dear kaseira

81
7/25/2019 Dear Kaseira http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 1/81  DEAR KASEIRA  Sakura yang Tak Pernah Gugur SEPTEMBER 30, 2015 RAVENSKA JOHANA

Upload: ravenska-johana-nikijuluw-towoliu

Post on 26-Feb-2018

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 1/81

 

DEAR KASEIRA Sakura yang Tak Pernah Gugur

SEPTEMBER 30, 2015

RAVENSKA JOHANA

Page 2: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 2/81

1 | D e a r K a s e i r a  

PROLOG:

Cangkir Kopi Terakhir

Jun i 2011,

Dua cangkir kopi pesanan kami datang, Om Bob si pemilik coffee shop 

tersenyum pada kami berdua. Biasanya kami bertiga akan mengobrol ngalor-

ngidul sampai larut malam, tapi malam ini beliau sepertinya mengerti kalau kami

membutuhkan waktu untuk berduaan. Sudah lewat tengah malam namun mata

kami berdua sama-sama belum bisa terpejam, mungkin malah tak bisa

dipejamkan. Aku ataupun Viona tak ingin menghabiskan waktu terakhir ia di sini

hanya untuk tidur, kami harus memanfaatkan waktu semaksimal mungkin.

Kami menyesap kopi kami masing-masing, sama-sama menikmati sunyi

yang menyenangkan ini. Kesunyian tidak membuat kami berdua bosan, karena

kami memang lebih menyukai suasana yang tenang. Seperti ketika kami

menghabiskan satu weekend penuh dengan membaca, masing-masing dengan

 bacaannya sendiri, aku dengan novel romance dan Vio dengan tumpukan komik

yang bisa ia habiskan lebih dari sepuluh komik dalam satu hari penuh.

“Nanti, Hana tidak perlu ikut sampai bandara ya? Kalau kamu ikut, nanti

aku malah nangis terus.” 

Aku mengangguk setuju. Aku tak akan sanggup melihat sahabatku inimeninggalkan Tokyo. Bahkan melihat Vio berpamitan dengan Om Bob saja

hampir membuatku menangis.

“Om Bob, tolong pastikan manusia ini rutin datang kesini, atau kalau perlu

 berikan dia jadwal supaya ia tidak lupa dengan Bahasa Indonesia.” Om Bob

cengir-cengir mendengar pesannya Vio. Vio dan Om Bob sepakat untuk

membuatku bisa berbahasa elo-gue layaknya anak muda di Indonesia.

De Latte adalah Coffee shop biasa di atara begitu banyak coffee shop

serupa di Hachioji, tempat ini dibangun oleh Om Bob dan mendiang istri beliau

hampir satu dekade yang lalu ketika warung kopi belum se-ngetrend  sekarang.

Om Bob yang asli Indonesia datang ke Tokyo saat menjadi mahasiswa dan

 bertemu dengan istrinya di Universitas yang sama, lalu dari kedekatan semasa

kuliah itu mereka akhirnya menikah.

Aku berusaha menerima kenyataan pahit ketika satu-satunya temanku

selama tiga tahun kami di universitas harus pindah ke Indonesia Aku melirik ke

layar ponsel yang sudah menunjukkan jam tiga dini hari. Setengah jam lagi Vio

dijemput, berarti kami harus bergegas kembali ke flat.

“Yuk, pulang!” Aku menyesap sisa kopi milikku.

Page 3: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 3/81

2 | D e a r K a s e i r a  

Ku rerekam setiap momennya di otakku. De Latte, lewat tengah malam,

dua cangkir kopi, dan Viona. Aku berharap semoga momen ini bisa bertahan

sedikit lebih lama.

Paginya aku bangun, dibangunkan oleh suara vokalis dari Train Band yang

sedang menyanyikan lagu mereka yang berjudul Marry Me. Tanpa sadar aku

membuka tirai coklat yang menutupi jendela di samping tempat tidurku. Setiap

 pagi aku akan menyibakkan tirai ini dengan mendadak karena terlambat pergi ke

kampus, dan cahaya matahari yang mendadak masuk akan membuat Vio

 berteriak-teriak seperti vampire yang kulitnya terbakar. Tapi pagi ini sunyi, sunyi

yang tidak mengenakkan.

Aku baru sadar kalau jeritan diiringi dengan gerutu itu sudah tidak ada

lagi. Sekarang aku menempati kamar ini sendiri. Selain harus rugi karena

membayar penuh harga sewa kamar, kamar ini menjadi semakin kosong. Kasur

dan lemari yang berantakan itu sudah diangkut keluar, meja belajar yang penuh

dengan maket-maket bangunan juga sudah bersih sekarang, bersih dengan meja-

mejanya. Kamar ini benar-benar kosong sekarang.

Baru beberapa jam Vio pergi, bahkan mungkin pesawatnya belum sampai,

tapi aku sudah sangat kehilangan manusia sinting itu.

Aku keluar menuju balkon, menikmati udara musim gugur yang dinginnya

menusuk tulang. Duduk di salah satu kursi dan menatap sendu pada kursi satu lagi

yang biasa ditempati Viona. Begini kah rasanya ditinggal pergi oleh sahabat?

Kenapa rasanya malah lebih parah dibandingkan rasa sedih dicampakkan pacar?

Hey, I already missed you. :’( 

Sent!

Sepertinya Vio belum sampai karena pesan yang kukirim masih tertunda.

Aku kembali masuk ke dalam kamar karena tidak tahan dengan terpaan angin di

luar yang begitu menusuk tulang.

Kuberitahu satu cara apabila kalian ingin melarikan diri dari rasa sedih,

yaitu dengan tidur sepanjang hari. Dijamin kalian akan lupa pada apapun itumasalahnya, untuk sementara. Ya, hanya untuk sementara saja.

Hari esok akan bagaimana biar kupikir besok. Hari ini aku sedih karena

sahabatku pergi. Besok mungkin ada masalah lain, entahlah. Dan Viona…

Kuharap ia mendapatkan lingkungan yang lebih nyaman dari di sini, teman yang

lebih memahaminya lebih daripada aku, dan mendapatkan berbagai pengalaman

lebih dari yang bisa ia dapatkan di sini. Tenang saja Vio, aku akan selalu

mengirimkan doa untukmu dari sini. Tokyo dan Jakarta masih berada di lingkaran

dunia yang sama, kan?

Page 4: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 4/81

3 | D e a r K a s e i r a  

1. 

Dongeng Sebelum Tidur

November 2012,

Bulan depan aku ke Surabaya! Kakak perempuanku menikah.

Bisa kah aku ke Jakarta? Karena kulihat di peta jaraknya lumayan jauh.

Aku mengetik pesan itu dengan perasaan riang gembira. Untuk pertama

kalinya aku kembali mengunjungi Indonesia, bertemu dengan ayah dan kakak-

kakakku. Bagaimana rasanya, ya? Bertemu keluarga kandungku untuk pertama

kalinya sejak 14 tahun terpisahkan… Ah, aku tak bisa membayangkannya. Aku membaca lagi email  itu baik-baik, masih merasa tidak percaya

akhirnya kesempatan ini datang..

Tadi ketika aku kuliah, di sela-sela kelompokku yang sedang

mempresentasikan mengenai struktur beton aku meloncat kegirangan saat email  

dari tante Meli memintaku untuk datang ke Indonesia.

Tanggal 14 Desember, Irina, kakak perempuanku nomor satu yang aku tak

ingat bagaimana wajahnya, akan menikah. Tante Meli adalah sahabat karib ayah

dan okasan-ibu- semasa kuliah dan masih terus menjalin hubungan baik bahkan

ketika okasan membawaku ke Tokyo.Aku mulai tidak sabar menanti tanggal 13 bulan depan. Mungkinkah untuk

 pertama kalinya aku bisa menghabiskan malam pergantian tahun bersama

keluarga besarku? Andai okasan masih ada di sini.

Sebulan lagi mungkin aku akan bertemu kembali dengan Viona, sudah

setahun tidak bertemu, bagaimana ia sekarang? Aku menggenggam erat omamori-

 jimat keberuntungan- pemberian okasan. Semoga kisah ini sama seperti dongeng

yang selalu okasan ceritakan padaku.

Sebelum tidur, okasan yang lelah sepulang dari kantor akan menuju

kamarku dan menceritakan dongeng yang beliau ciptakan sendiri. Okasan adalah pendongeng terhebat yang pernah ku tahu, setiap hari beliau akan menceritakan

cerita yang berbeda dari sebelumnya, tak pernah absen sehari pun. Bahkan ketika

okasan sakit karena kelelahan bekerja, sambil kuurut kaki okasan, okasan akan

tetap mendongeng.

Ada satu dongeng yang tak pernah lepas dari ingatanku, itu adalah

dongeng pertama yang okasan ceritakan padaku. Tepat ketika kami baru pindah

ke Tokyo dan aku tidak bisa tidur karena belum terbiasa dengan kamar baru, aku

menangis meminta untuk tidur bersama di kamar okasan, namun okasan malah

menyelimutiku kembali dan mulai bercerita tentang Bidadari Empat Musim.

Dongeng pertama untukku dan dari dongeng Bidadari Empat Musim itu aku mulai

Page 5: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 5/81

4 | D e a r K a s e i r a  

merangkai kisahku sendiri. Dan berharap akhir yang sama indahnya untukku

seperti yang dialami oleh Bidadari Musim Gugur bernama Hanaki.

Page 6: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 6/81

5 | D e a r K a s e i r a  

2. 

Bidadari Empat Musim

 Dahulu kala, sebelum Hana dan okasan lahir, terdapat kerajaan di atas langit

ketujuh. Tidak ada tangga di dunia yang bisa sampai ke pintu masuk kerajaan ini.

 Disanalah bertahta Raja Aosora, raja langit dari segala lapisan langit di

cakrawala. Raja memiliki empat orang putri yang cantik rupawan, ketika satu

 persatu anaknya lahir, Raja Aosora menghadiahi anak-anaknya sebuah kekuatan

untuk mengendalikan negeri bawah yang disebut Mamoru.

 Anak pertama bernama Haruka, ia ditugaskan untuk menciptakan mekarnya

bunga-bunga indah di negeri Mamoru. Anak kedua yang bernama Natsuko

ditugaskan untuk menjaga bunga-bunga tetap mekar sempurna sampai masanya

habis. Anak ketiga bernama Hanaki, yang memutuskan kapan masa bunga-bungabermekaran itu satu per satu gugur. Dan yang terakhir bernama Fuyuki yang

ditugaskan untuk menutup masa sampai roda masa kembali terbuka.

Suatu hari, ketika keempat bidadari sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik

 jelita, mereka ditugaskan Raja Aosora untuk membasmi makhluk tanah yang

membuat bunga-bunga mati mendadak. Negeri Mamoru adalah negeri yang

 sangat jauh. Dan menurut mitos, bidadari yang diperintahkan kesana, harus rela

mengorbankan kecantikannya. Ketiga bidadari tidak ada yang rela

mengorbankan kecantikan mereka, tapi bidadari Hanaki bersedia untuk turun dan

melepas kecantikannya sebagai bidadari demi untuk menyelamatkan mekarnya

bunga-bunga. Hanaki melepas pesona kecantikannya yang bisa membuat laki-laki jatuh

cinta. Hanaki dengan air mata berlinang melayang turun meninggalkan kerajaan

langit ketujuh. Dan setelah beberapa masa berlalu, Hanaki sampai di Mamoru.

 Negeri yang dulu indah itu kini hanya tersisa bangkai-bangkai bunga yang mati

 sebelum mekar. Tanpa kekuatan dari kakak-kakaknya Hanaki ragu ia bisa

mengembalikan semua seperti sedia kala.

Setelah lelah berjalan mengelilingi Mamoru, ia duduk di bawah sebuah

batang pohon yang sudah hampir mati. Di situlah Hanaki bertemu biang kerok

dari semua kerusakan ini. Tampak seorang pemuda tampan yang berdiri dengan

tatapan mengejek.

“Siapa kau?” Tanya pemuda itu.

 Ia adalah seorang pangeran dari negeri jauh di bawah negeri Mamoru.

 Negeri yang menakutkan dan semua yang dilakukan bangsanya hanyalah

kejahatan, negeri itu bernama Jikogu.

“Apakah kau yang membuat semua kekacauan ini?” Tanya Hanaki.

 Ia tak pernah melihat laki-laki setampan ini, bahkan pangeran-pangeran di

negerinya pun kalah tampan.

Page 7: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 7/81

6 | D e a r K a s e i r a  

 Pangeran mengangguk dan berkata, “Ya. Betul sekali. Aku adalah P angeran

 Kayo dari negeri Jikogu. Apa maumu? Apa kau mau menantangku?!” 

 Hanaki menjawab dengan jujur tanpa rasa takut, Pangeran kejam ini bisa

 saja membunuhnya, “Aku anak dari Raja Aosora. Dan tugasku bersama ketiga

 saudariku adalah melindungi Mamoru. Aku harus membuat bunga-bunga ini

mekar kembali.” Jawabnya. 

“Kenapa kau tidak takut padaku? Aku bisa saja membunuhmu, gadis manja.”

 Ejek Pangeran Kayo.

“Aku kesini tidak untuk berkelahi, tapi untuk memekarkan kembal i bunga-

bunga ini. Kau mau membantu?” Tanya Hanaki polos. 

 Pangeran Kayo terkekeh sambal berkata, “Hey! Apa kau sudah gila? Aku

 yang menghancurkan semuanya, karena aku benci keindahan, lalu kenapa aku

harus membenahinya ulang ?”

“Aku sudah tidak bisa kembali ke istanaku, sayapku sudah dilepas, itu

 pengorbananku untuk kesini. Kecantikanku juga ikut diambil dariku. Tapi yang ku

tahu, bukankah bangsa kalian membutuhkan darahku sebagai obat keabadian?

 Darahku masih tetap darah dari klan langit ketujuh. Apakah kau

menginginkannya? Aku bisa memberikannya dengan satu perjanjian.” 

 Pangeran Kayo tampak berpikir keras, ia sangat membutuhkan obat itu

karena usianya yang hampir diakhir masa muda, ia tidak mau menjadi laki-laki

tua yang lemah.

“Apa syaratnya?”

 Hanaki tersenyum, rencananya berhasil, “Buatlah perjanjian dengan ayahku

kalau kamu akan menggantikan pekerjaanku menjaga Mamoru, tapi tanpa

 sepengetahuan ayahku jika imbalannya adalah darahku.” 

 Pangeran pergi menghadap langit kelabu yang menandakan Hanaki sedang

bersedih. Langit hujan menandakan Hanaki sedang menangis. Pangeran

menyadari hal itu, dan ia untuk pertama kalinya merasakan hal yang berbeda.

 Perasaan yang tidak seharusnya dimiliki bangsa Jikogu. Pangeran Kayo menepis

 perasaan itu jauh-jauh. Hal seperti itu hanya akan melemahkannya.

 Pangeran Kayo kembali lagi dengan perjanjian darah pada lengannya,

 perjanjian yang tidak bisa ia ingkari karena nyawa seluruh bangsa Jikogu-lah

taruhannya. Dan saat itulah Kayo melihat kedalam mata Hanaki yang mulai

menangis. Seketika hujan turun, Kayo menatap Hanaki dalam-dalam, berusaha

tersenyum jahat untuk menutupi perasaan aneh di dalam dadanya. Hanaki

mengakhiri hidupnya dan menyerahkan seluruh darahnya demi keabadian

 Pangeran Kayo dan keabadian bunga-bunga yang bermekaran.

Satu per satu bunga-bunga kembali mekar dengan indah dan berwarna-warni,

dan Pangeran Kayo mendengar suara Hanaki lewat sepoi angin yang berhembus.

Page 8: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 8/81

7 | D e a r K a s e i r a  

“Dengan begini aku tak akan pernah pergi dari Mamoru, aku akan selalu

menjaga Mamoru bersama denganmu, dan darahku akan selalu berada dalam

darahmu. Satu keajaiban yang bisa memekarkan bunga-bunga ini adalah cinta,cinta yang membuat bunga-bunga di sini kembali mekar, bukan darahku. Jangan

 pernah menyangkalnya, cinta bukan kutukan.” 

 Pangeran Kayo menatap ke langit, jauh di atas sana Hanaki pernah tinggal.

 Langit berubah cerah ketika pangeran Kayo sudah memahami perasaan apa yang

hampir membuatnya lemah itu. Hanaki bilang itu cinta. Ya ia mencintai Hanaki,

walaupun terlambat tapi Hanaki akan tetap menjadi bagian dari dirinya

 selamanya.

Page 9: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 9/81

8 | D e a r K a s e i r a  

3. 

Sambutan yang Tak Terduga 

Desember 2012,

Ujian akhir semester berakhir hari ini, lega rasanya ketika sudah

menyelesaikan semua tugas di kampus dan bisa segera menemui keluargaku di

Indonesia. Vio bilang Indonesia sangat indah, meski tanpa salju dan sakura, tapi

Indonesia tak kalah indahnya dari Jepang. Dan berkat kecanggihan internet, aku

 bisa mengetahui bagaimana kota Surabaya yang akan ku datangi. Mungkin akan

sering hujan jadi aku akan membawa payung. Payung yang bertanda ‘Raihana’ 

 pada bagian dalamnya, Vio yang menuliskannya, ia bilang supaya tidak hilang.

Dua hari lagi, jadwalku berangkat. Semalam tante Meli juga mengirimiku

email  lagi untuk sekedar mengingatkan. Sesaat aku heran, kenapa harus beliau

yang repot mengurusi kedatanganku, kemana semua keluargaku? Namun

kusimpulkan, mereka sedang sibuk mengurusi pernikahan kakakku, ya itu sangat

 bisa dipahami.

Sebelum pergi, aku mampir untuk menemui okasan. Didepan foto

mendiang ibuku, aku tersenyum sangat bahagia, jauh lebih bahagia ketimbang

kunjungan-kunjunganku sebelumnya yang penuh dengan air mata.

“Okasan… Esok lusa Hana akan bertemu dengan ayah dan kakak-kakak.

Bukankah okasan bilang kakak Irina punya mata yang mirip dengan okasan?

Hana sangat penasaran, sampai tidak sanggup menunggu dua hari lagi. Okasan?Andai okasan bisa ikut dengan Hana ke Indonesia, pasti lebih lengkap lagi

rasanya.” 

Aku memandangi wajah okasan yang tersenyum bahagia, “Oke-oke.

Jangan tersenyum merayu seperti itu, baiklah Hana tidak marah okasan tidak bisa

ikut Hana bertemu ayah. Tapi setidaknya isi jimat ini lagi, kemujurannya sudah

mau habis, nih.” 

Ini adalah omamori yang berisi doa agar aku selalu bahagia dimanapun

aku berada, okasan yang memberikannya tepat lima tahun yang lalu sebelum

okasan meninggal karena kecelakaan.

Okasan, Hana pulang, yah? Selalu lindungi Hana, okasan. Hana

merindukan okasan.

֎ 

Musim dingin sudah kembali, dan artinya tahun akan segera berganti.

Sudah selama itu tanpa okasan dan sudah jauh lebih lama lagi tanpa ayah dan

keluargaku. Entah apa alasan okasan membawaku ke Tokyo sewaktu ku kecil,

entah masalah sebesar apa yang mengharuskanku terpisah dan terasingkan dari

kakak-kakaku yang lain. Aku ingin pulang.

Page 10: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 10/81

9 | D e a r K a s e i r a  

Pulang pada keluarga yang mungkin sudah tidak mengenalku. Aku ingin

melihat mata itu, mata milik okasan pada kakak Irina. Aku ingin merasakan

 bagaimana hangatnya berada ditengah-tengah keluarga kandungku. Sudah terlalulama aku dan okasan sendiri, dan ketika okasan meninggal, semuanya menjadi

lebih sulit lagi.

Aku sangat ingin pulang. Merasakan memiliki ayah supaya tak ada lagi

yang mengejekku sebagai anak buangan. Aku ingin berbagi cerita dengan kakak-

kakakku, bagaimana mereka tumbuh, bagaimana ketika pertama kali mereka jatuh

cinta sampai bisa menikah, dan aku ingin mereka tahu bagaimana kesepiannya

diriku tanpa saudara dan tak bisa membuka diri pada teman lainnya di sini.

Keluargaku pasti memahami rasa kosong yang selama ini kurasakan.

Keluargaku pasti bisa menguatkanku, dan keluargaku pasti merasakan rindu

sebesar rinduku sekarang. Aku rindu, sangat rindu.

Musim dingin kali ini tak akan sama, kekosongan itu pasti akan terisi oleh

hangatnya kebersamaan sebuah keluarga.

Page 11: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 11/81

10 | D e a r K a s e i r a  

4. 

Here I Am 

Bandara Internasional Juanda, Desember 2012,

Pandanganku mengeliling menikmati semua pemandangan asing di

depanku. Setiap orang sibuk menarik koper mereka sendirian sepertiku dan ada

 beberapa yang sudah bertemu dengan keluarga atau kerabat mereka yang telah

menunggu di pintu keluar. Ketika orang tersenyum, ketika orang tertawa dan

sambal berpelukan melepas rindu, aku ikut merasakan kegembiraan yang sama.

Dalam hati aku berkata dengan santai, sebentar lagi juga aku akan berkumpul

dengan keluargaku. Aku melenggang dengan santai mencari taksi yang akan

mengantarku ke gereja.

“Pak, saya harus ke alamat ini. Secepatnya kalau bisa, pak.” Aku

menyerahkan selembar kertas berisi nama jalan yang harus segera kudatangi.

Acaranya mulai setengah jam lagi, dan menurut desas-desus yang kudengar,

Indonesia terkenal dengan kemacetannya.

“Mbaknya bisa Bahasa Indonesia toh, saya kira ndak bisa.” Bapak supir

taksi itu terkekeh sendiri.

Aku memakluminya karena tampangku tidak kelihatan seperti orang

Indonesia pada umumnya. “Saya orang Indonesia, kok pak. Tapi kayaknya masih

harus belajar Bahasa Indonesia lagi. Bapak bisa ajari saya kalau mau hehehe…” 

“Nama saya pak Karyo, mbak. Asli wong Suroboyo.” Jawab Pak Karyo

menggunakan dialeg yang aneh.

“Wong Suroboyo? Surabaya? Wong itu apa artinya, pak?” 

“Wong itu artinya orang, mbak. Saya asli orang Surabaya. Mbaknya dari

Jepang, ya?” 

“Besar di Jepang, pak. Tapi saya ini wong Indonesia, loh pak.” Jawabku

mencoba dialeg seperti Pak Karyo.

“Wah mbak’e cepat belajar. Terus mbaknya siapa namanya? Ini mau ke

gereja tah mbak?” Pak Karyo diam sebentar sebelum melanjutkan, “Mbak maaf

ya kalau saya cerewet hehehe… Biar ndak sepi saja mbak.” 

“Oh tidak apa-apa pak. Kan bapak sekarang lagi jadi guru saya. Nama

saya Raihana pak. Kakak saya hari ini menikah, jadi saya datang kesini pak.” 

“Oh kalau begitu harus cepat mbak, tenang Pak Karyo ini ahli mencari

 jalan tikus, pasti sampai tepat waktu.” Jawab beliau sedikit membanggakan diri.

Aku bernapas lega, semoga saja tidak terlambat.

Pak Karyo masih terus mengajariku bahasa-bahasa yang belum pernah

kudengar, seperti uang ceban, goceng, sampai singkatan-singkatan jaman

Page 12: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 12/81

11 | D e a r K a s e i r a  

sekarang seperti PDKT, CLBK, dan masih banyak lagi kata-kata yang tidak

 pernah diajarkan Vio. Ah Vio, sebentar lagi kita ketemu lagi.

֎ 

 Pukul 10 : 00 WIB

Aku berhenti di depan sebuah gereja megah dengan arsitektur yang sangat

menawan. Beberapa patung dan ukiran mengangkat tema arsitektur gothic yang

membuat mataku tak bosan menikmatinya. Pelataran parkir hampir terisi penuh

oleh kendaraan pribadi para tamu, jadi taksi yang ku tumpangi hanya bisa berhenti

sampai di depan pintu gerbang gereja.

Aku berjalan menuju pintu utama gereja yang besar dan megah, terlihat

 beberapa wanita bertugas sebagai penerima tamu di depan pintu.

“Syalom, selamat pagi. Silahkan masuk.” Dua wanita berbaju kebaya

warna broken-white itu menyapaku ramah.

Aku masuk kedalam gereja dan mengambil duduk di deretan bangku

 paling belakang yang masih kosong. Jemaat yang datang lumayan banyak dan

hampir memenuhi seisi bangku gereja, hanya di deretan belakang sini yang masih

kosong.

Lalu tiba-tiba pintu gereja terbuka dan seorang wanita cantik

menggunakan gaun pengantin putih dengan rambut bob-nya yang hanya di

tambahkan dengan aksesoris pita, membuat seluruh pasang mata di ruangan ini

 berdecak kagum. Wajah oriental berpadu dengan kulit coklat itu benar-benar

cantik. Adakah kata yang lebih kuat dari “cantik”? Dia adalah kakakku. Okasan 

selalu memanggilnya dengan nama belakangnya, Haruka. Walau nama

sebenarnya adalah Irina Nindya Haruka, tapi okasan lebih sering memanggilnya

Haruka.

Seorang pria paruh baya berjalan di samping kakak Irina. Aku mengingat-

ingat wajah itu, berusaha mengembalikan ingatanku yang sudah lama terkubur.

Mungkin pria itu adalah ayahku.

Aku menundukkan wajahku waktu pria itu menoleh sedikit kearah

tempatku duduk. Entah kenapa aku merasa malu berada di ruangan ini. Semua

orang di ruangan ini sangat asing di mataku. Tak ada satu orangpun yang ku

kenal. Bahkan jika faktanya mereka adalah keluargaku, tak ada kenangan apapun

yang bisa mengingatkanku pada mereka. Aku merasa asing di sini.

Aku terkejut melihat seorang pria yang mengekor di belakang rombongan

iringan pengantin tiba-tiba mendesakku untuk memberikannya sedikit tempat

duduk. aku menoleh bingung ke arah pria yang sekarang sudah duduk santai di

sebelahku sambal melonggarkan dasi yang ia kenakan.

Page 13: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 13/81

12 | D e a r K a s e i r a  

“Sorry, saya malas ikut ke depan, numpang duduk, ya?” Ujar pria itu

kepadaku. Aku mengangguk kikuk sebagai jawaban.

Upacara pernikahan berlangsung lancar seperti dalam adegan-adegan di

film romance yang sering kulihat. Aku tersenyum haru menyaksikan semua

 prosesinya, sambal memegangi omamori yang ku selipkan di dalam tasku, aku

tahu okasan pasti sama terharu dan bahagia sama seperti yang ku rasakan saat ini.

“Kamu siapanya Irina? Kok kayaknya bahagia sekali?” Tanya pria itu. 

Aku menghapus air mata yang tanpa kusadari sudah merembes keluar dari

tadi.

“Emm… Namaku Hana, adiknya kakak Irina.” Jawabku ragu. 

“Adiknya Irina? Bukan Meidina, bukan Eldri. Lalu kamu adiknya yangmana?” Tanya pria itu kebingungan. Sepertinya dia mengenal baik saudari-

saudariku.

“Kamu siapa? Kenal dekat dengan kakak Irina, ya?” Tanyaku penasaran.

“Saya Kaseira, teman kuliahnya Meidina di Jakarta. Dan ya, saya cukup

dekat dengan tiga bidadari itu sampai bisa dijadiin anak ke empat sama Om Redi.”

Seira menatapku dan langsung buru- buru mengoreksi ucapannya, “Oh, maksud

saya anak ke lima.” Ralatnya dingin.

Pendeta di depan mesbah sedang memberikan berkat dan seisi ruangan

menundukkan kepala, berdoa. Begitu juga denganku dan pria asing di sampingku.

“Aneh, kenapa Meidi bilang mereka cuma tiga bersaudara, ya?” Bisik

Seira pada dirinya sendiri, pelan dan tak terdengar oleh siapapun diruangan ini,

kecuali aku.

Aku membeku disebelahnya, menyerap seluruh ucapan Seira barusan.

Tidak ada kah yang pernah menceritakan tentang aku?

Aku mulai mengumpulkan puing-puing kesadaranku, menyatukan

semuanya satu per satu. Kenapa aku dan okasan pindah ke Tokyo? Kenapa hanya

aku yang ikut sementara saudari-saudariku tidak ikut? Kenapa aku harus tahu

mengenai pernikahan kakakku dari orang lain? Dan kenapa orang ini bisa berbisikseperti itu? Seolah keberadaanku tidak pernah ada di sini.

Aku mulai menciut di kursi kayu panjang ini, udara dingin yang keluar

dari pendingin ruangan semakin membuatku menggigil. Mungkin kah ada alasan

lain kenapa aku tidak pernah bertemu dengan keluargaku?

Untuk pertama kalinya, aku menyesali kedatanganku ke Indonesia.

Page 14: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 14/81

13 | D e a r K a s e i r a  

5. 

Blur!

Ku putuskan untuk menunggu di luar saja. Aku merasa di dalam bukan lah

tempatku. Tak ada yang mengenalku di sini, walau faktanya aku adalah bagian

dari keluarga yang sedang melangsungkan pernikahannya di dalam sana.

Satu per satu tamu yang datang, keluar lalu meninggalkan pelataran parkir,

suasana semakin sepi sejak tamu terakhir yang kulihat lima belas menit lalu sudah

 pulang. Dan aku masih duduk di taman samping gedung gereja yang tadi

merupakan tempat yang aman karena terhalangi oleh mobil-mobil yang sedang

 parkir.

Sekarang aku bisa terekspos dengan mudah, dan tanpa alasan yang masuk akal

aku merasa malu jika ada keluargaku yang tahu kalau aku datang hari ini. Dan

ketidak-beruntungan itu memang menjadi milikku hari ini, seorang ibu dengan

wajah bijaksana yang kuprediksi dari kerutan halus pada sekitar matanya, datang

menghampiriku sambal tersenyum.

“Hana datang? Tante kira Hana tidak akan datang.” Ucapnya sambil

menggenggam hangat kedua tanganku. Aku menatap dengan bingung.

“Tante Meli?” Tanyaku dan wanita itu mengangguk.

“Hana kapan tiba? Mau bertemu dengan ayah dan kakak -kakak? Sudah

saatnya kalian berkumpul kembali.” 

Aku beringsut menjauh, ketika mendengar tante Meli ingin mengajakku

 bertemu dengan keluargaku yang sedaritadi berusaha kuhindari.

Aku tidak ingin mengacaukan hari bahagia kakakku dengan kedatanganku

yang tidak diundang. Mungkin kedatanganku bukanlah mau mereka, tapi mau

tante Meli.

“Tante, apakah ayah dan kakak -kakak tahu kalau Hana datang hari ini?”

Tanyaku penasaran sekaligus tak ingin mendengar jawaban yang akan tante Meli

 berikan.

Tante Meli tersenyum seakan memahami ketakutanku, “Tidak ada yang tahu,tapi Hana harus bertemu dengan keluarga Hana.” 

“Tante Meli, Hana merasa ini bukanlah waktu yang baik untuk bertemu ayah

dan kakak-kakak. Sehabis ini masih ada resepsi pernikahan, Hana tidak mau

mengacaukan semuanya.” Jawabku dengan nyali yang hanya bersisa di ujung

kuku saja.

Ponsel tante Meli berbunyi, beliau bilang harus masuk ke dalam untuk

mengurus kendaraan yang akan mengantar pengantin ke gedung resepsi. Aku

disuruh menunggu sebentar di sini, dan nanti bersama beliau kami akan pergi ke

gedung resepsi.

Page 15: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 15/81

14 | D e a r K a s e i r a  

Aku menggigit-gigit kuku-kukuku, gugup dan ketakutan, aku setengah mati

ingin kabur dari tempat ini. Kembali ke Tokyo dan hidup seperti sebelumnya.

Okasan… Apa benar, kalau aku ini anak buangan seperti yang teman-teman

sekolahku bilang? Omamori biru itu kugenggam erat-erat, berharap semoga energi

 positifnya bisa menenangkanku tapi tak ada efek apapun yang terjadi.

“Ngapain kamu kesini?!” Bentak seseorang dari belakangku. Ia menarik

rambutku kasar dari belakang dan membuatku jatuh terpelanting mendarat pada

 batu-batu taman yang tidak empuk.

“Bukannya kamu sudah dibuang? Ngapain kamu kembali lagi?!” Tangan yang

mencengkram rambutku itu bersuara, dengan susah payah aku berusaha

melepaskan diri dan berbalik melihat siapa orang ini.

“Meidina! Apa yang kamu lakukan?!” Teriak suara yang lain.

 Meidina?

Ada tangan lain yang menamparku keras, dan ada beberapa orang lagi yang

 berusaha melepaskan tangan-tangan kasar ini dari kepalaku.

“Meidina! Irina! BERHENTI! Berhenti saya bilang!!!” Dan kini ada suara

 berat yang membuat cengkraman dan tamparan itu berhenti seketika.

Aku berusaha berdiri dan melihat sekelilingku. Tant Meli tergesa-gesa berlari

dengan tatapan menyesal yang ia tujukan kepadaku. Ku pikir ia tidak

membayangkan akan seperti ini kejadiannya.

Kedua kakakku, yang satu dengan gaun pengantin, sedang berusaha

ditenangkan oleh suami barunya. Dan yang satu lagi sedang dilerai oleh Kaseira.

Kaseira?

“Raihana?” Suara berat itu memanggilku. 

Aku menoleh dan ragu-ragu menyapanya, “Ayah?”

Aku menunduk ketakutan seperti kucing pencuri yang baru disiram air.

Rambutku berantakan sehabis dijambak sana-sini, wajahku panas karena tamparan

 bertubi-tubi barusan. Terlebih dari semua kesakitan di luar, hatiku hancur berantakan. Aku sudah seperti tidak ada harganya lagi diperlakukan seperti ini.

Air mataku meleleh, kali ini bukan air mata bahagia melihat kakakku

menikah, tapi air mata kesedihan ketika kakakku sendiri bilang kalau aku adalah

anak buangan.

Ayah mendekat padaku dan memelukku canggung. “Hana sudah besar, ya?

Hana sehat-sehat di sana?” Bisik ayah di telingaku. Untuk pertama kalinya aku

merasakan pelukan seorang ayah. Untuk pertama kalinya aku mendengar ayahku

 berbicara padaku.

Page 16: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 16/81

15 | D e a r K a s e i r a  

“Ayah, dia sudah membunuh Eldri! Adik kesayangan kita! Eldri yang seribu

kali lebih cantik dari dia! Dia penmbunuh, yah!” Seru Irina emosi. 

 Pembunuh?

Tubuhku seperti disengat listrik ribuan volt , kata “Anak buangan” adalah

 julukan yang terparah untukku yang bisa kubayangkan. Tapi pembunuh?

Ayah merapikan rambutku, menyisirnya dengan jari. Aku menatap ayah

meminta penjelasan.

“Ya, ayah tau itu. Dan ayah tidak pernah akan lupa kalau karena Hana lah

Eldri bisa tenggelam di pantai waktu kalian kecil. Hana,-“ Ayah menatapku yang

sudah kaku seperti mayat hidup.

“Biar ayah merindukan Hana dan okasan, ayah tetap tidak bisa melihat Hanalagi, kakak-kakak juga begitu, kejadian itu tidak bisa kami lupakan. Tindakan

okasan-mu itu sudah benar untuk membawaku pergi dan tak pernah kembali lagi.

Hana hanya akan membuka luka lama untuk keluarga ini.” 

“Heh, pembunuh! Sampai hari pernikahan ini rusak akibat ulahmu, aku akan

membuatmu menyesalinya!” Bentak kak Irina kasar. 

Ingatanku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku ke pantai, kurasa tidak

 pernah. Bahkan ketika study-tour semasa sekolah aku tidak ikut karena sakit.

Mungkinkah aku trauma pada pantai karena kejadian ini?

“Apa Hana benar - benar membunuh Eldri?” Tanyaku penuh dengan penyesalan.

“Tanyakan pada okasan! Tanyakan pada ingatanmu yang berusaha kamu

lupakan!” 

“Siapa yang menyuruhmu untuk datang kesini?” Tanya ayah lembut. Masih

terdengar nada sayang dibalik sikap ayah yang menjaga jarak dariku.

Aku menatap tante Meli, mungkin beliau hanya ingin berbuat baik, “Tidak

ada. Hana hanya ingin memberikan selamat lalu pulang.” Jawabku berat.

Aku memalingkan tatapanku dari tante Meli yang berdiri di belakang kak Irinadan kak Meidina, beliau menangis diam-diam. Aku tahu, tante Meli bukanlah

orang jahat, beliau hanya ingin mengembalikan keutuhan keluarga ini, meskipun

kenyataannya sangat mustahil.

“Ayah, cepat usir dia! Aku mau muntah lihat muka pembunuh itu!” Kak Irina

meninggalkan lingkaran ini duluan. Setelah itu disusul oleh suaminya yang

sepertinya tidak mengetahui apa-apa.

“Hana, ayah minta maaf. Tapi bisakah kita hidup sendiri-sendiri? Kami di sini

sudah menganggap Hana dan okasan-mu sudah mati. Tolong jangan hancurkan

acara pernikahan kakakmu, ya?” Ucap ayah lembut namun membuatku hancur

untuk yang kesekian kalinya.

Page 17: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 17/81

16 | D e a r K a s e i r a  

“Hana-… Hana pikir bisa menghabiskan tahun baru untuk pertama kalinya 

dengan ayah dan kakak-kakak, Hana pikir sudah saatnya Hana keluar dari

kesendirian yang sudah lama Hana alami setelah okasan meninggal. Ayah dankakak-kakak boleh membenci Hana, tapi jangan benci okasan juga. Okasan tidak

 pernah berbicara buruk tentang kalian. Keluarga yang ada di bayangan Hana

adalah ayah dan kakak yang merindukan kepulangan Hana sama seperti Hana

merindukan kalian. Ternyata Hana salah besar, ya ayah?” 

Ayah hanya diam dan memijit dahinya, “Hana, pergilah. Ayah mohon.” 

Sebuah tombak telah menembus jantungku. Bukan hanya satu tapi seribu

tombak berusaha mengoyakkanku, kata-kata ayah barusan berhasil membuatku

tersentak mundur beberapa langkah. Dengan nanar aku menatap ayah.

“Hana memang mau pergi.” Jawabku lirih. Pertahananku hancur lebur.

Visualisasi keluarga yang selama ini kuyakini telah hancur tak bersisa. Tak

kusangka nasibku seburuk ini…

“Saya yang akan mengantar Hana pulang om!” Dari belakang, Kaseira

menarik lenganku kasar, bergegas menarikku keluar dari pelataran gereja.

Dengan tak berdaya aku mengekor Seira dan ia mendudukanku di dalam

mobilnya. Sesaat tak ada yang berbicara. Kami berdua sibuk mengatur napas

masing-masing yang masih memburu.

“Apa tidak ada yang pernah kasih tahu ke kamu kalau respon keluarga kamu

akan seperti itu?” Akhirnya Seira memecah kesunyian.

Aku tertunduk, merasa tidak bisa menjawab apapun saat ini.

“Aku tak tahu.” 

“Saya tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk banyak bicara, kamu perlu

istirahat dan tenangin diri kamu. Saya antar pulang, ya?” 

Aku menoleh padanya, dengan air mata yang hampir tumpah lagi, dan

 bertanya “Kenapa kamu ikut campur?” 

Seira menggenggam kemudi dengan keras, “Saya hanya mau mengantar kamu pulang. Kamu terlalu kalut untuk bisa pulang sendiri. Lagipula saya tetap

menganggap kamu adik dari teman kuliah saya. That’s it.” 

“T hanks.”

“Jadi sekarang saya antar kamu pulang.” Jawaban itu singkat, tanpa tanda

tanya yang artinya ia akan mengantarku pulang tanpa basa-basi.

“Rumah satu-satunya baru saja mengusir Hana. Kamu tidak perlu mengantar

Hana, nanti Hana cari penginapan saja tidak apa-apa.” 

Seira berdecak lidah, entah kesal atau apa. Lalu ia mengemudikan mobilnya

tanpa berkata-kata.

Page 18: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 18/81

17 | D e a r K a s e i r a  

Sementara aku terlalu lelah untuk bisa berbicara, hari ini sangat menyakitkan,

dan tamparan bertubi-tubi tadi telak-telak menampar kesadaranku untuk menatap

realita bukannya terbuai oleh dongeng Bidadari Empat Musim yang okasanceritakan.

Untuk kedua kalinya, aku sangat menyesal telah memutuskan untuk datang ke

sini.

Hampir tiga puluh menit perjalanan dalam diam dan akhirnya Seira

menepikan mobilnya menuju basement sebuah apartemen.

“Mau diam saja di sini? Berniat tidur di dalam mobil?” Tanya Seira memecah

lamunanku.

“Saya pinjam apartemen saudara saya selama seminggu saya berada di

Surabaya, kamu bisa pakai enam hari lagi karena hari ini saya sudah akan pulang

ke Jakarta.” 

 Jakarta? Jadi ingat Viona… 

“Seira, tidak perlu.” Jawabku sungkan dengan kebaikan laki-laki ini.

“Saya bukan orang jahat, kamu tenang saja. Kamu perempuan dan tidak ada

orang yang kamu kenal sekarang, saya hanya mau menolong. Tidak lebih dari itu.

Ayo keluar, saya sudah gerah dengan pakaian kaku seperti ini.” 

Kami berjalan menuju lift  yang membawa kami ke lantai 16.

Sebelum pintu lift  terbuka aku menahan tangan kiri Seira, “Seira? Thanks.”

“ Anytime, Hana.” Jawab Seira sambil tersenyum. 

Kami masuk kedalam apartemen berukuran studio dengan desain minimalis.

Hanya ada satu tempat tidur di dekat kaca besar yang memberikan view kota

Surabaya tanpa batas lalu hanya dengan dibatasi partisi terdapat sofa mungil untuk

menonton televisi, lalu ada pantry, meja kerja, dan kamar mandi.

Aku duduk di sofa hitam yang menghadap kearah televisi, baru kusadari kalau

hanya ada dua warna di ruangan ini, warna hitam dan putih. Seira bergerak kesana

kemari membersihkan tempat tidur dari pakaian kotor dan meja dari sisa-sisa bungkus makanan dan abu rokok.

“Buat diri kamu senyaman mungkin, saya cuma mau ambil barang-barang

saya dan langsung berangkat. Bisa pinjam ponsel kamu sebentar?” Seira

mengulurkan tangannya meminta.

Aku memberikannya tanpa pikir panjang mesti tak tahu untuk apa ponselku

ini.

“Ini nomor saya, saya ga bisa bantu banyak, semoga tempat ini cukup

membantu kamu. Tapi kalau kamu perlu bantuan saya, kamu bisa hubungi nomor

ini. Oh iya, sebaiknya kamu cari nomor Indonesia saja.” 

Page 19: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 19/81

18 | D e a r K a s e i r a  

Aku mengangguk-angguk tanpa suara, merasa sangat beruntung di saat susah

seperti ini aku malah ditolong orang sebaik Seira.

“Terima kasih banyak Kaseira.” 

“Bukan apa-apa. Kamu hati-hati ya? Kalau sudah pulang ke Tokyo atau sudah

di tempat yang aman, tolong kabarin saya. Setidaknya saya tahu saya tidak perlu

khawatir lagi.” Ia tersenyum lembut.

“Iya, pasti Hana kasih kabar. Kamu sudah mau pergi sekarang?” Tanyaku

melihat ia sudah siap dengan tas ranselnya.

“Iya Hana, keretanya berangkat sebentar lagi. Kalau begitu saya pamit.” 

Aku mengantarnya sampai ke depan lift , sampai angka pada lift  menunjukan

lantai basement baru aku kembali menuju kamar.

Lelah dan sakit menghujam seluruh tubuhku. Okasan sering bilang, kita bisa

menciptakan seribu dongeng semau kita, tapi kehidupan tidak pernah sedatar dan

semudah di dalam dongeng.

Setelah Seira pergi, aku naik ke tempat tidur dan meringkuk didalam selimut.

Aku merindukan kamarku di Tokyo. Walaupun aku sangat bersyukur Seira sudah

memberikanku tempat tinggal, tapi aku lebih suka di dalam kamarku, membaca

novel seharian atau menonton dvd sampai tertidur lalu Vio akan

membangunkanku ketika ia pulang kuliah. Aku merindukan duniaku sebelum aku

kesini.

Kejadian tadi di gereja masih menusuk-nusuk hatiku setiap aku mengingatnya

kembali. Aku membunuh adikku, dan dibuang ke negara yang jauh selama

 bertahun-tahun, hidup sendiri tanpa pernah bertemu dengan keluarga kandungku.

Perlahan ingatan itu kembali datang, saat aku berlarian bersama saudari-

saudariku, ayah dan okasan duduk bersandar sambil memeluk satu sama lain. Dan

kejadian selanjutnya tak bisa kuingat, semakin kabur dan semakin membuat

kepalaku sakit.

Page 20: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 20/81

19 | D e a r K a s e i r a  

6. 

Kota Seribu Cahaya

Setelah kejadian itu, tante Meli datang menemuiku. Ia meminta maaf berkali-

kali dengan raut yang sangat menyesal. Dan saat itu lah beliau menceritakan

kejadian empat belas tahun yang lalu ketika aku masih berumur enam tahun.

Keluargaku sedang berlibur ke Pulau Seribu di Jakarta, aku dan saudari-

saudariku berserta ayah dan okasan, kami semua menyewa satu vila di pinggir

 pantai. Pantai adalah kesukaan kakak Irina dan Meidina, disekolahnya mereka

sangat jago dalam olahraga renang, sementara aku dan Eldri waktu itu belum bisa

 berenang.

Hari itu, saat ayah dan okasan sedang duduk santai mengawasi kakak Irina

dan Meidina yang sedang asyik dengan kamera analog kepunyaan ayah, Eldri

 berada dalam pangkuan okasan. Aku tak suka bermain dengan kamera, juga tidak

 bisa berenang, jadi aku hanya duduk di pinggir dermaga kayu yang menjorok ke

laut.

Saat itu lah Eldri memanggilku dari belakang, “Kakak, mari berenang sama

Eldri, ayah bilang kita bisa pakai pelampung.” Suara cempreng itu sangat gembira

karena diizinkan berenang.

Aku tidak mau berenang, aku takut pada sesuatu yang dalam, rasanya sepertitidak bisa bernapas ketika aku tahu kakiku tidak bisa mencapai dasar.

“Lalu setelah itu Eldri terpeleset dan jatuh ke dalam laut. Sama seperti Hana,

Eldri juga punya ketakutan yang sama pada kedalaman, tapi ia belum

mengetahuinya dan ia penasaran ingin mencobanya saat melihat Irina berenang.

Kakinya kram dan ia tidak bisa bernapas dengan normal.” Tutur tante Meli seperti

kembali ke saat itu.

“Lalu?” 

“Hana tidak bisa membantu Eldri dan memanggil ayah, tetapi saat ayah dan

okasan berlarian menghampiri kalian berdua, Eldri sudah tidak bernapas lagi.” 

“Jadi memang betul kalau Hana yang membunuh Eldri.” Jawabku pelan.

Untuk kesekian kalinya hatiku rasanya seperti dihujam oleh ribuan pisau yang

 baru habis diasah.

Tante Meli mengusap rambutku perlahan, “Tidak Hana, bukan Hana

 penyebabnya, itu murni kecelakaan.” 

“Lalu kenapa Hana yang disalahkan? Apa karena hal itu Hana dibuang ke

Tokyo?”

“Hana ingat? Eldri adalah anak yang sangat cerdas. Waktu umurnya lima

tahun Eldri adalah juara story telling tingkat nasional. Mungkin ayah dan

Page 21: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 21/81

20 | D e a r K a s e i r a  

kakakmu hanya merasa kehilangan harta yang berharga. Dan karena itu mereka

menutup mata dari kebenaran yang sesungguhnya. Okasan yang membawa Hana

ke Tokyo seperti yang kami berdua putuskan karena kalau Hana tetap disini, Hanaakan dikirim ke panti asuhan.” 

“APA?!” 

“Maafkanlah mereka, sayang. Hana tidak boleh mendendam ya? Okasan pasti

tidak pernah mengajarkan seper ti itu kan?” 

֎ 

“Sebelum pulang Hana mau mengunjungi teman di Jakarta. Kalau boleh

Hana minta tolong tante Meli antarkan Hana ke stasiun untuk membeli tiket

kereta.” 

Tante Meli yang mengantarku sampai ke stasiun, mungkin beliau merasa

 bersalah telah mendatangkanku kesini. Tapi bagaimanapun situasinya sekarang,

aku tahu kalau tante Meli hanya berniat baik.

Jadi sekarang, Raihana Akira anak ketiga dari keluarga Wicaksono telah

meninggal empat belas tahun lalu di Jakarta. Lalu aku hanyalah Hana yang lain

yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Aku mengambil kereta kelas

ekonomi yang berangkat pukul sembilan pagi dan menurut perkiraan tante Meli,kereta baru akan tiba pukul satu dini hari kalau tidak terlambat. Aku bertanya-

tanya, apa kereta disini bisa kena macet?

Perlahan kereta mulai melaju meninggalkan stasiun Gubeng Surabaya.

Aku duduk berhadapan dengan bapak yang menenteng tas kerja kulit yang sudah

terlihat tua. Beliau menyapaku ramah dan menawarkan minuman yang beliau

 bawa.

Setelah ku tanya beliau bukan mau turun di Jakarta, beliau bilang,

“Kejauhan itu, mbak . Bapak Cuma mau ke Yogyakarta, nanti turun di Stasiun

Lempuyangan. Sekitar jam tiga.” 

Ternyata bapak ini adalah seorang dosen di Universitas Negeri

Yogyakarta, namanya pak Ruslan, dan seminggu dua kali beliau harus menempuh

rute Surabaya-Yogyakarta pulang pergi yang bisa memakan waktu enam jam

sekali berangkat.

“Bapak tidak lelah?” 

“Namanya pekerjaan, ya har us dijalani. Dulu waktu bapak masih jadi

dosen baru malah harus ngajar seminggu empat kali, untung sekarang karena

sudah ngajar lama bapak boleh atur jadwal sendiri. Mbak-nya ke Jakarta di daerah

mananya? Saya beberapa kali ke Jakarta.” 

Page 22: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 22/81

21 | D e a r K a s e i r a  

Dalam hati aku membenarkan perkataan tante Meli yang tadi bilang aku

 pasti dapat teman ngobrol di kereta, karena orang Indonesia itu ramah-ramah.

“Budaya kita itu budaya yang ramah, bukan seperti negara yang sudah maju,mereka lebih individual ga pernah ‘tengok kanan-kiri’” 

Aku membuka lipatan kertas di dalam tasku yang berisi alamat rumah

Viona, ya aku ke Jakarta sekedar untuk bertemu Viona sebelum aku pulang ke

Tokyo. “Di Jakarta Timur, pak. Ini alamatnya,” Aku menunjukkan kertas itu pada

 bapak Ruslan, karena aku tak tahu bagaimana membaca ejaan alamat itu dengan

 benar.

“Oh di daerah Condet ini, biangnya ruwet.” Jawab bapak Ruslan sambil

nyengir.

“Kata teman ibu saya orang Indonesia ramah-ramah, kalau di tempat saya pasti tidak ada yang saling ngobrol begini di kereta. Semuanya diam membaca

atau tidur.” 

“Loh, kalau mbak  Hana keberatan saya cerewet, bilang saja loh, saya jadi

ndak  enak.” 

Aku buru- buru menyangkal, “Eh, tidak pak, saya senang ada teman

ngobrol. Rasanya jadi tidak terasingkan.” 

Aku tersenyum ramah. Mungkin aku memang dibesarkan di negara yang

orang-orangnya individualistis karena terlalu fokus pada pekerjaan mereka , tapi

aku lahir dari darah Indonesia, karena itu mungkin aku menyukai ketikamendengarkan orang lain menceritakan pengalaman mereka dan saling bertukar

cerita. Seperti mendapatkan teman baru. Tidak seperti di Tokyo, temanku hanya

satu, mungkin aku terlalu tertutup untuk berteman dengan mereka disana.

Perjalanan kereta terus berlanjut, kadang berhenti di stasiun dan sekali

harus terhenti karena ada kereta kelas atas yang mau memakai jalur dari arah

 berlawanan. Seorang petugas kereta yang kutemui di gerbong kereta mengatakan,

“Ya memang begitu mbak , ini kan kereta kelas ekonomi, harus ngalah sama kereta

yang mahal-mahal.”

Aku melihat keluar dari jendela, kereta berhenti di tengah-tengah area

 persawahan padi dan jagung. Hijau dan kuning yang menyegarkan mata. Akumengikuti beberapa orang yang berjalan keluar dari gerbong, mereka berdiri

diatas sambungan gerbong kereta yang difungsikan sebagai toilet. Bau yang khas

dari kereta ekonomi kata seorang bapak di sebelahku sambil tertawa.

Mengesampingkan bau yang tidak sedap dari toilet, mataku dimanjakan

oleh indahnya alam Indonesia. Ini kelebihan kereta ekonomi. Biar harus terhenti

karena jalurnya dipakai kereta lain, aku bisa mendapatkan pemandangan seindah

ini yang belum pernah ku lihat sebelumnya.

Ku foto pemandangan itu dan kukirim ke Viona dengan caption :

Guess where I am? INDONESIA!

Page 23: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 23/81

22 | D e a r K a s e i r a  

֎ 

Satu hadiah lagi dari kereta kelas ekonomi adalah sandaran kursi tidak bisa

disesuaikan. Rasanya tulang punggungku rontok. Setiap aku merenggangkan

 badan pasti ada bunyi seperti tulang mau patah. Aku kelelahan dan kehausan.

Karena di stasiun terakhir sebelum berhenti di stasiun Jatinegara, Jakarta aku tidak

membeli persediaan minum.

Dan sesampainya di Jakarta, aku langsung menyerbu minimarket 24 jam

yang sepi. Saat masuk pramuniaga laki-laki itu menyapaku ramah, dan ketika aku

sedang memilih minuman apap yang akan ku beli, ia berseru agak keras, “ MBAK !

Tasnya robek. Besar sekali robeknya!”

Dengan panik karena tahu akulah satu-satunya pelanggan di dalam situ

 pasti aku yang ia maksud, ku periksa tas ranselku, dan ternyata di dasarnya sudah

dirobek entah menggunakan apa. Oh astaga!

“Mbak coba periksa apa ada yang hilang didalamnya.” Pramuniaga itu

menghampiriku berniat membantu. Ku keluarkan semua yang ada didalam tasku,

dan aku tak menemukan dompet besar yang berisi uang, kartu kredit, passport dan

 beberapa surat penting lainnya. Yang tersisa hanyalah head-set , sweater  dan botol

minum.

“Yang penting-penting semuanya hilang, Cuma sisa handphone di saku

celana saya.” Ucapku dengan semangat yang tiba-tiba hilang entah kemana.

“Ini kayaknya dirobek pakai pisau mbak . Mungkin waktu mbak  desak-

desakan turun dari kereta. Gimana ya mbak ? Saya panggilkan petugas dulu ya

mbak .” Laki-laki itu berlari keluar dan tak berapa lama datang lagi bersama

 petugas keamanan stasiun.

Aku tertawa sendiri, menertawai kesialanku yang ternyata tidak berakhir

di Surabaya saja. Mimpi buruk kedua.

Dua petugas mencari cara untuk menemukan barang-barangku tapi

nyatanya stasiun Jatinegara terlalu ramai dan mungkin saja pencopetnya sudah

 bergegas melarikan diri sebelum ketahuan. Aku tertunduk lesu. Dan lebih lesu lagiketika petugas itu bertanya aku mau pulang kemana. Alamat rumah Viona yang

kemarin pagi kutunjukkan pada Bapak Ruslan itu aku simpan di dalam dompet

karena kupikir aku tidak mungkin melupakan dompet jadi kertas itu akan aman di

situ.

Lalu sekarang, aku harus bagaimana?

“The number you are calling is…” Itu adalah jawaban dari operator

telepon ketika aku mencoba menghubungi Viona.

 Nomornya tidak aktif. Dan baru kusadari kalau nomornya sudah tidak aktif

sejak kemarin aku mengirimkannya foto.

Page 24: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 24/81

23 | D e a r K a s e i r a  

Pak Ruslan bilang Viona tinggal di daerah Condet. Hanya itu! Condet

 pasti lebih besar dari lapangan sepak bola, kan? Mustahil untuk menemukan

Viona terlebih lagi nomornya yang tak bisa dihubungi.

Setelah berterima kasih pada petugas kemanan dan pramuniaga tadi, aku

keluar dari stasiun dan terbelalak melihat sekelilingku. Banyak pria yang

menghampiriku menawarkan jasa mulai dari ojek sampai mobil sewaan. Aku

sampai lelah menjawab tidak.

Aku tidak punya uang dan tidak tahu harus kemana. Sementara uang di

saku celanaku hanya ada sepuluh ribu rupiah. Itu saja. Tante Meli? Haruskah aku

merepotkan beliau malam – malam begini?

“Hallo Hana? Sudah sampai di Jakarta kamu?” Suara tante Meli langsung

terdengar setelah dering pertama.

“Tante Meli, Hana habis kecopetan. Dompet Hana hilang, ada surat-surat

 penting juga disitu, tante.” 

Aku terduduk lesu di trotoar jalan. Dibalik deretan taksi yang menunggu

 penumpang dan ada beberapa kios-kios kecil, aku mencoba menceritakan

kronologi kejadian setengah jam yang lalu, yang aku sendiri tidak tahu dengan

 jelas bagaimana bisa kecopetan. Lalu untuk ke sekian kalinya tante Meli

menolongku.

“Hana tunggu di dalam stasiun saja. Diluar lebih berbahaya apalagi sudah

tengah malam begini. Hana tunggu di dalam saja. Duduk dekat pos petugaskeamanan, ya?” 

Mengikuti perintah tante Meli, aku kembali ke dalam dan meminta izin

 petugas yang tadi menolongku untuk duduk sebentar di sana sampai tante Meli

menghubungi lagi.

֎ 

“Sepertinya saya sudah kasih nomor saya di ponsel kamu. Saya kecewa

kenapa saya tidak dihubungi waktu kamu butuh pertolongan.” Sebuah tangan

melepas headset -ku dan berbisik pelan di telingaku.

Antara kaget dan takut kecopetan lagi aku bergeser cepat dari tempat

dudukku. “Kaseira?!” Seruku kaget, lima kali lipat lebih kaget dari yang

sebelumnya.

Ia tersenyum dan menarik tanganku untuk duduk kembali di sampingnya.

“Jadi habis dimaki-maki di Surabaya, sekarang di Jakarta kamu dicopet?

Sisa handphone saja? Lebih baik habis ini kamu pulang ke Jepang, biar

kesialannya berhenti di Indonesia.” Ujar Seira, ada nada bercanda di dalamnya.

Page 25: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 25/81

24 | D e a r K a s e i r a  

Aku tertunduk, “Untung handphone Hana ada jimatnya, jadi tidak ikutan

di copet.” Aku memandangi omamori pemberian okasan yang kugantung di

handphone kemarin. Dan aku tersenyum senang, “Setidaknya benda ini tidakhilang.”

Seira tertawa pelan, “Jimat ini, lebih berharga dari passport yang bisa

 bawa kamu pulang ke Jepang ya?” 

“Passport bisa dibuat ulang, kalau omamori ini yang kasih sudah tidak ada,

 jadi ini lebih berharga. Eh, kenapa kamu bisa disini? Jangan-jangan tante Meli

yang suruh kamu datang.” 

“Cerdas! Yuk, pergi dari sini. Tante Meli-mu itu menyuruh saya untuk

 jagain kamu. Jadi kamu tanggung jawab saya sekarang.”

Aku terpaku ditempat. Tanggung jawab katanya? 

“Tas ini mau dibawa? Sudah rusak begini loh.” Seira mengangkat tas yang

robek parah itu.

“Bisa dijahit, kan? Asal bebannya tidak terlalu berat, jahitannya pasti

aman.” 

“Ya sudah, Ayo jalan. Oh iya maaf, tidak keberatan kan, kalau naik

motor?” 

Aku mengangguk santai.

Motor hitam itu melaju membelah jalanan kota Jakarta yang basah sehabis

hujan. Kendaraan tidak terlalu padat karena sudah lewat tengah malam, namun

lampu-lampu kota ini tidak juga padam. Kota ini tidak pernah tidur.

Ku perhatikan punggung berbalut sweater  hitam itu. Kupikir tidak akan

 bisa bertemu lagi dengannya. Di Jakarta yang luas ini, bahkan sedikitpun tidak

 pernah terbayang untuk bisa bertemu lagi dengan Kaseira.

Ingatanku kembali ketika aku duduk di bangku SMA, saat tidak ada yang

mau berteman denganku dan menindasku di sekolah, okasan bilang hal yang

 buruk anggaplah sebagai badai di lautan yang luas. Badai yang besar sekali

sampai membuat Hana ketakutan. Tapi badai tidak pernah selamanya mengamuk,suatu saat akan reda juga. Setelah badai reda, lautan akan kembali teduh dan tidak

menyeramkan lagi, langit yang tadinya kelabu nantinya akan kembali biru.

Beberapa hal yang terjadi dalam minggu ini, dimulai dari pertama kali

kakiku menapak di tanah Indonesia lagi, sampai dibuang oleh keluargaku. Lalu

ketika aku mencoba kabur dari kesialan itu, aku tetap tertangkap lagi, kecopetan,

lalu alamat Vio yang hilang, sampai nomor Vio yang tidak aktif. Aku menatap

langit gelap sehabis hujan. Andai ada kesialan lagi, kuberikan kamu waktu satu

kesempatan lagi untuk menghancurkanku. Setelah itu, jangan pernah datang lagi!

“Hei Kaseira?” Aku menyentuh pundaknya pelan. 

Page 26: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 26/81

25 | D e a r K a s e i r a  

“Ya?” Suaranya keras mengalahkan terpaan angin. 

“Saya belum bilang ini waktu di Surabaya.” 

“Apa Hana? Jangan bilang terima kasih lagi!” Larangnya galak. 

Aku tersenyum, dia memang orang yang baik. “ Nice to meet you,

Kaseira.” 

Page 27: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 27/81

26 | D e a r K a s e i r a  

7.   Nice To Meet You Again

“Saya tinggal disini. Kamu bisa tinggal di sini sampai kamu kembali ke

Jepang. Keberatan tidak?” 

Aku menatap kamar ukuran 30 meter persegi itu. “Tidak masalah sama sekali.

Terima ka-“ 

Seira memotongnya cepat, ‘Eits! Kayaknya kita berdua harus buat peraturan,

tidak boleh bilang “terima kasih”” Aku merenggut menutup mulut. 

“Kamu tidur di kamar, saya harus selesaikan tugas saya buat besok. Tenang

saja, tugas saya jaga kamu, bukan mau apa-apain kamu. Istirahatlah Hana, tenaga

kamu pasti terkuras habis.” 

Seira mendorong bahuku pelan sampai aku tertidur di atas kasurnya, seperti

seorang kakak laki-laki yang menyuruh adiknya tidur.

“ Nice to meet you again, Hana.” Seira berbisik pelan sambil tersenyum.

“Kaseira.” Kata itu adalah kata terakhir yang kuucapkan sebelum aku terlelap. 

Aku tak tahu takdir apa yang membawaku bertemu lagi dengannya, entah

siapa laki-laki yang terus menjadi dewa penolongku ini, dan entah harus

 bersyukur atau harus merasa bersalah telah menyeret dia kedalam masalahku. Satu

yang aku tahu pasti, aku merasa aman berada dekat dengannya.

֎ 

 Ruang kelas Universitas Indonesia, Depok.

Tidak seperti pagi-pagi sebelumya sejak aku menumpang tinggal bersama

Seira sampai passportku jadi, hari ini Seira mengajakku ikut dengannya ke

kampus. Letaknya lumayan jauh dari apartemen tempat tinggal Seira, Seira bilang

nama daerah ini Depok, sudah berada di daerah Jawa Barat.

“Apa tidak masalah saya menyelinap begini?” Tulisku di selembar kertas

dan ku berikan pada Seira.

Dia balas menulis, “Dosen yang ini, dia tidak pernah perhatikan

mahasiswanya. Dia cuma nerangin kayak lagi curhat sama dirinya sendiri.

Santai.” 

Aku meliriknya curiga. “Sudah biasa nyelundupin orang kesini ya?”

Tulisku lagi.

Kami saling berkomunikasi lewat selembar kertas yang ia robek dari buku

catatannya.

“Selamat! Anda yang pertama.” 

Page 28: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 28/81

27 | D e a r K a s e i r a  

“Kasei…” Tulisku singkat, yang sebenarnya tidak tahu harus balas

 bagaimana.

“Kenapa kamu panggil saya Kasei? Kenapa bukan Seira?” 

“Kasei ada artinya kalau di Jepang.” 

“Apa artinya?” 

Aku menahan tawa sambil terus menulis. “Mars. Jadi mungkin kamu ini

alien dari planet Mars.” 

Seira mencubit tanganku sebal.

Sesi tulis menulis terhenti saat Seira maju mempresentasikan tugasnya.

Setelah itu kelas selesai dengan satu mahasiswa selundupan yang tidak tertangkap.Seira mengajakku untuk mampir ke kafetaria kampus dan disitu lah ketika aku

sedang makan mie ayam untuk pertama kalinya, aku dan Seira bertemu dengan

Revan.

“Oh jadi namanya Hana? Salam kenal, gue Revan, sepupunya Seira.” 

Aku menjabat tangan kekar itu dengan ramah. Seira di sampingku tampak

gusar.

“Van?” 

“Oh tenang aja. Gue pinter simpen rahasia kok. Tapi kemarin Opa nanyain

elo tuh, bang. Hehehe.” 

“Van, She’s just a friend . Jangan sebar gosip aneh-aneh.” 

“Oke deh, gue masih ada kelas lagi habis ini, jangan lupa bawa dear Hana

ke pestanya Keenan dan Renata, ya? Sampai ketemu nanti, dear Hana.” Revan

menyentuh jemariku lembut.

Ekor mata Seira mengikuti Revan dengan sinis sampai laki-laki itu benar-

 benar hilang dari pandangannya.

“Kasei? Apa ada yang salah?” Tanyaku meminta jawaban dari ekspresi

waspada itu.

“Revan itu tukang gosip, saya takut nanti dia sebarin gosip kalau kita pacaran.”

Seira mengerling jengkel sambil menarik tanganku untuk mengikutinya menuju

 parkiran kampus.

“Lalu bagaimana?”

“Sudah, santai saja ya, Hana. Yuk pulang!” Seira sering menggunakan intonasi

seperti itu. Seperti mengucapkan dengan penekanan di namaku, penekanan yang

lembut. Entah bagaimana aku menjelaskannya, tapi aku menyukainya. Maksudku

menyukai intonasinya.

“Em..Kasei, Hana boleh tanya sesuatu?” 

Page 29: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 29/81

28 | D e a r K a s e i r a  

“Apa Hana?” 

“Kenapa dengan ekspresi kamu?” 

“ I’m fine, Hana.” 

“Lagi bohong ya?.” Tanyaku menyelidik. 

Seira nyengir sambil menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat. “Ayo

cepetan jalannya, sudah mau hujan.”

“Biar saja hujan. Di Jepang Hana suka main hujan, loh. Orang Indonesia

suka main hujan juga tidak?” 

Seira nyengir licik. “Oh kamu mau coba hujan-hujanan? Oke lady, mari

kita hujan-hujanan.” ֎ 

“Jadi hujan-hujanan disini sama di Jepang enakan yang mana?!”

Teriaknya lepas.

Aku tertawa lebar mendengarnya. Hujan-hujanan yang ku maksud adalah

 bermain air hujan dengan memakai jas hujan atau payung. Bukan tanpa pelindung

seperti ini. Badanku basah kuyup, begitu juga dengan Seira. Ia membawaku naik

sampai ke lantai 15 gedung apartemennya. Hanya satu lantai di atas kamarnya

yang berada di lantai 14.

“Ini jauh melebih ekspektasi yang Hana bayangkan. Seru!” 

Ia berlari kesana-kemari kadang meloncat-loncat mencipratkan genangan

air hujan dari kakinya. Kaseira yang seperti ini jauh lebih lepas dari Kaseira yang

 biasanya.

Kami masih terus bermain dan tertawa sampai hujan berhenti. Langit

sudah berubah gelap dan seperti yang okasan bilang, selalu ada langit yang cerah

setiap kali habis badai. Seira mengajakku ke sudut bangunan yang dibatasi dengan

 pagar besi. Dari sini, rasanya seluruh kota Jakarta bisa terlihat dengan jelas.

Deretan gedung-gedung tinggi, area pemukiman yang kecil-kecil sampai yangterlihat hanya berupa kumpulan titik-titik kecil. Dan tak ketinggalan jalanan yang

dilalui beribu kendaraan.

“Hana, selamat datang di Jakarta.” 

Seira berdiri di belakangku, memegang kedua pundakku dan

memberikanku keleluasaan untuk membebaskan pandanganku.

“Kaseira adalah orang yang baik. Terima kasih sudah menolong Hana.”

“Saya hanya berusaha menjadi baik.” Bisiknya dari belakang.

Page 30: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 30/81

29 | D e a r K a s e i r a  

Aku memutar badan dan bertatapan langsung dengannya, berusaha

membaca ekspresi apa yang ada di sana. “Apa maksudnya?” 

“Tidak ada manusia yang baik, yang ada hanya mereka yang berusaha

menjadi orang baik. Coba lihat keatas!” 

Aku mengikuti arah pandangannya, “Kontras sekali ya? Lampu-lampu

kota yang begitu ramai, dan bintang-bintang yang tidak kalah banyaknya tapi

tidak bikin silau.” 

“Langit luas sekali ya, Kasei? Tidak ada batasnya.” 

“Iya Hana, saya tidak pernah bosan ke tempat ini setiap saya suntuk. Lihat

lampu-lampu gedung, atau lihat jalanan yang tidak pernah kosong, lalu ujung-

ujungnya saya pasti tiduran di sini lihat keatas.” 

Aku tersenyum, telunjukku menujuk keatas, “Kaseira kan datangnya dari

sana. Mars.” Candaku dengan wajah sok serius. 

“Anak nakal. Sudah bisa ngeledek saya ya?” Seira menjewer telingaku

 pelan.

Kami sama-sama tertawa sebelum Seira melanjutkan kata-katanya,

tangannya naik dan mengusap puncak kepalaku, “Mungkin terlalu dini untuk

 bilang begini, tapi karena sudah terlanjur terseret di masalah satu sama lain, dan

saya sudah bilang kemarin kalau kamu adalah tanggung jawab saya. Sekarang

saya bilang sekali lagi, Hana selama di sini, kamu adalah tanggung jawab saya.

Apapun itu masalahnya, tidak boleh rahasia-rahasiaan dari saya, ya? Dan jangan

 jauh- jauh dari saya. Ok?”

“Ya, selama Hana di sini.” Aku mengiyakannya tanpa pikir panjang. 

֎ 

Aku sedang mengeringkan rambutku yang masih basah. Pakaianku sudah

 berganti dengan kaos kebesaran yang pastinya milik Seira. Seira bilang dia suka

lihat perempuan pakai baju kebesaran daripada pakai baju terusan seperti yang

kupakai waktu ke gereja, dan saat di stasiun.

Lalu Seira tiba-tiba berlutut di depanku, dan mengambil alih kegiatanku

mengeringkan rambut, yang membuatku sangat terkejut.

“Perempuan Jepang didepan saya ini namanya Raihana. Banyak sekali

orang jahat yang nyakitin dia. Kakaknya, ayahnya, bilang dia pembunuh. Dia

dibuang, tidak dianggap, dan sudah ditinggal pergi ibunya. Tapi satu hal yang

saya kagum dari perempuan di depan saya ini, dia sangat kuat. Bahkan ketika

 berbagai masalah yang menurut saya sudah kayak kiamat, dia masih bisa

tersenyum. Dia tidak tahu gimana perasaan saya waktu dia bisa tertawa kayak

tadi, saya sangat senang karena melihat dia seperti hidup kembali.” Lalu tangan

Page 31: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 31/81

30 | D e a r K a s e i r a  

Seira berhenti mengeringkan rambutku. Matanya menatap mataku dalam, dan aku

membeku.

“Saya hanya orang asing yang tidak sengaja masuk ke dalam masalahnya.

 Namun ketika ia masih bisa berdiri tegak setelah ditampar dijambak dan dimaki,

saya tetapkan keinginan untuk menjaga dia. Terlalu cepat untuk mendefinisikan

 perasaan saya sekarang, kami baru berkenalan sebulan yang lalu, tapi yang saya

tahu saya tidak akan biarkan ada orang lain yang nyakitin dia lagi.” Lanjutnya lagi

yang membuatku makin membeku.

“Kaseira…” Aku belum selesai menyampaikan kata-kataku tapi tangan

Seira sudah lebih dulu mencapai dahiku.

Dengan kedua tangannya ia mengusap lembut, “Santai… Santai… Jangan

khawatir. Saya akan selalu ada buat kamu.” 

Page 32: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 32/81

31 | D e a r K a s e i r a  

8. 

Alien dari Mars

Pagi ini seperti bisa, aku bangun di atas tempat tidur yang sama sejak dua

 bulan kamar ini dipinjamkan padaku. Setiap pagi aku terbangun dengan suara lagu

yang biasa Seira putar sebelum ia berangkat kuliah, tapi pagi ini berbeda. Suara

lagu itu tetap ada, tapi ditambah dengan suara seseorang yang mendominasi suara

si vokalis. Sepertinya Seira sedang kedatangan tamu.

“Ada apa Mei? Gue baru mau keluar . Mau ikut?” Suara Seira terdengar

gugup. Aku mengingat-ingat kalau kakakku adalah teman satu kampusnya Seira.

Mungkin kah ia datang kesini karena mengetahui kalau ada aku di sini?

“Gue dengar lo jadi deket sama cewek itu, yah?” Tanya Meidina, nadasuaranya menyiratkan kecurigaan.

“Cewek yang mana maksud lo?” 

“Hana. Gue denger dari anak -anak di kampus katanya lo bawa cewe Jepang ke

kampus. Mungkin ga itu orang yang sama dengan cewe yang lo anter pulang dari

gereja?” 

“Mei, gue ga perduli masalah lo dengan Hana, atau lebih tepatnya kebencian

kalian dengan Hana, itu urusan kalian. Gue cuma mau bantu dia, itu aja.” 

“Lalu dimana dia sekarang?” 

“Eh, udah deh Meidina ratu cerewet, gue udah mau jalan. Lo mau ikut atau

gue kunci sendirian disini?” Seira buru-buru mengelak saat pertanyaan itu

muncul.

“Perasaan gue bilang, lo lagi nyembunyiin sesuatu, nih. Atau seseorang?” 

Aku diam ketakutan di dalam kamar. Aku takut kejadian di Surabaya kembali

terulang, bahkan untuk bernapas pun aku takut ketahuan. Aku menutup mulut

dengan kedua tanganku, merasakan napasku mulai memburu dan semakin

membuatku sesak.

Di pojok kamar, di sebelah lemari yang cukup untuk menyembunyikanku, akududuk meringkuk dan berusaha bernapas pelan-pelan. Pandanganku semakin

kabur dan kabur. Aku pernah merasakan ketakutan yang seperti ini. Ketakutan

yang sama k etika Eldri tenggelam… 

Pintu kamar terbuka dengan kasar. Tubuh langsing Meidina berdiri di ambang

 pintu dengan Seira di belakangnya yang berusaha menariknya keluar.

“Oh ternyata betul ada si anak sial ini di sini. Lo baik banget ya Sei, mau

nampung dia. Awas nanti lo ikutan mati kayak adik gue.” Meidina berjalan

dengan langkah lebar-lebar menuju ke arahku.

Page 33: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 33/81

32 | D e a r K a s e i r a  

 Napasku semakin sesak seiring dengan Meidina yang semakin mendekatiku.

Adegan tenggelamnya Eldri secara acak datang kedalam ingatanku.

“Kakak tolong! Kakak tolong aku!” Teriak Eldri berkali-kali tapi aku hanya

terpaku di tempatku, tak bisa berbuat apa-apa meski aku sangat ingin

membantunya.

Seira datang dengan langkah yang lebih cepat dibanding Meidina, ia menarik

tangan Meidina kasar, mendorongnya menjauh dariku. Seira menarikku berdiri

dan membuat dirinya sebagai tameng di depanku.

“Lo lihat dia! Lo lihat dia! Bahkan sama kakaknya sendiri dia bisa ketakutan

kayak begini! Lo punya hati ga Mei? Keluarga lo punya hati ga, gue tanya?!” 

Meidi melotot, mukanya merah karena emosi. Bagaimana bisa Seira membela

orang yang paling dia benci, aku mengerti bagaimana emosinya kakakku sekarang

ini.

“Dia bukan adik gue! Gue ga sudi punya adik pembunuh!”

“Ok. Gue ga perduli dengan apapun itu masalah lo. Tapi satu gue peringatkan,

lo dan keluarga lo jangan pernah sekali-kali sentuh Raihana! Sampe sekali lagi

gue lihat dia ketakutan kayak begini, gue ga akan berpikir dua kali untuk

ngancurin hidup kalian!” 

“Lo bener - bener tolol, Seira!” Maki Meidina kesal,. 

“Dan lo bukan manusia, Meidina.” Jawab Seira dingin.

Seira berpaling menatapku yang sedang meramas tangannya kuat sekali,

“Hana? Mari naik ke tempat tidur, kamu gemetar sekali.”

Perlahan Seira melonggarkan genggaman tanganku dan menggendongku ke

tempat tidur.

“Rasanya seperti mau mati saja.” Jawabku denga susah payah.

Seira duduk di samping tempat tidur, menatapku dengan pandangan tak tahu

harus berbuat apa. Aku memberikannya senyuman kecil untuk menjawab

kekhawatiran itu. “Hana hanya syok Sei. Ternyata Hana tidak sekuat yang Seira pikir.” Ucapku dengan senyuman kecut.

“Tidak, kamu tetap perempuan terkuat kedua setelah mama saya. Nih buktinya

masih bisa tersenyum.” Seira menyentuhkan telunjuknya keujung garis senyuman

di bibirku.

“Hana pernah rasain ketakutan yang sama kayak tadi. Waktu Eldri

tenggelam… Bedanya sekarang Hana tidak menangis kayak dulu. Hana rasa

sudah tidak ada sisa air mata lagi di sini.” 

Seira menahan tanganku yang berusaha ku angkat, “Tidur lah. Suhu badan

kamu makin tidak normal. saya ambil obat sama kompresan dulu, ya. Nurut sama

Page 34: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 34/81

33 | D e a r K a s e i r a  

saya ya, Hana. Besok kita masih harus berjuang untuk hidup, kamu tidak boleh

tumbang sekarang.” 

“Bisa kah Hana sendiri dulu? Tolong…” Pintaku tak berdaya.

Seira menatapku lama sebelum mengabulkan permintaanku. Pintu menutup

 pelan dan aku terpaku ditempatku.

Kuambil omamori yang kugantungkan pada ponselku, aku rindu okasan.

Untuk pertama kalinya aku mereasa sendirian yang benar-benar sendiri. Salah apa

aku sampai hidupku seperti ini?

Okasan… Kenapa tidak pernah menceritakan semuanya pada Hana? Kenapa

 Hana harus berpikir kalau banyak orang yang sayang sama Hana? Nyatanya, tak

ada seorang pun yang menginginkan kehadiran Hana di sini. Lalu Hana harus

kemana? Okasan sudah lebih dulu ninggalin Hana. Dan di sini, satu-satunya

keluarga yang Hana tau. Okasan lihat sendiri bagaimana mereka membenci

 Hana.

Okasan yang mengajarkan Hana untuk mengkhayal dan menciptakan

dongeng Hana sendiri. Keluarga yang bahagia, ayah yang menyayangi anak-

anaknya, kakak yang melindungi adiknya. Harapan Hana terlalu tinggi, okasan.

 Harapan ini, yang sudah bertahun-tahun Hana bangun, hanya bisa

mengecewakan Hana.

Okasan… Kenapa tinggalin Hana? Hana sudah tidak punya siapa-siapa lagi

 sekarang. Hana tidak tahu harus kemana lagi, Hana tidak tahu harus ngapainlagi. Harusnya okasan ada di sini, bela Hana waktu semua orang bilang Hana

 pembunuh!

Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil sebuah kotak plastik dari dalam

tas. Sesuatu yang ditinggalkan pencopet waktu di kereta. Obat-obatan. Daya tahan

tubuhku tidak baik, oleh karena itu sejak kecil okasan selalu mengingatkanku

untuk membawa obat-obatan ini setiap aku berpergian.

“Kalau H ana flu, Hana minum yang ini dan yang ini, satu tablet sehari dua

kali dan yang ini sehari tiga kali. Lalu kalau ada demam, Hana harus minum ini

 sehari tiga kali sampai demamnya hilang. Paham?” Okasan sudah seperti dokter

 pribadiku kalau soal obat-obatan.

“Okasan… bagaimana jadinya kalau Hana meminum semua obat ini dalam

waktu yang bersamaan? Bisakah Hana menghilangkan perasaan takut dan kecewa

ini?” Ucapku pada omamori. 

Pernah kah kalian merasa putus asa sampai untuk hidup sehari lagi saja

rasanya sudah tidak bisa. Pernah kah kalian merasa ketakutan pada hidup dan

kenyataan lalu berpikir ajal adalah pilihan yang terbaik? Pernahkah kalian merasa

seputus-asa seperti aku sekarang?!

Page 35: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 35/81

34 | D e a r K a s e i r a  

Ada kah yang mengalami hal yang lebih buruk dari aku? Apakah ibu kalian

meninggalkan kalian dengan sebuah kebohongan besar yang tidak pernah ia

ceritakan?

Dan… apa keluargamu juga menuduhmu sebagai seseorang yang membunuh

adik kecilmu? Aku merasakannya! Aku mengalami semua kejadian sial ini!

Dalam keputusasaan yang kuat, kutelan lebih dari sepuluh pil sekaligus namun

aku belum menemukan ajalku. Beberapa puluh pil berikutnya kembali kutelan,

namun ajal belum juga mendatangiku. Sampai aku sudah lupa berapa banyak pil

yang ku telan, badanku mulai dingin. Aku tertawa senang, seperti orang gila.

Ini adalah momen yang pas, di dalam kamar yang gelap, sendirian dan tak ada

yang mencari, aku bisa menemui ajalku dengan bebas.

Aku menelan sekitar tiga puluh pil terakhir yang ku punya. Dan aku pun jatuh

terlentang di atas kasur. Mataku menatap nanar langit-langit kamar, kosong.

Badanku menjadi semakin dingin di luar dan aku merasakan panas yang lebih

mirip seperti terbakar di dalam tubuhku. Sensasi kematian yang aneh, dan aku

menikmatinya.

“Inilah akhir dari Raihana si pembunuh adiknya.” Ucapku entah pada siapa.

Aku menutup mataku, ia sudah tak kuat memaksakan untuk tetap terbuka. Ia

sudah menyerah. Dan aku memasuki sebuah dunia yang serba putih. Tak ada

tanah dan tak ada langit. Namun suara keramaian jalanan diluar sana masih

terdengar walaupun suaranya begitu jauh.

Aku melayang. Kakiku tak bisa menapak karena aku melayang di atas jurang

 putih menyilaukan yang tak memiliki dasar. Tanganku tak berusaha menggapai

apapun, aku membiarkan diriku menikmati detik yang orang bilang dengan

“Ajal”. 

Kupasrahkan hidupku pada maut. Mungkin aku akan terjatuh ke jurang

menyilaukan di bawah kakiku, atau mungkin akan tersedot ke atas, ke langit silau

yang tak memiliki horizon.

Dan detik itu lah aku sudah tak bisa merasakan apapun. Bahkan badanku yang

tadi dinginnya seperti es, tak bisa ku rasakan. Tak ada panas dan dingin, tak adaapa-apa disini.

HANAAAA!

Seseorang memanggilku dan membuat kataku terbelalak kaget.

“HANA?! HANA?!” Lalu setelah itu suara panik Seira membawa

kesadaranku kembali menginjak bumi.

“Uweeek… Uhuk..uhuk..” Aku memuntahkan busa yang sangat banyak di

lengan Seira.

Dan untuk pertama kalinya aku tak bisa menahan air mataku.

Page 36: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 36/81

35 | D e a r K a s e i r a  

“Hana ingin mati! Kenapa Seira mengacaukan semuanya?! Hana sudah

hampir mati tadi.” 

Seira terkejut mendengar suara kecil yang keluar di sela-sela tangisanku.

Ia tak bicara sepatah kata pun, ia hanya menggendongku ke kamar mandi dan

menbiarkanku memuntahkan semua pil-pil itu yang sekarang sudah menjadi busa.

Aku muntah tanpa jeda sedikitpun sampai otot perutku sakit. Seira tetap

 berada dibelakangku sambil memijitku di bagian leher belakang.

Sekitar enam jam berikutnya baru busa-busa itu habis. Dan aku terjatuh ke

lantai kamar mandi, sekujur badanku lemas dan aku tak kuat untuk berdiri.

Aku tertawa miris sambil menatap Seira yang belum juga mengatakan apa-

apa.

“Hana pikir, Seira seharusnya membuang Hana juga. Karena otak ini,”

Aku memukul-mukul kepalaku dengan keras, “otak ini terus memikirkan cara lain

untuk mati. Hahaha. Sei, rasanya Hana sudah gila.” 

Seira bangkit, dan tangannya menjulur untuk mengambil shower . Dan

detik berikutnya ia menyiramku sampai aku basah kuyup. Sekarang aku sudah

 bisa merasakan lagi apa itu dingin.

“Sadar Hana. Sadar! SADAR!!!!!!” Seira meledak. Matanya berkilat

 penuh kemarahan.

Aku tak berubah dari posisiku sebelumnya, aku masih terlentang diatasmuntahan busa yang kuhasilkan selama enam jam berjongkok di depan kamar

mandi. Dan kini aku basah kuyup.

“Mereka jahat. Semua orang jahat. Hana ditinggalkan okasan dengan

kebohongan besar yang tidak pernah okasan ceritakan. Ini tidak adil! Dan kamu

salah kalau kamu bilang Hana adalah orang yang kuat. Hana berpura-pura kuat

untuk nutupin rasa depresi Hana.” Aku berkata datar. Tanpa penekanan dan tanpa

emosi di dalamnya.

“Kamu tahu? Gimana takutnya saya lihat kamu di dalam kamar lagi

kejang-kejang dengan mulut penuh busa dan badan yang dingin sekali kayak tadi?

Gimana ga berdayanya saya, dan saya ga tahu harus bikin bagaimana supaya

kamu bisa buka mata kamu!” 

Seira meletakkan kembali shower  ke tempatnya, dalam kedaan yang masih

menyala membuat airnya kini juga membasahi badan Seira. Ia jongkok di

depanku, matanya menatapku tajam. Aku tahu dia marah sekali.

“Kamu egois, Hana. Kamu cuma mikirin diri kamu sendiri. Kamu tahu

kenapa orang kayak saya dan tante Meli datang di hidup kamu? Karena kami ga

mau lihat kamu jatuh kayak begini. Karena kami mau kamu tetap berdiri, dan

terus hidup, tetap bahagia. Lalu kamu buang semuanya? Kamu sia-siain usaha

orang-orang yang mau bantu kamu?” 

Page 37: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 37/81

36 | D e a r K a s e i r a  

“Kamu jauh lebih egois dari ayah dan kakak kamu. Kamu tidak pernah

 pikirin gimana takutnya saya kehilangan kamu.”

Seira bangkit dan meninggalkanku di dalam kamar mandi. Ia kembali

hanya untuk menutupi badanku dengan handuk lalu ia pergi lagi. Ya benar, aku

tak pernah memikirkan Seira. Bagaimana bisa aku berusaha bunuh diri di tempat

tinggalnya? Kalau aku mati, dia bisa di salahkan. Sama seperti aku disalahkan atas

kematian Eldri.

“Kamu benar Seira. Maaf sudah menyusahkanmu seperti ini. Hana

seharusnya tidak disini. Hana minta maaf sudah mengacaukan semuanya.”

Seira tidak merespon ketika aku berbicara, bahkan untuk menatapku saja

ia tak mau. Seira hanya memandang lurus ke arah televisi yang ia nyalakan

dengan volume kencang.

Aku tidak bisa memikirkan hal lain, otakku penuh dan sekarang hampir

mau meledak. Aku keluar begitu saja dari apartemennya tanpa memperdulikan

 pakaian yang kukenakan masih basah. Otakku tak bisa memikirkan hal lain, selain

cepat-cepat keluar dari tempat itu. Lalu setelah itu baru aku akan memikirkan cara

lain untuk mati tanpa melibatkan siapapun.

Sesampainya di lantai dasar beberapa orang memperhatikanku, namun aku

dengan badan yang tak memiliki jiwa terus berjalan keluar menuju jalan raya. Aku

 berdiri di pinggir jalan raya, menatap kosong pada mobil dan motor yang melaju

dengan kencang. Semua kendaraan menancap gas kencang-kencang ketika lampu

lalu lintas berubah hijau. Mereka seperti melesat kabur dari waktu yangmengekang mereka beberapa saat, dan mengharuskan mereka untuk berhenti.

Ketika lampu berubah hijau, mereka melesat tanpa meninggalkan apa-apa. Seperti

aku, yang berusaha lepas dari masalah yang menjeratku, yang membuatku tak

 berdaya. Hahaha… bedanya, aku menginjak pedal gas terlalu kencang, sampai

membuatku lepas kontrol.

Sebuah tangan hangat memeluk kepalaku dari belakang, jemarinya

mengusap-usap keningku. Sementara bibirnya yang berada dipuncak kepalaku

 berbisik pelan, “Jangan berpikir untuk tabrakin diri kamu ke salah satu kendaraan

disana.” 

Page 38: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 38/81

37 | D e a r K a s e i r a  

9. 

 Namanya Kaseira

“Saya tidak  perduli ada berapa ratus cara kamu untuk mengakhiri hidup, saya

tidak perduli berapa kali kamu hilang kewarasan kayak gini, tapi saya pastikan

saya akan menggagalkan semua rencana kamu. Karena ternyata saya juga adalah

orang yang sama egoisnya seperti kamu, saya tidak bisa kehilangan kamu dan

saya janji tidak akan pernah biarin kamu berhasil melakukan hal-hal bodoh.” 

Aku membalikkan badan dan mendapatkan tatapan itu membuat wajahku

 panas. Tatapan yang mengintimidasi.

“Saya selalu bilang ini terlalu dini, tapi melihat kejadian di mana kamu bisa

saja pergi dari saya lebih cepat dari yang saya bisa bayangkan. Saya harus bilang

ini sekarang. Hana, saya sangat sayang kamu. Saya tau masalahmu sangat berat,

tapi dengan saya saja, setidaknya ada saya disini yang perduli sama kamu. Apa

kamu tidak bisa tetap hidup untuk satu orang ini?” 

Aku tidak pernah berpikir tiga kata itu pernah keluar dari mulut Seira. Dan

aku selalu menyangkal perasaan yang pertama kali timbul ketika kami berada di

rooftop.

Sejak saat itu aku selalu mempertanyakan kebaikan yang selalu Seira berikan

tanpa pamrih. Dan sejak saat itu, setiap kali Seira menatapku intens, wajahku

menjadi panas, dan jantungku bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya.

Mungkin kah ada kesempatan untuk sedikit merasakan kebahagiaan setelah

semua hal buruk yang terjadi? Aku masih menatap Seira tanpa menjawab ya atau

tidak. Dan sepertinya Seira menunggu jawaban itu.

“Sudahlah, mari kita masuk dulu. Saya tidak menuntut apa-apa. Just stay here

with me, ok?” 

“Jangan pernah coba untuk pergi dari saya.” Seira mengusap keningku

lembut. Dan merangkulku kembali ke dalam apartemen.

Tidak seperti biasanya, dimana aku selalu mengekor Seira dari belakang, tapi

sekarang kami berjalan bersisian. Dengan lengannya yang merangkulku hangat

dan kini aku bisa melihat wajah itu lebih jelas dari biasanya.

Aku sering dengar banyak kebohongan disana-sini. Banyak orang bisa

 berbohong semau mereka, begitu juga denganku, aku juga bisa bilang kalau aku

tak menginginkan lelaki disampingku ini. Aku juga bisa mengalihkan

 pandanganku dari tatapannya yang intens, aku juga bisa pura-pura tuli ketika ia

 bilang ia menyayangiku. Tapi tak ada seorangpun yang bisa menyangkal hati

mereka, bukan?

Dibalik masalah yang ku alami, ditinggalkan ataupun dibenci, masih ada satu

orang yang mampu membuatku berpikir, “ Bisakah aku hidup lebih lama lagi?” 

 Namanya Kaseira.

Page 39: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 39/81

38 | D e a r K a s e i r a  

“Sei, siapa nama panjang kamu?” Kami baru sampai di dalam kamar, dan

Seira langsung mengambil handuk untuk menutupi tubuhku.

“Kaseira Mauro Reenezer. Kenapa?” 

Aku menggeleng sambil tersenyum. Diam-diam aku melafalkan nama itu dan

menyimpannya dalam ingatanku. Namanya Kaseira Mauro Reenezer.

Setelah kami sudah mengganti pakaian basah kami, Seira menyuruhku duduk

sementara ia menyiapkan makanan. “Kamu duduk disitu, diam dan jangan nakal.

Perut kamu sekarang ini ga ada isinya, saya sampe takut, saking ga ada isinya,

 bisa-bisa usus kamu ikutan keluar waktu kamu muntah tadi. Jadi sekarang kamu

harus makan.” 

“Kasei, boleh saya tanya?” 

“Apa?” 

“Ada bagaimana kamu bisa kenal tante Meli?” 

“Skip. Yang lain.” Ujar Seira cuek.

“Ok. Ganti pertanyaan. Sejak kapan kamu kenal kak Meidi?” 

“Dari tahun pertama kuliah. Kami satu UKM Mapala. Gantian saya yang

tanya, siapa nama panjang kamu?” 

“Raihana Akira. Giliran Hana, ya?” 

“Yep.” 

“Kalau Hana tidak pernah datang kesini, bagaimana keluarga Hana? Baik?” 

Seira menoleh padaku, “Mereka seru. Rame. Dan ayah kamu itu hobi main

dart  sama saya. Giliran saya, apa arti nama kamu?” 

“Hana itu bunga, aki itu musim gugur. Bunga pada musim gugur. Em… Kalau

keluarga Seira sendiri, bagaimana mereka?” 

“Keluarga berencana dengan dua anak, saya punya adik perempuan seumuran

kamu.” 

“Kalau Revan?” 

“Giliran saya, Hana. Kenapa kamu tanya soal Revan terus? Naksir yah?” Seira

menunjukkan raut kesal, kedua alisnya berkerut.

“Bukan naksir. Hana penasaran, soalnya Revan kayak mau ngaduin kita

 berdua. Em… masalah, ya?” 

“Keluarga saya itu suka ngerusuhin hubungan anak -anaknya. Maksud saya,

mereka suka ngeledekin. Dan kamu tahu kan, saya paling ga suka diledekin.” 

“Memangnya begitu?” 

Page 40: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 40/81

39 | D e a r K a s e i r a  

“Tuh, kan! Kamu fokusnya ke tampangnya Revan, sampai saya saja ga

diperhatikan.”

“Oh, jadi begini ya tampang kamu kalau lagi ngambek?” Aku tersenyum jahil.

Seira terlihat 5 tahun lebih muda dari umurnya sekarang kalau lagi ngambek.

“Eh, giliran Hana. Umur kamu berapa?” Tanyaku lagi. 

“Tahun ini 23. Kamu?” 

“Hana kira Seira sudah diatas 25. Hana umur 20 tahun ini.” 

“Maksud kamu, saya ini mukanya kayak om-om gitu?” 

“Hana tidak bilang begitu, kok.” Tawaku pecah ketika Seira membuat raut

ngambeknya makin menjadi-jadi.“Oke jadi. Mari kita makan. Kalau tidak enak, bilang saja enak yah? Kalau 

kamu bilang tidak enak, saya tidak mau masak lagi buat kamu.” Seira meletakkan

dua makanan yang isinya udang dengan saus asam manis dan satunya lagi sayur

kangkung.

“Enak. Enak sekali.” Jawabku bahkan sebelum mencoba makanannya.

“kalau gitu kelihatan sekali dong, bohongnya. Dicoba dulu baru bohong.

Aduh, kamu ga professional berbohong nih.” 

“Hehehe… Selamat makan Kasei.” 

“Selamat makan Raihana.” 

“Wah, udangnya enak.” Aku mengambil satu ekor udang lagi ke dalam

mulutku. Benar kata Seira, perutku tidak ada isinya.

“Kalau udang asam manisnya saya cuma panasin, kemarin kan saya beli di

restoran seafood, cuma kamunya sudah keburu tidur . Kangkungnya gimana?” 

“Keasinan. Tapi enak. Hana punya cara supaya tidak keasinan. Biasanya Hana

 pakai kalau ramennya terlalu asin.” 

Aku menuangkan air kedalam gelas dan bermaksud untuk menuangkan

kembali air itu ke atas sayur kangkungnya.

“ Are you kidding me?” Seira tertawa melihat ide brilianku.

Selesai menuangkan air, aku menyuruhnya mencoba hasil karyaku.

“Gimana?” 

“Berhasil. Hahahaha… sedikit jorok tapi jenius.” 

“Hana, kenapa kamu ke Jakarta? Ada kenalan disini?” Tanya Seira lagi.  

Aku langsung teringat Viona. Dia bisa murka kalau tahu tindakan bodohku yang

ingin bunuh diri.

Page 41: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 41/81

40 | D e a r K a s e i r a  

“Ada sahabat Hana disini, tapi karena barang-barang Hana dicopet, alamatnya

ikutan hilang. Nomor teleponnya juga tidak aktif-aktif.” 

“Perempuan?” 

“Yes, Sir . Kamu tipe pencemburu yah?” 

Seira menggeleng, “Tidak juga sih. Tapi perempuan kayak kamu gampang

disukain laki-laki, jadi saya harus jaga ekstra ketat.”Ucapannya tak mau menerima

 bantahan.

“Baiklah. Em… Jadi hari ini kita ngapain?” 

Seira tersenyum lebar, matanya berbinar seolah ia punya ide besar di otaknya.

“ Distraction. Karena saya tidak mau lihat kamu nekat lagi kaya tadi, sayaharus membuat kamu sibuk sama hal lain ketimbang cuma stress mikirin masalah

yang ga akan ada habisnya.”

“Hana tidak akan bertindak bodoh lagi, Sei.”

“Eh, tidak ada bantahan. Jadi kamu harus selalu di samping saya setiap detik

setiap hari. Untuk hari ini, gimana kalau kita nonton film?” 

֎ 

Seira mengeluarkan karpet, bed-cover , dan beberapa bantal ke depantelevisi. Ditambah dengan choco-ball sesuai dengan request ku, dan dengan rokok

sesuai dengan request  darinya. Kami memilih film action, karena Seira tidak suka

menonton film drama dan aku tidak mau mengambil resiko kami melihat adegan

romantis di film, karena bagaimanapun saat ini status kami sudah lebih dari teman

dan siapa tahu saja Seira nanti jadi termotivasi… ah begitulah intinya.  

Film sudah berlangsung beberapa menit, dan aku sibuk mengunyah

camilanku. Sementara Seira sibuk mengepulkan asap seperti cerobong asap

kereta, ia mulai menceritakan alur film yang sedang kami tonton.

“Nanti pemeran utamanya disandera nih, terus di badannya dipasang bom.

Lalu-“ Seira berhenti ngoceh ketika ia mendapati aku sedang menatapnya jengkel.

“Gimana kalau kita matiin aja filmnya, lalu kamu yang ceritain.” Ledekku

sambil tersenyum.

“Ok -ok. Saya diam. Sini tiduran di sebelah saya.” Seira mematikan

rokoknya. Lalu tiduran diatas tumpukan bantal-bantal.

Aku memandang curiga kearah lengannya yang direntangkan, “Tenang

saja, saya sudah jinak. Sini.” Ia menarik tanganku sampai aku terlentang di 

sampingnya.

Page 42: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 42/81

41 | D e a r K a s e i r a  

Seperti sebuah kebiasaan baru, ia selalu mengusap-usap keningku dengan

ibu jarinya. Dan anehnya aku merasa nyaman ketika ia melakukannya. Film

 berdurasi dua jam lebih itu baru saja habis, namun aku ataupun Seira tidak beranjak dari posisi kami.

“Kalau bisa, saya mau seperti ini terus sampai tua.” Ucap Seira pelan.  

“Kalau bisa Hana mau bawa ibu jari kamu pulang ke Jepang, biar Hana

 bisa tidur nyenyak.” 

“Hana suka diusap-usap begini?” 

“Suka sekali, soalnya bikin Hana ngantuk.” 

“Kalau begitu selama Hana di samping saya, saya akan usap-usap seperti

ini terus. Asalkan posisinya begini,” Seira menuntun tangan kiriku memeluknyadari samping. “Begini sa ja. Saya belum berhak meminta lebih, karena kamu

 belum jadi istri saya. Tapi paling tidak kalau kalau begini, kamu bisa tidur

nyenyak, saya juga bisa tidur nyenyak. Deal ?” 

“ Deal. Sleep tight, Kaseira. Terima kasih sudah selamatkan hidup Hana

lagi.” Aku memeluknya erat. Merasakan detak jantungnya di bawah telingaku.

“Selamat tidur, Raihana.” Seira mengecup dahiku sekilas.

֎ 

Branche Bistro Senopati, 14:43 WIB  

Aku mencoba menyemangati diriku bahwa seseorang yang sedang menikmati

black coffee di hadapanku ini bukanlah dongeng yang ku ciptakan dalam

imajinasiku semata. Kaseira melirikku dengan ekor matanya, “Kenapa ngeliatin

saya kayak gitu?” 

Aku tersenyum sambil geleng-geleng, ya dia nyata. Kata-kata ketusnya yang

tanpa basa-basi ini, tidak mungkin ada dalam imajinasiku. Sekali lagi kuyakinkan

diriku dengan menyubit lengan Seira agak keras. 

“Hey! Kenapa sih?” Seira sewot sambil mengusap lengannya yang perih.

“Hana Cuma mau meyakinkan kalau kamu bukan tokoh dongeng karangan

Hana. Hehehe.. maafkan.”

“Dongeng? Jaman sekarang masih ada yang namanya dongeng?”

Aku tersenyum kecut. Ternyata Seira adalah laki-laki normal seperti yang

lainnya yang tidak percaya dongeng. “Imajinasi Hana saja kok.” 

“Jangan terlalu banyak mengkhayal, hidup yang sebenarnya ga semulus

dongeng, sayang.”

Page 43: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 43/81

42 | D e a r K a s e i r a  

Aku tertunduk, yang Seira bilang memang benar. Sejak kecil dongeng

membuatku hidup dalam batas kahayalanku yang indah dan selalu happy ending,

salah satu dongeng yang kupercayai adalah dongeng bidadari empat musim yangsekarang sangat jauh dari happy ending . Semuanya kacau balau dan kini aku

 belajar untuk tidak bergantung pada akhir yang bahagia. 

Aku hanya berusaha hidup sesuai kemauan Sang Pencipta. Tapi ada satu hal

yang berubah, keinginanku untuk tetap hidup. Aku pernah berusaha untuk mati

 berkali-kali, tapi belakangan ini ketika Seira datang dan memberikanku semangat

 baru, aku memulai lagi untuk memikirkan masa depan. Aku ingin hidup bersama

dengan laki-laki ketus didepanku ini. Aku ingin hidup selama mungkin

 bersamanya. 

“Ya, Seira benar. Selama ini Hana memang terlalu banyak mengkhayal, yang

malah bikin Hana kecewa ujung-ujungnya.”

Seira menggenggam tanganku, seolah ingin menyalurkan kekuatannya padaku,

“Yang lalu biarlah berlalu, sekarang ada saya yang akan selalu ada di samping

kamu, kita hadapi kenyataan sama-sama, ya Hana?” 

Aku mengangguk dengan senyuman lega, “Tunggu, Hana mau titip sesuatu keSeira.” Kuambil omamori yang kugantungkan di ponselku, “Ini, namanya

omamori, sejenis jimat keberuntungannya orang Jepang. Isinya doa-doa yang

okasan berikan pada Hana, Hana mau Seira simpan ini untuk Hana. Boleh?” 

Seira menatapku tidak percaya, “Ini kan ibu kamu yang kasih, doa untuk

kamu, bukan untuk saya. Saya rasa tidak pantas mendapatkannya.” 

“Hana kuat karena jimat ini, okasan berdoa agar Hana selalu bahagia.

Sekarang Hana kasih ke kamu karena kamu dan okasan adalah alasan Hana punya

semangat hidup lagi. Hana tidak mau bunuh diri lagi, Hana mau hidup normal

kayak dulu.” 

“Betul tidak apa-apa kalau saya simpan?” 

“Iya, ini tanda kepercayaan yang Hana serahkan ke kamu.” 

Ia menyentuh pipiku dengan kedua tangannya, matanya entah menyiratkan

makna apa, tapi aku tahu ia tidak menolak pemberianku. “Kalau begitu jangan pernah nekat untuk buang nyawa kamu, sekarang kamu tahu ada satu orang yang

sangat menginginkan kamu untuk tetap hidup.” 

“ Deal.” Jawabku mantap.

Kini omamori pemberian okasan sudah berpindah tangan ke pemilik yang lain.

Berisi doa yang sama, semoga Kaseira selalu bahagia. Dan aku akan hidup selama

mungkin agar aku bisa terus melihat mata tajam yang sinis didepanku ini. Orang

nomor satu yang selalu bisa membuatku nyaman.

Page 44: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 44/81

43 | D e a r K a s e i r a  

10. 

Keluarga Besar Reenezer

 Maret 2012,Seira tidak lupa pada ajakan Revan tempo hari mengenai pesta pertunangan

Renata dan Keenan, sepupu mereka.

“Sekarang saya sudah tidak masalah lagi kalau Revan mau gosipin kita

 berdua. Kamu siap?” 

“Siap untuk apa?” Tanyaku.

Kami memasuki lobby hotel bintang 6 pertama di Indonesia ini. Dalam hati

aku bertanya, keluarga sekaya apa yang mengadakan pesta pertunangan di ball

room hotel semewah ini?

“Siap untuk saya kenalkan sebagai kekasih saya.” 

Seira meletakkan tanganku dilengan kanannya, Senyum simpulnya tak hilang

 bahkan sampai kami memasuki ball room dengan kapasitas 2000 orang itu. Di

dalam ball room tamu undangan yang hadir bahkan hampir seisi ruangan, kalau

ku kira-kira ada lebih dari seribu orang yang datang.

“Itu oma dan opa saya.” Seira menunjuk ke arah tengah ruangan dimana

duduk oma dan opanya yang berpakaian lebih mirip dengan raja dan ratu.

Sesaat aku merasa pakaian yang ku kenakan terlalu sederhana dibandingkan

dengan orang-orang di dalam ruangan ini. Aku bersembunyi di balik lengan milikSeira.

 Namun ternyata sambutan keluarga besarnya lebih hangat dibandingkan

dengan sambutan dari keluargaku sendiri. Mereka merasa bahagia karena untuk

 pertama kalinya Seira memperkenalkan kekasihnya pada mereka, ada juga Revan

yang tak ketinggalan menimpali pertanyaan-pertanyaan dengan gosip mengada-

ada yang ia buat.

“Seira sudah mau melamar Hana, oma.” Begitu katanya tadi.

Pesta itu terlalu meriah untukku, aku tidak terbiasa berada di atara orang-orang

yang terlalu banyak seperti ini, sesak rasanya seperti tak bisa bernapas. UntungnyaSeira mengerti dan lekas membawaku ke tempat lain.

“Disini ada sky walk di lantai delapan belas, tidak se-keren roof top kita di

rumah, memang. Tapi lumayan untuk menenangkan pikiran.” 

Sampai lah kami di lantai delapan belas, lantai paling atas dari The Trans

Luxury Hotel. Terdapat sebuat café yang ku tebak pasti menyuguhkan menu

makanan yang bisa membuat kantong anak kuliahan sepertiku sekarat.

Setelah melewati café barulah kami bisa sampai di sky walk, disana terdapat

 peringatan kalau hanya lima belas orang yang boleh berada disana, tapi malam ini

kebetulan tidak ada pengunjung lain sekalin kami berdua. Seira mengajakku ke

Page 45: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 45/81

44 | D e a r K a s e i r a  

ujung pembatas, lantai dari sky walk ini terbuat dari kaca transparan yang

membuatku berpikir andai saja aku masih ingin mencari ajal, tempat ini cocok

sekali untuk ku coba. Tapi saat ini, aku sudah tak lagi memikirkan hal semacamitu, aku hanya ingin menikmati pemandangan malam dari kota Bandung yang

dipenuhi dengan kerlip-kerlip lampu kota.

Bandung tidak sepadat Jakarta, tapi tetap memberikan suguhan pemandangan

khas dari kota besar yang tak pernah sepi dari lampu-lampu kendaraan yang

melesat cepat delapan belas lantai di bawah sana.

Seira diam-diam memotretku dengan kamera handphonenya. Dia bilang ini

akan ia simpan untuk kenang-kenangan. Aku tak terlalu suka di foto, tapi untuk

kali ini aku tak akan protes. Ia berhak menyimpan setidaknya satu foto

kekasihnya, bukan? Ya, sekarang status kami resmi menjadi sepasang kekasih.

“Jangan pernah pergi dari saya, ya Hana? Kamu sudah resmi menjadi milik

saya hari ini.” 

“Seira juga jangan pernah lelah untuk menjaga Hana, ya? Kalau nanti Hana

nekat lagi, Seira harus ada untuk marahin Hana.” 

Seira merangkulku dari belakang, persis seperti di dalam drama-drama

romance yang sering ku lihat.

“Tidak, kamu tidak akan bertindak bodoh lagi, saya percaya itu. Secepatnya,

setelah saya mapan, saya akan datang ke Jepang untuk melamar kamu. Bisa kan,

kamu tunggu saya?” 

Aku mengangguk kemudian merasakan pelukkannya semakin erat. Ia

mengecup puncak kepalaku dari belakang dan berkata, “Saya tidak pernah

 berencana untuk sayang kamu, awalnya saya hanya ingin menolong. Tapi kamu

sudah berhasil bikin saya jatuh cinta sedalam ini.” 

Tak ada yang bisa menandingi indahnya malam ini, tidak ada yang bisa

menandingi hangatnya pelukan seperti yang Seira lakukan sekarang. Dan tak ada

yang bisa membuat kata-kata simple seperti yang barusan Seira ucapkan menjadi

terlalu manis di telingaku.

Di dunia ini seolah hanya ada aku, Seira dan pelukan hangatnya, sesekali jugadengan kecupan hangatnya di kepalaku. Malam ini terlalu indah, aku tak ingin

malam ini berakhir dengan cepat. Kalau bisa aku ingin membingkai kisah malam

ini agar jika aku sudah jauh darinya, aku bisa tetap mengingat hangatnya pelukan

Seira.

Dibalik semua kesialan, makian dan rasa terbuang dari keluarga sendiri, ada

satu orang dan keluarganya yang mampu menerimaku dengan baik.

Mengesampingkan kenyataan bahwa keluarganya bukanlah keluarga biasa

melainkan keluarga konglomerat yang justru membuatku merasa tak pantas

 bersanding dengan Seira, aku bersyukur karena cintanya padaku tidak

Page 46: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 46/81

45 | D e a r K a s e i r a  

memandang latar belakangku. Ia tulus mencintaiku, dan aku bahkan lebih tulus

lagi menyerahkan seluruh hidupku untuk mencintai Seira seorang.

Page 47: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 47/81

46 | D e a r K a s e i r a  

11. 

Sakura Di Atas Langit

Mataku terbuka dan terpejam dengan lemah, sekilas aku menangkap gerakan

Seira yang tergesa-gesa keluar masuk dari kamar. Sejak semalam aku terserang

demam tinggi disertai dengan sakit kepala yang seperti menusuk-nusuk kepalaku.

Seira lah yang sibuk memberikan obat dan menjagaku dari tadi malam.

Seira pasti panik sekali saat ini, padahal aku sudah bilang padanya kalau sakit

seperti ini sudah biasa terjadi, dan akan sembuh dengan sendirinya. Seira malah

memarahiku, seperti okasan yang marah ketika aku menyepelekan penyakit-

 penyakit kecil yang sering kuderita.

“Saya sudah telepon mama saya tadi, mama dalam perjalanan ke sini. Mamasaya dokter, jadi mama bisa periksa kamu.” 

“Tidak perlu repot-repot Sei, cukup dengan istirahat saja pasti sudah sembuh.

Ini cuma k elelahan saja, sungguh.”

“Sudah kamu jangan banyak bicara, nanti makin sakit. Pokoknya jangan ada

 bantah untuk hari ini, mama saya akan jagain kamu sampai saya selesai dengan

urusan saya di luar.” 

Seira menarik selimut dan ikut menenggelamkan dirinya didalam selimut

 bersamaku, “Nona yang lagi sakit, cepat sembuh yah, besok kan kamu ulang

tahun, harus sehat biar kita bisa jalan- jalan.” Seira mengusap-usap dahiku seperti biasa.

“Besok? Sejak sampai di Indonesia Hana sampai tidak memperhatikan hari.” 

“25 Maret kan? Kamu mau kado apa?” 

Kado? Sepertinya sudah lama sekali sejak seseorang memberikanku hadiah

ulang tahun. Tapi untuk sekarang tak ada hadiah yang lebih berharga selain hadiah

yang satu ini. Aku menyentuhkan telunjukku ke pipinya, “Hana mau dia ini, untuk

hadiah ulang tahun sampai Hana tua nanti. Bisa?” 

Seira tersenyum, aku tahu ia akan memberikannya. “Saya sudah jadi milik

kamu sekarang, tidak perlu kamu minta. Tapi ada satu hadiah yang mau saya

kasih nanti malam, jadi kamu harus cepat sembuh, ya? Bisa?” 

Aku mengangguk patuh. Dan entah pikiran dari mana, aku mendekatkan

 bibirku ke pipinya. Mengecupnya pelan di tempat situ, lalu berbisik, “Kasei-kun,

thank you for everything.” 

“ Anytime, Hana-chan.” 

Demamku masih tinggi dan Seira tidak beranjak dari tempatnya, ia bilang

kalau ia memelukku mungkin demamnya bisa berpindah. Lalu ketika sudah

hampir jam makan siang mamanya Seira datang. Aku tak pernah bertemu dengan

Page 48: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 48/81

47 | D e a r K a s e i r a  

mamanya sebelum ini, waktu beberapa minggu lalu di pesta pertunangan

sepupunya, Seira bilang mamanya sedang ada urusan di luar kota.

Awalnya aku tidak sadar suara siapa yang menyapaku, tapi ketika aku

 berusaha membuka mataku aku kaget kenapa malah tante Meli yang duduk

disampingku.

“Anak tante tidak merawat Hana dengan baik ya? Lihat kamu sudah mak in

kurus seperti ini, Hana.” 

Aku mencoba memahami perkataan tante Meli barusan. Jadi beliau adalah

mamanya Seira? Kenapa aku tidak diberitahu sejak awal? Banyak pertanyaan

yang ingin kutanyakan tapi harus ditunda karena aku tak ada tenaga untuk

 bertanya.

Tante Meli langsung menanyakan gejala yang kualami. Sudah dari dulu

memang aku sering sekali pusing seperti ini, kupikir pusingku hanya karena

kelelahan dan akan sembuh dengan sendirinya, tapi tante Meli mempunyai

kekhawatiran yang berbeda.

“Tante antar kamu ke rumah sakit, ya?” Beliau hanya bertanya seperti itu, tapi

aku menyadari raut khawatir yang beliau coba sembunyikan.

“Apa ada sakit yang parah, tante?”

“Tante belum tahu, kita pastikan saja, ya? Nanti tante hubungi Seira.” 

Tante Meli membantuku berganti pakaian, dan dengan sigap menutunkumenuju basement .

“Tante, tidak usah bilang ke Seira, nanti dia panik berlebihan.” Ujarku sambil

nyengir.

Satu yang tak pernah kuberitahu pada siapapun, aku pernah penasaran mencari

gejala penyakit yang sering kuderita. Pusing, demam, dan muntah tanpa sebab

yang jelas. Google memberitahu kalau itu bisa saja gejala kanker otak, tapi aku

menanggapinya dengan tak perduli. Di bagian bawah artikel tertulis kalau tidak

semuanya gejala seperti itu adalah gejala kanker, dan aku berpegangan pada

kalimat satu itu.

Aku meyakinkan pada diriku sendiri saat ini, kalau ini hanyalah pusing biasa

karena kelelahan. Tapi selembar kertas yang berisi hasil test labku menyatakan

sebaliknya. Aku positif mengidap Pleomorphic Xanthroastrocytoma (PXA) dan

dokter menyarankanku agar segera dirawat.

“Hana, apa tidak sebaiknya Seira diberitahu soal ini?” Tanya Tante Meli

 padaku.

“Jangan tante, Hana mohon. Hana hanya ingin pulang secepatnya.” Jawabku.

Aku tak tahu bagaimana reaksi Seira jika mengetahuinya, yang pasti dia akan

sangat kecewa.

Page 49: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 49/81

48 | D e a r K a s e i r a  

“Ayo kita pulang, Hana.” Tante Meli berdiri dan aku menahan tangannya

 pelan.

“Tante, maksud Hana, Hana ingin pulang ke Tokyo. Bisa kah Hana pulang

secepatnya?” 

Tante Meli memandangiku lama sebelum akhirnya menjawab, “Baiklah, tante

atur besok kamu berangkat.” 

“Terima kasih tante.” 

Sepanjang perjalanan pulang aku diam, sibuk berdebat dengan suara-suara di

dalam pikiranku. Aku tertawa, menertawakan kekonyolan alur hidupku sendiri.

Ketika aku ingin mati, Tuhan tak mengizinkannya lalu malah membawa Seira

kehadapanku. Kemudian setelah aku mulai menemukan alasanku hidup,merasakan dicintai dan disayangi oleh seseorang, Tuhan baru menyuruhku untuk

mati. Hahaha… Mau-Mu apa Tuhan? Kenapa Kau tidak adil sekali padaku?

Bagaimana aku harus memberitahu Seira tentang semua ini? Bagaimana aku

harus bilang kalau hubungan ini mungkin tak memiliki masa depan? Dan

 bagaimana reaksinya setelah itu? Tuhan menghancurkan harapanku satu-satunya!

֎ 

Tante Meli menurunkanku di depan lobby apartemen, beliau bilang harussegera mengurus kepulanganku besok jadi tak bisa mengantarku sampai ke atas.

Masih dengan seribu racauan didalam kepalaku aku berjalan seperti tak memiliki

roh di dalam tubuhku. Aku tak tahu harus mulai dari mana jika Seira tanya sakit

apa aku, aku tak mampu memikirkan kebohongan lain untuk menutupi sakitku.

“Hana?” Seira membukakan pintu, di dalam apartemen gelap, hanya ada

cahaya lilin kecil diatas meja makan.

“Mama sudah telepon saya tadi, mama bilang kamu terlalu banyak

 pikiran.” Seira merangkulku dan mengiringku masuk. 

“Ada apa ini?” Tanyaku ketika mendapati sebuah kue ulang tahun lengkapdengan lilin di atasnya.

“Hana, kamu tahu, kan, saya bukan orang yang romantis, saya tidak bisa

 bilang kata-kata kayak di drama-drama itu, saya cuma mau bilang, selamat ulang

tahun, sayang.” 

Air mataku jatuh, aku baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku.

Betapa lengkapnya hari ini, dapat berita tentang penyakitku sendiri di hari ulang

tahunku, Tuhan memang kreatif.

“Ayo make a wish, habis ini kita ke rooftop.” 

Page 50: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 50/81

49 | D e a r K a s e i r a  

Kami berdua sama-sama menunduk untuk memohon. Aku tak tahu apakah

 permohonanku akan terkabul atau tidak, aku sendiri pesimis, tapi tak ada salahnya

untuk sekedar berharap.

“Aku ingin ada laki-laki ini selalu ada untuk sama-sama merayakan hari

 jadiku setiap tahunnya.” 

“Amin.” Ucap kami berdua hampir bersamaan. 

Seira menarik tanganku seperti biasa, membuatku mengekornya dari

 belakang dengan berusaha mensejajarkan langkahnya yang lebar-lebar. Sampai di

rooftop Seira menutup mataku dari belakang, “Jangan ngintip!” 

Ia berhenti melangkah, dan menyingkirkan telapaknya dari mataku. Di

sana, di tembok yang panjang diisi penuh dengan sakura yang sedang mekar,

kelopaknya ada yang berjatuhan sampai ke lantai. Aku seperti kembali ke Jepang

saat ini, menikmati indahnya sakura di taman kampus sambil bercanda bersama

Viona.

“Indah sekali, Sei. Hana tidak pernah tahu kamu bisa melukis.” Aku

 berbalik untuk menatap Seira langsung. “Terima kasih banyak, Sei-kun.” 

Seira mengusap puncak kepalaku lembut, tangannya berhenti di pipiku,

“Saya akan bikin kamu bahagia, kamu harus tunggu saya. Sehat-sehat terus,

 jangan terlalu banyak mikir. Ingat kamu itu adalah perempuan yang kuat, jangan

 pernah nangis lagi. Janji?” 

Air mataku kembali jatuh, sakit sekali melihat Seira seperti ini. Bagaimana

 bisa aku pergi meninggalkannya dengan cara begini?

“Baru saya bilang, jangan menangis. Pokoknya ini hari terakhir kamu

 boleh nangis.”

Entah pikiran dari mana, aku maju selangkah lebih dekat dan menangkap

 pipinya dengan kedua tanganku dan mendekatkan bibirku dengan bibirnya sampai

 bibir kami bertemu. “Terima kasih untuk semuanya, Hana sayang sekali sama

kamu.” 

Seira mengecup bibirku lagi, kali ini lebih lama dan dalam, “Saya juga

sayang kamu.” 

Hari ini tepat pada tanggal 25 Maret aku menyerahkan hatiku untuk

Kaseira, dan pada hari yang sama juga diam-diam aku harus melepaskannya.

Alasanku untuk tetap hidup, mungkin sudah tidak ada lagi. Toh, aku tetap tidak

 bisa bersama dengannya lebih lama. Janjinya untuk melamarku, aku tahu itu

 bukan main-main, tapi aku harus pergi darinya agar ia tidak lagi berharap akan

masa depan yang tidak bisa aku berikan.

Paginya, aku bangun lebih dulu dari Seira untuk bisa berlama-lama

melihatnya yang masih tertidur. Ini untuk terakhir kalinya, aku harus mengingat

Page 51: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 51/81

50 | D e a r K a s e i r a  

setiap detail dari wajah ini. Hidungnya, alisnya, dahi dan rambut, bibir, dagu,

semuanya.

Untuk terakhir kalinya juga, aku berusaha membuatkannya sarapan

sebelum ia berangkat kuliah, walau hanya pancake yang mungkin rasanya tidak

manusiawi, dan tidak layak makan, aku ingin membuatkannya sarapan. Seperti

 pasangan yang lainnya, biar hanya sekali aku ingin melakukan sesuatu untuknya.

“Baru pertama kali buat pancake?” Aku mengangguk, “Coba kamu rasain 

hasil karyamu ini.” 

Aku mencicipi masakanku yang di luar dugaan rasanya ternyata masih

 bisa ditolerir lidah. Aku tersenyum senang sekali.

“Mulai sekarang, kamu harus bikini saya pancake setiap pagi.” Ujar Seira

 bersemangat menghabiskan makanannya.

Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum ia

 berangkat kuliah. Aku harus membuatkannya pancake setiap hari, andai aku

masih ada waktu…Kaseira, maaf kalau aku harus pergi dengan cara seperti ini.

Terima kasih sudah jadi penyelamat hidup aku, Sei.

Page 52: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 52/81

51 | D e a r K a s e i r a  

12. 

Waktu Berlalu tapi Cinta Tak Pernah Pupus

 Dua tahun berlalu… 

“Sei, nanti ada meeting  ketemu klien jam satu siang.” 

“Iya, saya ingat. Sebelum jam dua belas saya jemput kamu.” Aku

menyudahi percakapan di telepon dengan tunanganku, Meidina.

Kami bekerja di kantor periklanan yang sama, orang tua kami sama-sama

 bekerja sama untuk membentuk cabang baru di bidang advertising , dan kami

ditunjuk untuk memegang Devisign.

Aku masih di rumah, baru sekitar setengah jam yang lalu terbangun dan

sekarang masih dengan santai menikmati pancake buatanku. Memang lebih enak

rasanya dibanding pancake yang pernah dibuatkannya dulu, tapi jika boleh

memilih aku tetap akan makan pancake kurang manis itu. Andai bisa… 

Sayangnya sudah tidak bisa lagi, entah kemana perempuan itu sekarang,

dia menghilang begitu saja tanpa ada kabar.

Meski aku tidak menentang perjodohanku dengan Meidina, kakaknya,

 bukan berarti aku sudah melupakannya. Setiap ada waktu luang, aku selalu

 berusaha mencarinya, di media sosial, atau dari kenalan-kenalanku di Tokyo, tapi

tidak juga menemukannya. Sampai aku lelah sendiri, dan rasanya tak ada yang

 bisa kulakukan selain pasrah.

Aku terkejut ketika ponselku bergetar, adikku menelepon.

“Kenapa? Tumben nelpon.” 

“Mau tau ga? Aku lagi baca novel apa?”

“Nina jangan bercanda, ngapain gue kepo kamu lagi baca apa. Anak ini

nih ga ada kerjaan emang. Gue tutup yah?” 

“Eits! Judulnya Dear  Kaseira, loh. Yakin ga mau tau?” Pancing Nina,

yang sukses membuatku kaget.

“Apa?” 

“Penulisnya Raihana Akira. Ini Hana yang sama atau bukan, yah? Ah, tapi

karena aku di bilang ga ada kerjaan, males ah ngasih tau kamu.” 

“Kamu dimana? Saya kesana sekarang!” Ujarku terburu-buru.

“Eh, aku lagi di kampus. Abang buka blog nya aja, kayaknya dia sudah jadi

 penulis yang ada nama, sampe punya blog  khusus.” 

“Nina jangan bercanda! Cepat kirimin website-nya!” 

Page 53: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 53/81

52 | D e a r K a s e i r a  

“Iya iya aku kirim di sms, cerewet! Bang, inget kamu sudah ada tunangan,

aku kasih tau ini karena aku pikir Hana bikin novel ini buat kamu, soalnya isinya

ceritain tentang kalian, kayaknya loh ya, aku juga belum baca sampe abis.Yasudah, aku tutup, dadaaahhh.” 

Pesan dari Nina masuk, tapi aku tidak langsung membuka blog nya, kata-

kata Nina tadi seolah menamparku. Bang, inget kamu sudah ada tunangan. Aku

tidak bisa menyakiti Meidi, biarpun kami dijodohkan tapi bukan berarti aku bisa

menyakitinya karena aku tidak memiliki perasaan padanya.

Aku hanya akan membaca blog  itu, tidak lebih. Tidak boleh berharap

lebih.

 Blog  milik Hana kebanyakan berisi mengenai pemasaran dan promosi

 bukunya yang berjudul Dear Kaseira, sepertinya respon pembaca sangat positifmelihat dari komentar-komentar yang kebanyakan bilang mereka ikut menangis.

Kebanyakan artikel ditulis oleh admin lain bernama Viona, hanya beberapa artikel

yang penulisnya bernama Hana. Aku membacanya perlahan.

Tokyo, waktu gugurnya sakura

 Bulan November, aku dengar karyaku sudah memasuki cetakan kedua, terima

kasih untuk pembaca sekalian yang menyempatkan untuk mendengarku

bercerita di novel ini. Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata banyak yang

menyukainya.

 Aku dengar juga, banyak yang menangis saat membacanya, dan lebih banyaklagi yang bertanya apakah ini kisah nyata?

 Ini cerita tentang Hana dan Kaseira, bukan maksudku ingin menjual kisah

kami, tapi aku hanya ingin berbagi pada kalian, kalau kita tidak hidup di negeri

dongeng. Apa yang kita harapkan, tidak selamanya akan kita dapatkan. Seperti

kisahku, tidak ada yang abadi, kita manusia hanya bisa mengikhlaskan.

Salam,

 Hana

Aku tak bisa berkata-kata. Otakku ingin segera menyudahi kegiatan tak

 berguna ini, namun jari-jariku masih sibuk mencari mana lagi artikel yang ditulis

olehnya, dan aku mendapati satu artikel lagi.

Page 54: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 54/81

53 | D e a r K a s e i r a  

Doa dari Jauh

 Aku sangat berbahagia. Hari ini banyak yang mengucapkan selamat ulangtahun padaku. Berbeda dengan tahun lalu ketika hanya satu orang yang

mengucapkannya.

Satu tahun lalu aku membuat keputusan besar dalam hidupku, yang mungkin

akan kusesali tapi bagaimanapun itulah yang terbaik. Dan tahun ini aku

mendengar kabar bahwa ia juga mengambil satu langkah besar untuk hidupnya

 sendiri. Selamat berbahagia, aku ikut senang dan akan selalu mendoakanmu.

Salam,

 Hana 

Mungkinkah Hana sudah mengetahui tentang pertunanganku dengan

Meidina? Tak tahu kenapa aku merasa seperti orang jahat. Tapi bukannya diayang pergi meninggalkanku? Bukankah aku di sini sebagai korban yang

ditinggalkan? Aku tak pernah mengerti jalan pikirannya, aku pikir tidak ada yang

salah dengan hubungan kami kala itu. Bahkan tidak ada pertengkaran besar yang

 bisa memicu perpisahan, lalu kenapa dia harus menyudahi hubungan ini secara

sepihak?

Aku mendengus kesal, kesal pada caranya pergi tanpa mengucapkan

sepatah kata pun. Tanpa ada penjelasan! Aku meyakinkan diriku sendiri, mungkin

memang ini yang terbaik, toh aku juga sudah memulai kisah yang baru dengan

tunanganku, Meidina.

֎ 

Sepanjang hari, pikiranku tidak bisa fokus. Bahkan Meidina menyadari

kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranku dari tadi. Berkali-kali ia bertanya,

aku hanya menjawab kalau aku baik-baik saja.

Aku tak bisa memungkiri kalau beberapa artikel tadi pagi membuat nama

Hana kembali muncul di pikiranku. Walau memang sebetulnya dia tidak pernah

 betul-betul pergi dari pikiranku, tapi sejauh ini aku sudah bisa mengalihkannya

Page 55: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 55/81

54 | D e a r K a s e i r a  

dengan bantuan Meidina. Tapi hari ini, kurasa aku harus menuntaskan rasa

 penasaran pada diriku.

“Mei, saya pulang dari sini harus pergi ke suatu tempat, kamu ga apa-apa

kalau pulang naik taksi?” Tanyaku sewaktu kami baru selesai meeting .

“Kamu mau kemana? Ga perlu aku temenin?” Tanyanya perhatian.

“Ga usah, sudah larut juga, kan. Kamu pulang duluan saja, nanti saya

kabarin kalau sudah sampai rumah. Oh iya, salam buat ayah, ya?” 

“Iya nanti aku salamin, kamu hati-hati ya.” 

Aku mengangguk sambil tersenyum hangat, betapa perhatiannya

tunanganku ini. Kalau mengesampingkan kebencian pada adik bungsunya itu,

Meidi adalah wanita yang sangat penyayang. Setidaknya, begitulah yangkudapatkan selama ini. Kasih sayang, perhatian, tanpa sekalipun bertengkar.

“Ayo, aku antar kamu sampai ke taksi.” 

Setelah Meidi pulang, aku bergegas memacu mobilku menuju toku buku.

Tak tahu apa yang ada dikepalaku, tapi aku ingin membaca novelnya. Novel yang

Hana tulis, cerita tentang kami berdua. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke

toko buku dan berhenti di depan rak yang penuh dengan novel-novel remaja. Aku

menertawakan keanehanku dalam hati yang bisa-bisanya nangkring di antara

novel-novel picisan ini. Novel Hana tidak ada di atara buku-buku di rak manapun,

lalu aku bertanya pada salah seorang keryawan disitu.

“Oh, Novel yang penulisnya orang Jepang itu? dipisah itu, mas. Soalnya

kan best-seller , mari saya tunjukan, mas.”

Dalam hati aku mengoreksi, dia orang Indonesia, mbak, dia ga suka

dibilang orangn Jepang. 

Karyawan wanita itu berjalan mendahuluiku menuju tumpukan novel-

novel yang cover nya bernuansa merah muda. Bunga sakura. 

Sesaat aku teringat pada lukisan sakura di apartemen lamaku, hadiah ulang

tahun untuknya dua tahun yang lalu. Hari di mana semua yang kurasakan padanya

sudah jelas, aku mencintainya. Dan hari itu juga adalah saat terakhir akumelihatnya. Hana-chan apa kabar kamu sekarang?

Perjalanan dari toko buku sampai ke rumah tak terlalu kuingat dengan

 jelas, bahkan aku tak begitu memperhatikan apakah arus kendaraan hari ini

sedang padat atau tidak. Pikiranku tertuju ke suatu benda yang bertengger manis

di dalam tasku, dan bagaimanapun caranya aku harus bisa menyelesaikan

membaca novel ini secepatnya.

Di halaman depan novel itu, terdapat satu kalimat pesan yang

mencantumkan namaku didalamnya.

Page 56: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 56/81

55 | D e a r K a s e i r a  

Untuk Kaseira.

Dari tempat yang jauh darimu,

kusatukan kepingan kisah yang pernah ada.

-Hana

Aku mulai membacanya, mendalami setiap kalimat yang Hana tulis,

seolah mengajakku masuk kedalam pikirannya. Bahkan di kata yang paling

menyedihkan yang ku baca, tersirat ketegaran di dalamnya. Hana yang selalu kuat

seperti dulu.

Sudah sampai di halaman yang kesekian puluh, ketika Hana menceritakan bagaimana ia bisa sampai di Jakarta dan bertemu lagi denganku, bagaimana

kenaifannya yang tidak mengetahui tentang aku dan mama. Dua bab telah habis

kubaca, dan aku menemukan satu halaman berisi surat, yang baru kusadari, kalau

hampir di akhir setiap bab selalu ada surat itu. Surat yang selalu diawali dengan

salam “Dear Kaseira” 

 Dear Kaseira,

 Apa kabar di sana? Semoga kamu baik-baik saja, sama seperti Hana di sini

 selalu baik-baik.

 Ketika aku menyelesaikan dua bab ini, sesaat aku membayangkan suatu hariaku bisa menceritakan Dongeng Bidadari Empat Musim padamu. Andai bisa,

aku ingin memberitahumu, ketika Putri Hanaki jatuh cinta pada Pangeran

 Kayo, sama sepertiku ketika bertemu denganmu. Kamu dan Pangeran Kayo

 sama-sama memiliki karisma yang dingin, kalian juga sama ketusnya, tidak kah

kamu juga merasa mirip dengannya?

 Kaseira, untuk semua pertanyaan yang tidak sempat Hana jawab, Hana

berikan cerita ini sebagai jawaban untukmu.

Salam,

 Hana

Aku terus membaca, rasa penasaranku tak bisa berhenti hanya sampai di

 bab dua saja. Aku lanjut menyelami pikiran Hana, ketika ia sedang dalam masa-

masa sulit, ketika kakaknya sendiri membuat dia ketakutan setengah mati, dan

ketika ia bilang alasan dia hidup adalah aku. Sebelumnya ia tak pernah

Page 57: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 57/81

56 | D e a r K a s e i r a  

memberitahukan langsung padaku mengenai alasan hidup ini, betapa aku berperan

 penting dalam hidupnya dan aku tak menyadari itu.

Sudah pukul empat dini hari, dan aku masih belum juga menyelesaikan

novel ini sampai habis. Rasanya hari ini aku tidak akan bisa pergi kerja. Sekilas

 pikiranku teralihkan oleh Meidina, jahat kah aku padanya? Sempat aku berpikir

kalau aku ini bajingan. Karena kemarahanku pada Hana, marah pada

keputusannya untuk meninggalkanku, aku membencinya. Sampai ketika Meidina

datang, aku pikir tak salah jika aku mencari wanita lain untuk mengobati

kemarahanku.

Ketika kami bertunangan, aku mengingat pesan yang mama sampaikan,

saat itu ketika keluarga besar kami mengadakan pesta pertunangan yang meriah-

yang sebetulnya tidak aku setujui mengadakan pesta-pesta seperti itu-mama

 berbisik di telingaku. “ Nak, ingat wanita itu mulia, Meidi anak yang baik, jaga

dia, masalahmu dengan Hana, jangan kamu lampiaskan padanya. Pikir dua kali

kalau kamu berniat menyakiti wanita, itu sama artinya seperti kamu menyakiti

mama dan Nina. Jaga hubungan yang sudah kalian mulai ini, jaga baik-baik.” 

Tanpa perlu mama nasihatkan, aku sudah tau bagaimana mulianya seorang

wanita. Aku bukannya tidak berusaha mencintai Meidina, aku melakukan segala

cara agar setidaknya aku bisa membuka hatiku untuknya dan perlahan belajar

mencintainya. Tapi sampai sekarang, aku masih belum menemukan cara untuk

membuka hatiku. Aku memang sudah membuang Hana jauh-jauh dari otakku, tapi

Meidina… bagaimana caranya aku bisa mencintai orang lain ketika perasaanku

masih tersangkut pada satu orang?!

Sudah pukul tujuh pagi, kamarku yang semula hanya disinari cahaya

lampu baca sekarang sudah mulai disusupi matahari. Dan novel ini hampir selesai

kubaca. Ceritanya sampai ketika hari dimana Hana berulang tahun, aku

membacanya dengan perlahan, berusaha sekuat tenaga tidak ada kata yang luput

dari pandanganku. Dan untuk pertama kalinya, ketika sampai di akhir dari ribuan

kata itu, aku tak bisa membendung air mataku. Awalnya kupikir terlalu melow

ketika seseorang bisa menangis hanya karena sebuah cerita, sekarang aku

merasakannya sendiri.

Kini aku memahami alasan Hana pergi, kini aku mengerti arti dari

tangisannya dua tahun lalu pada malam ulang tahunnya. Aku tak mampu

melakukan hal lain selain menangisi kebodohanku mengambil keputusan untuk

 bertunangan. Bagaimana bisa aku bersama orang lain di sini sedangkan Hana jauh

disana sedang kesakitan berjuang untuk tetap hidup? Bagaimana aku bisa menjadi

laki-laki yang sangat brengsek seperti ini?!

Dihalaman terakhir, Hana menulis,

Page 58: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 58/81

57 | D e a r K a s e i r a  

 Dear Kaseira,Seribu maaf mungkin tidak akan cukup, mungkin juga kau tak akan pernah

memaafkanku sampai akhir hidupmu. Tapi percaya lah, aku hanya tak ingin

memupuskan harapanmu untuk hidup bersama sampai tua.

 Ini jalan yang ku ambil, ini keputusan yang sudah bulat ku buat, tak apa

 jika kamu membenciku, memang sudah sepantasnya seperti itu.

 Kaseira, mungkin kau tak akan pernah membaca cerita ini, tak apa, aku tak

berharap kamu membacanya. Tapi aku perlu memberitahumu, bahwa

 selamanya hanya ada satu nama. Selamanya hanya ada satu orang yang

menjadi alasanku untuk tetap hidup. Hanya kamu.Seperti Hanaki yang pergi meninggalkan Pangeran Kayo, aku juga

melakukannya untuk kebahagiaanmu.

Untuk selalu menjadi dewa penyelamatku, untuk selalu menjadi

 penyemangat di saat-saat yang paling sulit, dan untuk menjadi seseorang

 yang pernah mencintaiku sebesar itu, terima kasih, Kaseira.

 Ketika sakura sudah habis masanya, ketika angin menggugurkan kelopak-

kelopaknya, ketika dingin membuatnya mati, cerita ini selesai kutulis.

 Dari sakura yang tetap mekar dan gugur setiap tahun, belajarlah bahwa

tak ada kata selamanya di dunia ini. Kita hanya perlu merelakan sampai sakura berikutnya mekar kembali.

Salam,

 Hana 

Page 59: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 59/81

58 | D e a r K a s e i r a  

13. 

Desember

“Hana, bangun yuk, makan dulu.” Viona membangunkanku perlahan. Aku

memang sudah terjaga sejak tadi, cuma rasanya susah sekali untuk membuka

mata.

Dengan susah payah Vio membantuku untuk bersandar, dan mulai

menyuapiku.

Sudah dua tahun sejak kepulangan mendadakku dari Jakarta, aku tak bisa

menghubungi sahabatku ini selama aku disana, tapi ternyata ia sudah kembali ke

Jepang dan bekerja sebagai editor di majalah fashion di sini.

Hari itu ketika aku baru tiba di depan pintu flat ku, aku mencium aroma yangtidak asing dari dalam kamar. Aroma kopi dan asap rokok, aku hafal betul dua

aroma yang selalu melekat dengan Vio. Ia memelukku sambil menangis,

sedangkan aku hanya mematung tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Aku pikir, aku akan menghabiskan sisa hariku dengan dokter dan suster-suster

di rumah sakit, sendirian tanpa ada seorangpun yang menjagaku, tapi nyatanya

Vio datang. Dibalik semua kekesalanku pada Tuhan, Ia memberikanku sedikit

 pertolongan. Setidaknya sekarang aku tidak sendirian, kan? Aku harus bersyukur.

“Hari ini kan tidak ada yang harus dilakukan, boleh Hana buka blog ?”

Pintaku. Vio mengatur semuanya, semua jadwal pengobatanku sampai jadwal

makan diatur olehnya. Bahkan ada waktu untuk sekedar membuka blog  danmembalas pesan-pesan yang ditulis oleh pembaca novelku. Vio bilang, aku harus

 banyak istirahat dan tidak boleh sampai kelelahan.

“Lima belas menit, ga boleh lebih.” Jawab Vio dengan raut yang pura-pura

galak.

Aku mulai membaca satu persatu komentar-komentar yang masuk ke halaman

blog ku maupun langsung dikirimkan ke email pribadiku. Tak pernah ku

 bayangkan, kisah yang tragis seperti kisahku ini malah disukai oleh pembaca.

Mungkin benar yang Vio bilang, cerita yang menguras air mata kemungkinan

 besar akan laku dipasaran. Tapi sebenarnya, bukan soal laku atau tidak laku yang

kucari, bukan juga soal berapa besar royalti dari dua kali cetakan yang ku dapat.

Tanpa orang lain tahu, tak terkecuali Vio, aku ingin menjawab semua tanda tanya

yang ada di kepala Seira selama ini. Meski aku tahu, kemungkinannya sangat

kecil apabila ia bisa menemukan novelku. Karena aku tahu, Seira bukanlah tipe

 pria yang suka membaca cerita-cerita picisan khas remaja seperti ini.

“Hana, coba baca email  yang ini, tawaran kerja mungkin kalau dilihat dari

 pengirimnya.” Viona menunjuk satu email  baru yang sempat terlewatkan olehku.

Page 60: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 60/81

59 | D e a r K a s e i r a  

Aku dan Vio sama-sama terdiam, air mataku jatuh dengan sendirinya.

Bagaimana caranya dia bisa membaca novelku? Bagaimana bisa ia mengetahui

 penyakit yang kusembunyikan rapat-rapat darinya?

“Tidak mau dibalas?” Tanya Vio hati-hati. Aku tahu ia takut membuat

hatiku makin sakit.

Aku menggeleng sambil tersenyum, “Tidak usah, dia kan sudah ada

tunangannya disana.”

Vio mengusap air mataku, sedikit banyak ia sudah mengetahui bagaimana

hubunganku dengan Kaseira berakhir, dari novel yang ia bantu terbitkan, harusnya

Vio sudah tahu bagaimana aku berusaha untuk pergi dari hidup Seira.

“Yasudah, Hana sudah ambil keputusan dua tahun lalu, sejauh ini Hanakuat, jadi sekarang juga harus tetap kuat, ya?”

Andaikan tidak ada Vio yang menyemangatiku seperti saat ini, aku tak

tahu jadinya diriku ketika membaca email  dari Kaseira.

Sekarang Seira sudah mendapatkan jawabannya, tak ada yang perlu

kulakukan lagi sekarang. Aku tak menuntut apa-apa, terlebih aku tak ingin dia

meninggalkan tunangannya, kakakku sendiri, ketika ia tahu alasanku

meninggalkannya. Jadi, cukup dengan mengabaikan email nya, dan hidup seolah

tidak pernah ada email  darinya yang masuk. Aku tak boleh mengganggunya lagi.

From: [email protected] 

To: [email protected] 

Subject: Dear HanaHana-chan, Apa kabar disana? Semua pertanyaan sudah terjawab. Maafkan

saya yang begitu egois menyalahkanmu. Hana-chan dua tahun tidak ada apa-

apanya buat saya, kamu tetap tidak mau pergi dari hati saya.

Salam rindu,

Kaseira

Page 61: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 61/81

60 | D e a r K a s e i r a  

Vio pamit, karena ada urusan di kantornya. Ia bilang nanti malam ia akan

menemaniku di sini. Aku tahu urusan kantor hanya alibinya agar bisa pergi

menemui Reksa, bosnya yang merangkap sebagai kekasih. Kadang, ketika mereka berdua kehabisan tempat kencan, mereka akan datang mengunjungiku.

Memainkan permainan-permainan kecil yang tentunya tidak membuatku lelah,

atau hanya sekedar ngobrol.

Reksa adalah seseorang yang mempunyai andil besar dalam proses

diterbitkannya novelku, bisa dibilang aku ini menggunakan jalan pintas supaya

novelku bisa terbit, tentu saja bukan aku yang memaksa, tapi Viona. Ia adalah

satu-satunya orang yang bersikeras bahwa novelku harus segera diterbitkan. Vio

 bilang, feeling-nya kuat kalau novelku akan laris di pasaran, dan kali ini feeling-

nya tepat sasaran. Bagaimanapun juga, aku berdoa agar Vio dan Reksa bisa terus

 bersama sampai mereka tua nanti.

֎ 

Hampir satu pagi ini, aku tak berhenti muntah-muntah, efek obat dari

kemoterapi yang kujalani sangat kuat, aku tersenyum memandangi cermin kecilditanganku, baru beberapa hari lalu rambutku sudah mulai tumbuh, dan dalam

sekejap mereka hilang begitu saja. Vio sering bercanda mengenai kepalaku yang

sudah plontos, ia bilang trend  jaman sekarang banyak perempuan yang

menggunduli rambut mereka, jadi aku adalah salah satu perempuan fashionable

yang mengikuti trend  masa kini.Aku mengintip dari balik jendela, sekarang sudah memasuki musim dingin

kembali. Salju pertama di musim dingin. Semua orang pasti sedang membuat

 permohonan. Aku pun tidak ketinggalan, setiap tahun aku ikut membuat

 permohonan. Dari dua permohonan yang ku pinta, permohonanku selalu

dikabulkan. Jadi untuk ketiga kalinya aku meminta permohonan yang sama,

teruslah bernapas setidaknya sampai setahun lagi.

Aku tak memiliki permohonan yang lainnya, aku hanya perlu hidup

setahun lebih lama, andai dikabulkan itu sudah cukup bagiku.

Vio sedang kembali ke Indonesia untuk mengurus fan-meeting  dengan pembaca-pembaca novelku. Pasti mereka kecewa, karena bukan aku yang hadir di

sana, tapi kondisiku tidak memungkinkan untuk bisa menempuh perjalanan yang

 begitu jauh, jadi kutitipkan salamku lewat Viona.

Ponselku tiba-tiba berbunyi, butuh waktu untuk memutar kursi roda dan

mencapai tempat tidurku, jadi panggilan itu tak sempat ku jawab. Kulihat itu

adalah nomor dari Indonesia, tak lama kemudian nomor itu memanggil lagi,

dengan ragu-ragu ku jawab.

“Halo.” 

“Hana? Nak?” 

Page 62: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 62/81

61 | D e a r K a s e i r a  

 Ayah?

“Hana ini ayah, Hana apa kabar? Sehat-sehat saja kan, nak?” Aku

mendengarnya, aku mendengar nada suara khawatir itu untuk pertama kalinya.

Ayah… betapa aku sangat merindukannya. 

“Ayah?” 

“Ini ayah, nak. Hana ada dimana sekarang? Hana baik -baik sa ja, kan?”

 Nada itu masih nada khawatir yang sama.

“Hana baik -baik saja, ayah. Hana sehat-sehat disini. Ayah ada apa telpon

Hana?” 

“Ayah baca novelmu. Hana sakit? Hana ada dimana sekarang? Ketemu

sama ayah ya, mau?”

Tangisku pecah. Untuk sesuatu yang tak pernah kubayangkan, bahkan tak

 berani kusebut dalam doa-doaku, kini Tuhan memberikannya secara cuma-cuma.

“Hana sudah pulang ke Tokyo, ayah. Hana baik - baik saja.” Jawabku

 berusaha berbohong. Aku tak ingin menyusahkan ayah dengan penyakitku, tapi

isakanku tak bisa kututupi.

Suara lainnya muncul, suara yang dua tahun lalu membuatku sangat

ketakutan, “Dek, ini kakak. Hana, maafin kakak, kakak mau kesana ketemu Hana

ya?” 

Hari ini banyak kejadian di luaru dugaanku yang membuat tenagaku habis

untuk menangis. Tak bisa ku ungkapkan betapa bahagianya aku hari ini, biarpun

setelah habis menangis aku harus mendapatkan bantuan oksigen untuk bernapas,

setidaknya aku tahu kalau sekarang aku memiliki keluarga yang

mengkhawatirkanku.

Telepon dari ayah dan kak Meidi tadi berakhir ketika dokter masuk dan

mengangkatku ke ranjang pasien dan menghubungkanku dengan alat bantu

 pernapasan. Sesaat dokter berbicara di telepon entah dengan ayah atau kak Meidi,

mungkin ayah karena dokter berbicara masih menggunakan Bahasa Jepang.

Hari ini, tahun ini, adalah tahun yang penuh dengan rasa terima kasih.Tuhan tak pernah tinggal diam di atas sana, dan aku sadar betapa bodohnya aku

selama ini hanya menyalahkan Tuhan atas semua keburukan yang menimpaku.

Dari kejadian hari ini aku belajar untuk selalu berterima kasih atas semua yang

Tuhan berikan, baik itu hal baik maupun hal buruk sekalipun.

Rasanya, jika hari ini Tuhan berniat memanggilku, aku tak akan keberatan.

Tak ada beban berat lagi yang ku tanggung. Bukankah indah jika aku meninggal

dengan adanya keluarga yang menyayangiku?

֎ 

Page 63: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 63/81

62 | D e a r K a s e i r a  

31 Desember 2015

Akhir tahun yang penuh dengan suka cita, dengan ucapan selamat natal

dan tahun baru dari ayah, kak Meidi dan kak Irina, serta tak ketinggalan Viona

dan Reksa. Aku memutuskan untuk membaginya dengan pembaca-pembacaku.

Selamat tahun baru, teman-teman. Terima kasih untuk dukungan kalian selama

ini. Aku harap kalian mendapatkan banyak kebahagiaan ditahun depan.

Salam,

Hana

Satu email  masuk, dikirim sekitar dua hari yang lalu. Tak perlu kutebak

siapa pengirim dibalik nama Devisign, dengan ragu aku membacanya.

From : [email protected] 

To : [email protected] 

Subject: Hana-chan?

Sepertinya kamu tidak mau membalas pesan yang saya kirim. Tidak apa-apa,

Hana. Satu yang perlu kamu tahu, saya tidak akan pernah bisa melepaskan

kamu. Apa tidak ada lagi sisa sayang untuk saya?

Untuk yang pertama dan mungkin akan kusesali nantinya, aku membalas

 pesan itu.

From : [email protected] 

To : [email protected] 

Subject : Re: Hana-chan?

Sama seperti kamu, selamanya Hana tidak akan pernah bisa berhenti

menyayangi kamu. Tapi ini sudah menjadi keputusan Hana, jangan buang-

 buang waktu untuk seseorang yang tidak bisa memberikan kamu masa depan.

Hana mungkin tidak punya banyak waktu lagi, jadi Hana ingin meminta maaf

sudah mengambil keputusan yang menyakitkan buat Seira. Yang terbaik tidak

selalu menyenangkan, kan?

Page 64: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 64/81

63 | D e a r K a s e i r a  

Tolong hidup bahagia dan lupakan Hana, jangan pernah buang-buang waktu

untuk Hana. Hana rasa ini cukup bisa kamu pahami untuk tidak menghubungi

Hana lagi.

Page 65: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 65/81

64 | D e a r K a s e i r a  

14. Esok yang Tak Pernah Datang 

Aku menemukan email  balasannya untuk pertama kali. Terselip diantara

email-email  laporan bulanan dari rekan kantorku.

Sama seperti kamu, selamanya Hana tidak akan pernah bisa berhenti

menyayangi kamu. Tapi ini sudah menjadi keputusan Hana, jangan buang-buang

waktu untuk seseorang yang tidak bisa memberikan kamu masa depan. Hana

mungkin tidak punya banyak waktu lagi, jadi Hana ingin meminta maaf sudah

mengambil keputusan yang menyakitkan buat Seira. Yang terbaik tidak selalu

menyenangkan, kan?

Tolong hidup bahagia dan lupakan Hana, jangan pernah buang-buang waktu

untuk Hana. Hana rasa ini cukup bisa kamu pahami untuk tidak menghubungi Hana lagi.

Perempuan ini keras kepala sekali. Cuma bicara memang gampang, tapi

 bagaimana bisa bahagia kalau caranya seperti ini?

Sudah banyak yang kukorbankan untuk memperjuangkannya. Dimulai dari

email  pertama yang kukirim padanya, yang tak kunjung dibalas sampai berpuluh-

 puluh email  ku kirim. Tapi suatu hari Meidina menemukan novel itu di antara

tumpukan buku-buku desainku. Ia tentu saja marah, bahkan sampai menangis.

Aku hanya bilang padanya, ini bukan hanya tentang aku dan Hana, yang lebih

 penting adalah tentang Hana dan keluarganya. Jadi aku menyarankan Meidi untuk

membacanya juga.

Meskipun Meidi sudah mengetahui tentangku yang masih mencari Hana, ia

tidak juga mengambil keputusan apa-apa untuk hubungan kami. Dan aku juga tak

 bisa menyakitinya lebih lagi dengan memutuskan pertunangan kami.

Terlepas dari kerumitan hubungan antara aku dan Meidi, hari ini aku ingin

lepas sejenak dari kesibukan kantor dan juga dari Meidi. Setelah dua tahun lebih

aku pindah dari apartemen lama, aku kembali ke tempat ini. Rooftop masih tetap

sama, tak ada yang berubah selain cat di dinding yang mulai pudar. Sakura itu

masih mekar seperti dua tahun lalu.

Aku berniat mengirimkannya pada Hana, mungkin ia merindukan sakura

disini .

Page 66: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 66/81

65 | D e a r K a s e i r a  

Dalam hitungan menit satu email  balasan masuk, yang membuatku sangat

terkejut. Hana membalasnya secepat ini?

Hana pernah menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Viona.

Dalam hati aku berdoa Viona tidak mengabarkan sesuatu yang tidak ingin

kudengar seumur hidupku.

Setelah memberikan nomor ponselku, Viona langsung menghubungiku.

Aku masih berada di rooftop saat Viona mulai berbicara.

“ Hallo, Kaseira?” 

“Iya ini saya, ada apa Viona? Hana kenapa?” Pertanyaan itu langsung

keluar begitu saja dari mulutku.

“Bisa kah kamu datang ke Tokyo segera? Aku baru saja menghubungi

ayahnya Hana, mereka akan segera kesini secepatnya.” 

“Ada apa dengan Hana?!” Tanyaku tak sabar.

From : [email protected] 

To : [email protected] 

Subject: Do you remember ?

Dua tahun tidak membuat sakura di sini kehilangan kelopaknya, tidak juga

gugur. Andai bisa, saya ingin mengajak kamu kesini lagi untuk bertanya satu

 pertanyaan yang dulu tidak sempat saya tanyakan. Will you marry me?

From : [email protected] 

To : [email protected] 

Subject : Re: Do you remember ?

Bisa aku minta nomor ponsel kamu? Ini sahabatnya Hana, Viona. Ada sesuatu yang harus

secepatnya aku kabarkan. Reply ASAP.

Page 67: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 67/81

66 | D e a r K a s e i r a  

Tanpa ia mintapun aku pasti akan kesana!

“Kesehatannya memburuk, dokter bilang kemoterapi sudah tidak bisa

membantu. Sekarang kondisinya kritis, Sei.” 

Tanpa memikirkan hal yang lain, aku menjawabnya dengan singkat, “Saya

segera kesana.” 

֎ 

Haneda International A ir por t, Tokyo, Jepang .

8:50 AM

Aku tak pernah merencanakan untuk datang kesini dengan untuk

mengunjungi Hana yang sedang sakit. Sungguh, aku tak ingin datang dengan cara

seperti itu.

Kutinggalkan semua proyek pekerjaan yang belum selesai di Jakarta, entah

 bagaimana reaksi Meidi ketika melihatku juga ikut datang ke Tokyo. Untuk saat

ini pikiranku tak bisa terbagi pada hal yang lainnya, aku hanya ingin bertemu

dengan Hana dan menemaninya dalam masa-masa kritis seperti sekarang ini.

Viona bersama dengan kekasihnya, yang menjemputku di bandara, kami

langsung menuju ke Rumah Sakit di mana Hana dirawat. Berkali-kali Vionamenelepon seseorang untuk mengontrol keadaan Hana di sana selama kami dalam

 perjalanan, kami semua khawatir. Tapi aku menenangkannya, “Percaya saya,

Hana bukan perempuan yang lemah.” Vio menatapku dengan tatapan setuju.

Aku mencintai Hana karena dia kuat, karena dia tidak pernah jatuh sampai

terpuruk sekalipun semua orang mencoba untuk menjatuhkannya. Itulah Hana

yang aku kenal, dan aku yakin ia bisa bertahan. Mungkin bukan hanya sebuah

keyakinan, melainkan doa dan permohonan pada Yang Kuasa.

Sakura masih bermekaran di sana-sini, seolah menyambut kedatanganku

yang tak mengenakan ini. Setengah jam berikutnya kami sudah tiba di rumah sakitkhusus menangani penderita kanker. Viona sempat memberitahuku mengenai

 penyakit Hana.

 Pleomorphic Xantroastrocytoma (PXA), dua tahun lebih ini ia di diagnosis

mengidap penyakit kanker langka itu. Tahun lalu, tumor di kepalanya berhasil

diangkat, namun dalam hitungan bulan tumor itu kembali muncul, dan mau tidak

mau Hana harus tinggal dirumah sakit lebih lama untuk pengobatan radioterapi.

“Harusnya kemungkinan untuk sembuh bisa lebih dari delapan puluh

 persen, tapi kondisi fisik Hana tidak kuat menghadapi efek samping dari obat-

obatan yang Hana dapat selama kemoterapi. Lihat saja rambutnya sudah habis

Page 68: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 68/81

67 | D e a r K a s e i r a  

karena efek samping dari obat-obatan yang terlalu keras.” Viona dan aku berdiri

di samping tempat tidurnya.

Hana sedang tertidur, lelap sekali. Dokter bilang mungkin Hana baru akan

 bangun esok hari. Biar tanpa rambut ikal yang dulu sangat kusukai, ia tetaplah

Hana yang kukenal. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku melihatnya

tersenyum. Bangun lah Hana-chan, saya rindu melihat kamu tersenyum.

Malam sebelum aku berangkat ke Tokyo, aku memberitahu Meidina kalau

aku akan menemui Hana, Meidi berhak tahu, lagi pula aku tak mau membuatnya

terkejut mendapatiku tiba-tiba sudah ada di Tokyo.

“Ku harap kamu tidak lupa kalau kamu masih bertunangan denganku.”

Begitu katanya saat itu.

“Keputusannya untuk meninggalkan saya rasanya sudah bulat, saya tidak

bisa memaksanya untuk kembali. Tapi, untuk saat ini, berikan saya waktu

bersama Hana, saya mau ada di sampingnya.” Itu jawabanku yang mengakhiri

 percakapan kami via telepon malam itu.

Dia sudah memilih, dan aku tahu Hana adalah orang yang se-keras-kepala

itu ketika sudah membuat suatu keputusan.

“Hana-chan, saya di sini. Bangunlah, sehat lah kembali, saya tidak bisa

melihat kamu kayak mayat hidup begini.” Aku berbicara pada Hana yang masih

terlelap.

“Maafkan saya, Hana. Selama ini saya membenci keputusanmu yang

meninggalkan saya seenaknya itu, saya benar-benar tidak tahu kalau ternyata

kamu sakit parah. Dua tahun lalu, setelah kamu pergi, saya bertunangan dengan

kakakmu, saya brengsek, ya? Maafkan saya.

 Ngomong-ngomong soal novelmu, saya baru tahu mengenai alasan Hana

hidup, Hana hidup untuk saya, kan? Berarti sekarang kamu harus bertahan, harus

sembuh, karena saya ada di sini untuk jadi penyemangat Hana lagi. Hana-chan…

Saya selalu cinta kamu. Saya rindu Hana.” 

֎ 

“Hana-chan… Saya selalu cinta kamu. Saya rindu Hana.” 

Kata-kata Seira barusan menyambarku seperti kilat. Tadi, setelah aku dan

ayah berkonsultasi dengan dokter mengenai penyakit Hana, aku bermaksud untuk

 bermalam di sini sambil menjaga Hana. Tapi langkahku terhenti di depan ruangan

Hana di rawat. Aku mengenali betul punggung itu, punggung laki-laki yang

selama dua tahun ini menjadi tunanganku.

Page 69: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 69/81

68 | D e a r K a s e i r a  

Kemarin Seira bilang ingin berangkat ke sini untuk menjaga Hana, aku tak

 bisa melarangnya. Bagaimanapun juga, adikku sedang sakit, dan bila kedatangan

Seira bisa membuat Hana membaik, aku tak masalah. Yang penting adikku bisasembuh, karena aku belum memiliki kenangan manis satu pun dengan Hana. Aku

ingin meminta maaf dengan tulus dan memulai semuanya dari awal lagi.

Tapi dua kalimat terakhir yang Seira ucapkan tadi seperti melemparkanku

keluar jauh dari lingkaran mereka berdua. Aku tak bisa melepaskannya, aku

terlalu mencintai Seira. Bisakah aku tetap mempertahankan pertunangan ini walau

tanpa rasa sayang darinya?

“Bangun lah Hana, kamu harus tahu betapa dia sangat mencintaimu.” 

Aku membicarakan hal ini dengan ayah, mengenai pertunanganku dengan

Seira dan mengenai kenyataan bahwa Seira tak bisa melepaskan Hana. Ayahtersenyum padaku, seakan ayah mengerti apa yang ku rasakan.

“Adikmu sudah terlalu banyak menanggung rasa sakit karena kejahatan

ayah, kamu dan juga Irina. Semua tergantung padamu, ayah tak bisa menyuruhmu

untuk memutuskan ini atau itu, kalian berdua sama-sama anak ayah, ambillah

keputusan yang menurutmu tepat. Tapi jangan lupakan, prioritas kita sekarangadalah kesembuhan Hana.” Ayah memelukku lama, sebelum akhirnya ayah

kembali ke kamarnya yang berada di sebelah kamarku.

Sama seperti Seira tak bisa melepaskan Hana, aku juga tak bisa

melepaskan Seira begitu saja. Keegoisanku mengatakan untuk tetap

mempertahankan hubungan ini, sama halnya ketika Eldri meninggal dankeegoisan membutakan hatiku. Aku memaksa ayah dan okasan untuk membuang

Hana, bahkan aku mengancam mereka akan bunuh diri menyusul Eldri jika Hana

masih tinggal di rumah yang sama denganku.

Malam itu, ayah dan okasan bertengkar hebat karena ulahku, okasan tetap

membela Hana sementara ayah berpikir untuk memindahkan Hana ke panti

asuhan.

“Kamu akan terus membela Hana? Eldri baru saja pergi, saya tidak mau

 Meidina juga ikutan pergi meninggalkan saya!” Begitu yang ayah teriakan pada

okasan.Karena kejadian itu juga, Hana sempat ingin bunuh diri juga. Okasan dan

ayah sangat kaget melihat anak mereka yang bahkan belum genap sepuluh tahun

 bisa bertindak seperti itu. Kejadian itu membuat Hana trauma dan entah

 bagaimana ia mengubur dalam-dalam ingatan-ingatannya tentang kejadian hari

itu. Okasan memutuskan untuk membawanya pulang ke Jepang, dan sejak saat itu

kami tak pernah ada hubungan sama sekali dengan okasan dan Hana.

Tapi sekarang, aku tak mau Hana pergi, aku ingin menjadi kakak yang

sesungguhnya untuk Hana. Seperti yang kubaca di novelnya, ia ingin bisa

 bercerita denganku, ingin bisa membagi keluh kesahnya selama ia dibuang jauh

dari kami. Aku ingin membangun banyak kenangan manis bersama adikku.

Page 70: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 70/81

69 | D e a r K a s e i r a  

Mengingat Hana membuatku menangis, aku sadar kalau selama ini aku

 bagaikan iblis yang sedang berusaha menghancurkan Hana. Aku tak mau

menyakitinya lagi. Bisa kah Hana bahagia jika aku melepaskan Seira? Bisa kahHana sembuh jika Seira kembali bersamanya? Jika iya, akan kulakukan semuanya

untuk menebus dosa-dosaku yang dulu. 

֎ 

Setelah satu hari kuhabiskan untuk bercerita tanpa mendapatkan respon

dari Hana, aku tertidur sampai menjelang pagi. Aku terbangun ketika kurasakan

ada tangan yang mengelus lembut kepalaku.

“Sudah bangun?” Tanyaku. Dalam hati berterima kasih ribuan kali pada

Tuhan karena masih bisa melihatnya bernapas.

Hana mengangguk pelan. Kami saling memandang tanpa mengatakan satu

kata pun. Sudah lama sekali aku tak melihat mata coklat terang itu, sudah lama

sekali aku tak mendapatkan senyuman itu. Ia berusaha tersenyum di balik masker

oksigennya.

“Saya rindu Hana.” Ucapku pelan dan membuatnya menitikkan air mata,

masih tetap dengan senyuman yang sama.

Aku tahu apa yang ia pikirkan, ini bukan mimpi Hana, saya ada di sinisekarang.

“Jangan usir saya, saya tidak bisa pergi dari Hana.” 

Hana melirik ke buku catatan di samping bantalnya. Mungkin maksudnya

ia ingin menulis sesuatu.

“Setelah Hana pergi, kembali lah kepada tunanganmu.” Tulisnya. 

Saat membacanya, ingin sekali aku merobek-robek tulisan itu. Bagaimana

 bisa ia bilang ‘pergi’ saat aku ada disini untuk member ikannya semangat?! Aku

menggeleng, menolak untuk pergi dan menolak untuk kembali kepada Meidina.“Saya tidak bisa. Cuma kamu, saya tidak bisa kasih hati saya buat orang

lain.”

Aku menangis seperti anak kecil, di depan Hana, aku seperti tidak

memiliki tenaga untuk pura- pura kuat. “Jangan suruh saya pergi. Jangan, Hana.”

Ia mengusap air mataku tanpa berkata, ia masih terlalu lemah untuk

membuka mulutnya sekarang. Biar berapa kalipun Hana mengusirku, aku tetap

akan berada disampingnya, karena aku tak memiliki tempat lain lagi untuk pulang.

Hatinya adalah rumahku, rumah untukku tinggal, rumah yang membuatku nyaman

dan bisa menjadi diri sendiri.

Page 71: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 71/81

70 | D e a r K a s e i r a  

Hana menyerah, ia tak lagi menulis kata ‘pergi’ di catatannya. Setelah ia

sadar, suster datang untuk mengontrol kesehatannya. Lalu setelah itu Hana

tertidur lagi.

Ayah dan Meidi datang siangnya, sepertinya mereka tidak kaget melihatku

di sini. “Kamu tidak mau istirahat dulu, Sei?” Tanya Meidi.

Kali ini aku merasakan tatapan yang berbeda dari tatapannya yang biasa,

ada kesedihan di situ. Dan aku tahu akulah yang membuatnya sedih. Ayah

menyuruhku untuk pergi dengan Meidi sementara ayah menjaga Hana.

Meidi mengantarku menuju hotel tempatku menginap, di Tsukiji yang

hanya ditempuh dengan berjalan kaki dari National Cancer Center tempat Hana di

rawat. Siang ini cuaca sangat bersahabat, tidak panas dan juga tidak hujan. Kami

 berjalan kaki bersisisan, biasanya Meidi akan merangkul lenganku dengan manjadan bercerita riang mengenai apa saja yang terlintas di kepalanya saat itu.

Tapi tidak seperti biasanya, Meidi memainkan jemari-jemarinya seperti

ada yang menggangu di pikirannya.

“Jangan khawatir, saya tidak akan menyakitimu.” Ucapku menjawab

 pikiran-pikirannya.

“Kamu masih sayang Hana, Sei?” Tanya Meidi. Ia tentu tahu jawabannya.

“Tidak, saya tidak sayang Hana. Saya cinta dia.” Kata-kata sayang tidak

cukup untuk mendeskripsikan perasaanku untuk Hana.

“Aku tahu. Lalu bagaimana dengan kita?” 

Kami menyebrangi jalan dan melewati hotel tempat Meidi menginap

sebelum sampai di Hotel Ginza Marunouchi di Tsukiji. Dengan ragu aku

menggenggam tangannya. Bukan bermaksud untuk membuatnya bingung, aku

hanya ingin ia mengerti kalau aku tidak bisa meninggalkan Hana, aku ingin ia

sendiri yang memutuskan.

“Tentang kita, semuanya terserah padamu. Saya tidak mau menyakitimu,

Mei.” 

Ia diam, aku sendiri juga tak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia tahu betul bagaimana aku mencintai Hana, dan aku tahu betul kalau aku tak boleh menyakiti

Meidina. Kami sampai di hotel yang berada di ujung pertigaan itu, Meidi

melepaskan tanganku perlahan.

“Istirahatlah, Sei. Setelah ini, kamu bisa kembali ke rumah sakit untuk

menemani Hana lagi.” 

“Kamu tidak ikut masuk dulu?” 

“Aku mau ke hotel dulu, ada yang harus ku ambil.” 

“Kalau begitu saya antar kamu sampai ke hotel.” 

Page 72: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 72/81

71 | D e a r K a s e i r a  

“Tidak perlu, Sei. Oh iya, aku kembalikan ini ke kamu.” Meidi

melepaskan cincin di jarinya dan memberikannya padaku.” 

“Sakit rasanya waktu aku lihat kamu kemarin di rumah sakit, waktu kamu

 bilang kamu cinta Hana. Tapi aku sadar, aku tidak bisa memaksa kamu untuk

menikah denganku. Aku boleh minta tolong?” 

“Minta tolong apa, Mei?” 

“Biar Hana menyuruh kamu pergi, jangan pernah pergi dari dia. Dia

adikku, aku sudah terlalu banyak nyakitin Hana, mulai dari sekarang Hana harus

 bahagia. Bahagianya dia cuma sama kamu. Jaga dia ya, Sei?” 

Aku memeluk Meidina, sebagai mantan kekasih yang tidak bermaksud

untuk membuat dia sakit hati. “Maafkan saya ya, Mei. Tolong maafkan saya kalau

saya membuat kamu kecewa. Saya janji tidak akan pernah tinggalin Hana lagi.” 

Aku tak bisa menjelaskan bagaimana leganya aku sekarang, betapa

 bahagianya aku mendengar keputusan Meidi. Mungkin aku jahat karena

 berbahagia di atas kesedihannya, tapi Meidi tak akan pernah bahagia jika ia terus

memaksakan pertunangan ini. Ini yang terbaik untuk kami berdua. Meidi kembali

melewati jalan yang sama menuju hotelnya menginap, ia membutuhkan waktu

untuk sendirian menata hatinya.

Sesampainya di kamar, aku memberitahu orang tuaku tentang pertunangan

kami yang baru saja berakhir. Papa sedikit keberatan pada keputusanku, wajar

karena dari awal papa yang sangat berniat menjodohkan kami. Tapi mamamengerti betul bagaimana aku tak bisa berhenti mencintai Hana.

“Mama tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Jaga Hana, ya nak. Mama

sudah anggap Hana seperti anak mama sendiri.” 

Tak ada yang bisa memaksakan hati seseorang, biar sampai kapanpun

Hana menjauh dariku, atau biar berapapun perempuan yang dijodohkan denganku,

dari awal cuma Hana dan akan tetap dia seorang yang bisa memiliki hatiku. Kini

aku sudah bebas, bebas untuk mencintai Hana sepenuh hati lagi, tanpa takut jika

akan menyakiti orang lain.

֎ 

Sudah hampir sebulan ini semuanya seperti mimpi. Dimulai ketika

kesehatanku memburuk dan tak sadarkan diri entah berapa lama. Ketika aku

 bangun, ayah dan kak Meidi berdiri di samping ranjangku. Ayah langsung

memanggil dokter, sementara kak Meidi memelukku sambil menangis. Untuk

 pertama kalinya aku merasakan pelukan dari kakakku.

Berkali-kali kak Meidi meminta maaf padaku, tapi aku tak kuat untuk

sekedar mengucapkan kata , “Tidak apa-apa, Hana tidak marah sama sekali.

 Dengan kalian bisa menerima Hana saja, itu sudah lebih dari cukup untuk

Page 73: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 73/81

72 | D e a r K a s e i r a  

 Hana.”. Jadi aku hanya mengucapkannya dalam hati, satu hari itu aku tak bisa

 berhenti untuk tersenyum.

Meski berita dari dokter hari itu membuatku sedikit kehilangan semangat.

Dokter bilang kalau tumorku sudah merambat ke organ lain. Sum-sum tulang

 belakang tepatnya. Tapi sekali lagi, aku tetap bersyukur.

Ini semua sudah lebih dari cukup, aku bisa pergi kapan saja tanpa ada

 beban satu pun. Lalu kebahagiaan lain datang ketika aku mendapati Seira sedang

tertidur sambil menggenggam tanganku pagi itu.

Matahari baru muncul pagi itu, dan kala aku melihat Seira tertidur

disampingku seperti mengulang kebiasaan dua tahun lalu. Seira akan selalu

menjadi orang pertama yang kulihat ketika aku membuka mata. Otak warasku

menyuruhku untuk mengusirnya, ia sudah memiliki tunangan dan itu kakakkusendiri, bagaimana bisa aku menyakiti kakakku? Tapi hatiku menggerakkan

tanganku untuk mengusap rambutnya yang sudah lebih panjang dari terakhir kali

aku melihatnya.

Betapa aku merindukan Seira. Aku tak menyangka, perasaan ini masih

tetap sama bahkan setelah dua tahun aku meninggalkannya. Ternyata dengan pergi pun tak bisa mengubah apa-apa. Dia selalu menjadi alasanku untuk tetap

 bertahan.

Seira selalu datang setiap hari sampai hari ini, ia selalu menjadi orang

 pertama yang kulihat ketika aku bangun, dan selalu menjadi orang terakhir yang

kulihat sebelum aku tertidur. Beberapa hari yang lalu sebelum tidur, ia membawanovelku dan membacakan dongeng bidadari empat musim. Ia bilang, ini novel

 pertama yang ia baca dan sanggup ia selesaikan dalam waktu satu malam, dia

 bilang ia tak pernah bosan untuk membacanya berulang kali.

“Saya akan belajar mendongeng. Saya akan menceritakan dongeng untuk

kamu setiap malam sebelum kamu tidur. Dengan satu syarat, kalau keesokan

harinya kamu harus bangun dan menagih cerita yang lain.”

Aku tahu ia sangat ingin melihatku sehat kembali, aku pun juga ingin

sembuh. Aku ingin menebus dua tahun yang pernah kami lewatkan. Tapi

kenyataannya kesehatanku tidak memungkinkan. Aku sudah merasakannya sejak beberapa hari lalu, tapi aku tak ingin membuat Seira, Viona dan keluargaku sedih,

 jadi aku menyembunyikannya. Untuk kesekian kalinya aku menjadi pengecut.

֎ 

Kami sedang di dalam kamar pasien seperti biasa. Malam ini, setelah

keluargaku dan Viona-Reksa pulang Seira masih menemaniku. Aku masih

mengingat permohonanku ketika beberapa bulan lalu aku berulang tahun.

Page 74: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 74/81

73 | D e a r K a s e i r a  

“Aku ingin semuanya selalu berbahagia dengan atau tanpaku.” 

Sebuah permohonan yang ingin sekali kulihat menjadi kenyataan. Aku

tahu kesehatanku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin permohonanku

tahun lalu ketika salju turun tidak bisa menjadi kenyataan, tapi aku berharap

Tuhan tidak sejahat itu membiarkanku pergi dan meninggalkan luka pada orang-

orang yang kutinggalkan.

Seira tidur memelukku dari samping, di atas ranjang single yang sempit

itu, ia memaksakan tubuhnya agar bisa tidur di sampingku.

“Saya mau menepati janji saya tiga tahun lalu, saya mau bilang sesuatu

yang dua tahun lalu tidak sempat saya bilang. Boleh?” Aku mengangguk. 

“Raihana, will you marry me?” Seira membenamkan kepalanya di leherku.

 Napasnya menyentuh kulitku yang dingin.

Kalian tahu, bagaimana aku sangat menginginkan kata-kata itu keluar dari

mulutnya? Bagaimana aku akan mempertaruhkan apa saja agar bisa

mendengarnya? Tapi apa daya, sekeras apapun dokter berusaha, Tuhan tak

mengizinkannya. Mungkin Tuhan sudah merindukanku di atas sana.

“Ceritakan satu dongeng dulu baru besok Hana akan tagih cincin

nikahnya.”

Seira mulai bercerita dongeng tentang Pangeran Kayo dan Putri Hanaki. Ia

menceritakan versinya sendiri dan membuat akhir yang bahagia untuk mereka.

Aku mendengarkannya sampai Seira selesai bercerita dan mengecup bibirku

lembut sebelum aku tidur.

Aku ingin mendengar cerita yang lainnya, aku ingin menagih cerita-cerita

yang lainnya setiap hari sampai kami tua dan bergantian menceritakan dongeng

lainnya pada anak-anak kami. Lebih dari apapun, aku ingin menagih cincin nikah

itu ketika besok aku terbangun. Andaikan ada waktu, andaikan bisa, andaikan

Tuhan mengizinkan.

Tapi aku tak mau menuntut lebih, semua yang ku punya sampai hari ini

sudah lebih dari sekedar cukup. Keluargaku sudah kembali, aku sudah

menemukan rumah yang dulu tak pernah bisa kutemukan. Ayah yang memelukkudan mengucapkan selamat ulang tahun padaku, kakak yang bercerita mengenai

semua hal yang tidak bisa kami lewati bersama, aku tak berhak meminta lebih

 banyak lagi. Bahkan Tuhan sudah mengembalikan Seira padaku.

Aku salah, Tuhan tak pernah bersikap tak adil. Tuahn tidak pernah jahat

dan menimpakan segala kesialan padaku. Tuhan hanya mau membuatku tetap kuat

sampai Ia membalikkan semua yang buruk menjadi baik. Tuhan sudah menepati

 janji-janji-Nya padaku tepat sebelum waktuku habis.

Hari ini, masih sama seperti hari-hari yang lalu. Seira adalah orang

 pertama yang kulihat ketika aku membuka mata, dan selalu menjadi orang

Page 75: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 75/81

74 | D e a r K a s e i r a  

terakhir yang kulihat sebelum aku menutup mata. Sampai akhir, Seira tetap

menjadi alasanku satu-satunya untuk tetap bertahan. Selalu Kaseira.

֎ 

Pagi ini ketika aku bangun, alat detak jantung hanya menunjukkan garis

lurus yang datar di iringi dengan suara nyaring yang tak enak didengar. Suster-

suster menyuruhku dan menarikku dengan paksa untuk menjauh dari ranjang

 pasien. Aku tahu ada yang tak beres, alat detak jantung itu membuatku ingin

sekali membantingnya supaya ia diam.

Semua orang yang kukenal ada disitu, masih pagi sekali tapi mereka sudah

datang. Namun aku tak menyukai raut wajah mereka bahkan air mata mereka.

Viona menangis sampai terduduk di lantai sedang dipeluk oleh Reksa yang juga

sedang menangis. Ayah dan Meidina berada di sampingku mempertahankan

tubuhku agar tidak jatuh ke lantai. Aku tahu ada yang tak beres!

Petugas rumah sakit dengan kepanikan berlari kesana kemari, mereka

melakukan sesuatu pada tubuh Hana yang masih tertidur diatas ranjang.

Bagaimana bisa Hana tidak terbangun mendengar semua kegaduhan pagi ini?

Sejenak aku teringat pada lamaranku tadi malam, tanpa berpikir dua kali

aku berlari keluar, berlari secepat yang aku bisa untuk sampai ke hotel. Aku harus

mengambil cincin milik Hana. Cincin yang tak pernah lupa kubawa kemana-

mana. Cincin yang harusnya tiga tahun lalu kuberikan padanya. Aku harus

memberikannya sekarang sebelum firasatku mengenai ketidakberesan hari ini

menjadi kenyataan. Langkahku terhenti di bawah pohon sakura yang sedang

gugur. Nafasku memburu dan tak tahu apa penyebabnya air mataku keluar begitu

saja. Ada yang tak beres juga denganku.

Sakura berguguran di atas kepalaku, dengan kilauan cahaya matahari yang

menyilaukanku melewati celah-celah pohon. Hana-chan apa yang sedang terjadi

Page 76: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 76/81

75 | D e a r K a s e i r a  

 saat ini? Kamu masih di sana, masih tertidur di sana, tapi kenapa saya merasa

kamu sudah jauh sekali?

Seorang ibu-ibu paruh baya menepuk pundakku, “Apa kau baik -baik

saja?” 

Aku menatapnya dengan air mata yang masih meleleh, tidak! Aku tidak

baik-baik saja!

Aku tak menghiraukan pertanyaan ibu tadi dan terus berlari sampai

mencapai hotel dan terus berlari mengejar waktu untuk sampai kembali di rumah

sakit.

Semua orang masih menangis ketika aku sampai, bahkan aku melihat ada

mamaku disana.

“Apa yang kalian tangisi?!” Tanyaku kalap. 

Mama memelukku sambil menangis. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku

tak bisa berhenti menangis. Aku menyingkap kain putih yang sudah menutupi

Hana. Orang bodoh mana yang melakukan hal ini?!

“Hana, bangun. Sudah pagi. Saya tagih janji kamu tadi malam, ini cincin

kamu yang tidak sempat saya berikan waktu itu. Hana bangun!” aku

mengguncang-guncangkan tubuh Hana seperti orang kesetanan. Alat detak

 jantung yang tadi membuatku murka sudah tidak berfungsi. Masker oksigen yang

mengikat Hana juga sudah tidak digunakan.

Firasatku benar, ketika tadi malam ia janji akan menagih cincin ini, aku

tahu ia tak bisa menepatinya. Tapi tak tahu kenapa, aku tak ingin menerima

kenyataan ini. Aku tak bisa membiarkannya pergi seperti ini. Dia bahkan tak

 bilang apa-apa padaku.

Aku menggenggam kuat-kuat tangan Hana, menangis sejadi-jadinya

sampai air mataku jatuh membasahi tangan pucat itu. “Jangan pergi dari saya.

Page 77: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 77/81

76 | D e a r K a s e i r a  

Saya mohon, jangan pergi seperti ini. Hana, jangan tinggalkan saya, kamu sudah

 janji akan menikah dengan saya!” 

“Seira, Hana sudah pergi.” Ucap Viona sesungukkan. 

“Tidak! Jangan sok tahu kalian!! Hana tidak mungkin pergi seperti ini! Dia

 pasti bilang ke saya kalau dia akan pergi!!! Jangan bohong!” 

“Dia sudah pamit tanpa sepengetahuan kita.” Kini gikiran Meidi yang sok

tahu.

“Jangan pergi, saya mohon…” aku memasangkan cincin itu di jari

manisnya, “Menikahlah dengan saya.” 

Mereka tidak berbohong, kenyataannya Hana memang sudah pergi.

Berapa kalipun aku memohon, Hana tetap tak akan bisa kembali. Berapa banyak

 pun aku berteriak sampai tenggorokkanku sakit, Hana tetap tak akan bisa bangun

lagi. Hana tidur untuk selamanya.

֎ 

Page 78: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 78/81

77 | D e a r K a s e i r a  

15. 

Epilog :

Waktu Gugurnya Sakura

Page 79: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 79/81

78 | D e a r K a s e i r a  

14 September 2015

Sakura di luar sana sedang menggugurkan kelopak-kelopak indahnya. Aku

melihatnya dari balik jendela kamar pasien, sebenarnya aku ingin keluar dan

menikmati saat-saat terakhir sakura yang indah bisa ku lihat tapi dokter bilang

terlalu dingin untuk berada di luar. Jadi aku menikmatinya dari dalam sini.

Tak lama lagi aku akan mengikuti kelopak-kelopak gugur yang terbawa angin

itu. Kisah Hana dan Keseira sedikit lagi akan berakhir dengan akhir yang

 bahagia. Semuanya kembali seperti sedia kala. Hati yang meninggalkan dan

ditinggalkan sudah kembali bertemu dan menjadi satu kembali.

Arti keluarga yang sebelumnya masih absurd di pikiran Hana, kini ia sudah

mengerti bagaimana rasanya disayangi oleh ayah dan kakaknya.

Untuk ayah, okasan, dan kakak-kakak yang selalu menjadi rumah bagi Hana,

rumah yang hangat dan penuh dengan kasih sayang, biarpun tidak bisa

menikmatinya lebih lama, biarpun tidak lengkap tanpa okasan, kalian selalu

menjadi rumah yang hangat kemanapun dan sejauh apapun Hana pergi. Untuk

saat-saat terakhir yang sangat membahagiakan, untuk pelukan hangat dan

 perhatian di saat-saat terakhir, terima kasih. Biarpun singkat, tapi Hana bisa

mengerti apa arti dari keluarga.

Untuk sahabat yang tak pernah pergi, dan selalu mendukung semua keputusan

Hana, Viona. Maaf sudah membuatmu lelah selama ini. Untuk waktumu, dari

awal kita kenal sampai akhir Hana harus pergi, terima kasih Vio.

Dan terakhir untuk seseorang yang menjadi tokoh utama di balik novel yang

Hana buat, Kaseira Mauro Reenezer. Yang pertama dan yang terakhir dan

selalu menjadi yang satu-satunya untuk Hana. Untuk sakura yang

diciptakannya, untuk kesabarannya dan untuk semua cinta yang ia berikan,

sampai akhir akan selalu

Page 80: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 80/81

79 | D e a r K a s e i r a  

menjadi orang yang paling penting di hidup Hana. Maaf harus pergi lagi

untuk kedua kalinya, jangan marah. Sakura akan tetap mekar tahun depan,

meski Hana tidak bsia kembali bersama dengan sakura yang mekar,

 percayalah cinta ini selalu ada bersama dengan kelopak-kelopak sakura yang

 bermekaran setiap tahunnya.

Kepada semua yang harus Hana tinggalkan, hiduplah bahagia, carilah

kebahagiaan itu. Itu doa Hana sebelum meniup lilin ulang tahun yang kalian

 berikan.

Yang datang akan pergi, dan yang pergi mungkin tak akan kembali. Tapi

kenangan selalu abadi, seabadi mekarnya sakura yang tak pernah absen

setiap tahun.

Pelajaran yang Hana dapat dan Hana ingin kalian mengetahuinya, jangan

lupa untuk selalu bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan. Hal baik dan

 buruk semuanya adalah yang berbaik yang Tuhan berikan. Janganmenyalahkan keadaan, jangan menyalahkan takdir, karena takdir

menentukan jalannya sendiri tanpa bisa kita cegah.

Ini akhir dari cerita Dear Kaseira, akhir yang bahagia untuk Hana, dan

 percayalah Kaseira akan mendapatkan kebahagiaan yang lain setelah ini.

Salam,

Hana

Page 81: Dear Kaseira

7/25/2019 Dear Kaseira

http://slidepdf.com/reader/full/dear-kaseira 81/81

80 | D e a r K a s e i r a  

 Akhir Tahun 2015

Hana sudah pergi, biar tak mau, tapi saya harus mengikhlaskannya.

Selamanya, Hana tak akan pernah tergantikan, sakura akan selalu

mengingatkan saya padanya. Hana pergi bersama dengan gugurnya sakura,

mesti tak mungkin saya berharap bisa menemuinya ketika sakura kembali

mekar di tahun-tahun berikutnya.

Untuk Raihana Akira, perempuan paling kuat dan tegar yang pernah saya

temui, satu-satunya yang bisa menempati posisi di hati saya, cinta ini tak

akan pergi biar berapa kalipun sakura mekar dan gugur, tahun-tahun tak

akan pernah bisa menggantikannya. Untuk Raihana Akira, untuk kenangan

yang terlalu manis untuk saya lepaskan, cinta ini akan selalu abadi seabadi

sakura.

Kaseira

TAMAT