behavior based safety di bengkel las koba sukoharjo

Upload: ira-rha-pracina-gunarton

Post on 16-Oct-2015

278 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 1

    LAPORAN PRAKTIKUM KESELAMATAN KERJA III

    SEMESTER IV KOMPETENSI DASAR II

    ANALISA BEHAVIOUR BASED SAFETY (BBS)

    PADA KONSTRUKSI BAJA & STAINLESS

    STEEL KOBA

    KELOMPOK 12

    [ KELAS B ]

    1. IRA PRACINASARI ( R0012048 )

    2. WAHYU LESTARI ( R.0012102 )

    3. SRI ANGGRAENI ( R.0012094 )

    4. MUH MUSHAB M ( R.0012062 )

    PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2013

  • 2

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ...............

    i

    HALAMAN PENGESAHAN ............

    ii

    DAFTAR ISI ...

    iii

    BAB I. PENDAHULUAN ..

    1

    A. LatarBelakang ...... 1

    B. Rumusanmasalah.... 2

    C. Tujuan ....... 2

    BAB II. LANDASAN TEORI ......

    4

    BAB III. ISI .....

    18

    BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN ....

    22

    A. Simpulan .... 22

    B. Saran .. 23

    DAFTAR PUSTAKA

    Lampiran

  • 3

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Seiring dengan perkembangan dunia industry sektor informal, dunia kerja

    selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru yang harus bisa segera diatasi

    bila perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Permasalahan yang selalu berkaitan

    dan melekat dengan dunia kerja yaitu timbulnya kecelakaan kerja. Keselamatan

    dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam sistem

    ketenagakerjaan dan sumber daya manusia. Isu keselamatan dan kesehatan

    kerja pada saat ini bukan sekedar kewajiban yang harus diperhatikan oleh para

    pekerja, akan tetapi juga harus dipenuhi oleh sebuah sistem pekerjaan. Dengan

    kata lain keselamatan dan kesehatan kerja bukan semata sebagai kewajiban,

    akan tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi setiap para pekerja dan bagi setiap

    bentuk kegiatan pekerjaan.

    Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar

    bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya

    berupa kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah

    timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya

    manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah

    satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.

    Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja

    adalah biaya pengobatan dan 2kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak

    langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan

    manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan

    hilangnya waktu kerja. Berdasarkan permasalahan tersebut, diharapkan dengan

    adanya aplikasi ini dapat menjadi bentuk pengawasan dan tindakan pencegahan

    didalam meminimalisasi resiko kecelakaan kerja serta dicapai suatu kondisi

  • 4

    kerja dan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan K3 sehingga diperoleh

    peningkatan efisiensi kerja dan peningkatan produktivitas kerja.

    Upaya pencegahan kecelakaan kerja dapat disempurnakan dengan

    menerapkan konsep behavior based safety. Behaviour based safety adalah

    upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pendekatan yang berbasis

    perubahan perilaku. Peneliti menyadari bahwa manusia memegang peranan

    penting dalam melaksanakan pekerjaan. Keberhasilan dalam melakukan

    pekerjaan secara aman dan benar terantung dari manusia yang

    mengerjakannya. Hal yang spesifik dari manusia yang berperan dalam

    melakukan pekerjaannya adalah perilaku kerjanya. Penerapan pengamatan

    perilaku kerja ini berlaku untuk seluruh operasi perusahaan termasuk berlaku

    bagi industri informal, khususnya di KOBA yaitu industri informal yang

    menjualkan konstruksi baja dan stainless steel serta jasa dalam bidang

    pengelasan baik ditempat usaha tersebut maupun diproyeknya.

    Industri informal khususnya tempat pengelasan biasanya rentan

    mengutamakan K3. Dari sebab itu, penulis melakukan pengamatan adakahnya

    penerapan konsep behavior based safety pada industri informal KOBA.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dari Behavior Based Safety?

    2. Apakah ada penerapan konsep Behavior Based Safety pada industri

    informal KOBA?

    3. ApakahBehavior Based Safety penting diterapkan pada industri informal

    KOBA?

    4. Apakah ada dampak dari tidak di terapkannya Behavior Based Safety pada

    industri informal KOBA?

    C. Tujuan

    1. Mengetahui pengertian dari Behavior Based Safety.

    2. Mengetahui adakah penerapan konsep Behavior Based Safety pada

    industri informal KOBA.

  • 5

    3. Mengetahui pentingnya penerapan Behavior Based Safety pada industri

    informal KOBA.

    4. Mengetahui apakah ada dampak dari tidak di terapkannya Behavior Based

    Safety pada industri informal KOBA

    5. Mengetahui program kerja yang harusdijalankanpada industry informal

    KOBA

  • 6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. PerilakuAman (Safety Behavior)

    Perilaku diterjemahkan dari kata bahasa Inggris behavior, namun

    seringkali pengertian perilaku ditafsirkan secara berbeda antara satu orang

    dengan yang lainnya. Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau

    kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang

    lain dan lingkungan disekitarnya, atau bagaimana manusia beradaptasi

    terhadap lingkungannya. Perilakupada hakekatnya adalah aktifitas atau

    kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang dapat teramati secara

    langsung maupun tidak langsung. Perilaku keselamatan adalah tindakan

    atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan kerja.

    Menurut Zhou et al., (2007) ada empat faktor yang paling efektif

    untuk meningkatkan perilaku keselamatan, yaitu: safety

    attitudes,employees involvement, safety managementsystems and

    procedures, and safety knowledge. Faktor iklim keselamatan lebih

    berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika dibandingkan dengan

    pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim

    keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku

    keselamatan secara maksimal guna mencapai total budaya keselamatan.

    Rundmo dan Hale (2003) melakukan studi terhadap sikap (attitude)

    manajemen terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan.

    Hasil studi menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap

    yang ideal untuk manajemen adalah:

    1. Komitmen yang tinggi.

    2. Kefatalan rendah.

    3. Toleransi terhadap pelanggaran rendah.

    4. Emosi dan kekhawatiran tinggi.

    5. Tunakuasa rendah.

  • 7

    6. Prioritas keselamatan tinggi.

    7. Penguasaan dan kesadaran tinggi.

    Paul P.S. dan Maiti J. (2007) mempelajari peranan perilaku

    keselamatan pekerja terhadap terjadinya kecelakaan pada perusahaan

    tambang. Dari studi yang dilakukan diperoleh struktural model yang

    menunjukkan hubungan work injury secara signifikan dipengaruhi oleh:

    1. Pengaruh negatif

    2. Pengambilan resiko

    3. Ketidakpuasan kerja

    4. Umur

    5. Kinerja keselamatan

    Menurut Mullen J. (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

    perilaku keselamatan individu pekerja, yaitu:

    1. Faktor organisasi : yaitu beban kerja yang berlebih, persepsi

    kinerja keselamatan, pengaruh sosialisasi, sikap keselamatan dan

    persepsi terhadap resiko.

    2. Faktor personal image; yaitu kesan macho dan mampu untuk

    menghindari konsekuensi negatif, misalnya diejek atau diremehkan

    rekan kerja dan ketakutan kehilangan posisi.

    Menurut Mullen bahwa faktor organisasi menentukan perilaku

    keselamatan pekerja. Sosialisasi organisasi terhadap karyawan baru sedini

    mungkin akan mempengaruhi persepsi pekerja terhadap iklim

    keselamatan, sikap keselamatan, komitmen terhadap keselamatan dan

    perilaku keselamatan.

    OHS training dan edukasi serta penegakan aturan, inspeksi, dan

    komunikasi merupakan karakteristik perilaku yang paling dibutuhkan

    untuk meningkatkan kinerja keselamatan untuk semua posisi diatas.

    Mengembangkan atau merubah budaya organisasi merupakan tantangan

    serta membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Dengan menentukan

    target yang tepat, seperti OHS advisor dan supervisor, kemudian

    mengidentifikasi keahlian dan kemampuan serta perilaku yang paling

  • 8

    dibutuhkan yang dapat mengarah kebudaya keselamatan yang positif,

    kinerja keselamatan dapat diperbaiki dan dimaksimalkan. Dalam hal ini

    ditunjukkan pentingnya peran pimpinan dalam merubah budaya organisasi

    dan keselamatan. Pimpinan disini bukan hanya pada tingkatan manajemen

    akan tetapi sampai pada pimpinan lapangan seperti foremen (Dingsdag et

    al., 2008).

    Pendekatan budaya keselamatan dimulai dari level manajemen ke

    level yang lebih rendah (top-down approach), sementara pendekatan

    perilaku keselamatan dimulai dari level bawah ke level atas (bottom-up

    approach). Keberhasilan kedua pendekatan tersebut bergantung pada ada

    tidaknya perubahan pada tata nilai dasar dari organisasi, itikad, dan asumsi

    tentang keselamatan di tempat kerja. DeJoy (2005) mengusulkan metode

    pendekatan terintegrasi antara pendekatan budaya keselamatan dan

    perilaku keselamatan. Pendekatan budaya keselamatan lebih bersifat

    komprehensif namun kurang memberikan solusi pada masalah

    keselamatan yang spesifik. Disisi lain, pendekatan perilaku lebih bersifat

    spesifik dalam menyelesaikan masalah keselamatan namun kurang

    komprehensif. Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi

    pendekatan kedua metode ini akan saling melengkapi dan menghasilkan

    perubahan yang lebih komprehensif sekaligus menyelesaikan masalah-

    masalah keselamatan yang spesifik. Model pendekatan terintegrasi yang

    diusulkan sangat baik dan dapat diterima secara konsep (DeJoy, 2005).

    Salah satu program yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki

    perilaku pekerja adalah behavior-based safety. Behavior-based safetyatau

    lebih dikenal dengan singkatan BBS adalah suatu pendekatan yang bersifat

    proaktif dalam meningkatkan kinerja K3, dan sistem ini juga memberikan

    peringatan dini terhadap potensi bahaya kecelakaan serta dapat mengukur

    perilaku aman dan tidak aman di tempat kerja. Sistem ini juga memberikan

    kesempatan kepada setiap individu untuk berbagi informasi mengenai

    kinerja K3 dan umpan balik terhadap rekan-rekan kerja mereka,

    mendorong keterlibatan pekerja dalam semua aktifitas K3, meningkatkan

  • 9

    kesadaran pribadi akan K3, memperbaiki presepsi terhadap resiko dan

    mengarahkan konsep berpikir pada pencegahan kecelakaan (IET, 2007).

    Program BBS adalah merupakan program perbaikan kontinu yang

    melibatkan manajemen dan pekerja. Ada lima program yang harus dijalan

    secara kontinu dalam BBS, yaitu :

    1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja.

    Program ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya

    guna mengetahui perilaku aman dan tidak aman dari pekerja.

    2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja sebagai bentuk

    pembelajaran berdasarkan informasi yang diperoleh dari program pertama.

    3. Membuat program perencanaan implementasi BBS berdasarkan masukan

    dan data yang diperoleh dari program pertama.

    4. Implementasi perbaikan dan berbagi pembelajaran antar organisasi.

    5. Training dan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan

    dan presepsi terhadap resiko, membina individu untuk melakukan

    pekerjaan sesuai dengan standar dan menguji dampak perilaku.

    Teori Heinrich (1980, dalam Geller, 2001) tentang keselamatan

    kerja menyatakan bahwa perilaku tidak aman (unsafe behavior)

    merupakan penyebab dasar pada sebagian besar kejadian hampir celaka

    dan kecelakaan di tempat kerja. Oleh karena itu, dilakukan observasi

    mendalam trerhadap kalangan pekerja mengenai perilaku kerja tidak aman.

    Umpan balik mengenai observasi terhadap perilaku telah terbukti sukses

    dalam mengurangi perilaku tidak aman para pekerja. Umpan balik yang

    diberikan dapat berupa lisan, grafik, tabel dan bagan, atau melalui tindakan

    perbaikan.

    Lebih lanjut, Cooper (2009) mengidentifikasi adanya tujuh kriteria

    yang sangat penting bagi pelaksanaan program Behavior Based Safety:

    1. Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan

    BBS menerapkan sistem bottom-up, sehingga individu yang

    berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam

    mengidentifikasi perilaku kerja tidak aman (unsafe behavior).

  • 10

    Dengan keterlibatan pekerja secara menyeluruh dan adanya

    komitmen, kepedulian seluruh pekerja terhadap program

    keselamatan maka proses perbaikan akan berjalan dengan

    baik.

    2. Memusatkan Perhatian pada unsafe behavior yang spesifik

    Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang

    memicu terjadinya perilaku tidak selamat para praktisi

    menggunakan teknik behavioral analisis terapan dan memberi

    hadiah (reward) tertentu pada individu yang mengidentifikasi

    perilaku tidak selamat.

    3. Didasarkan pada Data Hasil Observasi, Observer memonitor

    perilaku selamat pada kelompok mereka dalam waktu

    tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut,

    dan safe behavior akan meningkat.

    4. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data, Hasil

    observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data persentase

    jumlah safe behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat

    letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik

    yang bisa menjadi reinforcement positif bagi karyawan yang

    telah berperilaku kerja aman, selain itu bisa juga menjadi

    dasar untuk mengoreksi unsafe behavior yang sulit

    dihilangkan.

    5. Melibatkan Intervensi Secara Sistematis dan Observasional

    Keunikan sistem Behavior Based Safety adalah adanya jadwal

    intervensi yang terencana. Dimulai dengan briefing pada

    seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan,

    karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas

    sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team.

    Observer ditraining agar dapat menjalankan tugas mereka.

    kemudian mengidentifikasi unsafe behavior yang diletakkan

    dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja

  • 11

    untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer

    melakukan observasi pada periode waktu tertentu (+ 4

    minggu), untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah

    program intervensi dilakukan dengan menentukan goal setting

    yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus

    melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian

    dianalisis untuk mendapatkan feedback bagi para karyawan.

    Team project juga bertugas memonitor data secara berkala,

    sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus

    dilakukan.

    6. Menitikberatkan pada Umpan Balik terhadap Perilaku Kerja

    Dalam program Behavior Based Safety, umpan balik dapat

    berbentuk umpan balik verbal yang langsung diberikan pada

    karyawan sewaktu observasi, umpan balik dalam bentuk data

    (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis

    dalam lingkungan kerja, dan umpan balik berupa briefing

    dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis

    untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang

    perilaku yang spesifik.

    7. Membutuhkan Dukungan dari Manager, Komitmen

    manajemen terhadap proses behavior based safety biasanya

    ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer

    dalam menjalankan tugasnya, memberikan penghargaan yang

    melakukan perilaku selamat, menyediakan sarana dan bantuan

    bagi tindakan yang harus segera dilakukan, membantu

    menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan

    inisiatif untuk bertindak selamat dalam setiap kesempatan.

    Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan

    dalam penerapan BBS biasanya disebabkan oleh kurangnya

    dukungan dan komitmen dari manajemen.

  • 12

    B. Pengelasan

    Menurut penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui

    bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman

    prasejarah, misalnya pembrasingan logam paduan emas tembaga dan

    pematrian timbal-timah, menurut keterangan telah diketahui dan

    dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM dan

    diduga sumber panas berasal dari pembakaran kayu dan arang. Pada abad

    ke 19 teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah

    dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008).

    Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi

    pada sambungan logam paduan yang dilaksankan dalam keadaan,

    dijelaskan lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan

    jenis yang sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu

    sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas

    dan tekanan (Suharno, 2008).

    1. Jenis-Jenis Pengelasan

    Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua

    antara lain (Bintoro, 1999) :

    a. Las Oksi Asetilen

    Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara

    manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau

    disambung sampai mencair oleh nyala gas asetilen melalui

    pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam

    pengisi. Pembakaran gas C2H2 oleh oksigen (O2) dapat

    menghasilkan suhu yang sangat sangat tinggi sehingga dapat

    mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah satu jenis gas

    yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan.

    Gas asetilen disimpan di dalam suatu tabung yang mampu

    menahan tekanan kerja.

  • 13

    b. Las listrik

    Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang

    dilakukan dengan jalan mengalirkan arus listrik melalui bidang

    atau permukaan-permukaan benda yang akan disambung.

    Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan

    benda kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah

    logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau

    pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang ditimbulkan

    oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan

    panas dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan

    disambung. Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang

    terjadi pada nyala busur listrik karena adanya potensial tegangan

    atau beda tegangan antara ujung-ujung elektroda dan benda kerja.

    Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya loncatan

    bunga api, semakin besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan

    bunga api listrik. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa tegangan

    yang tinggi akan membahayakan operator las, karena tubuh

    manusia hanya mampu menderita tegangan listrik sekitar 42 volt.

    Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa membahayakan

    operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet

    dan sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran

    atau radiasi dari sinar tersebut sangat membahayakan mata maupun

    pekerjat manusia (Bintoro, 1999).

    2. Manajemen dalam Pengelasan

    Juru las yang terampil dan peralatan las yang baik belum tentu

    dapat menjamin hasil las yang bermutu tinggi, apabila sarana lainnya

    tidak terpenuhi. Manajemen pengelasan dalam hal ini harus mengatur

    beberapa sarana penting yang dapat mempengaruhi hasil pengelasan

    seperti pelaksanaan yang aman, pengawasan mutu, dan pemeriksaan

  • 14

    proses. Manajemen tersebut terdiri atas beberapa pengawasan

    (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :

    a. Pengamanan pelaksanaan

    Agar pengelasan dapat dilakukan dengan aman, alat-alat

    pengamanan harus lengkap dan juru las harus mengerti dan dapat

    serta mau menggunakan alat pengaman tersebut, dalam hal ini

    yang penting adalah :

    1. Pemakaian baju kerja yang sesuai dan aman.

    2. Pada pengelasan di tempat yang tinggi harus menggunakan

    alat pengaman agar tidak terjatuh.

    3. Pemakaian pelindung dengan baik.

    4. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan.

    b. Pengawasan umum

    Untukmendapatkan mutu pengelasan yang baik perlu adanya

    pengawasan pada peralatan yang digunakan, bahan las yang

    dipilih, pelaksanaan dan keterampilan. Pengawasan yang dimaksud

    diatas diterangkan sebagai berikut:

    1. Pengawasan peralatan

    Dengan menggunakan peralatan yang sempurna, akan diperoleh

    mutu hasil lasan yang baik dan efisiensi kerja yang tinggi,

    karena itu diperlukan sistem manajemen yang dapat menentukan

    cara-cara pemilihan alat, pembelian alat, peminjaman alat

    kepada pekerja dan cara memperbaiki alat yang rusak.

    2. Pengawasan bahan las

    Pengaturan pembelian bahan las baik dalam jenis maupun dalam

    jumlah harus menjamin agar selalu terdapat jumlah persediaan

    seperti yang telah ditentukan dan yang sesuai dengan jadwal

    pelaksanaan.

    3. Pengawasan pelaksanaan

    Apabila proses pengelasan telah ditentukan, maka perlu untuk

    mengadakan pengawasan agar prosedur pengelasan diikuti

  • 15

    sepenuhnya. Untuk mempermudah pengawasan dan

    menghindari kesalahan perlu dibuat petunjuk kerja yang

    terperinci yang meliputi kondisi pengelasan, penggunaan alat,

    pemakaian bahan, prosedur pengerjaan dan cara-cara

    mengadakan perbaikan bila terjadi cacat.

    4. Pengawasan keterampilan

    Untuk mendapatkan juru las yang terampil perlu diadakan

    pelatihan dan pendidikan. Tiap-tiap juru las harus mempunyai

    kualifikasi berdasarkan peraturan yang ditentukan oleh badan

    yang berwenang dalam bidang konstruksi yang sesuai dan

    menguasai tentang pengelasan.

    3. Bahaya Dalam Pengelasan

    Pada pekerjaan pengelasan banyak risiko yang akan terjadi apabila

    tidak hati-hati terhadap penggunaan peralatan, mesin dan posisi kerja yang

    salah. Beberapa risiko bahaya yang paling utama pada pengelasan

    (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :

    a. Cahaya dan sinar yang berbahaya

    Selama proses pengelasan akan timbul cahaya dan sinar yang dapat

    membahayakan juru las dan pekerja lain yang ada di sekitar pengelasan.

    Cahaya tersebut meliputi cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak,

    sinar ultraviolet dan sinar inframerah.

    1) Sinar ultraviolet

    Sinar ultraviolet sebenarnya adalah pancaran yang mudah diserap,

    tetapi sinar ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaksi kimia

    yang terjadi di dalam tubuh. Bila sinar ultraviolet yang terserap oleh lensa

    dan kornea mata melebihi jumlah tertentu maka pada mata akan terasa

    seakan-akan ada benda asing di dalamnya. Dalam waktu antara 6 sampai

    12 jam kemudian mata akan menjadi sakit selama 6 sampai 24 jam. Pada

    umunya rasa sakit ini akan hilang setelah 48 jam.

  • 16

    2) CahayaTampak

    Semuacahaya yang

    masukkemataakanditeruskanolehlensadankorneake retina mata.

    Bilacahayainiterlalukuatmakamataakancepatlelahdanapabilaterlalu lama

    akanmenimbulkansakit. Rasa lelahdansakitinijugahanyasementara.

    3) Sinarinframerah

    Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu

    sinar ini lebih berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak

    terasa. Pengaruh sinar inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh

    panas, yaitu menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya

    penyakit kornea, presbiopia yang terlalu dini dan terjadinya kerabunan.

    b. Arus listrik yang berbahaya

    Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada

    besarnya arus dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan

    hubungannya dengan besar arus adalah sebagai berikut:

    1. Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil

    saja dan tidak membahayakan.

    2. Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi

    pada otot dan menimbulkan rasa sakit.

    3. Arus 10 mA akan menyebabkan rasa sakit yang hebat.

    4. Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada

    otot sehingga orang yang terkena tidak dapat melepaskan

    dirinya tanpa bantuan orang lain.

    5. Arus 50 mA sangat berbahaya bagi tubuh.

    6. Arus 100 mA dapat mengakibatkan kematian.

    c. Debu dan gas dalam asap las.

    Debudalamasap las besarnya berkisar antara 0,2 m sampai dengan

    3 m. Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan

    dan elektroda yang digunakan. Bila elektroda jenis hydrogen rendah, di

    dalam debu asap akan terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam

    pengelasan busur listrik tanpa gas, asapnya akan banyak mengandung

  • 17

    oksida magnesium (MgO). Gas-gas yang terjadi pada waktu pengelasan

    adalah gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3)

    dan gas nitrogen dioksida (NO2).

    d. Bahaya kebakaran.

    Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api

    pengelasan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar,

    bensin, gas, cat kertas dan bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya

    kebakaran juga dapat terjadi karena kabel yang menjadi panas yang

    disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel yang tidak sesuai

    atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak.

    e. Bahaya Jatuh.

    Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi

    akan selalu ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat

    menimbulkan luka ringan ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha

    pencegahannya harus diperhatikan.

    4. Perlengkapan Keselamatan Kerja Las

    Demi keamanan dan kesehatan tubuh, operator las harus memakai

    alat-alat yang mampu melindungi tubuh dari bahaya-bahaya yang

    ditimbulkan akibat pengelasan. Perlengkapan tersebut antara lain (Bintoro,

    1999):

    a. Pelindung muka

    Bentuk dan pelindung muka ada beberapa macam tetapi secara prinsip

    pelindung muka mempunyai fungsi yang sama, yaitu melindungi mata dan

    muka dari pancaran sinar las dan percikan bunga api. Pelindung muka

    mempunyai kacamata yang terbuat dari bahan tembus pandang yang

    berwarna sangat gelap dan hanya mampu ditembus oleh sinar las.

    Kacamata ini berfungsi melihat benda kerja yang dilas dengan mengurangi

    intensitas cahaya yang masuk ke mata.

  • 18

    b. Kacamata bening

    Untuk membersihkan torak atau untuk proses finishing misalnya

    penggerindaan, mata perlu perlindungan, tetapi tidak dengan pelindung

    muka las. Mata tidak mampu melihat benda kerja karena kacamata yang

    berada pada pelindung muka sangat gelap. Oleh karena itu, diperlukan

    kacamata bening yang mampu digunakan untuk melihat benda kerja dan

    sangat ringan sehingga tidak mengganggu proses pekerjaan.

    c. Masker wajah

    Masker berfungsi untuk menyediakan udara segar yang akan dihirup oleh

    sistem pernapasan manusia. Masker digunakan untuk pengelasan ruangan

    yang sistem sirkulasi udaranya tidak baik. Karena proses pengelasan akan

    menghasilkan gas-gas yang membahayakan sistem pernapasan jika dihirup

    dalam jumlah besar. Jika gas hasil pengelasan tidak segera dialirkan ke

    luar ruangan maka akan dihirup oleh operator.

    d. Pakaian las

    Pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari percikan bunga api dan

    pancaran sinar las. Pakaian las terbuat dari bahan yang lemas sehingga

    tidak membatasi gerak si pemakai. Selain bahan pakaian yang digunakan

    lemas, juga harusringan, tidak mudah terbakar, dan mampu menahan panas

    atau bersifat isolator. Model lengan dancelana dibuat panjang agar mampu

    melindungi seluruh tubuh dengan baik.

    e. Pelindung badan (apron)

    Untuk melindungi pekerjat dan organ-organ tubuh pada bagian badan dari

    percikan bunga api dan pancaran sinar las yang mempunyai intensitas

    tinggi maka pada bagian badan perlu dilindungi sperti halnya pada bagian

    muka, karena baju las yang digunakan belum mampu sepenuhnya

    melindungi pekerjat dan organ tubuh pada bagian dada.

    f. Sarung tangan

    Kontak dengan panas dan listrik sering terjadi yaitu melewati kedua

    tangan, contoh: penggantian elektroda atau memegang sebagian dari benda

    kerja yang memperoleh panas secara konduksi dari proses pengelasan.

  • 19

    Untuk melindungi tangan dari panas dan listrik maka operator las harus

    menggunakan sarung tangan, karena mempunyai sifat mampu menjadi

    isolator panas dan listrik (mampu menahan panas dan tidak

    menghantarkan listrik).

    g. Sepatu las

    Sepatu las dapat melindungi telapak dan jari-jari kaki kemungkinan

    tergencet benda keras, benda panas atau sengatan listrik. Dengan memakai

    sepatu las bebarti tidak ada aliran arus listrik dari mesin las ke ground

    (tanah) melewati tubuh kita, karena bahan sepatu berfungsi sebagai

    isolator listrik.

  • 20

    BABIII

    ISI

    A. Tempat dan Jadwal penelitian

    Tempat : KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steel

    Alamat : Jl. Kaliwingko 39 Telp./Fax. (0271) 620936 Grogol Sukoharjo

    57552 (Utara Gapura)

    Hari : Senin

    Tanggal : 24 Maret 2014

    Waktu : 13.00 WIB

    B. Alat dan Bahan

    1. Kertas/buku

    Fungsi: Untuk menulis hasil observasi

    2. Pulpen

    Fungsi: Untuk menulis hasil observasi

    3. Kamera

    Fungsi: Untuk dokumentasi

    C. Hasil dan Pembahasan Kegiatan Praktikum

    KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steel merupakan industri

    informal yang bergerak di bidang pengelasan dan penjualan hasil

    pengelasanterutamadalampembuatanpagar. KOBA didirikan pada tahun 1989

    Jl. Kaliwingko 39 Telp./Fax. (0271) 620936 Grogol Sukoharjo 57552 (Utara

    gapura) oleh Bapak Himawan yang lahir 64 tahun lalu di Kebumen.

    Karyawan yang dimiliki saat ini lebih dari 10 orang yang diantaranya

    ada yang bekerja dibagian staff yaitu pekerja yang bekerja dibagian kantor,

    pekerja lapangan internal yang ditempatkan pada proses produksi yang

    berdekatan dengan kantor dan pekerja lapangan eksternal yang ditempatkan

  • 21

    pada proses produksi di luar daerah. Produk dari usaha tersebut sudah

    dieksport ke berbagai tempat luardaerahmaupunluar negara.

    Proses kerja di KOBA tersebut dimulai dari pukul 08.00 WIB 16.00

    WIB untuk hari senin jumat, sedangkan pada hari sabtu dimulai dari pukul

    08.00 WIB 15.00 WIB yang berlaku bagi setiap karyawan yang bekerja di

    tempat tersebut. Namun, jika pesanan sedang meningkat tenaga kerja bagian

    pengelasan di tempat usaha tersebut melembur 12 sampai 20 jam kerja dalam

    sehari.

    Pengusaha KOBA ini tidak memasukkan karyawannya dalam

    JAMSOSTEK melainkan pada salah satu ASURANSI milik swasta. Hal ini

    disebabkan karyawan yang

    bekarjatidakterikatsecarapenuholehperaturanperusahaansehinggapekerjadapat

    keluar masuk pada perusahaan tersebut.

    No Nama Umur Lama

    Bekerja

    Bagian Pekerjaan APD

    1 Suseno 63 tahun 3 bulan Pengamplasan Tidak ada

    2 Wiyono 40 tahun 10 tahun Pengecatan Ada masker

    tapi tidak

    dipakai

    karena males

    3 Sukato 24 tahun 3 tahun Pengelasan Memakai

    kacamata

    4 Antonius

    Suwarto

    61 tahun 26 tahun Menggerinda Tidak ada

    5 Bambang 50 tahun 15 tahun Kepala bengkel Tidak ada

    6 Gombloh 60 tahun 5 hari Perbaikanalatdanmesin Tidakada

    Dari data yang sudah ada, penerapan Behaviour Based Safety belum

    maksimal karena di sana sebenarnya sudah disiapkan alat pelindung diri tapi

    para pekerja tidak mau memakainya. Hal ini dikarenakan pekerja pada

  • 22

    bengkel tersebut malas memakainya dan merasa tidak nyaman saat memakai

    alat pelindung diri dan sudah terbiasa dengan keadaan/perilaku yang seperti

    itu.

    Pada bengkel las tersebut para pekerja belum mengetahui dan memahami

    bahaya yang akan diterima yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja

    maupun penyakit akibat kerja yang fatal saat bekerja dalam jangka waktu

    yang pendek maupun jangka waktu yang panjang tanpa memakai alat

    pelindung diri.

    Setelah melakukan observasi, dapat kita ambil kesimpulan bahwa

    penerapan BBS di tempat las tersebut belum di terapkan. Karena, pekerja

    yang belum memahami tentang BBS tersebut. Selain itu, dari pengamatan

    yang kami lihat juga terlihat bahwa perilaku kerja yang tidak safety dilakukan

    berulang-ulang saat bekerja. Tempat las tersebut juga merupakan industri

    informal jadi penerapan K3 di dalam bengkel las tersebut juga belum di

    terapkan.

    Untuk itu, belum adanya manajemen K3 di tempat las tersebut yang

    dapatmenyebabkan Penyakit Akibat Kerja dan kecelakaan kerja di tempat las

    tersebut. Sebagai contoh, yang kami temukan di tempat las tersebut, yaitu

    yang terjadi pada Bapak Antonius Suwarno yang mengalami PAK yaitu,

    kedua matanya mengalami kecacatan fisik, dan penglihatan pun menjadi

    kabur. Hal tersebut di karenakan pekerja di bagian gerinda tersebut tidak

    menggunakan kacamata las dalam bekerja, sehingga mengakibatkan hal

    tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama.

    Selain itu, pekerja lainnya yang bekerja di bagian pengecatan, dll juga

    tidak memakai APD berupa masker. Sehingga bisa di katakan PAK terjadi

    pada semua pekerja yang ada di bengkel las tersebut.

    Berbicara tentang pimpinan bengkel las tersebut, pemilik bengkel sudah

    menyediakan Alat Pelindung Diri untuk para pekerjanya, tapi kurang optimal

    dalam pelaksanakannya baik dari segi manajemen maupun dalam segi

    inspeksi berkala. Sehingga Alat Pelindung Diri sering diabaikan dan

    hanyadipakai waktu ada penilaian atau pemeriksaan.

  • 23

    Perilaku yang terjadi di dalam las bengkel tersebut bisa di katakan telah

    menjadi hal biasa oleh pekerjanya. Karena, sejak mereka bekerja, mereka

    tidak membiasakan untuk berperilaku K3 di dalam bengkel las tersebut.Untuk

    menerapkan BBS dalam bengkel las tersebut juga merupakan hal yang tidak

    mudah, dikarenakan bengkel tersebut merupakan industri informal yang tidak

    memiliki ahli K3, biaya dan sulit untuk membangun perilaku keselamatan

    kerja.

    Penerapan Behaviour Based Safety di bengkel las tersebut seharusnya

    diterapkan, karena di dalam industri informal banyak sekali perilaku yang

    menyebabkan kecelakaan pekerja, seperti pada bengkel las KOBA tersebut

    Seharusnya, pihak benkel melaksanakan program-program yang dapat

    mengubah perilaku pekerjanya untuk melaksanakan BBS. Ada 5 program

    yang dapat di jalankan secara kontinu dalam BBS untuk bengkel tersebut,

    yaitu:

    1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja.

    2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja

    3. Membuat program perencanaan implementasi BBS

    4. Implementasi perbaikan dan berbagai pembelajaran

    5. Training dan pembinaan

  • 24

    BAB IV

    SIMPULAN DAN SARAN

    A. Simpulan

    1. Behavior Based Safety (BBS) merupakan aplikasi sistematis dari riset

    psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety)

    ditempat kerja yang memasukkan proses umpan balik secara langsung dan

    tidak langsung. BBS lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap

    terjadinya kecelakaan di tempat kerja.

    2. Pada proses produksi di KOBA Konstruksi Baja & Stainless

    Steelbelumditerapkannya Behavior Based Safety (BBS),

    sehinngatenagakerjabanyakditemukanPenyakitAkibatKerjamaupunKecela

    kaanAkibatKerja.

    3. Behavior Based Safety (BBS) sangat diperluksn oleh siapa saja, kapan

    saja dan dimana saja, sehingga perilaku aman dapat dilakukan untuk

    menghindari terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkanperilakutidakaman

    yang terjadi proses produksi KOBA diantaranyaadalah :

    Percayadiri yang berlebih

    Kerapiandankebersihan yang buruk

    Tidakmemperdulikanprosedurkeselamatan

    Tidakmenggunakan APD

    Bekerjamenggunakanalat-alat yang rusak

    Meletakkanbarangproduksidanperalatantidakpadatempatny

    a

    4. Dikarenakantidakditerapkannya Behavior Based Safety

    makaditemukanbanyakterjadiKecelakaanKerjamaupunPenyakitAkibatKerj

    apadaperusahaan KOBA, diantaranyaadalah :

    Terpukulalatkerjasepertipalu

    Mata terkenapercikanapigerinda

    Tertimpabahan

  • 25

    Terpeleset

    Terhirupzatkimai cat maupundebu

    Tersandung

    B. Saran

    1. Adanya training ataupelatihantentang K3 khususnyaalambidang Safety

    Behavior.

    2. Adanyamanajemen K3 dalamperusahaanuntukmembudayakanperilaku

    safety.

    3. AdanyaAlatPelindungDiri (APD) yang

    sesuaidanadanyaperaturandalampemakaiannya.

    4. Adanyadiskusi yang baikantarapekerjadenganatasan di

    lingkungankerja.

    5. Lebihmengutamakankeselamatandaripadakecepatandalambekerja.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Cooper, M. D. (2009). Behavioral Safety Interventions: A Review of

    Process Design Factors. Safety Management, 36-45.

    Geller, E.S. (2001). The Psychology of Safety Handbook. USA: CRC

    Press LLC, 2001.

    Ivancevich, John M et all. 2006. PerilakudanManajemenOrganisasi, Jilid 1

    Edisiketujuh, Jakarta :PenerbitErlangga

    Karyani. 2005. Faktor-faktor yang berpengaruhpadaperilakuaman (safe

    behavior) di Schlumberger Indonesia tahun 2005. Tesis. FKM UI Depok

    Kondarus, Danggur. 2006. KeselamatanKesehatanKerja Membangun SDM

    Pekerja Yang Sehat, Produktif, danKompetitif. Jakarta: LitbangDanggur&

    Partners

    Maanaiya, Imam. 2005. Faktor-faktor yang

    berhubungandengantindakantidakaman (Unsafe act/substandard practice)

    pekerja di bagian Press PT YIMM Tahun 2005. Tesis.Depok : FKM UI

    Neal, Andrew danGraffin, Mark. 2002. Safety Climate And Safety Behavior.

    Australian Journal of Management.

    Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :

    PT. Rineka Cipta