executive summary pa ee ii zainal arifin

Upload: inyoman-sonny-budirta

Post on 10-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Executive Summary PA EE II Zainal Arifin

    1/5

    Executive Summary

    Berdasarkan analisa Laporan Posisi Keuangan perusahaan (PLN Annual Report 2011)

    asset pembangkit merupakan asset tetap terbesar perusahaan yaitu sebesar Rp 140,

    48 trilyun atau 40.49% dari total asset tetap perusahaan (Rp 347, 76 trilyun).

    Sehubungan dengan adanya proyek-proyek yang masih berjalan (PDP) asset

    pembangkit ini diperkirakan akan meningkat pada tahun mendatang sebesar Rp 211,8

    trilyun atau naik menjadi 47.51% dari total asset tetap yang diperkirakan bertambah

    menjadi Rp 448,82 trilyun.

    Dari Laporan laba rugi perusahaan (PLN Annual Report 2011), ternyata biaya

    operasional terbesar adalah pembelian bahan bakar yaitu Rp 120,55 trilyun atau

    62.23% dari total biaya operasional PLN (Rp 193,4 trilyun). Belanja bahan bakar

    tersebut didominasi oleh BBM sebesar Rp 87,04 trilyun atau 72,4% biaya bahan bakar

    (setara dengan 45% dari total biaya operasional).

    Memperhatikan posisi keuangan PLN tahun 2011 yaitu sbb : Total asset : Rp 426 trilyun

    (+ 15.53%), Laba bersih : Rp 7.2 trilyun (- 28.73%), kWh sales : Rp 112.8 trilyun (+

    9.59%), GWh 157,9 milyar (+ 7.26%) dan Subsidi pemerintah : Rp 93.2 trilyun (+

    60.35%). Jika dikaji lebih detail, akan diketemukan bahwa salah satu masalah utama

    keuangan PLN saat ini adalah level Debt Capacity dimana rasio pembiayaan PLN

    sebesar 55% debt dan 45% Equity. Berdasarkan kondisi tersebut maka tantangan

    utama keuangan PLN saat ini adalah : pemenuhan covenant, pendanaan (kemampuan

    pinjam) dan likuiditas (kendala arus kas, utamanya untuk investasi).

    Dari laporan tahunan tersebut, ternyata biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik

    sampai akhir tahun 2011 adalah Rp 1.054/kWh dengan biaya rata-rata pembangkitan

    (average generation cost) Rp 795,59/kWh dan harga jual rata-rata Rp 699,09/kWh (PLN

    Statistic 2010). Berdasarkan jenis pembangkit, BPP terbesar adalah PLTD (Rp

    4.315,43/kWh) disusul berurutan PLTG (Rp 1.594,93), PLTGU (Rp 788,46/kWh), PLTP

    (Rp 701,39/kWh), PLTU (Rp 599, 22/kWh) dan PLTA (Rp 98,02/kWh).

    Berdasarkan uraian terhadap aspek-aspek signifikan di atas, maka masalah strategis

    yang teridentifikasi adalah bagaimana mengurangi gap antara BPP dengan harga jual

  • 7/22/2019 Executive Summary PA EE II Zainal Arifin

    2/5

    tenaga listrik melalui penurunan BPP (sehingga ada peningkatan EBITDA) dengan

    faktor-faktor penentu yaitu: Pembangkitan, BBM (Energi Primer) dan kondisi

    keuangan (Kapasitas dan Pembiayaan).

    Jelas terlihat masih sangat besarnya gap antara biaya produksi dengan harga jual rata-rata tenaga listrik (selisihnya Rp 355/kWh). BPP sendiri komponen utamanya adalah

    biaya pembangkitan (rata-rata sekitar 75.5% dari BPP dimana biaya pembangkitan

    PLTD lebih dari 400% di atas BPP rata-rata). Jenis Oppportunity of improvementyang

    terkait masalah teknis (pembangkitan dan BBM) tersebut dapat dilihat pada tabel 1 di

    bawah.

    Di sisi lainnya, terbukti bahwa bahwa PLN mengalami kesulitan pendanaan khususnya

    untuk biaya investasi. Untuk itu diperlukan suatu skema bisnis baru menurunkan BPP

    dengan seminimal mungkin atau tanpa biaya investasi dari PLN.

    Tabel 1.

    No Opportu ni ty for Improvement

    i tems

    Gap

    Indicator

    Actual Target

    1 BPP PLTD isolatedmasih tinggi Rp/kWh 4.315,43 699,09

    2 BPP PLTD atau PLTU skala kecilmasih tinggi

    Rp/kWh 4.315,43 699,09

    3 BPP PLTD atau PLTGpeakermasih tinggi

    Rp/kWh 4.315,43 699,09

    4 BPP PLTU makin tinggi akibat gapkualitas batu bara

    Rp/kWh 513,06 * < 513,06 *

    5 Kesulitan pendanaan (investasi)untuk usaha penurunan BPP

    Rp Investasitidak

    optimal

    Miniminvestasi

    Keterangan:

    * PLTU Paiton

  • 7/22/2019 Executive Summary PA EE II Zainal Arifin

    3/5

    Dengan demikian sasaran stratejik program AFI adalah untuk menurunkan BPP melalui

    inovasi teknologi dan skema bisnis di bidang pembangkitan. Untuk inovasi bidang

    teknologi ini, AFI terbagi atas 3 (tiga) strategi operasional yaitu:

    1) Inovasi teknologi pembangkitan melalui Fuel-Mix Policy.Implementasinya dibedakan atas jenis sistem kelistrikan yang ada, yaitu untuk

    sistem isolated(sd. 1 MW) dan sistem kecil (sd. 10 MW). Pada sistem isolated(sd.

    1 MW) penurunan BPP dilakukan dengan membangun dan mengoperasikan PLT

    Biomass menggantikan PLTD. AFI ini berpotensi menekan BPP dengan

    menghasilkan tenaga listrik hanya sebesar Rp 953,-/kWh. Sedangkan pada sistem

    kecil (sd. 10 MW) strategi dilakukan dengan pembangunan dan pengoperasian

    PLTGB (Pembangkit Listrik Gasifikasi Batu bara) menggantikan PLTD. Jenis AFI ini

    akan mengurangi BPP dengan prediksi biaya produksi tenaga listrik turun menjadi

    sebesar Rp 2.332,-/kWh.

    2) Inovasi pemanfaatan teknologi Energi primer berdasarkan Least Cost.

    Mempertimbangkan bahwa unsur bahan bakar merupakan komponen utama dan

    paling signifikan dari BPP maka perlu dilakukan inovasi pemanfaatan teknologi di

    bidang energi primer untuk meminimalkan biaya produksi tenaga listrik. Selain

    masih banyaknya PLTD di sistem isolateddan kecil yang mengakibatkan tingginya

    BPP PLN, masalah utama lainnya yang dihadapi PLN saat ini adalah masih

    mahalnya BPP khususnya di sistem besar (> 10 MW) terutama saat beban puncak

    (peaking) antara pkl. 18.00 sd. 22.00. Mahalnya BPP beban puncak ini dikarenakan

    terbatasnya jenis pembangkit murah misalnya: PLTA atau PLTG Gas yang mampu

    memasok tenaga listrik saat itu. Akibatnya kebutuhan listrik saat beban puncak

    tersebut terpaksa dipasok oleh PLTD atau PLTG BBM sehingga berdampak atas

    tingginya BPP.

    Salah satu strategi yang layak dilaksanakan adalah pengoperasian CNG Plant

    untuk Pembangkit Peaker. Tergantung dari lokasi, beban dan sistem kelistrikannya,

    inovasi teknologi energi primer ini jelas lebih ekonomis dan menghasilkan tenaga

    listrik dengan BPP lebih rendah dibandingkan PLTD atau PLTG BBM. Perhitungan

    untuk CNG Plant kapasitas 5 MMSCFD yang mampu memproduksi listrik sekitar

  • 7/22/2019 Executive Summary PA EE II Zainal Arifin

    4/5

    90-110 MW saat beban puncak BPPnya hanya sebesar Rp 1.798,-/kWh. AFI lain

    yang berpotensi untuk menurunkan BPP di bidang energi primer ini antara lain:

    LNG Plant untuk pembangkit peaker, pemanfaatan synthetic gas untuk PLTMG,

    pemanfaatan CWS (coal water slurry) untuk PLTU BBM atau mengganti PLTD dan

    sebagainya.

    3) Inovasi teknologi Supportinguntuk Pusat pembangkit listrik existing.

    AFI ini diimplementasikan terhadap unit-unit pembangkit yang sudah beroperasi

    dimana ditemukan adanya gap karena berbagai masalah teknis. Masalah teknis

    tersebut terjadi akibat adanya deviasi dari jenis dan kualitas bahan bakar,

    penyimpangan operasional, disain yang kadaluwarsa, pemeliharaan yang tidak

    standar dan sebagainya. Unit pembangkit juga bisa bervariasi dari jenis bahan

    bakar, kapasitas, teknologi, tingkat efisiensi dan sebagainya.

    Salah satu AFI yang strategis adalah pemanfaatan Coal Dryeruntuk PLTU kelas >

    300 MW. AFI ini untuk memperbaiki efisiensi PLTU sesuai basic design dengan

    memanfaatkan teknologi pengolahan batu bara kalori rendah. Terjadinya derating

    atau efisiensi turun dikarenakan batu bara yang dipasok nilai kalornya lebih rendah

    dari spesifikasi disainnya. Selain menaikkan efisiensi, inovasi teknologi ini juga

    akan menurunkan emisi khususnya CO2 yang dihasilkan PLTU. Dampak positif

    lainnya adalah mendorong pemanfaatan Low Rank Coalyang tersedia melimpah di

    Indonesia dengan harga relatif murahuntuk pembangkit listrik. Dan pada akhirnya

    dampak yang paling signifikan adalah turunnya BPP. Tergantung dari jenis

    teknologi coal dyer, tingkat penurunan moisture dan kapasitas pembangkit,

    implementasi Coal Dryerberpotensi menurunkan BPP sekitar 15 sd 25%. Sebagai

    contoh, untuk PLTU Paiton (2 x 400 MW) pemanfaatan Coal dryer diperkirakan

    akan menurunkan BPP dari Rp 513,-/kWh menjadi Rp 385,-/kWh.

    Sedangkan untuk inovasi skema bisnis, penurunan BPP dilakukan denganmelaksanakan strategi pola pembiayaan no cure no pay. Sebenarnya bukan

    penurunan BPP secara langsung yang terjadi tapi pada skema ini, PLN tidak perlu

    mengeluarkan biaya investasi untuk membiayai proyek-proyek peningkatan efisiensi di

    unit-unit pembangkit dimana ada risiko yang cukup tinggi. PLN hanya akan

  • 7/22/2019 Executive Summary PA EE II Zainal Arifin

    5/5

    mengeluarkan biaya operasi setelah adanya kepastian pencapaian penurunan BPP

    yang biaya investasinya ditanggung oleh pihak lain (pihak ketiga).

    Secara ringkas, sasaran stratejik AFI beserta target yang akan dicapai bisa dilihat pada

    tabel 2 dibawah.

    Tabel 2.

    No Act ion for Imp rovementi tems

    Gap

    Indicator

    Actual Target

    1 PLT Biomass menggantikan PLTD Rp/kWh 4.135,43 953,52

    2 PLTGB menggantikan PLTD Rp/kWh 4.135,43 2.331,92

    3 CNG Plant untuk Pembangkitpeaker

    Rp/kWh 4.135,43 1.797,92

    4 Implementasi Coal Dryer di PLTUskala besar (> 300 MW)

    Rp/kWh 513,06 384,69

    5 Skema bisnis no cure no pay Rp Investasitidak

    optimal

    beresikotinggi

    Miniminvestasidan risiko

    rendah