kasus iiifdafs
TRANSCRIPT
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
1/60
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Kasus 3
Laki-laki 37 tahun, batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-
kadang disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat
badan turun 2 kg dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah berobat
belum ada perubahan.
B. Kata Kunci
1.
Laki-laki 37 tahun
2.
Batuk produktif
3 Dispneu
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
2/60
b. Klasifikasi Batuk
Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa
diklasifikasikan mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama
kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga hingga
delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama lebih dari delapan
minggu.
1) Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan
merupakan simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter.
Kebanyakan kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus respiratori
yang merupakanself-limiting dan bisa sembuh selama seminggu (Haque,
2005). Dalam situasi ini, batuk merupakan simptom yang sementara dan
k k l bih ti d l t k i l f d
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
3/60
pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik kronis. Batuk
golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya
penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).
Klafisikasi batuk berdasarkan tanda klinis adalah :
1) Batuk kering
Terjadi apabila tidak ada sekresi saluran nafas, iritasi pada
tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit. Batuk kering sering kali
mengganggu dan pada beberapa kondisi tertentu berbahaya, misalnya
pasca operasi sehingga perlu ditekan.
2)
Batuk produktif
Batuk yang terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan.
2 Di
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
4/60
Dispneu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Inspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu inspirasi yang
disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-paru.
2) Ekspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu ekspirasi yang
disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar dari paru-paru.
3) Kardiak dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan primer penyakit jantung.
4) Exertional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena olahraga.
5)
Exspansional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena
kesulitan ekspansi dari rongga toraks.
6)
Paroksismal dispnea, yaitu dispnea yang terjadi sewaktu-waktu, baik
pada malam maupun siang hari.
7)
Ortostatik dispnea, yaitu dispnea yang berkurang pada waktu posisi
d d k
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
5/60
3. Keringat Malam Pada Malam Hari
a. Definisi
Suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada malam hari yang
diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang berlebihan. Suhu
tubuh normal pada manusia memiliki irama sirkadian dimana paling rendah
pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1C dan meningkat menjadi 37.4C atau
lebih tingi pada sre hari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant, 1991;
Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/keringat malam
mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu tubuh
terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten pada
setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberculosis
b bk d d l h i
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
6/60
5.Berat Badan Turun
a. Pengertian
Berat badan turun adalah meningkatnya metabolisme tubuh karena
peningkatan penggunaan energi metabolic tetapi tidak disertai asupan nutrisi
yang memadai.
6. Febris
a. Pengertian
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari-hariyang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara
36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal
t t 38 0C t l t t 37 5C t ill t t
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
7/60
Demam Septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik
ke tingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari
Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik
ketingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat yang
normal pada pagi hari
Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun
setiap hari tetapi tidak pernah mencapai
suhu normal
Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ket
i k l l b b j
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
8/60
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis paru adalah suatu infeksi menular saluran pernapasan yang
seringkali ditandai dengan batuk produktif lebih dari 3 minggu, nyeri dada,
hemoptisis dan keringat pada malam hari. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri
Mtb, bersifat aerob obligat, berbentuk batang halus berukuran 3 x 0.5 m, tidak
berspora dan tidak bersimpai. Kuman ini tergolong dalam bakteri tahan asam
(BTA) dan pada pewarnaan cara Ziehl-Nielsen terlihat berwarna merah dengan
latar biru.
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
9/60
1) Kondisi Imunosupresif
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah faktor risiko yang
paling potensial pada perkembangan TB paru aktif. Koinfeksi HIV
memperparah perjalanan penyakit TB, begitupun koinfeksi TB
mempercepat replikasi virus HIV pada organ yang terkena, termasuk
paru dan pleura. Individu dengan gangguan immune-mediated
inflammatory disorders (IMID) juga diketahui memiliki risiko terkena
infeksi TB, terutama setelah penggunaan Tumor Necrosis Factor (TNF)-
inhibitor untuk mengatasi berbagai penyakit autoimun.
2)
Malnutrisi
Beberapa studi menunjukkan bahwa malnutrisi, baik itu defisiensi
makronutrien maupun mikronutrien meningkatkan risiko TB paru
k d d i S d k i f k i TB
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
10/60
Penderita DM memiliki risiko infeksi 3 kali lebih besar untuk terkena
infeksi TB dibandingkan dengan orang yang tidak menderita DM. Selain
itu didapatkan bahwa pasien DM dengan infeksi TB paru memiliki risiko
kematian 1.89 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien TB paru
yang tidak menderita DM. Selain itu dalam sebuah penelitian juga
dinyatakan bahwa lama menderita DM berpengaruh terhadap kejadian
TB paru. Jenis kelamin pasien DM tipe 2 juga berpengaruh terhadap
kejadian TB paru.
b.
Faktor Sosio-Ekonomi
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
menderita TB paru adalah faktor sosioekonomi. Faktor sosioekonomi
meliputi kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan polusi udara.
1) M k k
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
11/60
memiliki kebiasaan penyalahgunaan alkohol. Hal ini dapat terjadi karena
perubahan sistem imun terutama pada produksi sitokin.
3) Polusi Udara
Di negara-negara berkembang, presentasi penggunaan bahan
bakar padat untuk memasak lebih dari 80%.26 Kayu bakar sebelumnya
telah lama dikenal sebagai faktor risiko infeksi TB paru pada suatu studi
kasus kontrol di India Brazil. Asap kayu bakar dapat mengganggu fungsi
makrofag fagositik, surface adherence, dan bersihan bakteri.
4. Cara Penularan
Proses terjadinya infeksi oleh Mtb biasanya secara inhalasi, sehingga TB
paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya.
P l ki i i b i b l l i i h l i d l l i kh
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
12/60
terkena TB antara lain dipengaruhi oleh, adanya kontak yang erat dan lama
dengan penderita, derajat keparahan, dan faktor lingkungan.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfangitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini dapat
sembuh tanpa cacat (restitution ad integrum), sembuh dengan meninggalkan
bekas (fokus Ghon, garis fibrotik, dan perkapuran di hilus), atau menyebar secara
perkontinuatum, bronkogen, hematogen atau limfogen. Inilah yang kemudian
disebut sebagai TB primer. Tuberkulosis paru post-primer muncul bertahun-
tahun kemudian setelah TB primer. Bentuk TB inilah yang terutama menjadi
l h k h k k d j di b l
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
13/60
6. Klasifikasi
Klasifikasi TB paru menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
tahun
2011 adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak BTA
Tuberkulosis paru dapat diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan
dahak melalui pewarnaan BTA dan pemeriksaan mikroskopis. Adapun
klasifikasi tersebut adalah TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.
1)
Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif atau hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
i if d k l i di l i j kk b k if
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
14/60
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).
2) Kasus Kambuh
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif. Bila hasil pemeriksaan BTA negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis
maka harus dipikirkan apakah gambaran merupakan lesi non-TB seperti
pneumonia, bronkiektasis, jamur, dan keganasan atau TB paru kambuh
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
15/60
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima atau penderita dengan hasil BTA
negatif gambaran radiologik positif dan menjadi BTA positif pada akhir
bulan kedua pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang dengan hasil
perburukan.
6) Kasus Kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori dua dengan pengawasan yang
baik.
7)
Kasus Bekas Tuberkulosis
Hasil pemeriksaan sputum mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
16/60
medical heck up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, pasien
mungkin tidak mengalami gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke
luar.
b. Gejala Sistemik
Gejala sistemik yang tampak pada pasien TB paru pada umumnya
adalah demam dengan malaise, keringat malam, dan penurunan berat badan.
8. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
17/60
b. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai
arti sangat penting dalam penegakan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
radiologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urine, feses, dan
jaringan biopsi. Dahak diambil dalam tiga waktu, yakni sewaktu kunjungan,
keesokan paginya, dan sewaktu mengantarkan dahak pagi. Atau dapat
diambil setiap pagi selama tiga hari berturut-turut.
c. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
18/60
2) Kalsifikasi atau fibrotic.
3) Kompleks ranke.
4) Schwarte atau penebalan pleura.
9. Tatalaksana
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan. Pemaparan di bawah ini adalah panduan pengobatan TB
berdasarkan konsesus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:
a. Obat Anti Tuberkulosis
1)
Obat Utama
a)
INH
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
19/60
Kombinasi obat yang dapat diberikan antara lain 2 RHZE / 4 RH
dengan alternatif 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE / 6 HE.
2) Kasus Baru BTA Negatif
Kombinasi obat yang dapat diberikan adalah 2 RHZ / 4 RH
dengan alternatof 2 RHX / 4 R3H3 atau 6 cRHE.
3) Kasus Kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam
OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan
6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga kombinasi
obat yang diberikan adalah 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada/tidak dilakukan
uji resistensi, maka alternative diberikan paduan obat : 2 RHZE/1,
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
20/60
b) Berobat 4 bulan, BTA positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan pengobatan yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama.
c) Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan
tetapi klinik dan/atau radiologik positif. Pengobatan diulang dari awal
dengan paduan obat yang sama.
d) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 24 minggu,
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.
10.Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan obat.
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
21/60
Evaluasi radiologik dilakukan di waktu yang sama dengan evaluasi
bakteriologik. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan saat sebelum
pengobatan dimulai, setelah dua bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang
juga dipikirkan kemungkinan keganasan), dan pada akhir pengobatan.
d. Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
Bila memungkinkan sebaiknya pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal,
dan darah lengkap dilakukan di awal. Pemeriksaan fungsi hati meliputi
SGPT, SGOT, dan bilirubin. Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi ureum dan
kreatinin. Gula darah dan asam urat juga perlu dilakukan pemeriksaan. Asam
urat diperiksa bila pasien menggunakan pirazinamid, pemeriksaan visus dan
uji buta warna dilakukan apabila pasien menggunakan etambutol (bila ada
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
22/60
dilakukan pada pasien, keluarga, dan lingkungannya karena ketidakteraturan
mengonsumsi OAT akan menyebabkan timbulnya resistensi. Seorang pasien
TB paru dapat dikatakan sembuh apabila :
1) BTA mikroskopis negatif dua kali, yakni pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
2) Pada foto toraks didapatkan gambaran radiologi serial yang tetap sama
atau menunjukkan perbaikan.
3)
Bila ada fasilitas pembiakan, maka kriteria kesembuhan ditambah dengan
adanya biakan yang negatif.
f. Evaluasi Pasien yang Telah Sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
23/60
b. Penumotoraks
c. Luluh Paru
d. Gagal Napas
e. Gagal Jantung
f. Efusi Pleura
B. Bronkitis
1. Definisi Bronkitis
Bronktis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernafasan
(bronkus). Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penyebabnya bisa dari,
bakteri, alergi, dan lainnya (Dorland, 1995: 22). Pada kelompok pertama gejalanya
hampir sama dengan pneumonia ringan berupa batuk-batuk dengan dahak
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
24/60
b. Chronic atau recurrent muco purulent bronchitis : bila spatum bersifat
mukopuruler
c. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran nafasyang timbul
apabila terpanjang zat iritan atau ada infeksi saluranpernafasan akut (Sibuea,
Herdin dkk, 2005:59).
Padahal yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah suatu sindrom klinik
berupa batuk-batuk kronis berdahak setiap hari selama paling sedikit 3 bulan dan
selama paling sedikti 2 tahun berturut-turut dengan demikian tidak dipersoalkan apa
yang menjadi etiologinya serta bagaimana perubahan patofisiologis anatominya
(Danusantoso, Halim, 2005:72).
3. Epidemiologi
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
25/60
4. Etiologi
Secara umum penyebab bronkitis dapat dibagi berdasarkan faktor lingkungan
dan faktorhost/penderita.
Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,
merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri
(Staphylococcus,Pertusis,Tuberculosis, mikoplasma), infeksi virus (RSV,
Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara
meliputi polusi asaprokok atau uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan
faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru
yang sudah ada (Setiawati, Makmuri dan Asih, 2006).
Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
26/60
Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu
yang dapatmenyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa
disebabkan olehberbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa pelarut
organik klorin,hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara yang
menyebabkan iritasiozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya.
Faktor etiologi utama adalah zat polutan (Rahmadani dan Marlina, 2011).
5. Patofisiologi
Invasi virus menyebabkan obstruktis bronkhitis akibat amukulasi mucus,
debresi dan edema terjadi resistensi aliran udara pernafasanberbanding terbalik
(dengan radius lumen pangkat empat), baik pada faseinpirasi maupun fese ekspirasi
terdapat mekanisme klep yaituterperangkapnya udara yang menimbulkan obserinflasi
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
27/60
b. Rambut silia epitel bronkus yang bergerak terus menerus dan memindahkan lendir
dari bronkus dan trakea dengan perlahan-lahan. Kearah mulut mengalami
kelumpuhan.
c. Terjadi penumpukan lendir dan bakteri yang tidak dibuang akan berkembang biak
serta membangunkan lekosit untuk menyerang sputum yang purulenta akan
terbentuk, disusul oleh batuk yang produktif pada penderita dengan bronkus yang
peka, bronkus yang hiperaktif terjadi kekejangan otot-otot bronkus dan edema
mukosa (Sibuea, Herdin, 2005:60).
6. Manifestasi Klinis
Penderita selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang sudah bertahun-
tahun lamanya untuk kemudian disusul dengan bunyi nafas dan sesak. Berbeda
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
28/60
7. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama pada klien dengan bronkhitis meliputi batuk kering, produktif
dengan sputum purulen, demam dengan suhu tubuh dapat mencapai >40C, dan
sesak nafas (Sibuea, Herdin dkk, 2005:61).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak di temukan kelainan fisik hanya kadang-kadang
terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi, kadang di sertai bising
mengi juga di dapatkan tanda-tanda overinflasi paru.
1)
Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan bronkhitis
biasanya di dapatkan adanya peningkatan suhu tubuh lebih dari 40C,
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
29/60
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya perubahan pada
peningkatan eosinofil (berdasarkan pada hasil hitung jenis darah). Sputum
diperiksa secara mikroskopi untuk diagnosis banding dengan tuberkulosis paru.
1) Darah
Pemeriksaan darah rutin hanya dapat memperkuat dugaan saja, yaitu
lektosis ringan (tidak selalu) dengan pergeseran tekanan, yang sebenarnya tak
bersedia dengan keadaan-keadaan dengan infeksi kronis lain. Kultur darah
seringkali tak menunjukan adanya bakteriemi kadang-kadang dapat
memberikan hasil positif, sehingga kemungkinan timbulnya metostasis
pernanahan (terutama di otak) perlu diwaspadai.
2)
Sputum
Pemeriksaan sputum memegang peranan yang sangat penting dan dapat
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
30/60
5) Banyak minum air hangat
b. Medikamentosa
Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan
bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang
mereka derita sering kali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik
atau common cold . Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut
hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik
dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus.
1)
Pemberian Antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 6580 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
31/60
2)
Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
32/60
3) Antitusif
Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat
tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan
bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan
memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua
obattersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan penyakit
saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak
direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian.
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efe
ktif dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian,
sebanyak 710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan
gejala batuk, secara acak diberikan dosis tunggal 30mg Dekstromethorpan
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
33/60
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
34/60
Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,
nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan
merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan
50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila
tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
35/60
3. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.
4. Patofisiologi
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
36/60
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke
saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
37/60
a. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
b.
Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
c. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
d. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray
hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
5. Klasifikasi Pneumonia
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
38/60
2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
3)
Pneumonia virus
4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan
2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
39/60
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus,
yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
40/60
7. Penatalaksanaan
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
41/60
Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia
komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat
inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan
di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.
D. Bronkiektasis
1. Definisi
Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi dapat bersifat
fokal atau difus, biasanya diaibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi pernapasan
proksimal, atau abnormalitas bronkus kongenital. Bronkiektasis dapat
dikelompokkan berdasarkan gambaran radiologi atau patologi jalur pernapasan
menjadi silinder, varicose, dan kistik.
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
42/60
aeruginosa atau Haemophilus influenza, menyebabkan proses peradangan dan
merusak dinding bronkus. Infeksi, khususnya oleh kedua mikroorganisme tersebut,
menghasilkan pigmen, protease, dan toksin yang dapat merusak epitel pernapasan
dan klirens mukosilier. Proses inflamasi dan gangguan klirens mukosiler
menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi infeksi berulang yang
akan terus menyebabkan proses inflamasi dan gangguan klirens mukosilier. Proses
tersebut dikenal dengan hipotesis Vicious Cycle. Proses tersebut menyebabkan
neutrofil dan mediator lainnya keluar dan menyebabkan kerusakan epitel yang
semakin berat, obstruksi, kerusakan jalur napas, dan infeksi berulang.
4. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis perlu dicari beberapa hal, antara lain :
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
43/60
5. Pemeriksaan Penunjang
a.
Foto toraks dada
Tidak sensitive dalam mendeteksi derajat dari penyakit (ringan/sedang). Dari
foto polos, dapat terlihat gambaran seperti jalur tram, cincin, garis paralel dan
struktur tubular. Pada bronkiektasis sakular, terdapat gambaran ruang kistik, air-
fluid level atau gambaran honeycomb.
b. CT scan
Standar baku dalam mendiagnosis bronkiektasis. Lebih sensitive
dibandingkan foto polos dada menggambarkan dilatasi salura napas pada kedua
lobus dan lingual.
Karakteristik : bronchial tapering menurun, bronkus terlihat 1 cm pada tepi
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
44/60
6. Tatalaksana
Tujuan
a. Tatalaksana infeksi, terutama pada serangan akut.
b. Peningkatan klirens sekresi trakeobronkial.
c. Penurunan inflamasi.
d. Tatalaksana pada masalah lainnya yang teridentifikais.
Medikamentosa
Terapi antibiotik merupakan tatalaksana utama pada bronkiektasis. Terapi
antibiotic dapat dibagi menjadi terapi eksaserbasi akut dan jangka panjang.
Pemberian terapi antibiotik jangka panjang sebaiknya dilakukan oleh pelayanan
kesehatan tingkat sekunder atau diatasnya.
a.
Eksaserbasi akut
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
45/60
diperdebatkan. Tindakan rehabilitasi medic dapat membantu, seperti posisi tidur dan
cara mengeluarkan dahak.
Bedah
Operasi hingga saat ini bukan pilihan utama, terutama jika terapi antibiotic
dan suportif masih efektif. Namun, jika keluhan meningkatkan morbiditas, reseksi
pada region paru yang terkena dapat menjadi pilihan jika lesi bersifat local atau
embolisasi jika lesi luas.
E. Emfisema
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
46/60
2.
Klasifikasi
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus
alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak
membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada
yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat
badan.
b.
Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada
pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi
kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia
( i k t CO2 d l d h t i) li it i d i d l j t
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
47/60
3. Penyebab
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri
adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita
emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat
karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap
didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab
kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
4. Gejala
Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus
Tak dapat ditentukan Kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat
ditentukan dari mana mulainya
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
48/60
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang
erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak,
2004).
b. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja
enzim ini menetralkan enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada
peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan
jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu
kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita
emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru akan
lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
I f k i
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
49/60
alveolar macropagePAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok
dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi
menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan
kemudian emfisema.
6. Manifestasi Klinis
a.
Dispnea.
b.
Pada inspeksi: bentuk dada barrel chest.
c.
Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot
aksesori pernapasan (sternokleidomastoid).
d.
Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
P d k lt i t d b i d k k l ki d j
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
50/60
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan
paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)
dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).
Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk
disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru
berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar.
Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan
tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran
t d di di l li k k b bk til i
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
51/60
Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena jugularis,
atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis
menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu
dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatkan
tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Jika demikian,
paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan
negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan
kerja keras otot-otot pernafasan yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga
t fik i d di d b if t i d b h b t k d d
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
52/60
kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli yang
mengalami kerusakan dan jalan nafas yang menyempit meningkatkan upaya
pernafasan (Smeltzer dan Bare, 2002).
8. Komplikasi
a.
Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
b. Daya tahan tubuh kurang sempurna
c.
Tingkat kerusakan paru semakin parah
d.
Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
e.
Pneumonia
f.
Atelaktasis
g.
Pneumothoraks
h M i k tk ik l f d i
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
53/60
c. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma;
penurunan emfisema.
d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun
pada bronkitis dan asma.
g. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis.
h.
h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,
kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa
yang terlihat pada bronchitis.
i.
JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan
eosinofil (asma).
j Ki i d h Alf 1 tit i i dil k k t k ki k d fi i i d
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
54/60
10.Pencegahan dan Pengobatan
Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu
mencegah penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti
merokok mencegah perkembangan penyakit. Pengobatan didasarkan pada gejala
yang terjadi, apakah gejalanya ringan, sedang atau berat. Perlakuan termasuk
menggunakan inhaler, pemberian oksigen, obat-obatan dan kadang-kadang operasi
untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
55/60
BAB III
PATOFISIOLOGI
A. Batuk
Pola dasar batuk bisa dibagi kepada empat komponen yaitu inspirasi dalam
yang cepat, ekspirasi terhadap glotis yang tertutup, pembukaan glotis secara tiba-tiba
dan terakhir relaksasi otot ekspiratori (McGowan, 2006).
Menurut Weinberger (2005) batuk bisa diinisiasi sama ada secara volunter
atau refleks. Sebagai refleks pertahanan, ia mempunyai jaras aferen dan eferen. Jaras
aferen termasuklah reseptor yang terdapat di distribusi sensori nervus trigemineus,
glossopharingeus, superior laryngeus, dan vagus. Jaras eferen pula termasuklah
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
56/60
B. Dispneu
Aktivitas bernapas dimulai dari neuron di medulla spinalis. Serat efferent dari
medulla spinalis merangsang mekanoreseptor pada saluran napas, paru, dinding
dada, dalam mengatur pola napas. Selanjutnya serat efferent dari medulla spinalis
juga merangsang perubahan pada pCO2 dan pO2 yang diatur oleh kemoreseptor
sentral pada medulla spinalis dan kemoreseptor tepi pada arteri carotis dan aortic
body. Sinyal dari kemoreseptor ini ditransmisikan kembali ke pusat batang otak yang
mengatur pernapasan untuk menjaga keseimbangan gas darah dan keseimbangan
asam-basa. Signal efferent dari mekanoreseptor dan kemoreseptor akan dilanjutkan
kembali ke pusat napas di cortex cerebri.
Sesak timbul ketika terjadi ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksia.
Pada tuberculosis terjadi gangguan pada proses ventilasi yang disebabkan reaksi
d d l l l h M b t i t b l i F i l l d l h
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
57/60
makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara
keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya
akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran bakteri
lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF- yang dikeluarkan secara berlebihan
sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam, nekrosis, dan
penurunan berat badan dimana semua ini merupakan karakteristik dari tuberculosis
(Tramontana et al 1995).
D. Anoreksia dan Penurunan Berat Badan pada TB
Infeksi Mycobacterium tuberculosis
Akti i k f l h IFN d k i i d
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
58/60
pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.
Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB
menyebabkan penurunan BB
E.
Febris
Demam terjadi karena adanya suatu pirogen (zat yang menyebabkan demam)
yang pada kasus ini adalah Mycobacterium tuberculosis atau disebut juga dengan
piroge eksogen. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia
yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF , dan IFN). Pirogeneksogen
d i d k d th li hi t l t k b t k
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
59/60
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang
sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu
yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha
untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal &
Zhukovsky, 2006).
BAB IV
-
7/24/2019 KASUS IIIfdafs
60/60
PENJELASAN DD (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
TBBRONKITIS
AKUTPNEUMONIA BRONKIEKTASIS EMFISEMA
Batuk Batuk produktif,
remiten
Batuk produktif,
remiten, disertai
dahak berwarna
kuning kehijauan
Demam tinggi
(hiperpireksia)
Batuk menahun,
produktif, berbau
busuk dan/atau
mengandung darah
Batuk ringan
Dispnea
+ +
Sesak berat, terdapat
otot pernafasan
tambahan
Sesak saat aktivitas Progresif bila
bergerak
Keringat dingin
malam hari
+ - - - -
Anoreksia + + +
Penurunan BB + + + + +
Febris Demam subfebris + + + -