faringitis bakterial vs viral

Upload: muthi-melatiara

Post on 17-Oct-2015

83 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Faringitis adalah suatu keadaan inflamasi pada faring yang dapat disebabkan oleh infeksi maupun non infeksi.1 Pada infeksi saluran pernapasan akut bagian atas (ISPA) yang seringkali dijumpai sebagai alasan pasien datang berobat, faringitis selain melibatkan faring (orofaring, nasofaring, hipofaring) biasanya juga melibatkan bagian lainnya yakni tonsil dan / atau adenoid. Oleh karena itu sumber lain menyebutkan definisi faringitis sebagai suatu infeksi atau iritasi dari faring dan / atau tonsil.2 Miikroorganisme penyebab faringitis sebagian besar adalah virus (40-60%) dan bakteri (5-40%).1 Virus penyebab faringitis antara lain rhinovirus, influenza dan parainfluenza virus, coxachievirus, cytomegalovirus, adenovirus, human metapneumovirus, Syncytial virus (RSV), dan Epstein Barr Virus (EBV); sedangkan etiologi lainnya yaitu Streptococcus haemoliticus grup A, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneumonia.3 Secara global, faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah. ISPA sendiri berdasar hasil penelitian didapatkan prevalensinya tahun 2007 di Indonesia adalah 25,5% (rentang 17,5% - 41,4%). Dari data epidemiologi, faringitis menyerang semua ras dan jenis kelamin, lebih sering menyerang anak-anak dibanding orang dewasa khususnya viral faringitis, etiologi viral lebih banyak terjadi dibanding bakteri.1,2,3,4 Disebutkan sebelumnya bahwa penyebab faringitis sebagian besar adalah virus, namun dalam keseharian, para praktisi medis di Indonesia kebanyakan memberikan antibiotik pada pasien yang datang dengan gejala faringitis. Disini kita sebagai dokter bisa saja melakukan tindakan yang tidak ada gunanya karena prinsip penyakit dengan etiologi virus adalah self limiting disease dan terapi yang diperlukan hanya istirahat dan peningkatan daya tahan tubuh saja, bila perlu diberikan terapi simtomatik, tidak diperlukan antibiotik. Tujuan penulisan referat ini adalah agar para praktisi medis, khususnya penulis dan rekan mempunyai pengetahuan yang cukup memadai dalam menghadapi kasus ISPA, namun dikarenakan ISPA melibatkan banyak organ, untuk referat kali ini penulis mencoba untuk membahas hanya bagian faringitis saja. Oleh karena itu dalam referat ini akan dikemukakan upaya diagnosis faringitis apakah faringitis yang dihadapi disebabkan oleh virus atau bakteri dan juga agar terapis dapat memberikan terapi yang sesuai kepada pasien tanpa melakukan hal yang merugikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat menerima kritik, saran, dan kontribusi konstruktif dari pembaca.

BAB IIPEMBAHASAN

II.1. ANATOMI FARINGII.1.1Lokasi dan Deskripsi FaringFaring merupakan ruang utama traktus respiratorius dan traktus digestivus, terletak di belakang cavum nasi, mulut dan laring. Bentuknya mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah kranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai oesophagus setinggi vertebra cervicalis VI. Faring mempunyai dinding musculomembranosa yang tidak sempurna di bagian depan. Disini, jaringan musculomembranosa diganti oleh apertura nasalis posterior, isthmus faucium (muara ke dalam rongga mulut), dan aditus larynges.6

Gambar 2.1 Pharynx 7Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa 14 cm, dibentuk oleh selaput lender, fascia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fascia bukofaringeal. Dinding bagian samping dan belakang terdiri dari otot, karenanya ruangan dapat melebar (dilatasi) atau menutup bila otot berkontraksi.

Berdasarkan letaknya, faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring). Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari nasofaring adalah : Batas atas : basis cranii Batas bawah: palatum mole Batas depan: rongga hidung Batas belakang : vertebra servicalisNasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa stuktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong Ranthke invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana, foramen jugulare yang dilalui oleh N.Glossopharingeus, N.Vagus, dan N.Asesorius. Nasofaring tidak dapat tertutup sama sekali walaupun ukurannya dapat berubah-ubah. Melalui aposisi palatum mole dan dinding belakang faring, nasofaring dapat dipisahkan secara sempurna dari orofaring, gerakan ini terjadi sewaktu menelan, sehingga dalam keadaan normal tidak mungkin bahan makanan masuk ke dalam nasofaring.Orofaring disebut juga mesofaring karena terletak diantara nasofaring dan laringofaring. Batas-batas orofaring : Batas atas: palatum mole Batas bawah: tepi atas epiglottis Batas depan: rongga mulut Batas belakang: vertebra cervicalisStruktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil, arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum..Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian erbawah dari faring dengan batas-batas : Batas atas: epiglottis Batas depan: kartilago krikoidea Batas depan: laring Batas belakang: vertebra servicalis.II.1.2Histologi FaringEpitel yang membatasi nasofaring merupakan epitel bertingkat silindris bersilia atau epitel berlapis gepeng yang terdapat pada daerah yang mengalami pergesekan yaitu tepi belakang palatum mole dan dinding belakang faring tempat kedua permukaan tersebut mengalami kontak langsung sewaktu menelan. Daerah-daerah lainnya mempunyai jenis epitel seperti saluran napas disertai dengan sel goblet. Lamina propria di daerah ini mengandung banyak jaringan elastin, terutama di bagian luar yang berhubungan dengan otot rangka di faring. Suatu submukosa hanya terdapat di bagian lateral nasofaring. Di dalam lamina propria terdapat kelenjar, terutama kelenjar mukosa. Namun dapat pula dijumpai kelenjar serosa dan kelenjar campuran. Jaringan limfatik banyak dijumpai di seluruh bagian faring dan folikel-folikel limfatik yang sebenarnya terdapat di bagian belakang nasofaring (adenoid atau tonsila faringeal), di bagian lateral pada masing-masing sisi tempat peralihan rongga mulut dan orofaring (tonsila palatina) dan pada akar lidah (tonsila lingua). Kumpulan jaringan limfoid di sebelah lateral bagian nasofaring di sekitar muara saluran faringotimpani (Eustachii) seringkali cukup besar hingga mendapat sebutan tonsila tuba.

II.1.3Otot-otot FaringOtot-otot pharynx terdiri atas m.constrictor pharyng superior, medius dan inferior, yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar, dan m.stylopharyngeus serta m.salphingopharyngeus yang serabut-serabutnya berjalan dengan arah hampir longitudinal.Kontraksi otot-otot konstriktor secara berturut-turut mendorong bolus ke bawah masuk dalam oesophagus. Serabut-serabut paling bawah m.constrictor pharyng inferior kadang-kadang disebut m.cricopharyngeus. Otot ini diyakini melakukan efek sphincter pada ujung bawah faring, yang mencegah masuknya udara ke dalam oesophagus selama gerakan menelan.

Gambar 2.2 Otot Pharynx

Gambar 2.3 Otot-otot pharynx (tampak belakang)

II.1.4Struktur dalam FaringSeperti yang telah dipaparkan di atas, faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Sepertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernapasan dari faring dan tidak dapat bergerak, kecuali palatum mole bagian bawah. Bagian tengah faring, disebut orofaring, meluas dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglottis. Pada bagian ini termasuk tonsila palatine dengan arkusnya dan tonsila lingualis yang terletak pada dasar lidah. Bagian bawah faring dikenal dengan laringofaring atau hipofaring, menunjukan daerah jalan napas bagian atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.8

II.1.4.1 NasofaringNasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum mole. Bila palatum mole diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.Atap nasofaring dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis, terdapat di dalam submukosa daerah ini. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasofaring di antara pinggir bebas palatum mole dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum mole dan tertariknya dinding posterior faring ke depan. Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke pharynx. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. M.salphingopharyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk lipatan vertikal pada membrana mukosa yang disebut plica salphingopharyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.

II.1.4.2 OrofaringOrofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum mole sampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.Atap orofaring dibentuk oleh permukaan bawah palatum mole dan isthmus pharyngeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan bawah palatum mole. Dasar orofaring dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertical) dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk iregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae. Membran mukosa melipat dari lidah menuju epiglottis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glossoepiglottica mediana, dan dua plica glossoepiglottica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glossoepiglottica mediana disebut vallecula.Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring (isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding posterior orofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga.Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya. Arcus palatoglossus adalah lipatan mukosa yang menutupi m.palatoglossus yang terdapat di bawahnya. Celah di antara kedua arcus palatoglossus merupakan batas antara rongga mulut dan orofaring dan disebut isthmus faucium.Arcus palatopharyngeus adalah lipatan mukosa pada dinding lateral orofaring, di belakang arcus palatoglossus. Fossa tonsilaris adalah sebuah resesus berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring di antara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus di belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh mukosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Pada permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk kripta tonsilaris. Permukaan lateral tonsil palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa yang disebut kapsula. Tonsila mencapai ukuran terbesarnya pada masa anak-anak, tetapi sesudah pubertas akan mengecil dengan jelas.Batas anterior dari tonsila palatina adalah arcus palatoglossus. Di posterior terdapat arcus palatopharyngeus. Pada superior terdapat palatum mole, disini tonsila palatina dilanjutkan oleh jaringan limfoid di permukaan bawah palatum mole. Di inferior dari tonsila palatina terdapat sepertiga posterior lidah. Di sebelah medial dari tonsila palatina terdapat orofaring. Dan batas lateral tonsila palatina adalah kapsula yang dipisahkan dari m.constrictor pharyngis superior oleh jaringan alveolar jarang.Pendarahan arteri yang mendarahi tonsila adalah a.tonsilaris, sebuah cabang dari a.facialis. Sedangkan aliran vena-vena menembus m.constrictor pharyngis superior dan bergabung dengan v.palatina externa, v.pharyngealis, atau v.facialis. Pada aliran limfe, pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus nodus jugulodiGABHStricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.8

II.1.4.3 LaringofaringLaringofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior laring, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilago cricoidea. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior, dan lateral. Dinding anterior laringofaring dibentuk oleh aditus laryngis dan mukosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dan dinding posterior laringofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis III, IV, V, dan VI. Sedangkan dinding lateral laringofaring disokong oleh cartilago thyroidea dan membrane thyroidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membran, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang dari dorsum linguae menuju oesophagus. Fossa piriformis dibatasi di medial oleh plica aryepiglottica dan di lateral oleh lamina cartilago thyroidea dan membrane thyroidea.8

II.1.5 Persarafan faringTerdiri dari persarafan motorik dan sensorik. Persarafan motorik berasal dari pars cranialis nervus accessories, yang berjalan melalui cabang nervus vagus menuju ke plexus pharyngeus, dan mempersarafi semua otot faring, kecuali m.stylopharyngeus yang dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus.Persarafan sensorik mukosa nasofaring terutama berasal dari nervus maxillaris. Membrana mukosa orofaring terutama dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus. Membrana mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh nervus ramus laryngeus internus nervus vagus.6

Gambar 2.5 Persarafan faring.8II.1.6 Pendarahan faringSuplai arteri faring berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea ascendens, arteri palatine ascendens, arteri facialis, arteri maxillaries, dan arteri lingualis.Sedangkan aliran vena bermuara ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke vena jugularis interna.6

Gambar 2.6 Arteries of pharyngeal regions.II.1.7 Aliran Limfatik FaringAliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikalis profunda superior. Saluran limfa media mengalirkan ke kelenjar getah bening jugulo-diGABHStrik dan kelenjar servikalis profunda superior, sedangkan saluran limfa inferior mengalirkan ke kelenjar getah bening servikalis profunda inferior.1,6

II.2FISIOLOGI FARINGFungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi.II.2.1 Proses PernafasanFaring adalah bagian dari sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan. Hal ini merupakan jalan dari udara dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring. Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.

Gambar 2.7 Sistem Respirasi pada Manusia.

II.2.2Proses MenelanProses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan setiap organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam proses menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 saraf cranial, 4 saraf servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan. Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke dalam lambung. Secara klinis terjadinya gangguan pada deglutasi disebut disfagia yaitu terjadi kegagalan memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke lambung.Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal dan fase esophageal.Fase Oral Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari. Pada fase oral ini perpindahan bolus dari ronggal mulut ke faring segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring.Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas akibat kontraksi muskulus palato faringeus (N. IX, N.X dan N.XII).Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf karanial N.V2 dan N.V.3 sebagai serabut afferen (sensorik) dan N.V, N.VII, N.IX, N.X, N.XI, N.XII sebagai serabut efferen (motorik).

ORGANAFFEREN (sensorik)EFFEREN (motorik)

MandibulaBibirMulut & pipiLidah

N. V.2 (maksilaris)N. V.2 (maksilaris)N.V.2 (maksilaris)N.V.3 (lingualis)

N.V : muskulus temporalis, muskulus maseter, muskulus pterigoid.N. VII : muskulus orbikularis oris, muskulus zigomatikum, muskulus levator labius oris, muskulus depresor labius oris, muskulus levator anguli oris, muskulus depressor anguli oris.N.VII: muskulus mentalis, muskulus risorius, muskulus businator.N. XII : muskulus hioglosus, muskulus mioglosus.

Tabel 2.1 Peranan saraf kranial pada pembentukan bolus fase oral

Fase FaringealFase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini terjadi :M. tensor veli palatini (N.V) dan m. levator veli palatini (N.IX, N.X dan N.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula tertarik k eatas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring. M. genioglosus (N.XII, N.servikal I), m. ariepiglotika (N.IX, N.X), m. krikoaritenoid lateralis (N.IX, N.X) berkontraksi menyebabkan aduksi pita suara sehingga laring tertutup. Laring dan tulang hioid terangkat ke atas ke arah dasar lidah karena kontraksi m. stilohioid, (N.VII), m. geniohioid, m. tirohioid (N.XII dan n.servikal I). Kontraksi m. konstriktor faring superior (N.IX, N.X, N.XI), m. konstriktor faring intermedius (N.IX, N.X, N.XI) dan m. konstriktor faring inferior (N.X, N.XI) menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti oleh relaksasi m. krikofaring (N.X).Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun ke bawah dan masuk ke dalam servikal esofagus. Proses ini hanya berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama bila menelan makanan padat.Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial N.V.2, N.V.3 dan N.X sebagai serabut afferen dan N.V, N.VII, N.IX, N.X, N.XI dan N.XII sebagai serabut efferen. Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang peristaltik dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu pharyngeal transit juga bertambah sesuai dengan umur.Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik. Mc.Connel dalam penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa yang bekerja yaitu : oropharyngeal propulsion pomp (OOP) adalah tekanan yang ditimbulkan tenaga lidah 2/3 depan yang mendorong bolus ke orofaring yang disertai tenaga kontraksi dari muskulus konstriktor faring. Hypopharyngeal suction pomp (HSP) adalah merupakan tekanan negatif akibat terangkatnya laring ke atas menjauhi dinding posterior faring, sehingga bolus terisap ke arah sfingter esofagus bagian atas. Sfingter esofagus bagian atas dibentuk oleh muskulus konstriktor faring inferior, muskulus krikofaring dan serabut otot longitudinal esofagus bagian superior.Fase EsofagealPada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik. Fase ini terdiri dari beberapa tahapan :1. Dimulai dengan terjadinya relaksasi m. krikofaring. Gelombang peristaltik primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan diikuti oleh gelombang peristaltik kedua yang merupakan respons akibat regangan dinding esofagus.2. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya secara teratur menuju ke distal esofagus.Cairan biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun karena gerak peristaltik dan berlangsung selama 8-20 detik. Esophageal transit time bertambah pada lansia akibat dari berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang gelombang peristaltik primer.

Peranan Sistem Saraf Dalam Proses MenelanProses menelan diatur oleh sistem saraf yang dibagi dalam 3 tahap :Tahap afferen/sensoris dimana begitu ada makanan masuk ke dalam orofaring langsung akan berespons dan menyampaikan perintah. Perintah diterima oleh pusat penelanan di medula oblongata/batang otak (kedua sisi) pada trunkus solitarius di bagian dorsal (berfungsi utuk mengatur fungsi motorik proses menelan) dan nukleus ambigius yg berfungsi mengatur distribusi impuls motorik ke motor neuron otot yg berhubungan dgn proses menelan.13

Gambar 2.8 Proses menelan.

a. Menggambarkan awal dari refleks menelan. Ini menunjukkan ujung lidah bersentuhan dengan anterior palatum. Bolus didorong ke belakang dalam alur antara lidah dan langit-langit. Langit-langit lunak sedang ditarik ke atas. b. Bolus telah mencapai vallecula. Tulang Hyoid dan laring bergerak ke atas dan ke depan. Epiglottis bergerak ke bawah. Gelombang peristaltik pada dinding faring posterior bergerak ke bawah. c. Palatum durum ditarik ke bawah oleh kontraksi otot faringopalatine, dan oleh tekanan menurun dari gelombang kontraksi. Otot krikofaringeus membuka mengizinkan masuknya bolus ke kerongkongan. Tetesan makanan juga memasuki pembukaan laring tapi dicegah dengan penutupan ventrikel fold. d. Gelombang peristaltik telah mencapai vallecula dan menekan keluar bolus. Bolus telah melewati sfingter atas ke kerongkongan. e. Peristaltik telah melewati fairng. Epiglottis mulai ke atas kembali setelah tulang hyoid dan laring turun. Komunikasi dengan nasofaring telah didirikan kembali. f. Semua struktur faring telah kembali ke posisi istirahat.

II.2.3 Proses Bicara

Gambar 2.10 Proses bicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m. salpingofaring, m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m. levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini di isi oleh tonjolan passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m. salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m. konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

II.3 DEFINISI FARINGITISFaringitis adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi.1Faringitis adalah infeksi atau iritasi yang terjadi di faring dan / atau tonsil.2Faringitis adalah peradangan pada mukosa dan struktur yang menyusun tenggorokan.9II.4. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI FARINGITISBanyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-60%), bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling banyak terindefintikasi dengan Rhinovirus (20%) dan Coronavirus (5%). Selain itu ada juga Influenza virus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxasckie virus, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr virus (EBV).1Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya disebabkan oleh grup S.pyogens dengan 5-15% penyebab faringitis pad orang dewasa. Group A Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, namun jarang ditemukan pada anak berusia < 3 tahun.1 Pada pasien dewasa GABHS terlibat dalam 10% kasus.12 Bakteri penyebab faringitis lainnya (< 1 %) antara lain Neissseria gonorrhoe, Corynebacterium diphteriae, Corynebacterium ulcerans, Yersini enterolitica, Mycobacterium tuberculosis, dan Treponema pallidum.1Berdasarkan penelitian yang dilakukan Terrance P. Murphy, et al, faringitis sebagian besar diakibatkan oleh viral sebagai patogen, dengan 90% pada dewasa dan 70% pada anak. GABHS lebih umum menyebabkan faringitis pada anak (15% - 30%) daripada dewasa (5% - 10%).11 Penelitian yang dilakukan di Indonesia dalam menemukan etiologi ISPA didapatkan penyebab bakterial adalah Staphilococcus albus 10.7%, Streptococcus alpha 10,7%, Staphilococcus aureus 3,6%, dan Pseudo diphteri 3,6%. Dari hasil isolasi virus dan tes serologi ditemukan virus campak (paramyxovirus) 14,5%, Myxovirus 7,1%, dan influenza A 0,04%.12Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, ventilasi rumah yang kurang baik untuk mengurangi polusi asap dapur, terpapar asap rokok, alergi.12

Table 1. Etiologi Faringitis Akut10

Table 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dari Penderita ISPA Berat yang DIrawat di RS Ciptomangunkusumo Menurut Asal Spesimen12II.5. KLASIFIKASI FARINGITISBerdasarkan perjalanan penyakitnya, faringitis dibagi menjadi faringitis akut dan faringitis kronik. Masing-masing memiliki etiologi dan faktor predisposisi sendiri dalam patogenesisnya.1

II.5.1. Faringitis AkutII.5.1.1. Faringitis viralRinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, dan sulit menelan menjadi gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.

Gambar 2.11. Viral pharyngitisVirus influenza, coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. EBV menyebabkan faringitis yang disertai eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh terutama retrocervical dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, dan pasien tampak lemah.

II.5.1.2. Faringitis bakterial

Gambar 2.12 Streptococcal pharyngitisNyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.

II.5.1.3. Faringitis fungal

Gambar 2.11. Fungal pharyngitisPasien dengan faringitis fungal akan datang dengan keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya tampak hiperemis. Organisme penyebab biasanya adalah Candida sp.

II.5.2. Faringitis KronikTerdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh roko, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lainnya sebagai penyebab faringitis kronisk adalah pasien yang bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.

II.5.2.1. Faringitis Kronik HiperplastikPasien mengeluh mula-mula tenggorok kering, gatal, dan akhirnya batuk dengan sekret. Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan akan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular.1

II.5.2.2. Faringitis Kronik AtrofiFaringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dnegan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.1

II.6. PATOFISIOLOGI FARINGITISPenularan terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radangan dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi meningkat. Eksudat awalnya serosa tetapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan melekat pada dinding faring. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, dan abu-abu terdapat di dalam folikel jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior.11 Bakteri Streptococcus pyogens memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika bakteri hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin. Toksin menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan kemerahan pada faring. Periode inkubasi hingga gejala muncul yaitu sekitar 24-72 jam. Bakteri ini memiliku protein M, faktor virulensi yang cukup kuat karena dapat mencegah fagositosis bakteri, dan terdapat pula kapsul asam hialuronat yang memperkuat kemampuan bakteri untuk menginvasi jaringan. Beberapa strain dari S.pyogens menghasilkan eksotoksin eritrogenik (multiple exotoxins dan 2 hemolisin Streptolisin S dan Streptolisin O) yang menyebabkan bercak kemerahan pada kulit leher, dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh toksin.14

Gambar 2.12. Patofisiologi

II.7. GEJALA KLINIS FARINGITISGejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti demam, anorexia, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum mole hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan, dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan leukosit.1II.7. DIAGNOSISUntuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung, dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.Menegakkan diagnosis dengan mengetahui etiologi penyakit tersebut akan menghasilkan terapi yang tepat. Dikarenakan sebagian besar etiologi faringitis adalah virus dan bakteri dan kedua etiologi ini berbeda tatalaksanya, untuk itu perlu diperhatikan gejala yang khas terjadi pada kedua hal tersebut, apakah kasus yang kita hadapi adalah viral pharyngitis atau bacterial pharyngitis. Berikut perbedaan gejala dari keduanya :10,11,14,15,24,25

Faringitis VirusFaringitis Bakteri

90% pada dewasa dan 70% pada anakSering pada usia 5-15 tahun dan jarang pada < 3 tahun

Batuk dan coryzaTidak terdapat batuk (khususnya GABHS)

Inflamasi konjungtiva sklera (pink eye)Scarlet fever rash (timbul 24-48 jam setelah gejala lain muncul, terkadang muncul sebagai gejala pertama)

Suara serak (hoarseness)Nyeri menelan

Biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan, tetapi ulserasi faring (+) berupa lesi papulovesicular abu-abu keputihan dengan dasar eritem lalu menjadi ulcer Sering ditemukan eksudat purulen di tenggorokan, petechiae pada palatum, tonsil membesar, red tonsils (+/-)

Demam ringan atau tanpa demamDemam ringan sampai sedang (> 38oC)

Jumlah sel darah putih normal atau agak meningkatJumlah sel darah putih meningkat ringan sampai sedang

Kelenjar getah bening normal atau sedikit membesarPembengkakan ringan sampai sedang pada KGB (anterior cervical nodes)

Tes apus tenggorokan memberikan hasil negatifTes apus tenggorokan memberikan hasil positif untuk strep throat

Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteriBakteri tumbuh pada biakan di laboratorium

DiareAbdominal pain, mual dan/atau muntah

Kecurigaan khususnya faringitis akibat GABHS dapat menggunakan patokan Kriteria Centor15 :

Sumber lain menggunakan kriteria Centor dengan hasil bila :Total skor 0-1 tidak mengalami faringitis akibat infeksi GABHSTotal skor 1-3 kemungkinan 40% terinfeksi GABHSTotal skor 4 kemungkinan 50% terinfeksi GABHS.13Dengan adanya kemungkinan terinfeksi GABHS, maka menurut Guidelines dari Infetious Disease Society of America (IDSA), American Academy of Pediatrics, dan American Heart Association, perlu untuk dilakukan tes GABHS yakni usap tenggorok untuk membuktikan mikroorganisme tersebut.16,17,18 Namun menurut Center Disease Control and Prevention (CDC), American Academyy of Family Physicians (AAFP), dan American Colege of Physicians- American Society of Internal Medicine (ACP-ASIM) merekomendasikan penggunaan alogaritma klinis tanpa konfirmasi mikrobiologik sebagai pendekatan diagnosis faringitis GABHS yang cukup (pada dewasa).

Gambar 2.13 An Approach to the Patient with Pharyngitis11

II.9. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang biasanya digunakan apabila ada kecurigaan faringitis bakterial / GABHS. Selain karena influenza dan new-onset HIV, viral pharyingitis hanya membutuhkan perawatan suportif dan tidak memerlukan tes/pemeriksaan penunjang lebih lanjut.14 Pemeriksaan yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dan terapi yang tepat antara lain : Pemeriksaan darah lengkapDapat ditemukan adanya peningkatan leukosit.

Kultur bakteri dengan swab tenggorok Standar diagnosis untuk faringitis GABHS adalah dengan kultur swab tenggorok. Terkadangan dengan teknik sampling saliva dan mukosa bukal yang benar untuk dilakukan kultur masih menghasilkan hasil yang negatif.19 Kultur tenggorok 90 95% sensitif, dengan 5-10% false negative oleh karena itu perlu dilakukan kultur kembali pada pasien yang sebelumnya sudah dikultur dengan hasil negatif, namun gejala klinisnya masih belum teratasi saat kembali berobat.20 Sample diambil dengan swab faring dan regio peritonsil, dibiakkan pada plat agar darah domba. Hasil membutuhkan waktu 24-72 jam.11 GABHS rapid antigen detection test (RADTs)Kekurangan dari kultur spesimen swab tenggorok adalah keterlambatan waktu dalam memperoleh hasil, oleh karena itu dikembangkan pemeriksaan RASTs yang juga menggunakan spesimen swab tenggorok ini walaupun biayanya lebih mahal , namun hasil dapat diperoleh lebih cepat. Pemeriksaan ini menggunakan enzim atau ekstraksi asam dari swab tenggorok. Sensitifitas 80-90% spesifisitas 95%. 21 Enzyme linked immunoabdorbent assay (ELISA)Sensitifitas antara 76-97% dan spesifisitas >95%.22,23 II.9. PENATALAKSANAANPada viral pharyngitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup, dan berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu, seperti paracetamol atau ibuprofen, untuk membantu mengurangi rasaa tidak nyaman di tenggorokan. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simplex dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4 6 kali pemberian/hari.1 Antibiotik tidak diindikasikan untuk faringitis jenis ini. Penggunaan antiseptik / antibacterial spray atau kumur tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan resistensi.15Pada faringitis akibat bakteri idealnya tunda pengobatan sambil menunggu konfirmasi kultur, namun secara praktik terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus grup A berdasarkan kriteria Centor, maka pengobatan antibiotik secara empiris dapat diterapkan. Diberikan antibiotik yaitu Penicilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoxicilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6 10 hari atau eritromisisn 4x500 mg/hari. Antibiotik yang diberikan setelah ada konfirmasi kultur biasanya akan mengurangi keparahan gejala, mengurangi gejala satu per satu, mengurangi resiko transmisi (setelah 24 jam terapi). Untuk GABHS, pemberian antibiotik dianjurkan selama 10 hari untuk mencegah terjadinya rheumatic fever akut.15

Pilihan alternatif bila alergi penicillin

14

11Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan menggunakan kaustik faring dengan zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electrocauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur, jika diberikan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya ditambahkan dengan obat kumur dan pasien diminta untuk menjaga kebersihan mulut.1

II.10. KOMPLIKASIKomplikasi umum faringitis terutama timbul pada faringitis bakterial, dengan komplikasi berupa otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia. Kekambuhan biasanya terjadi pada pasien dengan pengobatan yang tidak tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru. Pada faringitis akibat GABHS, kompikasi dapat berupa demam rheumatic (3 5 minggu setelah ISPA), poststreptococcal glomerulonefritis, toxic shock syndrom, dan komplikasi supuratif seperti abses peritonsil (Quincy), absen retrofaring, cervical lymphadenitis, mastoiditis, sinusitis, otitis media, endokarditis, bakteremia, dan meningitis.15 Pasien dengan abses peritonsil dan parafaring hanya terjadi < 1% dari pasien menjalani pengobatan dengan antibiotik, biasanya gejala semakin memburuk dan timbul hot potato voice, deviasi uvula sampai palatum, dan tampak masa peritonsil yang berfluktuasi. Poststreptoccocal glomerulonefritis diduga disebabkan oleh reaksi antara circulating antibody complexes yang mengikat laminin, kolagen tipe IV yang berada di ginjal. Pada pasien kemudian akan ditemukan hematuria, edema, dan peningkatan ASTO. Sampai saat ini belum ada bukti antibiotik yang dapat mencegah komplikasi ini. Rheumatic fever terjadi dalam < 1 dari 100.000 kasus GABHS faringitis di US dan negara berkembang. Diduga terjadi karena adanya reaksi silang antara antibodi antistreptococcal dan antigen sarkolema otot dan ginjal sehingga menimbulkan kerusakan pada otot jantung dan katup (terutama mitral), jaringan ikat, sendi, dan susunan saraf pusat. Rheumatic fever ditegakkan dengan Kriteria Jones. 24,25,26

Komplikasi infeksi mononukleus meliputi ruptur lien, hepatitis, Guillain Barre Syndrome, ensefalitis, anemia hemolitik, myocarditis, dan Ca nasofaring.

II.11. PROGNOSISUmumnya prognosis pasien dengan faringits adalah baik. Pasien dengan faringitis biasanya sembuh dalam waktu 1 2 minggu.1

BAB IVKESIMPULAN

Faringitis adalah peradangan pada mukosa dinding faring dan / atau tonsil dan struktur yang menyusun tenggorokan yang dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi.1,2,9 Faringitis yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah viral pharyngitis dengan penyebab terbanyak adalah respiratory viruses. Penyebab lainnya yang perlu diwaspadai adalah Streptoccocus haemoliticus Group A karena dapat menyebabkan komplikasi multiorgan. Etiologi faringitis lainnya antara lain Coronavirus, Influenza virus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxasckie virus, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus (EBV), Neissseria gonorrhoe, Corynebacterium diphteriae, Corynebacterium ulcerans, Yersini enterolitica, Mycobacterium tuberculosis, dan Treponema pallidum.1,11,12 Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, ventilasi rumah yang kurang baik untuk mengurangi polusi asap dapur, terpapar asap rokok, alergi.12Dalam menegakkan diagnosis faringitis, untuk memantapkan terapi apa yang akan diberikan, perlu membedakan gejala klinis yang ditampilkan khas untuk viral pharyngitis atau bacterial pharyngitis. Ciri viral pharyngitis antara lain terjadi 90% pada dewasa dan 70% pada anak, terdapat batuk dan coryza, inflamasi konjungtiva sklera (pink eye), suara serak (hoarseness), biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan, tetapi ulserasi faring (+) berupa lesi papulovesicular abu-abu keputihan dengan dasar eritem lalu menjadi ulcer, terdapat demam ringan atau tanpa demam, jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat, kelenjar getah bening normal atau sedikit membesar, tes apus tenggorokan memberikan hasil negatif, pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteri, dan bisa terdapat diare. Sedangkan bacterial pharyngitis sering terjadi pada usia 5-15 tahun dan jarang pada < 3 tahun, tidak terdapat batuk (GABHS), scarlet fever rash (timbul 24-48 jam setelah gejala lain muncul, terkadang muncul sebagai gejala pertama), nyeri menelan (+), sering ditemukan eksudat purulen di tenggorokan, petechiae pada palatum, tonsil membesar, red tonsils (+/-), demam ringan sampai sedang (> 38oC), jumlah sel darah putih meningkat ringan sampai sedang, pembengkakan ringan sampai sedang pada KGB (anterior cervical nodes), tes apus tenggorokan memberikan hasil positif untuk strep throat, bakteri tumbuh pada biakan di laboratorium, dan bisa ditemukan adanya abdominal pain, mual dan/atau muntah. 10,11,14,15,24,25 Untuk kecurigaan terhadap faringitis GABHS, dapat menggunakan kriteria Centor.15 Apabila didapatkan kecurigaan adanya infeksi GABHS, maka diperlukan untuk melakukan pemeriksaan penunjang lanjutan untuk memastikan dan fokus mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa kultur swab tenggorok, RADTs, dan ELISA. Namun dikarenakan pemeriksaan penunjang ini membutuhkan waktu dan biaya yang banyak, maka apabila kriteria Centor terpenuhi, maka penatalaksanaan untuk GABHS pharyngitis boleh diterapkan. Pengobatan viral pharyngitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup, dan berkumur dengan air yang hangat, analgetika jika perlu, penggunaan antiseptik / antibacterial spray atau kumur tidak direkomendasikan.15 Untuk bacterial pharyngitis, obat pilihan adalah penicillin V, cefadroxil, dan amoxicillin. Untuk alergi penicillin dapat diberikan klindamisin, amoxiclav, dan eritromisin.5,9,11,13,14,15,16,18,22,24

DAFTAR PUSTAKA1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p.217-9.

2. Acerra JR. Ed: Dyne PL. Pharyngitis. Medscape. Updated on April 25th 2013. Availabe at: http://emedicine.medscape.com/article/764304-overview. Accessed on: February 6th 2014.

3. Naghipour M,Cuevas LE,Bakhshinejad T,Mansour-Ghanaei F,Noursalehi S,Alavy A,Dove W,Hart CA.J Trop Pediatr.2007 Jun;53(3):179-84. Epub 2007 Feb 7. Contribution of viruses, Chlamydia spp. and Mycoplasma pneumoniae toacuterespiratoryinfectionsin Iranian children. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17287243. Accesed on February 2nd 2014.

4. Esposito S,Blasi F,Bosis S,Droghetti R,Faelli N,Lastrico A,et al. 2004 Jul;53(Pt 7):645-51. J Med Microbiol.Aetiology of acute pharyngitis: the role of atypical bacteria. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15184536. Accesed on February 2nd 2014.

5. Chi H,Chiu NC,Li WC,Huang FY. 2003 Mar;36(1):26-30. J Microbiol Immunol Infect. Etiology of acutepharyngitis in children: is antibiotic therapy needed?. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12741729. Accesed on February, 2nd 2014

6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar THT. Penerbit buku kedokteran EGC.Jakarta. 1997.

7. Head and neck cancer. Remedys health communities. Updated September 7th 2011. Available at: www.oncologychannel.com/headneck/anatomy.shtml. Accessed on Feb 3rd 2014.

8. Snell, Richard. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta : 2000

9. Gerber MA. Diagnosis and treatment of pharyngitis in children. Department of Pediatrics, University of Cincinnati College of Medicine.

10. Bluestone CD, Sylvan ES, Kenna MA. Pediatric Otolaringology, Volume Two, 3rd Edition. WB Saunders Company, Philadelphia, USA. Elsevier Inc. 2005.

11. Murphy TP, Harrison RV, Hammoud AJ, Yen G, Klein KC. Pharyngitis. Faculty group practice quality management program university of Michigan. Taubman Medical Library. May, 2013.

12. Lubis I, Majanis S, Mulyono W, Djoko Y, Noenoeng R. Etiologi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan faktor lingkungan. Bul penelit kesehat 18 (2) 1990.

13. Centers for Disease Control and Prevention. Adult appropriate antibiotic use summary: physician information sheet (adults). Updated June 25 June 2012. Available at: http://www.cdc.gov/getsmart/campaign-materials/info-sheets/adult-appropsummary.html. Accessed on: February 5th 2014.

14. Wilson A. Pharyngitis. In: Skolnik NS. Essential infectious disease topics for primary care. 2008. Humana Press.p.16.

15. Alberta medical association. Guideline for the diagnosis and management of acute pharyngitis. Updated 2008.

16. Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM, Kaplan EL, Schwartz RH. Practice guidelines for the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis. Clin Infect Dis 2002;35:113 25.

17. American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases. Red Book: report of the Committee on Infectious Diseases. 26th edition. Elk Grove Village (IL)7 American Academy of Pediatrics; 2003.

18. Snow V, Mottur-Pilson C, Cooper RJ, Hoffman JR. Principles of appropriate antibiotic use of acute pharyngitis in adults. Ann Intern Med 2001;134:5068.

19. Brien J, Bass J. Streptococcal pharyngitis: optimal site for throat culture. Clin Lab Observations, 1985; 106: 781-783.

20. Crawford G, Brancato F, Holmes K. Streptococcal pharyngitis: diagnosis by Gram stain. Annals of Internal Medicine, 1979; 90: 293-297.

21. Lieu TA, Fleisher GR, Schwartz JS. Clinical evaluation of a latex agglutination test for streptococcal pharyngitis: performance and impact on treatment rates. Pediatr Infect Dis J 1988;7:847 54.

22. Hayes CS, Williamson JR. Management of group A beta-hemolytic streptococcal pharyngitis. American Family Physician. 2001;63 (8):15571564.

23. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. American Family Physician. 2004;69(6):14651470.

24. Cooper RJ, Hoffman JR, Bartlett JG, et al. Principles of appropriate antibiotic use for acute pharyngitis in adults: background. Annals of Internal Medicine. 2001;134(6):509517.

25. Merrill B, Kelsberg G, Jankowski TA, Danis P. What is the most effective diagnostic evaluation of streptococcal pharyngitis? The Journal of Family Practice. 2004;53(9):734,737738, 740.

26. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. American Family Physician. 2004;69(6):14651470.23