buku 1_new revisi_ 24 feb 2015_b5

119
7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5 http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 1/119 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Darat ISBN No : 978-602-14437-6-7 Editor : Dr. Bidawi Hasyim Dr. Dony Kushardono Dr. Indah Prasasti Dr.Bambang Trisakti Di cetak dan diterbitkan oleh : CRESTPENT PRESS Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM) Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor 16144 Telp/Fax. (0251) 8359072, email: [email protected] UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Upload: jhon-andryk-joelianto

Post on 18-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 1/119

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh

untuk Sumber Daya Wilayah Darat

ISBN No : 978-602-14437-6-7

Editor :

Dr. Bidawi Hasyim

Dr. Dony Kushardono

Dr. Indah Prasasti

Dr.Bambang Trisakti

Di cetak dan diterbitkan oleh :

CRESTPENT PRESS 

Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM)

Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor 16144

Telp/Fax. (0251) 8359072, email: [email protected]

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA 

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu

ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual

kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 2: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 2/119

2 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

DARI PENERBIT

Puji syukur di panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya buku bunga rampai dengan judul

“Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Darat”. Buku ini memuat kumpulan tulisan

ilmiah para peneliti/perekayasa di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan

Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang mengulas manfaat dari data penginderaan jauh

untuk mengidentifikasi dan menurunkan beberapa parameter bio-geo-fisik pada sektor pertanian, kehutanan,

sumberdaya air dan pengembangan wilayah

Dengan diterbitkannya buku bunga rampai Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah

Darat ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya pemantauan sumberdaya alam sekaligus

sebagai referensi dalam kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh di wilayah Indonesia.

Ucapan terima kasih diberikan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional yang telah berkontribusi dalam penyusunan materi buku, serta kepada para penyunting

dan Penelaah yang banyak membantu dalam penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi

terhadap ilmu pengetahuan dan dimanfaatkan oleh pembacanya.

Penerbit

Page 3: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 3/119

3Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

KATA PENGANTAR

Kemajuan teknologi penginderaan jauh satelit yang dapat menghasilkan data dan linformasi yang realtime

(up to date) dengan cakupan yang luas dan historikal data yang baik, memungkinkan LAPAN (khususnya Pusat

Pemanfaatan Penginderaan Jauh) untuk berkontribusi dalam upaya pemantauan sumberdaya alam di wilayah

Indonesia. Sesuai dengan amanah Undang-Undang No.21 tahun 2013, bahwa Pusat Pemanfaatan Penginderaan

Jauh (Pusfatja) mempunyai tugas untuk membuat pedoman pengolahan data penginderaan jauh yang dapat

dijadikan acuan bagi pengguna untuk melakukan pengolahan dan pemanfaatan data penginderaan jauh.

Untuk melaksanakan tugas tersebut Pusfatja harus melakukan kegiatan Litbang pengolahan dan pemanfaatan

data penginderaan jauh untuk menghasilkan metode yang akurat yang akan dijadikan pedoman.

Buku Bunga Rampai ini memuat kumpulan tulisan ilmiah hasil kegiatan Litbang yang dilaksanakan oleh peneliti/

perekayasa di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat yang merupakan salah satu bidang di bawah Pusfatja-LAPAN. Tema tulisan ilmiah yang dimuat pada buku ini mencakup sektor pertanian, kehutanan, sumberdaya

air dan pengembangan wilayah. Titik berat buku ini adalah menjelaskan bagaimana data penginderaan jauh,

khususnya data satelit penginderaan jauh, dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menurunkan beberapa

parameter bio-geo-fisik yang terdapat di permukaan bumi, sehingga diperoleh informasi yang dapat digunakan

untuk mendukung program nasional Pemerintah Indonesia. Kami berharap buku ini dapat menjadi salah satu

referensi yang bermanfaat dalam kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh di Indonesia. Saran dan masukan

dari pembaca sangat diharapkan bagi perbaikan metode dan informasi yang dihasilkan, selain itu juga bagi

penyempurnaan penulisan buku serupa di masa yang akan datang.

Jakarta, November 2014

Editor 

Page 4: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 4/119

4 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Daftar Isi

Dari Penerbit ........................................................................................................................ 2

Kata Pengantar .................................................................................................................... 3

Daftar Isi ................................................................................................................................ 4

Teknik Segmentasi dan Klasifikasi Berjenjang Untuk PemetaanLahan Sawah Menggunakan Citra SPOT-6 .................................................................................. 5

I Made Parsa dan Tatik Kartika

 Validasi Model Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Teknik

Segmentasi dan Klasifikasi Citra Landsat Ortho (Studi Kasus Lampung) .................................. 17

I Made Parsa, Dipo Yudhatama, Sri Harini

Identifikasi Tanaman Pada Lahan Sawah Berdasarkan Model

Pertumbuhan Tanaman Menggunakan Data EVI MODIS Multi Temporal ................................. 27

Dede Dirgahayu Domiri, Heru Noviar dan Silvi

Aplikasi Inderaja Untuk Mendeteksi Awal Tanam Padi

Menggunakan Data EVI MODIS Multitemporal ........................................................................ 39

Dede Dirgahayu

Analisis Nilai Ekologi Lahan Sawah Di Kota Depok Jawa BaratMenggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh ....................................................................... 49

Mukhoriyah

Pembuatan Informasi Spasial Sebaran NDVI di DTA Danau Kerinci

Berbasis Data Landsat TM/ETM+ Periode 2000-2009 .............................................................. 59

Bambang Trisakti, Arum Tjahyaningsih, dan Samsul Arifin

Pemantaun Luas Permukaan Eceng Gondok dan Luas Danau

Berbasis Data Penginderaan Jauh di Danau Tempe ............................................................... 71

Nana Suwargana dan Bambang Trisakti

Aplikasi Data Penginderaan Jauh Untuk Inventarisasi

Hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau ........................................................... 85

Heru Noviar

Deteksi Perubahan Penutup Lahan Berdasarkan Analisis Visual

dari Citra Landsat Tm Studi Kasus : Lemah Abang Bekasi ........................................................ 95

R. Johannes Manalu

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan SIG Untuk

Pengembangan Jaringan Pipa Air Minum ............................................................................... 105

Dipo Yudhatama dan Bambang Trisakti

Page 5: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 5/119

5Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

TEKNIK SEGMENTASI DAN KLASIFIKASI BERJENJANG UNTUK

PEMETAAN LAHAN SAWAH MENGGUNAKAN CITRA SPOT-6

(STUDI KASUS KABUPATEN MAROS, SULAWESI SELATAN)

I Made Parsa dan Tatik Kartika

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

 ABSTRAK 

Penelitian tentang “Segmentasi dan klasifikasi berjenjang untuk pemetaan lahan sawah menggunakan citra Spot-6”

ini mengambil studi kasus Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bertujuan untuk pertama mengetahui ketelitian dari

teknik segmentasi/klasifikasi yang dilakukan secara berjenjang untuk pemetaan lahan sawah. Kedua, membandingkan

ketelitian pemetaan antara teknik segmentasi/klasifikasi berjenjang dengan teknik segmentasi dan interpretasi untuk

pemetaan lahan sawah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra SPOT-6 pansharpen multiwaktu (bulan

Maret, April dan Mei 2013). Citra yang paling baik kualitasnya (bulan Maret) disegmentasi dengan skala 100, 80 dan

50 dengan warna 0,9 dan kekompakan 0,5. Klasifikasi dilakukan secara bertahap, tahap pertama klasifikasi dilakukan

untuk memisahkan air, vegetasi, bera/terbuka/terbangun dan bayangan. Pada tahap kedua dilakukan pendetilan

lebih lanjut dari tiap kelas hasil klasifikasi tahap satu yang berkaitan dengan lahan sawah. Air dikelaskan menjadi

sawah berair, tambak berair dan badan air, kelas vegetasi dikelaskan menjadi sawah vegetasi, semak/belukar, hutan,

sedangkan kelas bera/terbuka/lahan terbangun dikelaskan menjadi sawah bera, permukiman, lahan terbuka. Pada

tahap akhir dilakukan penggabungan kelas sehingga terbentuk kelas lahan sawah dan nonsawah. Selain itu, juga

dilakukan klasifikasi hasil segmentasi dengan teknik interpretasi citra SPOT multiwaktu menjadi kelas sawah dan

kelas nonsawah. Sementara itu untuk data referensi dilakukan pemetaan lahan sawah dengan teknik interpretasi dan

delineasi citra SPOT-6 multiwaktu. Pengujian dengan teknik confusion matrix (matrik kesalahan) menunjukkan bahwa

ketelitian pemetaan dengan tekhik segmentasi dan klasifikasi mencapai 79,2% sedangkan ketelitian pemetaan dengan

teknik segmentasi dan interpretasi mencapai 96,5%. Hasil kajian menunjukkan bahwa segmentasi dengan skala 100,

warna 0,9 dan kekompakan 0,5 cukup baik memisahkan objek di wilayah kajian. Selain itu kajian ini juga menunjukkan

bahwa kombinasi teknik segmentasi dengan interpretasi lebih baik dari teknik segmentasi dan klasifikasi.

Kata Kunci : Segmentasi berjenjang, klasifikasi, interpretasi, SPOT-6

Page 6: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 6/119

6 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Perkembangan metode klasifikasi digital saat ini begitu pesat, hal ini ditandai dengan telah berkembangnya

teknik klasifikasi berbasis objek yang diklaim akan dapat meminimalkan bebebapa kelemahan yang dihasilkan

oleh teknik klasifikasi berbasis pixel karena klasifikasi berbasis pixel tidak hanya menggunakan nilai digital

semata tetapi juga menambahkan beberapa parameter parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu skala,

bentuk, kekompakkan. Selain itu teknik klasifikasi berbasis objek ini memiliki keunggulan pada pemisahan

antar objek yang sangat akurat dan presisi serta lebih efisien dari sisi waktu sehingga mempunyai potensi

sebagai alternatif pengganti klasifikasi visual/delineasi maupun klasifikasi digital berbasis pixel (Kampouraki

et al. (2007) dalam Parsa (2012)). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa parameter skala dan warna sangat

mempengaruhi hasil dan waktu segmentasi. Skala yang semakin kecil menyebabkan hasil segmentasi semakin

detil karena semakin banyak region yang terbentuk sedangkan semakin besar threshold  kuantisasi warna, maka

 jumlah cluster warna yang terbentuk semakin sedikit karena semakin banyak cluster  warna yang digabungkan

(Soelaiman et al. (2008) dalam Parsa (2012)).

Penggunaan objek sebagai unit klasifikasi terkecil akan membantu mengatasi efek “salt and pepper ” yang

umum ditemukan pada klasifikasi digital berbasis pixel karena selain menggunakan fitur spektral, klasifikasi

berbasis objek juga menggunakan fitur topografi, tekstur, dan geometri objek. Klasifikasi berbasis objek

akan meningkatkan akurasi klasifikasi vegetasi secara significant yang dianggap sebagai hal mustahil dalam

pemetaan vegetasi berbasis penginderaan jauh (Yu, 2006). Segmentasi dan klasifikasi berbasis objek citra

resolusi sangat tinggi untuk pemetaan daerah perkotaan memberikan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan klasifikasi berbasis pixel (Peijun et al. , 2011).

Segmentasi citra merupakan salah satu bagian penting dari pemrosesan citra, yang bertujuan untuk membagi

citra menjadi beberapa region yang homogen berdasarkan kriteria kemiripan tertentu antara tingkat keabuansuatu piksel dengan tingkat keabuan piksel-piksel tetangganya. Hasil dari proses segmentasi ini akan digunakan

untuk proses lebih lanjut yang dapat dilakukan terhadap suatu citra, misalnya proses klasifikasi citra dan

proses identifikasi objek. Segmentasi citra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi analisis

citra berbasis objek. Teknik segmentasi citra secara otomatis mengelompokkan piksel berdekatan menjadi

contiguous region berdasarkan kemiripan kriteria pada property  piksel. Objek dapat lebih baik daripada piksel,

dalam hal mengetahui tetangganya (neighbours) serta hubungan spasial dan spektral antar piksel (Murinto dan

Harjoko (2009) dalam Parsa (2012)).

Segmentasi objek dilakukan dengan beberapa pendekatan berbeda mulai dari algoritma yang sangat

sederhana seperti segmentasi Chessboard dan segmentasi Quad Tree Based hingga metode tahap lanjut

seperti segmentasi Multiresolusi. Segmentasi Chessboard, membagi daerah piksel atau daerah objek citra

kedalam objek-objek citra persegi dimana satu kotak persegi di pojok kiri atas dengan ukuran tertentu

diterapkan ke seluruh objek citra sehingga setiap objek dibagi ke dalam kotak-kotak persegi ini. Segmentasi

Quad Tree Based, membagi daerah piksel atau daerah objek citra kedalam grid quad tree yang dibentuk oleh

objek-objek persegi. Struktur  quad tree dibangun dengan cara setiap kotak memiliki ukuran maksimum pertama

dan kedua yang memenuhi kriteria homogenitas seperti yang ditentukan oleh mode dan skala parameter.

Segmentasi Multiresolusi, merupakan suatu prosedur optimasi heuristik yang secara lokal meminimumkan rata-

rata heterogenitas objek-objek pada citra untuk suatu resolusi tertentu yang dapat diterapkan pada level piksel

atau pada suatu level objek citra. Segmentasi Spectral Difference, digunakan untuk menggabung objek-objek

yang berdekatan sesuai dengan nilai intensitas layer rataannya. Objek-objek yang berdekatan digabung jika

perbedaan intensitas rata-rata layernya kurang dari nilai yang diberikan oleh rata-rata beda spektral. Algoritma

ini dirancang untuk memperhalus hasil segmentasi yang telah ada dengan menggabungkan objek-objek yang

dihasilkan dari segmentasi sebelumnya yang memiliki spektral yang sama/mirip.

Page 7: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 7/119

7Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Beberapa parameter yang mempengaruhi hasil segmentasi tergantung beberapa hal, yaitu: skala parameter,

bentuk, kehalusan, dan kekompakan. Skala parameter adalah ukuran yang menentukan nilai maksimum

heterogenitas yang dibolehkan dalam menghasilkan objek-objek citra dimana untuk data yang heterogen,

objek-objek yang dihasilkan akan lebih kecil daripada data yang lebih homogen dan dengan memodifikasinilai skala parameter dapat dibuat ukuran objek-objek citra yang beragam. Bentuk secara tidak langsung

dapat menentukan kriteria warna, yang menyatakan berapa persen nilai-nilai spektral pada layer citra

yang akan berkontribusi terhadap keseluruhan kriteria homogenitas. Pembobotan ini berlawanan dengan

persentase homogenitas bentuk yang ditentukan dalam kolom bentuk, dimana dengan nilai bentuk 1 akan

mengakibatkan homogenitas spasial dari objek-objek menjadi lebih optimum. Meski demikian kriteria bentuk

tidak dapat memiliki nilai lebih dari 0,9 terkait dengan fakta bahwa tanpa informasi spektral dari citra objek-

objek yang dihasilkan tidak akan berkaitan dengan informasi spektral sama sekali. Kehalusan digunakan untuk

mengoptimalkan objek-objek citra berkaitan dengan batas-batas objek. Sementara itu kekompakan digunakan

untuk mengoptimumkan objek-objek citra dikaitkan dengan kekompakan Kriteria ini harus digunakan ketika

objek-objek citra berbeda yang lebih kompak tetapi dipisahkan dari objek-objek tidak kompak hanya oleh

kontras spektral yang relatif lemah (eCognition (2000) dalam Parsa (2012)).

Komposisi Kriteria Homogenitas, merupakan acuan parameter skala ditentukan di dalam komposisi kriteria

homogenitas. Pada keadaan ini homogenitas digunakan sebagai sinonim untuk heterogenitas minimum. Secara

internal tiga kriteria yang dihitung yaitu warna, kehalusan dan kekompakan. Ketiga kriteria homogenitas ini bisa

digunakan dengan beranekaragam kombinasi. Untuk sebagian besar kasus, kriteria warna merupakan yang

terpenting dalam menghasilkan objek-objek tertentu. Meski demikian suatu nilai tertentu dari homogenitas

bentuk seringkali dapat meningkatkan kualitas ekstraksi objek. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kekompakan

dari objek-objek spasial berhubungan dengan konsep bentuk citra. Sehingga kriteria bentuk sangat membantu

dalam menghindari hasil berupa objek citra yang patah terutama pada data tekstur (misalnya data radar).

Seluruh prosedur Klasifikasi citra remote sensing bertujuan untuk mengelompokkan semua pixel dalam citra

kedalam klas tematik penutup dan penggunaan lahan. Tehnik klasifikasi konvensional menggunakan tehnik

unsupervised maupun supervised sedangkan metoda pengambilan keputusannya dapat digunakan metoda

minimum-distance, parallelepiped and maximum likelihood (Lillesand dan Kiefer, 1993). Pada proses klasifikasi

menggunakan software definiens yang didasarkan pada  object-oriented image analysis . Proses tersebut

dilakukan dengan dua tahapan yaitu; Pertama adalah proses segmentasi dan kedua adalah proses pengklasan/

pengelompokan citra. Pengelompokkan diturunkan dari sifat-sifat physik objek yang biasanya digambarkan

dalam bentuk textur dan/atau nilai gray level dari masing–masing objek. Artinya pengelompokkan objek

diorganisir dalam hierarchy (berjenjang), dimana masing-masing klas/kelompok dapat mempunyai subklas atau

super klas (lihat Gambar 1).

Sawah adalah areal pertanian yang digenangi air atau diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan,

lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman pangan berumur

pendek (padi). Secara fisik lahan sawah berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk

menahan/menyalurkan air, serta dapat ditanami tanaman pangan berumur pendek seperti padi, palawija

atau tanaman budidaya lainnya atau yang dikenal dengan istilah lahan pertanian basah (Badan Standarisasi

Nasional (2010) dalam Parsa (2011)). Sawah pada umumnya terdapat pada lahan yang datar hingga lahan yang

mempunyai lereng < 10%, akan tetapi di beberapa wilayah tertentu lahan sawah juga dapat ditemukan pada

lahan yang mempunyai lereng lebih dari 10%, bahkan hingga lereng 30%. Pada kondisi lereng yang demikian

besar biasanya diterapkan sistem terasering (www.mediabpr.com, 2011). Lahan sawah pada citra komposit

Landsat 5,4,3 dapat dengan mudah dikenali karena mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan

dengan penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah dapat mempunyai tiga macam kenampakkan yang berbeda

tergantung kondisi/fase lahan sawah tersebut yaitu biru (dalam kondisi air/fase pengolahan tanah sampai

Page 8: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 8/119

8 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

tanam), hijau (setelah tanam/vegetatif) dan merah (panen/bera). Perubahan kenampakkan tersebut cukup

mudah diamati pada pengamatan terhadap data multitemporal, sehingga dengan demikian lahan sawah

cukup mudah pula untuk diidentifikasi (Parsa et al, 2011).

Gambar 1. Klasifikasi hierarchi citra

Sistem SPOT mempunyai empat saluran termasuk tiga kanal multispektral, yaitu kanal hijau, merah, infra merah

dekat dan satu kanal pankromatik. Resolusi spasial citra SPOT adalah 20x20 meter untuk kanal multispektral dan

10x10 meter untuk kanal pankromatik sedangkan cakupannya seluas 60 km (Lillesand and Kiefer, 1993). SPOT

tidak mempunyai kanal infra merah tengah yang peka terhadap kandungan air daun menyebabkan citra SPOT

kurang baik untuk studi vegetasi, selain itu dari segi harga SPOT memang lebih mahal (Dimyati, 1998). SPOT 5

memiliki dua instrumen resolusi tinggi geometris (HRG) yang berasal dari HRVIR SPOT 4 dengan resolusi yang

lebih tinggi dari 2,5 sampai 5 meter dalam mode pankromatik dan 10 meter dalam mode multispektral (20

meter di gelombang pendek inframerah 1,58-1,75 µm). SPOT 6 mempunyai resolusi produk Pankromatik: 1,5

m; Color merge: 1,5 m, Multispektral: 6,2 m. Akuisisi pankromatik dan multispektral SPOT 6 adalah simultan 6

kali perhari persatelit.

Tabel 1. Perbandingan karakteristik system SPOT-5 dan SPOT-6

SPOT-5 SPOT-6

Band Resolusi Panjang Gel Band Resolusi Panjang Gel

Band 1, Green 10 m 0.50 - 0.59 μm Band 1, Blue 6,2 m 0.450–0.525 μm

Band 2, Red 10 m 0.61 - 0.68 μm Band 2, Green 6,2 m 0.530–0.590 μm

Band 3, Near-IR 10 m 0.79 - 0.89 μm Band 3, Red 6,2 m 0.625–0.695 μm

Band 4, Pank 2,5 m 0. 51 - 0.73 μm Band 4, Near-IR 6,2 m 0.760–0.890 μm

Band 5, Pank 1,5 m 0.450–0.745 μm

Penelitian ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu (1) mengetahui ketelitian dari teknik segmentasi/klasifikasi

yang dilakukan secara berjenjang untuk pemetaan lahan sawah. (2) membandingkan ketelitian pemetaanantara teknik segmentasi/klasifikasi dengan teknik segmentasi dan interpretasi untuk pemetaan lahan sawah.

Page 9: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 9/119

9Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

METODE

Lokasi penelitian/kajian dilaksanakan dengan mengambil wilayah di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dengan

luas kajian berkisar 3.028 hektar. Lokasi kajian ini merupakan dataran rendah dengan beragam penggunaan

seperti sawah, tambak dan sebagian masih merupakan hutan belukar dengan topografi berbukit.

a. Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi: citra SPOT-6 pansharpen terkoreksi radiometrik tahun 2013

produksi Pusat Teknologi dan Data LAPAN, dengan resolusi spasial 1,5 meter.

b. Diagram alir pengolahan dan analisis data disajikan pada Gambar 2.

Tahapan pengolahan dan análisis citra mencakup tahapan sebagai berikut:

1. Pengolahan data

a. Seleksi dan cropping citra SPOT-6 pansharpen untuk wilayah kajian. Berdasarkan hasil seleksi, citra

yang kualitasnya terbaik adalah citra yang diperoleh tanggal 28 Mei 2013 sehingga sebagai base untuk

segmentasi.

b. Segmentasi dijital citra SPOT-6 pansharpen tahap satu menggunakan kombinasi skala yaitu 100, dan

80 dengan nilai warna 0,9 dan kekompakan 0,5. Hasil segmentasi dikonversi ke format shapefile (shp).

c. Analisis kuantitatif terhadap hasil segmentasi, meliputi akurasi segmen dan keterpisahan objek.

Berdasarkan hasil analisis ini kemudian ditetapkan apakah kombinasi nilai warna dan kekompakan yang

digunakan mampu memisahkan objek dengan baik.

d. Pengambilan training sampel dan klasifikasi tahap 1, yang hanya terdiri atas empat kelas yaitu air, bera/

terbuka/terbangun, vegetasi dan bayangan.

e. Pengambilan training sampel dan klasifikasi tahap 2, untuk mendetilkan masing-masing kelas yang

terbentuk pada hasil klasifikasi tahap 1, dilakukan tiga kali yaitu untuk mendetilkan kelas air, kelas bera/

terbuka/terbangun, dan kelas vegetasi.

f. Analisis percampuran kelas pada setiap tahap klasifikasi

g. Penggabungan kelas hingga terbentuk kelas sawah dan kelas nonsawah.

h. Identifikasi, klasifikasi citra SPOT-6 multiwaktu untuk pemberian label pada shapefile hasil segmentasi

citra SPOT-6

i. Identifikasi, interpretasi dan delineasi lahan sawah berdasarkan citra SPOT-6.

2. Evaluasi ketelitian hasil pemetaan dengan matrik kesalahan (confusion matrix)   dengan referensi hasil

interpretasi lahan sawah dari citra SPOT-6 multitemporal terhadap:

a. Hasil segmentasi/klasifikasi digital citra SPOT-6

b. Hasil segmentasi dan interpretasi citra SPOT-6

Page 10: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 10/119

10 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Data lapangan

(Referensi)

Perbaikantraining sampel

INTERPRETASI

berdasarkan

kunci Inter retasi

CITRA INDERAJA

SPOT-6 PANSHARPEN

Segmentasi; Scale; Shape;

Compactness

Penentuan kelas

Pengambilan

training sampel

taha 1

Klasifikasi

EVALUASI SEGMEN

Y

T

EVALUASI

KLASIFIKASI

Peta Lahan Sawah

Y

T

Record Kelas

MODEL PEMETAAN

LAHAN SAWAH 

ConfusionMatrix

Pengambilan

training sampel

taha 2

Pengambilan

training sampel

taha 3

Peta Lahan

KETELITIAN

PEMETAAN LAHAN

SAWAH 

Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Page 11: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 11/119

11Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan kombinasi warna 0,9, kekompakan 0,5 didasarkan atas hasil kajian sebelumnya tentang pemetaanlahan sawah menggunakan citra Landsat. Sementara itu perlakuan dua macam skala 100 dan 80 bertujuan

untuk melihat keterpisahan hasil segmentasi dimana analisis kualitatif terhadap hasil segmentasi menunjukkan

bahwa secara umum kedua perlakuan skala 80 dan skala 100 menghasilkan segmen yang cukup baik dimana

sedikit terjadi percampuran kelas, bedanya adalah perlakuan skala 80 lebih detil dimana satu kelas dapat

terbagi menjadi beberapa segmen. Mengingat dalam kasus ini yang dipelajari adalah segmentasi dan klasifikasi

berjenjang maka dipilih skala 100 sebagai dasar untuk analisis lebih lanjut. Hasil segmentasi awal skala 100

disajikan pada Gambar 3.

Lahan sawah, hutan, belukar dan lahan campuran dapat tersegmentasi dengan cukup baik dimana kenampakkan

yang berbeda secara nyata menjadi segmen yang berbeda. Lahan tambak dapat dipisahkan dengan sangatbaik karena pemisahan terjadi bukan hanya tiap blok/petak saja tetapi juga untuk pematang tambak juga

segmennya terpisah. Pada tahap 1 pengambilan training sampel hanya meliputi tiga kelas yaitu: lahan/tanah

terbuka (termasuk area terbangun), air, vegetasi, dan bayangan. Analisis statistik training sampel tahap 1 ini

menunjukkan bahwa percampuran antara training sampel air, tanah dan bayangan sangat rendah 1-15%, kecuali

antara kelas air dan vegetasi percampurannya agak tinggi 42-47%, selengkapnya disajikan pada Tabel 6.

 

a b

c d

Gambar 3. a. sawah, b. tambak, c. campuran dan d. hutan pada hasil segmentasi citra SPOT-6 denganskala 100, warna 0,9, kekompakan 0,5

Page 12: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 12/119

12 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tabel 2. Statistik percampuran kelas training sampel tahap 1 antar kelas pada lokasi kajian

Pembanding

Kelas aktif 

Tanah Vegetasi Campuran Bayangan

b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3

Air 4 8 9 47 42 44 14 14 14 3 5 4

Tanah 5 15 13 1 5 6

 Vegetasi 13 13 13 4 4 4

Keterangan: b1:band 1, b2:band 2, b3:band 3, satuan persen

Pada tahap dua, segmentasi dan klasifikasi dilakukan terhadap masing-masing kelas hasil klasifikasi tahap 1.

Segmentasi dan klasifikasi kelas air untuk memisahkan badan air, dan tambak air, sedangkan segmentasi dan

klasifikasi lahan terbuka/terbangun dilakukan untuk memisahkan sawah bera, permukiman dan lahan terbuka.

Segmentasi dan klasifikasi kelas vegetasi diharapkan dapat memisahkan antara vegetasi sawah, semak dan

lain-lain.

Hasil segmentasi dan klasifikasi tahap kedua terhadap kelas air memisahkan kelas badan air dan tambak air

dengan percampuran kelas yang cukup baik kecuali antara badan air dan vegetasi (sangat tinggi), selengkapnya

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Statistik percampuran training sampel tahap kedua untuk kelas air

Kelas aktif

Pembanding

Tambak air Badan air

b1 b2 b3 b1 b2 b3

 Vegetasi 40 33 36 98 100 100

Tanah 0 0 0

Campuran 13 9 9

Badan air 2 0 1

Bayangan 7 0 7

Keterangan: b1:band 1, b2:band 2, b3:band 3, satuan persen

Hasil segmentasi dan klasifikasi tahap kedua terhadap kelas vegetasi memisahkan sawah vegetasi, semak/

belukar dengan percampuran kelas 2-36% kecuali antara kelas sawah vegetasi dengan semak dan sawah

vegetasi 81-83%, selengkapnya disajikan pada Tabel 4 .

Tabel 4. Statistik percampuran kelas training sampel tahap kedua untuk kelas vegetasi

Kelas aktif

Pembanding

Tambak air Badan air Sawah vegetasi

b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3

 Vegetasi 40 33 36 98 100 100

Page 13: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 13/119

13Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Kelas aktif

Pembanding

Tambak air Badan air Sawah vegetasi

b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3

Tanah 0 0 0 21 36 31

Campuran 13 9 9 15 15 15

Badan air 2 0 1 15 15 14

Bayangan 7 0 7 2 3 3

Tambak air 18 10 14

Semak 81 82 83

Keterangan: b1:band 1, b2:band 2, b3:band 3, satuan persen

Sementara itu segmentasi dan klasifikasi tahap kedua, terhadap lahan terbuka/area terbangun memisahkanpermukiman, sawah bera dengan percampuran kelas 1-37%, selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Statistik percampuran training sampel tahap kedua untuk lahan terbuka/area terbangun

Kelas aktif

Pembanding

Tambak air Sawah bera Badan air Sawah vegetasi

b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3

 Vegetasi 40 33 36 98 100 100

Tanah 0 0 0 21 36 31

Campuran 13 9 9 5 6 7 15 15 15

Badan air 2 0 1 15 15 14

Bayangan 1 1 1 7 0 7 2 3 3

Tambak air 18 10 14

Semak 12 27 37 81 82 83

Permukiman 11 11 7

Sawah bera 0 0 1 12 12 13

Keterangan: b1:band 1, b2:band 2, b3:band 3, satuan persen

Pada tahap akhir dilakukan penggabungan kelas lahan sawah dari setiap tahapan sehingga diperoleh peta

lahan sawah hasil klasifikasi sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Pengujian ketelitian hasil klasifikasi

dilakukan dengan teknik confusion matrix  (matrik kesalahan), menggunakan referensi peta lahan sawah hasilinterpretasi citra SPOT-6 pansharpen multitemporal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketelitian (overall

accuracy)  pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi ini mencapai 79,4% selengkapnya disajikan pada

Tabel 6.

Tabel 6. Ketelitian pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan klasifikasi digital

Seg-Klasifikasi Sawah Nonsawah Luas Ketelitian (%)

Interpretasi

Sawah 696.155 150.637 846.792 82.2

Nonsawah 473.087 1708.072 2181.159 78.3

Overall accuracy 79.4

Page 14: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 14/119

14 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 3. Hasil klasifikasi akhir pada lokasi kajian

Selain pengujian akurasi terhadap hasil segmentasi dan klasifikasi digital tersebut, juga dilakukan pengujian

akurasi terhadap hasil segmentasi dan interpretasi dengan ketelitian 96,5% sebagaimana disajikan pada Tabel

7.

Table 7. Ketelitian pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan interpretasi

Seg-Interpretasi Sawah Nonsawah Luas Ketelitian (%)

Interpretasi

Sawah 812.441 34.351 846.792 95.94

Nonsawah 70.249 2110.910 2181.159 96.78

Overall accuracy 96.5

Page 15: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 15/119

15Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian sebagaimana diuraikan diatas, maka penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa:

a. Segmentasi citra SPOT-6 pansharpen dengan kombinasi nilai parameter skala 100, warna 0,9 dan

kekompakan 0,5 cukup baik memisahkan objek di lokasi kajian

b. Ketelitian klasifikasi (Overall accuracy)   teknik segmentasi dan klasifikasi digital citra SPOT-6 pansharpen

untuk pemetaan lahan sawah mencapai 79,4%.

c. Ketelitian klasifikasi (Overall accuracy)  teknik segmentasi dan interpretasi citra SPOT-6 pansharpen untuk

pemetaan lahan sawah mencapai 96,5%.

d. Teknik segmentasi yang dikombinasi dengan interpretasi memberikan hasil pemetaan yang lebih baik

dibandingkan dengan teknik segmentasi dan klasifikasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Tim Reviewer Pusat Pemanfaatan

Penginderaan Jauh atas arahan dan masukan yang telah diberikan dalam penulisan makalah ini. Ucapan terima

kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Bidang Teknologi Pengolahan Data atas data SPOT-6 yang telah

diberikan, Kepala Bidang Sumber Daya Wilayah Darat yang telah memfasilitasi serta teman-teman tim peneliti

yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Agricultural Parcel Detection with Definiens eCognition, 2013. (http://www.definiens.com, diakses tanggal 22

Januari 2013) 

Achmad, B. dan Fardausy, K. 2005. Teknik Pengolahan Citra Digital, Ardi Publishing, Yogyakarta.

Badan Standarisasi Nasional, 2010. Standar Nasional Indonesia - Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta: BSN. 28

hlm.

Kampouraki M., Wood GA., Brewer TR. 2007. The Suitable of Object-Base Image Segmentation to Replace

Manual Areal Photo Interpretation for Mapping Impermeable Land Cover.

Lahan Sawah. (http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/lahan sawah.aspx , diakses tanggal 9 Maret 2011)Lillesand and Kiefer. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan Dulbahri et al. Cetakan

kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 725 hlm.

Manual Definiens Professional 5.0. (http://www.definiens.com, diakses tanggal 28 Januari 2011) 

Murinto, Harjoko A., 2009. Segmentasi Citra Menggunakan Watershed dan Intensitas Filtering sebagai Pre

Processing. Seminar Nasional Informatika 2009.

Parsa M., Surlan, Ahmad Sutanto, Soko Budoyo, dan Nursanti Gultom, 2011. Pengembangan Model

Pemanfaatan Data Inderaja untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dalam Rangka Mendukung Ketahanan

Pangan, Laporan Akhir. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh.

Parsa M., 2012. Optimalisasi Parameter Segmentasi untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Data Satelit

Landsat. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vol. 10 No. 1 Juni 2013. ISSN

1412-8098 No. 429/Akred-LIPI/P2MI-LIPI/04/2012. Diterbitkan oleh LAPAN. Hal. 27-37.

Page 16: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 16/119

16 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Peijun Li, Guo Jiancong, Benqin Song, Xiaobai Xiao, 2011. A Multilevel Hierarchical Image Segmentation

Method for Urban Impervious Surface Mapping Using Very High Resolution Imagery. IEEE Journal of

Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing - IEEE J SEL TOP APPL EARTH OBS, vol. 4, no. 1, p. 103-116

 Yu Qian, Peng Gong, Nick Clinton, Greg Biging, Maggi Kelly, and Dave Schirokauer. 2006. Object-based

Detailed Vegetation Classification with Airborne High Spatial Resolution Remote Sensing Imagery.

Photogrammetric Engineering & Remote Sensing Vol. 72, No. 7, July 2006, pp. 799–811.

Soelaiman R., Darlis Herumurti, Dyah Wardhani Kusuma., 2008. Segmentasi Citra Berwarna Menggunakan

Algorithma Jseg. Fakultas Teknologi Informasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Industri Bidang Teknik Informatika.

Page 17: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 17/119

17Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 VALIDASI MODEL PEMETAAN LAHAN SAWAH

MENGGUNAKAN TEKNIK SEGMENTASI DAN KLASIFIKASICITRA LANDSAT ORTHO (STUDI KASUS LAMPUNG)

I Made Parsa, Dipo Yudhatama, Sri Harini

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

 ABSTRAK 

Ketelitian pemetaan yang berbasis citra satelit tergantung dua faktor, pertama ketelitian/kualitas geometri citra dan

kedua ketelitian klasifikasi citra. Kedua faktor tersebut tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya, ketelitian geometri

tanpa disertai ketelitian klasifikasi ataupun sebaliknya akan menyebabkan ketelitian pemetaan yang kurang baik/

rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas citra Landsat ortho dan validasi model pemetaan lahan sawah

dengan teknik segmentasi dan klasifikasi citra Landsat multiwaktu, dengan studi kasus provinsi Lampung. Data yang

digunakan dalam segmentasi adalah data Landsat ortho tahun 2009 sedangkan klasifikasi dilakukan terhadap data

Landsat ortho multiwaktu tahun 2000-2009. Model pemetaan ini menggabungkan teknik digital dan teknik visual,

dimana segmentasi dilakukan secara digital sedangkan klasifikasi menggunakan teknik visual. Validasi lapangan

terhadap kualitas geometri citra Landsat dilakukan dengan pengukuran 60 titik koordinat sedangkan validasi hasil

pemetaan lahan sawah dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan di 56 titik pengamatan yang tersebar di sentra

lahan sawah di provinsi Lampung. Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas citra Landsat ortho cukup baik dengan

pergeseran 9-11 meter sedangkan akurasi pemetaan mencapai 90,6%.

Kata kunci: Validasi, segmentasi, citra Landsat ortho, multiwaktu

Page 18: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 18/119

18 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Ketelitian pemetaan berbasis citra penginderaan jauh tergantung dari dua hal yang tidak dapat dilepaskan

satu sama lainnya. Pertama ketelitian/kualitas geometri dari citra yang digunakan, haruslah memenuhi standar

ketelitian sesuai dengan skala peruntukannya. Ketelitian geometri citra Landsat harus memenuhi standar

kesalahan tertentu, biasanya menggunakan maksimum satu pixel (Kustiyo, 2010). Kedua, ketelitian klasifikasi

citra haruslah baik, yang harus dilihat dengan validasi (menggunakan informasi dari skala yang lebih besar atau

dengan validasi lapangan). Ketelitian geometri citra yang baik tanpa dibarengi ketelitian klasifikasi yang baik

atau sebaliknya akan menghasilkan ketelitian pemetaan yang kurang baik.

Informasi spasial lahan sawah pada tingkat skala menengah (1:100.000) masih dibutuhkan oleh institusi terkait

seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, hal ini berkaitan dengan program peningkatan

produksi pangan dalam rangka swasembada (pemenuhan kebutuhan dalam negeri) yang telah dicanangkan

pemerintah. Data yang ada saat masih menunjukkan adanya perbedaan antara luas lahan sawah seluruh

Indonesia yang hanya 4.813.832 ha dengan data daerah irigasi terbangun 7.634.401 ha dimana terdapat2.82 juta ha yang belum diketahui keberadaannya secara spasial. Angka ini menjadi penting karena dianggap

merupakan lahan potensial untuk dikembangkan menjadi lahan sawah (Purba, 2010).

Badan Standarisasi Nasional mendefinisikan bahwa sawah merupakan areal pertanian yang digenangi air atau

diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan, lebak atau pasang surut dengan ciri-ciri berpermukaan

rata, dibatasi oleh pematang/galengan, adanya saluran untuk menahan/menyalurkan air dan umumnya

ditanami dengan jenis tanaman pangan berumur pendek seperti padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya

(Parsa et al, 2011). Sawah pada umumnya terdapat pada lahan yang datar hingga lahan yang mempunyai

lereng < 10%, akan tetapi di beberapa wilayah tertentu lahan sawah juga dapat ditemukan pada lahan yang

mempunyai lereng lebih dari 10%, bahkan hingga lereng 30%. Pada kondisi lereng yang demikian besar

biasanya diterapkan sistem terasering (www.mediabpr.com (2011) dalam Parsa et al. (2011)). Lahan sawah pada

citra komposit Landsat 5,4,3 dapat dengan mudah dikenali karena mempunyai karakteristik yang berbeda

dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah dapat mempunyai tiga macam kenampakkan

yang berbeda tergantung kondisi/fase lahan sawah tersebut yaitu biru (dalam kondisi air/fase pengolahan

tanah sampai tanam), hijau (setelah tanam/vegetatif) dan merah (panen/bera). Perubahan kenampakkan

tersebut cukup mudah diamati pada pengamatan terhadap data multiwaktu, sehingga dengan demikian lahan

sawah cukup mudah pula untuk diidentifikasi (Parsa et al., 2011).

Saat ini metode klasifikasi dijital telah berkembang demikian pesatnya terutama klasifikasi dijital berbasis

objek. Metode klasifikasi ini akan meminimalkan kelemahan klasifikasi berbasis pixel (yang hanya didasarkan

nilai dijital) dengan menambahkan beberapa parameter lain (Kampouraki et al., 2007). Metode klasifikasi inimenggunakan tiga parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu skala, bentuk, kekompakkan. Klasifikasi

dijital ini memiliki keunggulan pada pemisahan antar objek yang sangat akurat dan presisi (Agrawal (2010);

Walter (2003)). sehingga dengan demikian dapat menjadi alternatif untuk menggantikan klasifikasi digital

berbasis pixel dan klasifikasi visual/delineasi. Klasifikasi dijital ini juga memiliki kelebihan dalam efisiensi waktu

pengerjaan (Putranto et al., 2010).

Sebagai bagian yang penting dari pemrosesan citra, segmentasi bertujuan untuk membagi citra berdasarkan

kriteria kemiripan tingkat keabuan piksel dengan tetangganya menjadi beberapa region yang homogen untuk

diproses lebih lanjut seperti klasifikasi citra dan identifikasi objek. Sementara itu sebagai bagian yang yang

tidak terpisahkan dari metodologi analisis citra berbasis objek, teknik segmentasi citra secara otomatis akan

mengelompokkan piksel yang berdekatan menjadi contiguous region menurut kemiripan property pikselnya.

(Murinto dan Agus Harjoko, 2009).

Page 19: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 19/119

19Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Hasil kajian yang telah dilakukan mengenai “Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah

Menggunakan Citra Satelit Landsat dengan studi kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus,

Lampung” menyimpulkan bahwa kombinasi nilai parameter skala 11, warna 0.9 dan kekompakan 0.5 memberikan

hasil segmentasi yang paling mendekati data referensi dengan ketelitian pemetaan yang mencapai lebih dari90%. Kajian tersebut juga menyarankan perlunya kajian lanjutan menyangkut penyempurnaan metode untuk

mengurangi analisis visualnya maupun verifikasi model tersebut di wilayah lain (Parsa, 2013).

Berkaitan dengan hal tersebut telah dilakukan “Validasi Model Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Teknik

Segmentasi dan Klasifikasi Citra Landsat Ortho”. Penelitian ini bertujuan untuk dua hal, pertama untuk

pengecekan akurasi citra Landsat ortho yang digunakan sebagai input, kedua melakukan verifikasi untuk

mengetahui ketelitian model pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan klasifikasi.

METODE

Kajian dilaksanakan pada tahun 2012 dengan mengambil sampel wilayah di provinsi Lampung. Data yangdigunakan dalam penelitian ini adalah satelit Landsat terkoreksi ortho multitemporal tahun 2000, sampai

2009 arsip program INCAS-LAPAN. Mengingat data tahun 2009 dan 2008 masih ada yang tertutup awan,

maka dilakukan mosaik secara vertikal data tahun 2007, 2008, dan 2009 (data tahun 2009 paling atas) untuk

selanjutnya digunakan sebagai input segmentasi. Sementara data tiap tahun digunakan sebagai dasar

interpretasi, klasifikasi dan labeling hasil segmentasi. Klasifikasi ini menggunakan dua kelas penggunaan lahan

yaitu sawah dan nonsawah (selain sawah) yang didasarkan atas perubahan tutupan lahan (air, bera dan vegetasi)

dari tahun ke tahun. Diagram alir pengolahan data dan validasi pemetaan lahan sawah disajikan pada Gambar

1.

Gambar 1. Diagram alir pengolahan data dan validasi hasil pemetaan lahan sawah

Page 20: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 20/119

20 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tahap pengolahan dan analisis data adalah sebagai berikut:

1. Pengolahan data

a. Mosaik vertikal data tahun 2007, 2008, dan 2009 menurut tahun dan menempatkan data 2009 sebagai datapaling atas

b. Kroping citra Landsat menggunakan batas sheet skala 1:100.000 untuk mempercepat proses segmentasi.

c. Segmentasi citra Landsat menggunakan kombinasi nilai parameter terbaik sesuai hasil kajian tahun 2012

yaitu skala 10, warna 0.9, kekompakkan 0.5 dan konversi menjadi format shapefile (Parsa et al., 2012).

d. Interpretasi data Landsat multiwaktu dan labeling hasil segmentasi. Interpretasi dilakukan terhadap seluruh

data Landsat multiwaktu untuk melihat perubahan tutupan lahan air, vegetasi dan bera. Labeling dilakukan

dengan menggunakan dua kelas klasifikasi penggunaan lahan yaitu sawah, dan nonsawah.

e. Mosaik informasi spasial lahan sawah antar sheet seluruh Lampung.

f. Validasi lapangan dilakukan dengan observasi, pengukuran, pencatatan, identifikasi, dan dokumentasi

dengan teknik point sampling (Amirin dan Tatang, 2011; Wahyunto, et al., 2004), meliputi:

1. Pengukuran, pencatatan koordinat lapangan untuk evaluasi akurasi kualitas data Landsat ortho

Pengukuran ini dilakukan pada 60 titik lokasi.

2. Pencatatan, identifikasi dan dokumentasi lapangan (liputan lahan) di 53 titik pengamatan untuk

menghitung akurasi hasil pemetaan.

2. Evaluasi meliputi ketelitian geometri cira Landsat ortho dan ketelitian pemetaan lahan sawah, dilakukan

untuk mengetahui akurasi/ketelitian citra Landsat ortho dan ketelitian pemetaan lahan sawah. Ketelitian

ortho dihitung berdasarkan selisih hasil pengukuran lapangan dengan koordinat pada citra, sedangkan

ketelitian pemetaan dihitung dengan jumlah titik yang benar dibagi jumlah titik pengamatan.

3. Hasil dan Pembahasan

Koreksi/rektifikasi ortho yang dilakukan di program INCAS menggunakan input lebih dari 50 titik control point

(X,Y,Z) yang diperoleh dari referensi citra Landsat GLS-2000 (Global Land Survey-2000) yang sudah terkoreksi

ortho dan DEM SRTM 90 meter. Titik kontrol yang digunakan terdistribusi secara merata di seluruh bagiancitra, sehingga diharapkan citra hasil koreksi mempunyai akurasi yang baik. Selain itu standar rms error yang

dipersyaratkan dalam proses ini maksimum 1 pixel. Citra ortho hasil koreksi ini digunakan sebagai input

proses segmentasi dan klasifikasi untuk pemetaan lahan sawah. Pengecekan kualitas citra dilakukan dengan

pengecekan dan pengukuran koordinat di 60 titik di lapangan dengan sebaran tidak ideal, hal ini disebabkan

karena keterbatasan aksesibilitas dan waktu. Walaupun demikian sebaran ini masih cukup baik karena cukup

mewakili area yang mempunyai lahan sawah. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dilakukan penghitungan

kesalahan dengan menghitung selisih koordinat pada citra dan koordinat hasil pengukuran. Hasil penghitungan

selisih koordinat di seluruh titik menunjukkan bahwa kesalahan geometri yang terjadi berkisar 1- 46 meter

untuk arah X dan 1-33 meter untuk arah Y, sehingga secara keseluruhan rata-rata kesalahan mencapai 9-11

meter. Selengkapnya rencana dan hasil pengukuran koordinat serta pengamatan kelas lahan disajikan padaTabel 1, sedangkan sebaran spasial titik hasil pengukuran disajikan pada Gambar 2.

Page 21: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 21/119

21Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tabel 1. Rencana dan hasil pengukuran koordinat di beberapa kabupaten Lampung

ID XR YR XH YH PEMETAAN RIIL ∆ X ∆ Y 

1 511738 9405398 511749 9405378 - Simpangan Dinas Pertanian 11 20

2 510840 9406422 510836 9406404 Sawah Sawah bera/air 4 18

3 510435 9407308 510426 9407304 Sawah Sawah bera/air 9 4

4 510181 9408061 510181 9408070 Sawah Sawah bera/air 0 9

5 500802 9397632 500800 9397618 Sawah Sawah bera/air 2 14

6 497913 9396311 497916 9396322 Sawah Sawah bera/air 3 11

7 497189 9397201 497196 9397206 Sawah Sawah bera/air 7 5

8 506878 9403155 506883 9403160 Sawah Sawah bera 5 5

9 504577 9401666 504563 9401656 Sawah Sawah bera 14 10

10 504177 9402654 504185 9402642 Sawah Sawah bera 8 12

11 504786 9404538 504794 9404548 Sawah Sawah bera 8 10

12 496285 9406319 496263 9406300 Sawah Sawah bera 22 19

13 493299 9401720 493291 9401720 Sawah Sawah bera 8 0

14 500299 9407185 500285 9407182 - Jembatan 14 3

15 500524 9407128 500538 9407110 Sawah Sawah bera 14 18

16 525857 9430203 525863 9430208 Sawah Sawah bera 6 5

17 527882 9432219 527876 9432204 Sawah Sawah bera 6 15

18 529664 9432039 529658 9432042 Sawah Sawah bera 6 -3

19 531861 9432762 531845 9432756 Sawah Sawah bera 16 6

20 532102 9431186 532100 9431186 Sawah Sawah bera 2 0

21 531191 9430087 531184 9430076 Sawah Sawah bera 7 11

22 533921 9431067 533916 9431072 Sawah Sawah bera 5 5

23 534882 9437446 534889 9437438 Sawah Sawah bera 7 8

24 531847 9436635 531842 9436642 Sawah Sawah bera 5 7

25 530807 9440684 530815 9440656 Sawah Sawah bera 8 28

26 531693 9443226 531696 9443226 Sawah Sawah bera 3 0

27 533174 9444140 533179 9444158 Sawah Sawah bera 5 18

28 534519 9446272 534521 9446266 Sawah Sawah bera 2 6

29 522331 9441289 522324 9441284 Sawah Sawah bera 7 5

30 522048 9440234 522086 9440260 Sawah Sawah bera 38 26

31 519742 9426964 519733 9426956 Sawah Sawah bera 9 8

32 521252 9414306 521206 9414314 Sawah Sawah bera 46 8

33 519756 9453780 519761 9453756 Sawah Kebun singkong 5 24

34 516768 9453266 516750 9453234 Sawah Kebun singkong 18 32

35 529899 9457428 529895 9457444 - Simpangan 4 16

36 532427 9460441 532439 9460474 Sawah Kebun singkong 12 33

Page 22: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 22/119

22 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

ID XR YR XH YH PEMETAAN RIIL ∆ X ∆ Y 

37 535302 9463525 535300 9463520 Sawah Sawah bera 2 5

38 551549 9464263 551558 9464260 Sawah Sawah bera 9 3

39 545455 9463637 545470 9463630 Sawah Sawah bera 15 7

40 542913 9458680 542903 9458692 Sawah Sawah bera 10 12

41 541648 9457530 541646 9457544 Sawah Sawah bera 2 14

42 539285 9455576 539302 9455584 Sawah Sawah bera 17 8

43 577755 9362603 577750 9362605 Sawah Sawah bera 5 2

44 574780 9365431 574777 9365420 Sawah Sawah bera 4 11

45 579789 9377982 579780 9377992 Sawah Sawah bera 9 10

46 580646 9378880 580652 9378883 Sawah Sawah bera 6 3

47 586821 9370227 586826 9370222 Sawah Sawah bera 5 5

48 586588 9367433 586589 9367453 Sawah Sawah bera 1 20

49 587178 9383445 587155 9383424 Sawah Sawah bera 22 20

50 587679 9394509 587676 9394502 Sawah Sawah bera 3 8

51 588580 9398116 588602 9398108 Sawah Sawah bera 22 9

52 582704 9416022 582714 9416011 Sawah Sawah bera 9 12

53 589510 9418897 589491 9418917 Sawah Sawah bera 19 19

54 577794 9426225 577791 9426237 Sawah Tegalan 3 12

55 583774 9421371 583771 9421370 Sawah Sawah bera 3 1

56 526813 9502903 526815 9502887 Sawah Permukiman 2 16

57 529023 9532791 529057 9532798 - - 34 6

58 586496 9393504 586504 9393503 - - 8 1

59 591529 9417988 591552 9418005 - - 23 17

60 529537 9510164 529530 9510160 - - 7 4

Rata-rata   9 11

Sumber data: Hasil pengukuran lapangan

Page 23: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 23/119

23Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 2. Sebaran titik pengukuran koordinat dan validasi informasi spasial

Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas geometri citra ortho ini cukup baik dan dapat digunakan untuk aplikasi

lebih lanjut. Ketelitian klasifikasi citra yang baik belum menjadi jaminan akan ketelitian hasil pemetaan oleh

karena hal ini dipengaruhi juga oleh ketelitian geometri citra yang digunakan.

Dengan demikian penggunaan citra Landsat ini sebagai input untuk segmentasi, klasifikasi dan pemetaan

lahan sawah diharapkan akan menghasilkan informasi spasial lahan sawah yang akurat. Informasi spasial lahan

sawah hasil pemetaan divalidasi dengan menggunakan data lapangan yang diperoleh dari survey lapangan.Survey lapangan dilakukan di beberapa kabupaten dengan jumlah titik pengamatan 53 titik. Analisis terhadap

hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dari 53 titik hasil pengamatan tersebut ternyata 48 titik

hasil pengamatan memang benar merupakan lahan sawah sesuai dengan hasil pemetaan sementara hasil

pengamatan lima titik lainnya adalah salah karena ternyata bukan sawah. Lahan sawah yang ditemukan di

lapangan sebagian terbesar dalam keadaan bera sedangkan sebagian kecil lahan sawah berair/sedang awal

tanam. Hal ini disebabkan karena validasi lapangan dilakukan pada akhir musim kemarau panjang. Lima

titik yang salah klasifikasi ternyata di lapangan tiga titik merupakan kebun singkong, satu titik merupakan

tegalan sedangkan satu titik lainnya adalah permukiman. Jika dihitung maka ketelitian klasifikasi sama dengan

90,6%. Ketelitian pemetaan yang baik ini disebabkan karena cukup baiknya kualitas citra Landsat input proses

segmentasi dan cukup baiknya interpretasi/klalsifikasi citra multiwaktu untuk labeling hasil segmentasi. Contohinformasi spasial lahan sawah provinsi Lampung disajikan pada Gambar 3 (a, b, c, d, e, f, g, dan h).

Page 24: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 24/119

24 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

a. Informasi spasial lahan sawah sheet 1010-5 b. Informasi spasial lahan sawah sheet 1010-6

c. Informasi spasial lahan sawah sheet 1110-2 d. Informasi spasial lahan sawah sheet 1110-4

e. Informasi spasial lahan sawah sheet 1110-5 f. Informasi spasial lahan sawah sheet 1111-1

g. Informasi spasial lahan sawah sheet 1111-2 h. Informasi spasial lahan sawah sheet 1111-5

Gambar 3 Informasi spasial lahan sawah hasil pemetaan dengan teknik segmentasi dan klasifikasi data Landsat

multiwaktu provinsi Lampung

Page 25: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 25/119

25Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pengukuran, pengamatan dan penghitungan serta pembahasan yang telah dilakukan dapatdisimpulkan bahwa: Pertama, bahwa akurasi/ketelitian citra Landsat ortho yang diukur dari kesalahan koordinat

di lapangan mempunyai kesalahan rata-rata 9-11 meter. Kedua, ketelitian pemetaan lahan sawah dengan

teknik segmentasi dan klasifikasi citra Landsat multiwaktu mencapai 90,6%. Namun demikian, untuk mencapai

hasil yang lebih baik/valid masih perlu dilakukan pengujian model ini di lokasi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA 

Agrawal A., 2010. Object-based Classification of Range Data (Masters Thesis). Information Systems Engineering,

Graduate School of Information Science and Technology, Osaka University.

Amirin, Tatang M., 2011. Populasi dan Sampel Penelitian 2: Pengambilan Sampel dari Populasi Terhingga.

Tatangmanguny.wordpress.com

Badan Standarisasi Nasional, 2010. Standar Nasional Indonesia - Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta: BSN. 28

hlm.

Kampouraki M., Wood GA., Brewer TR., 2007. The Suitable of Object-Base Image Segmentation to Replace

Manual Areal Photo Interpretation for Mapping Impermeable Land Cover. (http://www.citeseerx.ist.psu.

edu/messages/downloadsexceeded, diakses tanggal 26 Februari 2012)

Kustiyo, 2010. Pengembangan Model Koreksi Geometri Ortho untuk Pemetaan Penutup Lahan WilayahIndonesia. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 4, Desember 2010. Hal. 168-173

Lahan Sawah. (http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/lahan sawah.aspx, diakses tanggal 9 Maret 2011)

Murinto, Agus Harjoko., 2009. Segmentasi Citra Menggunakan Watershed dan Intensitas Filtering sebagai Pre

Processing. Seminar Nasional Informatika 2009.

Parsa I Made, Surlan, Jansen Sitorus, Dipo Yudhatama, Soko Budoyo, Djoko Santo, 2012. Pengembangan

Model Standar Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh (Landsat/SPOT) untuk Pemetaan Lahan Sawah.

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN

Parsa I Made, Surlan, Sri Harini, Achmad Sutanto, Soko Budoyo, Djoko Santo, 2011. Pengembangan Model

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung KetahananPangan. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN

Parsa I Made, 2013. Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Citra

Satelit Landsat (Studi Kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus, Lampung). Jurnal

Penginderaan Jauh Vol. 10 No.2 Desember 2013. h 113-122

Purba RS., 2010. Kebijakan Pengembangan Irigasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah

dalam Koordinasi dan Sinkronisasi Program Inventarisasi Lahan Sawah di Provinsi Sumatera Utara.

Kementerian Kordinator Perekonomian.

Page 26: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 26/119

26 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Putranto BYB., Widi Hapsari, dan Katon Wijana, 2010. Segmentasi Warna Citra Dengan Deteksi Warna HSV

Untuk Mendeteksi Objek. Universitas Kristen Sayta Wacana, Yogyakarta.

Wahyunto, Murdiyati SR dan Ritung S., 2004. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh dan Uji Validasinya untuk

Deteksi Penyebaran Lahan Sawah dan Penggunaan Lahan/Penutup Lahan. Informatika Pertanian vol 13.h 745-769

Walter V., 2003. Object-based Classification of Remote Sensing Data for Change Detection. Institute for

Photogrammetry, University of Stuttgart, Geschwister-Scholl-Str. 24 D, Stuttgart D-70174, Germany

Page 27: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 27/119

27Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

IDENTIFIKASI TANAMAN PADA LAHAN SAWAHBERDASARKAN MODEL PERTUMBUHAN TANAMAN

MENGGUNAKAN DATA EVI MODIS MULTI TEMPORAL

Dede Dirgahayu Domiri, Heru Noviar dan Silvi

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

 Abstrak

Pemantauan fase pertumbuhan tanaman padi di lahan sawah perlu dilakukan untuk memperkirakan keberhasilan

panen. Penelitian bertujuan untuk membuat metode pengolahan spasial data MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer) yang dapat mendeteksi pola tanam atau jenis tanaman pada lahan sawah, sehingga dapat

diketahui apakah ada tanaman lain yang ditanaman selain tanaman padi. Identifikasi tanaman dilakukan berdasarkan

segmentasi model pertumbuhan tanaman dengan menggunakan data multi temporal EVI (Enhanced Vegetation

Index)lima harian yang memiliki resolusi spasial 250m dan 500 m. Segmentasi model pertumbuhan pada fase vegetatif

dan generatif dilakukan dengan cara membuat beberapa model pertumbuhan tanaman padi berdasarkan EVI selama30 hari atau 6 buah data EVI lima harian. Pada tanaman padi dengan umur panen hingga 100 hari dihasilkan 15 model

pertumbuhan tanaman berbentuk kuadratik yang terdiri dari 7 buah model perumbuhan pada fase vegetatif, 4 buah

model pda kombinasi fase vegetatif – generatif, dan 4 buah model pada fase generatif. Identifikasi tanaman selain

padi dilakukan dengan cara membandingkan koefisien-koefisien regresi kuadratik (b0, b1, dan b2) yang dihasilkan dari

6 set data EVI lima harian dengan koefisien-koefisien regresi pada 15 model pertumbuhan tanaman padi. Suatu piksel

dideteksi sebagai bukan tanaman padi jika koefisen-koefisen regresi yang dihasilkan berada diluar kisaran koefisien-

koefisien regresi model pertumbuhan tanaman padi.Hasil penelitian diterapkan untuk membuat peta tanaman pada

areal lahan sawah di kabupaten Tuban, Jawa Timur yang memiliki pola tanam padi – padi – palawija, terutama kacang

tanah.Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan akurasi model prediksi luas panen tanaman padi sawah

menggunakan data MODIS.

Kata Kunci : EVI, identifikasi tanaman, Vegetatif, Generatif, Model Pertumbuhan padi

Page 28: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 28/119

28 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Sampai saat ini telah dihasilkan dan diterapkan beberapa metode yang digunakan dalam mengumpulkan dan

mengestimasi, luas tanam dan luas panen serta produksi padi sawah. Badan Pusat Statistik bersama-sama

Departemen Pertanian misalnya, selama bertahun-tahun secara rutin dan periodik, telah menerapkan metode

pelaporan lengkap dalam menghasilkan angka luas tanam dan luas panen, serta metoda sampling “ubinan” 

dalam menduga produktivitas padi menurut wilayah. Angka yang dilaporkan oleh para petugas mantri statistik

dan mantri tani didasarkan pada tingkat pengetahuan mereka tentang wilayah kecamatan masing-masing, oleh

karena itu semakin kurang pengetahuan petugas terhadap kecamatannya maka semakin rendah pula akurasi

data yang dilaporkannya demikian pula sebaliknya.Satu kecamatan dipantau oleh masing-masing satu orang

mantri tani dan satu orang mantri statistik.

Prediksi luas panen tanaman padi di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai instansi, antara lain oleh Badan

Pusat Statistik atau BPS, Badan Urusan Logistik atau BULOG (Mulyana et al, 1998), Departeman Pertanian

(Napitupulu, 1998), dan LAPAN (Dirgahayu, 1999). Peramalan luas panen dapat dibagi menjadi dua kelompokberdasarkan metodologi yang digunakan. Kelompok pertama didasarkan pada metodologi pengumpulan data

secara berjenjang dengan struktur organisasi yang dimiliki, yaitu dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten,

propinsi sampai pada tingkat nasional sehingga informasi yang tekumpul memerlukan waktu yang cukup lama

dan pelaksana yang cukup banyak pada setiap jenjang. Lembaga yang mengembangkan teknik ini antara lain

Badan Pusat Statistik (BPS). Departemen Pertanian (DEPTAN), dan Badan Urusan Logistik (BULOG).

Kelompok kedua lebih menekankan pada penggunaan citra atau peta dengan bantuan teknologi penginderaan

 jauh sebagai dasar pendugaan areal produksi padi dan pemantuan kondisi pertumbuhan serta masa panen

tanaman padi. Kelompok yang mengembangkan teknik ini antara lain Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN) dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak).

Sebagian besar penelitian aplikasi inderaja terhadap tanaman padi adalah tentang estimasi produktivitas dan

 jarang yang memprediksi luas panennya berdasarkan pendugaan umur.Dirgahayu (2004) telah melakukan

penelitian pendugaan umur tanaman padi menggunakan data Landsat 7 ETM. Ekstraksi nilai reflektansi 7 kanal

Landsat 7 ETM dilakukan pada blok-blok tanam lahan sawah PT. Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat. Setiap

blok memiliki jadwal tanam dan varietas padi yang berbeda, sehingga rata-rata nilai reflektan tanaman padi pada

umur yang berbeda dapat diketahui hanya dengan menggunakan satu tanggal data Landsat 7 ETM. Penelitian

menghasilkan 2 model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik, baik pada fase vegetatif dan

generatif.Sejak bulai Mei 2003, data Landsat 7 ETM mengalami kerusakan (SLC-Off), sehingga penelitian ini

perlu dilakukan untuk tujuan pemantauan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi menggunakan

data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).Data MODIS dibawa oleh satelit Terra/Aquayang memiliki 7 kanal spektral dengan resolusi 250 m dan 500 m serta frekuensi pengamatan harian cukup

andal digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman pangan, terutama padi. Satelitini mulai operasioal

sejak tanggal 18 Desember 1999 (Terra) dan 4 Mei 2002 (Aqua). LAPAN baru mampu merekam data satelit ini

sejak Agustus 2004, sehingga perlu dilakukan pengkajian dan penelitian untuk pengolahan data MODIS dan

pemanfaatannya dalam berbagai aspek aplikasi.Permasalahan yang belum bisa dieliminasi adalah identifikasi

pola tanam yang dilakukan di lapangan, terutama jika dilakukan kegiatan pemantauan kondisi lahan dan

tanaman setiap bulan.Selama ini model yang diterapkan dengan asumsi bahwa semua lahan sawah ditnaami

tanaman padi, padahal kenyataannya tidak, terutuma pada periode musim kemarau (Mei – September).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat metode pengolahan

spasial data MODIS untuk mendeteksi pola tanam atau jenis tanaman pada lahan sawah menggunakan

segmentasi model pertumbuhan tanaman padi menggunakan parameter Indeks Vegetasi EVI   (Enhanced

Page 29: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 29/119

29Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Vegetation Index). Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi prediksi luas panen tanaman

padi sawah.

Bahan dan Metode

Bahan dan Alat

Data MODIS level 2 reflektan 8 harian (MOD 09) yang digunakan bisa diperoleh secara bebas dari USGS NASA

maupun Pusdata LAPAN. Alatyang digunakan adalah Software ENVI, ErMapper, dan ArcView

Pengolahan Data MODIS

Sebelum data MODIS Level 1B digunakan untuk membuat file EVI 250 m, maka data MODIS L1B harus dikoreksi

radiometrik dan geometrik. Proses pengolahan awal data MODIS yang harus dilakukan antara lain:Bow-tie

Correction dan koreksi Geometrik Sistimatik.

Koreksi Duplikasi Baris (Bow-tie Correction)

Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan duplikasi data pada baris-baris tertentu, terutama yang jauh dari

nadir. Koreksi dilakukan dengan menggunakan Modul MODIS (Modis Tools) pada software ENVI 3.5 terhadap

data resolusi 250 m, yaitu kanal 1 (merah) dan kanal 2 (NIR) serta resolusi 500 m, terutama kanal 3 (biru) dan

kanal 6 (MIR).

Koreksi Geometrik Sistimatik

Titik kontrol GCP diekstrak dari data MODIS L1B menggunakan Modul MODIS (Modis Tools)  pada software

ENVI 3.5 terhadap data resolusi 250 m dan 500 m.Transformasi koordinat (warping)  dilakukan dengan metode

Triangulasi.Untuk menghasilkan data terkoreksi dengan resolusi spasial 250 m (0.002252°), maka dilakukan

resampling data hasil koreksi Bow-tie dengan metode tetangga terdekat (Nearest Neighbor)  terhadap data

asli 250 m dan metode Bilinear terhadap data asli 500 m. Hasil proses koreksi Bow-tie dan koreksi geometrik

disimpan dalam fomat ENVI standar.

Konversi Data menjadi Reflektansi

Transformasi data setiap kanal yang digunakan menjadi reflektansi dilakukan ketika menerapkan algoritma

untuk membuat file NDVI atau EVI resolusi 250 m. Metode yang dilakukan untuk membuat reflektansi terkoreksi

dari data digital 16 bit adalah dengan metode koreksi atmosfir (Simplified Atmospheric Correction)  yang dalam

prosesnya memerlukan informasi jarak matahari–bumi, posisi sudut matahari (zenith) dan basis data (tbase.hdf)

DEM (Digital Elevation Model ) dengan resolusi kasar sebesar 5’ (8,3333 Km). Koefisien-koefisisen Gain (G)

dan Intercep (I) dan paramater lain setiap kanal untuk transfomasi data menjadi radians atau reflektansi sudah

terdapat pada SDS data MODIS L1B format HDF. Reflektansi terkoreksi ini merupakan hasil antara proses data

MODIS level 2.

 Algoritma Menghitung EVI

EVI  (Enhanced Vegetation Index ) dibuat untuk mengkoreksi nilai NDVI yang berkurang akibat kandungan

aerosol atmosfir yang terdeteksi oleh kanal biru serta mempertajam nilai NDVI dengan dikalikan dengan faktor

Page 30: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 30/119

30 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

L untuk koreksi latar belakang kanopi (kondisi tanah/lahan).Hasil akhir dari implementasi program pengolahan

EVI dikombinasikan dengan SAVI, jika kondisi pengaruh atmosfer tidak signifikan yang diindikasikan oleh

reflektansi kanal biru lebih besar dari reflektansi kanal merah.Formula EVI secara umum sebagai berikut :

EVI = 2.5*(r2 – r1)/(1 + r2 + 6*r1 – 7.5*r3) (1)

Dengan : r1,2,3 = reflektansi kanal Red, NIR, dan Blue

Algoritmauntuk membuat citra EVI dalam prakteknya dilakukan sebagaiberikut (menggunakan SW ErMapper) :

If rblue<= rred or rred<= rnir then EVI = 2.5*( rnir – rred) / ( 1 + rnir + 6*rred – 7.5*rbiru )

Else EVI = 1.5*( rnir

 – rred)

 / ( 0.5 + rnir

 + rred

)

Untuk mengeliminasi pengaruh cuaca harian, seperti awan terhadap nilai EVI, maka dibuat komposit citra EVI

mingguan atau 8 harian dengan metode overlay maksimum.

 Analisis

Ekstraksi Nilai Rataan EVI

Training area pada citra RGB 6,2,1 dibuat pada area lahan sawah yang menunjukkan kenampakan warna birudari tubuh air sebagai indikasi awal tanam pada lahan sawah di Karawang, Subang dan Indramayu. Tingkat

homogenitas area diupayakan melalui bantuan citra EVI yang telah diklasifikasi dengan interval 0.02, sehingga

tubuh air terkelaskan menjadi 8 kelas. Selanjutnya dilakukan ekstraksi nilai rata-rata EVI komposit mingguan

dari data time series (bulan Juli 2004 – Juli 2005) pada poligon area kelas tubuh air yang dibuat.

Model Pertumbuhan Tanaman Padi

Time series EVI dari hasil ploting setiap training area dinterpretasi untuk menentukan saat terjadinya fase

vegetatif maksimum (50 - 60 hari setelah tanam), awal tanam, dan akhir tanam (fase bera), sehingga dapat

diketahui hubungan antara umur tanam dengan kisaran nilai EVI.

Analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk memperoleh model persamaan regresi selama pertumbuhan

tanaman padi pada periode 30 harian selama fase vegetatif dan generatif Bentuk persamaan yang akan dicoba

adalah polinom orde 2 dengan persamaan umum sebagai berikut :

y = b0 + b1*u + b2*u2  (2)

y merupakan parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, lebar atau luas daun, berat kering

tanaman atau EVI, sedangkan u adalah hari setelah tanam.

Page 31: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 31/119

31Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Pertumbuhan Tanaman Padi

Profil pertumbuhan tanaman padi berdasarkan indeks vegetasi (EVI) diperlukan data Multi Temporal selama

pertumbuhan tanaman padi. Data inderaja yang memiliki resolusi spasial yang moderat dan temporal tinggi

seperti MODIS sangat andal untuk mendeteksi kondisi lahan dan pertumbuhan tanaman padi.

Penelitian oleh Dirgahayu (2005) telah menghasilkan profil pertumbuhan padi (Gambar 1) dari awal tanam

hingga panen dan fase bera dengan menggunakan data EVI 8 harian pada musim tanam tahun 2004/2005

pada lahan sawah di beberapa kabupten Jawa Barat.

Pertumbuhan vegetatif tampak diikuti dengan kenaikan nilai EVI hingga mencapai nilai maksimum anata 55 –

65 HST. Fase pertumbuhan vegetatif terbagi tiga, yaitu vegetatif awal antara 0-20 HST yang masih didominasioleh penggenangan air dengan kenaikan nilai EVI sekitar 0.15 dan nilai EVI < 0.2, vegetatif dipercepat antara

20 – 45 HST dengan kenaikan nilai EVI sekitar 0.42 dengan slop tajam, fase vegetatif diperlambat antara 45 – 60

HST dengan kenaikan nilai EVI sekitar 0.12, karena mulai pembentukan malai. Sedangkan fase perkembangan

generatif tampak terbagi 2, yaitu masa pembentukan biji antara 60 – 80 HST dengan penurunan nilai EVI

sekitar 0.25, masa pematangan antara umur 80 – 105 HST dengan penurunan nilai EVI sekitar 0.3. Selanjutnya

tanaman padi akan panen dan kondisi lahan menjadi bera dengan nilai EVI sekitar 0.17.

Model Pertumbuhan Tanaman Padi

Untuk mengetahui kisaran nilai EVI pada selang umur padi tertentu, maka dapat diduga berdasarkan model.Profil pertumbuhan tanaman padi tersebut diatas dapat dibuat modelnya.Model pertumbuhan perlu dibuat

2 untuk memisahkan fase vegetatif dan generatif, karena terjadi perbedaan gradien perubahan nilai EVI.Jika

dibuat hanya satu model dapat terjadi nilai observasi yang tidak terwakili, karena nilai kesalahan persamaan

regresi bertambah. Model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik yang dihasilkan, adalah

sebagai berikut :

(a) Fase Vegetatif : y = -0.0006u3 + 0.0552u2 + 0.2146u + 138.33

n = 41; R2 = 0.96 ; Se = 5.89 (1)

(b) Fase Generatif : y = 0.0007u3 - 0.1746u2 + 12.858u - 77.04

n = 35; R2 = 0.96 ; Se = 4.95 (2)

(c) y = 128 +125*EVI; u = HST (Hari Setelah Tanam) (3)

Page 32: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 32/119

32 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Hasil model pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 1. Profil Pertumbuhan Tanaman Padi Berdasarkan EVI MODIS

Gambar 2. Model Pertumbuhan Tanaman Padi me-

nurut EVI MODIS pada Fase Vegetatif 

Gambar 3. Model Pertumbuhan Tanaman Padi me-

nurut EVI MODIS pada Fase Generatif 

Bandingkan jika model pertumbuhan tersebut tidak dipecah menjadi 2 dengan persamaan regresi dengan nilai

R2 lebih kecil dan Se lebih besar, sebagai berikut :

y = -0.0006u3+0.0204u2 + 0.4u + 129.23 

n = 76; R2 = 0.85 ; Se = 10.47 (4)

Page 33: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 33/119

33Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Hasil analisis Sidik Ragam koefisien regresi dengan selang kepercayaan 95 % (taraf uji 5 % ) untuk model

pertumbuhan tanaman padi ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Hasil Uji Statistik Keofisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif 

Parameter Koefisien Se t Stat Kisaran 95 %

b0 138.3299 2.1651 63.89** 133.94 142.72

b1 0.2146 0.3400 0.63tn -0.4743 0.9035

b2 0.0552 0.0140 3.95** 0.0269 0.0834

b3 -0.0006 0.0002 -3.97** -0.0009 -0.0003

Tabel 2. Hasil Uji Statistik Keofisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Generatif 

Parameter Koefisien Se t Stat Kisaran 95 %

b0 -77.0371 101.6776 -0.76tn -284.41 130.34

b1 12.8577 3.7198 3.46** 5.2712 20.4442

b2 -0.1746 0.0442 -3.95** -0.2647 -0.0845

b3 0.0007 0.0002 4.07** 0.0003 0.0010

Pendugaan Umur Tanaman Padi

Pendugaan umur tanaman padi dapat dilakukan dengan menggunakan kedua model pertumbuhan tanaman

padi tersebut di atas berdasarkan parameter EVI, tetapi diperlukan minimal 2 data multi temporal Data EVI

MODIS untuk ditentukan terlebih dahulu kondisi lahan sawah, apakah berada dalam dominasi air atau bera serta

fase pertumbuhan tanaman padi vegetatif dan generatif. Dalam prakteknya secara teknis untuk menerapkanmodel pertumbuhan tersebut harus dibuat citra fase padi sebagai Maskinguntuk menduga umur tanaman

padi dalam suatu citra tunggal denagn asumsi bahawa sluruh areal lahan sawah ditanamai oleh tanaman padi.

Untuk membuat citra fase tersebut diperlukan minimal dua citra EVI pada 2 waktu yang berbeda (t dan t-1),

misalnya dengan perbedaan waktu 10 hari. Kondisi fase vegetatif (perubahan positif) dan generatif (perubahan

negatif) lahan sawah yang didominasi oleh vegetasi dapat dideteksi berdasarkan perubahan nilai EVI atau DEVI

dengan kriteria sebagai berikut :

  DEVI(t)

 = EVI(t)

 –EVI(t-1)

(5)

(a) Fase dominan air, jika EVI(t)

<= 0.19

(b) Fase bera, jika EVI(t)> 0.19 dan EVI(t)< 0.22(c) Fase vegetaf jika nilai DEVI > 0

(d) Fase generaf jika nilai DEVI < 0

Umur tanaman padi dapat ditentukan berdasarkan kisaran nilai EVI yang diduga berdasarkan persamaan

pertama jika memenuhi kriteria a, dan c serta diduga berdasrkan model persamaan kedua jika memenuhi

kriteria d. Klasifikasi citra EVI menjadi umur padi dapat dilakukan dengan kriteria seperti yang tercantum pada

Tabel 3-3.

Permasalahan akan timbul jika pada lahan sawah tersebut ditanami oleh tanaman lain selain padi, terutama

pada saat tidak adanya dominasi air pada lahan sawah tersebut. Pendugaan umur berdasarkan kriteria pada

Tabel 3 tidak berlaku bagi tanaman lain, misalnya palawija. Kegiatan pemantauan kondisi tanaman padalahan sawah memerlukan informasi yang cepat, misalnya untuk informasi spasial bulanan, karena tidak mungkin

harus menunggu informasi sampai 2 bulan. Informasi tidak akan berguna jika terlambat, karena fenomena

Page 34: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 34/119

34 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

gejala-gejala kekeringan dan serangan hama penyakit tidak bisa terdeteksi. Oleh karena itu untuk kegiatan

pemantauan tanaman, prediksi waktu dan luas panen, serta estimasi produktivitas tanaman pada suatu areal

lahan sawah harus diketahui pola tanam pada lahan tersebut. Permasalahnnya, informasi tentang pola tanam

pada lahan sawah di setiap daerah tidak dapat diketahui secara menyeluruh. Selain itu informasi yang adapunhanya berupa informasi umum berbentuk tabular, tidak disebutkan secara detil kapan tanggal awal tanam

suatu jenis tanaman.

Tabel 3. Kisaran Nilai EVI pada Interval Umur Padi

No HST Kisaran EVI DEVI

1   0 - 5 < 0 - 0.102 > 0

2   5 - 10 0.103 - 0.139 > 0

3 10 - 15 0.140 - 0.192 > 0

4 15 - 20 0.211 - 0.255 > 0

5 20 - 25 0.256 - 0.327 > 0

6 25 - 30 0.328 - 0.402 > 0

7 30 - 35 0.403 - 0.478 > 0

8 35 - 40 0.479 - 0.551 > 0

9 40 - 45 0.552 - 0.617 > 0

10 45 - 50 0.618 -

0.672> 0

11 50 - 55 0.673 - 0.714 > 0

12 55 - 60 0.715 - 0.739 > 0

13 60 - 65 0.682 - 0.738 < 0

14 65 - 70 0.637 - 0.681 < 0

15 70 - 75 0.580 - 0.636 < 0

16 75 - 80 0.517 - 0.579 < 0

17 80 - 85 0.450 -

0.516< 0

18 85 - 90 0.386 - 0.449 < 0

19 90 - 95 0.327 - 0.385 < 0

22 95-100 0.278 - 0.326 < 0

23  100-105 0.243 - 0.277 < 0

24 Bera 0.193 - 0.211 <= 0

Segmentasi Model Pertumbuhan untuk Identifikasi Tanaman

Keterbatasan air irigasi pada lahan sawah menyebabkan dilakukannya pola tanam yang berbeda pada daerah

tertentu. Untuk daerah yang memiliki ketersediaan air yang cukup, baik dari irigasi atau curah hujan, maka

Page 35: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 35/119

35Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

dapat melakukan penanaman padi sebanyak 3 kali /tahun. Daerah yang tidak memliki ketersediaan air yang

cukup untuk pertumbuhan tanaman padi, terutama pada periode musim kemarau (April – Agustus) sebaiknya

melakukan penanaman tanaman selain padi, misalnya palawija. Alternatif pola tanamnya bisa padi – padi

- palawija atau padi – palawija – padi atau bahkan hanya bisa tanam 1 kali padi dengan pola tanam padi –palawija – palawija.

Untuk pemantauan kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi setiap bulan perlu diketahui pola

tanamnya. Permasalahannya adalah informasi tersebut hanya berupa tabular, bukan berupa spasial atau peta

tanam serta untuk seluruh daerah tidak diketahui secara detil waktu tanam padi serta pola tanamnya. Prediksi

luas panen padi maupun produktifitas padi menggunakan data inderaja bisa menghasilkan informasi yang lebih

banyak, jika hanya mengasumsikan bahwa semua lahan sawah ditanami padi. padahal pada kenyataannya

bukan tanaman padi.

Sebagai contoh profil pertumbuhan tanaman kacang tanah yang ditanam pada lahan sawah di daerah Tuban,

Jawa Timur dan perbedaannya dengan tanaman padi ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar tersebuttampak secara grafis bahwa pada fase vegetatif terlihat perbedaan 2 kurva cukup signifikan yang ditunjukkan

oleh intercep yang berjarak cukup jauh. Sedangkan pada fase generatif tampak slope dan intercep kedua

kurva tidak begitu berbeda, sehingga agak sulit dibedakan jika nilai X (Hari Setelah Tanam) untuk mencapai

nilai Y maksimum tidak begitu berbeda. Perbedaan bisa terjadi jika saat mencapai nilai Y maksimum, nilai X

agak berbeda. Secara kuantitatif kedua kurva dapat dibedakan dengan uji beda terhadap nilai intersep dan

slope (gradien) kurva, karena nilai keduanya merupakan karakteristsik pertumbuhan setiap tanaman.

Gambar 4. Perbedaan Profil Pertumbuhan Tanaman Padi dan Kacang Tanah

Sebagai upaya untuk mebedakan jenis tanaman yang ada pada lahan sawah untuk tujuan pemantauan dalam

30 hari, maka perlu dilakukan segmentasi model pertumbuhan, artinya dibuat beberapa model pertumbuhan

berbentuk kuadratik dengan periode 1 bulan dengan selang interval 5 hari setelah tanam (HST). Model yang

berbentuk kuadratik adalah pendekatan yang logis, karena pada periode 1 bulan tanaman padi bisa saja

memliki kisaran umur antara 45 – 75 HST atau 55 – 85 HST yang berbentuk mendekati kuadratik (lihat Gambar

5). Dengan demikian terdapat 7 buah persamaan model pertumbuhan pada fase vegetatif, 4 buah persamaan

pada fase generatif serta 4 persamaan pada kombinasi fase vegetatif dan generatif. Secara detil model-

model segmentasi pertumbuhan tanaman padi bulanan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6, serta hasil

analisis regresi pada Tabel 4.

Page 36: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 36/119

36 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 Tabel 4. Koefisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi Periode 30 Hari

No Umur (HST) bo b1 b2

1 5 – 30 136.44 0.6902 0.0237

2 10 – 35 133.20 1.0501 0.0147

3 15 - 40 127.94 1.5001 0.0057

4 20 – 45 120.20 2.0401 -0.0033

5 25 – 50 109.53 2.6702 -0.0123

6 30 - 55 95.49 3.3901 -0.0213

7 35 - 60 77.63 4.2001 -0.0303

8 40 - 65 -5.93 7.6792 -0.0659

9 45 - 70 -53.39 9.3465 -0.0803

10 50 - 75 -18.86 8.0804 -0.0689

11 55 - 80 105.23 4.2266 -0.0393

12 60 - 85 250.72 0.1329 -0.0107

13 65 - 90 241.95 0.3333 -0.0119

14 70 - 95 308.73 -1.3468 -0.0013

15 75 - 100 384.17 -3.1317 0.0091

Setiap koefisien memiliki kisaran nilai tertentu untuk berlakunya suatu piksel masuk dalam tren pertumbuhan

padi selama peiode 30 harian. Oleh karena itu perlu dibuat 3 buah tabulasi yang berisi kisaran nilai-niali b0,b1,

dan b2 yang dapat berjumlah maksimum 30 data. Jika dalam seri data 1 bulan yang terdiri dari 6 buah data

Indeks Vegetasi lima harian tidak memliki trend kuadratik dengan nilai koefisien b0,b1, dan b2 diluar kisaran

tanaman padi, maka diidentifikasi sebagai bukan tanaman padi. Algoritma sederhana untuk identifikasi jenistanaman pada lahan sawah adalah sebagai berikut :

if data[i] <= 152 then 1 else if b0 >= a and b0 <= b and b1 >= c and b1 <= d

and b2 >= e and b2 <= f then 1 else 2

data[i] <= 152 : data pada lima harian ke-1,…,6 dengan IV <= 152 (EVI <= 0.193) terdeteksi sebagai obyekair sehingga

diberi nilai 1 (tanaman padi), jika dak diberi nilai 2 (tanaman lain).

a,b : batas kisaran minimum dan maksimum nilai koesien b0

c,d : batas kisaran minimum dan maksimum nilai koesien b1

e,f : batas kisaran minimum dan maksimum nilai koesien b2

Page 37: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 37/119

37Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 5. Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif Periode 1 Bulan

Model Pertumbuhan Padi Pada Vegetatif - Generatif 

164

176 

188 

200 

212 

224

40 50 60 70 80 90 100  

HST

45 - 70HST 

70 - 95HST 

Gambar 6. Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif - Generatif 

Implementasi model untuk membuat citra fase tanaman di kabupaten Tuban, Jawa Timur pada lima harian ke-5atau Minggu ke-3 bulan Agustus 2006 ditampilkan pada Gambar 7. Distribusi spasial umur tanaman padi dan

non padi (kacang tanah)untuk skala kabupaten Tuban dapat dilihat pada Gambar 8.

Page 38: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 38/119

38 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 7. Fase Tanaman padi pada Minggu

ke-3 Agustus 2006 di Kab. Tuban

Gambar 8. Umur Tanaman Padi pada Minggu

ke-3 Agustus 2006 di Kab. Tuban

KESIMPULAN DAN SARAN

Informasi spasial fase pertumbuhan tanaman dan pola tanam perlu diketahui untuk pemantauan tanaman

padi pada lahan sawah dengan menggunakan data inderaja Multi Temporal EVI MODIS. Informasi pola tanam

atau jenis tanaman pada lahan sawah dapat diperoleh dengan menerapkan segmentasi model pertumbuhan

tanaman padi periode 30 harian pada fase vegetatif dan generatif. Tetapi validasi model perlu dilakukan

terhadap daerah lain agar model ini konsisten dan dapat digunakan secara operasional untuk prediksi luas

panen padi sawah.

DAFTAR PUSTAKA 

Biotrop.2000. Konstruksi Prediksi Produksi Padi Berdasarkan Model Spasial. TISDA, BPPT.

Dirgahayu, D., 1999, Aplikasi Model Pendugaan Umur Padi untuk Peramalan Luas Panen Padi di Pulau Jawa”,

Majalah LAPAN (edisi Inderaja), No. 2, Vol.2.

Dirgahayu, D and Parwati, 2005. Rice Crop Modelling Using Age Index Based on LANDSAT 7 ETM Data.

International Conference of MAP ASIA, 22 – 25 August 2005. GisDevelopment.

Dirgahayu, D. 2005. Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data MODIS Untuk Pendugaan Umur

Padi Sawah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAP IN XIV, ITS. Surabaya

Mulyana,W,I. Budi, dan B. Subroto. 1998. Pemanfaatan Informasi Produksi Padi untuk Mengestimasi Pengadaan

Beras dan Operasi Pasar Bulog, Lokakarya Sistem Pemantauan dan Prediksi Padi di Indonesia. SARI

Project, BPPT, Jakarta.

Napitupulu, T.E.M. 1998. Sistem Estimasi Hasil dan Peramalan Produksi dalam Konteks Pengamanan Produksi

Pangan Nasional.Lokakarya Sistem Pemantuan dan Prediksi Padi di Indonesia. SARI Project, BPPT, Jakarta

Page 39: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 39/119

39Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 APLIKASI INDERAJA UNTUK MENDETEKSI AWAL TANAM

PADI MENGGUNAKAN DATA EVI MODIS MULTITEMPORAL

Dede Dirgahayu

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

 ABSTRAK 

Informasi spasial awal tanam padi sangat diperlukan untuk mengetahui persentase realisasi tanam padi. Penelitian

ini bertujuan untuk mendeteksi area tanam padi berdasarkan informasi spasial awal tanam padi di lahan sawah

menggunakan data EVI MODIS multitemporal. Data yang digunakan adalah data 8 harian EVI MODIS multitemporal

(tahun 2007- 2009). Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui kapan terjadinya awal tanam padi berdasarkan waktu

terjadinya EVI maksimum yang dapat dicapai pada setiap piksel data. Nilai EVI maksimum saat pertumbuhan vegetatif

tanaman padi dijadikan sebagai acuan, karena umumnya terjadi pada 60 HST (hari setelah tanam). Nilai EVI maksimum

dapat diketahui berdasarkan profil pertumbuhan menggunakan data EVI MODIS multitemporal selama pertumbuhan

tanaman padi (110-120 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman padi di daerah Indramayu,

Jawa Barat terdeteksi awal tanam Oktober – Maret dengan nilai ambang EVI < 0.22.

Kata Kunci : MODIS Multitemporal, Analisis spasial, EVI Maksimum, Profil Pertumbuhan

Page 40: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 40/119

40 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi tanaman pangan khususnya tanaman padi perlu dilakukan oleh pemerintah untuk

mencapai swasembada pangan. Karena berdasarkan UU RI tahun No. 7 tahun 1996, dinyatakan bahwa

ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermindari tersedianya

pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Namun produksi padi

disuatu negara setiap tahunnya dapat mengalami fluktuasi akibat adanya bencana kekeringan dan kebanjiran

di lahan sawah. Bencana tersebut juga dapat terjadi Pulau Jawa yang merupakan daerah pemasok terbesar

produksi padi nasional. Dengan demikian perlu adanya upaya yang dilakukan untuk mencapai swasembada

pangan, yang salah satunya adalah dengan melakukan pemantauan terhadap kondisi pertanaman padi di

Pulau Jawa. Dengan adanya pemantauan tersebut diharapkan pemerintah dapat segera mengambil tindakan

yang diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan produksi padi nasional.

Tanaman Padi mengalami beberapa kondisi / fase selama pertumbuhannya, antara lain fase tebar-tanam,

vegetatif, generatif-panen, dan bera. Secara detil tahapan pertumbuhan tanaman padi adalah sebagai berikut

1. tahap perkecambahan (20 - 17 hari sebelum tanam)

2. tahap bibit (17 - 4 hari sebelum tanam)

3. tahap anakan (2 -20 hari setelah tanam /hst)

4. tahap pemanjangan batang (22 - 32 hst)

5. tahap inisiasi malai (32 - 42 hst)

6. tahap perkembangan malai (40 - 52 hst)

7. tahap pembungaan (52 - 62 hst)

8. tahap pengisian biji (62 - 74)

9. tahap pengerasan biji (70 - 82 hst)

10. tahap biji masak (80 - 96 hst)

Pada fase tebar-tanam hingga tahap anakan didominasi oleh air selama sekitar 20 hari Pada fase vegetatif

dan generatif didominasi oleh tajuk tanaman dengan tingkat kehijauan dan kerapatan yang berbeda yang

berlangsung selama 80-90 hari tergantung jenis varietasnya. Setelah itu tanaman padi dipanen dan diberakan

selama beberapa hari tergantung ketersediaan air 

Pendekatan yang banyak digunakan untuk memprediksi awal musim tanam adalah dengan mengetahui

ketersediaan air dari curah hujan dan kondisi lengas lahan (moisture) serta kehilangan air akibat

evapotranspirasiyang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pendekatan-pendekatan tersebut pada dasarnya

merupakan usaha untuk mengetahui periode di mana kondisi fisik lingkungan sesuai bagi pertumbuhan

tanaman. Las (1992) dalam Adiningsih (2000) mengemukakan tentang konsep penentuan awal musim tanam

berdasarkan jumlah curah hujan dasarian dan status ketersediaan air tanah, Ada 3 kelas status ketersediaan air

untuk menentukan awal musim tanam, yaitu :

a. Air mencukupi bagi tanaman jika curah hujan lebih besar dari 50 mm/dasarian,

b. Hampir mencukupi jika curah hujan 25 -50 mm/dasarian, dan

c. Tidak mencukupi jika < 25 mm/dasarian.

Page 41: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 41/119

41Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Pembagian status air tersebut didasarkan pada evapotranspirasi potensial (ETP) rata-rata dan persentase curah hujan

efektif. Untuk mendapatkan curah hujan efektif > 25 mm/dasarian dengan peluang 75 %, maka curah hujan rata-

rata harus > 50 mm/dasarian atau 150 mm/bulan. Angka ini sering digunakan sebagai batas kelayakan curahhujanuntuk awal musimtanam tanaman padi. FAO (1978) dalam Hardjowigeno (2001) menganjurkan kombinasi curah

hujan dengan evapotranpirasi potensial untuk masa tanam , yaitu dengan kriteria rasio CH/ETP > 0.5. Batas ambang

tersebut juga dapat digunakan sebagai indikasi terjadi kekeringan.

Salah satu metode pemantauan tanaman padi yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan data satelit

penginderaan jauh. Data satelit yang dapat digunakan untuk pemantauan tanaman padi dengan cakupan

wilayah yang luas dan temporal yang tinggi adalah datasatelit MODIS Terra-Aqua. Dari data MODIS dapat

diekstrak nilai indeks vegetasi EVI (Enhanced Vegetation Index)   seperti yang pernah dilakukan oleh Huete

et al. (1997). Dengan menggunakan nilai EVI secara temporal diharapkan dapat dilihat dan dicirikan fluktuasi

pertumbuhan tanaman padi.

Informasi spasial awal tanam padi sangat diperlukan untuk mengetahui persentase realisasi tanam padi.

Jika realisasi tanam masih dibawah target dari rencana target luas panen dan Kalender Tanam (Katam),

maka instansi terkait seperti Badan Ketahanan Pangan, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP),

dibawah Kementan dan Dinas Pertanian Daerah dapat melakukan antisipasi agar kegiatanan penanaman dapt

dipercepat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi awal tanam padi menggunakan data EVI Modis Multitemporal.

Manfaat penelitian adalah dapat diketahuinya persentase realisasi tanam padi yang telah dilakukan di lapangan.

Selain itu untuk mengevaluasi apakah sistim katam (kalender tanam) dilakukan atau tidak.

METODE

Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di areal persawahan Kabupaten Indramayu sebagai salah satu sentra produksi padi di

Jawa Barat. Luas Kabupaten Indramayu yang tercatat seluas 204.011 Ha, terdiri atas 110.877 Ha lahan sawah

(54,35%) dengan irigasi teknis sebesar 72.591 Ha, 11.868 Ha setengah teknis 4.365 Ha irigasi sederhana PU

dan 3.129 Ha irigasi non PU. Permasalahan yang sering terjadi di areal persawahan di Kabupaten Indramayuadalah masih terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim penghujan.

Bahan dan Alat

Data primer adalah citra MODIS 8 harian dari Januari 2007 sampai dengan 2009. Pengolahan data dilakukan

dengan menggunakan Software ER Mapper dan beberapa program khusus yang dibuat sendiri agar proses

pengolahan data dapat dilakukan secara otomatis. Data lain yang digunakan adalah peta baku lahan sawah

dari departemen Pertanian dan data hasil survey lapangan.Alat yang digunakan untuk penelitian adalah

seperangkat komputer, peralatan pengamatan lapangan, alat tulis, dan printer.

Page 42: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 42/119

42 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

2.3. Metode Penelitian

Data yang dikumpulkan adalah data reflektan MODIS 8 harian dari tahun 2007-2009. Kemudian dilakukan

koreksi geomterik dan mozaiking dengan menggunakan software MODIS tool dan ER-MAPPER. Setelah itu

dilakukan pemisahan awan dengan menggunakan metode RGB Clustering. Setelah data MODIS dikoreksi

kemudian dilakukan ektraksi nilai EVI dari data tersebut sehingga diperoleh data raster indeks vegetasi (IV)

MODIS 8 harian dari tahun 2007 sampai dengan 2009.

Rumus yang digunakan untuk ektraksi EVI yaitu (Huete, 1997):

 

 xG Lr C r C r 

r r  EVI 

 Blued  NIR

d  NIR

+−+

−=

2Re1

Re  (1)

dimana L=1, C1 = 6, C2 = 7.5, and G (gain factor) = 2.5.

Kemudian data raster tersebut diperhalus (smoothing)   untuk menghilangkan noise (teutama awan) agar

diperoleh profil EVI yang halus. Smoothing yang dilakukan adalah dengan menggunakan moving median 3

dan rata-rata. Artinya setiap tiga data dicari nilai mediannya kemudian dirata-ratakan. Kemudian hasil dari

smoothing tersebut dioverlay dengan lahan baku sawah dari data landsat sehingga diperoleh profil IV per

piksel.

Analisis spasial data multitemporal dilakukan untuk mengetahui nilai statistik suatu piksel dalam periode 8

harian selama 3 tahun, antara lain : minimum, maksimum, mean, letak/ saat minimum, dan letak maksimum.

Nilai-nilai statistik tersebut merupakan representasi kondisi liputan lahan selama berapa tahun. Jika suatu piksel

di lapangan didominasi oleh obyek vegetasi/ tanaman, maka nilai statistik tersebut merupakan parameter

pertumbuhan tanaman. Jika vegetasi tersebut tanaman padi, maka saat mencapai nilai EVI maksimum tanaman

padi tersebut berumur sekitar 60 HST (Hari Setelah Tanam), yaitu sekitar separuh dari masa pertumbuhan

tanaman padi dari mulai tanam hingga panen (110-120 hari). Selanjutnya dibuat program khusus menggunakan

bahasa pemograman C++ untuk menghitung parameter pertumbuhan tanaman padi agar dapat membedakan

tanaman padi dengan objek lainnya. Program tersebut menghitung nilai minimum, maksimum, letak minimum,

letak maksimum dari seri data yang terkumpul. Dari nilai-nilai tersebut dapat dihitung awal tanam (saat

mencapai nilai minimum yang didominasi oleh obyek air), panen (kondissi bera / tanpa vegetasi) dan nilai

statistiknya seperti nilai rata-rata /mean selama pertumbuhan, mean, std, dan slope selama fase vegetatif (0 –

60 HST atau saat EVI max) dan selama fase generatif (60 HST – bera). Nilai-nilai tersebut dapat dimanfaatkan

dalam pengolahan data lebih lanjut untuk menentukan obyek yang diduga tanaman padi.

Page 43: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 43/119

43Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 1. Diagram Alir Deteksi Tanaman Padi dan Estimasi Awal Tanam Padi

Ekstraksi informasi awal tanam (AT) padi dilakukan berdasarkan waktu terjadinya EVI Maksimum atau Letak

Maksimum (LM). EVI maksimum diasumsikan terjadi ketika padi berumur 60 HST (Hari Setelah Tanam), yaitu

setelah pembungaan dan saat terbentuknya bulir gabah. Dengan demikian awal tanam (AT) padi pada data EVI

8 harian dapat diketahui dengan formula :

AT = LM – 60/8 ~ LM – 8 (2)

Dimana, AT = awal tanam ; LM = letak / urutan data saat EVI maksimum

Jika IV dari EVI maksimum > 0.45, selisih EVI maksimum dan minimum >0.35 dan rasio dari IV generatif dengan

vegetatif > 0.75 maka areal tersebut merupakan tanaman padi dan selainnya bukan tanaman padi.

Untuk memperoleh rata-rata awal tanam dan profil pertumbuhan tanaman padi, maka harus dibuat sampel

area yang relatif homogen berupa poligon yang terdiri dari beberapa piksel yang memiliki kesamaan waktu

awal tanam, kisaran EVI maksimun, dan kesamaan dalam selisih EVI maksimum dan EVI minimum. Tahapan

membuat sampel area berupa raster atau poligon adalah sebagai berikut : rekode Citra EVI_Maksimum menjadi

6 kelas (Maksimum_Id), rekode Citra Maksimum-Tanam menjadi 3 kelas (Mx-Tn_Id), overlay matriks antara

Maksimum_Id dengan Mx-Tn_Id untuk membuat citra Klasifikasi Padi sawah sebanyak 18 kelas.

Page 44: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 44/119

44 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Nilai atribut klasifikasi sawah (Swh_Id) dihitung dengan formula :

Swh_Id = Mx-Tn_Id + 3*( Maksimum_Id – 1) (3)

Dimana,

Swh_Id = Atribut Kelas padi

Mx-Tn_Id = Atribut Kelas EVI maksimum dikurang EVI saat tanam

Maksimum_Id = Atribut Kelas EVI maksimum

Untuk membuat profil pertumbuhan tanaman padi EVI multitemporal berdasarkan piksel-piksel yang relatifhomogen, maka data EVI tersebut harus diekstrak berdasarkan poligon yang memiliki kelas padi dan awal

tanam yang sama. Poligon tersebut dapat terbentuk dengan cara mengoverlay vektor poligon Klasifikasi Padi

dengan nilai atribut Klas_id dan vektor polgon awal tanam (AT). Nilai atribut padi (Padi_Id) dihitung dengan

formula sbb :

Padi_id = Swh_id + 18*(AT_id – 1 ) (4)

Dimana,

Padi_id = nilai atribut padi

Swh_id = nilai atribut kelas padi

AT_id = nilai atribut awal tanam (Julian date )

Selanjutnya vektor poligon tersebut dikonversi menjadi Region Raster oleh SW ErMapper ke file EVI

Multitemporal untuk dihitung nilai statistiknya pada setiap region dengan atribut Padi_Id. Kemudian dilakukan

tabulasi nilai EVI berdasarkan umur / awal tanam yang sama sehingga diperoleh profil EVI setiap kelas padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Areal Tanaman PadiData Reflektan Modis 8 harian yang telah dikumpulkan dikoreksi geometrik dan dimosaiking dengan

menggunakan software MODIS Reprojection Tool  agar diperoleh citra pulau Jawa dan Bali. Kemudian dilakukan

pemisahan awan pada data tersebut dengan menggunakan software ER Mapper. Setelah dilakukan koreksi lalu

dari data tersebut diekstrak nilai EVI nya dengan menggunakan persamaan (1) sehingga diperoleh data Indeks

 Vegetasi (IV) MODIS 8 harian.Data dari hasil ekstraksi tersebut kemudian dismoothing dengan menggunakan

program Gambar 2 merupakan contoh tampilan program smoothing dan hasilnya.

Page 45: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 45/119

45Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Gambar 2. Contoh program penghalusan EVI dan hasilnya

Hasil dari smoothing tersebut kemudian di overlay dengan lahan baku sawah dari data landsat sehinggadiperoleh profil IV per piksel. Karena setiap obyek yang dipermukaan bumi mempunyai profil yang berbeda-

beda maka dapat dibedakan juga profil yang diduga sebagai profil padi. Dari profil yang diperoleh dari tiap

piksel didapat bahwa untuk piksel-piksel yang diduga tanaman padi mempunyai tiga puncak untuk periode

2007 sampai dengan 2009. Hal ini menandakan bahwa terjadi tiga periode tanam. Berdasrkan hasil analisis

statistik pada sampel area yang dibuat menunjukkan bahwa perubahan EVI selama pertumbuhan tanaman

padi membentuk kurva seperti lonceng (Gambar 2) dan mempunyai selang waktu 112-120 hari. Tanaman padi

rata-rata mencapai nilai EVI maksimum >= 0.45 dan EVI minimum <= 0.22 (fase air). Sedangkan selisih nilai

EVI maksimum dan EVI minimum (saat tanam) > 0.35. Hasil analisis statistik data EVI multitemporal selama

3 tahun menghasilkan citra EVI maksimum, Rata-rata, dan EVI minimum. Komposit RGB dari ketiga citra

tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. Lahan sawah dapat dideteksi dengan kenampakan warna dominan hijaudibandingkan dengan penutup lahan yang lain

Page 46: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 46/119

46 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 3. RGB Komposit EVI Multitemporal

Distribusi Spasial Awal Tanam Padi

Hasil deteksi awal tanam padi sawah selama 3 tahun (2007-2009) di Kabupaten Indramayu menunjukkan EVI

maksimum tanaman padi banyak dicapai pada tahun 2007, karena terdeteksi lebih luas awal tanam padi dari

mulai Januari hingga Desember 2007. Periode Mei – Agustus tidak banyak terdeteksi penanaman padi, karena

sudah berkurangnya pasokan air. Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan lebih banyak terjadi

penanaman padi pada periode Januari – Maret dan Desember 2007. Sedangkan pada Tahun 2008 awal tanam

banyak terdeteksi pada periode Oktober – Desember 2008. Kondisi tersebut menunjukkan pemanfaatan

sumber air selain dari pasokan air irigasi yaitu dari air hujan cukup optimal dilakukan.

Page 47: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 47/119

47Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 4. Pemetaan Awal Tanam Padi Sawah di Kab. Indramayu Tahun 2007

Gambar 5. Pemetaan Awal Tanam Padi Sawah di Kab. Indramayu Tahun 2008

Page 48: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 48/119

48 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

KesimpulanBerdasarkan hasil analisis spasial dalam penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Awal tanam padi dapat dideteksi berdasarkan dominasi obyek air pada lahan sawah. Waktu awal tanam

padi ( 0 HST) dapat diduga berdasarkan saat terjadi EVI maksimum yang umumnya terjadi pada 60 HST.

Nilai ambang (treshold) EVI pada awal tanam adalah sekitar 0.22.

2. Realisasi tanam padi dapat dipantau melalui pertambahan luas tanaman padi yang memiliki nilai EVI <=

0.22.

Daftar Pustaka

Adiningsih, E.S., dkk. 2000. Penentuan awal musim tanam menggunakan data satelit lingkungan dan cuaca di

pulau Jawa. Prosiding Seminar Internasional Penginderaan Jauh dalam Pengembangan Ekonomi dan

Pelestarian Lingkungan Hidup”, Jakarta, 11-12 April 2000.

Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Jurusan Geofísika

dan Meteorologi. FMIPA. IPB.

Handoko. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO

BIOTROP. Bogor. Indonesia

Hardjowigeno, S.2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. IPB, Bogor 

Hillel,D. 1971. Soil and Water Physical Principlesand Processes. Academic Press, New York.

Puslitanak. 2002. Perkiraan Dini Areal Pertanian yang Terancam Kekeringan di Pulau Jawa Menggunakan

Teknologi Penginderaan Jauh. Laporan Kerjasama dengan Pusat Data dan Informasi Pertanian,

Departemen Pertanian

Wu, L., F. X. Le Dimet, B. G. Hu, P. H. Cournède, P. de Reffye. 2004. A Water Supply Optimization Problem for

Plant Growth Based on GreenLab Model. Cari 2004 - Hammamet. p: 101 – 108

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2014. Profil Kabupaten Indramayu. Diunduh dari http://jabarprov.go.id/index.

php/pages/id/1052 . Tanggal 1 Oktober 2014.

Huete et al., 1997. HYPERLINK “http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0034425796001125”A comparison

of vegetation indices over a global set of TM images for EOS-MODIS. Journal of Remote Sensing

Page 49: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 49/119

49Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 ANALISIS NILAI EKOLOGI LAHAN SAWAH DI KOTADEPOK JAWA BARAT MENGGUNAKAN DATA SATELIT

PENGINDERAAN JAUH

Mukhoriyah

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

 ABSTRAK 

Kota Depok merupakan salah satu kota Megapolitan Jabodetabekpunjur, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,

Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2011 mencapai 1.813.612 jiwa dengan luas

wilayah 20.009,92 ha. Aktivitas penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan terhadap lahan meningkat, sementara

itu luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal ini menimbulkan perbandingan yang tidak seimbang antara perilaku

manusia dan lingkungan dimana banyak lahan sawah yang dikembangkan menjadi kawasan terbangun. Keberadaan

ekologi semakin menurun dan kurang mendapat perhatian sehingga berdampak pada bencana banjir setiap

tahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji ekologi lahan sawah di Kota Depok menggunakan data citrasatelit Landsat-7 TM tahun 2000 dan citra satelit SPOT-4 tahun 2011. Kajian ekologi dilakukan dengan menganalisis

konservasi air berdasarkan pembobotan variable curah hujan, penutup lahan dan kandungan liat. Selain itu dilakukan

analisis ruang terbuka hijau (RTH) dan analisis sebaran titik banjir. Hasil menunjukkan telah terjadi perubahan penutup

lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 11,49%. Hasil perhitungan nilai ekologi yang diperoleh berdasarkan

hasil pembobotan adalah lahan sawah yang mempunyai nilai ekologi tinggi merupakan kawasan konservasi air

(80,21%), terdapat sebaran titik banjir (182,68 ha) dan memiliki RTH seluas 655,70 ha; Lahan sawah yang memiliki nilai

ekologi sedang merupakan kawasan konservasi air (17,75%) dan mempunyai RTH seluas 143,64 ha; Dan lahan sawah

yang memiliki nilai ekologi rendah merupakan wilayah genangan titik banjir (156,52 ha) dan mempunyai RTH seluas

20,08 ha.

Kata Kunci: Ekologi, Penutup Lahan, Sawah, Satelit Landsat dan SPOT

Page 50: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 50/119

50 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Perkembangan tata ruang Kota Depok dipengaruhi oleh kebijakan pemanfaatan ruang pada tingkat nasional

dan provinsi yang diarahkan sebagai kawasan penyangga dan resapan air untuk wilayah DKI Jakarta, kawasan

industri dan permukiman, serta budidaya lahan basah (PERDA Kota Depok No. 2 tahun 2009). Lahan sawah

dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya,

dan memberikan manfaat yang bersifat sosial. Kota Depok juga merupakan salah satu kota kawasan Megapolitan

Jabodetabekpunjur yaitu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Jumlah penduduk

pada tahun 2011 mencapai 1.813.612 jiwa dengan luas wilayah 20.009,92 ha (BPS Kota Depok, 2011). Aktivitas

pembangunan dan pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan terhadap lahan meningkat,

sementara itu ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah.

Meningkatnya arus urbanisasi yang terjadi di Kota Depok menyebabkan banyaknya permintaan dan

mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Meningkatnya penggunaan lahan pertanian dimana makin

terbatasnya luas lahan sawah yaitu tahun 2011 sebesar 932 dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkanperbandingan yang tidak seimbang antara perilaku manusia dan lingkungan. Keberadaan lahan sawah di

Kota Depok harus dipertahankan keberadaannya sebab secara ekologi berfungsi sebagai daerah resapan

air, pengendali banjir, sebagai ruang terbuka hijau, pengendali keseimbangan tata air dan penyangga untuk

wilayah sekitanya serta sebagai habitat biota air. Tetapi saat ini keberadaan nilai ekologi semakin menurun

dan kurang mendapat perhatian. Dampak yang ditimbulkan adalah kerusakan ekologi jangka panjang yaitu

timbulnya bencana banjir setiap tahunnya (Jayadinata, 2008).

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh digunakan untuk memetakan berbagai objek di permukaan bumi

dan mengidentifikasi penggunaan lahan serta perubahannya dari tahun 2000-2011. Beberapa kajian telah

dilakukan untuk memanfaatkan data satelit penginderaan jauh untuk mengetahui perubahan lahan sawah dan

menentukan nilai ekologi, yaitu: pemantauan perubahan lahan pertanian (Irawan (2005), Pakpahan et al. (1993),

Rustiadi et al. (2005)); perhitungan nilai ekologi (Odum (1993). Pada kegiatan ini dilakukan analisis ekologi

lahan sawah di Kota Depok periode 2000-2011 menggunakan data satelit multi temporal Landsat TM dan citra

SPOT 4.

METODOLOGI

Lokasi penelitian berada di Kota Depok Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah 20.029, 92 ha dan terdiri

dari 11 kecamatan. Data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah citra satelit multitemporal Landsat-7

TM tahun 2000 dan citra SPOT-4 tahun 2011, data penutup lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

• Analisis perubahan penutup lahan sawah tahun 2000-2011, dilakukan dengan secara visual untuk

mengklasifikasi kelas penutup lahan. Berdasarkan hasil identifikasi penutup lahan di Kota Depok, diperoleh

sembilan kelas penutup lahan, yaitu: tubuh air, industri, kebun campur, ladang/tegalan, lahan terbuka,

lapangan golf, permukiman, sawah dan semak/belukar. Klasifikasi dilakukan menggunakan data Landsat 7

TM/ETM+ dan SPOT-4 untuk tahun yang berbeda.

• Analisis konservasi air, dilakukan dengan menentukan kondisi utama dari penutup lahan sawah dan

kemampuan tanahnya dalam menyimpan air. Perumusan model konservasi air mengacu pada penelitian

Zain (2002) dimana penelitian tersebut dilakukan di wilayah Jabodetabek dengan modifikasi beberapavariabel seperti curah hujan, penutup lahan, kandungan liat (Lembaga Penelitian Tanah, 1969). Dalam

penelitian ini dilakukan dua proses yaitu skoring dan pembobotan sehingga dihasilkan kelas konservasi

Page 51: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 51/119

51Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

air yaitu kelas tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan variabel curah hujan. Pemodelan zona

konservasi air (Zain, 2002) menggunakan Persamaan (1) sebagai berikut:

WC = (0.21 x P) + (0.42 x LU) + (0.03 x KL) (1)

Dimana: WC = Fungsi lahan sawah sebagai kawasan konservasi air

P = Curah hujan

  LU = Luas penutup lahan sawah

  KL = Kandungan Liat

Hasil pemodelan daerah konservasi air dari pembobotan beberapa parameter adalah:

1. Wilayah yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengkonservasi air.

2. Wilayah yang memiliki kemampuan sedang dalam mengkonservasi air.

3. Wilayah yang memiliki kemampuan rendah dalam mengkonservasi air

• Analisis Ruang Terbuka Hijau, merupakan standar penyediaan RTH adalah 15 m2/penduduk atau minimal

dari luas areal kota dalam berbagai bentuk. Kemampuan lahan sawah untuk menyerap CO2 pertahun

dapat dihitung melalui penelitian (IPCC, 2006) dimana lahan sawah memiliki daya serap gas CO2 sebesar

175,20 ton CO2/ha/tahun (DPU, 1996)

• Analisis Sebaran Titik Banjir, yaitu akibat tingginya curah hujan menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai

tidak lagi mampu menampung debit air sehingga terjadi luapan air di beberapa lokasi karena kapasitasalir lebih rendah dari debit aliran. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan karena di sepanjang sisi sungai

telah dipenuhi oleh permukiman penduduk sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti kesetimbangan

alam untuk menampung aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase. Analisis sebaran

titik banjir diperoleh dari hasil overlay peta sebaran titik banjir dengan peta penutup lahan sawah tahun

2011. Hasil tersebut digunakan untuk mengetahui luas lahan sawah yang berada di genangan titik banjir

akibat terjadinya perubahan lahan sawah menjadi lahan terbangun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Analisis Perubahan Penutup Lahan Sawah Tahun 2000-2011

Hasil klasifikasi penutup lahan tahun 2000 dan tahun 2011 digunakan untuk mendeteksi perubahan jenis dan

lokasi yang dituangkan dalam peta perubahan penutup lahan dengan menggunakan data Landsat 7 TM/ETM+

dan SPOT-4 diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2 dan hasil stratistik luas perubahan penutup lahan diperlihatkan

pada Tabel 1. Peruntukan penutup lahan Di Kota Depok mengalami kenaikan yang sangat signifikan, dimana

pada tahun 2000 luas lahan non pertanian dan kawasan terbangun mencapai 6.130,17 ha (30,64%) dan pada

tahun 2011 mengalami perubahan sebesar 11.882,17 ha (59,38%) atau mengalami peningkatan seluas 28,57

%. Sedangkan luas lahan sawah pada tahun 2000 sebesar 3.118.21 ha (15,58%) dan mengalami penyusutan

di tahun 2011 menjadi 819,42 ha (4,09%) atau lahan sawah mengalami konversi sebesar 2.298,79 ha (11,49%).

Lahan sawah lebih mudah dikonversi menjadi lahan terbangun atau peruntukan lainnya karena lahan sawah

banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial dan harga lahan sawah cenderung lebih murah di bandingkan

dengan penutup lahan lainnya.

Page 52: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 52/119

52 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tabel 1. Perubahan Penutup Lahan di Kota Depok Tahun 2000-2011

Kelas PLTahun2000 (Dalam

Ha)

Kelas Penutup Lahan (PL) Tahun 2011 (Dalam Ha)

Danau Industri KebunCampur

Ladang/

Tegalan

LahanTerbu-

ka

Lap

Golf

Per-mukiman

Sawah Semak/

Belukar

Jumlah

Danau 114,30 - 8,15 5,19 - 3,72 15,29 - 15,61 162,26

Industri - 34,97 - - - - - - - 34,97

Kebun Campur - - 1.059.26 85.82 8,05 0,04 187,36 - 76,71 1417.24

Ladang/

Tegalan

- - 50.43 1.084.72 40,26 11,15 97,89 - 38,89 1323.34

Lahan Terbuka - - 7,11 - 64,78 - 19,22 - 11,09 75,16

Lapangan Golf - - - - - 366,89 - - - 366.89

Permukiman - - - - - - 1.1847,20 - - 11847,20

Sawah - - 132,36 103,00 5,04 - 1.113,83 819,42 115,03 2298,79

Semak/

Belukar 

- - 59,13 35,45 17,27 0,17 132.06 - 2.239.49 2483.57

 

Gambar 1. Informasi spasial penutup lahan Kota Depok tahun 2000

Page 53: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 53/119

53Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Gambar 2. Informasi spasial penutup lahan Kota Depok tahun 2011

 Analisis Konservasi Air

Analisis fungsi konservasi air dapat dilakukan dengan menentukan kriteria kondisi utama dari penutup lahan

sawah dan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi antara curah

hujan, penutup lahan dan kemampuan liat telah terjadi degradasi air yang sangat tinggi disertai dengan

ketimpangan distribusi air terhadap waktu dan kualitas resapan yang menurun diperlihatkan pada pada Tabel

2 dan gambar 3. Berdasarkan pembobotan dari masing-masing variabel dihasilkan kelas konservasi air di Kota

Depok diperlihatkan meliputi:

• Lahan sawah yang berfungsi sebagai kawasan konservasi air tinggi (T) seluas 657.29 ha (80.21%),

mempunyai saluran irigasi yang berfungsi dengan baik.

• Lahan sawah yang berfungsi sebagai Kawasan Konservasi Air Sedang (S) luasnya 145.41 ha (17.75%).

Pada wilayah ini mulai banyak aktivitas penduduk dan pembangunan perumahan.

• Lahan sawah yang berfungsi sebagai Kawasan Konservasi Air Rendah (R) seluas 16.72 ha (2.04%) berada

di pusat Kota Depok. Pada wilayah ini merupakan kawasan yang digunakan sebagai pusat pertumbuhan

dan perkembangan kota seperti pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan.

Page 54: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 54/119

54 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 3. Kawasan konservasi air di Kota Depok

 Analisis Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan hasil analisis, Kota Depok memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas 5.056,35 ha. RTH

berfungsi sebagai daerah resapan air dan mempunyai kemampuan dalam menyerap karbon CO2. Kota Depok

yang merupakan wilayah penyangga daerah sekitarnya dimana lahan sawah mempunyai fungsi ekologi untukmenjaga ekosistem tumbuhan dan tanaman (Gambar 4 dan 5). Daya serap gas Co2 untuk lahan sawah adalah

175,20 Ton Co2/ha/tahun. Jika luas lahan sawah di Kota Depok 819,42 ha, maka estimasi kemampuan daya

serap lahan sawah Kota Depok terhadap CO2 yaitu 143.562,38 ton CO2/ha/tahun. Perhitungan daya serap

CO2 tersebut berdasarkan luas lahan sawah (tahun 2000 sebesar 3.118.21 ha dan tahun 2011 sebesar 819,42

ha) dan kepadatan CO2, sehingga bisa diketahui kemampuan daya serap CO2 pada lahan sawah meliputi:

• Lahan sawah dengan RTH Tinggi mempunyai luas 655,70 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar

114.878,64 ton CO2/ha/tahun.

• Lahan sawah dengan RTH Sedang mempunyai luas 143,64 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar

25.165,73 ton CO2/ha/tahun.• Lahan sawah dengan RTH Rendah mempunyai luas 20,08 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar

3.518,02 ton CO2/ha/tahun

Page 55: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 55/119

55Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Gambar 4. Hasil analisis Ruang Terbuka Hijau di Kota Depok

Gambar 5. Foto lahan sawah yang beralih fungsi menjadi area perumahan

Page 56: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 56/119

56 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 Analisis Sebaran Banjir

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa komposisi perubahan penutup lahan dalam kurun waktu

sebelas tahun (2000-2011) terjadi peningkatan luasan kawasan terbangun menjadi 28,57 % dan lahan sawah

mengalami konversi sebesar 11,49%. Karakteristik curah hujan di Kota Depok berdasarkan 4 stasiun yaitu:

Stasiun Pancoran Mas, Lenteng Agung, Sawangan dan Stasiun Cibinong. Dari hasil analisis diperoleh sebaran

genangan titik banjir di beberapa wilayah terutama di kawasan yang memiliki daerah resapan air yang kecil

(Gambar 6). Hasil sebaran titik banjir pada lahan sawah di Kota Depok meliputi:

• Terdapat genangan titik banjir seluas 182.68 ha berada di pinggiran Kota Depok, merupakan areal

permukiman yang berdekatan dengan saluran sungai, yang sebagian lahan sawah beralih fungsi menjadi

kolam ikan.

• Terdapat genangan titik banjir pada lahan sawah seluas 91.65 ha berada di tengah Kota Depok yaitu

di areal yang mulai di kembangkan untuk perumahan dan pusat perkembangan kota, memiliki salurandrainase yang tidak berfungsi dengan baik.

• Terdapat genangan titik banjir pada lahan sawah seluas 156.52 ha berada di pusat kota yang mayoritas

penggunaan lahannya dimanfaatkan menjadi areal terbangun. Daerah resapan air dan saluran drainase

sudah mengalami penurunan fungsinya sehingga pada zona tersebut sering mengalami banjir.

 

Gambar 6. Sebaran Titik Banjir di Kota Depok

Page 57: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 57/119

57Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Hasil analisis nilai ekologi lahan sawah di Kota Depok dengan menggunakan parameter konservasi air,

ruang terbuka hijau dan sebaran titik banjir, maka diperoleh kriteria nilai ekologi tinggi, sedang dan rendahdiperlihatkan pada Gambar 7 meliputi :

• Lahan sawah yang memiliki nilai ekologi tinggi merupakan kawasan konservasi air dengan luas 657,29

ha (80,21%), terdapat sebaran titik banjir terbesar yaitu seluas 182,68 ha, mempunyai saluran drainase

dan irigasi yang baik. Wilayah ini memiliki RTH seluas 655,70 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar

114.878,64 tonCO2/ha/tahun.

• Lahan sawah yang memiliki nilai ekologi sedang merupakan kawasan konservasi dengan luas 145,41 ha

(17,75%), mempunyai RTH seluas 143,64 ha yang mampu menyerap CO2 sebesar 25.165,73 tonCO2/ha/

tahun.

• Lahan sawah yang memiliki nilai ekologi rendah merupakan wilayah genangan titik banjir seluas 156,52 ha

dan mempunyai RTH seluas 20,08 ha yang mampu menyerap CO2 sebesar 3.518,02 tonCO2/ha/tahun.

Tabel 2. Luas Kriteria Lahan Sawah sebagai Kawasan Konservasi Air

Kriteria Kawasan Konservasi Luas (Ha) Prosentase (%)

Rendah 16.72 2.04

Sedang 145.41 17.75

Tinggi 657.29 80.21

Gambar 7. Hasil analisis nilai Ekologi Lahan Sawah Kota Depok

Page 58: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 58/119

58 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lahan sawah di Kota Depok sudah banyak mengalami perubahan

yang dikonversi menjadi lahan terbangun. Padahal ditinjau dari aspek biofisik dan lahan sawah harus

dipertahankan keberadaannya karena secara ekologi merupakan kawasan konservasi air yang tinggi yaitu

seluas 657,29 ha (80,21%) dan memiliki RTH seluas 655,70 ha yang mampu menyerap CO2 sebesar 114.878,64

tonCO2/ha/tahun, walaupun Kota Depok memiliki sebaran titik banjir terbesar yaitu seluas 182,68 ha.

DAFTAR PUSTAKA 

Badan Pusat Statistik. Kota Depok Dalam Angka. Kota Depok. Jawa Barat. 2011

Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. 1996. Pedoman

Peninjauan Kembali dan Penyusunan RTRW Kabupaten Dati II. DPU. Jakarta.

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum

Penelitian Agro Ekonomi Volume 21 No.2 Oktober 2003. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,

Balitbang Pertanian Departemen Pertanian. hal : 145-174.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas

Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan.

Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah Edisi Ketiga.

Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Odum, Eugene P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafa’at. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan

Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor 

PERDA Nomor 2 Tahun 2009. Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010 . Kota Depok. Jawa Barat

Rustiadi E, Wafda R. 2005. Masalah Ketersedian Lahan dan Konversi Lahan Pertanian. Makalah Seminar pada

Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi pada tanggal 13 Desember

2005, kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan Pusat Studi Pembangunan

Pertanian dan Perdesaan (PSP3) LPM IPB

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Penataan Ruang.

Zain. AM, Mukaryanti, Shiddig. D. Evaluasi Kemampuan Alami Wilayah Dalam Konservasi Air dan Pengendalian

Banji r. Jurnal Ilmiah. Teknik Lingkungan. P3TI – BPPT.7.

Page 59: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 59/119

59Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PEMBUATAN INFORMASI SPASIAL SEBARAN NDVI DI DTADANAU KERINCI BERBASIS DATA LANDSAT TM/ETM+

PERIODE 2000-2009

Bambang Trisakti*, Arum Tjahyaningsih*, dan Samsul Arifin**

*Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN

** Bidang Produksi Informasi, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN

 ABSTRAK 

Informasi spasial nilai minimum dan dan maksimum dari indek kehijauan vegetasi (NDVI) sangat diperlukan sebagai data

masukan untuk pendugaan laju erosi tanah. Informasi spasial NDVI pada daerah tangkapan air (DTA) membutuhkan

citra satelit dengan resolusi spasial menengah, seperti citra Landsat. Tutupan awan/haze dan perbedaan pencahayaan

karena topografi dapat mengakibatkan tidak akuratnya NDVI. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat informasi spasial

NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau Kerinci menggunakan 19 citra Landsat TM/ETM+ periode 2000-2009

perekaman bulan berbeda yang mewakili musim kemarau dan hujan. Standardisasi data dilakukan dengan melakukan

koreksi geometri matahari dan koreksi terrain menggunakan metode C-correction. Proses berikutnya adalah

menghilangkan awan/haze dan bayangan pada setiap citra, konversi ke NDVI, kroping dan penggabungan data,

serta perhitungan NDVI maksimum dan minimum. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk melihat perubahan NDVI. Hasil

memperlihatkan bahwa kondisi topografi, awan dan bayangan mempengaruhi NDVI, terutama dalam menentukan

NDVI minimum. Karena itu standarisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting mendapatkan

NDVI yang konsisten dan akurat. Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup lahan yang dinamis (sawah), sedangkan

perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup lahan yang statis (hutan dan tubuh air).

Kata Kunci: NDVI, standarisasi, Landsat TM/ETM+, topografi, penghilangan awan/bayangan

Page 60: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 60/119

60 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di bagian hulu daerah

tangkapan air (DTA), yang selanjutnya mengakibatkan berubahnya siklus hidrologi di DTA tersebut. Bila hujan

turun pada tanah yang terbuka, maka air akan masuk kedalam tanah yang memiliki kesuburan tinggi. Dengan

tidak adanya pohon yang menahan air hujan agar meresap ke dalam tanah, maka aliran air permukaan akan

meningkat. Aliran air permukaan yang besar dan cepat akan mengikis lapisan permukaan tanah yang subur

sehingga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Dampak yang terjadi adalah meningkatnya erosi tanah

pada musim hujan dan kurangnya air pada musim kemarau karena rendahnya resapan air ke dalam tanah (www.

Salmaghaliza.blogspot.com)

Permasalahan di DTA berakibat pada turunnya kualitas danau seperti: pendangkalan dan penyempitan danau,

penyebaran eceng gondok dan turunnya kualitas air. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar

kerusakan DTA tidak berlanjut terus, serta upaya pemulihan kualitas danau sehingga danau-danau tersebut

dapat tetap lestari. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah telah menggulirkan program nasionalpenyelamatan danau 2010-2014 yang diprioritaskan kepada 15 danau yang telah mengalami kerusakan (KLH,

2011). Program tersebut telah ditindak lanjuti dengan diadakannya Konferensi Danau I di Bali pada tahun 2009

dan Konferensi Danau II di Semarang pada Tahun 2011, yang menghasilkan kesepakatan antara 9 Kementerian

dan penegasan kembali untuk pemulihan 15 danau prioritas.

Berdasarkan pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau (KLH, 2008) dijelaskan bahwa status ekosistem danau

ditentukan oleh beberapa faktor, yang salah satunya adalah erosi lahan. Erosi merupakan suatu proses hilangnya

lapisan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995). Tingkat erosi yang tinggi

dan melebihi batas toleransi mengakibatkan DTA suatu danau diberi status mengalami kerusakan. Metode

Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah metode pendugaan laju erosi tanah yang cukup populer dan sangat

baik diterapkan di daerah yang faktor utama penyebab erosi adalah hujan dan aliran permukaan (As-syakur,

2008), tetapi metode USLE membutuhkan beberapa masukan data pengukuran lapangan yang belum tentu

tersedia untuk setiap wilayah Indonesia. Metode pendugaan lain berbasis data satelit penginderaan jauh, yang

membutuhkan informasi spasial kemiringan lereng dan data Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

untuk wilayah kajian (Hazarika dan Honda, 2001). Data NDVI yang dibutuhkan untuk pendugaan laju erosi

tanah adalah NDVI minimum dan maksimum pada suatu wilayah selama periode tertentu.

NDVI adalah indeks vegetasi yang paling popular digunakan dan dapat mengambarkan kondisi tingkat

kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi. NDVI dikembangkan oleh Rouse et al. (1974), berbasis kepada

perbedaan nilai pantulan band inframerah dengan band merah. Tumbuhan hijau akan menyerap gelombang

pada spektrum merah untuk proses fotosintesis, dan memantulkan gelombang pada spectrum inframerah.Parameter indek vegetasi sebaiknya memenuhi syarat (Jensen, 2000): (a) Memaksimalkan sensitifitas dari

parameter biofisik tanaman, (b) Menormalkan pengaruh dari luar seperti: sudut matahari, sudut pandang sensor,

atmosfir dan waktu perekaman, (c) menormalkan pengaruh dari dalam seperti: variasi dari jenis kanopi dan

tanah, kondisi topografi, jenis tanaman, (d) dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur

seperti biomassa atau leaf area index (LAI) yang dapat dijadikan alat validasi dan kontrol kualitas informasi.

Walaupun NDVI diharapkan dapat terlepas dari pengaruh faktor luar dan faktor dalam, tetapi pada kenyataannya

faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai dijital piksel secara berbeda untuk setiap band. Oleh karena itu NDVI

yang berbasis pada selisih band tidak akan terlepas sepenuhnya dari pengaruh tersebut. Beberapa faktor

yang mempengaruhi nilai dijital piksel adalah pengaruh tutupan awan/haze, bayangan dan beda pencahayaan

karena perbedaan kondisi topografi permukaan bumi. Faktor yang paling berpengaruh untuk wilayah Indonesia

adalah faktor tutupan awan, karena Indonesia terletak di wilayah tropis yang merupakan wilayah pembentukan

awan.

Page 61: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 61/119

61Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Kegiatan ini bertujuan untuk untuk membuat informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau

Kerinci menggunakan citra multi temporal Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Proses standarisasi

data dilakukan dengan melakukan koreksi geometri matahari dan terrain, kemudian melakukan penghilangan

awan/haze dan bayangan awan dengan menggunakan kombinasi band. Diharapkan proses standarisasidata, penghilangan awan/haze dan bayangan dapat mempertahankan konsistensi nilai NDVI sehingga dapat

digunakan untuk mendukung pendugaan laju erosi tanah yang akurat.

METODE

Lokasi dan Data

Lokasi kajian adalah daerah tangkapan air Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar

1). Danau Kerinci merupakan salah satu dari 15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas

tahun 2010-2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Pengembangan), KLH

(http://blhpp.wordpress.com/) . Ekosistem sekitar Danau Kerinci mempunyai permasalahan dengan terjadinyakerusakan DAS karena konversi lahan yang mengakibatkan tingginya laju erosi tanah di wilayah DTA. Wilayah ini

mempunyai kondisi topografi yang bervariasi dan dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan, dengan penutup

lahan yang utama terdiri dari pertanian, perkebunan, hutan dan ladang/tegalan.

Data penginderaan jauh satelit yang digunakan adalah data Landsat TM/ETM selama periode 2000-2009, dan

data Dijital Elevation Model (DEM) SRTM X-C band. Kedua jenis data tersebut mempunyai resolusi spasial

yang sama yaitu 30 m. Data Landsat TM/ETM+ diperoleh dari program Indonesia National Carbon Accounting

System (INCAS), kondisi data sudah terkoreksi geometri matahari (konversi nilai dijital ke reflektansi) dan

sebagian sudah terkoreksi terrain. Dari data yang diterima dilakukan evaluasi tingkat penutup awan, untuk

selanjutnya dipilih 19 data dengan tingkat penutup awan yang relatif rendah untuk digunakan. Data yang dipilih

 juga memperhatikan keterwakilan bulan-bulan pada musim hujan dan musim kemarau. Data yang digunakan

diperlihatkan pada Tabel 1.

Gambar 1. Lokasi daerah kajian di Kabupaten Kerinci (Kiri), dan daerah tangkapan air Danau Kerinci (Kanan)

Page 62: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 62/119

62 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tabel 1. Data Landsat yang digunakan

No. Jenis data Tanggal Perekaman

1. Landsat TM 22 Januari 2000

2. Landsat TM 5 Mei 2000

3. Landsat TM 13 Mei 2000

4. Landsat TM 3 Juli 2001

5. Landsat TM 11 Juli 2001

6. Landsat ETM+ 24 Maret 2002

7. Landsat ETM+ 28 Juni 2002

8. Landsat ETM+ 15 Agustus 2002

9. Landsat TM 6 Januari 2003

10. Landsat ETM+ 17 Juni 2004

11. Landsat TM 13 September 2004

12. Landsat TM 27 Mei 2005

13. Landsat TM 30 Mei 2006

14. Landsat TM 1 Juli 2006

15. Landsat ETM+ 11 September 2006

16. Landsat TM 1 Mei 2007

17. Landsat TM 19 Mei 2008

18. Landsat TM 20 April 2009

19. Landsat TM 22 Mei 2009

Metode Penelitian

Sebagian data masih belum dilakukan koreksi terrain, sehingga tahap pertama adalah melakukan koreksi terrain

dengan menggunakan algoritma C correction (Wu et al., 2004) seperti pada persamaan 1. Detil penjelasan

mengenai koreksi terrain dan cara memperoleh nilai C dapat dilihat pada hasil penelitian sebelumnya (Trisakti

et al., 2009), pada penelitian tersebut dilakukan perhitungan nilai C, dan selanjutnya melakukan koreksi terrain

untuk data Landsat ETM+ dengan menggunakan algoritma C correction.

LH = LT (Cos sz + C)/(Cos i +C) (1)

Dimana:

LH : Reflektansi yang sudah dikoreksi (pada permukaan datar)

LT : Reflektansi belum dikoreksi (pada permukaan miring karena kondisi topografi)

sz : Sudut zenith matahari

i : Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan arah matahari

c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan gradient (b/m) dari persamaan regresi

LT = m Cos I + b

Selanjutnya melakukan penghilangan awan/haze (cloud removal)   dan bayangan awan untuk data Landsat.

Penghilangan awan dilakukan dengan menggunakan metode penghilangan awan secara bertahapmenggunakan band biru (band 1) dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai

berikut:

Page 63: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 63/119

63Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

if X4 > Acloud-thres

then P = piksel awan,

if X1 > Bcloud-thres

then P = piksel awan,

Selain itu adalah piksel non awan

dimana:

X1 = Band 1

X4 = Band 4

Acloud-thres

= Nilai batas awan band 4

Bcloud-thres

= Nilai batas awan band 1

Sedangkan untuk penghilangan bayangan awan digunakan metode penghilangan bayangan secara bertahapmenggunakan band albedo (penjumlahan band visible) dan band inframerah (band 4), algoritma yang

digunakan adalah sebagai berikut:

if X1+X2+X3 < Acloud-thres

then P = piksel bayangan,

if X4 < Bcloud-thres

then P = piksel bayangan,

Selain itu adalah piksel non awan

dimana:

X1, X2, X3 = Band 1, Band 2 dan Band 3

X4 = Band 4

Acloud-thres

= Nilai batas bayangan band albedo

Bcloud-thres

= Nilai batas bayangan band 4

Nilai batas awan dan bayangan ditentukan dengan melakukan perbandingan visual antara hasil citra penerapan

algoritma penghilangan awan dan bayangan dengan citra Landsat komposit RGB 542. Bila hasil masking awan

dan bayangan belum sesuai maka dilakukan iterasi sehingga diperoleh batas yang paling optimal. Setelah itu

tahap berikutnya adalah mengubah piksel non awan menjadi nilai NDVI dengan persamaan umum dari NDVI.

NDVI = (X4-X3)/(X4+X3) (2)

dimana : X3, X4 = Band 3 dan band 4

Konversi NDVI dilakukan untuk seluruh data (19 data), selanjutnya melakukan kroping dengan batas DTA yang

diturunkan dengan menggunakan data DEM menggunakan metode akumulasi aliran. Selanjutnya melakukan

penggabungan seluruh data NDVI dan melakukan perhitungan sebaran nilai maksimal (NDVI Max) dan nilai

minimum (NDVI Minimum) dari seluruh data selama periode 2000-2009. Tahap terakhir adalah menentukan

perubahan NDVI (D NDVI ) dengan menghitung selisih antara nilai maksimum dan nilai minimum NDVI untuk

setiap piksel, kemudian membagi menjadi tiga kelas yaitu perubahan NDVI rendah, perubahan NDVI menengah

dan perubahan NDVI tinggi untuk daerah tangkapan air Danau Kerinci.

Page 64: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 64/119

64 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

NDVI Max = f (i1, i2, …, in)

NDVI Min = f (i1, i2, …, in)

D NDVI = NDVI Max – NDVI Min (3)

dimana:

i1, i2, …, in = layer NDVI ke 1 sampai dengan layer NDVI ke n (n=19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Terrain, Awan dan Bayangan Awan pada nilai NDVI

Nilai NDVI diekstrak secara dijital dengan menggunakan kombinasi band 3 (merah) dan band 4 (inframerah),

band ini dipengaruhi oleh kondisi keawanan (awan, haze dan bayangan) dan topografi permukaan bumi.Gambar 2 memperlihatkan citra Landsat dengan kondisi topografi di wilayah kajian yang berbukit dan

hasil NDVI yang diturunkan dari data tersebut. Kondisi topografi yang bervariasi mengakibatkan terjadinya

perbedaan pencahayaan matahari terhadap permukaan bumi. Bagian yang menghadap matahari akan

memperoleh intensitas pencahayaan yang tinggi sehingga mempunyai nilai piksel yang juga tinggi (terang),

sedangkan bagian yang membelakangi matahari akan memperoleh intensitas pencahayaan yang rendah

sehingga mempunyai nilai yang lebih rendah (gelap). Berkurangnya intensitas pencahayaan pada bagian yang

membelakangi matahari, lebih mempengaruhi nilai spektral pada band dengan panjang gelombang lebih

panjang (band 4) dibandingkan band dengan panjang gelombang yang lebih pendek (band 2). Oleh karena

itu permukaan yang membelakangi matahari mempunyai nilai NDVI rendah seperti yang diperlihatkan pada

Gambar 2, khususnya dalam kotak hitam.

Pengaruh awan sangat berdampak terhadap objek di permukaan bumi, awan tebal akan menyerap gelombang

elektromagnetik yang datang dan memantulkan kembali ke atmosfir. Sedangkan awan tipis (haze) hanya

menyerap sebagian gelombang elektromagnetik yang datang ke permukaan bumi, sehingga mengakibatkan

berkurangnya intensitas cahaya pada daerah yang dipengaruhi haze. Pengurangan intensitas cahaya juga

terjadi pada daerah yang menjadi proyeksi awan pada permukaan bumi (daerah bayangan awan atau haze).

Pengurangan intensitas cahaya mempengaruhi nilai NDVI seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Nilai NDVI

menjadi sangat rendah pada daerah yang ditutupi oleh awan dan haze. Berdasarkan hal yang dijelaskan

tersebut maka penurunan NDVI perlu melakukan proses standarisasi data dan penghilangan awan, haze dan

bayangan.

Page 65: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 65/119

65Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Citra Landsat RGB 542 Nilai NDVI

Gambar 2. Citra Landsat (Kiri) dan Nilai NDVI dari citra Landsat (Kanan)

Awan dan bayangan Awan tipis (haze) Bayangan

NDVI karena awanNDVI karena haze

NDVI karena bayangan

Gambar 3. Pengaruh awan, haze dan bayangan pada nilai NDVI

Standarisasi Data dan Penurunan NDVI

Standarisasi data dilakukan dengan melakukan koreksi radiometrik (koreksi geometri matahari dan koreksi

terrain), serta penghilangan awan dan bayangan. Gambar 4 memperlihatkan data sebelum dan setelah dilakukan

Page 66: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 66/119

66 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

proses koreksi terrain. Setelah mengalami proses koreksi terrain, penampakan data dalam bentuk 3 dimensi

berubah menjadi bentuk datar 2 dimensi, dan perwarnaan yang lebih gelap dari bagian yang membelakangi

matahari menjadi lebih terang sehingga mendekati pewarnaan dari bagian yang menghadap matahari. Analisis

secara dijital memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari band pada objek yang membelakangi matahari bertambah,sebaliknya nilai-nilai dari band pada objek yang menghadap matahari berkurang mendekati nilai-nilai band

pada objek yang pada bagian datar.

Hasil penghilangan awan dan bayangan diperlihatkan pada Gambar 5. Dengan menggunakan metode

penghilangan secara bertahap menggunakan kombinasi band, maka awan dan bayangan dapat dihilangkan

dengan cukup baik. Permasalahan yang masih menyulitkan dalam proses penghilangan awan dan bayangan

adalah mendapatkan nilai batas yang optimal, dan nilai tersebut bisa berubah pada data yang berbeda. Apabila

nilai batas tidak optimal, akan mengakibatkan tidak akuratnya nilai NDVI (NDVI lebih rendah dari semestinya).

Setelah data terstandarisasi, maka dilakukan penurunkan nilai NDVI untuk untuk setiap data pada Tabel 1.

Gambar 6 memperlihatkan contoh data NDVI untuk DTA Danau Kerinci pada tanggal perekaman berbeda

selama periode 2000-2009.

Data belum terkoreksi terrain Data terkoreksi terrain

Gambar 4. Hasil koreksi terrain pada data Landsat

Awan dan bayangan pada citra Penghilangan awan dan bayangan

Gambar 5. Hasil penghilangan awan dan bayangan pada data Landsat

Page 67: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 67/119

67Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

0.1 0.9

11 juli 2001 27 Mei 2005 22Mei 2009

Gambar 6. Nilai NDVI pada data Landsat yang telah dikoreksi

Perubahan NDVI di DTA Danau Kerinci

Seluruh informasi spasial NDVI untuk DTA Danau Kerinci disusun dan dihitung nilai NDVI maksimum dan

minimum untuk setiap piksel seperti diperlihatkan pada Gambar 7. NDVI minimum memperlihatkan nilai NDVI

terendah sepanjang periode 2000-2009, tidak menutup kemungkinan nilai rendah tersebut diakibatkan oleh

pengaruh haze, bayangan atau kondisi topografi. Tetapi berdasarkan hasil evaluasi secara visual, standarisasi

data yang dilakukan telah mengurangi pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga diharapkan NDVI yang

dihasilkan lebih konsisten dan akurat. Nilai NDVI minimum terpantau pada air danau, sawah (dalam fase air) di

dataran rendah, dan daerah lahan terbuka di bagian hulu DTA (puncak Gunung Kerinci). Sedangkan Nilai NDVI

maksimum sepanjang periode 2000-2009 teridentifikasi di daerah hutan pada bagian perbukitan. Nilai NDVI

maksimum pada area sawah di bagian tengah DTA adalah kondisi sawah dalam fase vegetatif.

Page 68: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 68/119

68 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

NDVI Minimum NDVI Maksimum

Perubahan NDVI periode 2000-2009

Keterangan:

NDVI Minimum 200-2009

NDVI Maksimum 2000-2009Perubahan NDVI 2000-2009

Legenda

0.2 0.9

Gambar 7. NDVI minimum, NDVI maksimum dan perubahan NDVI selama periode 2000-2009

Analisis perubahan nilai NDVI di DTA Danau Kerinci dilakukan dengan mengurangi NDVI maksimum dengan

NDVI minimum. Besarnya selisih NDVI yang diperoleh kemudian dibagi menjadi tiga bagian dan dikelaskan

menjadi kelas perubahan NDVI rendah, kelas perubahan NDVI sedang dan kelas perubahan NDVI tinggi.

Kelas perubahan NDVI tinggi dan NDVI sedang teridentifikasi di daerah sawah, ladang dan perkebunan yang

mempunyai perubahan tingkat kehijauan yang tinggi. Yaitu kehijauan vegetasi saat masa penanaman atau masa

setelah panen yang didominasi oleh tanah (NDVI rendah) dengan kehijauan vegetasi saat fase vegetasi yang

didominasi oleh tutupan daun yang rapat (NDVI tinggi). Sedangkan kelas perubahan NDVI rendah terpantau

pada hutan, air danau, permukiman, semak belukar yang tingkat kehijauannya relatif tetap (cenderung sama).

Page 69: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 69/119

69Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

KESIMPULAN

Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan NDVI maksimum dan minimum untuk wilayah DAS Danau Kerinci

dengan menggunakan data Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Hasil memperlihatkan bahwa,

• Kondisi topografi, tutupan awan, haze dan bayangan sangat mempengaruhi NDVI, terutama dalam

menentukan NDVI minimum. Karena itu standarisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi

syarat penting mendapatkan NDVI yang konsisten untuk menghasilkan pendugaan laju erosi tanah yang

akurat

• Standarisasi yang perlu dilakukan adalah koreksi terrain untuk penghilangan pengaruh perbedaan

pencahayaan karena topografi dan penghilangan awan/haze dan bayangan.• Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang dinamis seperti sawah, sedangkan

perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang statis seperti hutan dan tubuh air.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim pengolahan data INCAS yang telah memberikan ijin penggunaan

data Landsat TM/ETM+, penulis juga berterimakasih kepada Tim Reviewer Pusat Pemanfaatan Penginderaan

Jauh yang telah memberi masukan dalam penulisan naskah ini.

Page 70: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 70/119

70 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

DAFTAR PUSTAKA 

http://www.Salmaghaliza.blogspot.com

http://blhpp.wordpress.com/ 

http:// www.salmaghaliza.blogspot.com, Keseimbangan Ekosistem, 10 November 2011

As-syakur A.R., 2008, Prediksi Erosi Dengan Menggunakan Metode USLE Dan Sistem Informasi Geogra_s (SIG)

Berbasis Piksel Di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan, PIT MAPIN XVII, Bandung.

Foth H.D., 1995, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hazarika M.K. dan Honda K., 1999, Estimation of Soil Erosion Using Remote Sensing and GIS, Its Valuation and

Economic Implications on Agricultural Production, Proceeding, The 10th International Soil Conservation

Organization Meeting held May 24-29, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion

Research Laboratory

Jensen J.R., 2000, Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Perspective, PP.361, Published byPearson Education Inc., First Indian Reprint, 2003

KLH, 2011, Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014, Kementerian Lingkungan Hidup

KLH, 2008, Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau, Kementerian Lingkungan Hidup

Rouse J.W., Haas R.H. Schell J.A. dan Deering D.W., 1974, Monitoring Vegetation System in The Great Plains

with ERTS, Proceeding, Third Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium, Greenbelt: NASA SP-

351, 3010-317

Trisakti B., Kartasasmita M., Kustiyo dan Kartika T., 2009, Kajian Koreksi Terrain pada Citra Landsat Thematic

Mapper, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, Vol.6, 2009

 Wu X., Furby S. dan Wallace J., 2004, An Approach for Terrain Illumination Correction, Proceeding, The 12th

Australasian Remote Sensing and Photogrametry Association Conference, held in Fremantle, Western

Australia 18-22 October 2004.

Page 71: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 71/119

71Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PEMANTAUN LUAS PERMUKAAN ECENG GONDOK DAN

LUAS DANAU BERBASIS DATA PENGINDERAAN JAUH DI

DANAU TEMPE

Nana Suwargana dan Bambang Trisakti

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN

 ABSTRAK 

Pada penelitian ini, diusulkan model identifikasi dan pemantauan vegetasi air (eceng gondok) di danau Tempe

menggunakan data multitemporal citra satelit Landsat-TM dan SPOT-4. Model yang dibangun adalah citra kombinasi

RGB : NIR-SWIR-Merah, SWIR-NIR-Hijau dan citra kombinasi RGB: (NIR+Swir)-NIR-(NIR-Merah). Pemantauan luas

permukaan enceng gondok dan luas danau dipantau dari tahun 1989-2010. Pemantauan sebaran permukaan eceng

gondok dianalisis dengan metode klasifikasi tidak terbimbing dan analisis akurasinya dengan menggunakan metode

confusion matrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi model (NIR+SWIR)-NIR-(NIR-Merah) mampu

menampilkan vegetasi eceng gondok secara lebih tegas dan terpisah dari objek lainnya. Uji coba ketelitian akurasi

diperoleh akurasi pada kanal-kanal (K): K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % hasilnya lebih rendah bila

dibandingkan dengan K_{(4+5)(4)(4-3)} dengan akurasi keseluruhan 97.754 %, K_542 akurasi keseluruhan 98.628 % dan

K_453 akurasi keseluruhan 99.002 %. Sebaran luas permukaan eceng gondok dan luas danau dari tahun 1989 - 2010

selalu berubah-ubah.

Kata kunci: Eceng gondok, kombinasi RGB, multitemporal, klasifikasi, Landsat-TM dan SPOT-4.

Page 72: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 72/119

72 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Pengaruh degradasi DAS telah menimbulkan masalah terhadap kualitas danau-danau, seperti pendangkalan

dan penyusutan luas danau, penurunan kualitas air, penurunan produktifitas perikanan dan perkembangan

sebaran eceng gondok. Salah satu danau yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan menjadi salah

satu prioritas pemerintah adalah Danau Tempe di Kabupaten Sidrap dan Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan data dari  (KLH, 2011) masalah yang dihadapi oleh danau Tempe adalah (1) pendangkalan dan

penyusutan luas, (2) penurunan kualitas air danau, (3) perkembangan eceng gondok, (4) penurunan volume air, (5)

penurunan produktivitas perikanan, dan (6) banjir. Luas dan kedalaman danau ini sudah mengalami perubahan yang

sangat signifikan. Menurut Arief dalam (DKP Kabupaten Wajo, 1997), danau Tempe mempunyai luas normal

sebesar 9.400 ha pada tahun 1997 dan luas tersebut berkurang menjadi 9.000 ha pada tahun 2006, tetapi saat

ketika terjadi banjir besar maka luasan genangan muka air danau dapat mencapai 47.800 ha.

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan pemantauan yang berkaitan dengan pengelolaandanau telah banyak dilakukan, seperti: pemantauan perubahan luas permukaan air danau dan pemantauan

perubahan penutup lahan di DAS Limboto serta pemantauan kualitas air danaunya (kekeruhan dan Muatan

Padat Tersuspensi) menggunakan citra multitemporal dan multispektral (Trisakti B. et al 2011). Bahkan dewasa

ini perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh berjalan sangat cepat, sehingga dapat menyediakan

berbagai data penginderaan jauh optik dan SAR (Sinthetic Aparture Radar ) dengan karakteristik resolusi spasial,

temporal dan spektral yang berbeda-beda. Sehingga, data satelit penginderaan jauh menjadi sumber data

yang penting untuk pembuatan informasi spasial yang akurat, konsisten dan aktual mengenai sumber daya

alam dan lingkungan, khususnya untuk memantau perubahan penutup lahan di DAS dan vegetasi air danau.

Beberapa metode identifikasi vegetasi air di wilayah perairan telah dilakukan dengan menggunakan datapenginderaan jauh, khususnya data yang memiliki kisaran spektrum dari visible sampai inframerah menengah.

Dewanti et al. (1998) mengkaji tentang karakteristik profil vegetasi air (mangrove)  lewat data penginderaan

 jauh, menjelaskan bahwa mangrove dikawasan sepanjang pantai dan pertambakan dapat terlihat jelas dari citra

FCC (False Color Composit) . Oleh karena itu dalam penelitian ini dicoba untuk diusulkan model identifikasi

dan pemantauan eceng gondok menggunakan data multitemporal citra satelit Landsat-TM dan SPOT-4.

Pengolahan citra dibuat dari kombinasi tiga kanal, yakni kanal dari spektral tampak dan kanal dari spektral

inframerah. Kombinasi tersebut menggunakan kanal-kanal: 3, 4 dan 5 dari citra Landsat-TM.

Berdasarkan asumsi diatas bahwa identifikasi vegetasi eceng gondok dapat diidentikkan hampir sama dengan

vegetasi mangrove bila diinterpretasikan menggunakan data penginderaan jauh. Jenis obyek pada citra akan

mudah dikenali terutama dengan membangun citra kombinasi warna (color composite) . Dengan melalui

proses pengolahan, analisis dan interpretasi citra dapat diperoleh informasi tentang sebaran perubahan luas

permukaan eceng gondok dan luas danau yang akan dikaji dalam penelitian ini. Tujuan dari penulisan ini adalah

mengidentifikasikan eceng gondok dan mengembangkan model pemantauan luas danau menggunakan data

citra satelit penginderaan jauh serta melakukan kajian/analisis perubahan luas permukaan eceng gondok di

Danau Tempe, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan data multitemporal citra Landsat-TM 1989,

2000, 2005 dan data citra SPOT-4 2010. Identifikasi eceng gondok dilakukan dengan membangun kombinasi

RGB 453, 542 dan kombinasi RGB [(4+5)(4)(4-3)] model (Trisakti et al. 2011) serta melakukan klasifikasi citra

secara digital. Kushardono, (2012) mengkaji tentang uji coba klasifikasi terhadap kelas penggunaan lahan

dalam mengekstraksi informasi dengan matrik confusion dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi. Oleh

karena itu, analisis akurasi dari hasil klasifikasi ini dilakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik.Berdasarkan model analisis tersebut dapat diperoleh informasi yang terpadu antara identifikasi eceng gondok,

perubahan luas permukaan eceng gondok dan perubahan luas danau. Informasi selanjutnya dapat digunakan

Page 73: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 73/119

73Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

untuk berbagai pemanfaatan dan pertimbangan dalam pengelolaan danau baik untuk pemantauan maupun

inventarisasi dalam upaya peningkatan konservasi danau Tempe.

METODE

Data yang digunakan

1. Data primer:

• Citra penginderaan jauh Landsat-TM tanggal 10 April 1989, 15 April 2000, 12 Maret 2005, dan citra SPOT

tanggal: 25 April 2010.

• Citra Basemap (citra ortho Landsat)

2. Data sekunder:

• Batas administrasi wilayah kajian

Lokasi penelitian

Kegiatan kajian dilakukan di danau Tempe, di Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Soppeng,

Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar-1). Danau ini melintasi 10 Kecamatan dan 51 desa. Secara geografis danau

Tempe terletak pada titik koordinat : 4o 00‘ 00 – 4o15’ 00 LS dan 119o 52‘ 30 – 120o 07‘ 30 BT.

Iklim di danau Tempe berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson, tipe Iklim yang ada di WS Wal-Cen adalah

Tipe iklim A, B, C, dan D. Iklim di Ws Wal-Cen dicirikan oleh musoon tropis, yang memilki perbedaan yang jelasantara musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan Maret-Juli, sementara musim kemarau

terjadi pada bulan Agustus- Februari. Di sekitar danau Tempe, musim kemarau bervariasi dari tahun ke

tahun. Terdapat 6 stasiun meteorologi yang terdapat di dalam WS Wal-cen, yaitu Ujung Lamuru, Ponre-Ponre,

Malanroe, Kayuara, Sengkang dan Tanru Tedong.

Curah hujan tahunan di daerah danau Tempe sebesar 1.400 – 1.800 mm/th sedangkan di daerah DAS sebesar

1.400 – 4.000 mm/th. Tinggi muka air (TMA) Danau Tempe hingga tahun 2001 menunjukkan kondisi yang

normal, dengan TMA rata-rata berada pada kisaran 4,078 m – 7,780 m dpl. Kedalaman danau saat ini 3 m

ketika musim hujan dan 1 m ketika musim kering. Luas permukaan air danau pada musim hujan adalah 48.000

Ha dan menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan serta

prasarana sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Menurut rekapitulasi data dari buku

Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2011-2014 Indonesia, (KLH, 2011) menjelaskan bahwa pada musim kering

luas danau Tempe hanya mencapai 1.000 Ha sedangkan pada kondisi normal luasnya mencapai 15.000-20.000

Ha.

Danau Tempe setiap tahunnya selalu menimbulkan bencana banjir. Sungai yang menuju ke danau terdiri dari

23 sungai yang termasuk dalam 2 DAS yaitu Das Nila dan DAS Walanae, Sedangkan untuk keluarnya (outlet) air

dari danau tersebut hanya ada satu sungai, yaitu sungai Cenranae yang memiliki panjang 70 km dan bermuara

ke teluk Bone. Penyempitan yang terjadi di muara sungai merupakan salah satu penghambat keluarnya air ke

teluk bone. Bisa dikatakan Danau Tempe merupakan saringan partikel-partikel sisa banjir dari enam kabupaten

lainnya sebelum mencapai laut.

Page 74: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 74/119

74 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Berdasarkan data Topografi dan Tata Guna Lahan bahwa kondisi penutupan lahan di Danau Tempe didominasi

oleh sawah, pertanian lahan kering (15,8%), hutan alam (12,9%) dan kebun campuran (10,4 %). Sedangkan

tanah terbuka dan pemukiman relatif kecil, yaitu masing-masing 3, 7 % dan 1,5 %. (KLH, 2011).

Model Identifikasi Eceng Gondok

Pengolahan dilakukan dengan membangun kombinasi: NIR-SWIR-Merah (RGB: 453), SWIR-NIR-Hijau (RGB:542)

dan kombinasi model (NIR+Swir)-NIR-(NIR-Merah) {RGB : (4+5)(4)(4-3)}. Pembuatan model identifikasi eceng

gondok dilakukan dengan pengambilan sampel eceng gondok dan vegetasi non eceng gondok. Gambar-2

memperlihatkan perbedaan nilai spektral eceng gondok dan vegetasi non eceng gondok setiap band pada

data SPOT-4 dan Landsat-TM. Berdasarkan Gambar-2 dapat disimpulkan beberapa point yaitu:

1. Nilai spektral band NIR dan SWIR untuk eceng gondok lebih tinggi dibandingkan dengan nilai vegetasi non

eceng gondok.

2. Nilai spektral band merah paling rendah, tetapi nilainya relatif tidak berbeda antara eceng gondok dan

vegetasi non eceng gondok. Sehingga nilai NIR-Merah untuk eceng gondok akan lebih tinggi dibandingkan

vegetasi non eceng gondok.

Berdasarkan 2 hal tersebut diatas, maka dicoba untuk membuat kombinasi dengan menggunakan band baru

yang dapat menonjolkan nilai spektral dari eceng gondok. Sehingga selanjutnya membuat kombinasi baru

yang akan digunakan untuk mengidentifikasi sebaran eceng gondok di Danau Tempe. Komposit model band

baru adalah sebagai berikut :

Landsat-TM:

Band 1(baru) : NIR(b4) + SWIR(b5)

Band 2 (baru): NIR(b4)

Band 3(baru) : NIR(b4) – Merah(b3)

SPOT:

Band 1(baru) : NIR(b1) + SWIR(b4)

Band 2 (baru): NIR(b1)

Band 3(baru) : NIR(b1) – Merah(b2)

Page 75: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 75/119

75Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar-1. Danau Tempe di Provinsi Sulawesi Selatan

Gambar-2. Perbedaan nilai spektral vegetasi air dan non vegetasi air pada data Land-

sat-TM dan Spot-4.

Model Pengolahan Klasifikasi Eceng Gondok dan Analisis Akurasi

Setelah membuat model identifikasi eceng gondok selanjutnya melakukan deliniasi batas permukaan air (batas

eceng gondok) danau secara visual. Kemudian melakukan klasifikasi dengan memilih input band bervariasi

berdasarkan kombinasi band spektral, yaitu:

• input data band 1,2,3,4, dan 5 untuk mengolah model klasifikasi 1

• input data band 4,5 dan 3 untuk mengolah model klasifikasi 2

• input data band 2, 4 dan 5 untuk mengolah model klasifikasi 3

• input data model komposit band (gabungan:4+5), (4) dan (gabungan:4-3) untuk mengolah model

klasifikasi 4.

Page 76: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 76/119

76 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Analisis akurasi hasil klasifikasi yaitu dengan melakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik.

Refernce Dataset adalah input data model kanal : K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) dengan citra

yang digunakan sebagai sampel adalah data Landsat-TM Tahun 2005. Pengambilan training sampel untuk

identifikasi obyek eceng gondok menggunakan citra RGB : K_(4+5)(4)(4-3) dengan mengambil training sampelsebanyak 20 titik sampel yang homogen.

Model Pemantauan Eceng Gondok Tahun 1989, 2000, 2005, dan 2010

Pemantauan dilakukan dengan menggunakan citra satelit multitemporal pada musim yang sama (kondisi

curah hujan yang relatif sama) yaitu selama periode 1989 – 2010 (citra Landsat-TM tanggal 10 April 1989, 15

April 2000, 12 Maret 2005, dan citra SPOT-4 tanggal: 25 April 2010). Dari pengolahan citra tersebut dapat

mengetahui adanya penurunan atau penambahan luas permukaan air danau yang sebenarnya.

Untuk mencari luas permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989-2010 dilakukan pengolahan dengan

klasifikasi multitemporal. Model klasifikasi dilakukan dengan memakai salah satu model klasifikasi dari hasilanalisis akurasi tersebut diatas.

 HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Eceng Gondok

Hasil pengolahan identifikasi eceng gondok dengan komposit band ditampilkan dengan membuat beberapa

model kombinasi. Model komposit yang dibentuk dengan menggunakan berbagai band pada setiap kombinasi

RGB menampilkan warna eceng gondok yang berbeda-beda (Gambar-3). Kombinasi NIR-SWIR-Merah biasa

dipakai dalam identifikasi hutan mangrove (vegetasi pada tanah berair/berawa) ditampilkan pada Gambar-3a,

kombinasi SWIR-NIR-Hijau yang biasa digunakan untuk penampakkan warna alami (natural color composite)

ditampilkan pada Gambar-3b, sedangkan komposit yang terakhir adalah kombinasi model baru (NIR+Swir)-

NIR-(NIR-Merah) untuk identifikasi model baru eceng gondok (Gambar 3-c).

Jika dibandingkan tekstur dan rona dari eceng gondok dengan vegetasi darat yang ada disekitar danau

akan jelas perbedaannya. Eceng gondok akan nampak rona lebih cerah dan tegas dengan tekstur halus jika

dibandingkan dengan vegetasi darat. Eceng gondok pada kombinasi NIR-SWIR-Merah yaitu RGB band :

453 menampilkan tekstur halus dengan warna merah yang lebih cerah dan tegas jika dibandingkan dengan

vegetasi darat disekitarnya yang menampilkan warna merah redup. Eceng gondok pada kombinasi SWIR-NIR-

Hijau yaitu RGB band : 542 menampilkan rona warna hijau yang lebih cerah dan tegas juga tekstur halus jika

dibandingkan dengan vegetasi darat disekitarnya yang menampilkan warna hijau redup. Sedangkan ecenggondok pada model kombinasi baru yaitu RGB band : (4+5)(4)(4-3) menampilkan warna putih yang berarti setiap

band mempunyai nilai spektral yang tinggi untuk eceng gondok dengan tekstur halus. Dibandingkan dengan

kombinasi lainnya maka model kombinasi model RGB: (NIR+Swir)(NIR)(NIR-Merah) lebih dapat menampilkan

eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain disekitarnya.

Page 77: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 77/119

77Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar-3. Model kombinasi pada citra Landsat Tgl 12 Maret 2005.

Pengolahan Klasifikasi Eceng Gondok

Pengolahan klasifikasi eceng gondok diturunkan dengan membuat klasifikasi tak terbimbing (Unsupervised

Classification)  dan dibuat dengan menggunakan model kombinasi band spektral dari kanal : K_12345, K_453,

K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3), hasilnya ditampilkan pada Gambar-4. Model-1 adalah hasil klasifikasi dengan input

data band kanal: 12345 ditampilkan pada Gambar-4a. Model-2 adalah hasil klasifikasi dengan input data band

kanal : 453 ditampilkan pada Gambar-4b. Model-3 adalah hasil klasifikasi dengan input data band kanal: 542ditampilkan pada Gambar-4c. Model-4 adalah hasil klasifikasi dengan input data model kombinasi kanal :

K_(4+5)(4)(4-3) ditampilkan pada Gambar-4d.

Kelas dalam model klasifikasi ini dibuat sebanyak 20 kelas. Pengeditan dan rekelas dibuat menjadi 2 kelas

yaitu menjadi kelas eceng gondok dan non eceng gondok. Dari model ke empat klasifikasi ini nampak semua

hasil klasifikasi identik dan serupa, namun sebagian ada beberapa perbedaan nilai pada penampakan eceng

gondok tersebut. Hasil klasifikasi dapat menunjukkan perbedaan luas permukaan eceng gondok antara model

yang satu dengan model yang lainnya, sehingga luasan model klasifikasi masing-masing dapat dihitung.

Tabel-2 adalah hasil perhitungan luas permukaan eceng gondok dan non eceng gondok dari model kanal-

kanal K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3). Luas Eceng gondok pada ukuran baris kolom 679 x 680menunjukkan model K_12345 berkisar 10815.8 Ha, model K_453 berkisar 11908.8 Ha, model K_542 berkisar

11941.9 Ha, dan model K_(4+5)(4)(4-3) berkisar 12096 Ha. Pada zoom window ukuran baris kolom 42 x 43

nampak pada model K_12345 sebagian nomor digitalnya hilang sedangkan model dari K_453, K_542, dan K_

(4+5)(4)(4-3) nomor digitalnya masih nampak. Dari besar luasannya jelas ada perbedaan yaitu model K_12345

berkisar 60.48 Ha, model K_453 berkisar 79.2 Ha, model K_542 berkisar 74.88 Ha, dan model K_(4+5)(4)(4-3)

berkisar 79.2 Ha.

Page 78: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 78/119

78 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 4. Model klasifikasi eceng gondok dengan input: K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) pada citra

Landsat Tgl 12 Maret 2005.

Gambar-5. Perbedaan luas permukaan eceng gondok dan non_eceng gondok dengan input: (12345), (453), (542)

dan (4+5)(4)(4-3) pada Landsat-TM Tgl 12 Maret 2005.Tabel-2. Luas distribusi seluruh permukaan eceng gondok dan air model kanal-kanal (12345), (453),(542) dan

{(4+5)(4)(4-3)} pada data Landsat tahun 2005.

Page 79: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 79/119

79Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

UkuranBaris

Kolom

Obyek K_12345 K_453 K_542 K_(4+5)(4)(4-3)

Ha

%

Ha

%

Ha

%

Ha

%

679 x 680 Eceng 10815.8 25.98 11908.8 28.61 11941.9 28.69 12096 29.07

Non_eceng 30800.2 74.02 29707.2 71.39 29674.1 71.31 29520 70.93

Total 41616 100 41616 100 41616 100 41616 100

42 x 43 Eceng 60.48 34.71 79.2 45.46 74.88 42.97 79.2 45.46

Non_Eceng 113.76 65.29 95.04 54.54 99.36 57.03 95.04 54.54

Total 174.24 100 174.24 100 174.24 100 174.24 100

Dari ke empat model klasifikasi tersebut secara grafik perbedaan luasannya dapat dijelaskan pada Gambar-5.

Luas distribusi permukaan vegetasi eceng gondok untuk model K_12345 (warna biru), nampak luasannya lebih

rendah dari pada K_453 (warna merah), K_542 (warna hijau) dan K_(4+5)(4)(4-3) (warna ungu). Sedangkanmodel K_(4+5)(4)(4-3) sendiri lebih tinggi dari pada K_453 dan K_542. Nampak model K_12345 luasannya

lebih rendah dari pada K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3). Berdasarkan analisis ini menunjukan bahwa

identifikasi vegetasi air yang dapat menampilkan eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain

disekitarnya adalah model RGB K_(4+5)(4)(4-3), seperti diperlihatkan pada Gambar-3e dan hasil klasifikasinya

diperlihatkan pada Gambar 4d.

Analisis akurasi dari hasil klasifikasi dengan melakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik

dengan data yang dimasukan terhadap citra Landsat-TM tahun 2005 adalah dengan kanal-kanal: K_(12345),

K_(453),K_(542) dan K_{(4+5)(4)(4-3)}. Hasilnya diperoleh seperti yang ditunjukkan Gambar-4a,4b,4c dan 4d

serta hasil pengujian klasifikasi akurasinya pada Tabel-3. Dari Tabel-3 diketahui bahwa ketelitian optimum untukdata Landsat-TM tahun 2005 dengan input data K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % dan Kappa

0.885, input data K_453 memiliki akurasi keseluruhan 99.002 % dan Kappa 0.971, input data K_542 memiliki

akurasi keseluruhan 98.628 % dan Kappa 0.960, dan input data K_{(4+5)(4)(4-3)} memiliki akurasi keseluruhan

97.754 % dan Kappa 0.935. Ketelitian optimum pada K_12345 yang didapat akurasi hasilnya lebih rendah bila

dibandingkan dengan ketelitian optimum pada K_{(4+5)(4klasifikasi menggunakan metode confusion matrik

pada citra Landsat-TM tahun 2005 dengan input kanal :(12345), (453),(542) dan (4+5)(4)(4-3).

Tabel-3 Pengujian klasifikasi menggunakan metode confusion matrik pada citra Landsat-TM tahun 2005 dengan

input kanal :(12345), (453),(542) dan (4+5)(4)(4-3).

Kanal_12345 Kanal_453

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

Non_eceng 339 66 1 Non_eceng 339 16 1

Eceng 0 1198 1 Eceng 0 1248 1

Produser 1 1 1 Produser 1 1 1

Akurasi Keseluruhan 95.883 % Akurasi Keseluruhan 99.002 %

Indek Kappa = 0.885 Indek Kappa = 0.971

Kanal_542 Kanal_baru

  Non_eceng Eceng AkurasiUser 

  Non_eceng Eceng AkurasiUser 

Non_eceng 339 22 0.97977 Non_eceng 339 36 0.93646

Page 80: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 80/119

80 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Kanal_12345 Kanal_453

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

Eceng 0 1242 1 Eceng 0 1228 1

Produser 1 0.99446 0.99563 Produser 1 0.9818 0.98565

Akurasi Keseluruhan 98.628 % Akurasi Keseluruhan 97.754 %

Indek Kappa = 0.960 Indek Kappa = 0.935

Perubahan Sebaran Luas Permukaan Eceng Gondok Tahun 1989,2000, 2005, dan 2010.

Untuk melakukan pemantauan luasan permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989 hingga tahun

2010 pengolahan klasifikasinya menggunakan input data model dari K_(4+5)(4)(4-3) karena hasil analisis dari

identifikasi vegetasi air dapat menampilkan eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain

disekitarnya. Hasil klasifikasi periode tahun 1989 hingga tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar-6a, 6b,6c, dan6d. Gambar 6a hingga Gambar-6d memperlihatkan perubahan sebaran yang significant, dimulai dari sebaran

eceng gondok yang sempit hingga sebaran eceng gondok yang makin melebar. Kemudian untuk melihat

besaran perubahan luas permukaan vegetasi eceng gondok selama periode tahun 1989-2010 diperlihatkan

dalam bentuk grafik, dijelaskan pada Gambar-7. Hasil pantauan dari citra klasifikasi dapat diketahui bahwa luas

permukaan air danau Tempe mengalami kecenderungan yang semakin menurun, sebaliknya vegetasi eceng

gondok semakin bertambah, serta luas danau semakin menyusut.

Gambar-6. Distribusi permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989, 2000, 2005 dan 2010

Page 81: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 81/119

81Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar-7. Perubahan luas permukaan eceng gondok dan luas danau selama periode tahun 1989, 2000, 2005

dan 2010.

Grafik Gambar-7 dan Tabel-4 pada citra tahun 1989 merupakan awal dari pemantauan dan besar sebaran luas

permukaan vegetasi eceng gondok tumbuh berkisar 1019.52 Ha. Luas permukaan air danau nampak lebih

luas berkisar 16816.32 Ha dan total luas danaunya berkisar 17956.8 Ha. Selama selang waktu 11 tahun yaitu

dari tahun 1989 hingga tahun 2000 nampak terjadi perubahan yang cukup besar. Luas vegetasi eceng gondok

mengalami kenaikan menjadi berkisar 4590.24 Ha dan luas permukaan airnya (tanpa vegetasi) mengalami

pengurangan menjadi berkisar 12847.68 Ha dan total luas danaunya naik menjadi 17875.68 Ha serta mengalami

pengurangan (susut) berkisar 81.12 Ha. Kemudian bertambah lagi selama kurun waktu 5 tahun dari tahun2000 hingga tahun 2005 nampak vegetasi eceng gondok mengalami tren kenaikan yang cukup besar. Luas

permukaan vegetasi eceng gondok mengalami meningkatan menjadi berkisar 12096.3 Ha dan luas permukaan

airnya mengalami pengurangan menjadi berkisar 3482.24 Ha dan total luas danaunya mengalami pengurangan

menjadi 16197.74 Ha dan penyusutannya berkisar 1677.94 Ha. Sedangkan pemantauan terakhir selama waktu

5 tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2010 nampak permukaan vegetasi eceng gondok mengalami sedikit

penurunan. Luas permukaan vegetasi eceng gondok ini mengalami penurunan menjadi berkisar 10960 Ha

dan luas permukaan airnya mengalami kenaikan kembali menjadi berkisar 4147.84 Ha dan total luas danaunya

menjadi berkisar 16028.16 Ha berarti mengalami penyusutan berkisar 169.58 Ha.

Hasil klasifikasi seperti diperlihatkan pada Gambar-6a, 6b, 6c, dan 6d menunjukkan distribusi perubahan

permukaan eceng gondok pada musim yang sama selama periode tahun 1989-2010 ketelitiannya kita uji.Ketelitian akurasi ekstraksi informasi spasial untuk pengujian hasil klasifikasi yaitu menggunakan metode

confusion matrik. Data input yang dimasukan adalah data training sampel RGB kanal {(4+5)(4)(4-3)} untuk citra

Landsat-TM tahun 1989, tahun 2000, dan tahun 2005 serta RGB kanal {(4+1)(1)(1-2)} untuk citra Spot-4 tahun

2010. Hasil pengujian klasifikasi ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel-4. Perubahan luas permukaan eceng gondok dan penyusutan luas danau Tempe periode Tahun 1989,

2000, 2005 dan 2010.

Obyek Tgl.10/4/1989 Tgl.15/04/200 Tgl.12/3/2005 Tgl.25/04/2010

Hektar Hektar Hektar Hektar  

Air 16816.32 12847.68 3482.24 4147.84

Eceng Gondok 1019.52 4590.24 12096.3 10960

Page 82: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 82/119

82 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tanah / Awan 120.96 437.76 619.2 920.32

Total (Luas_danau) 17956.8 17875.68 16197.74 16028.16

Perubahan luas 0 81.12 1677.94 169.58

Dari Tabel-5 diketahui bahwa ketelitian pada data Landsat-TM tahun 1989 memiliki akurasi keseluruhan 100 %

dan Kappa 1 untuk kelas penutup lahan eceng gondok dan sama dengan penutup non_eceng gondok. Jika

dilihat pada Gambar-6a terlihat sedikit penutup lahan eceng gondok dan sedikit penutup lahan campuran

sehingga akurasinya tinggi. Pada data tahun 2000 memiliki akurasi keseluruhan 97.976 % dan Kappa 0.952

untuk penutup eceng gondok. Pada Gambar-6b terlihat penutup lahan eceng gondok menambah dan sedikit

penutup lahan awan, hasil pengujian akurasinya mengalami penurunan. Pada data tahun 2005 memiliki akurasi

keseluruhan 99.06 % dan Kappa 0.972 untuk penutup lahan eceng gondok. Pada Gambar-6c terlihat penutup

lahan eceng gondok menambah lebih banyak dan sedikit penutup lahan awan, hasil pengujian akurasinya

mengalami kenaikan. Pada data tahun 2010 memiliki akurasi keseluruhan 99.966% dan Kappa 0.999 untuk

lahan eceng gondok. Pada Gambar-6d terlihat penutup lahan eceng gondok mengalami penurunan dan sedikitpenutup lahan tanah kosong karena kekeringan, hasil pengujian akurasinya mengalami kenaikan.

Tabel-5 Pengujian klasifikasi menggunakan metode confusion matrik tahun 1989, 2000, 2005 dan 2010 dengan

kanal yang digunakan adalah kanal (4+5)(4)(4-3).

1989 2000

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

Non_eceng 1145 0 1 Non_eceng 1590 47 0.97129

Eceng 0 30 1 Eceng 0 685 1

Produser 1 1 1 Produser 1 0.93579 0.97976

Akurasi Keseluruhan 100 % Akurasi Keseluruhan 97.976 %

Indek Kappa = 1 Indek Kappa = 0.952

2005 2010

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

  Non_eceng Eceng AkurasiUser

Non_eceng 339 15 0.95763 Non_eceng 4973 2 0.9996

Eceng 0 1249 1 Eceng 0 912 1

Produser 1 0.98813 0.99064 Produser 1 0.99781 0.99966

Akurasi Keseluruhan 99.06 % Akurasi Keseluruhan 99.966 %

Indek Kappa = 0.972 Indek Kappa = 0.999

Menurut (KLH, 2011) menjelaskan bahwa luas permukaan danau pada musim hujan adalah 48.000 Ha dan

menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan serta prasarana

sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Pada musim kering luas danau hanya mencapai

1.000 ha sedangkan pada kondisi normal luasnya mencapai 15.000-20.000 Ha. Ke empat data yang digunakan

Page 83: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 83/119

83Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

pada penelitian ini adalah data satu musim yang berbeda tahun yaitu tanggal 01 April 1989,15 April 2000, 12

Maret 2005, dan citra SPOT tanggal: 25 April 2010. Data citra satelit ini merupakan data masih dalam musim

hujan yaitu pada kondisi normal. Hasil yang diperoleh bahwa luas danau selama kurun waktu dari tahun 1989

hingga tahun 2010 mengalami perubahan. Nampaknya dari tahun ke tahun luas danau akan relatif berubah-ubah tergantung pada musim-musim tertentu. Setara menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Maros bahwa

pada musim kering mencapai 1.000 Ha dan kondisi normal 15.000 –20.000 Ha. Sedangkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa luas danau pada tahun 1989 hingga tahun 2010 merupakan pada kondisi normal juga dan

diperoleh luas danau selalu berubah-ubah berkisar antara 17956.8 Ha di tahun 1989 dan menurun menjadi

antara 16028.16 Ha di tahun 2010.

KESIMPULAN

 Pada penelitian ini telah dikembangkan metode model identifikasi, klasifikasi, pemantauan sebaran eceng

gondok dan luas danau di danau Tempe, Sulaweai Selatan dengan data yang diuji coba adalah data resolusi

30 meter Landsat-TM dan resolusi 20 meter SPOT-4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

• Dengan menggunakan kombinasi NIR-SWIR-Merah (RGB: 453), SWIR-NIR-Hijau (RGB:542) dan kombinasi

model (NIR+Swir)-NIR-(NIR-merah) {RGB : (4+5)(4)(4-3)} dengan input data Landsat Tgl 12 Maret 2005,

diperoleh nilai spektral yang tinggi dan mampu menampilkan vegetasi eceng gondok yang secara lebih

tegas dan terpisah dari objek-objek lain disekitarnya.

• Uji coba ketelitian akurasi hasil klasifikasi menggunakan metode confusion matrik dengan masukan input

data adalah model klasifikasi: K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) dengan input data Landsat

Tgl 12 Maret 2005, diperoleh akurasi pada K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % hasilnya lebih

rendah bila dibandingkan dengan K_{(4+5)(4)(4-3)} dengan akurasi keseluruhan 97.754 %, K_542 akurasi

keseluruhan 98.628 % dan K_453 akurasi keseluruhan 99.002 %.

• Sebaran luas permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989 hingga tahun 2010 klasifikasinya

menggunakan input data model K_(4+5)(4)(4-3) hasilnya selalu berubah-ubah, di tahun 1989 ke tahun

2000 bertambah (dari 1019.52 Ha menjadi 4590.24 Ha), di tahun 2000 ke 2005 bertambah (dari 4590.24

Ha menjadi 12096.3 Ha), dan di tahun 2005 ke tahun 2010 bekurang (dari 12096.3 Ha menjadi 1096 Ha),

sedangkan perubahan luas danau di tahun 1989 luasnya berkisar 17956.8 Ha, di tahun 2000 mengalami

penurunan menjadi 17875.68 Ha (menyusut 81.12 Ha), di tahun 2005 menurun lagi menjadi 16197.74 Ha

(menyusut 1677.94 Ha) dan di tahun 2010 sedikit menurun menjadi 16028.16 Ha (menyusut 169.58 Ha).

DAFTAR PUSTAKA 

Arief., 1997. Sejarah singkat danau Tempe, DKP Kabupaten Wajo.

KLH (Kementrian Lingkungan Hidup)., 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2011-2014, (http://blhpp.

wordpress.com/ ).

Dony Kushardono.,2012. Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dengan Data SAR Dual Polarisasi Menggunakan

Normalized Diffrence Polarization Index dan Fitur Keruangan dari Matrik Kookurensi, Jurnal Penginderaan

Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, Vol. 9 No.1, ISSN 1412-8098, Diterbitkan oleh Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta – Indonesia, 1012.

Ratih Dewanti,Muchlisin Arief.; dan Taufik Maulana., 1998. Degradasi Tingkat Kerapatan Kanopi Mangrove di

Page 84: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 84/119

84 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Delta Brantas Menggunakan Analisis NDVI Data Landsat Multitemporal, Warta Inderaja (MAPIN) /ISRS,

 Volume XI No. 2.

Stasiun Meteorologi., 2010. WS Wal-Cen: Ujung Lamuru, Ponre-Ponre, Malanroe, Kavuara, Sengkang dan

Tanru Tedong, Sulawesi Selatan.

Trisakti B.; Parwati S.; and Budhiman S., 2005. Study of MODIS-AQUA Data for Mapping Total Suspended

Matter (TSM) in Coastal Waters, International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences, Vol. 2.

Page 85: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 85/119

85Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 APLIKASI DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK

INVENTARISASI HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN

BENGKALIS PROPINSI RIAU

Heru Noviar

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN

 ABSTRAK 

Kerusakan hutan mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis akhir-akhir ini makin parah saja, disebabkan tingginya

eksploitasi hutan mangrove tersebut untuk bahan baku industri panglung. Hutan Mangrove perlu diinventarisasi

pada Kabupaten ini karena keberadaannya sangat penting demi kelangsungan dan kelestarian sumber daya hayati

dan non hayati. Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi luas dan kerapatan vegetasi mangrove

serta hutan pantai. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan inventarisasi hutan Mangrove dari segi lokasi, luasan dan

kerapatannya menggunakan data penginderaan jauh Landsat dengan pertimbangan resolusi spasial dan spektral

yang cukup baik untuk identifikasi dan monitoring sumber daya alam. Metode yang digunakan adalah interpretasi

data Landsat secara visual dengan menggunakan komposit kanal RGB 453 dan secara digital menggunakan kanal

3 dan 4 untuk pengolahan NDVI. Hasil pengolahan data Landsat menunjukkan bahwa luas total hutan Mangrove diKabupaten Bengkalis pada tahun 2010 adalah 44.173,8 Ha, dengan kecamatan yang paling luas hutan Mangrovenya

adalah Kecamatan Rupat dengan luas 17.347,1 Ha atau 39,3 % dari luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis.

Kerapatan tajuk hutan Mangrove dalam kategori sangat jarang dan jarang terbanyak ada di Kecamatan Rupat tersebut

sebesar 404.6 Ha atau 2.3 % dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut.

Kata kunci :  Bengkalis, hutan mangrove, Landsat

Page 86: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 86/119

86 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Kerusakan hutan mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau akhir-akhir ini makin parah saja. Hal

ini disebabkan tingginya eksploitasi hutan tersebut sebagai bahan baku kayu bakau untuk industri panglung

(RiauInfo, 2007). Berdasarkan data tahun 1997, Propinsi Riau merupakan salah satu propinsi di Indonesia

yang memiliki hutan mangrove cukup luas, diperkirakan luasnya sekitar 234.517 Ha yang sebagian besar

terdapat di Kabupaten Bengkalis dan Indragiri Hilir (Jhonnerie et al, 2007). Menurut data yang diperoleh

RiauInfo, diketahui hutan bakau yang tersisa sekarang ini di kawasan pesisir pulau-pulau Bengkalis tinggal

50 persen saja, selebihnya sudah musnah diekspoitasi, hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Pengamat

Lingkungan Bengkalis, Mardiansyah S.Hut, yang menyatakan bahwa eksploitasi hutan bakau di Bengkalis ini

sudah berlangsung sejak dahulu kala untuk keperluan industri panglung arang (RiauInfo, 2007)

Keberadaan hutan mangrove sangat penting untuk mencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh air laut,

sehingga pantai jadi terselamatkan. Menurut Mardiansyah S.Hut, sejak hutan bakau di Bengkalis banyak

yang musnah, tingkat abrasi di daerah ini menjadi sangat tinggi dan jika dibiarkan terus, maka luas daratan

akan semakin menjadi kecil. Menurut beliau, harus ada gerakan penanaman kembali hutan bakau guna

menyelamatkan pantai.

Gambar 1. Foto Kondisi Lapangan Hutan Mangrove yang dibabat (Sumber : Harian Kompas, 3/2/2012)

Direktur Kepolisian Perairan Polda Riau Besar Lukas Gunawan (Harian Kompas, 3/2/2012).menaruh keprihatinan

terhadap kondisi hutan bakau di wilayah pesisir Riau yang menurutnya bernasib tragis karena penggundulan

yang kian parah (lihat Gambar 1). Menurut beliau, setiap melakukan patroli di perairan, terutama untuk wilayah

pesisir Riau yang berbatasan dengan Selat Malaka, terlihat kondisi hutan yang cukup tragis dan kegundulan

terjadi di mana-mana, wilayah yang gundul cukup parah, antara lain di pinggiran pantai sejumlah pulau di

Kabupaten Bengkalis, Meranti, dan Kota Dumai Berdasarkan informasi di lapangan, kegundulan hutan bakau ini

disebabkan maraknya pembalakan dari warga sekitar dengan tidak melakukan penanaman kembali. Pemerhati

lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, kondisi demikian sangat merugikan karena

minimnya tanaman bakau di tepian pantai akan berdampak pada luasan abrasi yang pastinya akan semakinparah. Menurut beliau, sebaiknya pemerintah daerah segera melakukan evaluasi dengan meninjau wilayah-

Page 87: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 87/119

87Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

wilayah yang mengalami kegundulan hutan bakau dan setelah itu, melakukan penanaman kembali sebelum

pulau-pulau di Riau ini tenggelam. Menurut beliau pula para perusak lingkungan, termasuk pencuri kayu bakau,sebaiknya diberi sanksi hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, karena, jika tidak, perambahan

secara liar akan tetap saja marak karena tidak adanya efek jera bagi pelaku.

Berdasarkan informasi tersebut di atas, perlu diinventarisasi keberadaan dan kondisi hutan Mangrove terkini

pada Kabupaten ini mengingat keberadaannya sangat penting demi kelangsungan dan kelestarian sumber

daya hayati dan non hayati. Dengan menggunakan data penginderaan jauh Landsat dapat diidentifikasi

keberadaan hutan Mangrove baik dari segi lokasi maupun luasannya, disamping itu juga dapat diidentifikasi

kondisi hutan Mangrove tersebut dengan melihat kerapatan tajuk dan luasannya. Semakin jarang kerapatannya,

mengidentifikasi adanya kerusakan pada hutan Mangrove (Dewanti et al, 1999). Data penginderaan jauh

Landsat dapat digunakan untuk mendeteksi penutup lahan hutan Mangrove yang membedakannya dengan

vegetasi lain dengan kombinasi kanal RGB 453 (Dewanti et al, 1999 ; Noviar, 2010). Sedangkan kerapatanhutan Mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan formula NDVI (Dewanti et al, 1999). Dengan

perolehan data Landsat tahun (2010) yang telah dikoreksi secara geometri maupun radiometri, penulis mencoba

mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menginventarisasi keberadaan hutan Mangrove dari segi lokasi, luasan

dan kerapatannya, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan masukan

bagi pihak-pihak yang membutuhkan seperti KLH, pemda setempat dan Pemda Riau dalam menentukan

kebijakan dalam melestarikan keberadaan kawasan ini.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM-5 (Thematic Mapper-5), path 126 row 059

dengan tanggal perekaman data 2 Februari 2010.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dengan diagram alir pada Gambar 2.

Pertama dilakukan pengolahan awal berupa koreksi geometri citra untuk memperoleh citra yang sudah benar

posisi koordinat geografinya sesuai dengan posisi lokasi pada peta. Selanjutnya dilakukan koreksi radiometri

untuk mengkoreksi sudut dan jarak matahari, koreksi atmosferik, topografi, error sensor dan lain-lain.

Page 88: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 88/119

88 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Overlay

Perolehan Data

Koreksi Geometri Citra

Koreksi Radiometri Citra

Klasifikasi dan Delineasi kelas Hutan

Mangrove secara VisualPembuatan Citra NDVI

Reklasifikasi Citra NDVI menjadi 5 kelas Kerapatan

Vegetasi

Perhitungan luas Hutan Mangrove secara keseluruhan dan

berdasarkan kerapatan tajuk.

Pembuatan peta wilayah Mangrove dengan berbagai kerapatan per kecamatan atau

pulau.

Perhitungan luas kelas hutan Mangrove berdasarkan kerapatan tajuk per wilayah

kecamatan.

Gambar 2. Diagram Alir Metodologi Penelitian

Langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi dan delineasi secara visual kelas hutan Mangrove dengan

menggunakan citra Landsat kombinasi kanal RGB 453 dan pembuatan citra NDVI secara digital dengan

menggunakan kanal 3 (kanal merah/RED) dan kanal 4 (kanal infra merah dekat/NIR) citra Landsat dengan

formula NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)   = (NIR – RED)/(NIR + RED).

Selanjutnya dilakukan reklasifikasi citra NDVI menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi (sangat jarang, jarang, sedang,

lebat dan sangat lebat) dengan kriteria sebagai berikut (Dewanti et al, 1999) : Sangat Jarang (0.01< ndvi <

0.18), Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32), Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42), Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47), Sangat Lebat (ndvi

≥ 0.47).

Proses berikutnya adalah overlay antara hasil klasifikasi dan delineasi kelas hutan Mangrove secara visual dengankelas kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI. Langkah selanjutnya perhitungan luas hutan Mangrove baik

secara keseluruhan maupun berdasarkan kerapatan tajuk.

Kemudian dibuat peta sebaran hutan Mangrove dengan berbagai kerapatan per kecamatan atau pulau dan

dihitung luasannya berdasarkan kerapatan tajuk per wilayah kecamatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pencarian citra Landsat Thematic Mapper yang clear (bebas awan) di wilayah penelitian akhirnya

diperoleh citra wilayah penelitian pada path 126 row 059 dengan tanggal perekaman data 2 Februari 2010, hal

ini ditunjukkan pada Gambar 3. Setelah dilakukan pengolahan awal berupa koreksi geometri dan radiometri,selanjutnya citra diklasifikasi dan didelineasi kawasan hutan Mangrove berdasarkan kombinasi RGB 453, yang

hasilnya ditunjukkan dalam Gambar 4.

Page 89: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 89/119

89Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 3. Citra Landsat Wilayah Penelitian, RGB 543, tanggal perekaman 2 Februari 2010

Pada kombinasi RGB 453 ini, teridentifikasi sebaran hutan Mangrove pada 5 kecamatan wilayah pesisir di

Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran), yaitu 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Bengkalis, Kecamatan

Bukitbatu, Kecamatan Merbau, Kecamatan Rangsang Barat dan Kecamatan Rupat. Hasil identifikasi dan

delineasi hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis ini ditunjukkan dalam Gambar 5.

Gambar 4. Citra Landsat Wilayah Penelitian, RGB 453 tanggal perekaman 2 Februari 2010

Page 90: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 90/119

90 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 5. Sebaran Hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis hasil identifikasi dan delineasi dari Citra Landsat

RGB 453

Selanjutnya untuk menghitung kerapatan hutan Mangrove di kawasan ini dilakukan proses klasifikasi NDVI

dan reklasifikasi menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi/tajuk yaitu kelas Sangat Jarang, Jarang, Sedang, Lebat

dan Sangat Lebat. Hasil klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan formula NDVI pada Kabupaten Bengkalis

(sebelum pemekaran) ditunjukkan dalam Gambar 6. Hasil klasifikasi hutan Mangrove dengan 5 jenis kerapatan

tajuknya di Kabupaten Bengkalis per kecamatan dapat dilihat dalam Gambar 7, 8, 9 ,10 dan 11.

Keterangan

Gambar 6. Peta Kerapatan Vegetasi Kabupaten Bengkalis berdasarkan Nilai NDVI

Page 91: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 91/119

91Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 7. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Bengkalis

Gambar 8. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Bukit Batu

Gambar 9. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Merbau

Page 92: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 92/119

92 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 10. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Rangsang Barat

Gambar 11. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Rupat

Page 93: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 93/119

93Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Selanjutnya dihitung luas hutan Mangrove per kerapatan tajuk per kecamatan dan hasilnya dapat dilihat dalam

Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari hasil pengolahan ini dapat diinventarisasi luas dan sebaran hutan Mangrove

yang masih ada di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran), dan melihat sebaran dan luaskerusakan hutan Mangrove berdasarkan kerapatan vegetasinya. Dari hasil ini diperoleh bahwa luasan hutan

Mangrove di Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran) luas totalnya adalah 44.173,8 Ha yang merupakan

penjumlahan luas total hutan Mangrove per kecamatan yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5

yaitu Kecamatan Bengkalis = 9489 Ha, Kecamatan Bukitbatu = 1100.3 Ha, Kecamatan Merbau = 8655.4 Ha,

Kecamatan Rangsang Barat =7582 Ha, Kecamatan Rupat = 17347.1 Ha. Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa

hutan Mangrove yang masih luas ada di Kecamatan Rupat dengan luas 17.347,1 Ha (39,3 % dari luas total

hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis). Sedangkan dari Tabel 1 ,2, 3, 4, 5 dapat dilihat bahwa kerapatan

tajuk hutan Mangrove yang sangat jarang dan jarang terbanyak ada di Kecamatan Rupat tersebut sebesar

404.6 Ha (2.3 %) dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi kerusakan hutan

Mangrove di kecamatan tersebut.

Tabel 1. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Bengkalis

No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)

1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 103.0 1.1

2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 244.7 2.6

3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 341.6 3.6

4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 277.0 2.9

5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 8522.7 89.8

Luas Total 9489.0 100.0

Tabel 2. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Bukitbatu

No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)

1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 29.3 2.7

2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 29.3 2.7

3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 37.8 3.4

4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 29.7 2.7

5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 974.2 88.5

Luas Total 1100.3 100.0

Tabel 3. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Merbau

No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)

1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 116.9 1.4

2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 157.8 1.8

3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 200.8 2.3

4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 167.3 1.9

5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 8012.6 92.6

Luas Total 8655.4 100.0

Page 94: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 94/119

94 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tabel 4. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Rangsang Barat

No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)

1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 70.7 0.9

2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 140.7 1.9

3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 343.4 4.5

4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 423.5 5.6

5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 6603.8 87.1

Luas Total 7582.1 100.0

Tabel 5. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Rupat

No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)

1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 121.8 0.7

2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 282.8 1.6

3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 439.9 2.5

4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 522.3 3.0

5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 15980.3 92.1

Luas Total 17347.1 100.0

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan citra pada Landsat TM-5 dengan data perekaman tanggal 2 Februari 2010 dapat

diinventarisasi luas hutan Mangrove yang masih ada di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau mengingat adaindikasi banyak terjadi kerusakan atau pembabatan hutan Mangrove di wilayah ini. Hasil inventarisasi dapat

disimpulkan bahwa luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran) pada tahun 2010

adalah 44.173,8 Ha, sedangkan kecamatan yang paling luas hutan Mangrovenya ada di Kecamatan Rupat

dengan luas 17.347,1 Ha atau 39,3 % dari luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis.. Kerapatan

tajuk hutan Mangrove yang sangat jarang dan jarang terbanyak adalah Kecamatan Rupat tersebut sebesar

404.6 Ha atau 2.3 % dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut. Hasil ini diharapkan dapat digunakan

sebagai informasi dan masukan bagi pihak-pihak yang terkait seperti KLH, pemda setempat dan Pemda Riau

dalam menentukan kebijakan terutama untuk melestarikan dan merehabilitasi hutan-hutan Mangrove yang

telah hilang atau rusak mengingat pentingnya fungsi hutan Mangrove bagi kelangsungan hidup sumber daya

hayati dan non hayati.

DAFTAR PUSTAKA 

Dewanti, R, T. Maulana, S. Budhiman, F. Zainuddin, & Munyati, 1999. Kondisi hutan Mangrove di Kalimantan

Timur, Sumatera, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah LAPAN Edisi Penginderaan Jauh, 91 (1) : 29-43.

Harian Kompas, 3 Februari 2012, Hutan Mangrove di Riau Makin Gundul

Jhonnerie, R., E. Prianto, dan Y.Oktorini, 2007. Deteksi Perubahan Luasan Hutan Mangrove dengan

Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Kota Dumai Propinsi Riau, Torani, Vol 17(2) Edisi Juni 2007

: 159-169.

Noviar, Heru, 2010, Kondisi Hutan Mangrove Terkini di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau, ProsidingPertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII, Bogor 

RiauInfo, Selasa (29/5/2007)

Page 95: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 95/119

95Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

DETEKSI PERUBAHAN PENUTUP LAHAN BERDASARKAN

 ANALISIS VISUAL DARI CITRA LANDSAT TM STUDI KASUS :LEMAH ABANG BEKASI

R. Johannes Manalu

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN

 ABSTRAK 

Perubahan pada citra dapat mempunyai arti yang bermacam-macam, untuk itu diperlukan suatu metode deteksi yang

dapat memberikan arahan dalam menentukan perubahan apa yang terjadi. Metode deteksi perubahan kenampakan

berdasarkan citra beda waktu (analisis visual dari dua citra beda waktu) dengan menggunakan data Landsat TM

tanggal 4 September 1994 dan 17 September 2001 untuk daerah Bekasi. Metode analisis visual dari citra Landsat

TM merupakan metode yang sederhana untuk mendeteksi perubahan dari data penginderaan jauh yaitu dengan

membuat tumpang tindih dua citra Landsat TM dan memperhatikan perubahan warna yang terjadi.

Kata kunci : Metode deteksi, Landsat TM, Analisis visual.

Page 96: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 96/119

96 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Obyek di permukaan bumi kenampakannya bersifat dinamis dan relatif cepat berubah mengikuti dinamika

penutup lahan dan penggunaan lahan serta musim, akibatnya kenampakan obyek yang sama pada dua citra

penginderaan jauh yang berbeda tanggal perekamannya dapat berbeda.

Analisis perubahan pada citra merupakan proses identifikasi perubahan berdasarkan pengamatan kenampakan

dengan waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian terutama dalam pemanfaatan

penginderaan jauh bagi usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam. Perubahan pada citra dapat mempunyai

arti yang bermacam-macam, untuk itu diperlukan suatu metode deteksi yang dapat memberikan arahan dalam

menentukan perubahan yang sebenarnya terjadi.

Ada empat metode penginderaan jauh yang sudah biasa digunakan untuk mendeteksi perubahan yaitu : (1)

analisis visual dari dua citra Landsat TM (Metode Martin dan Howarth), (2) perbedaan dua citra Landsat

TM (3) perbandingan dua citra Landsat TM , dan (4) klasifikasi dua citra Landsat TM. Pada penelitian ini akandikaji kemampuan metode analisis visual dari dua citra Landsat TM (Metode Martin dan Howarth) untuk

mendeteksi perubahan penutup lahan dengan mengambil kasus daerah Bekasi.

Penelitian ini bertujuan untuk : a) mengevaluasi kesesuaian hasil analisa perubahan kenampakan dua citra

Landsat TM dari metode Martin dan Howarth, dan b) mengembangkan prosedur deteksi perubahan

kenampakan dua citra menggunakan data Landsat TM / ETM+.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan metode ini bila

digunakan untuk mendeteksi perubahan penutup lahan berdasarkan citra Landsat TM.

STUDI PUSTAKA 

Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau

fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa mengadakan kontak langsung dengan

obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994).

Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek yang merupakan pantulan atau pancaran radiasi

elektromagnetik obyek yang direkam dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik atau elektronik. Citra

penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaranplanimetriknya, sehinggga citra merupakan keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik, analog

atau digital (Purwadhi, 2001).

Citra inderaja ada beberapa jenis diantaranya adalah : citra Landsat, SPOT, JERS , dan ERS . Citra tersebut

masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda.

Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang bersifat global antara lain untuk

pemantauan sumber daya alam, cuaca, lingkungan dan lain-lain. Keunggulan pemanfaatan citra inderaja

adalah cakupan lahan sangat luas, harga relatif murah, data mudah diperoleh dalam jangka waktu yang relatif

singkat.

Page 97: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 97/119

97Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Citra Landsat

Cakupan dari Citra Landsat TM 185 Km x 185 Km dengan resolusi 30 m untuk kanal 1 sampai 5 dan 7,

sedangkan kanal 6 mempunyai resolusi 120 m. Citra Landsat bekerja pada panjang gelombang berkisar antara

0.45 – 2.35 mm (untuk kanal 1 – 5 dan kanal 7) dan 10.4 – 12.5 mm untuk kanal 6 yang dapat dilihat pada

Tabel 1 (Lillesand dan Kiefer, 1994; Legg, 1992).

Resolusi temporal Landsat TM 16 hari sekali yang memungkinkan untuk memantau perubahan penutup/

penggunaan lahan. Tiap-tiap kanal mempunyai panjang gelombang tertentu sehingga tampilannyapun

berbeda dan dapat digabungkan.

Sensor satelit dapat melakukan perekaman data penginderaan jauh ber dasarkan sifat pantulan atau refleksi

maupun pancaran atau emisi radiasi elektromagnetik obyek di permukaan bumi. Data yang direkam oleh satelit

dapat dikirim langsung pada saat itu juga walaupun satelit berada jauh dari stasiun penerima di bumi.

Tabel 1. Kanal citra, kisaran panjang gelombang thematic mapper dan kegunaan utamanya.

Kanal Kisaran Panjang Gelombang (mm) Kegunaan Utama

1 0,45 - 0,52 Penetrasi tubuh air,analisis penggunaan lahan, tanah dan vege-

tasi, pembedaan vegetasi dan lahan.

2 0,52 - 0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau

yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini

dimaksudkan untuk membedakan jenis-jenis vegetasi dan untuk

mem membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang

tidak sehat.

3. 0,63 - 0,69 Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran

ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil dan

memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan

vegetasi.

4 0,76 - 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk

identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan

tanaman serta lahan dan air.

5 1,55 - 1,75 Saluran penting untuk membedakan jenis tanaman, kandungan

air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah.

7 2,08 - 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan

hidrotermal

6 10,40 - 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisa gangguan vegetasi, pembedaankelembaban tanah dan keperluan lain yang berhubungan

dengan gejala thermal.

8 0,50 - 0,90 Perkotaan dan geomorphologi

Pengolahan Data Awal

Pengolahan data awal dilakukan untuk mengkoreksi kesalahan radiometrik dan kesalahan geometrik. Hamburan

dan serapan atmosfer bumi karena terjadinya uap air atau gas-gas lain mempunyai efek menghalangi. Masalah

pengaruh atmosfir ini akan tampak apabila membandingkan respon spektral pada suatu lokasi yang direkam

pada waktu yang berbeda.

Page 98: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 98/119

98 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Penutup/Penggunaan Lahan

Penutup lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi.

Penutup lahan diwujudan secara fisik oleh obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa memperhatikan kegiatan-

kegiatan manusia. Beberapa contoh jenis penutup lahan adalah : bangunan perkotaan, danau, vegetasi.

Penggunaan lahan adalah segala macam kegiatan penggunaan lahan baik secara alami maupun kegiatan

manusia pada sebidang tanah (Vink, 1975). Definisi yang lain pengunaan lahan adalah berhubungan dengan

kegiatan manusia, sehingga batas satuan penggunaan lahan sangat ditentukan oleh adanya kegiatan tersebut.

Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu. (Lillesand dan

Kiefer, 1994).

Untuk lebih jelasnya perbedaan dari penutup dan penggunaan lahan diambil contoh penggunaan lahan sawah,

yang mana penutup lahannya berbeda-beda pada saat lahan bera (terbuka), pada saat fase air, pada saat fase

vegetatip dan pada saat fase generatip. Secara nilai digital dan kenampakan warna hal ini dapat memberikan

kesan terjadi perubahan penggunaan lahan.

Analisis perubahan penutup/penggunaan lahan adalah proses identifikasi perubahan kondisi lahan berdasarkan

waktu yang berbeda. Dari citra penginderaan jauh satelit dapat diekstrak penutup/penggunaan lahan, dimana

data penginderaan jauh satelit yang mempunyai cakupan yang luas, sehingga efektif dan efisien untuk analisis

perubahan penutup/penggunaan lahan.

Metode Deteksi Perubahan

Deteksi perubahan adalah proses mengindentifikasi perubahan suatu objek atau fenomena dengan

mengamatinya pada waktu yang berbeda. Perubahan kenampakan dapat ditentukan dengan membandingkan

dua citra Landsat TM pada lokasi yang sama. Apabila terdapat perbedaan kenampakan berarti terjadi

perubahan penutup atau penggunaan lahan.

Metode yang sederhana untuk mendeteksi perubahan dari data penginderaan jauh adalah Analisa Visual

dari Dua Citra Landsat TM, yaitu dengan membuat dua citra Landsat TM tumpang tindih dan memperhatikan

perubahan warna yang terjadi. Tumpang tindih dua citra Landsat TM dapat dibuat dengan menampilkan kanal

yang sama dari periode waktu yang berbeda pada satu citra. Kanal 3 Landsat (spektrum merah) menghasilkan

pemisahan visual yang terbaik untuk perubahan perkotaan (Jensen, 1981). Oleh karena itu, kanal 3 pada waktu

t1 ditampilkan pada layer warna merah, kemudian kanal 3 pada waktu t2 ditampilkan pada layer warna hijau.

Berdasarkan kenampakan citra dapat dianalisis perubahan lahan (Martin dan Howarth, 1989 dalam Beeber,

1998).

METODOLOGI

Lokasi Penelitian

Studi kasus dilaksanakan di daerah Lemah Abang Bekasi dengan luas daerah 3.046,23 Ha (Gambar 1). Daerah

Lemah Bekasi dipilih karena antara tahun 1994 - 2001 terjadi perubahan penggunaan lahan yang pesat dari

berbagai macam kelas.

Page 99: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 99/119

99Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 1. Lokasi Penelitian.

Data dan Peralatan

Data yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Data Landsat TM yang direkam pada tanggal 4 September 1994 dan tanggal 17 September 2001

(path/raw 122/64), yang diperoleh dari Bidang Bank Data LAPAN Pekayon.

2. Data Ikonos yang direkam tanggal 20 September 2000 sebagai data referensi.

3. Peta dasar berupa peta rupa bumi digital Indonesia skala 1 : 25.000 lembar 1209-514 Cikarang edisi : 1 –

2000 yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL.

Peralatan yang dipergunakan adalah GPS (Global Positioning System) untuk mendapatkan titik kontrol tanah

yang digunakan untuk koreksi geometrik, satu set komputer dengan perangkat lunak ER Mapper 5.5 untuk

pengolahan data.

Page 100: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 100/119

100 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 Metode

Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan, yaitu pengumpulan dan penyiapan data, pengolahan citra awal,

analisis perubahan kenampakan dua citra beda waktu dan evaluasi deteksi perubahan kenampakan dua citra

beda waktu.

Kajian Deteksi Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan

Dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak ER Mapper dibuat file citra kanal 3 (l = 0,63 – 0,69) data

Landsat tahun 1994 (t1), lalu disimpan dalam suatu file. Begitu juga dengan kanal 3 data Landsat tahun 2001

(t2). Selanjutnya algoritma RGB ditampilkan, kanal 3 data Landsat tahun 1994 dimasukkan kedalam layer warna

merah, kanal 3 data Landsat tahun 2001 dimasukkan kedalam layer warna hijau, sedangkan layer warna

biru dihapus. Kemudian algoritma yang dibuat dijalankan sehingga didapat citra tampilan bersama dengan

beberapa warna yang berbeda yang selanjutnya warna tersebut dianalisis menggunakan tabel analisis visualdari dua citra beda waktu (Martin dan Howarth, 1989 dalam Beeber, 1998).

Untuk analisis visual dua citra beda waktu, Martin dan Howarth (1989) melakukan tumpang tindih data

Landsat TM kanal 3 pada waktu t1 pada layer merah dengan data Landsat TM kanal 3 pada waktu t2 pada layer

hijau dan mendapatkan tabel analisis perubahan seperti disajikan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 2. Analisis Visual dari Dua Citra Beda Waktu (Martin dan Howarth (1989) dalam Beeber, (1998)).

Warna Citra Perubahan Lahan

Merah Lahan mengalami perubahan ke perkotaan pada t1, yang perubahannya

selesai sebelum t2

Hijau Terang Lahan mengalami perubahan pada t2, bukan pada t

1

Kuning Muda Fase perubahan lahan konversi dari t1 dan t

2

Kuning Langsat terang dan menengah Penggunaan lahan untuk perumahan dan industri/komersial pada t1 dan t

2

Hijau, Coklat tua, Coklat, Kuning Langsat tua,Abu-abu tua, Kuning tua

Daerah terbuka pada t1 dan t

2

Hitam Hutan pada kedua waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penutup/Penggunaan Lahan

Informasi penggunaan lahan ini menggunakan rujukan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1 : 25.000. edisi

1 – 2000 (dikompilasi dari foto udara skala 1 : 50.000. tahun 1993/1994), sedangkan untuk lahan tahun 2001

yang digunakan sebagai referensi dalam makalah ini adalah citra Ikonos tahun 2000. Berdasarkan kedua data

masukan ini diketahui bahwa di lokasi sedikitnya terdapat 5 kelas penggunaan lahan yaitu : industri, kebun

campuran, pemukiman, sawah dan lahan terbuka.

Lahan sawah pada tahun 1994 masih terlihat dominan pada bagian kanan dari lokasi di peta rupa bumi dan

pada citra Ikonos tampak bahwa luas lahan sawah pada tahun 2001 telah terjadi penyusutan. Di sebelah kiri

dan tengah dari lokasi tersebar kawasan pemukiman dan tampak telah terjadi peningkatan area pada tahun2001, demikian juga kawasan industri cenderung terkonsentrasi disebelah kiri atas dan tampak telah terjadi

pertambahan luas pada tahun 2001.

Page 101: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 101/119

101Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

4.2. Analisis Visual dari Dua Citra Beda Waktu (Metode Martin dan Howarth)

Dengan membuat tampilan bersama data Landsat TM tahun 1994 band 3 pada layer merah (Gambar 1a)

dengan data Landsat TM tahun 2001 band 3 pada layer hijau (Gambar 1b) didapatkan tampilan dengan

kenampakan baru seperti tampak pada Gambar 2.

  Tampilan bersama antara band 3 tahun 1994 dan band 3 tahun 2001 (Gambar 2.) menghasilkan tampilan

dengan warna yang berbeda dengan kenampakan citra aslinya. Secara umum kesan warna yang tampak pada

citra adalah warna merah terang, hijau terang, kuning terang dan warna coklat terang.

Kesan warna ini menurut Martin dan Howarth (1989) dalam Beeber (1998) menunjukkan adanya perubahan

penutup/penggunaan lahan.

Gambar 1a. Citra Landsat TM Band3 Tahun 1994.

Gambar 1b. Citra Landsat TM Band3 Tahun 2001.

Page 102: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 102/119

102 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 2. Hasil Tampilan Bersama Citra Landsat TM Tahun 1994 Dengan Citra Landsat TM 2001.

Kesan warna merah pada citra menunjukkan terjadinya perubahan lahan ke perkotaan pada tahun 1994 yang

mana perubahan itu selesai sebelum tahun 2001, warna hijau terang menunjukkan lahan berubah pada tahun

2001 bukan pada tahun 1994, warna kuning muda menunjukkan fase perubahan lahan konversi dari tahun

1994 dan tahun 2001, warna kuning langsat terang dan menengah menunjukkan penggunaan lahan untuk

perumahan dan industri pada tahun 1994 dan tahun 2001 dan warna hijau, coklat, coklat tua, kuning langsattua, abu-abu tua, kuning tua menunjukkan daerah terbuka pada tahun 1994 dan tahun 2001.

Metode tampilan bersama ini secara cepat dapat menunjukkan adanya pola perubahan, tetapi tidak dapat

menunjukkan arah perubahan dari mana ke mana hanya menunjukkan pola perubahan yang terjadi. Berdasarkan

perubahan warna yang tampak pada Gambar 3a dilakukan analisis kesesuaian warna dan artinya pada lokasi

terpilih dengan membandingkannya dengan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2001. Hasil analisis

disajikan pada Tabel 3.

Gambar 3. Tampilan bersama Landsat TM Tahun 1994 dan 2001 dan poligon yang mengalami perubahan warna

Page 103: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 103/119

103Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Tabel 3. Analisis Perubahan dari Dua Citra Beda Waktu Daerah Bekasi.

Poligon Warna Perubahan Lahan Perubahan Warna

Thn. 1994 Thn. 2001

1 Merah Sawah Pemukiman Sesuai

2 Merah Sawah Lhn. Terbuka Sesuai

3 Merah Sawah Lhn. Terbuka Sesuai

4 Hijau terang Sawah Industri Sesuai

5 Hijau terang Sawah Industri Sesuai

6 Kuning muda Pemukiman Industri Sesuai

7 Kuning langsat Lhn terbuka

(rumput)

Industri Sesuai

8 Hitam Sawah Lhn. Terbuka

(berair)

Tidak Sesuai

9 Hitam Sawah Sawah (berair) Tidak Sesuai

 Gambar 3a memperlihatkan bahwa warna merah lebih dominan dibandingkan dengan warna-warna lain. Kesan

warna ini mempunyai arti bahwa telah terjadi perubahan dari lahan sawah (1994) menjadi lahan perkotaan

(2001). Berdasarkan analisis kesesuaian warna pada lokasi terpilih terdapat dua lokasi yang perubahan warnanya

tidak sesuai dengan analisa perubahan dari dua citra berbeda waktu menurut Martin dan Howarth (1989) dalam

Beeber (1998). Sedangkan lokasi yang lain perubahan warnanya sesuai. Area yang berwarna hitam adalah

daerah hutan, tetapi untuk daerah Bekasi area yang berwarna hitam adalah daerah sawah dan lahan terbukayang berair. Metode ini hanya menunjukkan kelas penutupan lahan, tidak bisa menunjukkan kelas penggunaan

lahan, sehingga tidak dapat menghasilkan pemetaan penggunaan lahan.

Tahun 1994 Tahun 2001

Gambar 4. Penutup lahan sesuai Tabel 3 dan poligon yang mengalami perubahan warna

Page 104: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 104/119

104 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

KESIMPULAN

Metode yang sederhana untuk mendeteksi perubahan dari data penginderaan jauh adalah metode analisis

visual dari dua citra Landsat TM yang memperhatikan perubahan warna yang terjadi dengan membuat dua

citra Landsat TM tumpang tindih.

Metode yang dapat mendeteksi perubahan kenampakan dari dua citra Landsat TM dengan cepat adalah

metode analisa visual dari dua citra Landsat TM, yaitu dengan melakukan tampilan bersama dari daerah yang

akan dideteksi, sehingga dari kesan warna yang tampak dapat dengan cepat dilihat daerah yang mengalami

perubahan.

Analisa visual dari dua citra Landsat TM dengan deteksi perubahan kenampakan, dapat menunjukkan arah

perubahan atau terjadinya perubahan penutup/penggunaan lahan. Metode ini tidak dapat menunjukkan kelas

penggunaan lahan hanya dapat menunjukkan kelas penutupan lahan.

DAFTAR PUSTAKA 

 Beeber, G. 1998. Change Detection Techniques Using Landsat Data. ASE 389P Remote Sensing From Space.

Jensen, J. R. 1981. Urban Change Detection Mapping Using Landsat Digital Data, The American Cartographer.

 Vol 8, No. 2, pp 127 – 147.

Lillesand, M. T. and W. R. Kiefer. 1994. Remote Sensing And Image Interpretation. Third Edition. John Wiley

& Sons Inc. New York.

Purwadhi, S. H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Penerbit PT Grasindo. Jakarta.

 Vink, A. P. A., 1975. Land Use in Advancing Agriculture, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, Germany.

Page 105: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 105/119

105Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG

UNTUK PENGEMBANGAN JARINGAN PIPA AIR MINUM

Dipo Yudhatama dan Bambang Trisakti

Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN

 ABSTRAK 

Pemenuhan kebutuhan air bersih masih menjadi permasalahan utama di negeri ini. Banyaknya jumlah penduduk yang

belum terlayani oleh jaringan perpipaan air bersih menjadi sorotan banyak pihak akan kemampuan PDAM dalam

memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Banyaknya kendala yang dihadapi oleh PDAM, baik teknis maupun

non-teknis, menjadi alasan ketidakmampuan PDAM dalam melayani air bersih uang merupakan hajat hidup orang

banyak. Dengan bantuan teknologi SIG dan penginderaan jauh satelit, permasalahan PDAM yang terkait dengan

pendistribusian air bersih dapat sedikit teratasi. Hasil penelitian ini menunjukan penggunaan kedua teknologi tersebut

mampu membantu PDAM dalam mengatasi permasalahan pendistribusian air bersih, diantaranya dalam perencanaan

dan pengembangan jaringan perpipaan, penentuan lokasi sumber air baku, pemantauan perkembangan pelanggan,

dan penyusunan basis data spasial wilayah pelayanan.

Kata kunci: Data inderaja, jaringan air minum

Page 106: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 106/119

106 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

PENDAHULUAN

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan air bersih-pun turut meningkat setiap tahunnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai

247,5 juta jiwa. Jumlah tersebut mengakibatkan pemenuhan kebutuhan air akan meningkat menjadi 9.391

miliar meter kubik atau naik 47 persen dari tahun 2000. Pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk

dilakukan dengan sistem perpipaan dan non-perpipaan. Sistem perpipaan dioperasikan oleh entitas

penyelenggara pelayanan air bersih, baik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah (PDAM). Saat ini di

Indonesia terdapat 382 PDAM yang baru dapat melayani 47% penduduk perkotaan dan 11% penduduk

pedesaan. Data PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) tahun 2010 menyebutkan

secara nasional baru 27% jumlah penduduk Indonesia yang terjangkau jaringan air bersih dari PDAM. Artinya

mayoritas penduduk Indonesia masih memperoleh air bersih dari sistem non-perpipaan yang bersumber darimata air, sumur, air hujan, maupun penjaja air yang kualitasnya belum terjamin.

Ada beberapa permasalahan besar yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan air bersih di Indonesia,

diantaranya:

1. Sumber air baku yang terbatas, seperti: penurunan kualitas dan kuantitas, tidak ada lagi sumber air baku

yang dapat dieksplorasi, hingga pada konflik antar wilayah dalam pemanfaatan sumber air baku;

2. Kebutuhan air bersih yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk;

3. Rendahnya cakupan pelayanan air bersih di Kawasan Perkotaan, akibat minimnya data dan infrastruktur; dan

4. Kinerja pengelolaan sistem air bersih yang menurun akibat tingginya kebocoran, biaya operasi dan

pemeliharaan yang meningkat.

Permasalahan tersebut hingga kini masih menjadi kendala peningkatan kinerja PDAM di Indonesia dimana

saat ini 69% PDAM berada dalam kondisi kurang sehat. Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi

Geografis (SIG) dapat membantu memberi solusi terhadap permasalahan penyediaan air minum. Salah

satunya adalah dalam pengembangan jaringan pipa air bersih, baik pipa distribusi maupun transmisi.

Beberapa kajian pemanfaatan data penginderaan jauh satelit yang berkaitan dengan jaringan perpipaan

air bersih telah dilakukan di beberapa negara, seperti: perencanaan sistem blok berdasarkan jaringan jalan

dan kontur wilayah sehingga mempermudah penyaluran air berdasarkan kebutuhan setiap blok secara lebih

efesien (Jun et al., 2004). Sistem blok telah banyak digunakan dinegaramaju seperti Jepang dan Korea, pada

sistem ini disusun berdasarkan pertimbangan orde jalan dan rata-rata elevasi setiap blok, selanjutnya diperinci

berdasarkan besarnya permintaan air. Huang dan Fipps (2005) mengidentifikasi kebocoran kanal irigasi dengan

memperlihatkan bahwa potensi kebocoran dapat diprediksi dengan menggunakan data sensor airborne

multispectral   (Visibel, NIR dan Termal) resolusi tinggi. Metode ini sangat memungkinkan untuk diterapkan

untuk mendeteksi kebocoran pipa dalam skala regional.

Tulisan ini akan mengkaji sejauh mana teknologi penginderaan jauh satelit dan SIG berperan dalam

pengembangan jaringan perpipaan air bersih. Untuk mengaplikasikannya, jaringan perpipaan PDAM Kabupaten

Sampang, Jawa Timur, dipilih menjadi studi kasusnya. PDAM Sampang merupakan salah satu PDAM yang

berada dalam kondisi kurang sehat. Dari empat belas kecamatan yang ada di Kabupaten Sampang, pelayananair bersih melalui PDAM hanya terdapat di ibukota kabupaten saja. Gambar 1 menunjukan cakupan pelayanan

dari PDAM Kabupaten Sampang .

Page 107: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 107/119

107Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 1. Wilayah administrasi dan Cakupan Pelayanan PDAM Kabupaten Sampang

DATA DAN METODE

Data primer yang digunakan adalah data satelit penginderaan jauh SPOT5 (tahun perekaman 2010) dan

Ikonos (tahun perekaman 2009), Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 (Badan Informasi Geospasial).

Informasi ketinggian wilayah didapatkan dari data SRTM X-C band yang mempunyai resolusi spasial 30 meter.

Sedangkan data sekunder, yang digunakan adalah data-data yang berkaitan dengan parameter PDAM seperti;

Peta Jaringan, lokasi sumber air baku dan jumlah pelanggan yang di dapat dari PDAM Kabupaten Sampang.

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan ekstraksi informasi spasial dari data

satelit penginderaan jauh. Informasi spasial dasar diturunkan dari data SPOT5 dan Ikonos dengan skala tematik

1:10.000. Seluruh data spasial ketelitian geometriknya dikoreksi menggunakan acuan Peta Rupa Bumi skala

1:25.000 produk BIG (Badan Informasi Geospasial). Alur kegiatan pada tahap pertama ini digambarkan pada

Gambar 2.

Page 108: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 108/119

108 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Data satelit

IKONOS, SPOT-5

Peta RBI1:25.000Koreksi data

Interpretasi citra

Informasi spasial:

• Penutup lahan

• Aliran sungai• Jaringan jalan

• Objek bangunan

• Wilayah permukiman

DEM SRTM X-

C band

Pengolahan digital

Informasi spasial:

• Ketinggian wilayah

• Kontur• Lereng

• Arahlereng

AnalisisSIG dan Layout

Infomasi spasial parameter fisik

Kota Sampang

Gambar 2. Alur Kegiatan

Informasi fisik yang diturunkan dari citra satelit penginderaan jauh meliputi penutup lahan, jaringan jalan,

system persungaian, objek dan orientasi bangunan, dan zonasi wilayah permukiman. Metode yang digunakan

adalah interpretasi dan digitasi visual pada skala 1:5.000. Dari empat zona wilayah PDAM Kabupaten Sampang,

fokus penelitian dilakukan pada dua zona pelayanan yang jumlah pelanggan dan pertumbuhannya paling

cepat. (Statistik PDAM Kabupaten Sampang, 2012).

Data Digital Elevation Model (DEM) diproses secara digital dari data DEM SRTM X-C band untuk menghasilkaninformasi spasial ketinggian wilayah, kontur, lereng, dan arah lereng. Interval kontur dibuat dengan interval 5

meter menggunakan teknik interpolasi dari data SRTM dan kontur Peta Rupa Bumi skala 1:25.000. Informasi

lereng menunjukan kemiringan dari permukaan bumi dengan kisaran nilai 0-90 derajat. Sedangkan arah lereng

menunjukan ke arah mana lereng tersebut menghadap, dengan kisaran nilai 0-360 derajat yang dimulai dari

arah utara dan berputar searah jarum jam.

Langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan digitalisasi dan koreksi geometrik data sekunder ,

karena sebagian besar data yang terkumpul dalam bentuk hardcopy  dan format autocad. Koreksi geometrik

menggunakan data IKONOS terkoreksi tahun perekaman 2010. Setelah terkoreksi, data-data sekunder

dikonversi menjadi data spasial untuk memudahkan dalam analisis di SIG sehingga menghasilkan informasi

spasial parameter PDAM. Alur kegiatan pada tahap ini digambarkan pada Gambar 3.

Page 109: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 109/119

109Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Citra IKONOSterkoreksi Rektifikasi  dan konversi data 

Data Data Sekunder 

Identifikasi dan

deliniasi 

Informasi spasial : • Zona PDAM •  Sumber air 

•  Jaringan Pipa • Lokasi sumur 

Analisis SIG danLayout 

1. Kondisi Eksisting Jaringan Distribusi PDAM

2. Rencana Pengembangan Jaringan Pipa

Informasi Spasial

Hasil Ekstraksi Data PJ 

Gambar 3. Alur Kegiatan Penurunan Informasi Spasial Fisik Wilayah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Informasi Spasial Dasar

Berdasarkan analisis data DEM-SRTM, lokasi studi mempunyai ketinggian antara 0-50 dengan topografi

landai. Wilayah permukiman yang merupakan basis pelanggan PDAM berada pada ketinggian 0-10 m, hanyatiga desa yang letaknya berada pada ketinggian diatas 10 meter. Gambar 4 dan Gambar 5 memperlihatkan

informasi ketinggian di wilayah studi hasil dari analisis DEM-SRTM.

Page 110: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 110/119

110 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

 

Gambar 4. Informasi Ketinggian Hasil Analisis DEM-SRTM di Wilayah Studi

Gambar 5. Informasi Kontur Hasil Analisis DEM-SRTM di Wilayah Studi

Kemiringan lahan di wilayah studi adalah 0 – 12 derajat dengan arah kemiringan lahan bervariasi ke segala

arah. Infomasi ketinggian, kemiringan dan arah kemiringan lahan ini sangat bermanfaat dalam perencanaan

pembangunan jaringan pipa untuk menentukan metoda yang paling tepat digunakan dalam pengaliran airbersih. Kemiringan dan arah kemiringan di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

Page 111: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 111/119

111Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 6. Informasi Kemiringan Hasil Analisis DEM-SRTM di Wilayah Studi

Gambar 7. Informasi Arah Lereng Hasil Analisis DEM-SRTM di Wilayah Studi

Informasi penutup lahan dan infratruktur wilayah di dapatkan dari hasil intrepretasi dan digitasi visual citra

satelit penginderaan jauh Ikonos dan SPOT5 dengan ketelitian tematik 1:5.000. Penutup lahan di wilayah studi

dibuat menjadi 19 kelas dengan fokus kedetilan berada pada kelas-kelas budidaya. Sebaran dan distribusi

penutup lahan di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 1.

Page 112: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 112/119

112 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Gambar 8. Informasi Penutup Lahan di Wilayah Studi

Tabel 1. Luasan Penutup Lahan di Wilayah Studi

No Penutup Lahan LUAS (Ha)

1 Alun-alun 3.22

2 Industri 2.73

3 Jalan 27.69

4 Kebun Campur 72.67

5 Ladang/Tegalan 21.04

6 Lahan Terbuka 15.16

7 Lapangan 0.66

8 Pasar 2.73

9 Pemakaman 1.5010 Peribadatan 1.72

11 Perkantoran 29.25

12 Permukiman Teratur 5.72

13 Permukiman Tidak Teratur 169.48

14 Ruang Terbuka Hijau 4.87

15 Sawah 377.29

16 Sekolah 3.94

17 Semak/Belukar 18.12

18 Sungai 5.43

19 Terminal 0.74

Page 113: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 113/119

113Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Penutup lahan di wilayah studi di dominasi oleh lahan pertanian basah (sawah) dan permukiman tidak teratur.

Gambar 9 memperlihatkan sebaran kawasan permukiman berdasarkan kategori teratur dan tidak teratur di

wilayah studi.

Gambar 9. Informasi Wilayah Permukiman di Wilayah Studi

Untuk memudahkan mengidentifikasi berapa jumlah sambungan rumah yang seharusnya terlayani, maka setiap

objek bangunan di wilayah studi diberikan atribut dengan memberikan titik identifikasi (Gambar 10).

Gambar 10. Informasi Objek Bangunan di Wilayah Studi

Page 114: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 114/119

114 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Informasi spasial lainnya yang juga diturunkan dari data satelit penginderaan jauh adalah informasi mengenai

 jaringan jalan dan system persungaian. Informasi jaringan jalan dibutuhkan untuk menentukan jalur pipa

transmisi dan distribusi karena pipa diletakan pada sisi-sisi jalan untuk memudahkan pemasangan dan kontrol

pemeliharaan. Sedangkan informasi system persungaian diperlukan untuk mengkalkulasi kebutuhan jembatan

penghubung pipa dan pompa tekan serta untuk menginventarisir sumber air permukaan. Gambar 11 dan 12

berikut menampilkan informasi jaringan jalan dan system persungaian hasil dari interpretasi citra satelit Ikonos.

Gambar 11. Informasi Jaringan Jalan di Wilayah Studi

Gambar 12. Informasi Sistem Persungaian di Wilayah Studi

Page 115: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 115/119

115Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

Informasi Parameter PDAM

Informasi spasial parameter PDAM dibuat dengan mengumpulkan data dari dinas PDAM dan Bappeda

Kabupaten Sampang. Data tersebut kemudian diubah menjadi data vektor dengan format SIG(shapefile).

Informasi jaringan eksisting pipa yang di dapat dari PDAM Kabupaten Sampang masih belum detail, dimanatidak memuat informasi mengenai jenis pipa (pipa transmisi dan disribusi), diameter pipa dan usia pipa. Dari

Peta Jaringan PDAM Kabupaten Sampang terlihat jaringan pipa dipasang sejajar dengan jaringan jalan.

(Gambar 13).

Gambar 13. Informasi Jaringan Eksisting Pipa PDAM

Sumber air minum PDAM Kabupaten Sampang bersumber dari sumur bor dan mata air. Terdapat empat sumur

bor dan satu mata air yang saat ini dimanfaatkan, yaitu sumur bor Pangelen, Sogiyan, Gajah Mada, Glisgis

dan mata air Subaru. Sebaran lokasi sumur bor dan mata air untuk PDAM di Kota Sampang diperlihatkan pada

Gambar 14.

Gambar 14. Informasi Sebaran Sumber Air PDAM

Page 116: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 116/119

116 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

3-3. Evaluasi Kondisi Eksisting Perpipaan PDAM

Analisis terhadap kondisi eksisting dilakukan setelah basis data PDAM selesai dibuat, walau beberapa data dari

PDAM belum diperoleh seperti; jenis pipa (pipa transimisi dan distribusi), lokasi konsumen, diameter dan usia

pipa, lokasi kebocoran dan lokasi valve pipa. Namun hasil analisa dapat memberikan gambaran awal posisi dan

lokasi sumur bor dan jaringan pipa air terhadap parameter fisik wilayah. Untuk mendapatkan hasil yang lebih

akurat, perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh setiap parameter terhadap jaringan pipa air

minum. Hasil analisis diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Terhadap Kondisi Eksisting Jaringan Pipa PDAM

No. Lokasi sumur bor dan mata air jaringan pipa PDAM

1. Ketinggian dankontur 

Sumur bor dan mata air terletak pada daerah tinggiberkisar 30-40 m, kecuali sumur bor Pangelen danSogiyan yang terletak di daerah rendah berkisar 5-10m

Sumber air terletak pada daerah tinggi sedangkandistribusi jalur pipa terletak pada wilayah rendahpada daerah dengan ketinggian 0 -10 m

2. Kelerengan danarah lereng

Sumur bor dan mata air terletak pada daera dengankemiringan 6-10 derajat, kecuali sumur bor Sogiyanyang terletak paa kemirintgan 2-4 derajat.

Distribusi jaringan pipa terletak pada daerah rendahdan relatif datar (kisaran 0-4 derajat)

3. Jaringan jalan - Pada umumnya distribusi jaringan pipa mengikutipola jaringan jalan Arteri dan kolektor, tapi belummenjangkau jaringan jalan lingkungan.

4. Penutup lahan Lokasi sumur bor dan mata air terletak pada arealadang, sawah dan kebun campur 

Jaringan pipa sudah menjangkau kawasan komersil(perkantoran dan industri dan pasar), tetapi belummenjangkau perumahan yang baru berkembang.

5. Sumber air(sungai)

Lokasi sumur bor dan mata air agak jauh dari sungai,sungai berpotensi dijadikan sumber air PDAM

-

6. Wilayah per-mukiman dan

objek bangunan

- Jaringan pipa air minum belum menjangkau wilayahpermukiman di bagian atas wilayah kajian (peru-

mahan baru berkembang), dan juga belum masuk kewilayah perumahan teratur (komplek).

Pemanfaatan Basis Data Untuk Pengembangan Jaringan Pipa PDAM

Pembuatan data base sistem jaringan pipa air minum suatu wilayah sangat penting, karena data-data tersebut

dapat overlay, digabungkan dan dianalisis dengan berbagai model (model pembobotan, SIG dll) untuk

keperluan perencanaan, pengelolaan (pemantauan dan pemeliharaan) dan pengembangan sistem jaringanpipa

air minum di wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil kajian literature baik yang telah bersifat operasional maupun yang bersifat riset, maka

informasi-informasi yang berkaitan erat dengan jaringan pipa air minum yang akan sangat bermanfaat untukkegiatan pengelolaan dan pengembangan sistem jaringanpipa air minum adalah:

• Infomasi spasial sumber air (danau, waduk, sungai, sumur, mata air dll)

• Informasi spasial sumber air bermanfaat untuk pembuatan jaringan pipa paling optimal (jarak terpendek)

yang menghubungkan antara sumber air ke unit-unit lainnya seperti: penampungan air atau lokasi

pelanggan.

• Infomasi spasial jaringan jalan

• Informasi spasial jaringan jalan bermanfaat untuk pembuatan sistem blok pelanggan dan pemetaan jalur

pipa sehingga jaringan pipa air minum dapat lebih mudah dikelola dan efesien. Pada beberapa negara

maju seperti: Jepang dan Korea, jaringan pipa air dilakukan dalam sistem blok. Sistem pembagian blok

disusun dengan memperhatikan jaringan dan orde jalan, serta jumlah kebutuhan dari pelanggan.

Page 117: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 117/119

117Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

• Infomasi spasial wilayah permukiman dan objek bangunan

• Informasi spasial wilayah permukiman dan objek bangunan bermanfaat untuk mengetahui lokasi potensi

konsumen baru sehingga dapat dilakukan pembuatan model pengembangan jaringan pipa air minum

• Informasi usia pipa air (waktu pembangunan)

• Informasi ini sangat bermanfaat karena setiap pipa mempunyai batas usia pemakaian, sehingga dapat

diketahui lokasi pipa yang memerlukan penggantian untuk menghindari terjadinya kerusakan pipa dan

kebocoran air.

• Informasi spasial penutup lahan

• Infomasi spasial penutup lahan sangat bermanfaat dalam perencanaan pengembangan jaringan pipa

air minum untuk wilayah-wilayah permukiman yang makin berkembang, bahkan dapat menjadi indikator

lokasi pipa yang berpotensi mengalami kerusakan akibat pengaruh penutup lahan disekitarnya, sebagai

contoh kendaraan berat yang melewati daerah industri berpotensi mengakibatkan rusaknya pipa sehinggamengakibatkan terjadinya kebocoran air.

• Informasi spasial ketinggian, kontur, kelerengan dan arah kelerengan

• Informasi spasial ketinggian, kontur, kelerengan dan arah kelerengan akan sangat penting untuk

perencanaan lokasi dan arah jaringan pipa, dimana bila lokasi sumber air lebih tinggi daripada lokasi

pelanggan maka pengaruh perbedaan ketinggian (gravitasi) dapat digunakan untuk penyaluran air

minum ke konsumen, sehingga mengurangi besarnya biaya yang digunakan dibandingkan dengan sistem

 jaringan pipa air dengan cara pemompaan air. Selain itu dapat dijadikan sebagai alat evaluasi kondisi

 jaringan pipa yang terpasang saat ini.

• Lokasi-lokasi yang pernah mengalami kebocoran air 

• Informasi ini dapat diperoleh dari PDAM setempat.Data historis dan eksisting lokasi kebocoran sangat

bermanfaat untuk mengetahui distribusi kebocoran yang terjadi. Sehingga dapat dilakukan indentifikasi

penyebab kebocoran dan cara menanggulanginya.

Konsep pemanfaatan basis data untuk mendukung sistem jaringan pipa air minum diperlihatkan pada Gambar

15.

Page 118: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 118/119

118 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk

Sumber Daya Wilayah Darat

DinasPDAMData penginderaan

 jauh satelit

• Ketinggian/kontur

• Tingkat kelerengan

• Arahkelerengan

• Sumberair (sungai,

danaudll)

• Jaringanjalan

• Penutuplahan

• Wilayah permukiman

• Objekbangunan

• Jaringanpipa eksisting

• Lokasi sumur dan

penampunganair

• Lokasikebocoran air

• Lokasikonsumen

• Usia pipa

• Lokasivalve

Pengelolaandan

perencanaan sistem

distribusi air minum

SIG

Gambar 15 Pemanfaatan Basis Data Dalam Mendukung Sistem Jaringan PDAM

KESIMPULAN

Informasi spasial yang diekstraksi dari data penginderaan jauh satelit dapat digunakan sebagai basis data

dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan jaringan pipa PDAM. Informasi dasar dari data satelitmampu memberikan informasi spasial terkini secara cepat sehingga sangat membantu untuk mengevaluasi

kondisi eksisting sistem pipa air minum dan memprediksi prediksi pertumbuhan jumlah pelanggan. Informasi

ini berguna sebagai masukan dalam mengambil kebijakan arah pengembangan jaringan pipa PDAM di

masa mendatang. Penggunaan teknologi SIG memudahkan proses analisis spasial, namun kelengkapan data

sekunder sebagai pendukung analisis sangat menentukan tingkat keakuratan dan kedetilan dari informasi yang

dihasilkan.

Analisis singkat pada lokasi studi didapat bahwa jaringan pipa air minum belum menjangkau wilayah-

wilayah perkembangan baru yang teridentifikasi pada citra satelit. Hasil analisis 3D terhadap data DEM SRTM

menunjukan metode pengaliran secara gravitasi masih dapat terus digunakan untuk mendistribusikan air ke

pelanggan. Pada beberapa lokasi permukiman baru yang letaknya jauh dari sumber air, sudut kemiringan kecil,diperlukan pembangunan unit pompa tekan untuk menambah tekanan air pada pipa distribusi.

DAFTAR PUSTAKA 

Danoedoro, P., 2004,Satelit Mata-mata untuk Lingkungan,Kompas online : http://www.kompas.com/kompas-

cetak/0305/13/inspirasi/307922.htm [ 20-11-2004]

Gesch, D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the United States: Implications

for Topographic Change Detection, SRTM Data Validation and Applications Workshop

Huang, Y. And G. Fipps, 2005,Airborne Multispectral Remote Sensing Imaging for Detecting Irrigation Canal

Leaks in The Lower Rio Grande Valley, 20th Biennial Workshop on Aerial Photography, Videography and

Page 119: Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5

http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 119/119

High Resolution Digital Imagery for Resource Assessment, October 4-6, 2005, Weslaco, Texas.

Janssen, L.F.L and C.G. Huurneman,2001,Principles of Remote Sensing. ITC Educational Texbooks Series , ITC,

Enshede, Netherlands.

Jun, C., J.Koo, and J.Koh, 2004,Developing a Water Pipe Management System in Seoul Using the GIS ,

International Archives of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, ISPRS, 35

(2), 290-293.

PERPAMSI, 2010, Ringkasan Eksekutif Peta Permasalahan PDAM di Indonesia, Perpamsi, Jakarta