[full] modul praktikum pengujian material 2015 (dt)

Upload: sergio

Post on 05-Oct-2015

160 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Buat yang butuh

TRANSCRIPT

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 0

    MODUL

    PRAKTIKUM

    Praktikum Pengujian Material :

    Destructive Testing (DT)

    Laboratorium Metalurgi Fisik

    DTMM FTUI 2015

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 1

    BAB 1

    PENGUJIAN TARIK

    1.1. Tujuan Praktikum

    1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis material (besi tuang,

    baja, kuningan dan alumunium dan polimer).

    2. Untuk membandingkan titik-titk luluh (yield) material tersebut.

    3. Untuk membandingkan tingkat keuletan material tersebut melalui % elongasi dan %

    pengurangan luas.

    4. Untuk membandingkan fenomena necking pada material tersebut.

    5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari material tersebut.

    6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisis kurva tegangan regangan,

    baik kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa jenis logam.

    7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractografi) logam-logam tersebut dan

    menganalisanya berdasarkan sifat-sifat mekanis yang telah dicapai.

    1.2. Pengantar

    Tujuan dari dilakukannya suatu pengujian mekanis adalah untuk menentukan respon

    material dari suatu konstruksi, komponen atau rakitan fabrikasi pada saat dikenakan beban

    atau deformasi dari luar. Dalam hal ini akan ditentukan seberapa jauh perilaku inheren (sifat

    yang lebih merupakan ketergantungan atas fenomena atomik maupun mikroskopis dan bukan

    dipengaruhi bentuk atau ukuran benda uji) dari material terhadap pembebanan tersebut. Di

    antara semua pungujian mekanis tersebut, pengujian tarik merupakan jenis pengujian yang

    paling banyak digunakan karena mampu memberikan informasi representatif dari perilaku

    mekanis material.

    1.3. Prinsip Pengujian

    Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban

    kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan

    panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-

    regangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Data-data penting yang diharapkan

    didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik material dan karakteristik

    perpatahan.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 2

    1.4 Stress Strain Behaviour of Metals

    Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material (logam dan nonlogam) dapat

    memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut terhadap

    pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah:

    a. Yielding & Yield Strength

    Material memiliki kemampuan untuk terdefrmasi secara elastis dan plastis. Daerah

    elastis merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan

    proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan

    penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier = E (bandingkan

    dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m

    mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan).

    Pada daerah elastis, material akan kembali kepada bentuk semula bila tegangan luar

    dihilangkan. Hal ini dikarenakan energi potensial dari ikatan antar atom masih lebih tinggi

    dibandingkan dengan beban yang diterima (earlier stage of deformation), sehingga material

    mampu kembali ke bentuk semula ketika beban dilepaskan.

    Pada logam polycrystalline, mekanisme defirmasi dapat terjadi melalui slip atau

    twinning. Hal ini akan bergantug pada stacking fault energy inheren logam tersebut.

    Gambar 1.1. Permodelan Ikatan Kimia yang Mengalami Peregangan antara Atom A dan Atom B.

    Jika beban terus ditingkatkan dan melewati batas elastis, maka material akan

    mengalami memasuki daerah plastis (onset plasticity) dimana deformasi bersifat

    irreversible/permanent. Setiap material memiliki perilaku batas proporsionalitas yang

    berbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik susunan dan ikatan antar atom.

    Contohnya untuk ikatan logam, jika komponen repulsif dan attraktif dinyatakan dalam UA

    dan UB, maka total potensial energi ikatan antar atom tersebut dinyatakan dalam :

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 3

    (1.1)

    Dimana A dan B adalah konstanta dari masing-masing konstanta inheren material

    tersebut, r adalah jarak antar atom (angstrom), m dan n adalah konstanta jenis ikatan.

    Turunan pertama dari (1.1) akan menyatakan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk

    memecah ikatan secara permanen. Hal ini dinyatakan dalam :

    (1.2)

    Gambar 1.2. (a) Titik P Merupakan Batas Proporsional, (b) Representatif Titik Luluh pada Beberapa Jenis

    Baja (Fenomena Luder Band).

    Penentuan titik luluh dapat dilakukan dengan berbagai cara, berikut adalah beberapa

    cara yang digunakan menurut ASTM E8

    Upper Yield, cara ini merupakan cara yang paling sederhana. Penentuan titik luluh

    dilakukan dengan mengambil titik dimana peningkatan strain terjadi tanpa adanya

    peningkatan tegangan, yakni titik tertinggi sebelum kurva stress-strain cenderung

    menurun. Pada beberapa material seperti baja karbon akan terdapat upper dan

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 4

    lower yield point, untuk alasan safety yang diambil biasanya lower yield point

    sebagai titik luluh.

    Gambar 1.3 Penentuan Titik Luluh (UYS) dengan metode upper yield.

    Extension Undre Load (EUL) Yield Point. Tidak semua material memiliki upper

    dan yield point, metode EUL memberikan nilai beban spesifik pada regangan

    tertentu melalui alat yang dapat merekam dan menganalisis niliai regangan. Nilai

    EUL yield point dinyatakan beserta dengan regangannya, e.g : tegangan luluh =

    52.500 psi, EUL = 0,5%.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 5

    Gambar 1.4. Penentuan Nilai Tegangan Luluh EUL pada Tegangan R dan Regangan m.

    Offset Method, metode offset dilakukan dengan menarik garis dengan kemiringan

    yang sama terhadap modulus Young, penarikan dapa dilakukan pada nilai

    regangan tertentu (umumnya 0,002 0,005). Perpotongan antara garis offset dan

    kurva stress strain material kemudian menjadi titik luluh.

    Pada Beberapa jenis baja dan titanium, terdapat gejala dimana batas proporsional

    berada dalam serrated region yang umumnya kasar dan tidak beraturan. Gejala luluh ini

    dinamakan Luders Band (Yield Point Phenomenon). Interaksi antara dislokasi dan atom-atom

    tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield

    point) dan titik luluh atas (upper yield point) sebelum akhirnya deformasi kembali normal

    (ditandai dengan garis lurus pada kurva stress strain)

    Namun demikian, jika strain rate atau temperatur yang digunakan pada uji tarik tidak

    stabil, maka fenomena luder band dapat berlanjut menjadi Portevin-LeChatelier effect, yakni

    munculnya serrated region atau garis yang tidak rata pada kurva tegangan regangan pada

    kurva stress-strain. Hal ini juuga disebabkan oleh interaksi dislokasi dengan alloying element

    terlarut atau interstisi.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 6

    Gambar 1.5. Beberapa Tipe Efek Portevin-LeChatelier.

    Pada sampel yang diberikan beban kompresi melebihi batas elastisitasnya dan

    kemudian dihilangkan gaya kompresinya hingga menjadi gaya tarik, maka akan terlihat

    mechanical hysteresis loop dengan offset yang sama pada saat spesimen tersubyek gaya tarik

    dan kompresi. Hal ini dinamakan Bauschinger Effect

    Gambar 1.5. Contoh Mechanical Hysteresis Loop/ Bauschinger Effect.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 7

    Kalkulasi secara spesifik terhadap gaya-gaya multiaksial yang berkaitan dengan

    plastisitas dapat dilakukan dengan pendekatan sesuai dengan kriteria Von Misces (material

    design) atau kriteria Tresca (Manufacturing).

    b. Kekuatan Tarik Maksimum (Ultimate Tensile Strength)

    Merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum

    terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum uts ditentukan dari beban

    maksium Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.

    o

    maks

    UTSA

    F

    Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (kurva tegangan

    regangan) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang bersifat

    getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus tegangan

    perpatahan Dalam kaitannya dengan penggunaan struktural maupun dalam proses forming

    bahan, kekuatan maksimum adalah atas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

    c. Kekuatan Putus (breaking strength)

    Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus

    (Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk patahan yang bersifat ulet pada saat beban

    maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka terjadi

    mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi.

    Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara

    pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.

    d. Keuletan (ductility)

    Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan

    deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan, harus dimiliki

    oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending, stretching, drawing,

    hammering, cutting dan sebagainya. Secara umum dilakukan dengan tujuan sebagai :

    Untuk menunjukkan perpanjangan dimana suatu logam dapat berdeformasi tanpa

    terjadinya patah dalam suatu proses pembentukan logam, misal pengerolan dan ekstrusi

    Untuk memberi petunjuk umum mengenai kemampuan logam untuk berdeformasi

    secara plastis sebelum patah.

    Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi pengolahan.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 8

    Gambar 1.6. Perbandingan kurva uji tarik material ulet dan getas

    Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:

    Persentase perpanjangan (elongation)

    Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang

    awalnya.

    Elongasi, (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%

    dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.

    Persentase pengurangan penampang (Area reduction)

    Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan

    terhadap luas penampang awalnya.

    Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%

    dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

    e. Modulus Elastisitas (Modulus Young)

    Merupakan kemampuan material untuk menahan deformasi elastis, atau disebut juga

    kekakuan (stiffness) sebuah material. Semakin besar nilai modolus Young, makin sulit

    material mengalami deformasi elastis atau semakin kaku ketika dilakukan pembebanan.

    Modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang linier,

    diberikan oleh :

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 9

    E= / atau E= tan

    dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan. Selain

    itu, modulus elastisitas juga dapat dihitung melalui modulus geser dan poisson ratio dengan

    rumus :

    Tabel 1.1. Modulus Elastisitas, Modulus Geser dan Poisson Ratio dari Beberapa Material.

    f. Modulus Kelentingan (modulus of reselience)

    Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya

    kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area elastik

    diagram tegangan-regangan. Pada gambar di samping ditunjukkan oleh segitiga putus-putus.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 10

    Gambar 1.7. Daerah modulus resilience.

    g. Modulus Ketangguhan (modulus of toughness)

    Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya

    perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva

    tegangan regangan hasil pengujian tarik. Pertimbangan disain yang mengikutsertakan

    modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen yang mungkin

    mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus

    ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan

    berlebih,tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang rendah

    dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.

    Gambar 1.8. Kurva tegangan regangan.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 11

    h. Kurva tergangan rekayasa dan sesungguhnya

    Kurva tegangan-regangan rekayasa (engineering stress-strain) didasarkan atas

    dimensi awal (Ao dan lo) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-

    regangan seungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap

    saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlalu besar pada regangan yang kecil, tetapi

    menjadi signifikan pada rentang terjadinya pengerasan regangan (strain hardening), yaitu

    setelah titik luluh terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam

    daerah necking.

    Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara

    actual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada saat

    perhitungan tegangan =P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya luas

    area actual adalah selalu turun sehingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu menahan

    peningkatan tegangan karena =P/A. Sehingga notasi true stress & true strain dan

    hubungannya dengan engineering stress dan engineering strain dapat dituliskan sebagai :

    dan

    dibawah ini adalah grafik yang membandingkan antara kurva tegangan regangan rekayasa

    dan sesungguhnya.

    Gambar 1.9. Kurva perbandingan true dan engineering stress.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 12

    i. Damping Capacity

    Ketika logam diberikan pembebanan dan kemudian pembebanan dihilangkan, maka

    kurva tress strain akan memperlihatkan sebuah histeresis mekanikal (mechanical

    hysteresis) berupa sebuah perubahan jalur dari loop saat beban pada logam diberikan

    (loading) dan dilepaskan (unloading).

    Gambar 1.10. Mechanical Hyesteresis yang Dihasilkan pada saat Beban Diberikan (Loading) dan Dilepaskan

    (Unloading).

    Diskrepansi yang terjadi pada jalur loading dan unloading diakibatkan adanya

    energi yang hilang saat beban diberikan dan dilepaskan. Hal ini disebabkan oleh adanya

    friksi internal antar atom (internal friction) yang juga menyebabkan material terkait

    menjadi panas. Energi loss ini menjadi parameter kemampuan material untuk menyerap

    energi vibrasi, semakin besar diskrepansi pada mechanical hysteresis pada saat beban

    diberikan dan beban dilepas, maka akan semakin besar kemampuan material untuk

    menyerap energi vibrasi (damping capacity). Material seperti besi tuang kelabu (gray cast

    iron) memiliki damping capacity yang baik, sehingga aplikasi yang melibatkan getaran

    konstan banyak menggunakan material tersebut.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 13

    1.5 Standar Spesimen

    Dimensi sampel, penentuan titik luluh, elongasi titik luluh, kekuatan tarik dan persen

    elongasi pengujian tarik logam diatur pada ASTM E8 standard test methods for tension

    testing of metallic material. Berikut beberpa contohnya untuk dimensi sampel :

    Gambar 1.11. Contoh Dimensi Spesmen Uji Tarik Logam ASTM E8.

    2. Stress Strain Behaviour of Plastics

    Polimer memiliki karakteristik yang berbeda dengan logam. Pada diagram tegangan

    regangan, polimer cenderung memperlihatkan sensitivitas yang tinggi terhadap strain rate,

    temperatur uji dan lingkungan sekitar (O2, H2O, larutan organik, d.l.l). Polimer menunjukan

    beragam karaktersitk mekanik, beberapa jenis polimer (elastomer) dapat mengalami

    regangan yang bersifat elastis hingga lebih dari dari 5 kali panjang awal. Beberapa polimer

    (thermoset) menunjukan karakteristik yang mirip dengan logam, cenderung getas namun

    kuat.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 14

    Tabel 1.2. Beberapa Contoh Mechanical Properties dari Polimer.

    Plastik merupakan gabungan dari polimer dan aditif. Aditif ditambahkan untuk

    memberikan alterasi pada sifat mekanik, optik, thermal, d.l.l sesuai dengan yang diinginkan.

    Kekuatan mekanik plastic sangat dipengaruhi oleh beberapa hal yakni :

    - Susunan rantai molekul, semakin sulit belitan yang terjadi (entanglement) melalui cross

    link maka pergerakan rantai akan semakin sulit dan material akan semakin kuat & kaku

    - Function group, semakin bulky dan elektronegatif gugus fungsional, maka akan

    semakin sulit material polimer terdeformasi

    - Berat molekul, semakin besar berat molekul, semakin kaku dan kuat material polimer

    tersebut

    - Derajat Kristalinitas, semakin tinggi derajat kristalinitas material polimer, maka

    material tersebut akan semakin kaku dan kuat

    - Anisotropy, kekuatan mekanik juga akan dipengaruhi oleh susunan daerah kristalin dan

    amorf terhadap pembebanan (maxwell & voigt element)

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 15

    Selain dari inherent properties material polimer, terdapat beberapa hal yang juga

    mempengahuri hasil uji tarik polimer secara signifikan, antara lain : temperatur, strain rate,

    arah pengambilan spesimen, d.l.l. Pengujian tarik plastik diatur dalam standar ASTM D 638

    Gambar 1.12. Mechanical Properties dari Beberapa Material Polimer.

    3. Karakteristik Perpatahan

    Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan seperti

    diilustrasikan oleh gambar di bawah ini :

    Gambar 1.13. Mode perpatahan material ulet ke getas.

    Material dikatakan ulet bila material tersebut mengalami deformasi elastis dan plastis

    sebelum akhirnya putus. Sedangkan material getas tidak mengalami deformasi elastis

    sebelum mengalami putus.

    Sangat getas Sangat ulet

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 16

    2.1 Perpatahan Ulet

    Gambar 1.14. Mekanisme perpatahan ulet.

    Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik :

    (1) Penyempitan awal

    (2) Pembentukan rongga2 kecil( cavity)

    (3) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu retakan.

    (4) Perambatan retak.

    (5) Perpatahan gesek akhir pada sudut 45

    Tampilan foto SEM dari perpatahan ulet :

    Gambar 1.15. Ciri perpatahan ulet menunjukkan adanya dimple.

    2.2 Perpatahan Getas

    Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

    (1) Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material.

    (2) Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-

    atom material (transgranular).

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 17

    (3) Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat pola-

    pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dari

    daerah awal kegagalan.

    (4) Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang

    mudah dibedakan.

    (5) Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya

    dan mulus

    Gambar 1.16. (a) Cup and cone fracture pada Aluminium dan (b) Brittle fracture pada besi tuang.

    3. Metodologi Penelitian

    1. Alat dan Bahan

    1. Universal testing machine, Servopulser Shimadzu kapasitas 30 ton

    2. Caliper dan/atau micrometer

    3. Spidol permanent atau penggores (cutter)

    4. Stereoscan macroscope

    5. Sampel Uji tarik (Alumunium seri 5xxx, 6xxx, kuningan, baja, SS 304, PP,

    Polyurethane, PVC)

    2. Prosedur Pengujian

    1. Ukurlah dimensi (diameter rata-rata) dari benda uji dengan menggunakan caliper atau

    mikrometer. Buatlah sketsa dari benda uji dan masukkan hasil pengukuran dimensi

    tersebut pada lembar data

    2. Tandailah panjang ukur (gauge length) berupa jarak antara dua titik pada benda uji

    dengan menggunakan penggores (cutter) atau spidol permanen.

    3. Pasanglah benda uji dengan hati-hati pada grip mesin uji Shimadzu. Pada tahap ini

    anda akan didampingi oleh teknisi lab. Catatlah setiap langkah operasional setting

    pengujian dengan seksama.

    4. Mulailah penarikan dan perhatikan dengan baik mekanisme deformasi yang terjadi

    pada benda uji serta tampilan grafik beban-perpanjangan yang terlihat pada recorder

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 18

    Teruskan pengamatan hingga terjadinya beban maksimum dan dilanjutkan dengan

    necking lalu perpatahan

    5. Tandailah pada grafik beban-perpanjangan titik-titik terjadinya beban maksimum dan

    perpatahan.

    6. Lepaskan benda uji dari grip mesin uji, satukan kembali patahan benda uji dan

    ukurlah panjang akhir (Lf) antara dua titik (gauge marks). Ukurlah pula diameter

    akhir dari bagian benda uji yang mengalami necking. Catatlah hasil-hasil pengukuran

    ini di dalam lembar data.

    7. Amati dan analisa karakteristik tipe perpatahan yang terjadi dengan menggunakan

    stereoscan macroscope.

    8. Lakukanlah pengujian untuk material yang berbeda jenisnya.

    9. Berdasarkan grafik beban-perpanjangan setiap logam, hitunglah dengan formulasi

    yang sesuai dari nilai-nilai sebagai berikut: (i) titik luluh; (ii) kekuatan tarik

    maksimum; (iii) persentase elongasi; (iv) persentase pengurangan area; (v) modulus

    elastisitas

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 19

    BAB 2

    PENGUJIAN KEKERASAN

    2.1 Tujuan Praktikum

    1. Menguasai beberapa metode pegujian yang umum dilakukan untuk mengetahui nilai

    kekerasan suatu logam.

    2. Menjelaskan makna nilai kekerasan material dalam lingkungan ilmu metalurgi dan

    ilmu-ilmu terapan lainnya.

    3. Menjelaskan perbedaan antara pengujian kekerasan dengan metode gores, pantulan

    dan indentasi.

    4. Menjelaskan kekhususan pengujian kekerasan dengan metode Brinell, Vickers,

    Knoop, dan Rockwell.

    5. Mengaplikasikan beberapa formulasi dasar untuk memperoleh nilai kekerasan

    material dengan uji Brinell dan Vickers.

    2.2 Pengantar

    Makna nilai kekerasan suatu material berbeda untuk setiap kelompok bidang

    ilmu.Bagi insinyur metalurgi nilai kekerasan adalah ketahanan material terhadap penetrasi

    sementara insinyur mekanika perpatahan akan memandang material yang keras sebagai

    material yang getas dan tidak dapat diandalkan pada beban impak yang tinggi, insinyur yang

    mengontrol proses manufaktur akan lebih memilih material untuk tidak terlalu keras agar

    mudah dibentuk (roll, forge, extrude, etc). Konsekuensi ini akan bergantung langsung kepada

    industri yang mengaplikasikannya.

    2.3 Dasar Teori

    Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahan suatu material terhadap

    gaya penekan dari material lain yang lebih keras dalam skala yang terlokalisasi (localized

    region). Melalui prinsip ini, uji kekerasan pun dikembangkan. Dari mulai metode goresan

    yang memanfaatkan nilai kekerasa minel, metode pantulan yang memanfaatkan hilangnya

    energi potensial, metode elektromagnetik (non destructive test) hingga kekerasan skala nano.

    Namun demikian, metode yang paling umum digunakan oleh industri dan skala lab adalah

    metode indentasi, baik secara makro maupun mikro.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 20

    Metode Indentasi Makro

    Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor

    dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material ditentukan

    oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis

    pengujian). Indentasi Makro berbicara hasil indentasi yang cenderung besar dari hasil

    pengujian. Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat

    diklasifikasikan sebagai berikut:

    Metode Brinell

    Diperkenalkan oleh JA Brinell tahun 1900. Sebagai uji indentasi yang pertama kali

    diperkenalkan, pengujian Brinel menggunakan bola baja yang diperkeras (hardened steel

    ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu. Hasil penekanan berupa jejak yang

    berbentuk setengah bola dengan permukaan lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya

    dengan mikroskop khusus pengukur jejak. Nilai kekerasan dapat dikorelasikan ke tensile

    strength, ketahanan aus, keuletan.

    Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

    dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm).

    Prinsip Indentasi Brinell terbagi menjadi dua langkah :

    1. Indentor menyentuh permukaan spesimen secara tegak lurus tanpa shock, getaran atau

    overshoot kemudian apikasikan beban. Beban ditungu sampai waktu tertentu

    (tergantung material spesimen), selanjutnya dilepaskan.

    2. Diameter indentasi diukur. Dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali secara tegak lurus

    satu sama lain, kemudian dicari rata-rata diameter.

    Untuk melakukan pengujian, hal yang harus diperhatikan pada spesimen uji antara

    lain ketebalan dan permukaan specimen.

    )d - D - D)(D(

    2P BHN

    22

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 21

    Gambar 2.1 Prinsip indentasi dengan metoda Brinell.

    Prosedur pengujiannya yaitu dengan menggunkan indentor berbentuk bola dengan

    diameter D = 10 mm terbuat dari baja atau karbida tungsten. Beban yang diaplikasikan dapat

    dipilih sebesar 500, 1500, atau 3000 kg, tergantung jenis bahan yang akan diuji (pada

    umumnya 3000 kg untuk logam-logam ferous dengan waktu indentasi sekitar 10 detik dan

    500 untuk logam-logam nonferous, dengan waktu indentasi sebesar 30 detik) sehingga

    terbentuk jejak berupa lingkaran atau cekungan yang simetris dipermukaan bahan dengan

    diameter d (mm). Besarnya nilai kekerasan Brinnel (BHN= Brinell Hardness Number)

    dihitung dengan menggunakan persamaan di atas.

    Pengujian Brinell tidak memerlukan surface preparation yang khusus, hal ini

    disebabkan Uji Brinell tidak terlalu terpengaruh oleh kekasaran dan goresan pada permukaan

    spesimen, pengujian Brinell juga menghasilkan rata-rata dari heterogenitas pada sampel. Pada

    sampel polimer yang terlalu elastis, BHN dapat bernilai tak hingga apabila tidak ada jejak

    yang dihasilkan (elsastis), pengujian Brinell juga menjadi tidak valid apabila pembacaan nilai

    menunjukan angka lebih dari 650 BHN

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 22

    Tabel 2.1 Rekomendasi Penggunaan Beban untuk Tingat Kekerasan sesuai ASTM E 10.

    Karena banyaknya standar dalam pengujian Brinell, maka direkomendasikan untuk

    mencantumkan diameter indentor yang digunakan, beban dan durasi. Contohnya, 80 HB

    10/1500/60 berart nilai kekerasan 80 HB didapatkan dengan menggunakan diameter indentor

    10 mm, beban 1500 kgf dan waktu tahan 60 detik.

    Metode Rockwell

    Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers di mana kekerasan suatu bahan dinilai

    dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan, maka metode ini merupakan uji kekerasan

    dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak digunakan dalam industri

    karena praktis. Prinsip pengujian pada metode rockwell yaitu dengan melakukan

    pembebanan sebanyak 2 tahap, dimana tahap pertama adalah pembebanan minor untuk

    menentukan titik awal (starting point) dan tahap kedua adalah pembebanan mayor

    (pembebanan utama). Dibutuhkan waktu tunggu (dwell time) pada setiap pembebanan, setiap

    pembebanan mempunyai dwell time yang berbeda. Nilai kekerasan didapatkan bukan

    dihitung dari panjang diameter yang didapatkan melainkan oleh kedalaman ( h ) penetrasi

    dari indentor.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 23

    Gambar 2.2 Skema pembebanan Mayor dan Minor.

    Gambar 2.3. Kedalaman pembebanan Mayor dan Minor.

    Skala Rockwell terbagi 2 kategori yaitu Regular Rockwell Scales dan Superficial Rockwell

    Scales. Terdapat masing-masing 15 pengujian untuk regular dan superficial. Beban yang

    diberikan pada kedunya berbeda, Regular Rockwell Scales dikerjakan untuk level beban

    yang lebih berat dibandingkan Superficial Rockwell Scales.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 24

    Regular Rockwell Scales

    Beban minor : 98.07 N (10 kgf), beban mayor : 588.4 N (60 kgf), 980.7 N (100 kgf)

    atau 1471 N (150 kgf).

    Superficial Rockwell Scales

    Biasanya dikerjakan pada material yang lebih tipis.

    Beban minor : 29.42 N (3 kgf) , beban mayor : 147.1 N (15 kgf), 294.2 N (30 kgf)

    atau 441.3 N (45 kgf).

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 25

    Tabel 2.2 Daftar Indentor untuk metode Rockwell.

    Indentor pada metode rockwell ini berbentuk kerucut dengan sudut 120o dari intan

    dengan diameter 1/16 inch atau bola baja berdiameter 1/8 inch. Beban yang digunakan

    bervariasi 60, 100, dan 150. Jenis indentor dan beban menentukan skala kekerasan yang

    digunakan. Metode Rockwell dikenal karena prosesnya yang cepat, penggunaanya yang

    mudah (beberapa alat dapat mengeluarkan hasil secara otomatis), indentasi yang dihasilkan

    kecil dan akurasi yang baik. Untuk jarak penjejakan, antara indentasi harus berjarak minimal

    3 kali diameter indentasi (ASTM) atau 4 kali diameter indentasi (ISO).

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 26

    Gambar 2.4 Penjejakan metoda Rockwell.

    Metode Vickers

    Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136.

    Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan

    berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop

    pengukur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

    dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

    Gambar 2.5 Jejak pada metoda Vickers.

    Penggunaan indentor intan berbentuk piramid pada metode Vickers sangat

    menguntungkan karena dapat digunakan untuk memeriksa bahan-bahan dengan kekerasan

    tinggi. Di samping itu, bentuk dan geometri jejak yang dihasilkan tidak banyak terpengaruh

    oleh besarnya beban yang diberikan sehingga besarnya beban tidak perlu dikontrol terlalu

    ketat seperti halnya pada metode brinnel. Selain pada skala makro, metode vickers dapat

    digunakan pada skala mikro, dengan pembebanan sangat rendah, yaitu 1-1000 gram.

    2d

    P 1.854 VHN

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 27

    Penampang jejek untuk uji ini sangat bergantung dari sifat material yang akan

    diindentasi. Penulisan hasil pengujian Vickers juga sama seperti pengujian Brinell.

    Contohnya, 350 HV 30/60 berarti spesimen memiliki kekerasan 350 HV pada pembebanan

    30 kgf dan waktu tahan 60 detik.

    Gambar 2.6 Penampang hasil jejak metode Vickers.

    Metode Knoop

    Merupakan salah satu metoe micro-hardness, yaitu uji kekerasan dengan benda uji

    yang kecil. Metode ini digunakan saat benda uji bersifat getas atau memiliki ketebalan yang

    tipis. Pengujian Knoop (dan Vickers) sangat sensitif terhadap kondisi permukaan, sehingga

    membutuhkan polishing (diamond/Al2O3). Namun demikian pengujian Knoop dapat

    mendeteksi anisotropi dan sangat akurat pada aplikasi beban manapun. Disebut

    microhardness karena beban yang digunakan kurang dari 2N sedangkan ketiga pengujian

    kekerasan diatas merupakan macrohardness karena beban yang digunakan lebih besar dari 2

    N. Nilai kekerasan knoop adalah pembebanan dibagi dengan luas penampang yang

    terdeformasi permanen. Jejak yang dihasilkan sekitar 0.01 mm- 0.1 mm dan beban yang

    digunakan sebesar 5gr 5 kg. Permukaan benda uji harus benar-benar halus.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 28

    = 14,2

    2

    Gambar 2.7 Hasil Indentasi Uji Knoop.

    2.4 Aplikasi Pengujian Kekerasan

    Selain mengkarakterisasi kekerasan material, pengujian kekerasan juga memiliki

    banyak aplikasi yang sangat berguna, berikut meruapakan beberapa diantaranya

    Mengkarakterisasi Anisotropi

    Kekerasan dari material polikristalin bergantung pada arah kristalografi, melalui

    pengujian Knoop, kekerasan di taip orientasi dapat diketahui.

    Gambar 2.8 Hasil Pengujian Knoop 200-gf pada Paduan Cobalt untuk Mendeteksi Anisotropi.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 29

    Memprediksi Machineability Spesimen

    Kekerasan sangat mempengaruhi sifat mampu mesin dari sebuah material

    (machineability), pada umumnya, kekerasan 300 350 HB dianggap toleransi maksimum

    untuk proses permesinan pada baja. Nilai optimum permesinan baja berkisar pada 180 200

    HB. Jika terlalu keras, mesin akan mudah aus dan rusak. Jika terlalu lunak, deformasi pada

    permukaan akan terlihat buruk dan dibutuhkan energi lebih besar karena banyaknya disipasi

    energi dalam bentuk panas.

    Indentifikasi Fasa

    Kekerasan pada skala mikro juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi fasa melalui

    nilai kekerasannya, hal ini sangat berguna jika hasil etsa mikrostruktur tidak jelas. Nilai

    kekerasan mikrostruktur akan membantu mempersempit kemungkinan fasa yang sedang

    diidentifikasi.

    Mempreiksi Sifat Mekanis Lainnya

    Kekerasan ditemukan memiliki korelasi yang akurat dengan sifat mekanis lainnya

    seperti kekuatan tarik dan titik luluh. Peneliti banyak mengembangkan formula yang

    mengaitkan sifat mekanis lain dengan kekerasan. Contohnya :

    Dimana TS adalah kekuatan tarik, HV adalah kekerasan skala Vickers, HB adalah

    kekerasan skala Brinell. Terdapat begitu banyak formula untuk berbagai jenis pengujian dan

    paduan. Konversi nilai kekerasan dapat dilakukan dengan mengacu pada standar ASTM E

    140. Nilai kekerasan juga dipakai untuk mengkarakterisasi Kemampukerasan baja

    (hardenability) serta menilai tingkat keausan material.

    2.5 Metodologi Penelitian

    1. Alat dan Bahan

    1. Hoytom macrohardness tester (metode Brinell dan Rockwell)

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 30

    2. Sampel uji keras (Alumuium seri 5xx.x, seri 6xx.x, kuningan, baja, SS 304)

    2. Prosedur : Metode Rockwell (Skala E)

    1. Persiapkan benda uji dengan baik (amplas dan poles secukupnya).

    2. Pasang indentor yang sesuai (Rockwell E)

    3. Pasang beban yang sesuai, lihatlah buku manual alat.

    4. Putar ring dari dial pembaca sehingga jarum panjang berwarna hitam menunjuk angka nol

    pada skala. Sesuaikan skala tersebut dengan metode Rockwell yang dipilih. Untuk

    Rockwell pilihlah skala terluar (merah) sedangkan Rockwell pakailah skala dalam

    (hitam).

    5. Lakukan preload dengan memutar poros dudukan benda uji searah jarum jam hingga jarum

    kecil pada dial pembaca menyentuh batas merah.

    6. Lakukan pembebanan dengan memutar tuas beban ke belakang dengan hati-hati. Biarkan

    tuas bergerak dengan halus selama beberapa waktu, antara 10-15 detik.

    7. Kembalikan tuas beban ke posisi semula dengan hati-hati.

    8. Bacalah nilai kekerasan material pada dial yaitu posisi jarum hitam panjang sesuai metode

    Rockwell yang dipakai.

    9. Lepaskan benda uji dengan memutar poros dudukan benda uji berlawanan arah jarum.

    10. Lanjutkan pengujian untuk lokasi atau material lain.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 31

    BAB 3

    PENGUJIAN IMPAK

    3.1 Tujuan Praktikum

    1. Menjelaskan tujuan dan prinsip dasar pengukuran harga impak dari logam.

    2. Mengetahui temperatur transisi perilaku kegetasan beberapa logam

    3. Menganalisa permukaan patahan (fractografi) sampel impak yang diuji pada

    beberapa temperatur.

    4. Membandingkan nilai impak beberapa jenis logam.

    5. Menjelaskan perbedaan metode Charpy dan Izod.

    3.2 Pengantar

    Uji impak adalah pengujian material dengan menggunakan pembebanan yang cepat

    (rapid loading) atau secara tiba-tiba. Uji ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis

    material terhadap beban impact atau kejut dan juga untuk mengetahui besar energi pada

    temperatur variasi rendah - tinggi akibat beban kejut. Inilah yang membedakan pengujian

    impak dengan pengujian tarik dan kekerasan dimana pembebanan dilakukan secara perlahan-

    lahan. Pengujian impak merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi

    material yang sering ditemui dalam perlengkapan konstruksi dan transportasi dimana beban

    tidak selamanya terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba, contoh

    deformasi pada bumper mobil pada saat kecelakaan.

    3.3 Prinsip Pengujian

    Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban

    yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji

    mengalami deformasi maksimum hingga mengakibatkan perpatahan. Pada pengujian impak

    ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran

    ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut. suatu material dikatakn tangguh bila

    memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa mengalami retak atau

    deformasi dengan mudah. Gambar di bawah ini memberikan ilustrasi suatu pengujian impak

    dengan metode Charpy:

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 32

    Gambar 3.1. Mekanisme pengujian impak.

    Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam

    satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang

    terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode

    Charpydiberikan oleh :

    dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah

    takik dalam satuan mm2.

    dimana : P = beban yang diberikan (Newton)

    Ho= ketinggian awal bandul (mm)

    H1= ketinggian akhir setelah terjadi perpatahan benda uji (mm)

    Benda uji impak dikelompokkan kedalam dua golongan sampel standar (ASTM E-23)

    yaitu batang uji Charpy (Metode Charpy - USA) dan batang uji Izod (ASTM D-256).

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 33

    1. Batang Uji Charpy

    Sampel uji memiliki dimensi ukuran yaitu 10x10x55 mm (tinggi x lebar x panjang).

    Dengan posisi takik (notch) berada di tengah, kedalaman takik 2 mm dari permukaan benda

    uji, dan sudut takik 45. Bentuk takik berupa huruf bentuk U, V, key hole ( seperti lubang

    kecil). Benda diletakkan pada tumpuan dengan posisi horisontal dan tidak dijepit. Hal ini

    menyebankan pengujian berlangsung lebih cepat, sehingga memudahkan untuk melakukan

    pengujian pada temperatur transisinya. Sedangkan ayunan bandul dari arah belakang takik

    dengan pembebanan dilakukan dari arah punggung takik.

    Gambar 3.2 Sampel uji impak Charpy.

    2. Batang Uji Izod

    Sampel uji memiliki dimensi ukuran yaitu 10 x 10 x 75 mm (tinggi x lebar x panjang).

    Dengan posisi takik berada pada jarak 28 mm dari ujung benda uji, kedalaman takik 2 mm

    dari permukaan benda uji, dengan sudut takik 45. Bentuk takik berupa huruf U, V , atau key

    hole (seperti lubang kunci). Benda diletakkan pada tumpuan dengan posisi vertikal dan

    dijepit. Sampel yang dijepit menyebabkan pengujian berlangsung lama, sehingga tidak cocok

    digunakan pada pengujian dengan temperatur yang bervariasi. Sedangkan ayunan bandul dari

    arah depan takik dengan pembebanan dilakukan dari arah muka takik.

    Gambar 3.3 Sampel uji impak izod.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 34

    Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah

    penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fractografi) yang

    terjadi. Secara umum perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis perpatahan, yaitu :

    1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran

    bidang-bidang kristal di dalam material / logam (logam) yang ulet (ductile).

    2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan

    (cleavage) pada butir-butir dari material / logam (logam) yang rapuh (brittle).

    3. Perpatahan campuran, merupakan kombinasi kedua jenis perpatahan di atas.

    Informasi lain yang dapat diperoleh dari pengujian impak adalah temperatur transisi

    bahan. Temperatur transisi (Ductile to Britte Transition Temperature) adalah temperatur

    yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur

    yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat

    bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada

    temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan

    dengan deaktivasi slip system pada beberapa struktur kristal dalam rentang temperatur

    tertentu. Hal ini akan mengakibatkan menurunnya ductility & toughness material secara

    signifikan. Mode perpatahan yang terjadi adalah patahan getas, energy yang diperlihatkan

    hingga patahan terjadi relatif rendah. Informasi mengenai temperatur transisi menjadi

    demikian penting bila suatu material akan diaplikasikan pada rentang temperatur yang besar,

    misalnya dari temperatur dibawah 0OC hingga temperatur tinggi di atas 100

    OC. Contohnya

    sistem penukar panas (heat exchanger), lambung kapal (hull), d.l.l. Hampir semua logam

    berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet

    pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh

    Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh yang rendah

    dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja

    karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada

    temperatur rendah. Gambar di samping ini memberikan ilustrasi efek temperatur terhadap

    ketangguhan impak beberapa bahan.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 35

    Gambar 3.4. Grafik efek temperatur terhadap kekuatan impak.

    3.4 Metodologi Penelitian 1. Alat an Bahan

    1. Impact testing machine (metode Charpy) kapasitas 30 Joule.

    2. Caliper dan/atau micrometer

    3. Stereoscan macroscope

    4. Termometer

    5. Furnace

    6. Sampel uji impak baja ST 42 dan Cu-Zn (3 buah)

    7. Dry ice

    2. Prosedur Pengujian

    1. Dengan menggunakan caliper/mikrometer lakukan pengukuran luas area di bawah

    takik dari sampel-sampel uji anda. Catatlah hasil pengukuran anda di dalam lembar

    data.

    2. Persiapkan sampel uji untuk temperatur rendah (

    100oC), yaitu dengan memasukkan masing-masing ke dalam wadah berisi

    campuran nitrogen cair % dan elemen pemanas.

    3. Ujilah satu demi satu sampel pada: temperatur ruang (Tr), 0oC, 100

    oC

    dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

    a) Pastikan jarum skala berwarna merah sebagai penunjuk harga impak material

    berada pada posisi nol.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 36

    b) Putarlah handel untuk menaikkan pendulum hingga jarum penunjuk beban

    berwarna hitam mencapai batas merah.

    a) Letakkan benda uji pada tempatnya dengan takik membelakangi arah

    datangnya pendulum. Pastikan benda uji tepat berada di tengah dengan

    bantuan centre setting.

    b) Bila benda uji telah siap, tariklah centre setting ke posisi semula. Jangan

    sekalikali meninggalkan centre setting ini di belakang benda uji karena akan

    ikut mengalami tumbukan oleh pendulum.

    c) Berhati-hatilah, jangan berdiri pada garis ayunan gaya pendulum. Bersiaplah

    melakukan pengujian pada posisi di samping alat uji.

    d) Lepaskan tombol pada tangkai pendulum sehingga pendulum berayun dan

    menumbuk benda uji.

    e) Lakukan pengereman dengan menarik tuas rem sehingga ayunan pendulum

    dapat dikurangi.

    f) Bacalah nilai yang ditunjukkan oleh jarum merah pada skala yang sesuai (300

    Joule). Hitunglah harga impak material dengan rumus dasar.

    g) Ambil benda uji dan amatilah permukaan patahannya di bawah stereoscan

    macroscope. Buatlah sketsa patahannya di dalam lembar data anda. Ukurlah

    luas area getas dan ulet dari masing-masing sampel uji. Nyatakan dalam

    persenta seterhadap luas area total di bawah takik.

    h) Ulangi pengujian untuk sampel-sampel lain. Tingkat kehati-hatian lebih tinggi

    diperlukan dalam menangani sampel temperatur tinggi.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 37

    BAB 4

    PENGUJIAN KEAUSAN

    4.1 Tujuan Praktikum

    Pada praktikum pengujian keausan ini, mahasiswa diharapkan mampu untuk :

    1. Menjelaskan tujuan dan prinsip dasar pengujian keausan pada logam.

    2. Menganalisis mekanisme keausan yang terjadi pada beberapa jenis logam (baja lunak,

    besi tuang, paduan tembaga, dan paduan alumunium).

    3. Membandingkan ketahanan aus beberapa jenis logam-logam tersebut.

    4.2 Wear Concept

    Keausan merupakan peristiwa hilangnya material dari permukaan (loss of material),

    salah satu definisi yang lebih tajam dari keusan adalah hilangnya material dari permukaan

    secara progresif akibat pergerakan relatif pada permukaan yang disebabkan oleh berbagai

    macam hal. Namun demikian, pada cabang ilmu tribologi, keausan memiliki definisi dan

    aplikasi yang luas, keausan dapat disebabkan oleh banyak dan terjadi pada banyak bidang

    aplikasi seperti mesin pembakaran internal, mesin gas turbin, material sambungan buatan,

    transmisi, ban atau pada alat-alat mekanik lainnya. Keausan tidak selalu berdampak negatif,

    beberapa aplaksi seperti pembentukan material dan rekayasa permukaan menggunakan

    keausan secara terkontol untuk tujuan tertentu.

    Tidak seperti kekerasan, kekuatan dan energi impak, keausan bukanlah properti

    inheren material. Keausan adalah respon material terhadap sistem. Wear rate dari material

    dapat bervariasi dari 10-3

    hingga 10-10

    mm3/N.m. hal ini tergantung pada jenis kontak yang

    terjadi, material yang mengabrasi, tekanan pada kontak, kecepatan sliding, bentuk kontak,

    kekakuan suspensi, lingkungan dan lubrikan yang digunakan.

    Walaupun peristiwa aus sangat kompleks, keausan dapat diformulasikan secara

    sederhana dengan asumsi antara laju keuasan (wear rate) dan beban yang diterima. Yakni :

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 38

    Dimana Q merupakan volume yang hilang dari permukaan per unit sliding terjadi, W adalah

    beban normal yang diaplikasikan, H adalah indentasi kekerasan pada permukaan yang

    mengalami aus dan K adalah wear coefficient tanpa dimensi unit. Persamaan ini disebut juga

    Archard wear equation, persamaan ini digunakan untuk menurunkan rumus-rumus yang

    lebih kompleks dan berkaitan pada prinsip pengujian masing masing. Selain dari parameter

    yang dibuat oleh Archard, terdapat banyak parameter yang akan mempengaruhi keausan.

    Tabel 4.1 Berbagai Macam Parameter dalam Keausan.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 39

    4.3 Mekanisme Deformasi pada Aus

    Keausan dapat terjadi seketika ketika kontak terjadi antara material yang keras dan

    lunak. Keausan yang terjadi akan benyebabkan deformasi plastis dan penghilangan material

    pada permukaan dalam satu siklus. Mekanisme ini disebut single-cycle deformation

    mechanism. Mekanisme ini sering terjadi pada peristiga plowing, wedge formation dan

    pembentukan mikocrack. Single-cycle deformation mechanism dominan pada lingkungan

    yang abrasif dan erosif, terutama ketika partikel yang mengabrasi jauh lebih kerasi dibanding

    permukaan material yang mengalami aus.

    Gambar 4.1 Peristiwa Plowing, Cutting, Wedge dan Microcraking pada Singl- Cycle

    Deformation Mechanism.

    Selain single cycle deformastion mechanism, terdapat juga mekanisme yang

    membutuhkan siklus berulang agat terjadi deformasi. Mekanisme ini disebut repeated cycle

    deformation. Pada mekanisme ini, dibutuhkan siklus yang berulang hingga material

    mengalami aus yang signifikan. Mekanisme repeated cycle deformation sering dijumpai pada

    peristiwa surface fatigue, delaminasi, d.l.l

    Mekanisme repeated cycle deformation mengakumulasikan beban yang diterima

    oleh material sebelum akhirnya mengalami deformasi plastis pada permukaan material. Hal

    ini ditunjukan pada gambar mechanical hysteresis 4.3

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 40

    Gambar 4.2. Perubahan dari Penampakan Permukaan Aus Tembaga akibat Repeated Cycle

    Deformation.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 41

    Gambar 4.3. Mechanical Hysteresis pada Mekanisme Repeated Cycle Deformation.

    4.4 Prinsip Pengujian

    Prinsip pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan

    teknik yang bertuajuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya adalah

    metode Ogoshi, dimana benda uji memperoleh beban gesek dari revolving disc (ASTM G

    99). Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang

    yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Besarnya

    jejak permukaan dari material tergesek inilah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan

    pada material. Semakin besar dan dalam jejak keausan maka semakin tinggi volum material

    yang terkelupas dari benda uji. Di bawah ini merupakan ilusrasi skematis dari kontak

    permukaan antara revolving disc dan benda uji.

    Gambar 4.4 Pengujian keausan metode Ogoshi.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 42

    Dengan B adalah tebal revolving disc (mm), r jari-jari disc (mm), b lebar celah

    material yang terabrasi (mm), maka dapat diturunkan besarnya volume material yang

    terabrasi (W) :

    W = B.b3/12r

    Laju keausan (V) dapat ditentukan sebagai perbandingan volume terabrasi (W)

    dengan jarak luncur x (setting pada mesin uji):

    V = W/x = B.b3/12r.x

    Sebagaimana telah disebutkan pada bagian pengantar, material jenis apapun akan

    mengalami keausan dengan mekanisme yang beragam. Mekanisme keausan yang umum

    terjadi yaitu:

    1. Keausan adhesive

    Terjadi jika kontak permukaan dari dua material atau lebih mengakibatkan adanya

    perlekatan (microweld) satu sama lain dan pada akhirnya terjadi pelepasan/ pengoyakan salah

    satu material. Hal ini terjadi karena material memiliki kekasaran permukaan (surface

    roughness) yang menandakan adanya permukaan yang tidak rata secara mikro (walaupun

    secara makro terlihat rata). Pada aplikasi pembebanan, akan terjadi junction atau bagian yang

    tersambug antara material yang kemudian menimbulkan perlekatan mikro. Pada nilai K

    (persamaan Archard) yang lebih besar dari 10-4

    , keausan akan didominasi oleh peristiwa

    adhesive.

    Gambar 4.5. Mekanisme Keausan Adhesive dan Perbandngan Beberapa Nilai K.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 43

    2. Keausan abrasif

    Terjadi ketika suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu meluncur pada

    permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan

    material yang lebih lunak. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat

    kebebasan (degree of freedom) partikel keras tersebut. Contoh : partikel pasir silika akan

    menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada

    kertas amplas, karena adanya gaya tarik sepanjang permukaan dan mengakibatkan

    pengoyakan. Sementara, bila partikel tersebut berada di dalam system slury laju keausan akan

    semakin rendah karena tidak adanya efek abrasi, partikel hanya berputar (rolling).

    Gambar 4.6 Ilustrasi skematis keausan abrasif.

    3. Keausan lelah / fatik

    Terjadi akibat interaksi permukaan dimana permukaan yang mengalami beban

    berulang-ulang akan mengarah pada pembentukan retak mikro. Retak-retak tersebut pada

    akhirnya akan menyatu dan menghasilkan pengelupasan material

    Gambar 4.7 Ilustrasi skematis keausan fatik.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 44

    4. Keausan oksidasi/korosif

    Pada prinsipnya mekanisme ini dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di

    bagian permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak kimiawi dengan lingkungan ini akan

    menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan

    material induk. Sebagai konsekuensinya, material pada bagian permukaan akan mengalami

    pengelupasan. Hal ini mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan

    material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut.

    Gambar 4.8 Ilustrasi skematis keausan oksidasi/korosif.

    Selain dari metode pin on disk, terdapat beberapa pengujian yang umumnya

    digunakan untuk menguji keuausan pada materal seperti rubber wheel, dry abrasive (ASTM

    G 65), cavitation erosion test system (ASTM G 134), liquid jet erosion test (ASTM G 32),

    gas blast erosion test (ASTM G 76), d.l.l

    4.5 Metodologi Penelitian

    1. Alat dan Bahan

    1. Ogoshi wear testing machine

    2. Caliper dan/atau mikrometer

    3. Pemasang-pembuka gir (tracker)

    4. Sampel uji aus

    2. Prosedur Pengujian

    1. Persiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan selama pengujian: sampel uji (5

    buah), satu set gir, tracker.

    2. Ukur tebal (B) dari cincin pemutar (revolving disc). Pasang pada tempatnya dan

    kencangkan dengan memutar mur pengikatnya.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 45

    3. Pasang benda uji pada sample holder yang berada pada tengah-tengah lever. Pastikan

    daerah yang akan diuji berada tepat di bawah garis penanda pada window.

    Kencangkan benda uji dengan memutar baut pada window tersebut searah putaran

    jarum jam.

    4. Aturlah parameter pengujian (beban, kecepatan dan jarak luncur) dengan men-set

    variasi gir. Lihatlah tabel penunjuk variasi tersebut.

    5. Aturlah skala pada lubang intip pada posisi nol. Bila belum diperoleh maka tekanlah

    spring adjusting handle sambil diputar ke arah increase bila angkanya masih di bawah

    nol atau decrease bila angkanya melewati nol.

    6. Sekarang sentuhkan sampel uji yang telah terikat pada sample holder dengan

    revolving disc.

    7. Aturlah pasangan gir beban (yang berhubungan langsung dengan sample holder)

    sehingga diperoleh skala 4.5 pada lubang intip sebagai suatu pembebanan awal

    (preload). Bila posisi ini belum diperoleh, lakukan kembali langkah 5.

    8. Pastikan set-up parameter pengujian telah sesuai.

    9. Bersihkan mesin uji dari benda-benda yang membahayakan (kain, gir, obeng dsb).

    10. Tekan tombol switch-on untuk memulai pengujian.

    11. Lepaskan sampel bila mesin telah mati. Ulangi pengujian untuk lokasi atau sampel

    lain.

    12. Ukurlah dengan measuring microscope lebar celah (b) yang diperoleh. Catat pada

    lembar data anda. Amati pula jejak keausan yang anda peroleh. Buatlah sketsa dan

    deskripsi jejak tersebut.

  • Laboratorium Metalurgi Fisik - DTMM FTUI Page 46