kasus iiifdafs

Upload: jovan-octara

Post on 23-Feb-2018

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    1/60

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. Kasus 3

    Laki-laki 37 tahun, batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-

    kadang disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat

    badan turun 2 kg dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah berobat

    belum ada perubahan.

    B. Kata Kunci

    1.

    Laki-laki 37 tahun

    2.

    Batuk produktif

    3 Dispneu

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    2/60

    b. Klasifikasi Batuk

    Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa

    diklasifikasikan mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama

    kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga hingga

    delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama lebih dari delapan

    minggu.

    1) Batuk Akut

    Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan

    merupakan simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter.

    Kebanyakan kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus respiratori

    yang merupakanself-limiting dan bisa sembuh selama seminggu (Haque,

    2005). Dalam situasi ini, batuk merupakan simptom yang sementara dan

    k k l bih ti d l t k i l f d

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    3/60

    pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik kronis. Batuk

    golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya

    penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).

    Klafisikasi batuk berdasarkan tanda klinis adalah :

    1) Batuk kering

    Terjadi apabila tidak ada sekresi saluran nafas, iritasi pada

    tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit. Batuk kering sering kali

    mengganggu dan pada beberapa kondisi tertentu berbahaya, misalnya

    pasca operasi sehingga perlu ditekan.

    2)

    Batuk produktif

    Batuk yang terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan.

    2 Di

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    4/60

    Dispneu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    1) Inspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu inspirasi yang

    disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-paru.

    2) Ekspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu ekspirasi yang

    disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar dari paru-paru.

    3) Kardiak dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan primer penyakit jantung.

    4) Exertional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena olahraga.

    5)

    Exspansional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena

    kesulitan ekspansi dari rongga toraks.

    6)

    Paroksismal dispnea, yaitu dispnea yang terjadi sewaktu-waktu, baik

    pada malam maupun siang hari.

    7)

    Ortostatik dispnea, yaitu dispnea yang berkurang pada waktu posisi

    d d k

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    5/60

    3. Keringat Malam Pada Malam Hari

    a. Definisi

    Suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada malam hari yang

    diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang berlebihan. Suhu

    tubuh normal pada manusia memiliki irama sirkadian dimana paling rendah

    pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1C dan meningkat menjadi 37.4C atau

    lebih tingi pada sre hari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant, 1991;

    Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/keringat malam

    mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu tubuh

    terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten pada

    setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberculosis

    b bk d d l h i

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    6/60

    5.Berat Badan Turun

    a. Pengertian

    Berat badan turun adalah meningkatnya metabolisme tubuh karena

    peningkatan penggunaan energi metabolic tetapi tidak disertai asupan nutrisi

    yang memadai.

    6. Febris

    a. Pengertian

    Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal

    sehari-hariyang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di

    hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara

    36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal

    t t 38 0C t l t t 37 5C t ill t t

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    7/60

    Demam Septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik

    ke tingkat yang tinggi sekali pada malam

    hari dan turun kembali ke tingkat di atas

    normal pada pagi hari

    Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik

    ketingkat yang tinggi sekali pada malam

    hari dan turun kembali ke tingkat yang

    normal pada pagi hari

    Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun

    setiap hari tetapi tidak pernah mencapai

    suhu normal

    Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ket

    i k l l b b j

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    8/60

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tuberkulosis Paru

    1. Definisi dan Etiologi

    Tuberkulosis paru adalah suatu infeksi menular saluran pernapasan yang

    seringkali ditandai dengan batuk produktif lebih dari 3 minggu, nyeri dada,

    hemoptisis dan keringat pada malam hari. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri

    Mtb, bersifat aerob obligat, berbentuk batang halus berukuran 3 x 0.5 m, tidak

    berspora dan tidak bersimpai. Kuman ini tergolong dalam bakteri tahan asam

    (BTA) dan pada pewarnaan cara Ziehl-Nielsen terlihat berwarna merah dengan

    latar biru.

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    9/60

    1) Kondisi Imunosupresif

    Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah faktor risiko yang

    paling potensial pada perkembangan TB paru aktif. Koinfeksi HIV

    memperparah perjalanan penyakit TB, begitupun koinfeksi TB

    mempercepat replikasi virus HIV pada organ yang terkena, termasuk

    paru dan pleura. Individu dengan gangguan immune-mediated

    inflammatory disorders (IMID) juga diketahui memiliki risiko terkena

    infeksi TB, terutama setelah penggunaan Tumor Necrosis Factor (TNF)-

    inhibitor untuk mengatasi berbagai penyakit autoimun.

    2)

    Malnutrisi

    Beberapa studi menunjukkan bahwa malnutrisi, baik itu defisiensi

    makronutrien maupun mikronutrien meningkatkan risiko TB paru

    k d d i S d k i f k i TB

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    10/60

    Penderita DM memiliki risiko infeksi 3 kali lebih besar untuk terkena

    infeksi TB dibandingkan dengan orang yang tidak menderita DM. Selain

    itu didapatkan bahwa pasien DM dengan infeksi TB paru memiliki risiko

    kematian 1.89 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien TB paru

    yang tidak menderita DM. Selain itu dalam sebuah penelitian juga

    dinyatakan bahwa lama menderita DM berpengaruh terhadap kejadian

    TB paru. Jenis kelamin pasien DM tipe 2 juga berpengaruh terhadap

    kejadian TB paru.

    b.

    Faktor Sosio-Ekonomi

    Salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk

    menderita TB paru adalah faktor sosioekonomi. Faktor sosioekonomi

    meliputi kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan polusi udara.

    1) M k k

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    11/60

    memiliki kebiasaan penyalahgunaan alkohol. Hal ini dapat terjadi karena

    perubahan sistem imun terutama pada produksi sitokin.

    3) Polusi Udara

    Di negara-negara berkembang, presentasi penggunaan bahan

    bakar padat untuk memasak lebih dari 80%.26 Kayu bakar sebelumnya

    telah lama dikenal sebagai faktor risiko infeksi TB paru pada suatu studi

    kasus kontrol di India Brazil. Asap kayu bakar dapat mengganggu fungsi

    makrofag fagositik, surface adherence, dan bersihan bakteri.

    4. Cara Penularan

    Proses terjadinya infeksi oleh Mtb biasanya secara inhalasi, sehingga TB

    paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya.

    P l ki i i b i b l l i i h l i d l l i kh

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    12/60

    terkena TB antara lain dipengaruhi oleh, adanya kontak yang erat dan lama

    dengan penderita, derajat keparahan, dan faktor lingkungan.

    Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru. Dari

    sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus

    (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah

    bening di hilus (limfangitis regional). Afek primer bersama-sama dengan

    limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini dapat

    sembuh tanpa cacat (restitution ad integrum), sembuh dengan meninggalkan

    bekas (fokus Ghon, garis fibrotik, dan perkapuran di hilus), atau menyebar secara

    perkontinuatum, bronkogen, hematogen atau limfogen. Inilah yang kemudian

    disebut sebagai TB primer. Tuberkulosis paru post-primer muncul bertahun-

    tahun kemudian setelah TB primer. Bentuk TB inilah yang terutama menjadi

    l h k h k k d j di b l

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    13/60

    6. Klasifikasi

    Klasifikasi TB paru menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

    tahun

    2011 adalah sebagai berikut :

    a. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak BTA

    Tuberkulosis paru dapat diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan

    dahak melalui pewarnaan BTA dan pemeriksaan mikroskopis. Adapun

    klasifikasi tersebut adalah TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.

    1)

    Tuberkulosis Paru BTA Positif

    Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

    BTA positif atau hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

    i if d k l i di l i j kk b k if

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    14/60

    1) Kasus Baru

    Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

    OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis

    harian).

    2) Kasus Kambuh

    Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

    TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian

    kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

    biakan positif. Bila hasil pemeriksaan BTA negatif tetapi gambaran

    radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis

    maka harus dipikirkan apakah gambaran merupakan lesi non-TB seperti

    pneumonia, bronkiektasis, jamur, dan keganasan atau TB paru kambuh

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    15/60

    Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

    menjadi positif pada akhir bulan kelima atau penderita dengan hasil BTA

    negatif gambaran radiologik positif dan menjadi BTA positif pada akhir

    bulan kedua pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang dengan hasil

    perburukan.

    6) Kasus Kronik

    Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif

    setelah selesai pengobatan ulang kategori dua dengan pengawasan yang

    baik.

    7)

    Kasus Bekas Tuberkulosis

    Hasil pemeriksaan sputum mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)

    negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    16/60

    medical heck up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, pasien

    mungkin tidak mengalami gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena

    iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke

    luar.

    b. Gejala Sistemik

    Gejala sistemik yang tampak pada pasien TB paru pada umumnya

    adalah demam dengan malaise, keringat malam, dan penurunan berat badan.

    8. Diagnosis

    a. Pemeriksaan Fisik

    Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    17/60

    b. Pemeriksaan Bakteriologik

    Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai

    arti sangat penting dalam penegakan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

    radiologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

    bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urine, feses, dan

    jaringan biopsi. Dahak diambil dalam tiga waktu, yakni sewaktu kunjungan,

    keesokan paginya, dan sewaktu mengantarkan dahak pagi. Atau dapat

    diambil setiap pagi selama tiga hari berturut-turut.

    c. Pemeriksaan Radiologik

    Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    18/60

    2) Kalsifikasi atau fibrotic.

    3) Kompleks ranke.

    4) Schwarte atau penebalan pleura.

    9. Tatalaksana

    Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase

    lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat

    utama dan tambahan. Pemaparan di bawah ini adalah panduan pengobatan TB

    berdasarkan konsesus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:

    a. Obat Anti Tuberkulosis

    1)

    Obat Utama

    a)

    INH

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    19/60

    Kombinasi obat yang dapat diberikan antara lain 2 RHZE / 4 RH

    dengan alternatif 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE / 6 HE.

    2) Kasus Baru BTA Negatif

    Kombinasi obat yang dapat diberikan adalah 2 RHZ / 4 RH

    dengan alternatof 2 RHX / 4 R3H3 atau 6 cRHE.

    3) Kasus Kambuh

    Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam

    OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat

    diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan

    6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga kombinasi

    obat yang diberikan adalah 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada/tidak dilakukan

    uji resistensi, maka alternative diberikan paduan obat : 2 RHZE/1,

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    20/60

    b) Berobat 4 bulan, BTA positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan

    paduan pengobatan yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan

    yang lebih lama.

    c) Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan

    tetapi klinik dan/atau radiologik positif. Pengobatan diulang dari awal

    dengan paduan obat yang sama.

    d) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 24 minggu,

    pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.

    10.Evaluasi Pengobatan

    Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek

    samping obat, serta evaluasi keteraturan obat.

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    21/60

    Evaluasi radiologik dilakukan di waktu yang sama dengan evaluasi

    bakteriologik. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan saat sebelum

    pengobatan dimulai, setelah dua bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang

    juga dipikirkan kemungkinan keganasan), dan pada akhir pengobatan.

    d. Evaluasi Efek Samping Secara Klinik

    Bila memungkinkan sebaiknya pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal,

    dan darah lengkap dilakukan di awal. Pemeriksaan fungsi hati meliputi

    SGPT, SGOT, dan bilirubin. Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi ureum dan

    kreatinin. Gula darah dan asam urat juga perlu dilakukan pemeriksaan. Asam

    urat diperiksa bila pasien menggunakan pirazinamid, pemeriksaan visus dan

    uji buta warna dilakukan apabila pasien menggunakan etambutol (bila ada

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    22/60

    dilakukan pada pasien, keluarga, dan lingkungannya karena ketidakteraturan

    mengonsumsi OAT akan menyebabkan timbulnya resistensi. Seorang pasien

    TB paru dapat dikatakan sembuh apabila :

    1) BTA mikroskopis negatif dua kali, yakni pada akhir fase intensif dan

    akhir pengobatan dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

    2) Pada foto toraks didapatkan gambaran radiologi serial yang tetap sama

    atau menunjukkan perbaikan.

    3)

    Bila ada fasilitas pembiakan, maka kriteria kesembuhan ditambah dengan

    adanya biakan yang negatif.

    f. Evaluasi Pasien yang Telah Sembuh

    Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    23/60

    b. Penumotoraks

    c. Luluh Paru

    d. Gagal Napas

    e. Gagal Jantung

    f. Efusi Pleura

    B. Bronkitis

    1. Definisi Bronkitis

    Bronktis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernafasan

    (bronkus). Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penyebabnya bisa dari,

    bakteri, alergi, dan lainnya (Dorland, 1995: 22). Pada kelompok pertama gejalanya

    hampir sama dengan pneumonia ringan berupa batuk-batuk dengan dahak

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    24/60

    b. Chronic atau recurrent muco purulent bronchitis : bila spatum bersifat

    mukopuruler

    c. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran nafasyang timbul

    apabila terpanjang zat iritan atau ada infeksi saluranpernafasan akut (Sibuea,

    Herdin dkk, 2005:59).

    Padahal yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah suatu sindrom klinik

    berupa batuk-batuk kronis berdahak setiap hari selama paling sedikit 3 bulan dan

    selama paling sedikti 2 tahun berturut-turut dengan demikian tidak dipersoalkan apa

    yang menjadi etiologinya serta bagaimana perubahan patofisiologis anatominya

    (Danusantoso, Halim, 2005:72).

    3. Epidemiologi

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    25/60

    4. Etiologi

    Secara umum penyebab bronkitis dapat dibagi berdasarkan faktor lingkungan

    dan faktorhost/penderita.

    Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,

    merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri

    (Staphylococcus,Pertusis,Tuberculosis, mikoplasma), infeksi virus (RSV,

    Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara

    meliputi polusi asaprokok atau uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan

    faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru

    yang sudah ada (Setiawati, Makmuri dan Asih, 2006).

    Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    26/60

    Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu

    yang dapatmenyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa

    disebabkan olehberbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa pelarut

    organik klorin,hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara yang

    menyebabkan iritasiozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya.

    Faktor etiologi utama adalah zat polutan (Rahmadani dan Marlina, 2011).

    5. Patofisiologi

    Invasi virus menyebabkan obstruktis bronkhitis akibat amukulasi mucus,

    debresi dan edema terjadi resistensi aliran udara pernafasanberbanding terbalik

    (dengan radius lumen pangkat empat), baik pada faseinpirasi maupun fese ekspirasi

    terdapat mekanisme klep yaituterperangkapnya udara yang menimbulkan obserinflasi

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    27/60

    b. Rambut silia epitel bronkus yang bergerak terus menerus dan memindahkan lendir

    dari bronkus dan trakea dengan perlahan-lahan. Kearah mulut mengalami

    kelumpuhan.

    c. Terjadi penumpukan lendir dan bakteri yang tidak dibuang akan berkembang biak

    serta membangunkan lekosit untuk menyerang sputum yang purulenta akan

    terbentuk, disusul oleh batuk yang produktif pada penderita dengan bronkus yang

    peka, bronkus yang hiperaktif terjadi kekejangan otot-otot bronkus dan edema

    mukosa (Sibuea, Herdin, 2005:60).

    6. Manifestasi Klinis

    Penderita selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang sudah bertahun-

    tahun lamanya untuk kemudian disusul dengan bunyi nafas dan sesak. Berbeda

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    28/60

    7. Diagnosis

    a. Anamnesis

    Keluhan utama pada klien dengan bronkhitis meliputi batuk kering, produktif

    dengan sputum purulen, demam dengan suhu tubuh dapat mencapai >40C, dan

    sesak nafas (Sibuea, Herdin dkk, 2005:61).

    b. Pemeriksaan Fisik

    Pada stadium dini tidak di temukan kelainan fisik hanya kadang-kadang

    terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi, kadang di sertai bising

    mengi juga di dapatkan tanda-tanda overinflasi paru.

    1)

    Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

    Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan bronkhitis

    biasanya di dapatkan adanya peningkatan suhu tubuh lebih dari 40C,

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    29/60

    Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya perubahan pada

    peningkatan eosinofil (berdasarkan pada hasil hitung jenis darah). Sputum

    diperiksa secara mikroskopi untuk diagnosis banding dengan tuberkulosis paru.

    1) Darah

    Pemeriksaan darah rutin hanya dapat memperkuat dugaan saja, yaitu

    lektosis ringan (tidak selalu) dengan pergeseran tekanan, yang sebenarnya tak

    bersedia dengan keadaan-keadaan dengan infeksi kronis lain. Kultur darah

    seringkali tak menunjukan adanya bakteriemi kadang-kadang dapat

    memberikan hasil positif, sehingga kemungkinan timbulnya metostasis

    pernanahan (terutama di otak) perlu diwaspadai.

    2)

    Sputum

    Pemeriksaan sputum memegang peranan yang sangat penting dan dapat

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    30/60

    5) Banyak minum air hangat

    b. Medikamentosa

    Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan

    bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang

    mereka derita sering kali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik

    atau common cold . Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut

    hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik

    dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus.

    1)

    Pemberian Antibiotik

    Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 6580 % pasien dengan

    bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    31/60

    2)

    Bronkodilator

    Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    32/60

    3) Antitusif

    Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat

    tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan

    bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan

    memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua

    obattersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan penyakit

    saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak

    direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian.

    Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efe

    ktif dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian,

    sebanyak 710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan

    gejala batuk, secara acak diberikan dosis tunggal 30mg Dekstromethorpan

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    33/60

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    34/60

    Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan

    penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,

    nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO

    1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di

    dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi

    pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan

    merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.

    Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.

    Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan

    50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari

    untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila

    tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    35/60

    3. Etiologi

    Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu

    bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang

    diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,

    sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif

    sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir

    ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang

    ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri

    Gram negatif.

    4. Patofisiologi

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    36/60

    Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.

    Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau

    jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai

    bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi

    kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke

    saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan

    permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret

    orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan

    kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).

    Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,

    sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer

    inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    37/60

    a. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.

    b.

    Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah

    merah.

    c. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan

    jumlah PMN yang banyak.

    d. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,

    leukosit dan alveolar makrofag.

    Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray

    hepatization' ialah konsolodasi yang luas.

    5. Klasifikasi Pneumonia

    a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    38/60

    2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

    3)

    Pneumonia virus

    4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

    pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

    c. Berdasarkan predileksi infeksi

    1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan

    orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan

    sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda

    asing atau proses keganasan

    2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan

    paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    39/60

    napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus,

    yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

    c. Pemeriksaan Penunjang

    1) Gambaran radiologis

    Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama

    untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat

    sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan

    interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas

    menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah

    diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering

    disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    40/60

    7. Penatalaksanaan

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    41/60

    Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia

    komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat

    inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan

    di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.

    D. Bronkiektasis

    1. Definisi

    Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi dapat bersifat

    fokal atau difus, biasanya diaibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi pernapasan

    proksimal, atau abnormalitas bronkus kongenital. Bronkiektasis dapat

    dikelompokkan berdasarkan gambaran radiologi atau patologi jalur pernapasan

    menjadi silinder, varicose, dan kistik.

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    42/60

    aeruginosa atau Haemophilus influenza, menyebabkan proses peradangan dan

    merusak dinding bronkus. Infeksi, khususnya oleh kedua mikroorganisme tersebut,

    menghasilkan pigmen, protease, dan toksin yang dapat merusak epitel pernapasan

    dan klirens mukosilier. Proses inflamasi dan gangguan klirens mukosiler

    menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi infeksi berulang yang

    akan terus menyebabkan proses inflamasi dan gangguan klirens mukosilier. Proses

    tersebut dikenal dengan hipotesis Vicious Cycle. Proses tersebut menyebabkan

    neutrofil dan mediator lainnya keluar dan menyebabkan kerusakan epitel yang

    semakin berat, obstruksi, kerusakan jalur napas, dan infeksi berulang.

    4. Manifestasi Klinis

    Pada anamnesis perlu dicari beberapa hal, antara lain :

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    43/60

    5. Pemeriksaan Penunjang

    a.

    Foto toraks dada

    Tidak sensitive dalam mendeteksi derajat dari penyakit (ringan/sedang). Dari

    foto polos, dapat terlihat gambaran seperti jalur tram, cincin, garis paralel dan

    struktur tubular. Pada bronkiektasis sakular, terdapat gambaran ruang kistik, air-

    fluid level atau gambaran honeycomb.

    b. CT scan

    Standar baku dalam mendiagnosis bronkiektasis. Lebih sensitive

    dibandingkan foto polos dada menggambarkan dilatasi salura napas pada kedua

    lobus dan lingual.

    Karakteristik : bronchial tapering menurun, bronkus terlihat 1 cm pada tepi

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    44/60

    6. Tatalaksana

    Tujuan

    a. Tatalaksana infeksi, terutama pada serangan akut.

    b. Peningkatan klirens sekresi trakeobronkial.

    c. Penurunan inflamasi.

    d. Tatalaksana pada masalah lainnya yang teridentifikais.

    Medikamentosa

    Terapi antibiotik merupakan tatalaksana utama pada bronkiektasis. Terapi

    antibiotic dapat dibagi menjadi terapi eksaserbasi akut dan jangka panjang.

    Pemberian terapi antibiotik jangka panjang sebaiknya dilakukan oleh pelayanan

    kesehatan tingkat sekunder atau diatasnya.

    a.

    Eksaserbasi akut

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    45/60

    diperdebatkan. Tindakan rehabilitasi medic dapat membantu, seperti posisi tidur dan

    cara mengeluarkan dahak.

    Bedah

    Operasi hingga saat ini bukan pilihan utama, terutama jika terapi antibiotic

    dan suportif masih efektif. Namun, jika keluhan meningkatkan morbiditas, reseksi

    pada region paru yang terkena dapat menjadi pilihan jika lesi bersifat local atau

    embolisasi jika lesi luas.

    E. Emfisema

    Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya kondisi

    klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    46/60

    2.

    Klasifikasi

    Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan

    perubahan yang terjadi dalam paru-paru :

    a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus

    alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak

    membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada

    yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat

    badan.

    b.

    Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada

    pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi

    kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia

    ( i k t CO2 d l d h t i) li it i d i d l j t

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    47/60

    3. Penyebab

    Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri

    adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita

    emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat

    karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap

    didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab

    kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.

    4. Gejala

    Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus

    Tak dapat ditentukan Kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat

    ditentukan dari mana mulainya

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    48/60

    Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang

    erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak,

    2004).

    b. Keturunan

    Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada

    emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja

    enzim ini menetralkan enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada

    peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan

    jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu

    kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita

    emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru akan

    lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

    I f k i

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    49/60

    alveolar macropagePAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok

    dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi

    menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara

    elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan

    kemudian emfisema.

    6. Manifestasi Klinis

    a.

    Dispnea.

    b.

    Pada inspeksi: bentuk dada barrel chest.

    c.

    Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot

    aksesori pernapasan (sternokleidomastoid).

    d.

    Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.

    P d k lt i t d b i d k k l ki d j

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    50/60

    Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan

    paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)

    dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).

    Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk

    disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru

    berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar.

    Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu

    terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,

    sehingga saluran bagian bawah paru akan tertutup.

    Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih

    cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan

    tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran

    t d di di l li k k b bk til i

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    51/60

    Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena jugularis,

    atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).

    Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu

    melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis

    menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu

    dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatkan

    tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Jika demikian,

    paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

    Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan

    negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus

    dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan

    kerja keras otot-otot pernafasan yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga

    t fik i d di d b if t i d b h b t k d d

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    52/60

    kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli yang

    mengalami kerusakan dan jalan nafas yang menyempit meningkatkan upaya

    pernafasan (Smeltzer dan Bare, 2002).

    8. Komplikasi

    a.

    Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan

    b. Daya tahan tubuh kurang sempurna

    c.

    Tingkat kerusakan paru semakin parah

    d.

    Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas

    e.

    Pneumonia

    f.

    Atelaktasis

    g.

    Pneumothoraks

    h M i k tk ik l f d i

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    53/60

    c. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma;

    penurunan emfisema.

    d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.

    e. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.

    f. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun

    pada bronkitis dan asma.

    g. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis.

    h.

    h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,

    kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa

    yang terlihat pada bronchitis.

    i.

    JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan

    eosinofil (asma).

    j Ki i d h Alf 1 tit i i dil k k t k ki k d fi i i d

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    54/60

    10.Pencegahan dan Pengobatan

    Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu

    mencegah penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti

    merokok mencegah perkembangan penyakit. Pengobatan didasarkan pada gejala

    yang terjadi, apakah gejalanya ringan, sedang atau berat. Perlakuan termasuk

    menggunakan inhaler, pemberian oksigen, obat-obatan dan kadang-kadang operasi

    untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    55/60

    BAB III

    PATOFISIOLOGI

    A. Batuk

    Pola dasar batuk bisa dibagi kepada empat komponen yaitu inspirasi dalam

    yang cepat, ekspirasi terhadap glotis yang tertutup, pembukaan glotis secara tiba-tiba

    dan terakhir relaksasi otot ekspiratori (McGowan, 2006).

    Menurut Weinberger (2005) batuk bisa diinisiasi sama ada secara volunter

    atau refleks. Sebagai refleks pertahanan, ia mempunyai jaras aferen dan eferen. Jaras

    aferen termasuklah reseptor yang terdapat di distribusi sensori nervus trigemineus,

    glossopharingeus, superior laryngeus, dan vagus. Jaras eferen pula termasuklah

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    56/60

    B. Dispneu

    Aktivitas bernapas dimulai dari neuron di medulla spinalis. Serat efferent dari

    medulla spinalis merangsang mekanoreseptor pada saluran napas, paru, dinding

    dada, dalam mengatur pola napas. Selanjutnya serat efferent dari medulla spinalis

    juga merangsang perubahan pada pCO2 dan pO2 yang diatur oleh kemoreseptor

    sentral pada medulla spinalis dan kemoreseptor tepi pada arteri carotis dan aortic

    body. Sinyal dari kemoreseptor ini ditransmisikan kembali ke pusat batang otak yang

    mengatur pernapasan untuk menjaga keseimbangan gas darah dan keseimbangan

    asam-basa. Signal efferent dari mekanoreseptor dan kemoreseptor akan dilanjutkan

    kembali ke pusat napas di cortex cerebri.

    Sesak timbul ketika terjadi ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksia.

    Pada tuberculosis terjadi gangguan pada proses ventilasi yang disebabkan reaksi

    d d l l l h M b t i t b l i F i l l d l h

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    57/60

    makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara

    keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya

    akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran bakteri

    lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF- yang dikeluarkan secara berlebihan

    sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam, nekrosis, dan

    penurunan berat badan dimana semua ini merupakan karakteristik dari tuberculosis

    (Tramontana et al 1995).

    D. Anoreksia dan Penurunan Berat Badan pada TB

    Infeksi Mycobacterium tuberculosis

    Akti i k f l h IFN d k i i d

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    58/60

    pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.

    Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB

    menyebabkan penurunan BB

    E.

    Febris

    Demam terjadi karena adanya suatu pirogen (zat yang menyebabkan demam)

    yang pada kasus ini adalah Mycobacterium tuberculosis atau disebut juga dengan

    piroge eksogen. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih

    (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator

    inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia

    yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF , dan IFN). Pirogeneksogen

    d i d k d th li hi t l t k b t k

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    59/60

    keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang

    sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu

    yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha

    untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal &

    Zhukovsky, 2006).

    BAB IV

  • 7/24/2019 KASUS IIIfdafs

    60/60

    PENJELASAN DD (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)

    TBBRONKITIS

    AKUTPNEUMONIA BRONKIEKTASIS EMFISEMA

    Batuk Batuk produktif,

    remiten

    Batuk produktif,

    remiten, disertai

    dahak berwarna

    kuning kehijauan

    Demam tinggi

    (hiperpireksia)

    Batuk menahun,

    produktif, berbau

    busuk dan/atau

    mengandung darah

    Batuk ringan

    Dispnea

    + +

    Sesak berat, terdapat

    otot pernafasan

    tambahan

    Sesak saat aktivitas Progresif bila

    bergerak

    Keringat dingin

    malam hari

    + - - - -

    Anoreksia + + +

    Penurunan BB + + + + +

    Febris Demam subfebris + + + -