buku jalan lurus

Post on 06-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

dampak narkoba

TRANSCRIPT

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    i i

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    JALAN LURUS

    Dr. Anang Iskandar, S.IK, SH, MH

    i i i

    PENANGANAN PENYALAH GUNANARKOTIKA DALAM KONSTRUKSI

    HUKUM POSITIF

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    iv

    JALAN LURUSPenanganan Penyalah guna Narkotikadalam Konstruksi Hukum Positif

    Penulis : Dr. Anang Iskandar, S.IK, SH, MHDesain Grafis & Layout : Eswe A. Tanpas

    Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangDiterbitkan Oleh tanpas communicationsCetakan Pertama Januari 2015Percetakan : CV. Viva Tanpas - Karawang

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    v

    DAFTAR ISI........................................................................... vKATA PENGANTAR.......................................................... viBAB 1..................................................................................... 1 Kebijakan Global Melawan Kejahatan NarkotikaBAB 2..................................................................................... 7 Kebijakan Negara Melawan Kejahatan NarkotikaBAB 3..................................................................................... 29 Konsepsi Dekriminalisasi Penyalah Guna NarkotikaBAB 4..................................................................................... 37 Distorsi Praktek Penanganan Penyalah Guna NarkotikaDAFTAR PUSTAKA.......................................................... 47RIWAYAT PENULIS........................................................ 53

    DAFTAR ISI

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    vi

    Buku yang tersaji di hadapan pembaca inimenguraikan seputar permasalahan narkotikayang terpetakan dalam dua pokokpermasalahan, yakni permasalahan penyalahgunaan danpermasalahan peredaran gelap narkotika. Dalam bukuini juga disajikan seputar perkembangan kontruksiyuridis dari masa ke masa terkait upaya penangananpenyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

    Dalam menangani permasalahan narkotika, menurut

    KATA PENGANTAR

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    kebijakan global adalah melalui upaya pencegahan danrehabilitasi dengan menyiapkan pelatihan sumberdayamanusia, sarana rehabilitasi serta mensosialisasikankepada masyarakat. Sedangkan melawan peredarangelap narkotika dilakukan dengan menghukumpelakunya secara setimpal berupa hukuman fisik danperampasan aset yang berasal dari tindak pidananarkotika dan memperkuat kerjasama Internasional.

    Selaras dengan kebijakan global, kebijakan legalPemerintah Indonesia yang merupakan politik hukumnegara dalam penanganan kejahatan narkotika adalahdengan memposisikan penyalah guna narkotika sebagaipelaku kejahatan, dalam hal ini sebagai pelaku tindakpidana ringan sebab diancam dengan hukuman 5(lima) tahun ke bawah sehingga dalam proses pidanapelakunya tidak bisa dilakukan penahanan. Selain itu,pelaku penyalahgunaan narkotika juga sekaligus sebagaikorban kejahatan yang harus direhabilitasi. Namundalam praktiknya, dimensi penegakkan hukum lebihdikedepankan sehingga Penyalah guna Narkotikaberakhir di penjara, sementara dimensi kesehatan takpernah diperhatikan dan cenderung terabaikan.

    Padahal UU 35/2009 tentang Narkotika telah mengatur

    vii

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    viii

    dan memberi jalan keluar win-win solution denganmemberikan alternatif penghukuman berupa rehabilitasikepada penyalah guna narkotika. Kewenanganmenempatkan penyalah guna narkotika ke dalamlembaga rehabilitasi dimiliki pihak penyidik, penuntutumum, dan hakim yang mengadili perkara penyalahguna narkotika sesuai tingkat pemeriksaannya. Olehkarena itu, UU 35/2009 tentang Narkotika dapat disebutsebagai UU yang komprehensif, mengikutiperkembangan zaman, sehingga tampilannya nampakseksi dan humanis. Meskipun demikian, masih banyakkalangan yang menilai ambigu, tidak konsisten, tidaktegas, dan saling bertentangan, padahal sesungguhnyatidak demikian.

    Untuk menjamin para penyalah guna narkotikamendapat rehabilitasi, UU 35/2009 tentang Narkotikatelah mencantumkan tujuan atau arah sebagai politikhukum negara dalam menangani penyalah gunanarkotika menyatakan dengan jelas bahwa negaramenjamin upaya rehabilitasi.

    Sebelumnya, saya ucapkan terimakasih kepadaseluruh anggota Forum Mahkumjakpol PlusKemendagri, Kemenkes, dan Kemensos atas

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    dukungannya selama ini sehingga tugas P4GN terasalebih ringan. Terimakasih juga saya sampaikan kepadaseluruh Keluarga Besar BNN yang telah bekerja kerasdalam upaya mengobarkan semangat pembaharuanparadigma penanganan permasalahan narkotika.

    Secara khusus ucapan terima kasih saya sampaikankepada rekan-rekan yang selama ini telah mendukungdan membantu penerbitan buku ini. Andri, Debora, Dito,Miftah, Dewi, Joko, dan semua pihak yang tidak bisadisebutkan satu persatu. Semoga usaha yang kitalakukan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Amin

    Salam Anti Narkotika,Jakarta, Januari 2014

    Dr. Anang Iskandar, S.IK, SH, MHKomisaris Jenderal Polisi

    ix

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    x

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Kebijakan global terkait perlawanan terhadapkejahatan narkotika dimulai dengan adanyaKonvensi Opium di Den Haag Belanda tahun1912. Konvensi ini dilatarbelakangi adanya perdebatanyang melibatkan Belanda dan Amerika. Pihak Amerikabersama beberapa negara Eropa lainnya menentang keraslegalisasi penjualan Opium untuk pembiayaan PerangDunia I. Sementara Belanda menganggap Opium masihdiperlukan sebagai sumber pembiayaan Perang Dunia I

    BAB 1KEBIJAKAN GLOBAL

    MELAWAN KEJAHATANNARKOTIKA

    1

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    tanpa memperhatikan aspek kesehatan.Akhirnya, pada tanggal 23 Januari 1912 digelar

    Konvensi Opium Internasional di Den Haag Belanda.Dalam Konvensi ini Belanda menyatakan bahwa JikaAnda tidak bisa mengalahkan, maka bergabunglah. Halini didasari atas kenyataan bahwa finansial sangatberperan penting dalam Perang Dunia I. Sejarah mencatatbahwa hasil penjualan Opium merupakan bisnis besaryang dijual pada kedua kubu yang saling bertikai selamaPerang Dunia I. Konvensi ini ditanda tangani 12 Negarayang melakukan pengaturan penjualan terhadap 4(empat) jenis narkotika, yaitu: Opium, Heroin, Morfin,dan Kokain, dan tidak melarangnya. Dalam aturantersebut juga tidak mencantumkan pengaturan narkotikasintetis. Hal ini dimaksudkan untuk melindungikepentingan ekonomi Belanda yang bekerja samadengan industri farmasi Jerman. Sejak adanya Konvensiini, Amerika dan Belanda selalu saling bertentangan.

    Pelarangan mengkonsumsi narkotika dimulai sejakdikeluarkannya Single Convention Narcotics 1961. Amerikamempelopori kebijakan pelarangan tegaspenyalahgunaan narkotika. Konvensi ini memaksa setiapnegara anggota mengkriminalisasikan pelaku tindak

    2

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    penyalahgunaan narkotika. Dalam sidang PBB di NewYork 30 Maret 1961 dikeluarkan Single Convention NarcoticDrugs 1961 yang menghasilkan daftar narkotika yangtermasuk dalam pengawasan Internasional (Schedule1961). Setiap Negara anggota harus melaporkanpenggunaan bahan-bahan narkotika tersebut secaraberkala kepada International Narcotics Control Board (INCB).Dalam konvensi tersebut mengelompokkan narkotikamenjadi 4 (empat) daftar golongan. Sementara tentangperawatan penyalah guna narkotika belum diatur. Sebabpada periode ini baru saja dimulai pelarangan kerasterhadap penyalahgunaan narkotika yang dipeloporiAmerika dan beberapa negara Eropa lainnya.

    Pada tanggal 21 Februari 1971 dalam Single Conventionon Psychotrophics Substance Vienna Tahun 1971pembahasan akan arti penting rehabilitasi mulaidilakukan. Dalam konvensi tersebut mulai mempeloporikebijakan pelarangan penyalahgunaan psikotropika yangmenghasilkan daftar psikotropika ke dalam 4 (empat)golongan yang masuk dalam pengawasan internasional(Schedule 1971). Dalam konvensi ini mulai munculpengecualian hukuman terhadap penyalah gunapsikotropika, yakni mengganti hukuman penjara menjadi

    3

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    perawatan, pendidikan, after-care maupun re-integrasisosial.

    Pada tahun 1972 dilakukan amandemen terhadap TheSingle Convention Narcotic Drugs 1961 Geneva denganProtokol 1972. Protokol tersebut ditandatangani padatanggal 25 Maret 1972 yang menekankan perlunyaperawatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.Protokol tersebut juga menambahkan poin mengenaiperawatan, pendidikan, after-care maupun re-integrasisosial sebagai pengganti hukuman terhadap pecanduNarkotika.

    Pada tanggal 19 Desember 1988, pada United NationsConvention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs andPsychotropic Substances 1988 Vienna dibahas mengenaiperlawanan keras terhadap peredaran gelap narkotikadan psikotropika. Konvensi tersebut menekankanlangkah-langkah menyeluruh dalam melawan peredarangelap narkotika yang dilakukan oleh organisasi kriminaltermasuk pencucian uangnya serta pengawasan bahanprekursor. Konvensi ini juga menyediakan dasar hukumekstradisi untuk kasus yang berkaitan dengan narkotikabagi negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisidan menekankan bagi negara anggota untuk saling

    4

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    memberikan bantuan hukum satu sama lainnya dalammemenuhi permintaan yang bertujuan untuk pencarian,penyitaan, maupun pelayanan dokumen yuridis.Konvensi tersebut juga menekankan perawatan,pendidikan, after care serta re-integrasi sosial sebagaipengganti hukuman terhadap penyalah guna danmengelompokan prekursor ke dalam 2 (dua) daftargolongan.

    Pada tahun 1988, dalam sesi khusus sidang majelisumum PBB dikeluarkanlah Political Declaration OnCountering The World Drug Problem 1998 mengenai asas-asas demand reduction narkotika serta langkah-langkahpeningkatan kerjasama internasional untukmenanggulangi permasalahan peredaran gelap narkotikadunia. Pada tanggal 8-10 Juni 1998, sesi spesial MajelisUmum dalam rangka mengatasi permasalahan narkotikadi dunia menghasilkan sebuah deklarasi politik yangmenekankan mengatasi permasalahan narkotika yangterjadi secara global.

    Salah satu aksi yang dihasilkan dalam deklarasi inimemfokuskan pentingnya demand reduction yakniprogram-program pencegahan yang ditujukan kepadakelompok beresiko seperti anak-anak muda. Deklarasi

    5

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    ini juga menekankan kepada Pemerintah untukmenyediakan perawatan, pendidikan, after care dan re-integrasi sosial sebagai pengganti hukuman dalamrangka mendorong Penyalah guna Narkotika supayadapat kembali normal dalam lingkungan sosialnya.

    Pada sidang Commission on Narcotic Drugs (CND) diWina pada tanggal 11-12 Maret 2009 menghasilkanPolitical Declaration and Plan of Action of 2009 yang memuatdeklarasi politik dan rencana aksi mengenai kerjasamainternasional dalam rangka strategi yang seimbang danmenyeluruh untuk mengatasi permasalahan narkotika didunia. Deklarasi politik ini mendasari adanyakeseimbangan langkah demand reduction dan supplyreduction. Keseimbangan langkah inilah yang dijadikandasar oleh Negara-negara peserta sidang dalammengatasi permasalahan narkotika dengan penekananakan pentingnya upaya pencegahan dan perawatanterhadap penyalah guna narkotika.

    6

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Pada awal kemerdekaan, Indonesia menggunakanOrdonansi Obat Bius untuk mengatur masalahnarkotika. Hal ini dalam rangka menanganipermasalahan narkotika yang semakin meluas dimasyarakat dan semakin banyaknya jenis narkotika yangberedar. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyatmemandang perlu segera dibentuk Undang-Undang(UU) yang dapat menjangkau setiap bentukpenyalahgunaan narkotika.

    BAB 2KEBIJAKAN NEGARA

    MELAWAN KEJAHATANNARKOTIKA

    7

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Berdasarkan ketentuan pidana dan acara peradilanpidana, Verdoovende Middelen Ordonantie (VMO)Ordonansi Obat Bius 1927 sudah tidak memenuhi syaratsebagai UU Narkotika dan tidak cocok dengan sistemadministrasi penyelenggaraan peradilan pidana. Padatahun 1971, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden6/1971 tentang Koordinasi Tindakan dan KegiatanDalam Usaha Mengatasi, Mencegah dan MemberantasMasalah Pelanggaran Uang Palsu dan PenggunaanNarkotika. Namun Inpres 6/1971 ini juga belum mampumenjangkau seluruh masalah penyalahgunaan narkotika.Hal ini disebabkan tidak adanya keseragaman pengertiannarkotika, pemberian sanksi yang ringan dan belumadanya badan khusus yang menangani masalahnarkotika serta tidak adanya keserasian ketentuan hukumpidana narkotika.

    Setelah dibentuknya Badan Koordinasi PelaksanaanInpres 6/1971, hal penting yang sangat baik adalahberkembangnya partisipasi masyarakat dalampemberantasan narkotika. Kesadaran sosial yang timbuldalam masyarakat ini didukung kalangan mediakomunikasi massa terutama dari kalangan pers.Partisipasi juga timbul dari kalangan ilmuwan termasuk

    8

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    ahli medis dan ahli hukum. Melalui partisipasi sosial initerungkap dampak permasalahan narkotika yang sangatkompleks, merusak kesehatan dan masa depanperadaban manusia. Sebab dalam tindakanpenyalahgunaan narkotika yang diserang adalah susunansyaraf. Selain itu, salah satu kesulitan pemberantasanperedaran narkotika adalah adanya kesenjangan UU yangberlaku saat itu ditambah dengan kemajuan teknologidan perubahan sosial yang sangat cepat.

    Pada tanggal 26 Juli 1976, pemerintah Indonesiamengadopsi dan memberlakukan UU 8/1976 tentangPengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 besertaProtokol yang mengubahnya. Ini berarti pemerintahIndonesia mengakui paradigma global bahwa narkotikadibutuhkan untuk kepentingan kesehatan, namun dapatmenyebabkan kerusakan besar bagi individu danmembahayakan tatanan kehidupan sosial dan ekonomi.

    Dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 besertaProtokol yang mengubahnya terdapat 2 (dua) poinpenting yang melatarbelakangi setiap produk UUnarkotika di Indonesia, yaitu permasalahanpemberantasan peredaran gelap (Pasal 35 dan Pasal 36tentang Tindakan Melawan Peredaran Gelap Narkotika

    9

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    dan Ketentuan Hukum) dan permasalahanpenyalahgunaan narkotika (Pasal 38 tentang TindakanMelawan Penyalahgunaan Narkotika).

    Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokolyang mengubahnya ini mengatur tentang TindakanMelawan Penyalahgunaan sebagaimana disebutkandalam Pasal 35, yaitu:

    a. Membentuk badan/instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan langkah preventif danrepresif melawan peredaran gelap narkotika;

    b. Saling membantu dalam melakukan kampanyemelawan terhadap penyalahgunaan dan peredarangelap narkotika;

    c. Saling bekerja sama dengan organisasi internasionaldan menjaga agar kerja sama dilakukan dengan carayang cepat tanpa adanya prasangka untukmewajibkan melalui jalur diplomatik;

    d. Memberikan informasi kepada sekretaris jenderalberkenaan dengan kegiatan daerah perbatasantermasuk tentang kultivasi, produksi, pembuatandan penggunaan serta peredaran gelap narkotika.

    Sementara dalam Pasal 36 tentang Ketentuan Hukumdisebutkan sebagai berikut:

    10

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    a. Tunduk pada pembatasan konstitusi. Setiap Pihak(Pemerintah RI) harus mengadopsi langkah-langkah yang akan menjamin agar kultivasi,produksi, pembuatan, ekstraksi, pengolahan,kepemilikan, penawaran untuk penjualan,distribusi, penjualan, pembelian, pengantarandengan persyaratan apapun, perdaganganperantara, pengiriman, pengiriman dalam transit,pengangkutan, pengimport, pengekspor narkotikayang berlawanan dengan ketentuan dari konvensiini dan tindakan apapun yang menurut pendapatdari pihak bersangkutan (Pemerintah RI)merupakan suatu pelanggaran yang patut dihukumapabila dilakukan dengan sengaja dan pelanggaranbesar yang dapat dikenakan hukuman, khususnyadengan hukuman kurungan atau hukuman lainberupa kehilangan kebebasan.

    b. Walaupun dengan adanya ketentuan di atas, apabilapenyalah guna telah melakukan pelanggaran ini,pihak (Pemerintah RI) dapat memberikan suatupengganti atau alternatif untuk hukuman atautambahan dari hukuman bahwa penyalah gunaharus menjalani tindakan perawatan, pendidikan,

    11

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    after care, rehabilitasi dan re-integrasi sosial.Pada pasal 38 tentang Tindakan Melawan

    Penyalahgunaan Narkotika disebutkan sebagai berikut:a. Para pihak (Pemerintah RI) harus memberikan

    perhatian khusus kepada penyalah guna narkotikadan melakukan semua tindakan untuk mencegahdan mengidentifikasi dini, perawatan, pendidikan,after care, rehabilitasi, dan re-integrasi sosial dariorang yang terlibat, serta mengkoordinasikan segalaupaya mereka untuk tujuan ini.

    b. Sedapat mungkin para pihak (Pemerintah RI) harusmemajukan pelatihan personil di bidang perawatan,after care, rehabilitasi, dan re-integrasi sosial bagipenyalah guna narkotika.

    c. Para pihak (Pemerintah RI) harus melakukan segalaupaya untuk membantu masyarakat memperolehpemahaman atas masalah penyalahgunaannarkotika dan tentang pencegahannya. Para pihakjuga harus memajukan pemahaman tersebutdiantara masyarakat umum apabila terdapat resikopenyalahgunaan narkotika akan meluas.

    Semangat konvensi tersebut adalah mengancam danmenghukum para pengedar termasuk penyalah guna

    12

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    narkotika dengan hukuman pidana. Namun khususterhadap penyalah guna narkotika yang terlanjurmelakukan tindak pidana, pemerintah dapat memberikansuatu pengganti atau alternatif hukuman atau hukumantambahan. Intinya, bahwa penyalah guna narkotika harusmenjalani tindakan perawatan, pendidikan, after care,rehabilitasi dan re-integrasi sosial dan terhadappenanganan masalah penyalahgunaan narkotikasemangatnya adalah pemerintah memberikan perhatiankhusus pada pencegahan dan rehabilitasi sertamengkoordinasikan segala upaya untuk tujuan tersebut.

    Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokolyang mengubahnya inilah yang menjadi dasar pemerintahIndonesia dalam menyusun UU 9/1976 tentangNarkotika. Sehingga semangatnya adalahmemperlakukan penyalah guna narkotika diancamdengan pidana, namun apabila telah melakukandiberikan alternatif penghukuman berupa rehabilitasidan pengedar yang dalam keadaan ketergantungandiberikan akses rehabilitasi dengan dijatuhi hukumanrehabilitasi sebagai hukuman tambahan. Oleh karena itu,UU 9/1976 mengatur berbagai hal yang tertuang dalamkonvensi tunggal tentang narkotika dan protokol yang

    13

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    mengubahnya antara lain permasalahan penyalah gunanarkotika yang diancam pidana (Pasal 36 ayat 7).

    Namun setelah penyalah guna narkotika tersebutmelakukan tindak pidana dan menjalani prosespertanggungan jawab pidana, hakim diberi kewenanganmemutuskan yang bersalah menjalani rehabilitasi (Pasal33). Selain itu juga memuat ketentuan mengenai wajiblapor bagi orang tua atau wali agar pecandu narkotikamendapatkan perawatan dan pengobatan (Pasal 32).Memuat pula mengenai ketentuan rehabilitasi bagipecandu narkotika (Pasal 34) dan tentang ketentuanhukum kejahatan narkotika yang ditujukan kepada parapengedar narkotika (Pasal 36).

    Dalam perkembangannya, kuantitas kejahatanpenyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahunke tahun. Hal ini seiring dengan meningkatnya operasiperedaran narkotika ilegal oleh jaringan sindikatinternasional ke negara-negara berkembang. Padaawalnya Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, danPapua New-Guinea hanya dijadikan sebagai negara-negara transit (transit states) oleh jaringan sindikatinternasional untuk operasi perdagangan narkotikainternasional ke Australia dan Amerika Serikat dari pusat

    14

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    produksi dan distribusi narkotika di wilayah segi tigaemas (the golden triangle) yang terletak di daerahperbatasan antara Thailand, Laos, dan Kamboja. Namunsejak akhir tahun 1993 wilayah Indonesia mulai dijadikansebagai negara tujuan perdagangan narkotika ilegal.

    Terkait dengan modus operandi kejahatan narkotikayang semakin intensif dan canggih sementara UU 9/1976tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasipermasalahan narkotika, maka pemerintah memandangperlu mengadopsi United Nations Conventions Againts IllicitTraffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988yang merupakan penegasan dan penyempurnaan atasprinsip-prinsip dan ketentuan yang telah diatur dalamKonvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yangmengubahnya untuk menjadi instrumen hukum yanglebih efektif dalam pemberantasan peredaran gelapnarkotika dan psikotropika.

    Pada tanggal 24 Maret 1997, Pemerintahmengundangkan UU 7/1997 tentang Pengesahan UnitedNation Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic DrugsAnd Psychotropic Substances 1988 yang diantaranyamengatur tentang:

    Para pihak dalam hal ini pemerintah akan mengambil

    15

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    tindakan yang perlu untuk menetapkan setiap peredarangelap narkotika dan psikotropika sebagai tindakankejahatan. Pengertian peredaran mencakup berbagaikegiatan dari awal yaitu penanaman, produksi,penyaluran, dan lalu lintas pengedaran pemakaiannyatermasuk pemakaian pribadi. Terhadap kejahatantersebut dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjaraatau perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan asetsejauh dapat dibuktikan sebagai hasil kejahatan.Disamping itu, pelakunya dapat dikenakan pembinaan,purna rawat, rehabilitasi atau re-integrasi sosial. Dengandemikian, menurut UU 7/1997 ini pelaku kejahatannarkotika dapat dikenakan sanksi pidana dan sanksitambahan berupa rehabilitasi.

    Selanjutnya, pada tanggal 1 September 1997pemerintah mengundangkan UU 22/1997 dimanakonvensi PBB tersebut dijadikan sebagai salah satu dasaruntuk mengganti UU 9/1976 tentang Narkotika. Secarasubstansi tidak banyak berbeda dengan UU 9/1976.Perbedaan yang menonjol adalah tentang ketentuanhukum ditujukan kepada para pengedar yang diuraikansecara lengkap terdiri dari 23 pasal. Tujuan UU 22/1997tentang Narkotika yang merupakan bentuk politik

    16

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    hukum negara disebutkan sebagai berikut:a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk

    kepentingan pelayanan kesehatan dan/ataupengembangan ilmu pengetahuan;

    b. Mencegah penyalahgunaan narkotika; danc. Memberantas peredaran gelap narkotika.Dengan berlakunya UU 22/1997 tentang Narkotika

    tersebut memposisikan Indonesia di kancah duniainternasional sebagai Negara yang mendukung gerakanperang terhadap narkotika dan obat-obatan berbahayaserta tetap mengancam pidana pengguna narkotikauntuk diri sendiri sebagai pelaku kejahatan yang harusdihukum (Pasal 85). Selain itu, UU 22/1997 ini jugamengatur tentang kewajiban menjalani pengobatan dan/atau perawatan (Pasal 46).

    Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatanpenyalah guna narkotika dapat memiliki, menyimpan,dan membawa narkotika dengan menunjukkan buktibahwa narkotika yang dimiliki, disimpan dan/ataudibawa diperoleh secara sah. Untuk menurunkanprevalensi penyalah guna narkotika, UU 22/1997mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diriatau keluarganya melaporkan kepada pejabat yang

    17

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatandan/atau perawatan (Pasal 45).

    Dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah sesuaiUU 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi TunggalNarkotika 1961 beserta Protokol yang mengubahnya(khususnya pasal 36 hurup b), terhadap penyalah gunanarkotika UU 22/1997 ini memberi kewenangan hakimuntuk dapat memutuskan memerintahkan danmenetapkan penyalah guna narkotika menjalanipengobatan dan/atau perawatan, serta masa menjalanipengobatan dan/atau perawatan diperhitungkan sebagaimasa menjalani hukuman. Selain itu, memuat tentangketentuan hukum terhadap pecandu dan keluarganyayang tidak memenuhi kewajiban melaporkan akandiancam dengan pidana (Pasal 88) dan ketentuan hukumkejahatan narkotika yang ditujukan kepada para pengedarnarkotika (Pasal 78 - 100).

    Selanjutnya, pada Sidang Umum MPR 2002 melaluiketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002merekomendasikan kepada DPR RI dan Presiden RIuntuk melakukan perubahan atas UU 22/1997.Perubahan ini dalam rangka meningkatkan pencegahandan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

    18

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    gelap narkotika yang secara nyata sangat merusak tatanankehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    Saat ini, Indonesia menggunakan UU 35/2009 yangantara lain mengatur tentang tindakan melawanpenyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Isikandungan UU 35/2009 secara garis besar dapatdijelaskan sebagai berikut:

    Pertama, mengatur tentang kewajiban pecandunarkotika melaporkan diri kepada pusat kesehatanmasyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasimedis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban ini juga menjaditanggung jawab orang tua dan keluarga. Bagi merekayang melaporkan diri ke Institusi Penerima Wajib Lapor(IPWL) diberikan perawatan yang ditanggungpemerintah dan status kriminalnya berubah menjaditidak dapat dituntut pidana (Pasal 128). Rehabiltasimedis dan sosial dapat diselenggarakan instansipemerintah maupun komponen masyarakat.

    Kedua, Penyalah guna narkotika diancam denganpidana paling lama 4 tahun karena sebagai tindak pidanaringan. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 21 KUHAPmaka penyalah guna narkotika selama proses pidanatidak memenuhi syarat dilakukan penahanan oleh

    19

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    penyidik atau penuntut umum dan sejauh mungkinditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakantempat perawatan (penjelasan pasal 21 KUHAP). Penegakhukum (penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim)diberi kewenangan menempatkan penyalah guna untukdiri sendiri ke lembaga rehabilitasi sesuai tingkatpemeriksaannya (Pasal 13 huruf 4 PP 25/2011). Masapenempatan rehabilitasi dalam rangka menjalanipengobatan dan/atau perawatan diperhitungkan sebagaimasa menjalani hukuman (Pasal 103). Hakim dalammemeriksa penyalah guna narkotika untuk diri sendiridiberikan kewenangan untuk memutuskanmemerintahkan dan menetapkan penyalah gunanarkotika menjalani pengobatan dan/atau perawatanbaik yang bersangkutan terbukti bersalah maupunterbukti tidak bersalah.

    Dengan dikeluarkannya Surat Edaran MahkamahAgung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2009 yang kemudiandiganti dengan SEMA Nomor 04 Tahun 2010 tentangPenempatan Penyalahgunaan, Korban PenyalahgunaanNarkotika dan Pecandu Narkotika ke dalam LembagaRehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial menunjukkansecara jelas bahwa terdapat upaya yang sungguh-

    20

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    sungguh untuk tidak menghukum penjara terhadappecandu dan penyalah guna narkotika. Selain itu jugauntuk memberikan kriteria secara jelas antara penyalahguna dan pengedar narkotika berdasarkan barang buktiketika tertangkap tangan.

    Barang bukti hanya merupakan salah satu alat bukti,sedangkan pembuktian minimal harus ada 2 (dua) alatbukti. Apabila dalam proses peradilan terbukti adanyatindak peredaran yang dilakukan terdakwa meskipunbarang bukti narkotika yang dimiliki di bawah batasmaksimal, tentu saja sangat sah bagi hakim untukmenjatuhkan vonis sebagai pengedar/bandar.

    Dengan ketentuan tersebut, dunia peradilan Indonesiasebetulnya telah membuka mata tentang hakekatpenyalah guna narkotika. Dalam konteks ilmu hukumkhususnya viktimologi, memposisikan penyalah gunanarkotika sebagai korban dalam keadaan sakitketergantungan kronis yang memerlukan rehabilitasi.Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dilegitimasisehingga selama perang terhadap narkotika yang selaludikumandangkan adalah memasukkan pecandu danpenyalah guna narkotika ke dalam tahanan atau penjara.Dengan demikian, hak-hak korban untuk mendapatkan

    21

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    pelayanan kesehatan dan perlakuan khusus dalam halini rehabilitasi menjadi hilang.

    Menurut UU 8/1976 tentang Pengesahan KonvensiTunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yangmengubahnya, yang sampai saat ini masih berlaku danmenjadi dasar UU Narkotika menyatakan walaupunpenyalahgunaan narkotika diancam dengan pidana,namun apabila penyalah guna narkotika telah melakukanpelanggaran pidana dapat diberikan suatu pengganti(alternatif) hukuman. Penyalah guna narkotika harusmenjalani tindakan perawatan, pendidikan, after care,rehabilitasi dan re-integrasi sosial (Pasal 36).

    Ketiga, pecandu dan korban penyalahgunaannarkotika wajib direhabilitasi (Pasal 54). Menurut pasalini, pecandu narkotika yang bermasalah dengan hukumwajib mendapatkan hukuman rehabilitasi. Pecandunarkotika adalah orang yang menggunakan ataumenyalahgunakan dan dalam keadaan ketergantungannarkotika baik fisik maupun psikis, oleh karena itu faktorketergantungan narkotika inilah yang sangat pentinguntuk dimunculkan oleh penegak hukum (penyidik,jaksa penuntut umum, dan hakim) yang menanganiperkara pecandu narkotika. Sebab, hakim dalam

    22

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    persidangan diberikan kewenangan untuk memberikanalternatif penghukuman berupa hukuman rehabilitasi.Penyalah guna narkotika untuk diri sendiri harusmenjalani tindakan rehabilitasi baik terbukti bersalahmaupun tidak terbukti bersalah (Pasal 103).

    Keempat, UU 35/2009 menjamin penyalah gunanarkotika yang ditangkap penyidik narkotika (penyalahguna narkotika yang bermasalah dengan hukum)dihukum rehabilitasi, meskipun melarang pemakaianuntuk diri sendiri (Pasal 127). Untuk menjamin penyalahguna narkotika dihukum rehabilitasi, UU 35/2009mencatumkan secara eksplisit politik hukum pemerintahyang dinyatakan secara jelas dalam tujuannyasebagaimana dalam pasal 4. Hal ini supaya masyarakatdan penegak hukum mengetahui arah yang harus ditujudalam mengatasi penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika. Adapun pasal 4 UU 35/2009 berbunyi:

    a. Menjamin ketersediaan narkotika untukkepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan danteknologi. Terhadap peredaran legal untukkepentingan kesehatan diatur dan diawasi secaraketat agar tidak menjadi sumber peredaran gelapnarkotika.

    23

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsaIndonesia dari penyalahgunaan narkotika.Mencegah dilakukan terhadap mereka yang belummenggunakan narkotika dan dicegah jangan sampaimenggunakan, melindungi khususnya terhadapkorban penyalahgunaan narkotika yaitu merekayang dipaksa, ditipu untuk menggunakannarkotika, menyelamatkan penyalah guna narkotikakhususnya penyalah guna narkotika yang dalamkeadaan ketergantungan narkotika baik fisikmaupun psikis.

    c. Memberantas peredaran gelap narkotika.Memberantas dalam hal ini adalah terhadapperedarannya yang didalamnya terdapat bandar,produsen, kurir, pengedar, dan mereka yangmemperdagangkan narkotika.

    d. Menjamin upaya pengaturan rehabilitasi medis danrehabilitas sosial bagi penyalah guna dan pecandu.Pada prinsipnya penyalah guna untuk diri sendiriharus direhabilitasi. Apabila tidak direhabilitasi,mereka akan berkarir sebagai pecandu narkotika.Sementara pecandu narkotika yang tidakdirehabilitasi akan merugikan masa depan diri

    24

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    mereka sendiri, masa depan bangsa dan Negara.Kelima, upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

    dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupunkomponen masyarakat melalui pendekatan keagamaandan tradisional (Pasal 57). Pembinaan terhadappeningkatan kemampuaan lembaga rehabilitasi pecandunarkotika merupakan tugas pemerintah (Pasal 60).

    Keenam, masyarakat mempunyai kesempatan yangseluas-luasnya untuk berperan serta dan mempunyai hakdan tanggung jawab dalam upaya pencegahan danpemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika.

    Ketujuh, UU 35/2009 bersifat sangat keras terhadappara pengedar dengan memberlakukan hukumanminimal paling rendah dan mengancam denganhukuman mati secara selektif (pasal 113, 114, 116, 118).UU 35/2009 ini menganut double track system pemidanaanterhadap tersangka penyalahgunaan narkotika yangsedang menjalani proses pertanggungjawaban pidana.Mereka dapat dihukum pidana dan dapat dihukumrehabilitasi atau dihukum pidana dan ditambahhukuman rehabilitasi (Pasal 36 UU 8/1976 dan Pasal 103UU 35/2009).

    25

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Kedelapan, mengatur tindak pidana pencucian uangyang berasal dari tindak pidana narkotika dan perkursornarkotika. Aset tersangka dalam bentuk benda bergerakmaupun tidak bergerak dirampas untuk negara sertadiberlakukan pembuktian terbalik di sidang pengadilan(Pasal 136 dan 137). Hakim diberi kewenangan memintaterdakwa membuktikan seluruh harta kekayaan dan hartabenda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasibukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika danprekursor narkotika yang dilakukan terdakwa (Pasal 98).Hasil tindak pidana narkotika dan tindak pidanapencucian uang dari tindak pidana narkotika danprekursor narkotika berdasarkan keputusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampasuntuk negara dan digunakan untuk kepentinganpelaksanaan pencegahan dan pemberantasanpenyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika danupaya rehabilitasi medis dan sosial (Pasal 101).

    Kesembilan, mengancam aparat penegak hukumdengan pidana apabila tidak melaksanakan tugas sesuaiaturan. Penyidik PNS, penyidik Polri, dan penyidik BNNyang tidak melaksanakan kewajibannya ketika melakukanpenyitaan, penyisihan barang sitaan untuk sampel

    26

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    pengujian laboratorium diancam dengan pidana (Pasal 87,88, 89 dan 90). Kepala Kejaksaan Negeri yang tidakmelaksanakan kewajiban untuk menetapkan barangsitaan, penyidik Polri dan penyidik BNN tidak memenuhikewajiban untuk memusnahkan narkotika yangditemukan diancam dengan pidana (Pasal 91 dan 92).

    Kesepuluh, merupakan kesimpulan UU 35/2009 yangmengatur upaya mencegah dan memberantaspenyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Upayapertama dari sisi demand yakni mencegah jangan sampaiterjadi Penyalah guna Narkotika baru. Penyalah gunaNarkotika yang lama direhabilitasi dengan cara melapordiri ke IPWL untuk mendapatkan penyembuhan.Apabila tidak melapor ke IPWL akan menjadi sasaranpenyidik untuk ditangkap yang selanjutnya dipaksaditempatkan di lembaga rehabilitasi sebagai bentukhukuman karena masa menjalani rehabilitasi dihitungsebagai masa menjalani hukuman (Pasal 103 ayat 2).Upaya kedua memberantas peredaran gelap Narkotikadengan sasaran mulai dari kultivasi, produksi, bandar,pengedar, kurir dengan hukuman setimpal dan secarasimultan dilakukan penuntutan tindak pidana pencucianuang dengan merampas aset yang dimiliki para pengedar

    27

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    dan diberlakukan dengan pembuktian terbalik dipengadilan. Upaya ketiga adalah mendorong masyarakatagar berperan serta seluas luasnya dalam upayapencegahan maupun pemberantasan.

    28

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Dekriminalisasi penyalah guna Narkotikadalam konstruksi hukum positif di Indonesiamerupakan sebuah terobosan hukum darihasil kajian hukum terhadap permasalahan Narkotikayang tak kunjung usai. Dekriminalisasi penyalah gunaNarkotika merupakan model penghukuman non-kriminal sebagai salah satu paradigma hukum modernyang bertujuan menekan demand dan sekaligus menekansupply reduction narkotika ilegal sehingga berdampakpada penurunan prevalensi penyalah guna Narkotika.

    BAB 3KONSEPSI

    DEKRIMINALISASIPENYALAH GUNA NARKOTIKA

    29

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Pada tahun 2005, Badan Pemerintah Pusat Uni Eropaatau European Monitoring Centre for Drugs and DrugAddiction (EMCDDA) mengeluarkan definisidekriminalisasi sebagai berikut: Dekriminalisation of drugpossession or use as removel of sanctions under criminal law,with optional use of administrative sanctions, such as theapplication of civil fines or court ordered therapeutic responses.Dekriminalisasi penyalah guna narkotika berbedadengan konsepsi dekriminalisasi induk yang secarabaku diartikan sebagai proses menghilangkan/menghapus ancaman pidana suatu perbuatan pidanayang semula dinyatakan tindak pidana menjadi bukantindak pidana. Oleh karena itu, dekriminalisasi penyalahguna Narkotika bukan diartikan sebagai legalisasiterhadap penggunaan Narkotika.

    Dekriminalisasi penyalah guna Narkotika dapatdideskripsikan bahwa penyalah guna yang membawa,memiliki, menguasai, mengkonsumsi Narkotika dalamjumlah tertentu untuk pemakaian sehari merupakanperbuatan melanggar hukum, namun apabila yangbersangkutan melakukan pelanggaran hukum tersebutdiberikan hukuman pengganti berupa hukumanrehabilitasi (Anang Iskandar, 2014).

    30

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Memang dalam UU 35/2009 tentang Narkotika tidaksecara eksplisit menyebutkan tentang dekriminalisasipenyalah guna Narkotika, namun nuansa dekriminalisasipenyalah guna Narkotika sangat kental dalam konstruksikebijakan hukum dan politik hukum negarasebagaimana termaktub dalam sejumlah pasal UU 35/2009. Misalnya pasal 4 khususnya huruf (b) dan (d),yakni: (b). mencegah, melindungi, dan menyelamatkanbangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; (d).menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosialbagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

    Selain itu, nuansa dekriminalisasi penyalah gunanarkotika juga sangat kental dan relevan dengansejumlah pasal batang tubuh UU Narkotika yang berlakusecara positif. Misalnya, pasal 127 menyebutkan bahwapenyalah guna narkotika diancam dengan hukumanpidana 4 (empat) tahun. Untuk mengetahui peranantersangka sebagai penyalah guna atau pengedar danuntuk mengetahui kadar ketergantungan narkotikanya,maka harus dilakukan asessment. Apabila peranannyasebagai pengguna narkotika dan dalam keadaanketergantungan (dalam hal ini disebut pecandunarkotika), maka tersangka dalam mempertanggung

    31

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    jawabkan proses pidana tidak memenuhi syaratdilakukan penahanan sebagaimana pasal 21 KUHAP.

    Hakim pun dalam memutuskan perkara pecandunarkotika wajib memperhatikan pasal 54, 55, dan 103 UU35/2009. Apabila tersangka terbukti bersalah maupuntidak terbukti bersalah, hakim harus menjatuhkanhukuman rehabilitasi dimana masa menjalanirehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalanihukuman (Pasal 103 ayat 2). Sebagaimana disebutkandalam pasal 54 UU 35/2009 bahwa pecandu narkotikadan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalanirehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

    Selain itu, dalam pasal 55 UU 35/2009 disebutkanbahwa orang tua atau wali pecandu narkotika yang belumcukup umur wajib melaporkan untuk mendapatkanrehabilitasi, sedangkan pecandu narkotika sudah cukupumur wajib melaporkan dirinya untuk mendapatkanrehabilitasi. Pecandu narkotika yang sudah mengikutiwajib lapor tidak dituntut pidana (Pasal 128).

    Semenjak Indonesia mengadopsi KonvensiInternasional tentang Narkotika 1961 yang selanjutnyadisahkan dengan UU 8/1976 tentang PengesahanKonvensi Narkotika 1961 dan Protokol yang

    32

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    mengubahnya dan dijadikan dasar penyusunan UU 9/1976 tentang Narkotika, sejatinya Indonesia telahmendekriminalisasi penyalah guna narkotika denganadanya ketentuan penghukuman alternatif. Masamenjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masamenjalani hukuman dan memberikan kewenangankepada hakim untuk menghukum perkara pecandunarkotika dengan hukuman rehabilitasi kepadatersangka yang terbukti bersalah maupun tidak terbuktibersalah (Pasal 33 UU 9/1976).

    Dalam diskursus hukum, penyalah guna narkotikamerupakan pelaku kejahatan yang sekaligus menjadikorban kejahatan narkotika yang bersifat adiktif yangmembutuhkan perlakuan khusus, yakni rehabilitasi.Perlakuan khusus ini untuk mengembalikan mereka agarpulih menjadi warga negara yang mampu berperandalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstruksihukum UU 35/2009 tentang Narkotika yang menganutdouble track system pemidanaan dimana penyalah gunanarkotika dapat dihukum rehabilitasi sebagai alternatifhukuman penjara seperti ini, membutuhkan integritasdan profesionalitas penegak hukum khususnya penyidiknarkotika sebagai penentu langkah awal jalan

    33

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    penanganan Penyalah guna Narkotika sebagaimanapolitik hukum Negara.

    Dekriminalisasi penyalah guna narkotika denganberbagai variasinya yang berlaku pada sejumlah negaraumumnya bersumber pada Konvensi Narkotika 1961dan Protokol yang mengubahnya. Di Belanda,kepemilikan semua jenis narkotika adalah pelanggaranhukum pidana tetapi kepemilikan dengan jumlah keciluntuk kepentingan pribadi hanya merupakanpelanggaran ringan. Penggunaan narkotika untukkepentingan pribadi masih ditoleransi oleh penegakhukum. Itulah sebabnya Pemerintah Kota Amsterdammengijinkan coffee shop yang menjual narkotika denganjumlah dan jenis yang terbatas. Model dekriminalisasipenyalah guna narkotika yang berlaku di Belandaternyata berdampak pada menurunnya penggunanarkotika pemula dan penggunaan hard drug.

    Berbeda dengan Belanda, dekriminalisasi Penyalahguna Narkotika di Portugal diatur dalam UU NarkotikaPortugal dalam pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwapembelian, kepemilikan, dan penggunaan narkotikauntuk kepentingan pribadi selama 10 hari merupakanpelanggaran hukum administrasi. Apabila

    34

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    kepemilikannya melebihi batas pemakaian selama 10hari, maka secara hukum pemilik narkotika tersebutdikategorikan sebagai pengedar meskipun penggunaannarkotika tetap dilarang. Dampak dekriminalisasipenyalah guna narkotika di Portugal adalah terjadinyapenurunan angka penggunaan narkotika di kalangan usiaproduktif, penurunan ketertarikan penggunaan narkotikadan peredaran gelap narkotika, serta penurunan drastispengidap HIV, hepatitis, dan kematian yang diakibatkanpenggunaan narkotika.

    Sedangkan di negara bagian New South Wales, bentukdekriminalisasi Penyalah guna Narkotika merupakanprogram Polisi yang dikenal dengan program diversi.Dimana Polisi dapat menawarkan kepada yangtertangkap atas pelanggaran cannabis dengan jumlahtertentu untuk menjalani program rehabilitasi. Bagimereka yang diketahui memiliki, menguasai ataumenggunakan cannabis untuk kepentingan pribadi dapatmenjalani program diversi. Dampaknya, terjadinyapenurunan tingkat penggunaan cannabis dan biayapenegakan hukum.

    Konsepsi dekriminalisasi penyalah guna narkotikayang berupaya lebih mendekatkan penyalah guna

    35

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    narkotika terhadap akses rehabilitasi diharapkan dapatmemulihkan mereka yang telah terlanjur menjadipenyalah guna narkotika, sehingga mereka tidak akanterbebani dengan kerugian sosial maupun ekonomi sertamasa depan mereka dapat terselamatkan menjadi lebihbaik. Hal tersebut juga akan berdampak padamenurunnya permintaan atau kebutuhan narkotikasehingga bisnis narkotika cenderung menjadi bisnis yangtidak menarik dan tidak laku.

    Dampak sesungguhnya yang diinginkan daripelaksanaan dekriminalisasi penyalah guna narkotikaadalah munculnya keinginan masyarakat yang sudahterlanjur mengkonsumsi narkotika untuk menyembuh-kan diri secara sukarema atau mandiri dan memenuhikewajibannya sebagaimana diatur dalam UU 35/2009untuk melaporkan diri secara sukarela ke InstitusiPenerima Wajib Lapor (IPWL) supaya mendapatkanperawatan dan tidak dituntut pidana (Pasal 128).Ekspektasi ini sesungguhnya sejalan dengan roh UU 35/2009 yang hendak menyelamatkan Bangsa Indonesia daripenyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sertamenjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosialbagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

    36

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Selama ini kebijakan legal terkait rehabilitasipenyalah guna narkotika masih belumsepenuhnya terimplementasi dengan baik. Hal iniakibat adanya tarik menarik diantara para pengambilkebijakan di bidang kesehatan dan penegak hukumterkait cara penanganan penyalah guna narkotika untukdiri sendiri. Tarik menarik ini terjadi karena posisiPenyalah guna Narkotika yang secara formal berada padadua dimensi, yakni dimensi kesehatan dan dimensi

    BAB 4DISTORSI PRAKTEK

    PENANGANANPENYALAH GUNA NARKOTIKA

    37

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    hukum. Penyalah guna Narkotika merupakan seorangpelaku kriminal yang diancam pidana, namun pada sisilain penyalah guna narkotika yang dalam keadaanketergantungan narkotika baik fisik maupun psikis(pecandu narkotika) merupakan orang sakit yang wajibdirehabilitasi agar dapat pulih.

    Tarik menarik ini terjadi dalam kurun waktu yangcukup lama yakni sejak berlakunya UU 8/1976 tentangPengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 besertaProtokol yang mengubahnya dan pemberlakuan UU 9/1976 tentang Narkotika. Tarik menarik ini terus berlanjutpada pemberlakuan UU 7/1997 tentang PengesahanUnited Nations Convention Againts Illicit Traffic in NarcoticDrugs and Psychotropic Substances hingga pengesahan UU22/1997 tentang Narkotika. Bahkan hingga kini pundengan pemberlakuan UU 35/2009 tentang Narkotikanuansa tarik menarik masih sangat kental.

    Selama ini, tarik menarik ini dimenangkan dimensipenegakan hukum dengan indikasi pemberlakuanhukuman penjara tanpa akses rehabilitasi kepadapenyalah guna narkotika yang tertangkap mengkonsumsiatau menggunakan narkotika untuk diri sendiri. Padahalkontruksi hukum UU 35/2009 tentang Narkotika

    38

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    mengamanatkan kepada penegak hukum yangmenangani penyalahgunaan narkotika agar menjaminupaya pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasisosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.Amanat secara khusus diberikan kepada para hakim yangmemeriksa dan mengadili perkara penyalah gunanarkotika (tersangka penyalah guna dan dalam keadaanketergantungan). Kepada tersangka penyalah gunanarkotika yang terbukti bersalah, hakim dapatmemutuskan memerintahkan yang bersangkutanmenjalani rehabilitasi. Begitu pula kepada tersangkapenyalah guna narkotika yang tidak terbukti bersalah,hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yangbersangkutan menjalani rehabilitasi.

    Hukuman rehabilitasi merupakan hukuman palingtepat bagi penyalah guna narkotika yang bermasalahdengan hukum sebagai alternatif atau penggantihukuman, dimana penyalah guna narkotika harusmenjalani tindakan perawatan, pendidikan, after care,rehabilitasi dan re-integrasi sosial (Pasal 36 UU 8/1976).Masa menjalani rehabilitasi pun diperhitungkan sebagaimasa menjalani hukuman (103 ayat 2 UU 35/2009). Haltersebut merupakan amanat UU 8/1976 tentang

    39

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika dan Protokolyang mengubahnya dan UU 7/1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Againts Illicit Traffic InNarcotic Drugs And Psycotropic Substances 1988, dantelah diterjemahkan dalam pasal 4 huruf (d) UU 35/2009yang menjiwai sejumlah pasal didalamnya. Pada intinya,penyalah guna narkotika diancam pidana, namun apabilayang bersangkutan telah melakukan kejahatan ini,disidik, dituntut, dan diputuskan oleh hakim makadijamin oleh UU akses rehabilitasinya supaya merekadapat dipulihkan kembali. Pemerintah pun berkewajibanmenyiapkan sumber daya rehabilitasi untukmemulihkan dan melakukan reintegrasi sosial agarmereka dapat kembali menjalani kehidupan secaranormal.

    Pembangkangan HukumBerdasarkan fakta empiris menunjukan bahwa masih

    jamak terjadi penyelewengan atau pembangkanganhukum oleh para penegak hukum narkotika, khususnyadalam menangani perkara penyalah guna narkotikauntuk diri sendiri. Penyidik dan penuntut umum dalammemeriksa tersangka penyalah guna narkotika tidak

    40

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    sepenuhnya mengacu dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum dalam UU Narkotika yang berlaku (UU8/1976 Pengesahan konvensi tunggal tentang narkotika1961 dan Protokol yang mengubahnya, UU 7/1997Pengesahan Konvensi PBB tentang PemberantasanPeredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 yangmenjadi dasar pembentukan UU 35/2009 tentangNarkotika). Penyidik dan penuntut umum tidak pernahatau enggan meminta asesment atau keterangan ahliterkait kondisi ketergantungan baik fisik maupun psikispenyalah guna narkotika yang ditangkap dengan indikasisebagai pecandu narkotika (yakni mereka yangmembawa, memiliki, menguasai narkotika dalam jumlahtertentu untuk pemakaian satu hari). Keengganan inilahyang menyebabkan para penegak hukum narkotika dandibarengi jalan pintas memperlakukan mereka sepertihalnya tersangka pengedar narkotika. Mereka dikenakanpenahanan dan pasal berlapis. Selama ini, dalam kasuspenyalah guna narkotika untuk diri sendiri sangat jarangyang diberkas dengan pasal tunggal, dalam hal ini pasal127.

    Terkait keengganan kalangan penyidik narkotikamemintakan asesment untuk mengetahui keadaan

    41

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    ketergantungan narkotika baik fisik maupun psikistersangka dikarenakan hal ini dianggap sebagai bebankerja. Selain itu, hasil penyidikan selama ini dianggaplengkap oleh penuntut umum dan penuntut umum puntidak mensyaratkan faktor ketergantungan narkotikapada tersangka.

    Parahnya, para penuntut umum selalu mengaminiberkas perkara yang dibuat penyidik yang tanpa disertairekomendasi atau keterangan ahli menyangkut kondisiketergantungan baik fisik maupun psikis tersangka.Penuntut umum pun melanjutkan penahanan tersangkayang semula sudah ditahan penyidik sekaligus menuntutdengan sejumlah pasal sebagaimana yang terdapat dalamberkas perkara yang telah dibuat penyidik. Dengankontruksi dakwaan berdasarkan berkas perkara (BAP)hasil penyidikan yang demikian ini, maka jarang sekalihakim menggunakan kewenangannya memutus danmenetapkan memerintahkan kepada tersangka untukmenjalani rehabilitasi. Inilah sebabnya para hakim masihmenghukum penjara kepada para Penyalah gunanarkotika untuk diri sendiri. Kendatipun dalam beberapakasus terdapat hakim yang memutuskan rehabilitasipenyalah guna narkotika, terutama kepada tersangka

    42

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    publik figur. Hal ini pun karena adanya desakan darisejumlah kalangan masyarakat dan pers.

    Padahal penempatan penyalah guna narkotika untukdiri sendiri ke dalam lembaga rehabilitasi sebagaimanaamanat UU merupakan kewenangan penyidik danpenuntut umum sesuai tingkat pemeriksaannya, bukanatas permohonan keluarga atau pengacaranya. Sementarahakim berkewajiban memberikan keputusan ataupenetapan kepada penyalah guna narkotika untuk dirisendiri untuk menjalani rehabilitasi, baik penyalah gunanarkotika untuk diri sendiri tersebut bersalah maupuntidak bersalah.

    Akibat pembangkangan hukum oleh para penegakhukum narkotika terhadap penyalah guna narkotikauntuk diri sendiri ini membawa permasalahan baru bagipemerintah khususnya Direktorat Jenderal LapasKementerian Hukum dan HAM, yakni terjadi overcapacity warga binaan di Lapas. Berdasarkan data DitjenLapas per Agustus 2014 bahwa jumlah napi terkaitdengan masalah narkotika sebanyak 49.896 orang(Produsen 952 orang, Bandar 5.430 orang, Pengedar 22.092orang, Penadah 2.490 orang, dan Penyalah guna 18.905orang). Dalam kondisi demikian, Lapas merupakan

    43

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    tempat berkumpulnya para penyalah guna narkotika danpara bandar narkotika. Tak heran, apabila bisnis narkotikadi dalam Lapas kian marak dan diperparah dengankeberadaan para bandar narkotika yang masih dapatmengendalikan bisnisnya dari dalam penjara. Dampaklainnya terjadinya drugs related crime di dalam Lapasberupa tindakan pengancaman, penganiayaan, maupunpembakaran.

    Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)Antara Ada dan Tiada

    Selain itu, pembangkangan hukum ini menyebabkankebijakan legal rehabilitasi penyalah guna narkotikamenjadi tidak menunjukkan progresifitas alias jalan ditempat. Hal ini terlihat dari minimnya infrastrukturrehabilitasi, termasuk dukungan sumber daya manusiadan anggaran. Di sisi lain, perasaan ketakutan untukmelapor diri ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor)masih menghantui dan menjadi momok di kalanganpenyalah guna narkotika. Kendatipun menurut UU 35/2009, penyalah guna narkotika yang melaporkan diridiberikan jaminan tidak dituntut pidana dan akandiberikan perawatan berupa rehabilitasi, namun rupanyajanji manis tersebut belum cukup menarik.

    44

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Penanganan hukum yang tidak ramah terhadappenyalah guna narkotika untuk diri sendiri inimengakibatkan pelayanan di IPWL antara ada dan tiada.Layanan IPWL yang ada selama ini masih belumdiminati kalangan penyalah guna narkotika.Diperkirakan dari sekitar 300-an IPWL (Puskesmas,Rumah Sakit, LSM) yang ditunjuk Menteri Kesehatan danMenteri Sosial hanya sekitar 30% yang telah beroperasimeskipun masih dihadapkan pada berbagaiproblematika yang tidak sedikit. Oleh karena itu upayasosialisasi wajib lapor penyalah guna narkotika ke IPWLharus semakin diintensifkan, sebab layanan wajib lapormerupakan kunci sukses dalam upaya menurunkanprevalensi penyalah guna narkotika. Dengan demikian,peranan penegak hukum narkotika (penyidik, penuntut,dan hakim) sangat penting dan strategis dalam upayapenanganan permasalahan narkotika baik dalam aspekdemand maupun supply reduction.

    45

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    46

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Atmasasmita, Romli. (1997), Tindak Pidana NarkotikaTransnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, CitraAditya Bakti.Andrea Cadet (2011), Is The Potential Decriminalization ofMarijuana in Jamaica Justifies?, Royal Grenada Police Force.Chad Murray, et.al, (2011), Mexican Drug TraffickingOrganizations and Marijuana: The Potential Effect of USLegislation (Report of Elliott School of International Affairs/Inter-American Drug Abuse Control Commission)Caitlin Hughes and Alex Stevens (2011), Re-examining theinterpretation of evidence on the Portuguese decriminalisationof illicit drugs. Drug and Alcohol Review. 311 : 101-113.Januari 2012.Kimberly Baker (2005), A New Kind of Justice: TherapeuticJurisprudence and Drug Courts, Makalah untuk PertemuanTahunan American Sociological Association

    DAFTAR PUSTAKA

    47

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    (Philadelphia, 12 Agustus 2005)Gabbay, Zwi D (2005), Justifying Restorative Justice: ATheoretical Justification for the Use of Restorative Justice Practices,Journal of Dispute Resolution, Vol. 2 (University of MissouriSchool of Law)Goldstein. (1985), Drug Policy and the Public Good; Societyfor The Study of Addiction, Oxford University Press. NY.Luijk, Eric W. Van danJan Cornelis Van Ours. (2001), TheEffects of Government Policy on Drug Use : Java, Journal ofEconomic History. Cambridge Press.Greenwald, Glenn. (2009), Drug Decriminalization inPortugal: Lessons for Creating Fair and Successful DrugPolicies. CATO Institute.Hamzah, Andi dan R.M. Surahman, (1994). KejahatanNarkotika dan Psikotropika,. Sinar Grafika.Mac Coun, Robert et all, (2003), Estimating the Non-PriceEffects of Legalization on Cannabis Consumption. Drug PolicyResearch Center.Muladi dan Arief, (1998), Beberapa Aspek KebijakanPenegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra AdityaBakti.Nawawi Arief, Barda (2002), Kebijakan Legislatif DalamPenanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. CV

    48

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Ananta.Nitibaskara, Rahman Ronny, Prof. DR. TB. (2006), TegakanHukum Gunakan Hukum, Penerbit GramediaRoman, Catherina Gouvis. (2007), Illicit Drug PoliciesTrafficking and Use the World Over. Lexington Book. USA.Peter Reuter (2010), Marijuana Legalization, What Can BeLearned from Other Countries?; Drug Policy Research Center.RAND. WR-771-RC. Maryland.Remmelink, Jan. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-PasalTerpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belandadan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum PidanaIndonesia, 2003Shapiro, Justin B. (2010), Decriminalization of marijuana forpersonal useas a causes of the Fail on Law Enforcement inMexico. Associated Press of LawmakersSimanungkalit, Parasian. (2010), Globalisasi PeredaranNarkoba dan Penanggulangannya di Indonesia. Yayasan FajarHidup.Spapens, Toine. (2013), Decriminalization as Regulatio. LawProffesor Blogs Network.Soekanto, Soerjono. (1985), Efektivitas Hukum dan PerananSanksi. Remaja Karya.Soedarto (1983), Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni.

    49

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANSingle Convention Narcotic Drugs, 1961Protocol Amending The Single Convention on Narcotic Drugs,1961Convention on Pshychotropic Substances, 1971United Nation Convention Against Illicit Traffic On NarcoticDrugs and Psychotropic Substances, 1988Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang PengesahanKonvensi Tunggal Narkotika 1981 Beserta Protokol yangMengubahnya.Undang-Undang No. 64 Tahun 1981 tentang KUHAPUndang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang PsikotropikaUndang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Againts Illicit Traffic In NarcoticDrugs And Psychotropic Substances, 1988Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang NarkotikaUndang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang NarkotikaPeraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentangPelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NarkotikaSEMA RI Nomor 7/2009 yaitu SEMA RI Nomor 4/2010tentang Penempatan Penyalahgunaan, KorbanPenyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalamLembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

    50

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Kepmenkes Nomor: 996/MENKES/SK/VIII/2002tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana PelayananRehabilitasi Penyalahgunaan dan KetergantunganNarkotik.Kepmenkes Nomor: HK.02.02/MENKES/402/2014tentang Penetapan Institusi Penerima Wajib Lapor.Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor: 31/HUK/2012tentang Penunjukan Lembaga Rehabilitasi Sosial KorbanPenyalahgunaan Napza Sebagai IPWL Bagi KorbanPenyalahgunaan Napza.

    51

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    52

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Komjen Pol. AnangIskandar lahir diMojokerto, Jawa Timur pada tanggal 18 Mei1958. Lahir dari pasangan Suyitno Kamari Jaya danRaumah, hidup Anang Iskandar tergolong tradisional dansederhana. Anang kecil mendapat pengetahuanmemotong rambut dari ayahnya yang berprofesi sebagaitukang cukur di sekitar jalan Residen Pamudji,Mojokerto. Pengalaman masa kecil ini membuatmencukur rambut menjadi sebuah hobi yang masih seringdilakukan Anang ketika digembleng dalam pendidikanmiliter di AKABRI. Pada saat masuk ke SMA, Anang jugasempat mencoba mendalami fotografi. Di samping itu,Anang juga pernah dikenal sangat menyukai seni lukissemasa mudanya.

    Dilantik menjadi Perwira Muda pada tanggal 15 Maret1982, Anang ditempatkan sebagai Kepala Polisi untukwilayah Polda Bali (saat itu bernama Polda Nusa

    RIWAYAT PENULIS

    53

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Tenggara Gabungan). Karir Anang terus menanjak ketikadipercaya sebagai Kapolsek wilayah Denpasar Selatan,dan kemudian Kapolsek untuk daerah Kuta.Ketegasannya dalam menjabat dan mengambilkeputusan sangat dikenal oleh rekan-rekannya sesamapolisi dan bisa jadi sikap tersebut yang ikut membukakanpintu karir pria yang dikenal murah senyum ini kejenjang yang lebih tinggi ketika dilantik sebagai salahsatu pejabat kepolisian wilayah ibu kota, Kasat SersePolres Tangerang.

    Selain berdinas di Kepolisian, Anang jugamenyempatkan mengenyam pendidikan ilmu hukumdiberbagai kampus. Sarjana Hukum (S1) diperoleh dariUniversitas Pancasila Jakarta, Master Hukum (M.H)diperoleh dari Universitas 17 Agustus Surabaya. Tahun2013, Doktor Ilmu Hukum berhasil diraih Anang dariUniversitas Trisakti Jakarta dengan disertasi berjudulDekriminalisasi Penyalah Guna Narkotika dalamKontruksi Hukum Positif di Indonesia.

    Berbagai posisi di Polri banyak dipercayakan kepadaAnang mulai dari level Polres, Polda hingga Mabes.Sejumlah jabatan yang pernah dipercayakan kepadaAnang yaitu: Kapolres Blitar dan Kediri Jawa Timur,

    54

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Kepala SPN (Sekolah Polisi Negeri) Mojokerto dan SPNLido Polda Metro Jaya, Kapolres Metro Jakarta Timurdan Kapolwiltabes Surabaya. Pada tanggal 28 Oktober2011, Anang dipercaya menjabat sebagai Kapolda Jambidan pada tanggal 2 Juli 2012, Anang diangkat sebagaiKadiv Humas Mabes Polri dan sempat menjabatGubernur AKPOL.

    Selain berdinas di Polri, Anang juga pernah dipercayamenjadi Kepala Pusat Pencegahan (Kapus Cegah) LakharBNN pada tahun 2008-2010 dan Direktur Advokasi BNN2010-2011. Setelah ditarik untuk bertugas di Polri, Anangakhirnya pulang kampung ke BNN untuk mengembanamanah sebagai Kepala BNN sejak tanggal 12 Desember2012 hingga sekarang.

    Selama masa pengabdiannya, berbagai bintang jasadan penghargaan diperoleh Anang, yaitu: Satya LencanaKesetiaan (8 Tahun), Satya Lencana Kesetiaan (16 Tahun),Satya Lencana Kesetiaan (24 Tahun), Satya LencanaKesetiaan (32 Tahun), Satya Lencana Dwijasista, SatyaLencana Yanautama, Satya Lencana Bhakti Purna,Bintang Bhayangkara Narariya, dan Bintang BhayangkaraPratama.

    Selain penghargaan kedinasan, Anang juga

    55

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    memperoleh penghargaan dari dunia akademisi danmasyarakat seperti Penghargaan dari Gubernur AKABRIUmum dan Darat sebagai Peserta terbaik 3Chandradimuka tahun 1978, Man of the Year Th. 2007dari Yayasan Penghargaan Indonesia, Penghargaansebagai Insan penggerak Pembangunan IndonesiaBerprestasi tahun 2007 dan 2008, Borgol Award JTV th.2007 dan 2008, Penghargaan sebagai Citra Insan InformasiIndonesia 2008, Peraih Mesin Jahit Emas, 100 TahunSinger, Penghargaan dari Gubernur BI, Atas Prestasimengungkap peredaran Uang Palsu,Penghargaan dariGubernur PTIK, Atas Pengabdian pada OutbondMahasiswa PTIK, pengangkatan Warga KehormatanLembaga Adat Melayu Riau, pengangkatan WargaKehormatan Suku Badui Banten sebagai Bapak Gede,Penghargaan MURI juga diperoleh untuk kategori tandatangan anti narkoba terbanyak (2.002.015 tanda tangan),Penghargaan Bintang Emas dari Media Online. Dalamdunia akademis, Anang juga memperoleh penghargaanGolden Jubilee Medal dari Universitas MahendradattaBali. Selain itu juga dipercaya sebagai Ketua KeluargaBesar Alumni Universitas Pancasila dan tenaga pengajarPascasarjana STIK - PTIK dan Universitas Trisakti Jakarta.

    56

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    Disela sela kesibukannya mengemban tugas sebagaiabdi Negara, Anang masih menyempatkan diri untukmenulis, dan karya yang telah diterbitkan yaitu : SurabayaKinclong (2007), Outboud Polwiltabes Surabaya MenujuBudaya Baru (2007), Paradigma Baru PencegahanNarkoba (2009), Dari Kampung Untuk Indonesia (2010)Perjalanan Menuju Indonesia Bebas Narkoba (2011),Polisi Ditantang Kringetan (2012), Jalan LurusPenanganan Penyalah Guna Narkotika Dalam KonstruksiHukum Positif (2015).

    57

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    58

  • JALAN LURUSPenanganan Penyalah Guna NarkotikaDalam Konstruksi Hukum Positif

    57