gagal ginjal kronik menurut kidney diseases outcome quality initiative (kdoqi)

Upload: oktaffrastya-w-septafani

Post on 18-Oct-2015

156 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Gagal Ginjal Kronik menurut Kidney Diseases Outcome Quality Initiative (KDOQI) sebagai kerusakan ginjal pada waktu 3 bulan atau lebih dan memiliki Glomerolus Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min per 1.73m2. Sedangkan Gagal Ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) digambarkan sebagai tahapan dari gagal ginjal kronis dimana terdapat kerusakan ginjal secara permanen dan ginjal tidak dapat berfungsi untuk mempertahankan kehidupan, sebagai konsekuensinya pasien membutuhkan dyalisis atau tranplantasi. (Critical Care Nurse, 2006).Tingkat insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kasus ini terjadi antara lain akibat perubahan pola hidup, pola penyakit, serta makin terkendalinya penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Masih diperkirakan angka terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 – 250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun (Bakri, 2005). Sedangkan angka kejadian di Amerika terus meningkat sesuai dengan laporan tahunan pada US Renal Data System. Tahun 2000 prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004; Stevens et al., 2006).

TRANSCRIPT

50

BAB IPendahuluan

A. Latar Belakang MasalahGagal Ginjal Kronik menurut Kidney Diseases Outcome Quality Initiative (KDOQI) sebagai kerusakan ginjal pada waktu 3 bulan atau lebih dan memiliki Glomerolus Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min per 1.73m2. Sedangkan Gagal Ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) digambarkan sebagai tahapan dari gagal ginjal kronis dimana terdapat kerusakan ginjal secara permanen dan ginjal tidak dapat berfungsi untuk mempertahankan kehidupan, sebagai konsekuensinya pasien membutuhkan dyalisis atau tranplantasi. (Critical Care Nurse, 2006).Tingkat insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kasus ini terjadi antara lain akibat perubahan pola hidup, pola penyakit, serta makin terkendalinya penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Masih diperkirakan angka terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun (Bakri, 2005). Sedangkan angka kejadian di Amerika terus meningkat sesuai dengan laporan tahunan pada US Renal Data System. Tahun 2000 prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004; Stevens et al., 2006). Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) merupakan keadaan dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga untuk menjaga Homeostasis tubuh, ginjal perlu menjalankan dyalisa (cuci darah) setiap jangka waktu tertentu atau dengan melakukan transplantasi ginjal (Pearce, 1995). Namun terapi pada penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum adalah hemodialisa. Terapi dengan hemodialisa ini memerlukan perawatan yang intensif dan juga membutuhkan biaya yang mahal. Penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) biasanya memiliki kualitas hidup lebih rendah (Cohen et al., 2007; Scot et al., 2007; Wu et al., 2004). Pada penderita ini mengalami perkembangan penyakit yang progresif dan terjadi penurunan kualitas hidup serta dapat menyebabkan kematian.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman atau kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka yang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne ,1994 ;Sheridan dan Radmacher, 1992). Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry, 1993). Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien (Friedman, 2003 : 146).Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah salah satu rumah sakit rujukan di Yogyakarta untuk perawatan penderita gagal ginjal dan membuka pelayanan hemodialisis. Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal dan fungsi keluarga yang dirawat di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta belum pernah dilakukan.

Berdasar penjelasan diatas maka perlu untuk dilakukan penelitian tentang hubungan antara keluarga dengan menggunakan metode APGAR score dengan kualitas hidup pada penderita Gagal Ginjal Terminal (GGKT) di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahannya yaitu: Bagaimana hubungan APGAR score keluarga dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum : Mengetahui gambaran kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik terminal. Tujuan khusus : Mengetahui fungsi keluarga pada penderita gagal ginjal kronik terminal.D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan kemanfaatan berupa :

1. Dapat memberikan informasi data dan pengetahuan tentang peranan keluarga dalam penentuan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah.2. Dapat berguna dalam pengembangan ilmu psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan penyakit gangguan ginjal, serta dapat menambah bahan kepustakaan dalam psikologi kesehatan.

3. Dapat memberikan informasi tambahan kepada praktisi kesehatan dalam menangani penderita gagal ginjal dalam bidang dukungan sosial yang dapat berpengaruh dalam kualitas hidup penderita. E. Keaslian Penelitian

Dari hasil pencarian didapatkan bahwa penelitian tentang peranan keluarga bagi penderita gagal ginjal terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan menggunakan pengukuran APGAR score keluarga belum pernah dilakukan. Penelitian pada rumah sakit serupa pun di Yogyakarta belum pernah dilakukan.

Beberapa penelitian tentang peran keluarga dan dukungan sosial pada pasien gagal ginjal terminal adalah, sebagai berikut : Arliza (2006) yang meneliti peran sosial pada penderita gagal ginjal terminal dengan terapi hemodialisis yang menunjukkan hasil dukungan yang diperoleh pada pasien hemodialisis lebih kecil dibandingkan dengan dukungan yang dibutuhkan. Pengambilan data pada penlitian ini dengan menggunakan teknik incidental sampling, yaitu pengambilan sampel yang semata-mata dilakukan atas kesediaan dan ketersediaan untuk kemudahan penelitian (Guilford & Frutcher, 1991). Kuo et al. (2007) dengan metode kohort tahun 1996-2003 untuk meneliti faktor risiko kejadian CKD di Taiwan.

Berdasarkan pencarian artikel-artikel diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan karena berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Penelitian ini berbeda baik dalam metode penelitian, tempat dilakukannya penelitian maupun subjek penelitiannya.

BAB IITinjauan Pustaka

A. Telaah Pustaka1. Definisi Gagal Ginjal Kronik Terminal (End Stage Renal Disese).Gagal ginjal merupakan suatu keadaan dimana ginjal mengalami penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal itu sendiri adalah mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur keseimbangan garam dalam darah, mengatur asam-basa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dalam tubuh. Apabila ginjal itu sendiri mengalami gangguan, maka akan terjadi gangguan keseimbangan cairan dan metebolisme tubuh. Apabila terjadi gangguan dari homeostasis tubuh ini akan mengakibatkan gangguan pada organ-organ lainnya, sehingga perlu untuk segera melakukan pengobatan. Penyakit gagal ginjal dibedakan menjadi gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Penyakit gagal ginjal akut biasanya terjadi oleh karena adanya hipoksia pra renal yang berakhir pada iskemia jaringan ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada sel-sel tubulus ginjal. Kerusakan sel-sel tubulus ginjal ini dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi penyaringan oleh glomerulus atau glomerulus filtration rate (GFR) menurun yang bersifat sementara atau reversible (Levey et al., 2003). Sedangkan pada gagal ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif dan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) yang bersifat irreversible. Pengertian gagal ginjal kronik adalah abnormalitas struktur dan fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan dengan manifestasi sbb (1). Kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR yang dapat diketahui dari adanya gambaran kelainan histopatologis atau adanya marker kerusakan ginjal, termasuk didalamnya adalah adanya abnormalitas susunan darah atau susunan urin pada test mikroskopis dan (2). GFR SMU) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

Kualitas hidup Total

baikkurang baik

jenis pendidikan-SMU164763

>smu181937

Total3466100

Table14. Hasil uji chi square test hubungan tingkat pendidikan (SMA dan >SMA) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

ValuedfAsymp. Sig. (2-sided)Exact Sig. (2-sided)Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square5.616(b)1.018

Continuity Correction(a)4.6281.031

Likelihood Ratio5.5431.019

Fisher's Exact Test .028.016

Linear-by-Linear Association5.5601.018

N of Valid Cases100

Menggunakan kategorisasi tingkat pendidikan dengan menggunakan dua kategori yaitu berpendidikan hanya sampai SMU atau lebih tinggi dari SMU sebagaimana pada tabel 10 diketahui bahwa semua kotak terisi sehingga memungkinkan dilakukan uji chi square untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan (SMU atau kurang dan lebih tinggi dari SMU) dengan kualitas hidup. Hasil uji chi square hubungan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup naracoba tampak pada tabel 11. Sebagaimana tampak pada tabel 11 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan (lebih tinggi SMU dan tamat atau tidak tamat SMU) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah (rhitung>rtabel; pSMA) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

Estimate.359

ln(Estimate)-1.023

Std. Error of ln(Estimate).438

Asymp. Sig. (2-sided).019

Asymp. 95% Confidence IntervalCommon Odds RatioLower Bound.152

Upper Bound.848

ln(Common Odds Ratio)Lower Bound-1.882

Upper Bound-.165

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1.000 assumption. So is the natural log of the estimate.

Dari tabel 15 diketahui bahwa penderita GGKT RSU PKU Muhamadiyah yang berpendidikan paling tinggi lulus SMU risiko memiliki kualitas hidup baik adalah 0,36 jika dibandingkan dengan penderita GGTK yang berpendidikan lebih tinggi dari SMU (RR=0,36; CI=0,152 0,848; p=0,019). Dapat disimpulkan bahwa penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan berpendidikan lebih tinggi dari SMU memiliki kemungkinan kualitas hidup yang lebih baik 3x dari yang berpendidikan hanya lulus SMU atau lebih rendah.

5. Faktor geografi alamat penderita dan Kualitas Hidup penderita GGKT

Gambaran alamat asal penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah tampak pada tabel 16. Dari tabel 16 diketahui bahwa 64% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, sisanya 36% berasal dari luar Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Hubungan tempat asal naracoba dengan kualitas hidupnya tampak pada tabel 16, 17, 18 dan 19. Dengan kategorisasi 6 daerah asal sebagaimana pada tabel 16 tersebut tidak dapat dilakukan uji chi square untuk menilai adanya hubungan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita GGKT oleh karena ada kotak yang kosong sehingga pembagian tempat asal akhirnya dibagi dalam dua kategori yaitu Kota Yogyakarta dan di luar kota Yogyakarta sebagaimana tampak pada tabel 18.

Table 16. Tabulasi silang alamat asal penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta dengan kualitas hidupnya

quality of liveTotal

baikkurang baik

Alamatkota171128

sleman102636

bantul52126

kulon progo022

wonosari055

lainnya213

Total3466100

Table 17. Hasil uji chi square test hubungan alamat tempat asal dan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

ValuedfAsymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square17.086(a)5.004

Likelihood Ratio18.8705.002

Linear-by-Linear Association5.7811.016

N of Valid Cases100

Dari tabulasi silang dengan enam kategorisasi alamat asal dengan kualitas hidup penderita GGKT sebagaimana pada tabel 16 kemudian dilanjutkan pada uji chi square untuk menentukan hubungan tempat asal (Kota Yogyakarta dan Luar Kota Yogyakarta dengan kualitas hidup naracoba dan mendapatkan hasil sebagaimana pada tabel 17 (meskipun dengan ada kotak yang bernilai 0).

Tabel 18. Tabulasi silang alamat asal (Kota dan tidak kota Yogyakarta) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

quality of liveTotal

baikkurang baik

alamat tempat tinggalkota171128

luar kota175572

Total3466100

Tabel 19. Hasil uji chi square test hubungan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta

ValuedfAsymp. Sig. (2-sided)Exact Sig. (2-sided)Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square12.368(b)1.000

Continuity Correction(a)10.7701.001

Likelihood Ratio11.9831.001

Fisher's Exact Test .001.001

Linear-by-Linear Association12.2441.000

N of Valid Cases100

Dari tabel 19 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tempat asal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta (rhitung>rtabel; p7; skor APGAR keluarga 7; skor APGAR keluarga 8; skor APGAR keluarga8skor APGAR keluarga) dengan kualitas hidup baik adalah 2x lebih besar dari hubungan keluarga kurang sehat dengan kualitas hidup baik pada penderita GGKT dengan kualitas keluarga kurang sehat dengan signifikansi lemah (RR=2; CI=0,609 6,70;p=0,25). Dalam ungkapan lain berarti bahwa ada hubungan yang tidak signifikan antara kualitas keluarga dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta.

B. Pembahasan

Raharjo (1996) mengatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik yang menjadi gagal ginjal terminal terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahunnya. Di Amerika saat ini terdapat lebih dari 400.000 lebih jumlah pasien gagal ginjal tahap akhir, dengan bantuan biaya dialisis dari pemerintah yang lebih dari $ 15 miliar per tahun (Johns Hopkins Bloomberg,2004).

Di Taiwan penduduk berusia 65 tahun atau lebih mencapai > 7% dari total penduduk (World Health Organization definisi dari suatu negara penuaan) pada tahun 1993, mencapai 9,01% pada tahun 2002, dan meningkat pada tingkat 0,2% per tahun. Peningkatan penduduk lansia ini ternyata berkontribusi pada tingginya insiden dan prevalensi GGKT dalam kelompok umur 65-75 tahun dan 76 tahun dan lebih tua (Hwang et al., 2008).

Tingkat insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kasus ini terjadi antara lain akibat perubahan pola hidup, pola penyakit, serta makin terkendalinya penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Masih diperkirakan angka terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun (Bakri, 2005). Sedangkan angka kejadian di Amerika terus meningkat sesuai dengan laporan tahunan pada US Renal Data System. Tahun 2000 prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004; Stevens et al., 2006).

Keadaan pasien yang bergantung pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan perubahan pada pola hidupnya. Menurut Sarafino (1998) menyatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres, dan keadaan stres ini sendiri dapat mengakibatkan perubahan, baik fisiologis maupun psikologis yang dapat mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman atau kerabat lebih dapat menghindari penyakit, sedangkan untuk mereka yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Interaksi yang dekat, penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang diberikan kepada seseorang disebut juga dengan dukungan sosial.

Pada keadaan ini, peran keluarga sangat diperlukan karena keluarga merupakan kerabat terdekat. Keluarga dalam masalah kesehatan memiliki 3 peran yaitu dapat sebagai motivator, edukator, dan fasilitator. Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146). Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi biologis, ekonomis, edukasi, sosialisasi, proteksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja Adiwikarta, 1988; dan Melly S.S. Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar G., 1994).

Gangguan fungsi ginjal dan perawatannya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit menyebabkan pasien hemodialisa mengalami stres. Stres ini menyebabkan kualitas kesehatan pasien tersebut menurun, sehingga menambah beban stres yang telah ada sebelumnya. Dukungan sosial yang tepat dapat membantu dalam menghadapi hal-hal yang menimbulkan stres, sementara dukungan yang tidak tepat malah dapat menimbulkan stres baru pada pasien dan terakumulasi dalam stres yang sedang dialami pasien tersebut sehingga akan memperburuk keadaan.

Pada penelitian ini diketahui bahwa lebih dari 50% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan Sleman, diikuti naracoba dari Kab. Bantul dan berikutnya Wonosari dan Kulon progo. Sebagian besar responden adalah laki-laki (64 v.s. 36), berusia 41 tahun ke atas (71% v.s. 29%), berpendidikan SMA ke atas (67% v.s. 33%) dan bukan perokok (11% v.s. 89%). Sebagian besar (64%) dari naracoba memiliki status kualitas hidup rendah dan kebanyakan dari golongan bukan pegawai negeri dengan penghasilan yang relatif lebih rendah dan biasanya tanpa jamianan dana pensiun dan asuransi. Hasil penelitian tidak berbeda dengan hasil-hasil penelitian lainnya (Halan et al., 2006). Hasil penelitian epidemiologi penderita GGKT di Norwegia oleh Halan et al. (2006) tampak pada tabel 52. Table 52. Gambaran karakteristik demografi penderita GGKT di Norwegia (1995 to 1997) (Halan et al., 2006).

Norwegia

Amerika

White

Black

Total

Berpenghasilan rendah-kurang (%)

5.9

11.2

28.4

13.7

Tanpa asuransi (%)

0

14.2

21.0

15.4

Usia harapan hidup (yr)

78.1

76.5

69.6

75.8

Umur (yr; % of total population)a,b20 to 54

48.5

50.6

49.1

50.6

55 to 74

18.1

16.7

10.8

14.8

75

7.1

5.9

3.0

5.0

Namun pada hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor keluarga berhubungan kurang signifikan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah. Hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan psikososial keluarga dengan kualitas hidup penderita (Gan et al., 2004).

Pengaruh dukungan psikososial keluarga terhadap kualitas hidup penderita GGKT terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Shidler at al. (1998). Pada penelitian Shidler ini dibuktikan bahwa penderita gangguan fungsi ginjal tahap awal mengalami stres psikis yang lebih besar jika dibandingkan dengan penderita GGKT. Keberadaan dukungan psikososial keluarga pada penderita gangguan fungsi ginjal tahap awal ini akan membantu mengurangi penurunan kualitas hidup penderita.

Terdapat hubungan timbal balik antara status kesehatan keluarga dengan status kesehatan atau kualitas hidup anggauta keluarga (Round and Israel, 1985). Hubungan keluarga dengan kualitas kesehatan yang pertama adalah adanya penyakit keturunan yaitu adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, yang kedua perkembangan bayi dan anak yaitu jika dibesarakan dalam lingkungan keluarga dengan fungsi-fungsi yang sakit, akan mengganggu perkembangan fisik dan perilaku. Pengaruh yang ketiga adalah penyebaran penyakit misalnya penyakit infeksi, yang keempat adalah pola penyakit dan kematian yaitu perceraian mempengaruhi angka kesakitan dan kematian dan pengaruh yang terakhir adalah proses penyembuhan penyakit dan kualitas hidup pasien dimana penyembuhan penyakit kronis pada keluarga dengan kondisi fungsi keluarga yang sehat lebih baik jika dibandingkan pada keluarga dengan kondisi fungsi keluarga yang sakit. Sedangkan kesehatanpun dapat berpengaruh terhadap keluarga misalnya jika kesehatan kepala keluarga sebagai pencari nafkah terganggu akan mengganggu fungsi ekonomi dan fungsi pemenuhan kebutuhan fisik keluarga, infertilitas membentuk keluarga inti tanpa anak dan mengalami siklus kehidupan keluarga yang tidak lengkap (Ide and Grager, 2001).

Pada kasus perawatan penderita gangguan fungsi jantung, Paavilanen et al. (2005) menunjukkan pentingnya dukungan psikososial keluarga terhadap perawatan penderita gangguan jantung. Keluarga yang sehat yang dibuktikan dengan kondisi dukungan psikososial yang bagus akan menigkatkan keberhasilan terapi dan meningkatkan kualitas hidup penderita jika dibandingkan dengan keluarga yang tidak siap dengan kesakitan dari salah satu anggautanya. Smucker et al. (1995) pada penelitain sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara skor apgar keluarga (dukungan psikososial) terhadap keberhasilan terapi dan risiko untuk mendapatkan anak yang mengalami gangguan perilaku makan, dimana keluarga dengan skor apgar keluarga yang rendah memiliki risiko 2x lebih besar untuk memiliki anak dengan gangguan fungsi makan jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki skor apgar keluarga tinggi.

Peran keluarga dalam mendukung terapi untuk peningkatan kualitas hidup pasien dinilai denganAPGAR Keluarga. Apgar keluarga merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengukur sehat tidaknya keluarga dalam memberikan dukungan psikososial yang dikembangkan oleh Rosen,Geyman dan Leyton dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga yaitu (1). Adaptasi (adaption), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang diperlukannya dan anggota keluarga lainnnya. (2). Kemitraan (partnership), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunkasi, kebersamaan dalam mengambil keputusan dan atau menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainya. (3). Pertumbuhan (growth), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau kedewasaan setiap anggota keluarga. (4). Kasih sayang (affection), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga. (5). Kebersamaan (Resolve), dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi waktu, kekayaan dan ruang antara anggota keluarga (Round and Israel, 1985).

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penderita gagal ginjal kronik terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU muhammadiyah Yogyakarta sebagian besar (64%) memiliki kualitas hidup rendah (skor