general anestesi pada struma nodusa non toksis asa i

Upload: hanif-fakhruddin

Post on 11-Oct-2015

315 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Case Report SNNT Anestesi

TRANSCRIPT

BAB ISTATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama:Ny. YSUmur: 24 tahunAlamat:MetroAgama:IslamPekerjaan:Ibu Rumah TanggaStatus:MenikahSuku Bangsa:JawaTanggal Masuk:18 Juni 2014

B. Riwayat Perjalanan Penyakit

Anamnesis:Autoanamnesis dan alloanamnesisKeluhan Utama:Benjolan di leher kananKeluhan Tambahan:Nyeri (-) demam (-)

Riwayat Penyakit Sekarang:Pasien masuk RSAY di rawat di Ruang Bedah pada tanggal 18 Juni 2014 dengan keluhan benjolan di leher kanan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Benjolan tidak disertai nyeri. Demam disangkal. Pasien datang untuk persiapan operasi.

Riwayat Penyakit Dahulu:Hipertensi (-)Hemofili (-)Diabetes Mellitus (-)Alergi (-)Asma (-)Anestesi sebelumnya (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:Tidak ada.

Riwayat Sosio Ekonomi:Pasien seorang ibu tumah tangga dengan dua orang anak.

C. Pemeriksaan Fisik

Status Present Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos Mentis GCS :E4V5 M6 = 15 Vital signTekanan darah :110/90 mmHgNadi: 80 x/menitRR : 20 x/menitSuhu : 36,8 o C Gizi: Baik BB/TB:50 kg/155 cm

Status Generalis KepalaRambut : Hitam, rambut sulit dicabutMata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), palpebra edema (-/-)Telinga : Simetris, serumen (-/-), othorea (-/-)Hidung : Septum tidak deviasi, sekret (-/-), pernafasan cuping hidung (-)Mulut : Sianosis (-)Airway:Jalan nafas bersih (+), Mallampati I, Tiromental distance > 6cm, buka mulut >3 jari, gigi palsu (-)

Leher Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGBPembesaran kelenjar tiroid :ditemukan pembesaran pada lobus dextra dengan bentuk irreguler, ukuran diameter 3 cm, konsistensikenyal, ikut bergerak saat menelan.JVP:5 cm H20Trakhea :di tengah

Toraks (Cor)Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihatPalpasi : Iktus kordis tidak teraba Perkusi : Batas jantung dalam batas normalAuskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)(Pulmo)Inspeksi : Pergerakan pernafasan kanan-kiri simetrisPalpasi : Fremitus taktil hemitoraks kanan = hemitoraks kiri Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paruAuskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen Inspeksi : Datar, simetrisPalpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)Perkusi : TimpaniAuskultasi : Bising usus (+) normal

ExtremitasSuperior:sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baikInferior: sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik.

D. Pemeriksaan PenunjangHematologi Leukosit: 6.200/ul Eritrosit: 4.530.000/ul Hemoglobin: 12,7g/dL Hematokrit: 38,7% CT/BT: 13'/3' GDS: 98 mg/dL SGOT/SGPT: 25 U/l / 30 U/l Ureum: 18 mg/dl Kreatinin: 0,67 mg/dlHormon T3 total: 0,6 ng/ml T4 total: 8,6 ug/dl TSH: uIU/mlEKG: dalam batas normalPatologi Anatomi: FNAB (tanggal : 10 Juni 2014) Makroskopis: Benjolan leher depan diameter 2 cm kistik Mikroskopis: Sediaan sitologi tumor leher depan mengandung kelompokkan sel epitel folikel dan koloid cair Kesimpulan: Struma adenomatosa (benign thyroid lesion)

E. Assesment Diagnosis : Struma Nodosa Non Toksik

F. PlanningDilakukan pembedahan pada struma (strumektomi)Persiapan: Puasa 8 jam pre op IVFD RL 30 tetes/menitASA ITeknik Anestesi : General anestesi (Intubasi)Premedikasi: Sulfas Atropin 0,25 mg Fentanyl 50 ugInduksi: Propofol 120 mgPemeliharaan: O2 2,5 l/m + N2O 2,5 l/m + Sevofluran 2 vol%Pasca Anestesi Umum- Aldrete Score: Aktivitas : Gerakan 4 ekstremitas (2) Respirasi : Nafas dalam/batuk (2) Sirkulasi : Tekanan darah + 20 % pre op Kesadaran: Sadar penuh (2) Warna kulit: Merah muda, SaO2 + 95% (2)- Instruksi Pasca operasi: Posisi: Supine, kepala ekstensi Infus: RL 20 tetes/menit Pengawasan: tekanan darah, nadi, respirasi Analgetik: Ketorolac IV Diet: puasa s.d bising usus normal Lain-lain: awasi perdarahan

G. Follow UpTanggal/WaktuSubjectiveObjectiveAssesmentPlanning

19 Juni 2014/08.00 WIB(Pre op)Benjolan dileher kanan sejak 2 tahun SMRS, nyeri (-), deman (-)R/ hipertensi (-), DM (-), asma (-), hemofili (-), anestesi sebelumnya (-)A : clearB : vesikuler (+/+), 20x/mC : TD : 110/80 mmHg, nadi : 80 x/m, BJ I/II regulerD : GCS: E4M6V5Kesadaran : kompos mentisSNNTASA IStrumektomi dextraGeneral Anestesi (Intubasi)

19 Juni 2014/10.00 WIB

TD: 120/90 mmHgNadi : 80 x/mRR : 20 x/mGuyur IVFD RL 500 cc dilanjutkan dengan IVFD RL 500 cc 20 tetes/menitPremedikasi : Sulfas Atropin 0,25 mgFentanyl 50 ugInduksi : Propofol 120 mgIntubasi dengan ETT no 6.5

19 Juni 2014/10.05 WIB - 11.00

Dilakukan monitoring tanda-tanda vital tiap 5 menitPemeliharaan : O2 2,5 l/m + N2O 2,5 l/m + Sevofluran 2 vol%Obat :Ketorolac 30 mgTramadol Sulfas atropin 0,25 mg + neostigmin 0,5 mg

19 Juni 201411.00 WIB(Post Op)Aldrete Score10Pindah Ruangan

20 Juni 2014Nyeri di bagian leher (bekas operasi)TD : 130/80 mmHgNadi : 80 x/mRR : 20 x/mT : 36,7oCPost op. strumektomi dextra- IVFD RL + Ketorolac 30 mg 20 tetes/menit- Ceftriaxon 2x1 gram IV- Ranitidin 2x50 mg IV

21 Juni 2014Nyeri di bagian leher (bekas operasi)TD : 120/70 mmHgNadi : 76 x/mRR : 20 x/mT : 36,6oCPost op. strumektomi dextra- IVFD RL + Ketorolac 30 mg 20 tetes/menit- Ceftriaxon 2x1 gram IV- Ranitidin 2x50 mg IV

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Struma Nodosa Non ToksikStruma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.

Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan.

DefinisiStruma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral. Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi: Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal Derajat III: terlihat pada jarak jauh.Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi: Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala ditegakkan.

Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut: Nontoxic diffuse goiter Endemic Iodine deficiency Iodine excess Dietary goitrogenic Sporadic Conngenital defect in thyroid hormone biosyntesis Chemichal agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid Iodine deficiency Compensatory following thyroidectomy Nontoxic nodular goiter due to causes listed above Uninodular or multinodular Functional, nonfunctional, or both

Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka bisa dibagi menjadi: Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidiBerdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi: nodul dingin (cold nodule) nodul hangat (warm nodule) nodul panas (hot nodule)Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi: nodul lunak nodul kistik nodul keras nodul sangat keras

EtiologiPenyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari bagian kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat tiroiditis.Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar tiroidnya timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat dijumpai adalah:1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidak adekuat.2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi menjadi iodium.3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul tiroglobulin, sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak terbentuk.4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari tirosin teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk membentuk hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi iodium.Akhirnya, ada beberapa makanan yang mengandung substansi goitrogenik yakni makanan yang mengandung sejenis propiltiourasil yang mempunyai aktifitas antitiroid sehingga juga menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid akibat rangsangan TSH. Beberapa bahan goitrogenik ditemukan pada beberapa varietas lobak dan kubis.

DiagnosisDiagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:- lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus- ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang- jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)- konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras- nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi- mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea- pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak2.Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik: Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodull dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalamii degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah berlangsung lama. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan, walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional atau perubahan suara menjadi serak. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berrys sign)

Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum: Sangat mencurigakan riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin nodul padat atau keras sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar paralisis pita suara metastasis jauh Kecurigaan sedang umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun pria riwayat iradiasi pada leher dan kepala nodul >4cm atau sebagian kistik keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk. Nodul jinak riwayat keluarga: nodul jinak struma difusa atau multinodosa besarnya tetap FNAB: jinak kista simpleks nodul hangat atau panas mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.

Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid terbagi atas:a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroidPemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.- antibodi tiroglobulin- antibodi mikrosomal- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher [posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memelukan CT-scan leher.USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk: Dapat menentukan jumlah nodul Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik, Dapat mengukur volume dari nodul tiroid Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran tiroid. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi terarah Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan kinerja tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang menangkap iodida dan anion lain. Iodida selain mengalami proses trapping juga ikut dalam proses organifikasi, sedangkan ion pertechnetate hanya ikut dalam proses trapping. Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan sekaligus membedakan berbagaii penyebab hipertiroidisme dan juga menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan hipertiroidisme.Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan kadar hormon tiroid.Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji angkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi.Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja. Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid. Jinak (negatif)Tiroid normalNodul koloidKistaTiroiditis subakutTiroiditis Hashimoto Curiga (indeterminate)Neoplasma sel folikulerNeoplasma HurthleTemuan kecurigaan keganasan tai tidak pasti Ganas (positif)Karsinoma tiroid papilerKarsinoma tiroid medulerKarsinoma tiroid anaplastik.

Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan.Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastika n proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

PenangananPilihan terapi nodul tiroid: Terapi supresi dengan hormon levotirosin Pembedahan Iodium radioaktif Suntikan etanol US Guided Laser Therapy Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.Indikasi operasi pada struma adalah: struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan struma dengan gangguan tekanan kosmetik.Kontraindikassi operasi pada struma: struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum terkontrol struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.

B. General AnestesiAnestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.

I. Teori Anestesi Umum Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya : a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral. b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect). Potensi analgesia gas gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap tekanan gas gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi tergantung dari konsentrasi molekul molekul bebas aktif. c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi molekul molekul obatnya dengan molekul molekul di otak. d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran). Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.

II. Tujuan Anestesi Umum Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom.

III. Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi anastesi umum.Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah : a. Memberi induksi yang halus dan cepat. b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons c. Timbulkan keadaan amnesia d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan. e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan operasi. f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang berlangsung lama. Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun tindakan anestesi telah dilakukan dengan sebaik baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh. IV. Persiapan untuk Anestesi Umum Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG. Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA). ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat. ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium. ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis. ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE 5

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 6 jam, bayi 3 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).

Premedikasi sendiri ialah pemberian obat - 1 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi saliva dan saluran napas. Obat obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain : Gol. Antikolinergik Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6 mg IM bekerja setelah 10 15 menit. Gol. Hipnotik sedatif Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital). Diberikan untuk sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 200 mg, pada bayi dan anak 3 5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah. Gol. Analgetik narkotik Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 20 mg. Kerugian penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada. Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV. Diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah. Gol. Transquilizer 6 Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM. V. Metode Pemberian Anestesi Umum Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena, Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus. Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan anestesi perinhalasi secara perlahan. VI. Stadium AnestesiTahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung. Stadium I Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata). Stadium II Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata. Stadium III Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium IVDitandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan. Tanda Refleks pada Mata Refleks pupil Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati. Refleks bulu mata Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1. Refleks kelopak mata Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2. Refleks cahaya Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita beri rangsangan cahaya. VII. Teknik Anestesi Umuma. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan Indikasi : Tindakan singkat ( - 1 jam) Keadaan umum baik (ASA I II) Lambung harus kosong Prosedur : Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi) 8 Premedikasi + / - sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll Induksi Pemeliharaan b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala) Prosedur : Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi singkat) Intubasi setelah induksi dan suksinil Pemeliharaan Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS: S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope T = Tubes. Pipa trakea. Usia > 5 tahun dengan balon (cuffed) A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Teknik Intubasi Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+) Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi mulut membuka Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus ) Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar ) Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah Masukan ET melalui rima glottis Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat resusitasi ) Klasifikasi Mallampati : Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati : c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol) Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya. Teknik sama dengan diatas Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama) Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya. VIII. Obat-obat dalam anestesi umumJenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau inhalasi. 1. Anestetik intravena Penggunaan : Untuk induksi Obat tunggal pada operasi singkat Tambahan pada obat inhalasi lemah Tambahan pada regional anestesi Sedasi Cara pemberian : Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat Suntikan berulang (intermiten) Diteteskan perinfus Obat anestetik intravena meliputi : a) Benzodiazepine Sifat : hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta. Kontraindikasi : porfiria dan hamil. Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV. b) Propofol Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 2,5 mg/kg IV. c) Ketamin Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic. Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 10 mg/kgBB. d) Thiopentone Sodium Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang. Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV. 2. Anestetik inhalasi a) N2O Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum 35% . gas ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain b) Halotan Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume. c) Isofluran Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan intracranial. d) Sevofluran Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk induksi inhalasi. IX. Skor Pemulihan Pasca Anestesi Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR). A. Aldrete Score B. Nilai Warna Merah muda, 2 Pucat, 1 Sianosis, 0 Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk, 2 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1 Apnoea atau obstruksi, 0 Sirkulasi Tekanan darah menyimpang 50% dari normal, 0 Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi, 2 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1 Tidak berespons, 0 Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1 Tidak bergerak, 0 Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

C. Steward Score (anak-anak) Pergerakan Gerak bertujuan 2 Gerak tak bertujuan 1 Tidak bergerak 0 Pernafasan Batuk, menangis 2 Pertahankan jalan nafas 1 Perlu bantuan 0 Kesadaran Menangis 2 Bereaksi terhadap rangsangan 1 Tidak bereaksi 0 Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

BAB IIIANALISA KASUS

1. Apakah pemilihan general anestesi dengan teknik intubasi pada pembedahan struma sudah tepat?Sudah tepat, karena general anestesi bertujuan agar pasien tidak sadar, merasa rileks, nyaman, tidak merasakan nyeri saat pembedahan berlangsung. Pembedahan struma dilakukan di bagian leher dan menghabiskan waktu yang cukup lama, sehingga diperkirakan akan ada kesulian untuk mempertahankan airway pasien. Untuk itu dipilih general anestesi dengan teknik intubasi.Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala).

2. Apakah persiapan operasi yang dilakukan pada pasien ini sudah tepat?Sudah tepat. Pada pasien ini dilakukan kunjungan pre operatif (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang), dilakukan penilaian kebugaran fisik pasien serta edukasi puasa 8 jam sebelum operasi untuk mencegah terjadinya regurgitasi isi lambung.Persiapan operasi dimulai saat kunjungan pre operatif. Tunjuannya untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tindakan yang dilakukan saat kunjungan pre operatif meliputi anamnesis (apakah pasien pernah di anastesi sebelumnya, alergi, penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma, hemofili, kebiasaan seperti merokok, minum alkohol dan sebagainya), pemeriksaan fisik (penggunaan gigi palsu, pemeriksaan mulut, lidah, hidung atau hal lain yang penting untuk mengetahui apakah ada hal yang menyulitkan proses intubasi), pemeriksaan penunjang (laboratorium, rontgen, ekg). Selain itu perlu juga menilai kebugaran fisik pasien dengan mengklasifikasikan pasien dalam status yang dibuat oleh ASA. Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam saluran nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.Pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

3. Apakah premedikasi, induksi dan rumatan anestesi yang dilakukan pada pasien ini sudah tepat?Sudah tepat.Pada pasien ini dilakukan premedikasi dengan :- Sulfas atropin 0,25 mg Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan spasme gastrointestinal.- Fentanyl 50 ug Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgetik cukup.

Dilakukan induksi dengan :- Propofol 120 mg Dosis bolus untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kgBB. Selama induksi, pernafasan nadi dan tekanan darah harus selalu diawasi dan diberikan oksigen

Dilakukan oksigenisasi 100% 2-3 menit untuk mencukupi residual volume

Dilakukan intubasi dengan ETT no. 6.5

Dilakukan pemeliharaan dengan :- O2 2,5 l/m + N2O 2,5 l/m + Sevofluran 2 vol% Rumatan/pemeliharaan anestesi biasanya menggunakan N2O dan O2 dengan kadar oksigen minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah tapi analgesik kuat. Kemudian ditambah Sevofluran 2-4 vol%. Sevofluran memiliki efek yang cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia

4. Apakah monitoring yang dilakukan pada pasien selama operasi sudah tepat?Kurang tepat. Pada pasien ini dilakukan monitoring pada sistem kardiovaskuler, respirasi, blokade neuromuskular, dan sistem saraf, namun tidak dilakukan monitoring pada sistem ginjal. Monitoring ginjal bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distensi vesika urinaria padan pembedahan yang berlangsung lama.Anestesia bertujuan menghasilkan blokade terhadap rangsang nyeri, blokade terhadap memori atau kesadaran dan blokade terhadap otot lurik. Untuk meniadakan atau mengurangi efek samping dari obat atau tindakan anestesia diperlukan monitoring untuk mengetahui apakah ketiga hal diatas cukup adekuat, kelebihan dosis atau malah perlu ditambah.Pasien meninggal dunia bukan karena kelebihan dosis analgetik atau relaksan, tetapi karena gangguan pada jantungnya, kekurangan oksiden pada otaknya, adanya perdarahan, transfusi dengan darah yang salah, hipoventilasi dan sebagainya.Tujuan monitoring untuk membantu anestetis mendapatkan informasi fungsi organ vital selama peri anestesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu anestetis mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus menerus.Monitoring kardiovaskular nadi tekanan darah banyaknya perdarahanMonitoring respirasi tanpa alat (gerakan dada-perut, warna mukosa bibir, kuku, ujung jari) stetoskop (dengar suara nafas) Oksimetri denyut KapnometriMonitoring suhu badan (pembedahan yang lama pada bayi dan anak)Monitoring ginjal (0,5-1 ml/kgBB/jam)Monitoring blokade neuromuskular (relaksasi-kontraksi tonus otot)Monitoring sistem saraf

5. Apakah instruksi yang dilakukan pada pasien post general anestesi ini sudah tepat?Sudah tepat.Pada pasien ini diberikan instruksi :Posisi: Supine, kepala ekstensi. Untuk mempertahankan airway Infus : RL 20 tetes/menit. Untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuh (50ml.kgBB/hari) Pengawasan : tekanan darah, nadi, respirasi. Untuk mengantisipasi kemungkinan gangguan pada organ-organ vital Analgetik : Ketorolac IV. untuk mengatasi nyeri post operatif Diet : puasa s.d bising usus normal, diet bertahap. Menghindari komplikasi pada saluran cerna Lain-lain: awasi perdarahan. Mencegah komplikasi post operatif.

DAFTAR PUSTAKA

Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi FK UI. JakartaKumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC; 2007.Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc, 1995.

5