentang model atom, beserta strukturnya, sistem periodik unsur, dan ikatan kimia. Hal ini sesuai dengan Gagne et al. (1988) bahwa analisis konsep-konsep utama dan konsep subordinat, serta pengetahuan prasyarat yang saling berhubungan dalam hirarki konsep (peta konsep) harus dilakukan sebelum pengajaran. Pada proses pengajaran maka dibuat lingkaran belajar, yang memberikan siswa kesempatan untuk belajar kembali dan menampilkan penguasaan prasyarat-prasyarat yang diperlukan sebelum melanjutkan belajar ke konsep berikutnya.

Faktor penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang diketahui siswa. sebelumnya. Kemampuan prasyarat model atom dan konfigurasi elektron penting sekali ketika siswa dihadapkan pada materi reaksi redoks ditinjau dari serah terima elektron. Sebagai contoh adalah pembentukan senyawa ionik magnesium oksida (MgO) magnesium yang mempunyai 2 elektron pada kulit terluar cenderung melepas elektron, mengalami oksidasi dan oksigen menangkap 2 elektron dari atom Mg membentuk ion oksida (O2-) berarti mengalami reduksi. Pengkaitan konsep-konsep yang dimiliki siswa maka pada pembelajaran dengan Learning Cycle 7E terdapat fase elicit, fase yang mengarahkan konsep awal siswa dapat tergali sebagai konsep prasyarat yang sangat membantu pada pemahaman konsep yang baru (Gagne et al., 1988).Berdasarkan data dalam Tabel 4.14 bahwa pada kelas X-2, X-3, dan X-4 dapat ditarik simpulan bahwa di antara empat faktor penyebab miskonsepsi yang diidentifikasi intensitasnya, maka faktor terbesar adalah prakonsepsi, diikuti konsep prasyarat, dan cara mengajar guru. Urutan tersebut berlaku pada semua kelas yang diteliti, kelas X-2, X-3, dan X-4. Keberadaan prakonsepsi siswa dan kemampuan prasyarat penting bagi siswa, karena keduanya merupakan batu loncatan untuk mencapai suatu pemahaman konsep tertentu. Ditinjau dari hirarki belajar dari Gagne et al., (1988) konsep awal sangat membantu dalam pembentukan struktur kognitif berikutnya, tetapi mengapa menjadi sumber miskonsepsi. Hal ini sama halnya air sangat bermanfaat bagi manusia, bahkan PDAM (perusahaan air minum daerah) mempunyai motto Setetes air adalah kehidupan, tetapi banyak juga kerugian karena air. Petani gagal panen karena menjelang panen, padinya kebanjiran, dan banyak kerugian lainnya akibat banjir. Jadi air mempunyai sisi positip sebagai sumber kehidupan, namun kebalikannya menjadi sisi negatif kalau jumlahnya berlebihan (banjir). Sama halnya prakonsepsi dan konsep prasyarat bermanfaat pada pembelajaran berikutnya jika penguasaan keduanya adalah benar, namun jika salah malahan menyulitkan untuk pemahaman konsep berikutnya (Gagne et al., 1988). Menurut Horton (2004) dari konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah malahan menyulitkan kepada pemahaman berikutnya dan yang menjadikan siswa mengalami miskonsepsi. Hal ini juga dibenarkan oleh Ibrahim (2012) bahwa dengan konsep awal dan prakonsepsi siswa yang salah akan menyebabkan miskonsepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kewaspadaan dari guru, jika prakonsepsi siswa banyak yang mengarah ke miskonsepsi siswa maka guru perlu hati-hati dan senantiasa mengikuti pemikiran siswa, namun selalu mengarahkan untuk menuju status tahu konsep.Terkait pada cara mengajar guru sebagai faktor penyebab miskonsepsi adalah di antara siswa merasa guru yang menyebabkan siswa kurang memahami konsep yang dipelajari, beralasan guru terlalu cepat dalam mengajar. Ditinjau dari penguasaan konsep guru, tidak ada jawaban siswa yang mengarah pada alasan tersebut. Namun jika ditarik simpulan sebenarnya, karena siswa tersebut kurang waktu dalam memahami suatu konsep. Dengan demikian faktor cara mengajar guru tidak dominan faktor terjadinya miskonsepsi dalam penelitian ini, namun yang lebih besar adalah faktor prakonsepsi siswa.G. Keterlaksanaan Model Pembelajaran ECIRRSebelum dilakukan remediasi dengan model ECIRR, maka terlebih dahulu dilakukan pemetaan konsepsi siswa, pemetaan yang menggambarkan hasil post-test I siswa TK, TTK, MK1, MK2, dan MK3. Hasil pemetaan menunjukkan hampir semua tes yang diujikan menyebabkan siswa berstatus MK1, MK2, dan MK3. Berdasarkan peta konsepsi setelah pembelajaran Learning Cycle 7E bahwa semua siswa pada kelas X-2, X-3, dan X-4 mempunyai beban miskonsepsi (MK). Hampir setiap siswa mempunyai beban ketiga beban MK yaitu MK1, MK2, dan MK3. Sebagian siswa hanya menanggung beban MK2 dan MK3, sebagian siswa pada MK1, dan TTK. Karakteriktik siswa yang yang menonjol pada siswa kelas X-2 bahwa sebelum diremediasi banyak ditemukan siswa yang berstatus TTK. Keadaan sebaliknya terjadi pada kelas X-3 bahwa siswa yang berstatus TTK sangat sedikit, namun siswa berstatus MK1, MK2, atau dan MK3 sangat banyak. Pada kelas X-4 keadaannya antara X-2 dan X-3 siswa yang berstatus TTK juga banyak, namun tidak sebanyak pada kelas X-2. Berdasarkan hasil pemetaan ini, maka pembelajaran ECIRR dilakukan secara klasikal yang diikuti oleh semua siswa di kelas tersebut, namun sintaksnya tidak berubah, yaitu Elicit, Confront, Identify, Resolve, dan Reinforce. Siswa pun tetap duduk bersama dalam kelompok belajar seperti pada pembelajaran prevensi dengan Learning Cycle 7E. Kegiatan identifikasi miskonsepsi ini sesuai dengan langkah awal dalam pembelajaran remedial seperti Mulyadi (2008) dan Tarigan (2009) bahwa pengajaran remedial adalah pengajaran khusus yang bertujuan memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan belajar yang dihadapi oleh murid, yang pelaksanaannya terdiri atas kegiatan diagnosis, penanggulangan, perawatan, penyembuhan, dan perbaikan terhadap kesalahankesalahan belajar siswa sehingga hasil belajar yang kurang memuaskan untuk diusahakan menjadi hasil belajar yang optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa.

Menurut Mulyadi (2008) dan Tarigan (2009) bahwa pengajaran remedial diklasifikasi menjadi 3 golongan yaitu remedial bersifat kuratif, preventif, dan pengembangan. Pengajaran remedial pada penelitian ini merupakan tindakan kuratif. Strategi dan teknik ini berdasarkan hasil post-test setelah selesai pembelajaran dan data disajikan dalam profil konsepsi siswa dalam TK, TTK, MK1, MK2, dan MK3. Selain dalam profil konsepsi siswa, data juga disajikan dalam bentuk peta konsepsi siswa.Model ECIRR mempunyai sintaks yang sistematis, karena jauh-jauh hari perangkat yang mendukung untuk pelaksanaan pembelajaran dengan model ini telah dipersiapkan. Perangkat tersebut adalah silabus, RPP, worksheet beserta kuncinya. Perangkat lainnya adalah lembar pengamatan untuk keterlaksanaan pembelajaran, soal konsep redoks, angket siswa, beserta beberapa alat dan bahan zat kimia untuk demonstrasi.Ditinjau dari pelaksanaan pembelajaran remediasi pada konsep redoks, rerata penilaian yang diperoleh dalam kategori sangat baik pada keseluruhan tahapannya, baik secara deskriptif maupun secara inferensial berdasarkan hasil pengamatan dari dua orang pengamat. Pelaksanaan yang sangat baik tidak terlepas dari persiapan dari perangkat pembelajaran yang sudah disiapkan peneliti jauh-jauh hari dan telah mendapat masukan dari banyak pihak yang sangat kompeten.

Diskusi yang menarik bagi siswa tercermin banyak siswa yang bertanya terhadap konsep-konsep yang telah diujikan, yang notabene siswa belum tahu jawaban soal yang pernah dikerjakan. Tidak sedikit juga tanggapan dari siswa yang merasa konsep yang diterima telah benar, namun berbeda dengan konsep ilmiah yang telah diakui kebenarannya.Pembelajaran dengan ECIRR dilaksanakan dalam 2 x 45 menit dan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, Elicit: Guru menjaring data kesulitan-kesulitan yang terjadi pada saat post-test I dikerjakan. Kesulitan yang dimunculkan siswa paling banyak pada konsep bilangan oksidasi, redoks menurut tinjauan oksidasi reduksi, tata nama senyawa anorganik menurut tinjuan biloks, dan reduktor-oksidator. Data ini sebenarnya guru sudah mengetahui setelah menganalisis hasil post-test I siswa dan siap dikonfrontkan pada sintaks kedua.Kedua, Confront: Guru memimpin diskusi terhadap konsep yang dipahami siswa sebagai miskonsepsi. Peristiwa discrepant dipergunakan untuk memberikan kontradiksi prediksi siswa dan menempatkan siswa dalam keadaan konflik kognitif . Sebagai contoh endapan coklat kemerahan yang menempel pada paku dicelupkan ke dalam larutan CuSO4 adalah karat besi yang terbentuk, yang telah dijelaskan di depan. Siswa diyakinkan dengan demonstrasi, dan siswa diarahkan untuk membuat simpulan sendiri, guru tinggal menguatkannya. Contoh lain biloks H2O2 dikira nol untuk atom H dan nol untuk atom oksigen, karena siswa beranggapan bahwa H2O2 tersusun atas unsur H2 dan O2 yang masing-masing adalah unsur bebas dengan biloks nol. Ada siswa lain beranggapan bahwa pada senyawa H2O2 biloks H adalah +1, dan biloks atom O =-2, karena aturan penentuan biloks ke-7 adalah biloks atom H pada umumnya +1, dan biloks atom O pada senyawa pada umumnya -2. Cara mengkonfrontir pemikiran siswa dengan menggambarkan stuktur Lewis, dan beda keelektronegatifam siswa akan menyadari kesalahannya, dan seterusnya. Hal yang penting dalam mengkonfrontir pendapat siswa, guru bisa dengan contoh lain sebagai penjelasan, atau dengan demonstrasi. Bukti secara ilmiah dan bukti empiris melalui demonstrasi atau memberi contoh bendanya kepada siswa merupakan senjata yang ampuh untuk menunjukkan kebenaran konsep kepada siswa. Hal yang terpenting siswa menyadari kesalahannya tanpa merasa dipojokkan atau disalahkan. Pada fase confront ini banyak ahli pendidikan yang mengatakan penerapan dari teori Piaget. Salah satunya adalah sterlund et al. (2010) bahwa satu hal yang paling penting kontribusi dari teori konstruktivism dari Piaget (1896-1980) bagaimana seharusnya individu mengkonstruksi pengetahuan yang diorganisir dalam skema. Interaksi dengan lingkungan diubah dalam skema, yang berimplikasi bahwa struktur kognitif akan berubah oleh proses adaptasi, asimilasi, dan akomodasi. Infomasi baru akan lebih mudah dipahami dan dipelajari jika informasi sesuai dengan skema yang ada. Skema ini akan dikonfirmasi dan dikonsolidasi dari informasi. Informasi yang tidak sesuai dalam skema akan menyebabkan konflik kognitif, hingga terjadi sebuah ketidakseimbangan. Proses akomodasi terjadi pengantian konsep yang lama dengan konsep baru menyesuaikan dengan skema yang ada untuk mencapai kesetimbangan. Piaget mendefinisikan proses ini sebagai belajar (Cakir, 2008, di dalam sterlund et al., 2010) (Suparno, 2000).Ketiga, Identify; guru mengidentifikasi miskonsepsi (konsepsi alternatif) yang dihimpun di lembar jawab siswa dan yang dikonfirmasi langsung pada fase elicit dan dijejerkan dengan konsep yang benar (konsep ilmiah). Fase ini penting sekali sebagai model pembelajaran perbaikan terhadap pembelajaran conceptual change, maka Wening mengusulkan perlu dua fase untuk perbaikan, yaitu fase Identify dan Reinforce. Langkah identifikasi digunakan untuk menjadikan siswa sadar bahwa ada miskonsepsi dalam diri mereka. Penyadaran ini tidak boleh dilakukan dengan mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah. Langkah ini harus mengikuti langkah benturkan secara halus. Keempat, Resolve: guru mendorong siswa untuk melakukan kegiatan untuk mengganti miskonsepsi dengan konsep yang benar dengan pendekatan pertanyaan, yaitu dengan mengisi worksheet. Contoh pertanyaannya adalah

Ditinjau dari serah terima atom oksigen apakah reaksi antara serbuk tembaga(II) oksida dengan serbuk karbon tergolong reduksi atau oksidasi atau reduksi-oksidasi? Jelaskan jawabanmu!

Jawab:

Latihan soal melibatkan aktivitas siswa pada tingkat pemrosesan mental dan akan memperkuat penguasaan konsep siswa, dengan menggunakan teori tingkat pemrosesan atau levels of processing theory. Craik dan Lockhart (1972) serta Craik (1979) (di dalam Nur, 2008) menyatakan bahwa orang menangani rangsangan pada tingkat-tingkat pemrosesan mental yang berbeda dan hanya akan menyimpan informasi yang telah ditangani melalui pemrosesan yang paling sungguh-sungguh dan mendalam. Menurut teori tingkat pemrosesan, semakin kita menaruh perhatian pada detil suatu stimulus, semakin banyak pemrosesan mental yang harus kita lakukan terhadap stimulus itu dan kita semakin cenderung lebih mengingat stimulus itu. Latihan soal (pada fase resolve) merupakan stimulus dan jika dikerjakan dengan baik-baik, maka akan terjadi tingkat pemrosesan mental dan akan memperkuat penguasaan konsep siswa. Kelima, Reinforce: guru memberikan penguatan terhadap konsep yang dipahami siswa dengan menuliskan refleksi pemahaman suatu konsep dari awal hingga siswa memahami konsep dengan benar dan mengerjakan latihan soal akhir untuk mempertahankan konsep yang benar berdasarkan teori tingkat pemrosesan mental. Siswa memberikan komentar dan bertanya terhadap konsep yang telah dikuatkan guru. Hal yang berkesan pada siswa adalah dibenarkannya konsep siswa yang sebelumnya dalam kategori miskonsepsi adalah endapan warna coklat kemerahan pada paku besi yang dicelupkan ke dalam larutan tembaga (II) sulfat, dikiranya adalah karat besi ternyata endapan tersebut adalah adalah ion Cu2+ yang mengalami reduksi dan menempel pada paku besi. Kesan ini dituliskan pada worksheet yang dikerjakan siswa.Langkah penguatan harus dilakukan secara berulang, setiap saat, dan dalam berbagai kondisi di antaranya adalah meningkatkan perhatian siswa dengan kata-kata, misalnya Sekarang kamu hebat sudah dapat menentukan bilangan oksidasi suatu unsur dalam baik dalam ion, unsur bebas, ataupun senyawa. Dapat juga dengan mempermudah proses belajar, misalnya suasana kelas rileks, belajar dalam kelompok, namun masih fokus terhadap konsep yang sedang dibahas Sehubungan dengan penguatan terhadap konsep yang sudah dipahami siswa dengan baik, jangan sampai bergeser kembali ke arah miskonsepsi atau tidak tahu konsep. Oleh karena pembelajaran dilaksanakan secara klasikal, maka penguatan untuk seluruh siswa. Komponen keterampilan penguatan dalam langkah ini adalah (1) penggunaan lisan (verbal reinforcement) : kata-kata: baik, bagus, hebat sekali, benar sekali, sangat teliti dan sebagainya; kalimat: Itu suatu pikiran yang baik, Terima kasih ternyata kamu bisa, (2) penguatan isyarat (gestural reinforcement) wajah tersenyum, memberikan anggukan, tepukan tangan, dan sebagainya, (3) proximity reinforcement: berjalan mendekati, berdiri didekat, duduk dekat kelompok, berdiri di antara siswa, (4)contact reinforcemet: tepuk bahu, jabat tangan, dan sebagainya, dan (5) pemberian (contact reinforcemet): pemberian komentar tertulis pada buku pekerjaan, pemberian minuman, es krim (Arifin, 1997).H. Konsepsi Siswa Setelah Pembelajaran Menggunakan Model ECIRR

Analisis deskripsi pada profil konsepsi siswa kelas X-2, X-3, dan X-4 SMAN Model Terpadu Bojonegoro setelah diremediasi dengan Model ECIRR, menggambarkan bahwa pada semua konsep yang diujikan, sebagian besar siswa telah memahami konsep menjadi lebih baik, seperti terlihat pada Gambar 4.5a, 4.5b, dan 4.5c.Secara klasikal pembelajaran dengan model ECIRR yang ditujukan untuk meremediasi siswa pada reaksi redoks di kelas X-2, X-3, dan X-4 mendapatkan hasil yang positif, sebab dari 7 konsep yang diujikan rata-rata dipahami dengan baik hingga tahu konsep. Hal yang belum dapat diwujudkan adalah semua konsep dipahami tanpa adanya miskonsepsi, hal ini juga didukung dengan uji statistik yang menunjukkan bahwa pengajaran remedial dengan model ECIRR mampu mereduksi miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep yang dipelajari secara klasikal secara signifikan. Hal yang menarik untuk dibahas adalah fenomena yang terjadi pada kelas X-2 (Gambar 4.5a). Kembali dilihat kemampuan awal siswa untuk mendes-kripsikan keadaan tersebut. Jika ditinjau dari profil konsepsi siswa yang diperoleh dari pre-test, maka pada ketiga kelas mempunyai gambaran yang mirip (Gambar 4.1a, 4.1b, 4.1c hlm. 89). Profil konsepsi siswa pada masing-masing kelas menunjukkan bahwa status TTK dominan pada setiap konsep yang diujikan, hal ini menunjukkan bahwa siswa belum pernah mempelajari konsep reaksi redoks secara formal di dalam kelas. Didapatkan gambaran yang berbeda setelah dilakukan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan Learning Cycle 7E. Pada kelas X-2 diperoleh gambaran bahwa siswa yang berstatus TTK dominan. Walaupun pembelajaran dengan Learning Cycle 7E baik dengan simpulan deskriptif maupun inferensial telah meningkatkan pemahaman siswa, namun status siswa pada TTK masih cukup besar. Setelah dilakukan pembelajaran remedial pada kelas X-2, siswa yang berstatus tahu konsep dominan dibandingkan dua kelas lainnya. Fenomena yang terjadi persentase siswa yang tahu konsep paling besar, yaitu 84%, sementara di kelas X-3 hanya 72%, dan pada kelas X-4 persentase pemahaman siswa sebesar 75%. Berdasarkan data tersebut dengan status TTK yang paling besar setelah dilakukan remediasi dengan model ECIRR ternyata pesentase siswa tahu konsep juga paling besar. Fakta ini didukung pada fenomena di kelas X-4 bahwa %TTK pada kelas tersebut lebih besar dibandingkan %TTK di kelas X-3, yang mempunyai %TK lebih besar pula. Hal ini sesuai dengan teori Piaget (di dalam Suparno, 2000) bahwa siswa yang berstatus TTK pada konsep tertentu belum mempunyai skema tentang redoks, namun mempunyai skema lain yang bisa dikembangkan dengan proses asimilasi, sehingga siswa yang berstatus TTK lebih mudah bergeser mengarah ke tahu konsep.Lain halnya dengan fenomena yang terjadi pada siswa kelas X-3, dengan dominannya status MK, baik pada tingkatan MK1, MK2, dan MK3 menunjukkan lebih sedikit yang menggeser ke arah tahu konseptual. Sesuai dengan teori Piaget (di dalam Suparno, 2000), siswa yang mempunyai beban MK lebih sulit melakukan asilimilasi. Asimilasi terhadap pengetahuan baru berbeda dengan skema yang dimiliki siswa. Hal ini terjadi karena pengalaman baru sama sekali tidak sesuai dengan skema yang ada. Pada keadaan tersebut siswa perlu melakukan akomodasi. Waktu yang terbatas dalam pembelajaran remedial sehingga proses akomodasi tidak semua terjalani oleh siswa, sehingga siswa belum mampu menggeser semua beban miskonsepsi yang diembannya menjadi tahu konsep.I. Pergeseran Konsepsi Siswa setelah Pembelajaran Menggunakan Model ECIRR

Pengajaran remedial dengan ECIRR mampu menggeser siswa yang berstatus MK menuju TK, masing-masing dari MK1 menuju TK pada kelas X-2 sebesar 84%, dari MK2 menuju TK sebesar 77%, dan pergeseran dari MK3 menuju TK sebesar 68%. Pergeseran yang terjadi pada kelas X-3 sebesar 68%, dari MK2 menuju TK sebesar 65%, dan pergeseran dari MK3 menuju TK sebesar 54%. Pergeseran yang terjadi pada kelas X-4 sebesar 74%, dari MK2 menuju TK sebesar 65%, dan pergeseran dari MK3 menuju TK sebesar 54%. Perbandingan proporsi dalam persen profil konsepsi setelah remediasi pada kelas X-2 adalah TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 87 : 1 : 6 : 8 : 1. Perbandingan proporsi dalam persen profil konsepsi setelah remediasi pada kelas X-3 adalah TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 72 : 0 : 7: 13 : 9. Perbandingan proporsi dalam persen profil konsepsi setelah remediasi pada kelas X-4 adalah TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 75 : 1 : 8 : 10 : 1. Secara deskriptif ada pergeseran yang signifikan dari MK menuju TK dengan menggunakan model ECIRR jika dibandingkan dengan profil konsepsi siswa sebelum remediasi. Pada kelas X-2 perbandingan proporsi dalam persen TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 26 : 29: 10 : 16: 19. Pada kelas X-3 perbandingan proporsi dalam persen TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 32 : 0: 14 : 18: 34. Pada kelas X-4 perbandingan proporsi dalam persen TK : TTK : MK1 : MK2 : MK3 = 27 : 16: 10 : 16: 10.1. Pergeseran Konsepsi Secara Individual setelah Pembelajaran ECIRR

Pada umumnya setiap individu siswa terkurangi beban MK baik pada tingkatan MK1, MK2, dan MK3. Secara inferensial penurunan MK2 dan MK3 terjadi pada ke tiga kelas yang diteliti, namun penurunan MK1 sebelum dan sesudah remediasi hanya signifikan terjadi pada kelas X-3. Secara deskriptif sebenarnya pada kelas X-2 dan X-3 terjadi penurunan jumlah beban MK setelah dilakukan remediasi, namun hanya sedikit terjadi penurunannya.

Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari individu-individu dalam kelas ini masih saja mempunyai beban MK tertentu yang belum berubah, bahkan ada individu-individu yang mempunyai beban miskonsepsi semakin besar setelah mengikuti pembelajaran remediasi. Ada juga kasus, seorang siswa telah terbebas dari MK1 pada konsep tertentu, namun pada konsep yang lain siswa tersebut justru menggeser ke MK1 yang bisa jadi berasal dari MK2 ataupun MK3. Pergeseran miskonsepsi setiap individu adalah unik berbeda individu satu dengan lainnnya, namun dengan program Excel pergeseran konsepsi siswa dapat diidentifikasi secara otomatis (mengikuti rumus yang diterapkan, dan hasil seperti pada Gambar 4.6a, 4.7b, dan 4.8c.Secara deskriptif pada umumnya secara individual baik pada kelas X-2, X-3, dan X-4 mengalami penurunan jumlah MK. Simpulan tersebut perlu diperkuat dengan simpulan inferensial. Berdasarkan analisis inferensial dengan menggunakan Wilcoxons Signed Rank Test pada reduksi miskonsepsi pada tingkatan MK2 dan MK3 telah berhasil secara secara individual yang terjadi pada kelas X-2, X-3, dan X-4. Yang menarik untuk dikaji adalah secara inferensial reduksi MK1 yang berhasil hanya pada kelas X-3, padahal pada kelas X-2 dan X-4 menurut Gambar 4.6a dan 4.78a terjadi pergeseran MK1 menuju TK masing-masing sebesar 87% dan 74%. Hal ini dapat terjadi bahwa pada konsep-konsep tertentu yang sebelumnya siswa mempunyai beban MK1 pada pada konsep tertentu, setelah diremediasi MK1 bergeser ke arah tahu konsep, namun pada konsep yang lain justru mengalami MK1 yang kemungkinan berasal dari TTK, MK2, MK3 atau bahkan dari TK. Contoh kasus 1: siswa ke-7 sebelum diremediasi tidak mempunyai beban MK1, namun setelah diremidi justru mendapat tambahan beban MK1, pada soal nomor 4 yang semula TTK, pada soal nomor 6 yang semula MK3 bergeser ke MK1, dan pada soal 16 bergeser dari MK3 menuju MK1. Contoh kasus 2: Siswa ke-13, pada soal nomor 1 siswa tersebut mengalami MK1, setelah diremidi bergeser arah TK, pada soal nomor 6 yang semula MK3 mengarah ke MK1, dan pada soal 14, siswa yang semula mengalami MK3 bergeser ke MK1, dan pada soal nomor 16 , yang semula MK3 bergeser ke MK1.Menurut Carrol dan Block (di dalam Ischak dan Warji, 1987) bahwa tidak semua siswa mempunyai kecepatan yang sama dalam memahami konsep-konsep tersebut, hal ini erat sekali hubungan antara tingkat penguasaan belajar siswa dengan waktu yang disediakan. Belum berhasilnya semua siswa mengurangi beban miskonsepsinya merupakan sebuah kewajaran karena banyak ahli pendidikan yang berpendapat, betapa sulitnya memperbaiki miskonsepsi pada siswa. Barke et al.(2009) misalnya, berpendapat bahwa miskonsepsi bersifat resisten, sehingga cenderung bertahan. Pendapat ini diperkuat Ibrahim (2012) yang menyatakan bahwa walaupun konsep yang benar telah diperkenalkan kepada siswa, masih terdapat peluang kembali kepada prakonsepsinya sendiri yang salah (miskonsepsi).Berdasarkan pada Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 bahwa hampir semua siswa masih mempunyai beban MK, hal ini juga didukung pada penurunan MK1 pada kelas X-2 dan X-4 yang tidak signifikan, maka perlu dilakukan remediasi secara klasikal selama 2 x 45 menit yang dilakukan oleh guru di sekolah untuk menurunkan beban MK yang masih tersisa. Hal ini karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut. 2. Pergeseran Konsepsi Secara Klasikal setelah Pembelajaran ECIRRSecara klasikal pada masing-masing konsep yang diujikan, dengan pembelajaran remedial dengan model pembelajaran ECIRR berhasil menurunkan beban MK1, MK2, dan MK3, walaupun belum turun sampai angka nol. Hal ini adalah wajar karena pengajaran ECIRR terpaksa dilakukan secara klasikal karena semua siswa mempunyai beban MK pada semua konsep yang diujikan dan dengan waktu yang terbatas. Bila guru menindaklanjuti remediasi baik secara klasikal maupun secara individual terhadap siswa yang masih mempunyai beban MK pada waktu berikutnya kemungkinan besar beban miskonsepsinya berkurang lagi. Seperti pada uraian sebelumnya Carrol dan Block (di dalam Ischak dan Warji, 1987) bahwa ada hubungan yang sangat erat antara tingkat penguasaan belajar siswa dengan waktu yang disediakan. Sehubungan dengan pergeseran konsepsi siswa secara klasikal mengacu pada Gambar 4.6a, 4.6b, dan 4.6c bahwa MK1 dan MK2 lebih mudah bergeser ke arah tahu konsep dibandingkan dari MK3. Sesuai dengan temuan Khaltaksi (2006) bahwa MK3 lebih kecil yang bergeser ke arah tahu konsep, karena pada tingkatan MK3 siswa tidak dapat menjawab pada tier-1 maupun pada tier-2. Sifat retensi MK3 mengarah ke tahu konsep lebih kuat dibandingkan dengan MK1 dan MK2. Sementara pada tingkatan MK1 dan MK2 siswa hanya tidak dapat memberikan jawaban atau tidak dapat memberikan alasan, namun merasa yakin bahwa kedua jawaban yang telah diberikan adalah benar. Khaltaksi (2006) menyebut MK1 sebagai negative false dan MK2 sebagai positive false yang mempunyai tingkat miskonsepsi lebih rendah dibandingkan MK3. Berdasarkan analisis secara deskriptif bahwa jumlah MK3 yang besar pada pengajaran setelah prevensi (setelah pembelajaran dengan Learning Cycle 7E) menurun paling banyak dibandingkan penurunan jumlah beban MK1 dan MK2, namun sebagian besar bergeser ke arah MK1 atau MK2 dan sebagian kecil bergeser ke arah tahu konsep.

Pergeseran MK1, MK2, dan MK3 mengarah ke tahu konsep, ketiganya dapat terjadi, namun baik secara deskriptif maupun inferensial perubahan dari MK3 menuju tahu konsep peluangnya lebih kecil. Siswa yang bertatus MK3 yang memahami konsep tidak tepat secara keseluruhan bergeser menuju tahu konsep sebagian, sehingga MK3 bergeser mengarah ke MK2 atau ke MK1. Jika ada tindak lanjut remedial secara individual, mungkin sekali mereka menjadi memahami konsep dengan baik.

Berdasarkan analisis inferensial dengan menggunakan Wilcoxons Signed Rank Test pada reduksi miskonsepsi pada tingkatan MK2 dan MK3 telah berhasil secara signifikan dengan tingkat kepercayaan 95% yang terjadi pada kelas X-2, X-3, dan X-4. Seperti pada pembahasan pergeseran MK secara individual, bahwa secara inferensial pergeseran MK1 (klasikal) hanya terjadi pada kelas X-3, padahal pergeseran MK1 mengarah TK pada kelas X-2 dan X-4 tergolong besar yaitu 87% dan 74%. Contoh kasus: Konsep B (Bilangan oksidasi , sebelum diremediasi pada konsep tersebut dijumpai ada 12 siswa yang mengalami MK1. Setelah diremediasi masih dijumpai pula ada 12 siswa yang mengalami MK1. Jumlah siswa yang sebelum dan sesudah remediasi tetap, sehingga tidak mengherankan jika hasil uji signifikansi dengan Wilcoxons Signed Rank Test tidak signifikan. Padahal dengan adanya remediasi, secara klasikal konsep yang dipahami siswa sebagai MK1 pada konsep reaksi redoks pada umumnya bergeser ke arah tahu tahu konsep.Pembelajaran dengan model ECIRR siswa diberi kesempatan untuk memperbaiki dan mengubah konsepsi yang telah terakomodasi dalam struktur otaknya melalui penciptaan suasana konflik (confront) seperti halnya conceptual change, Asimilasi informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sedang konflik terbukti dapat mencabut konsepsi yang salah dari sistem akomodasi dan tergantikan oleh pembentukan konsepsi baru dari fakta-fakta (informasi) baru. Piaget menyatakan secara ekstrem bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari otak guru yang dianggap tahu bila murid tidak mengolah dan membentuknya sendiri (Suparno, 2000). Peran aktif siswa sangat berperan dalam mengubah konsepsi siswa mengarah ke tahu konsep, maka keberhasilan pemahaman konsep siswa dilewati melalui peran total siswa dalam pembelajaran. Ditinjau dari keterlibatan siswa, hampir semua siswa aktif dalam pembelajaran, namun masih dijumpai konsep yang belum dipahami siswa secara benar, Hal ini tidak terlepas dari sifat moskonsepsi yang bersifat resisten (Barke et al., 2009) dan keutuhan pemahaman konsep siswa, hal ini tidak terlepas karakteriktik materi dari redoks pada bagian bilangan oksidasi yang bersifat abstrak (Manku, 1980)(Lee, 1996). Temuan Sidauruk (2003) bahwa kesulitan siswa dalam memahami reaksi redoks salah satunya adalah siswa kesulitan dalam menentukan bilangan oksidasi dengan alasan di antaranya adalah siswa belum bisa membedakan unsur, senyawa, dan ion, serta kesulitan dalam operasi matematika.

Seperti halnya penurunan MK secara tinjauan individual, berdasarkan pada Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 bahwa hampir semua siswa masih mempunyai beban MK, hal ini juga didukung pada penurunan MK1 secara klasikal pada kelas X-2 dan X-4 yang tidak signifikan, maka perlu dilakukan remediasi secara klasikal selama 2 x 45 menit untuk menurunkan beban MK yang masih tersisa. Pembelajaran dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah ini.J. Konsepsi Hasil Penelitian

Model pembelajaran Learning Cycle 7E yang diprediksi dapat memprevensi terjadinya miskonsepsi pada konsep redoks ternyata berhasil, walaupun masih menyisakan siswa mempunyai beban miskonsepsi yang cukup besar sebagai MK1, MK2, MK3, dan TTK. Jika ditinjau dari keterlaksanaan pembelajaran, pembelajaran terlaksana dengan baik, keterlibatan siswa sangat besar dalam proses kognitif yang diawali dari menghadirkan kemampuan awal siswa, merumuskan masalah, menjawab jawaban sementara, melakukan kegiatan eksplorasi, membuat analisis data, dan menyusun simpulan percobaan . Proses kognitif berikutnya adalah menjelaskan kepada kelompok lain, menerapkan konsep dengan latihan soal, evaluasi, dan perluasan konsep pada kehidupan sehari-hari. Perangkat pendukungnya adalah LKS dan worksheet. Berdasarkan hasil pengamatan kedua pengamat, pelaksananaan pembelajaran berjalan sangat baik, ditinjau dari psikomotorik, karakter, dan keterampilan sosial siswa, masing-masing kelompok telah menjalankan dalam kategori baik dan sangat baik. Capaian siswa dalam kognitif proses pada umumnya dalam kategori baik hingga sangat baik, secara deskriptif capaian tersebut seiring dengan capaian hasil belajar siswa pada konsep redoks. Walaupun jika ditinjau dari segi ketuntasan belajar, hanya beberapa siswa saja yang dapat melampaui batas ketuntasan, namun secara inferensial pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan profil konsepsi siswa setelah post test I ternyata miskonsepsi masih banyak ditemukan, keadaan tersebut tidak dapat dihindari, namun merupakan awal yang baik untuk menggeser miskonsepsi siswa ke arah tahu konsep. Berdasarkan fakta juga bahwa pemahaman konsep perlu waktu yang cukup, dan setiap individu mempunyai kecepatan yang berbeda-beda dalam memahaminya. Faktor waktu mempunyai peran yang besar, bahwa hasil dari konsepsi siswa masih menyisakan siswa mempunyai beban yang cukup besar pada MK1, MK2, MK3, dan TTK.Sehubungan dengan masih banyaknya ditemukan miskonsepsi dalam diri siswa setelah pembelajaran prevensi, maka pembelajaran dilanjutkan dengan pengajaran remedial menggunakan model pembelajaran ECIRR. Model ECIRR yang diprediksi bisa mereduksi miskonsepsi siswa ternyata sesuai yang diharapkan. Miskonsepsi pada diri siswa dapat diperbaiki dengan mengubah konsepsi yang sebelumnya tidak sesuai dengan konsep ilmiah telah terakomodasi dalam struktur otaknya melalui penciptaan konflik kognitif dalam fase confront. Pada fase confront ini dengan menunjukkan anomali, contoh lain, atau kegiatan demonstratif kepada siswa diharapkan dapat menggantikan konsep yang salah tanpa menyinggung perasaan siswa, apalagi sampai merendahkan siswa. Pada Model ECIRR terdapat fase identify yang memberikan kesadaran bahwa siswa ternyata siswa mengalami miskonsepsi tanpa guru mengatakannya. Kesadaran tersebut memberikan pengaruh positif bahwa siswa untuk segera melepaskan diri dari miskonsepsi. Setelah konsep yang benar dikuasai siswa, maka ada fase resolve, siswa mengerjakan latihan soal untuk mempercapat memperoleh konsep yang benar. Fase reinforce merupakan fase penguatan agar konsep yang benar tertanam kuat pada pikiran siswa. Pelaksanaan pembelajaran ECIRR juga dalam keadaan baik, hampir seluruh siswa pada terlibat aktif dalam pembelajaran. Secara deskriptif maupun secara inferensial model pembelajaran ECIRR dapat mereduksi miskonsepsi siswa baik secara individual maupun klasikal, namun masih juga menyisakan miskonsepsi, sebab ditinjau dari pelaksanaan kegiatan remidi dengan model ECIRR hanya dilakukan sekali pertemuan (2x45 menit) dan secara klasikal. Alasan yang lain adalah: miskonsepsi bersifat resisten (Barke et al., 2009) sehingga perlu kesabaran dari guru.Seperti halnya penurunan MK baik menurut tinjauan individual dan klasikal, berdasarkan pada Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 bahwa hampir semua siswa masih mempunyai beban MK, hal ini juga didukung pada penurunan MK1 secara individul maupun klasikal pada kelas X-2 dan X-4 yang tidak signifikan, maka perlu dilakukan remediasi secara klasikal selama 2 x 45 menit untuk menurunkan beban MK yang masih tersisa. Pembelajaran dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah ini.

Setelah analisis dan pembahasan hasil penelitian ini dilakukan maka hipotesis yang telah dirumuskan pada akhir Bab II dapat dibuktikan bahwa ada pergeseran miskonsepsi siswa menuju tahu konsep pada pokok bahasan redoks setelah pelaksanaan reduksi miskonsepsi dengan menggunakan gabungan sekuensial model pembelajaran Learning Cycle 7E dan ECIRR.K. Temuan-temuanBerdasarkan pembahasan-pembahasan di atas, maka diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:

1. Prakonsepsi siswa secara individual pada masing-masing konsep, dari tujuh konsep yang diujikan semua menyebabkan individu-individu mengalami miskonsepsi (memiliki prakonsepsi alternatif), baik sebagai status MK1, MK2, dan MK3. Profil prakonsepsi individual di atas mencerminkan gambaran yang wajar dari keadaan siswa sebelum mengikuti pembelajaran konsep reaksi redoks.2.Pembelajaran Learning Cycle 7E untuk mencegah miskonsepsi siswa pada konsep redoks telah dilaksanakan oleh guru dengan kualifikasi sangat baik3. Setelah dilakukan analisis konsepsi individual pada masing-masing konsep setelah pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E didapati temuan sebagai berikut: tindakan prevensi yang dilakukan berhasil meningkatkan pemahaman siswa, namun masih menyisakan beban miskonsepsi pada siswa.4. Pembelajaran menggunakan model dengan model Learning Cycle 7E secara inferensial terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep reaksi redoks secara signifikan walau belum mampu mencapai target ketuntasan.5. Hasil pemetaan siswa miskonsepsi pada setiap butir tes sebelum dilakukan tindakan remediasi menggunakan model ECIRR adalah bahwa setiap siswa dari jumlah siswa yang ada memiliki beban miskonsepsi dalam status MK1, MK2, dan MK3 yang menyebar pada sebagian besar butir tes yang diujikan. Memperhatikan hal itu, maka dengan model ECIRR diberlakukan kepada pembelajaran keseluruhan konsep yang ada dan melibatkan keseluruhan siswa yang ada. 6. Faktor penyebab miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks yang paling dominan adalah faktor prakonsepsi (konsepsi awal) siswa dan disusul konsep prasyarat.7. Pembelajaran remedial untuk mereduksi miskonsepsi siswa menggunakan model ECIRR telah terlaksana dengan sangat baik, namun belum dapat mereduksi miskonsepsi secara keseluruhan dalam diri siswa karena hanya satu pertemuan (2 jam pelajaran) dan pembelajaran dilaksanakan secara klasikal, akibatnya ada sebagian siswa yang masih bestatus miskonsepsi belum memahami konsep secara utuh, sebab siswa mempunyai kecepatan yang tidak sama dalam memahami konsep-konsep tersebut, dan miskonsepsi pada diri siswa cenderung resisten. Berkaitan dengan hal tersebut pembelajaran remedial secara klasikal dapat dilaksanakan kembali oleh guru di sekolah ini.8. Secara deskriptif dan didukung analisis inferensial pembelajaran Learning Cycle 7E dan model ECIRR secara sekuensial mampu mereduksi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. 9. Pergeseran MK3 mengarah ke tahu konsep lebih kecil dibandingkan pergeseran MK1 ataupun MK2, sehingga pada pembelajaran prevensi miskonsepsi dan remediasi pada konsep redoks kelas X ini, memberikan gambaran bahwa MK3 mempunyai sifat retensi yang paling kuat dibandingkan MK1 dan MK2.

Reaksi yang terjadi: 2CuO(s) + C(s) 2 Cu(s) + CO2 (g)

Karbon mengalami oksidasi, C CO2, pada saat C menangkap oksigen, secara bersamaan tembaga(II) oksida melepaskan oksigen. Ketika karbon menangkap oksigen menyebabkan CuO melepaskan atom O, maka CuO mengalami reduksi. Secara bersamaan reaksi antara tembaga (II) oksida dan karbon disebut reaksi oksidasi reduksi (redoks).

146