déjà vu- farhan

28
7/23/2019 Déjà Vu- Farhan http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 1/28 Dé  jà vu M.Farhan, X.I “ Malam yang sangat tenang. Langit kelam berawan hitam sembunyikan purnama yang menampakkan sinarnya dengan malu-malu. Meneduhi manusia yang terlelap dalam buaian mimpi maya. Sesosok tubuh melayang dari ketinggian langit. Orang itu. Orang yang dijanjikan akan turun di akhir zaman. Umat manusia terbuai dalam mimpinya. Sebuah mimpi maya. Mimpi yang telah diatur oleh sekelompok bajingan itu. Mimpi yang menembus pikiran alam bawah sadar. Mimpi yang membuat manusia akan hidup di alam mimpi selamanya…”  Kelebatan gambar itu terlintas di alam bawah sadarku. Ya, gambar-gambar itu. Gambar-gambar yang menghantui pikiranku selama ini. Gambar-gambar peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Semua terlintas di saat yang tidak terduga. Hidupku yang tak pernah tenang lagi semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuatku memiliki anugerah ini. Anugerah melihat kelebatan-kelebatan peristiwa yang akan terjadi nanti. Peristiwa yang akan mengubah sejarah dan hidup manusia. Manhattan, New York 18 April 1993 Entah kau mau percaya ceritaku atau tidak, semua kembali ke logika dan nalar yang ada pada dirimu. Tapi aku bersumpah ini nyata. Namaku Richard Rodriguez. Kau bisa memanggilku Richie. Awalnya aku hanyalah seorang anak kecil biasa, hidup normal seperti teman-teman seusiaku, aku pergi ke taman kanak-kanak, bermain baseball, suka roti isi selai kacang, menonton The Simpsons di malam hari. Semuanya sangat normal. Saat itu aku masih tinggal di Manhattan, New York. Semua kejadian itu berawal disaat aku masih berusia 4 tahun, musim panas yang indah di tahun 93. Kejadian itu masih segar di benakku, seperti baru saja terjadi kemarin sore. Orang-orang berbaju putih itu. Orang-orang yang menculikku di halaman belakang rumahku saat aku sedang bermain sendirian tanpa pengawasan orang tuaku. Orang- orang yang menyekapku di dalam bagasi sebuah mobil tua. Orang-orang yang membawaku ke sebuah tempat yang sangat aneh. Ya, aku tak tahu harus menyebut apa tempat itu, entah laboratorium, atau sebuah penjara. Tempat serba putih yang sangat luas. Tempat yang penuh dengan orang-orang berjubah putih dan mengenakan topeng. Topeng itu, topeng yang sangat menakutkan bagi anak kecil sepertiku. Topeng berbentuk makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah ada, yang belakangan kuketahui berasal dari peradaban mesir kuno. Aku dijadikan kelinci percobaan oleh mereka. Orang-orang tidak berperikemanusiaan yang menjalankan sebuah proyek rahasia. Proyek yang mengubah frekuensi gelombang otak manusia. Eksperimen mereka telah menghabiskan puluhan nyawa anak-anak kecil tidak berdosa.  Aku termasuk salah satu diantara sekian anak yang beruntung tidak meregang nyawa saat alat itu menusuk otakku. Ya, alat itu. Aku tidak tahu namanya, tapi alat itu sangat mengerikan, terbuat dari silinder besar logam yang berukir gambar-gambar aneh dan berujung tajam seperti  jarum untuk menyuntik. Alat yang menyuntikkan gelombang listrik tegangan tinggi yang membuatku kejang-kejang dan mulut berbusa selama beberapa saat sehingga aku dianggap kelinci percobaan yang gagal. Aku dibuang dari laboratorium itu. Laboratorium nomor 51. Aku dibuang ke sebuah gudang yang di dalamnya bertumpuk gunungan mayat anak-anak kecil tak berdosa yang gagal .

Upload: muhammad-farhan

Post on 18-Feb-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 1/28

Dé jà vu

M.Farhan, X.I

“ Malam yang sangat tenang. Langit kelam berawan hitam sembunyikan purnama yang

menampakkan sinarnya dengan malu-malu. Meneduhi manusia yang terlelap dalam buaian

mimpi maya. Sesosok tubuh melayang dari ketinggian langit. Orang itu. Orang yang dijanjikan

akan turun di akhir zaman. Umat manusia terbuai dalam mimpinya. Sebuah mimpi maya. Mimpi

yang telah diatur oleh sekelompok bajingan itu. Mimpi yang menembus pikiran alam bawah

sadar. Mimpi yang membuat manusia akan hidup di alam mimpi selamanya…”  

Kelebatan gambar itu terlintas di alam bawah sadarku. Ya, gambar-gambar itu. Gambar-gambar

yang menghantui pikiranku selama ini. Gambar-gambar peristiwa yang akan terjadi di masa

depan. Semua terlintas di saat yang tidak terduga. Hidupku yang tak pernah tenang lagi

semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuatku memiliki anugerah ini. Anugerah melihat

kelebatan-kelebatan peristiwa yang akan terjadi nanti. Peristiwa yang akan mengubah sejarah

dan hidup manusia.

Manhattan, New York 18 April 1993

Entah kau mau percaya ceritaku atau tidak, semua kembali ke logika dan nalar yang ada pada

dirimu. Tapi aku bersumpah ini nyata. Namaku Richard Rodriguez. Kau bisa memanggilku

Richie. Awalnya aku hanyalah seorang anak kecil biasa, hidup normal seperti teman-teman

seusiaku, aku pergi ke taman kanak-kanak, bermain baseball, suka roti isi selai kacang,

menonton The Simpsons di malam hari. Semuanya sangat normal. Saat itu aku masih tinggal di

Manhattan, New York. Semua kejadian itu berawal disaat aku masih berusia 4 tahun, musim

panas yang indah di tahun ’93. Kejadian itu masih segar di benakku, seperti baru saja terjadi

kemarin sore. Orang-orang berbaju putih itu. Orang-orang yang menculikku di halaman

belakang rumahku saat aku sedang bermain sendirian tanpa pengawasan orang tuaku. Orang-

orang yang menyekapku di dalam bagasi sebuah mobil tua. Orang-orang yang membawaku ke

sebuah tempat yang sangat aneh.

Ya, aku tak tahu harus menyebut apa tempat itu, entah laboratorium, atau sebuah penjara.

Tempat serba putih yang sangat luas. Tempat yang penuh dengan orang-orang berjubah putih

dan mengenakan topeng. Topeng itu, topeng yang sangat menakutkan bagi anak kecil

sepertiku. Topeng berbentuk makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah ada, yang

belakangan kuketahui berasal dari peradaban mesir kuno. Aku dijadikan “kelinci percobaan” 

oleh mereka. Orang-orang tidak berperikemanusiaan yang menjalankan sebuah proyek rahasia.

Proyek yang mengubah frekuensi gelombang otak manusia. Eksperimen mereka telah

menghabiskan puluhan nyawa anak-anak kecil tidak berdosa.

 Aku termasuk salah satu diantara sekian anak yang beruntung tidak meregang nyawa saat alat

itu menusuk otakku. Ya, alat itu. Aku tidak tahu namanya, tapi alat itu sangat mengerikan,

terbuat dari silinder besar logam yang berukir gambar-gambar aneh dan berujung tajam seperti

 jarum untuk menyuntik. Alat yang menyuntikkan gelombang listrik tegangan tinggi yang

membuatku kejang-kejang dan mulut berbusa selama beberapa saat sehingga aku dianggap

“kelinci percobaan” yang gagal. Aku dibuang dari laboratorium itu. Laboratorium nomor 51. Aku

dibuang ke sebuah gudang yang di dalamnya bertumpuk gunungan mayat anak-anak kecil takberdosa yang “gagal”.

Page 2: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 2/28

 Aku masih ingat saat-saat mengerikan itu. Sendirian di sebuah ruangan ditemani puluhan

mayat anak-anak seumuranku yang bermuka menjerit dalam sunyi. Beruntung aku bisa keluar

dari tempat itu. Sangat beruntung. Aku menyelinap saat orang-orang itu masuk membawakanku

sebuah mayat lagi. Aku ingat saat-saat mencekam itu. Tersesat sendirian di tempat itu. Melihat

percobaan-percobaan mengerikan lain. Melihat kurungan berisi anak-anak tidak berdosa itu.Ekspresi ketakutan mereka terekam di otakku hingga saat ini. Lalu pria itu melihatku. Salah satu

pria yang mengenakan jubah putih itu, tapi tidak mengenakan topeng. Pria kekar berahang

tegas berambut abu-abu yang memiliki sebuah luka codet yang dalam di pipi kirinya. Dia

mendekatiku, aku bergegas berlari darinya. Aku takut dia akan membawaku kembali ke

laboratorium itu. Dia mengejarku.

“Tidak apa-apa, aku tidak akan menyakitimu” ujarnya dengan suara berat.

Dia berhasil mengejarku, lalu menggendongku secara paksa dan membawaku ke mobilnya

yang sudah terparkir di belakang tempat itu. Aku dibuatnya pingsan sehingga tidak tahu dimana

lokasi tempat itu, tetapi aku masih ingat saat-saat terakhir itu, nama yang tercantum di jubahnya

adalah

“Horus” 

 Aku masih ingat kejadian dé jà vu pertamaku. Saat itu aku berumur 5 tahun. Kelebatan gambar

pertama itu muncul saat aku sedang menonton acara NFL di televisi. Gambar runtuhnya

menara kembar WTC di New York. Gambar ledakan yang menewaskan orang orang tak

berdosa itu. Gambar muka-muka korban luka bakar, dan juga mayat-mayat itu. Awalnya aku

mengacuhkan hal-hal itu, namun ternyata gambar-gambar itu benar-benar terjadi saat 11

September 2001. Lama-kelamaan kelebatan gambar-gambar itu kugambar di dalam sebuah

buku gambar. Kugambar kelebatan gambar itu dengan sedetail mungkin, dan gambar itu selalu

menjadi kenyataan. Gambar invasi AS ke Irak, gambar tsunami Asia Tenggara, gambar

terpilihnya presiden kulit hitam AS pertama, gambar gempa di Jepang, gambar kerusuhan

London, dan gambar-gambar lainnya.

Florida, 15 Oktober 2012 

Kini usiaku sudah 23 tahun. Kelebatan gambar itu masih sering lewat di otakku, tapi sekarang

aku lebih menikmatinya. Rasanya seperti mendapat berita lebih dahulu dari orang lain.

Kelulusanku dari Harvard tinggal menunggu waktu. Aku mempelajari ilmu astronomi disana, aku

ingin mengungkap rahasia alam semesta yang sangat luas, tentang fenomena-fenomena yang

terjadi diluar logika manusia. Kunikmati liburan sebelum wisuda ini di rumah kecilku, sebuah

kota kecil di tepi pantai di Negara bagian Florida. Berselancar di pagi hari, menikmati matahariterbenam di sore hari, dan membakar api unggun di malam hari bersama teman-temanku.

Sudah sebulan ini aku sengaja tak berhubungan dengan dunia luar. Aku ingin menikmati libur

sebelum wisuda ini. Libur sebelum kembali ke dunia nyata. Hari ini masih pagi buta. Sebelum

melakukan rutinitas berselancar, rasa iseng membawaku untuk menyalakan lagi Macbook-ku.

Kubuka halaman facebook-ku. Teman-teman sejurusanku sudah mendapat pekerjaan semua,

kecuali diriku. Nathan diterima di NASA, Jessica akan bekerja di ISS, Eddie yang pemalas pun

diterima di CNN sebagai peramal cuaca.

“Hai Richie, sudah dapat pekerjaan? Jika belum ada…” 

Page 3: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 3/28

begitulah postingan-postingan yang ada di wall facebookku. Lowongan pekerjaan bertubi-tubi

datang menghampiriku, tapi tak ada yang sesuai denganku. Aku menginginkan sebuah

pekerjaan yang lebih menantang. Tapi keinginanku ditentang oleh orangtuaku.

“Richard, kau harus segera mencari pekerjaan.” 

Kalimat itulah yang selalu diulang-ulang ibuku belakangan ini. Heran, mengapa harus lelah

bekerja di dunia luar sementara aku bisa disini, menikmati indahnya hidup. Tapi, di tengah

indahnya hidup itu aku merasakan kekosongan pada jiwaku. Aku merasa ada yang kurang

selama ini. Tujuan hidupku. Pencarian jatidiriku selama minggu-minggu liburan ini belum

membuahkan hasil. Aku sudah berpindah-pindah agama, tapi tak ada yang pas dengan hatiku.

Saat ini aku atheis. Aku tak percaya dengan sesuatu yang bernama Tuhan. Pandanganku

tertuju pada sebuah e-mail yang ada di inbox account Gmail-ku, sebuah e-mail yang menarik

kenanganku kembali ke masa belasan tahun lalu.

From: [email protected]

To: [email protected]

Hi Richie,

Masih ingat denganku? Aku punya pekerjaan yang menarik untukmu, temui aku di Madison Square

Garden, N.Y saat purnama penuh oktober

Horus… batinku.

Nama itu seperti tidak asing bagiku..

Ingatanku melayang kembali ke peristiwa itu. Dia orang yang menyelamatkanku dari gedung itu.

Gedung berisi orang-orang aneh yang mengenakan jubah putih dan topeng mengerikan itu.

Ya, pasti dia orangnya pikirku.

Mataku segera melayang ke kalender yang ada di desktop Macbook-ku. Sekarang pertengahan

Oktober.

Sial, sekarang purnama penuh pikirku.

Tanganku meraih jaket yang tersampir di bangku dan bergegas mengambil kunci Chevrolet

Camaro ’76-ku. Aku harus cepat. Florida ke New York itu dari ujung timur ke ujung barat

 Amerika !

“Wrooooooooooooom…” 

Deru mesin turbo V8 modifikasiku sendiri meraung kencang. Mobilku sudah setengah jalan

dalam perjalanan lintas Amerika ini. Mobilku melaju di jalan antar negara bagian No.57. Daerah

pegunungan Rocky mountain di tengah-tengah negara Amerika Serikat. Hamparan bukit-bukit

berbatu bertebaran di sekitar jalan. Burung-burung elang botak khas amerika sedang

beterbangan mencari mangsa. Langit terlihat gelap, sekarang musim gugur. Matahari sudah

mulai malas menampakkan dirinya kepada kami, penduduk AS. Pohon-pohon oak,cemara, dan

pinus menggugurkan daunnya untuk persiapan menghadapi musim dingin yang keras di

 Amerika. Radio di mobilku sedang memutar lagu Miley Cyrus ”Party in the USA”.

Page 4: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 4/28

Saat itu baru kusadari, ternyata diriku sedang dibuntuti oleh sebuah mobil di belakangku. Mobil

tanpa plat nomor. Sebuah van Chevrolet hitam tahun 80-an.

Pengemudinya adalah seorang dengan topi hitam dan kacamata yang juga hitam, mengenakan

 jaket hitam dan bersarung tangan hitam pula.

Serba hitam, mencurigakan batinku.

Tiba-tiba terlihat moncong sebuah pistol di spionku. “DORR!!”  pria mencurigakan itu

menembakkan pistol revolver 9mm-nya ke arah mobilku. Beruntung peluru itu meleset sekian

millimeter dari ban belakang mobilku. “DORRR!! DORR!!”  pria itu kembali memuntahkan

lesatan timah panas dari pistolnya. Aku segera menginjak kopling, memindahkan gigi,

menginjak pedal gas dalam-dalam dan mengebut Camaro-ku sekencang mungkin melewati

 jalanan antar negara bagian ini. Jarum angka di speedometerku sudah menunjukkan angka 180

km/jam. Rentetan peluru kembali terdengar di belakangku, dan peluru itu mengenai bagasi

belakangku.

Sialan, kau harus membayar itu pikirku.

Dengan lincah mobilku berkelok menyusuri jalanan Grand Canyon yang berbahaya dan

berliku-liku. Sebisa mungkin mobilku harus berjarak minimal 500 meter sehingga jarak

tembaknya menjadi tidak efektif lagi. Pedal gas kuinjak semakin dalam, putaran mesin mobilku

sudah mencapai 8.600 rpm, van itu semakin tertinggal jauh dibelakang mobilku. Di depankutepampang rambu peringatan akan tikungan tajam yang hampir membentuk sudut 90 derajat.

 Aku segera melepas injakan pedal gasku dan menarik rem tangan, membuat gerakan drifting

yang kupelajari dari teman sekelasku di masa SMA yang berasal dari kiblat drifting dunia,

Hanzo. Mobilku meluncur dengan mulus di tikungan tajam itu. Sedangkan orang misterius itu

karena saking bernafsunya ingin mengejarku tidak melihat tanda peringatan tikungan tajam itu,

dan dengan mulusnya mobil itu terjun langsung ke kedalaman Grand Canyon yang berbatu

tajam. Mobilku berhenti di tepi jurang. Pandanganku tertuju pada sungai berbatu tajam yang

mengalir deras 500 meter dibawahku. Mustahil dia bisa selamat.

Mengganggu saja batinku.

 Aku kembali ke mobil dan melanjutkan sisa perjalananku, khawatir terlambat tiba di N.Y tepat

pada waktunya.

 Aku tiba di Madison Square Garden tepat saat purnama penuh. New York Knicks sedang

bermain melawan Los Angeles Lakers.

Hei, jauh-jauh aku kesini mengapa melewatkan kesempatan emas ini? Menonton permainan

Lakers langsung dengan mata kepalaku sendiri  pikirku.

Final NBA game pertama musim ini. Puluhan ribu pasang mata menyaksikan permainan knicks

melawan lakers.

Kedua tim saling kejar mengejar skor. Pertandingan sudah memasuki kuarter terakhir.

Puluhan ribu penonton menjerit saat Kobe Bryan melakukan slam dunk dengan brilian,

permainan berakhir dengan 99-101. Kemenangan tipis untuk Lakers.

Mana dia? Aku tak mengenalinya Pikirku.

Page 5: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 5/28

 Aku berkeliling Madison Square Garden untuk yang kesekian kalinya. Ada banyak orang disini.

Orang-orang dari beragam ras. Dari ras Indian penduduk asli Amerika, ras Negro, ras Asia

Timur,Hispanik, Timur Tengah, dan lainnya. Amerika kini penuh dengan ras imigran.

Oh ya, aku lupa. Dia memiliki codet di pipi kirinya ingatku.

Pandanganku terus mengawasi orang-orang yang berjalan lalu-lalang di sekitarku. Tak ada.

Mungkin aku dikerjai, sialan pikirku. Aku sudah ingin kembali ke parkiran saat tangan dingin itu

menepuk pundakku.

“Hai Richie, lama tak bertemu” sapa suara berat itu.

Ya, dia pasti Horus. Kepalaku menoleh ke belakang, Muka itu tetap mengejutkanku. Muka

tanpa belas kasihan dengan codet di pipinya dan rambut abu-abu itu. Muka yang membawaku

kembali bertahun-tahun lalu..

“Hai..Horus?” tanyaku.

“Masih ingat rupanya?” tanyanya.

“Ya, aku hanya ingat luka itu” tunjukku ke arah codetnya.

”Oh, hahaha” tawanya. “Baiklah, lebih baik kita bicara.” Lanjutnya menjadi serius.

“Oke” jawabku.

“Tapi jangan disini.” Ujarnya.”Terlalu rawan untuk dicuri dengar.” Dia menarik tanganku

melewati kerumunan pendukung Knicks ke sebuah gang sempit di ujung jalan. Gang itu becek

dan ada siluet anjing-anjing liar di ujung gang itu.

“Baiklah, apakah aku mendapat balasan yang setimpal atas kunjungan jauhku ini?” tanyaku.

“Tentu saja, tapi sebelumnya, apakah kau mau tahu rahasia masa lalumu?” dia balik bertanya.

“Masa lalu?” aku terperangah. Akhirnya setelah penantian bertahun-tahun, rahasia tentang

masa laluku akan jelas.

“ Apa yang kau ketahui tentang illuminati?” tanyanya.

“Illuminati?” otakku mengingat-ingat kata itu. Sepertinya tidak asing.. batinku.

“Tidak tahu? Baiklah.” Jawabnya. “Illuminati adalah organisasi super rahasia yang memiliki

 jaringan yang tersebar di seluruh dunia. Dan aku adalah salah satu di antara mereka.” Ujarnya.

“Jadi? Orang-orang berjubah putih itu juga illuminati?” aku tercengang.

“Ya, bisa dibilang begitu.” Jawabnya.

“ Apa tujuan kalian melakukan itu semua?” tanyaku. Aku ingin semua ini menjadi jelas. Jawaban

atas pertanyaanku selama ini, yang selalu tersimpan dalam pikiranku.

“Kami, illuminati memiliki satu tujuan, yaitu membuat new world order  atau tatanan dunia baru.

Dimana kamilah yang akan menguasai dunia, dan kalian, yang bukan golongan kami sebagai

budak.” terangnya.

Page 6: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 6/28

 “ Apa? Kurang ajar! Aku tidak akan membiarkannya!” hardikku.

“Ya, aku sudah menduganya hahaha.” Dia malah tertawa.

“Mengapa tertawa? Kalian sungguh keterlaluan!” jawabku.

“Tenang saja, aku sebenarnya ingin menghancurkan mereka dari dalam. Nama asliku Avram

Meir, panggil saja diriku Meir.” Jelasnya.” Aku menebak, engkau pasti dihalang-halangi saat

menuju ke sini.” tebaknya.

“Ya, aku dikejar oleh sebuah van hitam.” Jawabku.

“Berarti mereka sudah menyadari berbahayanya keberadaanmu bagi mereka.” simpulnya.“Kita

harus lebih berhati-hati dalam bergerak sekarang.” 

“Jadi, pekerjaan apa yang harus kulakukan?” tanyaku.

“Itu gampang, kita akan membicarakannya nanti. Tapi maukah kau bekerja bersamaku? Demi

keselamatan umat manusia?” dia balik bertanya.

“Tentu saja.” jawabku.

Kami pun berjabat tangan dengan erat

“Baiklah,” jawabku, “Lagipula, aku terlalu lelah.” tiba-tiba aku jatuh dalam kelebatan gambar.

Malam yang dingin. Langit penuh dengan awan hitam. Petir menyambar bangunan-bangunan

 pencakar langit. Diriku terombang-ambing di angkasa. Sebuah benda menampakkan sinarnya

dari langit. Sesosok tubuh turun dari langit. Manusia terperangah. Semua terhipnotis. Aku

menjerit .

Yang kuingat setelah bangun adalah diriku terbaring di atas sebuah kasur empuk di atas

ranjang yang hangat.

“Dimana ini?” tanyaku.

“Selamat datang di rumahku, Richie. Kau tiba-tiba jatuh tertidur tadi malam.” ujar Meir di depan

pintu kamar. “Lebih baik kau turun ke bawah.” 

 Aku keluar dari kamar dan menuruni tangga. Ini adalah rumah yang cukup nyaman. Ada

sebuah foto keluarga di ruang tengah.

“Dimana istri dan anak-anakmu Meir?” 

“Mereka sedang…berlibur.” jawab Meir dingin. Meir ternyata sedang memasak. “Kau ingin

omelette?” tawar Meir.

“ Asal tidak merepotkanmu.” 

Meir menceplok telur kedua dan menambahkan beberapa bumbu dan tambahan lain. Aku

duduk di meja makan. Omelette telah matang. Meir menyorongkan sepiring besar omelette

kepadaku.

“Terimakasih Meir, jadi bisa kau jelaskan lebih jelas rencana kita sekarang?” tanyaku.

Page 7: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 7/28

“Jangan cepat-cepat Richie. Lebih baik kita nikmati dulu sarapan kita sekarang.” jawab Meir

ringan.” 

Kami pun menikmati sarapan dalam diam. Omelette buatan Meir sangat enak. Digoreng garing

dengan tambahan daging asap di dalamnya.

“Kau jago memasak, Meir.” 

“Resep dari keluargaku.” jawabnya acuh.

Tak terasa piring kami sudah bersih dari makanan. Meir beranjak ke kulkas, mengambil

sekaleng bir dingin.

“Mau minum?” tawarnya.

“Tidak, aku tidak minum bir.” jawabku singkat.

“Jadi, mau tahu rencana kita sekarang?” tawar Meir.

“Tentu saja!” jawabku bersemangat. “Demi keselamatan umat manusia!” tambahku.

“Haha, baguslah jika kau bersemangat.” Ujarnya. “Jadi, rencana utama dari Illuminati adalah

mengendalikan umat manusia dalam mimpi, menghapuskan agama, pemerintahan, dan sekat-

sekat pemisah. Mereka akan memproyeksikan seolah-olah Isa Al-Masih turun dari langit untuk

membawa manusia dalam kedamaian. Lalu menembakkan gelombang elektromagnetik yang

mengendalikan alam bawah sadar manusia. Setelah itu manusia akan menjadi budak Illuminati

selamanya. Dan kau adalah salah satu kelinci percobaan mereka, percobaan gelombang

elektromagnetik yang disuntikkan ke otak.” terangnya.

“Tapi mengapa aku mendapat bakat ini? Bakat melihat masa depan?” tanyaku.

“Saat itu aku yang mendapat giliran mengujimu. Dan aku melihat anomali dalam otakmu.

Otakmu dianugrahi kemampuan luar biasa saat bereaksi terhadap gelombang hipnotis. Otakmu

memberontak terhadap pengaruh hipnotis itu. Aku melihat berubahnya frekuensi gelombang

otakmu menjadi gelombang otak yang jarang ditemukan dalam otak manusia kebanyakan.

Gelombang Theta.” jawabnya.

“Gelombang Theta? tanyaku.

”Ya, gelombang yang hanya ada pada orang yang memiliki indra keenam. Indera untuk melihat

masa depan.” terangnya.

“Jadi aku memiliki indera keenam?” tanyaku keheranan.

“Iya, tepatnya dé jà vu.” jawab Meir.

“Dé jà vu? Jadi itu benar-benar nyata?” tanyaku.

“Ya, bagi orang-orang tertentu.” jawabnya dingin.

“Tapi mengapa kau menyelamatkanku waktu itu?” tanyaku.

“ Aku berpikir kau selayaknya dibiarkan hidup. Kau memiliki bakat terpendam.

” Jawab Meir

terkekeh.

Page 8: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 8/28

“Kembali ke rencana mereka. Mereka akan memproyeksikan gelombang itu 6 Desember 2011.

Saat bulan memiliki koordinat orbit sejajar dengan bumi dan planet-planet lain disekitarnya,

momen langka yang hanya terjadi ratusan tahun sekali. Dan tugas kita adalah mengacaukan

kordinat proyektor yang akan menyiarkan hologram ilusi dan gelombang elektromagnet itu.” 

terangnya.

“Dimana proyektor itu?” tanyaku.

“Kau mengetahuinya Richie, dalam dé jà vu-mu itu.” jawabnya.

“Iya? Kau yakin?” tanyaku setengah tak percaya.

“Ya, aku 100 persen yakin.” jawabnya.

“Hanya petinggi Illuminati yang mengetahui lokasi proyektor itu, aku tidak mengetahuinya.” 

 jelasnya.

“Sekarang masih pertengahan Oktober. Kita harus menyusun rencana.” ujarku.

“Tenang saja, aku sudah menyusun semuanya dengan rapi.” seringai Meir. “Untuk saat ini,

lebih baik kau tidak menampakkan dirimu, Richie. Orang-orang illuminati itu mengincarmu.

Mereka ingin memusnahkan orang-orang yang diketahui memiliki ‘bakat’.” tambahnya.

“Jadi, darimana kita mulai?” tanyaku. “Sebuah langkah besar diawali dari satu langkah kecil,

Richie.” Jawab Meir. “Perlihatkan buku gambarmu.” 

“Buku gambar? Darimana kau tahu?” tanyaku. Tidak ada orang yang pernah mengetahui

rahasia terdalamku itu.

“Tentu saja aku tahu, aku tahu semua hal tentangmu, Richie. Itulah keuntungan menjadi

Illuminati. Kami mengetahui semua rahasia terdalam setiap orang yang ada di dunia ini.” 

“Baiklah. Tapi buku itu ada di rumahku, Florida.” 

“Tenang saja, aku yang akan mengambilnya nanti. Sekarang kau istirahat saja di rumahku ini.

Sekarang aku harus pergi ke markas kami. Ada pertemuan penting.” 

Beberapa hari kemudian..

“Tebak apa yang kubawa Richie.” Meir masuk membawa kardus berisi barang-barang pribadi

yang tertinggal di rumahku. Dia mengeluarkan buku gambarku. Sebuah buku gambar lusuh

yang penuh dengan coretan-coretan ganjil. Gambar-gambar yang anehnya menjadi kenyataan.

Meir membolak-balik lembar demi lembar buku lusuh itu. Akhirnya dia menemukannya.

“Ini dia, Richie. Oh ya ampun.” Meir tampak shock. Aku melihat gambar yang ditunjuk Meir.

Gambar sebuah menara tertinggi di dunia saat ini. Burj Dubai. “Tentu saja, mereka

membutuhkan tempat yang sangat tinggi untuk itu.” simpul Meir. “Kau tahu prinsip operasi

satelit pemancar, Richie?” tanya Meir kepadaku.

“Ya, aku mempelajarinya di kuliahku.” jawabku

Page 9: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 9/28

 ”Bagus sekali, sekarang kita harus mencari tiket perjalanan ke Dubai. Jangan menghabiskan

waktu.”  Meir segera bergegas ke iMac-nya, membooking tiket pesawat untuk 2 orang ke Dubai.

“Proyektor itu menggunakan satelit pemancar?” tanyaku.

“Ya, aku sudah mencetak blueprintnya. Lebih baik kau pelajari dulu.” Meir menyodorkan

sebuah gulungan kertas padaku. Aku membukanya. Diriku takjub. Ini adalah sebuah proyektor

yang sangat rumit. Yang telah disusun rapi oleh ilmuwan-ilmuwan Illuminati itu. Proyektor ini

sudah ditanam sejak dulu saat Burj Dubai dibangun, proyektor itu ada di puncak tertinggi.

“ Aku harus mempelajarinya lebih dalam Meir.” 

“Tenang saja, kita masih punya 1 bulan. Maksimalkan hari-hari kosong ini Richie.” 

 Aku bergegas membuka Macbook-ku. Mempelajarinya sedetail mungkin. Mungkin ini adalah

satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.

New York, 1 Desember 2012

“Oke Richie, saatnya mengubah sejarah.” Meir berjalan bersamaku melangkah menuju pintu 2A

bandara John F.Kennedy, New York. Kami meletakkan barang-barang kami di bagasi.

Sebenarnya inti dari rencana kami adalah Macbook-ku ini. Macbook-ku telah kuisikan virus

yang akan merusak ssistem proyektor itu seketika. Cukup menghubungkan laptopku dengan

mesin pusat kendali proyektor itu dengan kabel USB. Kami sudah menaiki pesawat. Aku terlalu

lelah setelah kerja keras sebulan ini. Aku terlelap dalam mimpi..

“ Dingin yang menusuk di tengah kelamnya padang pasir.. Kalajengking keluar dari lubang

 persembunyiannya..Menara itu. Menara simbol angkuhnya manusia. Menara yang menjulang

menantang langit. Seberkas cahaya memancar dari menara itu. Cahaya itu berasal dari puncak

tertinggi menara sesosok mayat terjatuh dari ketinggian menara…”  

 Aku tersadar dari lelap. Meir sedang terlelap di sebelahku. Penumpang lain tak jauh beda.

Langit di luar tampak gelap. Malam telah tiba. Otakku berputar memikirkan apa maksud

penglihatanku tadi. Mayat yang terlempar? Siapa itu? batinku.

Dubai,2 Desember 2012

Pesawat Fly Emirates nomor penerbangan EMR-018 mendarat dengan mulus di landasan pacu

Bandara Internasional Dubai. Aku dan Meir turun setelah perjalanan melelahkan selama hampir

24 jam diatas pesawat. Aku merasa sedikit jet lag. Tapi Meir tampak biasa,seolah itu bukan

apa-apa buatnya. Meir memberhentikan sebuah taksi. Sebuah Toyota Limo baru. Seorang sopir

 Arab bermuka ramah membukakan bagasi mobil dan menaikkan koper kami.

“Namaku Hussein, selamat datang di Dubai!” sapanya ramah dengan Bahasa Inggris yang

terbata-bata. Taksi kami meluncur di jalan yang mulus dan sepi. Dubai memang indah.

“Kalian tahu? Burj Dubai seperti dua mata pedang. Manfaatnya ada, tetapi ada hal buruknya

 juga.” ujar Hussein.

“Hal buruk? Memang apa?” tanyaku.

“Ya..setelah adanya menara itu, cuaca di daerah ini jadi tak menentu. Dan..” 

Page 10: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 10/28

“ Apa?” tanyaku penasaran.

“ Aku memiliki perasaan buruk akan adanya menara itu, orang-orang di sekitarnya juga

merasakan hal yang sama.” 

Taksi berhenti di hotel tempat kami menginap. Sebuah hotel kecil yang terletak di daerah yangmasih belum tersentuh tangan pengembang-pengembang yang bernafsu menghabiskan dollar

minyak itu. Meir membayar tip yang sangat besar bagi Hussein. Hussein berterimakasih.

“Lebih baik kita menginap di daerah seperti ini, tak terlalu menarik perhatian.” ujar Meir. Kami

segera check in dan memasuki kamar kami. Kami berbagi kamar. “Baiklah Richie, sebaiknya

kita beristirahat dulu sebelum aksi kita nanti, 6 Desember 2011.” Meir tertidur di kasur.

 Aku termangu di jendela. Siapakah mayat itu? Apakah salah satu dari kami harus meninggal?

 Atau salah satu teman Meir, anggota Illuminati? Diriku terlalu muda untuk semua ini.

Bagaimana reaksi orang tuaku nanti jika aku mati di tanah asing? Aku bahkan belum menikah.

Jika aku harus meninggalkan dunia ini terlebih dahulu, apa yang akan kurasakan nanti setelah

kematian? Apakah benar ada surga dan neraka? Aku ingin memberitahukan hal itu kepada

Meir, tapi aku sungkan. Ketakutan itu terus bersemayam dalam hatiku hari demi hari. Hari-hari

di Dubai kuhabiskan di hotel sementara Meir terus berusaha mencari informasi lebih detail

tentang Burj Dubai, sehingga tak akan ada halangan yang akan menimpa kami nanti.

Dubai, 6 Desember 2012, 19:30 Malam

Malam itu, aku mendapatkan sebuah keajaiban maha dahsyat. Sebuah hidayah yang

diturunkan kepadaku. Panggilan itu, ya panggilan lima kali sehari. Adzan Isya yang

menyadarkanku. Adzan yang menjadi sumber pencarian jati diriku selama ini. Seolah menjadi

 jawaban apa tujuanku berada di dunia ini. Aku tersadar dari lelapnya mimpiku. Empat hari

berada disini membuatku lebih mengenal Islam dari dekat. Melihat Islam yang sesungguhnya.

Bukan Islam hasil propaganda media-media barat. Aku melangkah di malam yang dingin.

Kakiku melangkah secara otomatis ke arah masjid yang terletak tak jauh dari hotel. Hatiku luluh

saat melihat umat Islam menjalankan ibadah shalat subuh secara khusyuk. Aku termenung di

pelataran masjid. Itulah jawaban atas pertanyaan hidupku selama ini. Tujuan diciptakannya

diriku. Untuk beribadah kepada-Nya. Tuhan yang satu. Tuhan semesta alam. Tuhan yang Maha

 Adil. Dia membimbingku kesini untuk mendapatkan hidayah. Semua ini telah diatur oleh Allah

swt. Mereka telah selesai shalat. Aku berjalan tertatih-tatih ke orang yang memimpin shalat.

Seseorang yang sangat ramah dan baik. Imam masjid ini. Dia menjelaskan semua

pertanyaanku tentang Islam. Yang semakin menguatkan hatiku untuk mengikuti ajaran yang

dibawa Nabi Muhammad saw. Ajaran yang tidak pernah berubah dari awal diturunkannyawahyu. Tidak seperti agama-agamaku sebelumnya yang isi ajarannya berubah-ubah menurut

kepentingan pribadi golongan tertentu. Pencerahan itu membekas di hatiku. Mungkin nanti

malam aku sudah tidak hidup lagi. Hatiku sudah mantap untuk memeluk Islam. Bergabung

dengan sebuah agama yang mengajarkan kebenaran. Sebuah agama yang mengajarkan jalan

yang lurus bagi setiap manusia. Mungkin nanti aku sudah tidak berada di dunia ini lagi. Bibirku

mengucap kalimat syahadat dengan kaku dibimbing oleh imam masjid, disaksikan oleh jamaah

shalat Isya yang mengelilingi diriku.

“ Asyhadu allaailaahaillalllah. Wa asyhadu anna Muhammadarrosuululloh.” 

Page 11: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 11/28

“ ALLLAHU AKBAR!!” 

Gemuruh takbir bergaung di masjid. Jamaah yang menyaksikan prosesi sakral itu segera

berebutan untuk memelukku. Persaudaraan Islam memang erat. Persaudaraan yang dilandasi

iman dan islam. Persaudaraan yang tak akan lekang oleh waktu. Persaudaraan yang tak

memandang usia dan ras. Akhirnya diriku bergabung dengan sebuah keluarga terbaik di dunia.

 Air membasahi mataku. Akhirnya diriku menemukan kebenaran hakiki. Semua yang terjadi

memang ada hikmahnya. Aku mengganti namaku menjadi Umar. Aku terinspirasi dari

keberanian Umar dalam menegakkan keadilan dan kerendah hatiannya. Aku segera

mensucikan diri dari najis-najis yang masih melekat saat diriku masih kafir. Setelah itu aku

berwudhu dan menunaikan Shalat Isya. Shalat pertamaku dalam hidup. Semua gundah gulana

yang tertanam dalam hati kecilku punah sudah. Hatiku menemukan kedamaian dalam naungan

Islam. Kini diriku sudah tidak takut lagi untuk menghadapi momen krusial itu. Momen yang akan

merubah hidup manusia.

Dubai, 6 Desember 2012, 22:00 Malam

Malam yang senyap di Dubai yang gemerlap. Langit yang kelam ditutupi awan hitam. Dua

bayangan berpakaian hitam melintas di kegelapan malam. Malam yang akan merubah hidup

umat manusia apabila kami gagal melakukannya. Aku memulai semua ini dengan Bismillah,

semoga Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kami berdua. Kami berjalan dalam

kegelapan malam. Kami berusaha agar tak terlihat oleh orang-orang Illuminati yangberkeliaraan di jalanan Dubai. Kami menyelinap sehati-hati mungkin, agar rencana kami yang

telah tersusun rapi tidak hancur berantakan . Itu dia, Burj Dubai yang terkenal itu. Menara

tertinggi di dunia. Aku mengeluarkan liontin yang kubawa kemanapun aku pergi. Liontin

bergambar tunanganku, Selena. Aku mengecupnya sekali. Semoga aku masih bisa bertemu

dengannya nanti. Entah mengapa semua rencana yang tersusun rapi di otakku terasa hancur

berantakan. Aku menjadi gelisah. Kukencangkan tali ransel yang berisi Macbook-ku. Semoga

rencana kami berhasil, ya Allah batinku.

“Kau gugup, Richie?” tanya Meir

“Kalau aku boleh jujur, sangat gugup.” 

“Tenanglah, kita harus tenang. Jika kau gugup, itu akan menjadi masalah nantinya.” 

 Aku menenangkan diri. Aku membaca beberapa doa yang diajarkan oleh imam masjid tadi. Aku

memasrahkan diri kepada Allah swt. Semoga kami berhasil, dan dunia terselamatkan. Kini rasa

gugupku sudah mulai mereda.

“Baiklah Meir, mari kita mulai.” 

Kami menyelinap ke salah satu pintu masuk Burj Dubai yang berada di sisi paling sepi dari

keramaian. Meir melumpuhkan para penjaga keamanan dari belakang dengan jurus totoknya.

Meir mengambil sepasang senapan dari tubuh penjaga yang terbujur kaku di lantai dan

menyerahkan salah satunya kepadaku.

“Kau bisa menggunakan senapan kan?” 

“Sedikit-sedikit” 

Page 12: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 12/28

“Sebisa mungkin kita tidak memancing keributan, atau kita akan ketahuan.” 

Kami bergegas menaiki lift, merusak CCTV, lalu memencet nomor lantai sebelum lantai teratas,

lantai 699. Lift ini adalah sebuah lift supercepat sehingga hanya menunggu selama beberapa

menit, kami sudah tiba di tujuan. PIntu terbuka dan ternyata sebuah kejutan telah menyambut

kami. Lima pria bersenjata lengkap menghadang kami. Kami kalah jumlah. Tapi bukan Meir

namanya jika dia tidak punya nyali. Dia melakukan aksi kung fu yang sangat mengagumkan.

Dia menotok kelima orang itu dengan gerakan yang sangat cepat. Sampai-sampai aku tak bisa

melihat gerakannya dengan jelas. Kami segera bergegas menaiki tangga darurat dan

menyelinap ke lantai teratas.

“Mereka telah mengetahui kita.” aku panik.

Meir diam saja. Aku terus berlari mengikutinya. Aku melompati dua anak tangga sekaligus.

Bobot Macbook-ku terasa menjadi berat berpuluh kali lipat di punggungku. Aku merasakan

hawa tidak enak. Kami tiba di lantai teratas.

“Kerja bagus, Meir.” Suara di ujung ruangan bergema di ruangan ini. Ranselku terjatuh

berdebum. Ruangan ini berisi kumpulan pria berjubah hitam yang duduk dalam meja yang

melingkar. Mereka melepas topengnya. Muka-muka pemimpin negara-negara adidaya. Muka-

muka taipan bisnis dunia. Muka-muka pemimpin redaksi media massa yang terkenal di penjuru

dunia. Muka-muka tokoh-tokoh penting duduk di lingkaran itu. Mereka petinggi Illuminati. Aku

terperanjat. Apa maksud dari ini semua? Di ujung ruangan duduklah seorang yang misterius,

yang ditutupi oleh tirai. “Baiklah anak muda, apa yang kau harapkan disini? Ini adalah awal dari

sebuah dunia baru.” pria misterius itu kembali berbicara. “Lebih baik kau duduk manis disini dan

melihat proses agung terbentuknya sebuah dunia baru.Hahahaha.” pria misterius itu tertawa

kejam. Para pengawal menghampiriku dan mengikat tubuhku dengan tali tambang. Aku

memberontak, tetapi tak ada gunanya. Aku kalah jumlah. Aku kalah tenaga. Aku melemparkan

pandangan bertanya pada Meir. Tapi Meir hanya diam membisu.

“Meir, selama ini kau menipuku!” 

“ Aku tak punya pilihan, mereka menawan keluargaku.” 

Ternyata keluarga Meir tidak sedang liburan. Selama ini mereka diculik oleh Illuminati

“Baiklah Avram Meir, ini hadiah atas kerja kerasmu.” pria misterius itu melemparkan secarik

kertas dan sebuah kunci kepada Meir. “Pergi dan bebaskan keluargamu setelah pesta kita.” 

Meir duduk di salah satu kursi yang kosong di lingkaran itu. Ekspresinya datar melihatku.

Selama ini aku ditipu. Jika tahu begini lebih baik aku tidak datang dari awal. Aku dijebak olehorang yang pernah menyelamatkan hidupku. Aku merasa seperti keledai dungu. Terikat di

tengah-tengah lingkaran setan. Sementara itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23:59.

“Baiklah tuan-tuan. Saatnya berpesta! “ pria misterius itu kembali berbicara. “Mari bersulang

untuk dunia baru!” 

Proyektor itu bekerja. Seberkas cahaya memancar dari puncak Burj Dubai. Cahaya hologram

yang memancarkan animasi Isa Al-Masih turun dari langit. Gelombang elektromagnetik

memancar dari Burj Dubai, menghipnotis umat manusia di penjuru bumi. Pasti saat ini

mayoritas media massa sedang menyiarkan berita ini. Karena tangan Illuminati bermain di

Page 13: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 13/28

belakang semuanya. Manusia terhipnotis, semuanya akan akan hidup dalam alam mimpi

selamanya. Aku tidak tahan melihat ini semua. Bagaimana Selena sekarang? Apakah dia

terhipnotis juga? Aku beristigfar dalam hati. Aku memohon ampun atas semua kesalahan yang

pernah kuperbuat. Semoga Allah swt mengabulkan taubatku. Inilah saat terakhir, saat sebelum

diriku menjemput ajal. Aku telah gagal. Gagal menyelamatkan umat manusia. Gagalmenyelamatkan Selena. Padahal aku ingin mengajaknya masuk Islam setelah ini. Aku ingin

menghabiskan sisa hidupku yang tenang bersamanya. Tapi, apa daya. Semua sudah terlambat.

Manusia menjadi budak bagi mereka, para Illuminati. Aku terpedaya Meir. Semua ini sudah

diatur sejak awal. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

“Baiklah nak, saatnya dirimu kembali ke neraka. Kurasa kau sudah melihat cukup banyak.” Tirai

itu terbuka. Aku menjerit. Seorang pria berwajah mengerikan bermata satu, berambut keriting

berpakaian tuksedo duduk di sebuah sofa mewah yang empuk. “Sebelum kau menyapa

malaikat penjaga neraka, ada baiknya aku memperkenalkan diriku. Akulah Dajjal. Aku adalah

pemimpin tentara suci yang akan melawan umat Muslim! Dan ini adalah salah satu rencana

awalku. Untuk rencana-rencana berikutnya…maaf. Kau tidak bisa melihatnya. Kau akan

kupulangkan ke neraka.” 

Dia menjetikkan jari dan sebuah lecutan api menampar mukaku. Rupanya dia ingin menyiksaku

dulu sebelum ajal menjemputku. Tiba-tiba sekumpulan pasukan masuk ke ruangan.

“Lapor tuan! Pancaran gelombang elektromagnetik terhenti. Sepertinya ada yang mengacaukan

pusat kendali proyektor kita!” 

 Aku terperanjat. Aku melihat sekeliling. Tidak ada Meir. Pasti dia yang melakukannya. Ternyata

selama ini dia juga berpura-pura pada Illuminati. Tadi dia hanya berpura-pura menyerahkanku.

Dialah yang membawa macbook-ku dan mengacaukan sistem. Layar di dinding

memperlihatkan manusia yang kembali sadar dari hipnotis. Selena selamat. Banyak manusia

yang kebingungan atas apa yang terjadi. Aku memanfaatkan situasi ini dengan berguling ke

arah pintu. Tidak ada yang menyadariku. Mereka semua terlalu panik. Aku menyangkutkan tali

pengikatku ke pengait besi yang ada di tembok, aku berguling dengan cepat. Tali pengikatku

terlepas. Aku berlari ke dalam lift. Aku bertemu dengan Meir.

“Maaf atas yang tadi, Richie. Aku tak tahu mereka berkumpul di atas. Kurasa sedikit improvisasi

tidak apa-apa kan?” 

“Yang penting rencana kita berhasil.” 

Terdengar derap langkah dari kejauhan. Mereka menyadari hilangnya diriku. Kami dalam

bahaya.

“Dengar Richie. Ini alamat dimana keluargaku ditawan.” Meir menyerahkan secarik kertas dan

kunci. “Bebaskan mereka, dan bawa mereka kabur bersamamu Richie. Sampaikan kepada

mereka. Aku sayang mereka.” 

“ Apa yang akan kau lakukan Meir?” 

“ Aku akan menahan mereka, hanya itu peluang kita.” 

“Tidak Meir, aku tidak akan meninggalkanmu.” 

Page 14: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 14/28

“Pergi.” 

Meir mendorongku ke dalam lift dan memberikan salah satu senapan. Aku melihat sendiri Meir

dengan gagah berani menghadapi para Illuminati itu. Meir ditembak oleh puluhan timah panas,

tapi Meir tidak menyerah. Dia berjuang hingga tetes terakhir darahnya menetes dari pembuluh

 jantungnya. Meir menghabisi Illuminati itu. Tapi bantuan datang. Meir sudah sekarat. Meir

dibuang dari jendela oleh Illuminati lain yang datang membantu. Meir jatuh dari ketinggian 700

lantai. Mayat dalam penglihatanku adalah Meir. Aku tak akan menyia-nyiakan nyawa Meir. Aku

segera memencet lantai satu. Lift berdentang. Aku tiba di lantai terbawah. Aku menembaki para

penjaga dengan senapanku. Aku berlari keluar dari Burj Dubai. Aku akan mencari keluarga

Meir yang ditawan, dan membawa mereka ke tempat yang aman. Aku akan memberitahu umat

Muslim di seluruh dunia. Kami harus menyiapkan diri. Kami harus merapatkan barisan. Kami

akan menghadapi peperangan akhir zaman. Dajjal telah keluar.

TAMAT

Page 15: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 15/28

Dé jà vu

M.Farhan, X.I

“ Malam yang sangat tenang. Langit kelam berawan hitam sembunyikan purnama yangmenampakkan sinarnya dengan malu-malu. Meneduhi manusia yang terlelap dalam buaian

mimpi maya. Sesosok tubuh melayang dari ketinggian langit. Orang itu. Orang yang dijanjikan

akan turun di akhir zaman. Umat manusia terbuai dalam mimpinya. Sebuah mimpi maya. Mimpi

yang telah diatur oleh sekelompok bajingan itu. Mimpi yang menembus pikiran alam bawah

sadar. Mimpi yang membuat manusia akan hidup di alam mimpi selamanya…”  

Kelebatan gambar itu terlintas di alam bawah sadarku. Ya, gambar-gambar itu. Gambar-gambar

yang menghantui pikiranku selama ini. Gambar-gambar peristiwa yang akan terjadi di masa

depan. Semua terlintas di saat yang tidak terduga. Hidupku yang tak pernah tenang lagi

semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuatku memiliki anugerah ini. Anugerah melihat

kelebatan-kelebatan peristiwa yang akan terjadi nanti. Peristiwa yang akan mengubah sejarah

dan hidup manusia.

Manhattan, New York 18 April 1993

Entah kau mau percaya ceritaku atau tidak, semua kembali ke logika dan nalar yang ada pada

dirimu. Tapi aku bersumpah ini nyata. Namaku Richard Rodriguez. Kau bisa memanggilku

Richie. Awalnya aku hanyalah seorang anak kecil biasa, hidup normal seperti teman-teman

seusiaku, aku pergi ke taman kanak-kanak, bermain baseball, suka roti isi selai kacang,

menonton The Simpsons di malam hari. Semuanya sangat normal. Saat itu aku masih tinggal di

Manhattan, New York. Semua kejadian itu berawal disaat aku masih berusia 4 tahun, musim

panas yang indah di tahun ’93. Kejadian itu masih segar di benakku, seperti baru saja terjadi

kemarin sore. Orang-orang berbaju putih itu. Orang-orang yang menculikku di halaman

belakang rumahku saat aku sedang bermain sendirian tanpa pengawasan orang tuaku. Orang-

orang yang menyekapku di dalam bagasi sebuah mobil tua. Orang-orang yang membawaku ke

sebuah tempat yang sangat aneh.

Ya, aku tak tahu harus menyebut apa tempat itu, entah laboratorium, atau sebuah penjara.

Tempat serba putih yang sangat luas. Tempat yang penuh dengan orang-orang berjubah putih

dan mengenakan topeng. Topeng itu, topeng yang sangat menakutkan bagi anak kecil

sepertiku. Topeng berbentuk makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah ada, yang

belakangan kuketahui berasal dari peradaban mesir kuno. Aku dijadikan “kelinci percobaan” 

oleh mereka. Orang-orang tidak berperikemanusiaan yang menjalankan sebuah proyek rahasia.

Proyek yang mengubah frekuensi gelombang otak manusia. Eksperimen mereka telah

menghabiskan puluhan nyawa anak-anak kecil tidak berdosa.

 Aku termasuk salah satu diantara sekian anak yang beruntung tidak meregang nyawa saat alat

itu menusuk otakku. Ya, alat itu. Aku tidak tahu namanya, tapi alat itu sangat mengerikan,

terbuat dari silinder besar logam yang berukir gambar-gambar aneh dan berujung tajam seperti

 jarum untuk menyuntik. Alat yang menyuntikkan gelombang listrik tegangan tinggi yang

membuatku kejang-kejang dan mulut berbusa selama beberapa saat sehingga aku dianggap

“kelinci percobaan” yang gagal. Aku dibuang dari laboratorium itu. Laboratorium nomor 51. Aku

dibuang ke sebuah gudang yang di dalamnya bertumpuk gunungan mayat anak-anak kecil tak

berdosa yang “gagal”.

Page 16: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 16/28

 Aku masih ingat saat-saat mengerikan itu. Sendirian di sebuah ruangan ditemani puluhan

mayat anak-anak seumuranku yang bermuka menjerit dalam sunyi. Beruntung aku bisa keluar

dari tempat itu. Sangat beruntung. Aku menyelinap saat orang-orang itu masuk membawakanku

sebuah mayat lagi. Aku ingat saat-saat mencekam itu. Tersesat sendirian di tempat itu. Melihat

percobaan-percobaan mengerikan lain. Melihat kurungan berisi anak-anak tidak berdosa itu.

Ekspresi ketakutan mereka terekam di otakku hingga saat ini. Lalu pria itu melihatku. Salah satu

pria yang mengenakan jubah putih itu, tapi tidak mengenakan topeng. Pria kekar berahang

tegas berambut abu-abu yang memiliki sebuah luka codet yang dalam di pipi kirinya. Dia

mendekatiku, aku bergegas berlari darinya. Aku takut dia akan membawaku kembali ke

laboratorium itu. Dia mengejarku.

“Tidak apa-apa, aku tidak akan menyakitimu” ujarnya dengan suara berat.

Dia berhasil mengejarku, lalu menggendongku secara paksa dan membawaku ke mobilnya

yang sudah terparkir di belakang tempat itu. Aku dibuatnya pingsan sehingga tidak tahu dimana

lokasi tempat itu, tetapi aku masih ingat saat-saat terakhir itu, nama yang tercantum di jubahnya

adalah

“Horus” 

 Aku masih ingat kejadian dé jà vu pertamaku. Saat itu aku berumur 5 tahun. Kelebatan gambar

pertama itu muncul saat aku sedang menonton acara NFL di televisi. Gambar runtuhnya

menara kembar WTC di New York. Gambar ledakan yang menewaskan orang orang tak

berdosa itu. Gambar muka-muka korban luka bakar, dan juga mayat-mayat itu. Awalnya aku

mengacuhkan hal-hal itu, namun ternyata gambar-gambar itu benar-benar terjadi saat 11

September 2001. Lama-kelamaan kelebatan gambar-gambar itu kugambar di dalam sebuah

buku gambar. Kugambar kelebatan gambar itu dengan sedetail mungkin, dan gambar itu selalu

menjadi kenyataan. Gambar invasi AS ke Irak, gambar tsunami Asia Tenggara, gambar

terpilihnya presiden kulit hitam AS pertama, gambar gempa di Jepang, gambar kerusuhan

London, dan gambar-gambar lainnya.

Florida, 15 Oktober 2012 

Kini usiaku sudah 23 tahun. Kelebatan gambar itu masih sering lewat di otakku, tapi sekarang

aku lebih menikmatinya. Rasanya seperti mendapat berita lebih dahulu dari orang lain.

Kelulusanku dari Harvard tinggal menunggu waktu. Aku mempelajari ilmu astronomi disana, aku

ingin mengungkap rahasia alam semesta yang sangat luas, tentang fenomena-fenomena yang

terjadi diluar logika manusia. Kunikmati liburan sebelum wisuda ini di rumah kecilku, sebuah

kota kecil di tepi pantai di Negara bagian Florida. Berselancar di pagi hari, menikmati matahari

terbenam di sore hari, dan membakar api unggun di malam hari bersama teman-temanku.

Sudah sebulan ini aku sengaja tak berhubungan dengan dunia luar. Aku ingin menikmati libur

sebelum wisuda ini. Libur sebelum kembali ke dunia nyata. Hari ini masih pagi buta. Sebelum

melakukan rutinitas berselancar, rasa iseng membawaku untuk menyalakan lagi Macbook-ku.

Kubuka halaman facebook-ku. Teman-teman sejurusanku sudah mendapat pekerjaan semua,

kecuali diriku. Nathan diterima di NASA, Jessica akan bekerja di ISS, Eddie yang pemalas pun

diterima di CNN sebagai peramal cuaca.

“Hai Richie, sudah dapat pekerjaan? Jika belum ada…” 

Page 17: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 17/28

begitulah postingan-postingan yang ada di wall facebookku. Lowongan pekerjaan bertubi-tubi

datang menghampiriku, tapi tak ada yang sesuai denganku. Aku menginginkan sebuah

pekerjaan yang lebih menantang. Tapi keinginanku ditentang oleh orangtuaku.

“Richard, kau harus segera mencari pekerjaan.” 

Kalimat itulah yang selalu diulang-ulang ibuku belakangan ini. Heran, mengapa harus lelah

bekerja di dunia luar sementara aku bisa disini, menikmati indahnya hidup. Tapi, di tengah

indahnya hidup itu aku merasakan kekosongan pada jiwaku. Aku merasa ada yang kurang

selama ini. Tujuan hidupku. Pencarian jatidiriku selama minggu-minggu liburan ini belum

membuahkan hasil. Aku sudah berpindah-pindah agama, tapi tak ada yang pas dengan hatiku.

Saat ini aku atheis. Aku tak percaya dengan sesuatu yang bernama Tuhan. Pandanganku

tertuju pada sebuah e-mail yang ada di inbox account Gmail-ku, sebuah e-mail yang menarik

kenanganku kembali ke masa belasan tahun lalu.

From: [email protected]

To: [email protected]

Hi Richie,

Masih ingat denganku? Aku punya pekerjaan yang menarik untukmu, temui aku di Madison Square

Garden, N.Y saat purnama penuh oktober

Horus… batinku.

Nama itu seperti tidak asing bagiku..

Ingatanku melayang kembali ke peristiwa itu. Dia orang yang menyelamatkanku dari gedung itu.

Gedung berisi orang-orang aneh yang mengenakan jubah putih dan topeng mengerikan itu.

Ya, pasti dia orangnya pikirku.

Mataku segera melayang ke kalender yang ada di desktop Macbook-ku. Sekarang pertengahan

Oktober.

Sial, sekarang purnama penuh pikirku.

Tanganku meraih jaket yang tersampir di bangku dan bergegas mengambil kunci Chevrolet

Camaro ’76-ku. Aku harus cepat. Florida ke New York itu dari ujung timur ke ujung barat

 Amerika !

“Wrooooooooooooom…” 

Deru mesin turbo V8 modifikasiku sendiri meraung kencang. Mobilku sudah setengah jalan

dalam perjalanan lintas Amerika ini. Mobilku melaju di jalan antar negara bagian No.57. Daerah

pegunungan Rocky mountain di tengah-tengah negara Amerika Serikat. Hamparan bukit-bukit

berbatu bertebaran di sekitar jalan. Burung-burung elang botak khas amerika sedang

beterbangan mencari mangsa. Langit terlihat gelap, sekarang musim gugur. Matahari sudah

mulai malas menampakkan dirinya kepada kami, penduduk AS. Pohon-pohon oak,cemara, dan

pinus menggugurkan daunnya untuk persiapan menghadapi musim dingin yang keras di

 Amerika. Radio di mobilku sedang memutar lagu Miley Cyrus ”Party in the USA”.

Page 18: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 18/28

Saat itu baru kusadari, ternyata diriku sedang dibuntuti oleh sebuah mobil di belakangku. Mobil

tanpa plat nomor. Sebuah van Chevrolet hitam tahun 80-an.

Pengemudinya adalah seorang dengan topi hitam dan kacamata yang juga hitam, mengenakan

 jaket hitam dan bersarung tangan hitam pula.

Serba hitam, mencurigakan batinku.

Tiba-tiba terlihat moncong sebuah pistol di spionku. “DORR!!”  pria mencurigakan itu

menembakkan pistol revolver 9mm-nya ke arah mobilku. Beruntung peluru itu meleset sekian

millimeter dari ban belakang mobilku. “DORRR!! DORR!!”  pria itu kembali memuntahkan

lesatan timah panas dari pistolnya. Aku segera menginjak kopling, memindahkan gigi,

menginjak pedal gas dalam-dalam dan mengebut Camaro-ku sekencang mungkin melewati

 jalanan antar negara bagian ini. Jarum angka di speedometerku sudah menunjukkan angka 180

km/jam. Rentetan peluru kembali terdengar di belakangku, dan peluru itu mengenai bagasi

belakangku.

Sialan, kau harus membayar itu pikirku.

Dengan lincah mobilku berkelok menyusuri jalanan Grand Canyon yang berbahaya dan

berliku-liku. Sebisa mungkin mobilku harus berjarak minimal 500 meter sehingga jarak

tembaknya menjadi tidak efektif lagi. Pedal gas kuinjak semakin dalam, putaran mesin mobilku

sudah mencapai 8.600 rpm, van itu semakin tertinggal jauh dibelakang mobilku. Di depanku

tepampang rambu peringatan akan tikungan tajam yang hampir membentuk sudut 90 derajat.

 Aku segera melepas injakan pedal gasku dan menarik rem tangan, membuat gerakan drifting

yang kupelajari dari teman sekelasku di masa SMA yang berasal dari kiblat drifting dunia,

Hanzo. Mobilku meluncur dengan mulus di tikungan tajam itu. Sedangkan orang misterius itu

karena saking bernafsunya ingin mengejarku tidak melihat tanda peringatan tikungan tajam itu,

dan dengan mulusnya mobil itu terjun langsung ke kedalaman Grand Canyon yang berbatu

tajam. Mobilku berhenti di tepi jurang. Pandanganku tertuju pada sungai berbatu tajam yang

mengalir deras 500 meter dibawahku. Mustahil dia bisa selamat.

Mengganggu saja batinku.

 Aku kembali ke mobil dan melanjutkan sisa perjalananku, khawatir terlambat tiba di N.Y tepat

pada waktunya.

 Aku tiba di Madison Square Garden tepat saat purnama penuh. New York Knicks sedang

bermain melawan Los Angeles Lakers.

Hei, jauh-jauh aku kesini mengapa melewatkan kesempatan emas ini? Menonton permainan

Lakers langsung dengan mata kepalaku sendiri  pikirku.

Final NBA game pertama musim ini. Puluhan ribu pasang mata menyaksikan permainan knicks

melawan lakers.

Kedua tim saling kejar mengejar skor. Pertandingan sudah memasuki kuarter terakhir.

Puluhan ribu penonton menjerit saat Kobe Bryan melakukan slam dunk dengan brilian,

permainan berakhir dengan 99-101. Kemenangan tipis untuk Lakers.

Mana dia? Aku tak mengenalinya Pikirku.

Page 19: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 19/28

 Aku berkeliling Madison Square Garden untuk yang kesekian kalinya. Ada banyak orang disini.

Orang-orang dari beragam ras. Dari ras Indian penduduk asli Amerika, ras Negro, ras Asia

Timur,Hispanik, Timur Tengah, dan lainnya. Amerika kini penuh dengan ras imigran.

Oh ya, aku lupa. Dia memiliki codet di pipi kirinya ingatku.

Pandanganku terus mengawasi orang-orang yang berjalan lalu-lalang di sekitarku. Tak ada.

Mungkin aku dikerjai, sialan pikirku. Aku sudah ingin kembali ke parkiran saat tangan dingin itu

menepuk pundakku.

“Hai Richie, lama tak bertemu” sapa suara berat itu.

Ya, dia pasti Horus. Kepalaku menoleh ke belakang, Muka itu tetap mengejutkanku. Muka

tanpa belas kasihan dengan codet di pipinya dan rambut abu-abu itu. Muka yang membawaku

kembali bertahun-tahun lalu..

“Hai..Horus?” tanyaku.

“Masih ingat rupanya?” tanyanya.

“Ya, aku hanya ingat luka itu” tunjukku ke arah codetnya.

”Oh, hahaha” tawanya. “Baiklah, lebih baik kita bicara.” Lanjutnya menjadi serius.

“Oke

” jawabku.

“Tapi jangan disini.” Ujarnya.”Terlalu rawan untuk dicuri dengar.” Dia menarik tanganku

melewati kerumunan pendukung Knicks ke sebuah gang sempit di ujung jalan. Gang itu becek

dan ada siluet anjing-anjing liar di ujung gang itu.

“Baiklah, apakah aku mendapat balasan yang setimpal atas kunjungan jauhku ini?” tanyaku.

“Tentu saja, tapi sebelumnya, apakah kau mau tahu rahasia masa lalumu?” dia balik bertanya.

“Masa lalu?

” aku terperangah. Akhirnya setelah penantian bertahun-tahun, rahasia tentang

masa laluku akan jelas.

“ Apa yang kau ketahui tentang illuminati?” tanyanya.

“Illuminati?” otakku mengingat-ingat kata itu. Sepertinya tidak asing.. batinku.

“Tidak tahu? Baiklah.” Jawabnya. “Illuminati adalah organisasi super rahasia yang memiliki

 jaringan yang tersebar di seluruh dunia. Dan aku adalah salah satu di antara mereka.” Ujarnya.

“Jadi? Orang-orang berjubah putih itu juga illuminati?” aku tercengang.

“Ya, bisa dibilang begitu.” Jawabnya.

“ Apa tujuan kalian melakukan itu semua?” tanyaku. Aku ingin semua ini menjadi jelas. Jawaban

atas pertanyaanku selama ini, yang selalu tersimpan dalam pikiranku.

“Kami, illuminati memiliki satu tujuan, yaitu membuat new world order  atau tatanan dunia baru.

Dimana kamilah yang akan menguasai dunia, dan kalian, yang bukan golongan kami sebagai

budak.” terangnya.

Page 20: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 20/28

 “ Apa? Kurang ajar! Aku tidak akan membiarkannya!” hardikku.

“Ya, aku sudah menduganya hahaha.” Dia malah tertawa.

“Mengapa tertawa? Kalian sungguh keterlaluan!” jawabku.

“Tenang saja, aku sebenarnya ingin menghancurkan mereka dari dalam. Nama asliku Avram

Meir, panggil saja diriku Meir.” Jelasnya.” Aku menebak, engkau pasti dihalang-halangi saat

menuju ke sini.” tebaknya.

“Ya, aku dikejar oleh sebuah van hitam.” Jawabku.

“Berarti mereka sudah menyadari berbahayanya keberadaanmu bagi mereka.” simpulnya.“Kita

harus lebih berhati-hati dalam bergerak sekarang.” 

“Jadi, pekerjaan apa yang harus kulakukan?” tanyaku.

“Itu gampang, kita akan membicarakannya nanti. Tapi maukah kau bekerja bersamaku? Demi

keselamatan umat manusia?” dia balik bertanya.

“Tentu saja.” jawabku.

Kami pun berjabat tangan dengan erat

“Baiklah,” jawabku, “Lagipula, aku terlalu lelah.” tiba-tiba aku jatuh dalam kelebatan gambar.

Malam yang dingin. Langit penuh dengan awan hitam. Petir menyambar bangunan-bangunan

 pencakar langit. Diriku terombang-ambing di angkasa. Sebuah benda menampakkan sinarnya

dari langit. Sesosok tubuh turun dari langit. Manusia terperangah. Semua terhipnotis. Aku

menjerit .

Yang kuingat setelah bangun adalah diriku terbaring di atas sebuah kasur empuk di atas

ranjang yang hangat.

“Dimana ini?

” tanyaku.

“Selamat datang di rumahku, Richie. Kau tiba-tiba jatuh tertidur tadi malam.” ujar Meir di depan

pintu kamar. “Lebih baik kau turun ke bawah.” 

 Aku keluar dari kamar dan menuruni tangga. Ini adalah rumah yang cukup nyaman. Ada

sebuah foto keluarga di ruang tengah.

“Dimana istri dan anak-anakmu Meir?” 

“Mereka sedang…berlibur.” jawab Meir dingin. Meir ternyata sedang memasak. “Kau inginomelette?” tawar Meir.

“ Asal tidak merepotkanmu.” 

Meir menceplok telur kedua dan menambahkan beberapa bumbu dan tambahan lain. Aku

duduk di meja makan. Omelette telah matang. Meir menyorongkan sepiring besar omelette

kepadaku.

“Terimakasih Meir, jadi bisa kau jelaskan lebih jelas rencana kita sekarang?” tanyaku.

Page 21: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 21/28

“Jangan cepat-cepat Richie. Lebih baik kita nikmati dulu sarapan kita sekarang.” jawab Meir

ringan.” 

Kami pun menikmati sarapan dalam diam. Omelette buatan Meir sangat enak. Digoreng garing

dengan tambahan daging asap di dalamnya.

“Kau jago memasak, Meir.” 

“Resep dari keluargaku.” jawabnya acuh.

Tak terasa piring kami sudah bersih dari makanan. Meir beranjak ke kulkas, mengambil

sekaleng bir dingin.

“Mau minum?” tawarnya.

“Tidak, aku tidak minum bir.” jawabku singkat.

“Jadi, mau tahu rencana kita sekarang?” tawar Meir.

“Tentu saja!” jawabku bersemangat. “Demi keselamatan umat manusia!” tambahku.

“Haha, baguslah jika kau bersemangat.” Ujarnya. “Jadi, rencana utama dari Illuminati adalah

mengendalikan umat manusia dalam mimpi, menghapuskan agama, pemerintahan, dan sekat-

sekat pemisah. Mereka akan memproyeksikan seolah-olah Isa Al-Masih turun dari langit untuk

membawa manusia dalam kedamaian. Lalu menembakkan gelombang elektromagnetik yangmengendalikan alam bawah sadar manusia. Setelah itu manusia akan menjadi budak Illuminati

selamanya. Dan kau adalah salah satu kelinci percobaan mereka, percobaan gelombang

elektromagnetik yang disuntikkan ke otak.” terangnya.

“Tapi mengapa aku mendapat bakat ini? Bakat melihat masa depan?” tanyaku.

“Saat itu aku yang mendapat giliran mengujimu. Dan aku melihat anomali dalam otakmu.

Otakmu dianugrahi kemampuan luar biasa saat bereaksi terhadap gelombang hipnotis. Otakmu

memberontak terhadap pengaruh hipnotis itu. Aku melihat berubahnya frekuensi gelombangotakmu menjadi gelombang otak yang jarang ditemukan dalam otak manusia kebanyakan.

Gelombang Theta.” jawabnya.

“Gelombang Theta? tanyaku.

”Ya, gelombang yang hanya ada pada orang yang memiliki indra keenam. Indera untuk melihat

masa depan.” terangnya.

“Jadi aku memiliki indera keenam?” tanyaku keheranan.

“Iya, tepatnya dé jà vu.” jawab Meir.

“Dé jà vu? Jadi itu benar-benar nyata?” tanyaku.

“Ya, bagi orang-orang tertentu.” jawabnya dingin.

“Tapi mengapa kau menyelamatkanku waktu itu?” tanyaku.

“ Aku berpikir kau selayaknya dibiarkan hidup. Kau memiliki bakat terpendam.” Jawab Meir

terkekeh.

Page 22: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 22/28

“Kembali ke rencana mereka. Mereka akan memproyeksikan gelombang itu 6 Desember 2011.

Saat bulan memiliki koordinat orbit sejajar dengan bumi dan planet-planet lain disekitarnya,

momen langka yang hanya terjadi ratusan tahun sekali. Dan tugas kita adalah mengacaukan

kordinat proyektor yang akan menyiarkan hologram ilusi dan gelombang elektromagnet itu.” 

terangnya.

“Dimana proyektor itu?” tanyaku.

“Kau mengetahuinya Richie, dalam dé jà vu-mu itu.” jawabnya.

“Iya? Kau yakin?” tanyaku setengah tak percaya.

“Ya, aku 100 persen yakin.” jawabnya.

“Hanya petinggi Illuminati yang mengetahui lokasi proyektor itu, aku tidak mengetahuinya.” 

 jelasnya.

“Sekarang masih pertengahan Oktober. Kita harus menyusun rencana.” ujarku.

“Tenang saja, aku sudah menyusun semuanya dengan rapi.” seringai Meir. “Untuk saat ini,

lebih baik kau tidak menampakkan dirimu, Richie. Orang-orang illuminati itu mengincarmu.

Mereka ingin memusnahkan orang-orang yang diketahui memiliki ‘bakat’.” tambahnya.

“Jadi, darimana kita mulai?” tanyaku. “Sebuah langkah besar diawali dari satu langkah kecil,

Richie.” Jawab Meir. “Perlihatkan buku gambarmu.” 

“Buku gambar? Darimana kau tahu?” tanyaku. Tidak ada orang yang pernah mengetahui

rahasia terdalamku itu.

“Tentu saja aku tahu, aku tahu semua hal tentangmu, Richie. Itulah keuntungan menjadi

Illuminati. Kami mengetahui semua rahasia terdalam setiap orang yang ada di dunia ini. ” 

“Baiklah. Tapi buku itu ada di rumahku, Florida.” 

“Tenang saja, aku yang akan mengambilnya nanti. Sekarang kau istirahat saja di rumahku ini.

Sekarang aku harus pergi ke markas kami. Ada pertemuan penting.” 

Beberapa hari kemudian..

“Tebak apa yang kubawa Richie.” Meir masuk membawa kardus berisi barang-barang pribadi

yang tertinggal di rumahku. Dia mengeluarkan buku gambarku. Sebuah buku gambar lusuh

yang penuh dengan coretan-coretan ganjil. Gambar-gambar yang anehnya menjadi kenyataan.

Meir membolak-balik lembar demi lembar buku lusuh itu. Akhirnya dia menemukannya.

“Ini dia, Richie. Oh ya ampun.” Meir tampak shock. Aku melihat gambar yang ditunjuk Meir.

Gambar sebuah menara tertinggi di dunia saat ini. Burj Dubai. “Tentu saja, mereka

membutuhkan tempat yang sangat tinggi untuk itu.” simpul Meir. “Kau tahu prinsip operasi

satelit pemancar, Richie?” tanya Meir kepadaku.

“Ya, aku mempelajarinya di kuliahku.” jawabku

Page 23: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 23/28

 ”Bagus sekali, sekarang kita harus mencari tiket perjalanan ke Dubai. Jangan menghabiskan

waktu.”  Meir segera bergegas ke iMac-nya, membooking tiket pesawat untuk 2 orang ke Dubai.

“Proyektor itu menggunakan satelit pemancar?” tanyaku.

“Ya, aku sudah mencetak blueprintnya. Lebih baik kau pelajari dulu.” Meir menyodorkan

sebuah gulungan kertas padaku. Aku membukanya. Diriku takjub. Ini adalah sebuah proyektor

yang sangat rumit. Yang telah disusun rapi oleh ilmuwan-ilmuwan Illuminati itu. Proyektor ini

sudah ditanam sejak dulu saat Burj Dubai dibangun, proyektor itu ada di puncak tertinggi.

“ Aku harus mempelajarinya lebih dalam Meir.” 

“Tenang saja, kita masih punya 1 bulan. Maksimalkan hari-hari kosong ini Richie.” 

 Aku bergegas membuka Macbook-ku. Mempelajarinya sedetail mungkin. Mungkin ini adalah

satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.

New York, 1 Desember 2012

“Oke Richie, saatnya mengubah sejarah.” Meir berjalan bersamaku melangkah menuju pintu 2A

bandara John F.Kennedy, New York. Kami meletakkan barang-barang kami di bagasi.

Sebenarnya inti dari rencana kami adalah Macbook-ku ini. Macbook-ku telah kuisikan virus

yang akan merusak ssistem proyektor itu seketika. Cukup menghubungkan laptopku dengan

mesin pusat kendali proyektor itu dengan kabel USB. Kami sudah menaiki pesawat. Aku terlalu

lelah setelah kerja keras sebulan ini. Aku terlelap dalam mimpi..

“ Dingin yang menusuk di tengah kelamnya padang pasir.. Kalajengking keluar dari lubang

 persembunyiannya..Menara itu. Menara simbol angkuhnya manusia. Menara yang menjulang

menantang langit. Seberkas cahaya memancar dari menara itu. Cahaya itu berasal dari puncak

tertinggi menara sesosok mayat terjatuh dari ketinggian menara…”  

 Aku tersadar dari lelap. Meir sedang terlelap di sebelahku. Penumpang lain tak jauh beda.

Langit di luar tampak gelap. Malam telah tiba. Otakku berputar memikirkan apa maksud

penglihatanku tadi. Mayat yang terlempar? Siapa itu? batinku.

Dubai,2 Desember 2012

Pesawat Fly Emirates nomor penerbangan EMR-018 mendarat dengan mulus di landasan pacu

Bandara Internasional Dubai. Aku dan Meir turun setelah perjalanan melelahkan selama hampir

24 jam diatas pesawat. Aku merasa sedikit jet lag. Tapi Meir tampak biasa,seolah itu bukan

apa-apa buatnya. Meir memberhentikan sebuah taksi. Sebuah Toyota Limo baru. Seorang sopir

 Arab bermuka ramah membukakan bagasi mobil dan menaikkan koper kami.

“Namaku Hussein, selamat datang di Dubai!” sapanya ramah dengan Bahasa Inggris yang

terbata-bata. Taksi kami meluncur di jalan yang mulus dan sepi. Dubai memang indah.

“Kalian tahu? Burj Dubai seperti dua mata pedang. Manfaatnya ada, tetapi ada hal buruknya

 juga.” ujar Hussein.

“Hal buruk? Memang apa?” tanyaku.

“Ya..setelah adanya menara itu, cuaca di daerah ini jadi tak menentu. Dan..” 

Page 24: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 24/28

“ Apa?” tanyaku penasaran.

“ Aku memiliki perasaan buruk akan adanya menara itu, orang-orang di sekitarnya juga

merasakan hal yang sama.” 

Taksi berhenti di hotel tempat kami menginap. Sebuah hotel kecil yang terletak di daerah yang

masih belum tersentuh tangan pengembang-pengembang yang bernafsu menghabiskan dollar

minyak itu. Meir membayar tip yang sangat besar bagi Hussein. Hussein berterimakasih.

“Lebih baik kita menginap di daerah seperti ini, tak terlalu menarik perhatian.” ujar Meir. Kami

segera check in dan memasuki kamar kami. Kami berbagi kamar. “Baiklah Richie, sebaiknya

kita beristirahat dulu sebelum aksi kita nanti, 6 Desember 2011.” Meir tertidur di kasur.

 Aku termangu di jendela. Siapakah mayat itu? Apakah salah satu dari kami harus meninggal?

 Atau salah satu teman Meir, anggota Illuminati? Diriku terlalu muda untuk semua ini.

Bagaimana reaksi orang tuaku nanti jika aku mati di tanah asing? Aku bahkan belum menikah.

Jika aku harus meninggalkan dunia ini terlebih dahulu, apa yang akan kurasakan nanti setelah

kematian? Apakah benar ada surga dan neraka? Aku ingin memberitahukan hal itu kepada

Meir, tapi aku sungkan. Ketakutan itu terus bersemayam dalam hatiku hari demi hari. Hari-hari

di Dubai kuhabiskan di hotel sementara Meir terus berusaha mencari informasi lebih detail

tentang Burj Dubai, sehingga tak akan ada halangan yang akan menimpa kami nanti.

Dubai, 6 Desember 2012, 19:30 Malam

Malam itu, aku mendapatkan sebuah keajaiban maha dahsyat. Sebuah hidayah yang

diturunkan kepadaku. Panggilan itu, ya panggilan lima kali sehari. Adzan Isya yang

menyadarkanku. Adzan yang menjadi sumber pencarian jati diriku selama ini. Seolah menjadi

 jawaban apa tujuanku berada di dunia ini. Aku tersadar dari lelapnya mimpiku. Empat hari

berada disini membuatku lebih mengenal Islam dari dekat. Melihat Islam yang sesungguhnya.

Bukan Islam hasil propaganda media-media barat. Aku melangkah di malam yang dingin.

Kakiku melangkah secara otomatis ke arah masjid yang terletak tak jauh dari hotel. Hatiku luluh

saat melihat umat Islam menjalankan ibadah shalat subuh secara khusyuk. Aku termenung di

pelataran masjid. Itulah jawaban atas pertanyaan hidupku selama ini. Tujuan diciptakannya

diriku. Untuk beribadah kepada-Nya. Tuhan yang satu. Tuhan semesta alam. Tuhan yang Maha

 Adil. Dia membimbingku kesini untuk mendapatkan hidayah. Semua ini telah diatur oleh Allah

swt. Mereka telah selesai shalat. Aku berjalan tertatih-tatih ke orang yang memimpin shalat.

Seseorang yang sangat ramah dan baik. Imam masjid ini. Dia menjelaskan semua

pertanyaanku tentang Islam. Yang semakin menguatkan hatiku untuk mengikuti ajaran yang

dibawa Nabi Muhammad saw. Ajaran yang tidak pernah berubah dari awal diturunkannya

wahyu. Tidak seperti agama-agamaku sebelumnya yang isi ajarannya berubah-ubah menurut

kepentingan pribadi golongan tertentu. Pencerahan itu membekas di hatiku. Mungkin nanti

malam aku sudah tidak hidup lagi. Hatiku sudah mantap untuk memeluk Islam. Bergabung

dengan sebuah agama yang mengajarkan kebenaran. Sebuah agama yang mengajarkan jalan

yang lurus bagi setiap manusia. Mungkin nanti aku sudah tidak berada di dunia ini lagi. Bibirku

mengucap kalimat syahadat dengan kaku dibimbing oleh imam masjid, disaksikan oleh jamaah

shalat Isya yang mengelilingi diriku.

“ Asyhadu allaailaahaillalllah. Wa asyhadu anna Muhammadarrosuululloh.” 

Page 25: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 25/28

“ ALLLAHU AKBAR!!” 

Gemuruh takbir bergaung di masjid. Jamaah yang menyaksikan prosesi sakral itu segera

berebutan untuk memelukku. Persaudaraan Islam memang erat. Persaudaraan yang dilandasi

iman dan islam. Persaudaraan yang tak akan lekang oleh waktu. Persaudaraan yang tak

memandang usia dan ras. Akhirnya diriku bergabung dengan sebuah keluarga terbaik di dunia.

 Air membasahi mataku. Akhirnya diriku menemukan kebenaran hakiki. Semua yang terjadi

memang ada hikmahnya. Aku mengganti namaku menjadi Umar. Aku terinspirasi dari

keberanian Umar dalam menegakkan keadilan dan kerendah hatiannya. Aku segera

mensucikan diri dari najis-najis yang masih melekat saat diriku masih kafir. Setelah itu aku

berwudhu dan menunaikan Shalat Isya. Shalat pertamaku dalam hidup. Semua gundah gulana

yang tertanam dalam hati kecilku punah sudah. Hatiku menemukan kedamaian dalam naungan

Islam. Kini diriku sudah tidak takut lagi untuk menghadapi momen krusial itu. Momen yang akan

merubah hidup manusia.

Dubai, 6 Desember 2012, 22:00 Malam

Malam yang senyap di Dubai yang gemerlap. Langit yang kelam ditutupi awan hitam. Dua

bayangan berpakaian hitam melintas di kegelapan malam. Malam yang akan merubah hidup

umat manusia apabila kami gagal melakukannya. Aku memulai semua ini dengan Bismillah,

semoga Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kami berdua. Kami berjalan dalam

kegelapan malam. Kami berusaha agar tak terlihat oleh orang-orang Illuminati yang

berkeliaraan di jalanan Dubai. Kami menyelinap sehati-hati mungkin, agar rencana kami yang

telah tersusun rapi tidak hancur berantakan . Itu dia, Burj Dubai yang terkenal itu. Menara

tertinggi di dunia. Aku mengeluarkan liontin yang kubawa kemanapun aku pergi. Liontin

bergambar tunanganku, Selena. Aku mengecupnya sekali. Semoga aku masih bisa bertemu

dengannya nanti. Entah mengapa semua rencana yang tersusun rapi di otakku terasa hancur

berantakan. Aku menjadi gelisah. Kukencangkan tali ransel yang berisi Macbook-ku. Semoga

rencana kami berhasil, ya Allah batinku.

“Kau gugup, Richie?” tanya Meir

“Kalau aku boleh jujur, sangat gugup.” 

“Tenanglah, kita harus tenang. Jika kau gugup, itu akan menjadi masalah nantinya.” 

 Aku menenangkan diri. Aku membaca beberapa doa yang diajarkan oleh imam masjid tadi. Aku

memasrahkan diri kepada Allah swt. Semoga kami berhasil, dan dunia terselamatkan. Kini rasa

gugupku sudah mulai mereda.

“Baiklah Meir, mari kita mulai.” 

Kami menyelinap ke salah satu pintu masuk Burj Dubai yang berada di sisi paling sepi dari

keramaian. Meir melumpuhkan para penjaga keamanan dari belakang dengan jurus totoknya.

Meir mengambil sepasang senapan dari tubuh penjaga yang terbujur kaku di lantai dan

menyerahkan salah satunya kepadaku.

“Kau bisa menggunakan senapan kan?” 

“Sedikit-sedikit” 

Page 26: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 26/28

“Sebisa mungkin kita tidak memancing keributan, atau kita akan ketahuan.” 

Kami bergegas menaiki lift, merusak CCTV, lalu memencet nomor lantai sebelum lantai teratas,

lantai 699. Lift ini adalah sebuah lift supercepat sehingga hanya menunggu selama beberapa

menit, kami sudah tiba di tujuan. PIntu terbuka dan ternyata sebuah kejutan telah menyambut

kami. Lima pria bersenjata lengkap menghadang kami. Kami kalah jumlah. Tapi bukan Meir

namanya jika dia tidak punya nyali. Dia melakukan aksi kung fu yang sangat mengagumkan.

Dia menotok kelima orang itu dengan gerakan yang sangat cepat. Sampai-sampai aku tak bisa

melihat gerakannya dengan jelas. Kami segera bergegas menaiki tangga darurat dan

menyelinap ke lantai teratas.

“Mereka telah mengetahui kita.” aku panik.

Meir diam saja. Aku terus berlari mengikutinya. Aku melompati dua anak tangga sekaligus.

Bobot Macbook-ku terasa menjadi berat berpuluh kali lipat di punggungku. Aku merasakan

hawa tidak enak. Kami tiba di lantai teratas.

“Kerja bagus, Meir.” Suara di ujung ruangan bergema di ruangan ini. Ranselku terjatuh

berdebum. Ruangan ini berisi kumpulan pria berjubah hitam yang duduk dalam meja yang

melingkar. Mereka melepas topengnya. Muka-muka pemimpin negara-negara adidaya. Muka-

muka taipan bisnis dunia. Muka-muka pemimpin redaksi media massa yang terkenal di penjuru

dunia. Muka-muka tokoh-tokoh penting duduk di lingkaran itu. Mereka petinggi Illuminati. Aku

terperanjat. Apa maksud dari ini semua? Di ujung ruangan duduklah seorang yang misterius,

yang ditutupi oleh tirai. “Baiklah anak muda, apa yang kau harapkan disini? Ini adalah awal dari

sebuah dunia baru.” pria misterius itu kembali berbicara. “Lebih baik kau duduk manis disini dan

melihat proses agung terbentuknya sebuah dunia baru.Hahahaha.” pria misterius itu tertawa

kejam. Para pengawal menghampiriku dan mengikat tubuhku dengan tali tambang. Aku

memberontak, tetapi tak ada gunanya. Aku kalah jumlah. Aku kalah tenaga. Aku melemparkan

pandangan bertanya pada Meir. Tapi Meir hanya diam membisu.

“Meir, selama ini kau menipuku!” 

“ Aku tak punya pilihan, mereka menawan keluargaku.” 

Ternyata keluarga Meir tidak sedang liburan. Selama ini mereka diculik oleh Illuminati

“Baiklah Avram Meir, ini hadiah atas kerja kerasmu.” pria misterius itu melemparkan secarik

kertas dan sebuah kunci kepada Meir. “Pergi dan bebaskan keluargamu setelah pesta kita.” 

Meir duduk di salah satu kursi yang kosong di lingkaran itu. Ekspresinya datar melihatku.

Selama ini aku ditipu. Jika tahu begini lebih baik aku tidak datang dari awal. Aku dijebak oleh

orang yang pernah menyelamatkan hidupku. Aku merasa seperti keledai dungu. Terikat di

tengah-tengah lingkaran setan. Sementara itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23:59.

“Baiklah tuan-tuan. Saatnya berpesta! “ pria misterius itu kembali berbicara. “Mari bersulang

untuk dunia baru!” 

Proyektor itu bekerja. Seberkas cahaya memancar dari puncak Burj Dubai. Cahaya hologram

yang memancarkan animasi Isa Al-Masih turun dari langit. Gelombang elektromagnetik

memancar dari Burj Dubai, menghipnotis umat manusia di penjuru bumi. Pasti saat ini

mayoritas media massa sedang menyiarkan berita ini. Karena tangan Illuminati bermain di

Page 27: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 27/28

belakang semuanya. Manusia terhipnotis, semuanya akan akan hidup dalam alam mimpi

selamanya. Aku tidak tahan melihat ini semua. Bagaimana Selena sekarang? Apakah dia

terhipnotis juga? Aku beristigfar dalam hati. Aku memohon ampun atas semua kesalahan yang

pernah kuperbuat. Semoga Allah swt mengabulkan taubatku. Inilah saat terakhir, saat sebelum

diriku menjemput ajal. Aku telah gagal. Gagal menyelamatkan umat manusia. Gagal

menyelamatkan Selena. Padahal aku ingin mengajaknya masuk Islam setelah ini. Aku ingin

menghabiskan sisa hidupku yang tenang bersamanya. Tapi, apa daya. Semua sudah terlambat.

Manusia menjadi budak bagi mereka, para Illuminati. Aku terpedaya Meir. Semua ini sudah

diatur sejak awal. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

“Baiklah nak, saatnya dirimu kembali ke neraka. Kurasa kau sudah melihat cukup banyak. ” Tirai

itu terbuka. Aku menjerit. Seorang pria berwajah mengerikan bermata satu, berambut keriting

berpakaian tuksedo duduk di sebuah sofa mewah yang empuk. “Sebelum kau menyapa

malaikat penjaga neraka, ada baiknya aku memperkenalkan diriku. Akulah Dajjal. Aku adalah

pemimpin tentara suci yang akan melawan umat Muslim! Dan ini adalah salah satu rencana

awalku. Untuk rencana-rencana berikutnya…maaf. Kau tidak bisa melihatnya. Kau akan

kupulangkan ke neraka.” 

Dia menjetikkan jari dan sebuah lecutan api menampar mukaku. Rupanya dia ingin menyiksaku

dulu sebelum ajal menjemputku. Tiba-tiba sekumpulan pasukan masuk ke ruangan.

“Lapor tuan! Pancaran gelombang elektromagnetik terhenti. Sepertinya ada yang mengacaukan

pusat kendali proyektor kita!” 

 Aku terperanjat. Aku melihat sekeliling. Tidak ada Meir. Pasti dia yang melakukannya. Ternyata

selama ini dia juga berpura-pura pada Illuminati. Tadi dia hanya berpura-pura menyerahkanku.

Dialah yang membawa macbook-ku dan mengacaukan sistem. Layar di dinding

memperlihatkan manusia yang kembali sadar dari hipnotis. Selena selamat. Banyak manusia

yang kebingungan atas apa yang terjadi. Aku memanfaatkan situasi ini dengan berguling ke

arah pintu. Tidak ada yang menyadariku. Mereka semua terlalu panik. Aku menyangkutkan tali

pengikatku ke pengait besi yang ada di tembok, aku berguling dengan cepat. Tali pengikatku

terlepas. Aku berlari ke dalam lift. Aku bertemu dengan Meir.

“Maaf atas yang tadi, Richie. Aku tak tahu mereka berkumpul di atas. Kurasa sedikit improvisasi

tidak apa-apa kan?” 

“Yang penting rencana kita berhasil.” 

Terdengar derap langkah dari kejauhan. Mereka menyadari hilangnya diriku. Kami dalam

bahaya.

“Dengar Richie. Ini alamat dimana keluargaku ditawan.” Meir menyerahkan secarik kertas dan

kunci. “Bebaskan mereka, dan bawa mereka kabur bersamamu Richie. Sampaikan kepada

mereka. Aku sayang mereka.” 

“ Apa yang akan kau lakukan Meir?” 

“ Aku akan menahan mereka, hanya itu peluang kita.” 

“Tidak Meir, aku tidak akan meninggalkanmu.” 

Page 28: Déjà Vu- Farhan

7/23/2019 Déjà Vu- Farhan

http://slidepdf.com/reader/full/deja-vu-farhan 28/28

“Pergi.” 

Meir mendorongku ke dalam lift dan memberikan salah satu senapan. Aku melihat sendiri Meir

dengan gagah berani menghadapi para Illuminati itu. Meir ditembak oleh puluhan timah panas,

tapi Meir tidak menyerah. Dia berjuang hingga tetes terakhir darahnya menetes dari pembuluh

 jantungnya. Meir menghabisi Illuminati itu. Tapi bantuan datang. Meir sudah sekarat. Meir

dibuang dari jendela oleh Illuminati lain yang datang membantu. Meir jatuh dari ketinggian 700

lantai. Mayat dalam penglihatanku adalah Meir. Aku tak akan menyia-nyiakan nyawa Meir. Aku

segera memencet lantai satu. Lift berdentang. Aku tiba di lantai terbawah. Aku menembaki para

penjaga dengan senapanku. Aku berlari keluar dari Burj Dubai. Aku akan mencari keluarga

Meir yang ditawan, dan membawa mereka ke tempat yang aman. Aku akan memberitahu umat

Muslim di seluruh dunia. Kami harus menyiapkan diri. Kami harus merapatkan barisan. Kami

akan menghadapi peperangan akhir zaman. Dajjal telah keluar.

TAMAT