keanekaragaman hayati pada rth

Upload: rmarinto

Post on 10-Oct-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Keanekaragaman Hayati Pada RTH

TRANSCRIPT

  • 10

    BAB II

    KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA RUANG HIJAU DI PERKOTAAN

    II. 1. Ruang Terbuka Hijau Kota

    Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik

    dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana

    dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan

    (Permendagri no 1 tahun 2007 tentang penataan RTH kawasan Perkotaan).

    Ruang terbuka di perkotaan terdiri dari:

    1. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP

    adalah:

    a. Bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh

    tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,

    ekonomi dan estetika (Permendagri 1 tahun 2007)

    b. Area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih

    bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah

    maupun yang sengaja ditanam (UU no 26 tahun 2007 tentang penataan

    ruang)

    Biasanya ruang terbuka hijau ini berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai,

    jalan, pantai dan lainnya. Bentuk konkrit yang paling umum dijumpai adalah

    jalur hijau sepanjang jalan dan daerah-daerah resapan air. Tanaman yang ada

    adalah jenis pohon (seperti Damar, Palem Raja), perdu berbunga (seperti

    Oleander, Nusa Indah), semak (Anak Nakal dan Teh-tehan) dan tanaman

    penutup tanah (Kriminil dan rumput).

    2. Ruang Terbuka Non Hijau

    Ruang terbuka non hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved)

    maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau,

    maupun area-area yang diperuntukkan sebagai kawasan genangan (retention

    basin).

    Besaran ruang terbuka di perkotaan dapat dilihat pada diagram II.1 berikut ini:

  • 11

    Diagram II.1. Jenis dan Besaran Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan (RTHKP)

    Sumber: Faisal, 2009

    Tujuan pembentukan Ruang Terbuka Hijau adalah:

    1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana

    lingkungan perkotaan

    2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan bimaan yang berguna

    bagi kepentingan masyarakat. (Inmendagri No. 14 Tahun 1988 tentang

    Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan)

    Fungsi RTH menurut Faisal( 2009) adalah:

    1. Konservasi Tanah dan Air

    2. Ameliorasi Iklim

    3. Pengendali pencemaran

    4. Habitat Satwa dan Konservasi Plasma Nutfah

    5. Sarana Kesehatan dan Olahraga

    6. Sarana Rekreasi dan Wisata

    7. Sarana Pendidikan dan Penyuluhan

    8. Sebagai Area Evakuasi Bencana

  • 12

    9. Pengendali Tata Ruang Kota.

    10. Sumber pendapatan daerah / masyarakat

    Fungsi RTH yang akan dibahas lebih lanjut adalah sebagai habitat satwa dan

    konservasi keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati adalah penyusun

    utama struktur ekosistem yang membentuk suatu jaringan ekologis perkotaan.

    Maka keberadaan keanekaragaman hayati memiliki fungsi yang penting dalam

    RTH kota.

    II.2 Keanekaragaman Hayati di Indonesia

    Tabel II.1. Negara dengan Nilai Keanekaragaman Hayati dan Endemik Tertinggi

    Sumber: Mittermeier et al. 1997 dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993

    Negara

    Nilai

    Keanekaragaman

    Hayati

    Nilai Endemik Nilai Total

    Brazil 30 28 48

    Indonesia 18 33 40

    Colombia 26 10 36

    Australia 5 16 21

    Mexico 8 7 15

    Madagascar 2 12 14

    Peru 9 3 12

    China 7 2 9

    Philippine 0 8 8

    India 4 4 8

    Ecuador 5 0 5

    Venezuela 3 0 3

  • 13

    Tabel II.1. menunjukkan posisi Indonesia dalam peringkat negara dengan

    keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Nilai keanekaragaman hayati dihitung

    dari keragaman lima grup vertebrata (burung, mamalia, reptil, amfibi, dan ikan),

    dua taksa invertebrata (kupu-kupu dan kumbang). Nilai endemik dihitung dari

    empat jenis vertebrata (burung, mamalia, reptil, amfibi), dua taksa invertebrata

    (kupu-kupu dan kumbang), dan tanaman tinggi.

    Meskipun Indonesia hanya menutup 1,3% luas bumi, negara ini memiliki

    keragaman fauna dan spesies yang tinggi (Dephut 1994) yang terbagi atas 10%

    tanaman berbunga dunia, 12% spesies mamalia dunia (515 Spesies, 39% di

    antaranya merupakan spesis endemik yang menduduki peringkat kedua di dunia)

    16% spesies reptil dan amfibi (511 spesies reptil dengan 150 spesies merupakan

    spesies endemik, dan lebih dari 600 spesies amfibi), 17% spesies burung (1531

    Spesies, 397 spesies merupakan spesies endemik) yang merupakan peringkat

    keempat untuk kekayaan spesies burung dunia, dan 121 spesies kupu-kupu, 44%

    merupakan spesies endemik. Keanekaragaman hayati indonesia mengindikasikan

    suatu variasi besar dalam ekosistem dan proses ekologis dengan keluasan habitat

    alami, kekayaan jenis flora dan fauna, dan jumlah pulau endemik yang tinggi,

    Indonesia berada dalam posisi sentral keanekaragaman hayati dunia.

    Keanekaragaman hayati perkotaan adalah keragaman dan kekayaan makhluk

    hidup, termasuk genetik, spesies, dan keanekaragaman habitat yang ditemukan di

    dalam dan di sekitar kota. Perubahan lingkungan alam dan aktifitas manusia,

    mempengaruhi tingkat keragaman hayati (Abendroth, 2009). Contoh spesies yang

    memiliki peranan penting dalam keanekaragaman hayati Indonesia adalah burung

    dan kupu-kupu. Selain sebagai indikator keanekaragaman hayati, burung dan

    kupu-kupu merupakan spesies yang keberadaannya disukai oleh masyarakat dan

    kemunculannya pada RTH tdapat memicu interaksi manusia dengan

    lingkungannya.

    II.2.1. Burung dalam Ekosistem Taman Kota

    Dalam bukunya, Burung-Burung Sumatera, Jawa dan Bali, Mackinnon

    menyatakan bahwa Burung merupakan kelompok besar vertebrata terbesar yang

    menyebar di dunia dengan jumlah sekitar 8600 jenis. Burung hidup dan

  • 14

    menempati hampir setiap tipe habitat dari khatulistiwa hingga ke daerah kutub.

    Diversitas burung meningkat searah dengan daerah dengan ketinggian lebih

    rendah (Resosoedarmo, Kartawinata, dan Soegiharto, 1985). Odum (1993)

    menyatakan bahwa keanekaragaman burung lebih tinggi pada lingkungan yang

    stabil, seperti hutan tropik dibanding dengan lingkungan dengan pengaruh

    periodik dari manusia atau alam. Odum juga menyatakan bahwa keanekaragaman

    jenis burung jauh lebih tinggi dalam komunitas yang lebih tua dibandingkan

    dengan komunitas yang baru terbentuk.

    Menurut Hernowo (1989) dasar pemikiran kota sebagai salah satu objek

    pelestarian burung adalah bahwa burung dapat hidup berdampingan dengan

    manusia sepanjang kebutuhan hidupnya terpenuhi selain sebagai komponen

    ekosistem alam, yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mengontrol

    populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan pemecahan biji. Hal ini

    dapat dilihat dalam jaringan makanan yang dilalui dalam ekosistem alam yang

    membentuk kehidupannya. Sebagai penyerbuk bunga dan penyebar biji tumbuhan,

    burung berfungsi dalam membantu proses regenerasi hutan.

    Teknik yang perlu dikembangkan dalam pelestarian burung di wilayah perkotaan

    ditekankan pada pembinaan ruang terbuka hijau kota sebagai habitat burung dan

    pengamanan faktor gangguan terhadap burung.

    Pakpahan dalam Ramdhani 2006, seorang pengamat burung dan dosen IPB

    fakultas kehutanan menyatakan bahwa burung dapat menjadi tolok ukur kualitas

    lingkungan yang baik dan memenuhi syarat bagi manusia. Hal ini menunjukkan

    bahwa ada suatu kepentingan untuk menghadirkan burung di wilayah perkotaan.

    Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

    1. Membina atau menciptakan Ruang Terbuka Hijau

    2. Membina wilayah yang dapat berfungsi sebagai habitat burung

    3. Menciptakan koridor yang menghubungkan wilayah-wilayah binaan tersebut.

    Kurnia, dalam Ramdhani 2006, menyatakan bahwa kondisi alam yang terdapat

    dalam habitat menentukan jenis burung yang hidup di dalamnya. Pengaruh

  • 15

    penting dalam habitat burung diperoleh dari tumbuhan. Tumbuhan tidak hanya

    berperan sebagai sumber makanan, namun juga berperan sebagai tempat

    bersarang, memantau, bersembunyi dan berlindung.

    MacArthur (1961) menyatakan bahwa keanekaragaman burung dipengaruhi oleh

    keanekaragaman tajuk vegetasi pada suatu habitat, mendukung penelitian yang

    dilakukan oleh Ichinose bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah

    jenis burung dengan luasan taman kota, namun hal yang signifikan terhadap

    kehadiran burung adalah tutupan dan struktur vegetasinya. Keberadaan burung

    selain dipengaruhi oleh vegetasi, juga memberi pengaruh pada vegetasi. Beberapa

    jenis burung dengan perilakunya memiliki peranan besar dalam proses

    penyebaran biji dan penyerbukan tumbuhan di alam.

    1. Populasi dan Distribusi Burung

    McNaughton and Wolf dalam Ramdhani 2006 menyatakan bahwa laju kelahiran

    dan laju kematian dipengaruhi oleh seluruh faktor lingkungan, dan komponen

    genetik yang dimiliki masing-masing individu yang telah berevolusi sesuai

    dengan kondisi lingkungan. Hal ini yang menentukan laju pertumbuhan populasi

    dan tidak dipengaruhi oleh sifat migrasi.

    Wiens, 1989. Menyatakan bahwa luas penyebaran suatu jenis burung ditentukan

    oleh beberapa faktor yaitu:

    a. Habitat yang sesuai

    b. Pengaruh faktor penghalang yang mencegah keluarnya burung dari suatu

    daerah

    c. Ketersediaan sumber daya yeng bersifat kritis

    d. Interaksi kompetitif dengan suatu jenis yang memiliki hubungan dekat atau

    dengan jenis yang sama secara ekologis

    e. Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi tekanan fisiologis

    f. Kemampuan suatu daerah untuk menampung daerah jelajah suatu individu

    g. Kesempatan

    h. Faktor sejarah

  • 16

    Faktor-faktor tersebut diatas merupakan bagian suatu lanskap yang akan

    menentukan distribusi lokal spesies dalam suatu wilayah, kelimpahan dan pola

    distribusinya dalam komunitas lokal.

    2. Habitat dan Keanekaragaman Burung di Taman Kota Bandung

    Menurut Ramdhani 2006, Taman Kota Bandung merupakan habitat binaan yang

    cukup menunjang kebutuhan hidup burung. Hal ini dilihat dari penelitian-

    penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti semenjak tahun 1979. Iskandar

    (1979) meneliti keanekaragaman burung di taman kota dan mencatat sebanyak 21

    jenis burung. Megantara dkk. (1994) mencatat 36 jenis pada penelitian di taman

    kota, sedangkan Nurwatha (1995) mencatat 34 jenis dari penelitian di tiga taman

    kota. Sedangkan Ariesusanty (2003) mencatat 24 jenis burung yang terdapat di

    beberapa tempat di kota Bandung.

    Ramdhani mencatat 50 jenis burung yang ditemukan dalam enam taman kota

    Bandung dalam penelitiannya mengenai keterkaitan antara kehadiran burung

    dengan kondisi lanskap. Melalui penelitiannya ditemukan empat dari 69 variabel

    lanskap yang berkorelasi secara signifikan. Variabel-variabel itu antara lain: luas

    taman, perimeter standar deviasi pada vegetasi rumput, ukuran bercak rata-rata,

    dan ukuran bercak standar deviasi pada vegetasi rumput, sehingga penelitian ini

    menunjukkan bahwa komposisi pohon dan stratifikasi vegetasi penyusun setiap

    taman kota mempengaruhi keanekaragaman burung dalam taman kota Bandung.

    II.2.2. Kupu-kupu dalam Ekosistem Taman Kota.

    Seperti yang dijabarkan sebelumnya dalam Tabel II.I mengenai kedudukan

    Indonesia dalam konteks keanekaragaman hayati Internasional, Indonesia

    merupakan negara dengan keanekaragaman kupu-kupu paling tinggi di dunia.

    Sekitar 10% kupu-kupu dunia terdapat di Indonesia (Peggie, 2006). Permasalahan

    yang terjadi pada kupu-kupu saat ini, seperti permasalahan-permasalahan

    lingkungan lainnya adalah penurunan populasi kupu-kupu di Indonesia bahkan

    hingga mengalami kepunahan. Hal ini terjadi karena konversi lahan yang terjadi

    pada kota-kota besar dan menyebabkan berkurangnya habitat satwa.

  • 17

    Seperti burung, kupu-kupu sebagai komponen penting penyusun keanekaragaman

    hayati memiliki peran besar dalam lingkungan. Salah satu peranan serangga

    dalam lingkungan adalah penyerbukan. Bukhman (1996) menyatakan bahwa

    sekitar 90% penyerbukan di muka bumi dilakukan oleh serangga. Penyerbukan

    pada bunga oleh serangga merupakan peran penting pada sebuah ekosistem, dan

    penyerbukan oleh serangga memiliki perluang terjadi lebih besar daripada

    penyerbukan yang dilakukan oleh bunga itu sendiri.. Hal ini terjadi karena

    penyerbukan oleh serangga bersifat cepat dan steril dari gangguan zat asing.

    Simbiosis mutualisme dapat dilihat melalui kedatangan serangga pada bunga,

    dimana selain bunga memperoleh kesuksesan dalam reproduksinya, serangga juga

    memperoleh makanan berupa nektar atau polen.

    Berbeda dengan burung-burung taman kota Bandung pada umumnya yang

    bergantung pada pepohonan tua dan tajuknya, bagi kupu-kupu, keberadaan bunga

    merupakan hal yang terpenting. Pemilihan bunga oleh kupu-kupu akan berbeda-

    beda di setiap area. Pemilihan bunga tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

    seperti suhu, ancaman predator, keberadaan letak dan komposisi bunga, yang

    menjadi pertimbangan dalam memilih bunga.

    Kupu-kupu melakukan pemilihan bunga pada suatu area yang tidak berlangsung

    secara acak , melainkan terdapat suatu pemilihan yang spesifik terhadap bunga

    (Jennersten 1984, dalam Bakowski, 2005). Pemilihan bunga oleh kupu-kupu

    dewasa bergantung pada bentuk dan panjang mahkota bunga (Goulson, 1999),

    yang menjadi pertimbangan bagi kupu-kupu dalam memilih bunga yang akan

    diambil nektarnya. Bunga melakukan adaptasi morfologi dan fisiologi yang

    bertujuan untuk menarik perhatian serangga. Adaptasi tersebut terjadi melalui

    warna bunga yang mencolok, aroma yang dikeluarkan bunga, dan adanya nektar

    yang menjadi alasan bagi serangga untuk mendatangi bunga, karena karakteristik

    bunga biasanya digunakan dalam memprediksi kedatangan hewan. Karakteristik

    tersebut antara lain bentuk bunga, aroma, warna, kelimpahan, nektar, mahkota

    bunga, ukuran bunga, panjang mahkota, dan umur bunga. Hal tersebut merupakan

    'atraktan' yang memancing serangga datang pada bunga. Atraktan diklasifikasikan

    menjadi dua jenis, atraktan primer dan sekunder. Atraktan primer diantaranya

  • 18

    adalah polen, nektar, minyak, dan substansi lain. Sedangkan atraktan sekunder

    antara lain adalah aroma yang dikeluarkan oleh bunga. (Faegri, 1979).

    Menurut Wilson dalam Mulyana 2009, serangga memiliki prinsip dalam strategi

    mencari makannya, yakni mendapatkan energi sebesar-besarnya dengan resiko

    serendah mungkin. Serangga selalu berpindah-pindah dalam pencaharian

    makannya. Tempat makan serangga ini disebut gugus. Perpindahan serangga dari

    sebuah gugus ke gugus lainnya disebabkan karena atraktan berupa aroma, yang

    merupakan rangsangan bagi serangga sekaligus informasi mengenai jenis

    makanan dan jumlah sumber makanan yang ada pada gugus tersebut. Pemilihan

    gugus pakan oleh kupu-kupu juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan

    perletakannya terhadap sinar matahari. Kupu-kupu lebih sering beraktivitas di

    tempat yang hangat dan terbuka (Peggy 2006a). Selain itu, kupu-kupu akan lebih

    menghindari tempat dengan tingkat aktivitas manusia yang cukup tinggi.

    II.3. Variabel Lanskap dan Fragmentasi Habitat yang Mempengaruhi

    Keberadaan Jenis dan Populasi Burung dan Kupu-kupu

    Forman and Gordon (1986) mendefinisikan lanskap sebagai susunan ekosistem

    yang berinteraksi dalam lahan yang heterogen. Faktor-faktor penyusun suatu

    bentukan lanskap adalah:

    1. Bercak(patch)

    adalah area-area non linear, relatif homogen yang bermanfaat sebagai

    stepping stone untuk persebaran spesies, memuat kepadatan spesies yang

    tinggi, tempat berlindung mamalia kecil dan predator. Bercak biasanya

    mempunyai perbedaan karakteristik dalam hal ukuran, bentuk, tipe,

    heterogenitas, dan batas-batasnya. Bercak dalam lansekap pada umumnya

    berupa pengelompokan komunitas tumbuhan dan hewan, terkadang tidak

    ditumbuhi oleh vegetasi atau dihuni oleh mahluk hidup. Bentuk bercak sangat

    terkait dengan efek tepi. Komposisi dan kelimpahan organisme di bagian

    dalam bercak akan berbeda dengan bagian tepi. Pada bagian bagian tertentu

    dari tumbuhan seperti bunga dan buah mungkin saja akan lebih berlimpah

  • 19

    pada daerah tepi bercak sehingga menarik lebih banyak hewan, misalnya

    serangga penyerbuk atau hewan pemakan buah (Forman and Gordon, 1986).

    2. Koridor

    adalah ruang berbentuk sabuk memanjang yang mempunyai karakteristik

    yang berbeda pada semua sisinya. Peranan koridor dalam lanskap adalah

    untuk keperluan transportasi, memberikan kemungkinan bagi organisme

    untuk melakukan mobilitas, perlindungan (misalnya dari hembusan angin,

    mencegah erosi) dan sebagai sarana perlindungan sumberdaya (untuk usaha

    konservasi).

    3. Matriks

    adalah jejaring yang mengendalikan aliran energi dan siklus materi yang

    terjadi dalam suatu lanskap. Matriks relatif dominan dan memegang peranan

    penting dalam fungsi suatu lanskap. Penentuan matriks pada suatu lanskap

    akan lebih mudah apabila salah satu komponennya ditemukan dalam luasan

    yang sangat besar, homogen dan tersebar secara merata (Forman and Gordon,

    1986).

    Gangguan terhadap penyusun bentukan lanskap diatas seperti perubahan atau

    hilangnya habitat, gangguan manusia, serta pencemaran lingkungan. Dapat

    mempengaruhi keberadaan jenis dan populasi burung dan kupu-kupu.

    II.3.1 Fragmentasi Habitat Keanekaragaman Hayati di Perkotaan

    Fragmentasi habitat merupakan pemisahan habitat darat menjadi bagian-bagian

    kecil yang terpisah dan terisolasi antar satu dengan lainnya sebagai. Hal ini terjadi

    sebagai konsekuensi dari pembangunan (Aurambout, et al, 2005).

    Tiga dampak negatif fragmentasi habitat menurut Aurambot:

    1. Fragmentasi menyebabkan terbaginya bercak habitat luas menjadi berukuran

    kecil dalam jumlah lebih banyak, hal ini menimbulkan hilangnya jaringan

    habitat yang berdampak pada berkurangnya terutama sumber makanan dan

    tempat perlindungan bagi keanekaragaman hayati yang berarti berkurangnya

    jumlah keanekaragaman hayati yang mampu didukung kehidupannya.

    2. Dengan terbukanya daerah inti, fragmentasi bercak habitat, mendorong pada

    perubahan dramatis pada daerah tepi. Daerah tepi menyediakan kondisi iklim-

    mikro berbeda dibanding daerah inti sehingga mungkin tidak lagi cocok bagi

  • 20

    keanekaragaman hayati semula serta memperbesar peluang terjadinya predasi

    oleh jenis predator pada daerah tepi. Kondisi tersebut akan berakhir pada

    penurunan keanekaan hayati.

    3. Fragmentasi habitat mendorong terjadinya isolasi geografis yang

    menciptakan pulau-pulau habitat di antara matriks perkotaan atau tata guna

    lahan pertanian. Hal ini akan membatasi daya pergerakan organisme tertentu

    yang terisolasi. Hal ini memperbesar ancaman terjadinya perkawinan sesama

    pada populasi kecil yang merupakan permasalahan serius bagi keberlanjutan

    jenis tersebut dan bisa mendorong pada kepunahan populasi. Lebih jauh lagi,

    populasi kecil lebih sensitif terhadap kejadian tak terduga, semacam

    kebakaran atau ledakan epidemik penyakit yang semuanya akan berakhir

    pada kepunahan populasi lokal.

    Fragmentasi habitat merupakan kasus yang saat ini banyak terjadi pada ekosistem

    atas konversi guna lahan. Menurut Jordan, 1999, habitat alami adalah pulau-pulau

    kecil dalam lautan aktivitas manusia. Degradasi habitat dan fragmentasi dapat

    membawa dampak negatif hingga pada kepunahan habitat. Salah satu upaya untuk

    mencegah kepunahan habitat akibat fragmentasi adalah dengan menciptakan

    koridor ekologi dalam bentuk koridor keanekaragaman hayati sebagai utilitas

    metapopulasi lanskap.

    II. 4 Jejaring Ekologis

    Bennet, 2004 mendefinisikan jejaring ekologis sebagai sistem lanskap yang

    dikelola dengan tujuan perawatan atau perbaikan fungsi ekologis sebagai upaya

    untuk konservasi. Faktor utama penerapan konsep jejaring ekologis pada tataran

    teknis yaitu alokasi fungsi spesifik terhadap masing-masing wilayah, bergantung

    pada nilai ekologis dan potensi sumber daya alamnya. Menurut Bennet, 2004,

    sistem jejaring ekologis tersusun atas:

    1. Daerah inti (Core areas), dimana konservasi keanekaragaman hayati menjadi

    fungsi utamanya, mencakup baik kawasan konservasi dan bahkan wilayah

    yang tidak dilindungi peraturan perundangan

    2. Koridor (corridors), yang menyediakan koneksi ekologis vital melalui

    penyediaan penghubung secara fisik antara daerah inti

  • 21

    3. Daerah penyangga (buffer zones), yang melindungi jaringan dari pengaruh

    luar yang merusak dan merupakan daerah transisi dikarakterisasi oleh

    penggunaan lahan yang sesuai.

    4. Daerah pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable-use area), dimana

    kesempatan yang cukup tersedia pada matriks lanskap baik untuk eksploitasi

    sumberdaya alam maupun untuk pemeliharaan fungsi ekosistem.

    Menurut Opdam, 2006. konsep jejaring ekologis sebagai dasar yang cocok pada

    upaya memasukkan konservasi keanekaragaman hayati pada pembangunan

    lanskap berkelanjutan. Suatu lanskap bisa mencapai keberlanjutan bila struktur

    lanskap harus menyokong proses ekologis yang dibutuhkan suatu lanskap agar

    bisa menghasilkan layanan lingkungan untuk generasi saat ini dan yang akan

    datang.

    II. 4. 1. Koridor dalam Jejaring Ekologi

    Koridor menfasilitasi proses biologi seperti migrasi dan perpindahan regular oleh

    hewan, sehingga koridor menyokong keterpaduan jejaring bercak habitat, yang

    sangat penting bagi kelangsungan hidup banyak spesies.

    Dalam skala lanskap, koridor berperan sebagai sarana migrasi. Koridor

    menfasilitasi proses biologi seperti migrasi dan perpindahan regular oleh hewan,

    sehingga koridor menyokong keterpaduan jejaring bercak habitat, yang sangat

    penting bagi kelangsungan hidup banyak spesies (European Centre for Nature

    Conservation, 2004). Carruthers dan Smith (1996) menjelaskan bagaimana

    koridor menambahkan nilai pada lanskap yang terfragmentasi dengan

    menanggulangi ketidakmampuan spesies untuk kembali dari proses kepunahan

    (fase katastropik) karena ketidakmampuan mereka untuk masuk kembali ke dalam

    sistem. Noss dalam Krebs (2001) menyimpulkan potensi keuntungan dan kerugian

    dari sebuah koridor (appendix 3). Haddad & Baum dalam Krebs (2001)

    menemukan bahwa kepadatan kupu-kupu menjadi dua kali lipat setelah sebuah

    koridor ditempatkan diantara bercak yang terisolasi. Banyak rekomendasi dari

    beberapa penelitian termasuk ketetapan untuk koridor keanekaragaman hayati.

    Hal ini diakukan dalam meminimalisasi resiko isolasi yang terjadi pada bercak

  • 22

    yang kecil dan menyediakan sebuah sistem yang menopang keanekaragaman

    hayati dengan level yang lebih tinggi pada termin waktu yang lama.

    Menurut Abendroth, 2009, banyak faktor yang dapat meningkatkan kualitas

    koridor keanekaragaman hayati, diantaranya:

    1. Penyediaan habitat untuk spesies yang berbeda dari mamalia, burung, reptil,

    amfibi, dan serangga. Koridor ini juga menyediakan makanan, naungan, dan

    perlindungan

    2. Koridor menunjang penyebaran spesies dari sebuah habitat kunci ke tempat

    lain. Koridor memfasilitasi penyebaran dengan dua cara penyebaran secara

    difusi dan penyebaran dengan loncatan.

    Melalui penyebaran secara difusi, individu dapat hidup di dalam koridor, dan

    terjadi transfer genetik dari peristiwa migrasi individu di antara pulau habitat yang

    berdekatan dan koridor di antara beberapa generasi. Penyebaran dengan loncatan

    terjadi ketika hewan berpindah dengan jarak yang cukup jauh dalam pencarian

    makanan, habitat, maupun pasangannya. (Krebs 2001).

    Untuk memaksimalkan efisiensi fungsi koridor, koridor seharusnya bersifat lokal

    dan memenuhi kebutuhan spesies target yang berbeda-beda. Koridor yang

    menjadi payung spesies dapat memenuhi kebutuhan yang sama oleh spesies yang

    berbeda. Karakteristik penting dari spesies yang menentukan tipe koridor, adalah

    kapasitas penyebaran spesies, kebutuhan habitat terhadap penyebarannya,

    mekanisme penyebaran, dan strategi penyebarannya.

    1. Kapasitas penyebaran: dari lokal ke global

    Jarak penyebaran, migrasi, dan pergerakan komuter bervariasi pada setiap spesies.

    Skala koridor dan korespondensi jejaring ekologi berhubungan erat dengan

    kapasitas pergerakan spesies. Secara umum, spesies yang tidak banyak melakukan

    pergerakan membutuhkan koridor pada level lokal. Spesies dengan ukuran sedang

    membutuhkan koridor dalam skala regional, dan spesies herbivora dan karnivora

    yang besar membutuhkan koridor dalam skala kontinental, dan banyak spesies

  • 23

    burung bermigrasi diluar batas kontinental, sehingga konektivitas spesies harus

    dapat diakses pada skala yang bervariasi.

    2. Mekanisme penyebaran

    Ada dua mekanisme penyebaran spesies yang dapat dilakukan oleh spesies.

    Secara aktif berjalan, terbang, atau berenang), atau secara pasif (penyebaran

    melalui benih tumbuhan oleh hewan). Dalam pergerakan pasif, hewan berperan

    sebagai "transporting vector". Untuk spesies yang bergerak secara pasif, kehadiran

    koridor lebih dipentingkan untuk "transporting vector" daripada untuk spesiesnya

    sendiri. Secara umum, burung, mamalia, amfibi, dan reptil bergerak secara aktif,

    hewan-hewan invertebrata bergerak secara aktif dan pasif, persebaran tanaman

    dalam skala yang lebih besar secara pasif.

    3. Strategi Penyebaran

    Sebagian spesies beradaptasi terhadap dinamika spasial habitat secara temporer,

    spesies ini biasanya disebut spesies-R yang bergerak berpindah-pindah, dan

    oportunis. Berbeda dengan spesies R, spesies-K merupakan spesies yang

    beradaptasi pada habitat dengan perubahan minimal, spesies ini lebih mudah

    mempertahankan diri pada habitat dibandingkan dengan penyebarannya. Spesies-

    K secara general bergantung pada koridor, karena habitatnya biasanya dirusak

    atau terpengaruh oleh proses fragmentasi.

    II.4.2. Klasifikasi Koridor Berdasarkan Fungsi

    Koridor dapat diklasifikasikan dalam tiga kelas sesuai dengan fungsi yang akan

    dipenuhinya.

    1. Koridor komuter

    digunakan untuk pergerakan regular dari area bernaung hingga mencari makan.

    Koridor komuter menghubungkan elemen yang memiliki fungsi yang berbeda

    terhadap spesies, menyokong pergerakan harian antara elemen-elemen dan

    mereduksi resiko predator. Pada dasarnya, pergerakan dibatasi pada jarak dekat

    (hingga beberapa kilometer) untuk vertebrata, atau hingga 10 kilometer untuk

    jenis spesies yang lebih luas.

  • 24

    2. Koridor migrasi

    Digunakan untuk pergerakan migrasi tahunan dari satu area ke area yang lain.

    Spesies yang umum untuk koridor migrasi ini adalah burung dan ikan. Hal ini

    dapat berupa jalur linear yang terus menyambung. Seringnya jalur tersebut terdiri

    dari area-area transit selama migrasi.

    3. Koridor dispersal

    digunakan sebagai pergerakan satu arah oleh individu. Dispersal adalah proses

    esensial yang mengarah pada pergerakan individual yang mengarah pada populasi

    atau rekonsiliasi pada bercak yang sesuai. Untuk membedakan antara individu dan

    populasi, koridor dispersal dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu koridor dispersal

    satu tahap, koridor reproduksi, dan koridor dengan ekspansi luas.

    II. 4.3. Tipologi Koridor

    Selain fungsinya, koridor dapat diklasifikasikan menjadi tiga sampai empat kelas

    sesuai dengan bentukkannya: line, stepping stone, dan landscape koridor.

    Invertebrata pada umumnya menggunakan kelas keempat, yakni line corridors

    with nodes.

    Gambar II.1. Tipologi Koridor

    Sumber: European Center for Nature Conservation, 2004

    Line corridor

    Line corridorwith nodes

    Stepping stone corridor

    Lanscsape corridor

  • 25

    Berdasarkan hal-hal diatas, gagasan semacam jejaring ruang terbuka perkotaan,

    sistem pertamanan, dan jejaring jalur hijau merupakan upaya yang perlu diciptakan

    untuk menjalin jejaring alami dengan buatan dalam rangka meningkatkan interaksi

    ekologis, keberlanjutan dan daya hidup pada lingkungan perkotaan.

    II.4.4. Perancangan Koridor

    Koridor direncanakan sebagai salah satu cara untuk mewadahi diversitas habitat

    (Labaree, 1992). Karena tujuan dari sebuah koridor adalah untuk mendorong

    perpindahan hewan dari satu area ke area yang lain, preferensi habitat dari

    spesies-spesies target harus dapat dipenuhi sepanjang koridor tersebut berada.

    Koridor yang direncanakan dengan hati-hati dan benar tidak hanya berguna

    sebagai penghubung habitat, namun juga dapat menambah jumlah habitat.

    Mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Troy, 2003 dalam South East

    Biodiversity Corridor Strategy, Beberapa faktor yang menjadi tolok ukur

    penentuan perancangan koridor keanekaragaman hayati adalah:

    1. Struktur Ruang Komposisi Penanaman Vegetasi

    Sebagai optimalisasi ruang untuk seluruh spesies, koridor keanekaragaman

    hayati harus dapat menyediakan elemen penting seperti makanan, naungan,

    dan perlindungan dari predator melalui struktur penataan ruang dan komposisi

    penanaman vegetasinya.

    Soule dan Gilpin (1991) menemukan bahwa koridor yang terstruktur dengan

    baik dapat sangat berguna untuk penyebaran benih dan migrasi dewasa juga

    perkembangbiakan. Carruthers & Smith (1996) menyebutkan bahwa kualitas

    habitat menentukan pokok keberhasilan dalam persebaran fauna.

    2. Lebar Daerah Tepi

    Daerah tepi merupakan daerah yang lebih rentan terhadap gangguan predator.

    Suatu pemisahan ruang hijau, memberi dampak perluasan daerah tepi yang

    signifikan. Pada gambar dibawah dijelaskan luas daerah tepi yang terbentuk

    sebagai efek pemisahan ruang hijau oleh jalan (gambar II.1).

  • 26

    Gambar II.2. Pengaruh Tata Guna Lahan terhadap Area Tepi RTH

    Sumber: Horn, Troy, 2003

    3. Panjang Koridor

    Kemampuan penyebaran spesies sepanjang koridor keanekaragaman hayati

    terkait dengan panjang koridor. Gambar dibawah mendemonstrasikan

    keterkaitan relatif antara panjang koridor keanekaragaman hayati dengan

    kualitas vegetasi lokal alami. Proses ini dikembangkan oleh Carruthers &

    Smith (1996), dengan menyediakan pedoman yang bermanfaat untuk

    mengidentifikasikan lokasi optimum koridor keanekaragaman hayati dengan

    menggunakan Geographic Information Systems (GIS). Ditemukan bahwa

    kekayaan spesies dalam koridor akan berkurang seiring dengan perpanjangan

    jaraknya. Panjang koridor, dan dekatnya jarak tanam vegetasi lokal

    dikombinasikan dengan lebar, adalah hal-hal yang sangat krusial dalam

    persebaran efektif keberagaman fauna lokal.

  • 27

    Gambar II.3. Pengaruh Panjang Koridor terhadap Kualitas Vegetasi Lokal

    Sumber: Horn, Troy, 2003

    4. Keterkaitan penggunaan lahan

    Berdasarkan uji coba yang telah dijalankan di Australia Selatan, dapat dilihat

    bahwa patch yang dikelilingi oleh vegetasi lokal alami secara signifikan

    memiliki nilai keanekaragaman hayati lebih tinggi daripada patch yang hanya

    berupa hamparan, lahan kosong, ataupun pertanian terbuka (Lindenmayer

    dalam Troy 2003). Bagan II.3 mengilustrasikan suatu hasil penurunan efek

    sudut pinggir koridor. Eksperimen ini menunjukkan bahwa koridor tidak

    harus lebar jika koridor tersebut berbatasan dengan vegetasi lokal di setiap

    sisinya.

    Gambar II.4. Pengaruh Penanaman pada Pinggir Koridor

    Sumber: Horn, Troy, 2003

  • 28

    II.5. Preseden Koridor Keanekaragaman hayati

    II.5.1. Singapore Park Connector Network

    Singapura mengkoneksikan setiap RTH yang ada dengan sebuah jaringan yang

    tersusun dari berbagai konsep. Salah satunya adalah konsep pemeliharaan

    keanekaragaman hayati.

    Kebijakan penghijauan Singapura dimulai sejak tahun 1960 dan akan berlangsung

    hingga masa yang akan datang. Sejak tahun 1986 hingga tahun 2007 singapura

    telah berhasil meningkatkan RTHnya daru 35,7% menjadi 46.5% meskipun

    populasinya juga meningkat dari 2.7 juta jiwa menjadi 4.6 juta jiwa. Peningkatan

    ruang hijau ini ditingkatkan dengan mengintegrasikan ekosistem-ekosistem alami

    dengan taman, mengelompokan taman dengan ekosistem pelengkap dan aktivitas,

    mengkoneksikan mereka dalan sebuah 'pulau luas dengan jejaring hijau'.

    Singapura memiliki 2000 spesies tumbuhan lokal, 57 mamalia, 98 spesies reptil,

    dan 25 spesies amfibi. 355 spesies burung dan 282 lebih spesies kupu-kupu.

    Bakau yang menjadi rumah bagi ratusan spesies ikan, dan banyak lagi spesies

    yang dapat ditemukan di bawah laut. Keseluruhan spesies ini telah dan terus

    diinventarisasikan dan melalui beberapa penelitian dipakai untuk menunjang

    pembuatan konektivitasnya melalui jejaring ekologis.

    Singapura mengimplementasikan beberapa strategi penting dan peraturan

    mengenai jejaring ruang hijau:

    1. Penanaman "pohon instan" (pohon yang cepat tumbuh, memiliki kanopi yang

    lebar, lokal dan mudah didapatkan, serta tidak membutuhkan perawatan yang

    rumit)

    2. Desain jalan yang mencakup area penanaman

    3. Kebutuhan area perkerasan untuk ditanami dalam penjagaan keseimbangan

    panas yang dihasilkan oleh permukaan aspal.

    4. Menutup struktur betonan dengan tanaman rambat dan semak sebagai

    optimalisasi visual lingkungan

    5. Syarat penanaman tanaman kanopi sepanjang area pedestrian

  • 29

    6. Menganjurkan penanaman halaman residensial untuk memfokuskan pada

    penanaman atap dan sisi bangunan tinggi sebagai maksimalisasi penggunaan

    lahan dan peningkatan kualitas lingkungan.

    7. Mewajibkan developer untuk area residensial menanam pohon pada sisi jalan

    dan menyediakan area untuk ruang terbuka.

    8. Memenuhi kebutuhan diversitas populasi dan sebagai bagian rekreasi

    9. Peningkatan aset lokal

    10. Menciptakan inventarisasi akan kebutuhan aset alami termasuk instalasi

    patung, playground dan habitat untuk menarik satwa liar seperti burung.

    11. Perlindungan Pohon-pohon langka

    12. Membangun akses dari jaringan komperhensif yang menghubungkan RTH-

    RTH utama dengan area alam.

    13. Memberi edukasi pada masyarakat melalui website jaringan RTH nasional

    Singapura, sejarah penghijauan; dan sumber informasi lain mengenai kegiatan

    penghijauan.

    Pada jejaring hubungan antar taman di Singapura terdapat pemenuhan kebutuhan

    diversitas populasi mahluk hidup dan pemenuhan kebutuhan ruang terbuka

    sebagai sarana rekreasi (gambar II.5). Selain fungsi ekologis dan rekreasi, pada

    jejaring juga terdapat fungsi edukasi, inventaris dan terbangunnya jaringan akses

    yang komprehensif antar berbagai RTH. Pembangunan Singapore's Park

    Connector Networks dibagi menjadi beberapa loop yang dapat dilihat pada

    Gambar II.6. Setiap warna merupakan jalur yang menghubungkan kawasan alami,

    taman, dan kawasan residensial yang berada di beberapa daerah di Singapura.

  • 30

    Gambar II.5. Skema Singapores Park Connector Network

    Sumber: http://www.greatnewplaces.com

    Gambar II.6. Foto-foto Singapores Park Connector Network

    Sumber: http://www.nparks.gov.sg,

  • 31

    II.5.2. Penelitian Tomohiro Ichinose (Institute of Natural and Environmental

    Sciences, Himeji Institute of Technology) Tentang Keterkaitan Antara

    Kemunculan Burung di Taman Kota Nishinomiya, Hyogo Prefecture, Jepang

    Terhadap Vegetasi dan Kegunaan Lahan di Sekitarnya

    Latar belakang penelitian ini adalah konservasi keanekaragamanan hayati di

    daerah perkotaan di Jepang, yang dirasakan sukar untuk diperbaiki. Disamping itu,

    penelitian ini dibuat karena belum adanya metode yang telah dicanangkan untuk

    perencanaan jejaring ekologis dan adanya kepentingan untuk dasar metode pada

    survey lapangan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasikan hubungan

    antara eksistensi burung dengan kondisi lingkungan di kawasan perkotaan dalam

    perencanaan jejaring ekologis. Aspek yang menjadi fokus penelitian adalah aspek

    vegetasi taman kota.

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ichinose membawa pada kesimpulan bahwa

    tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah jenis burung dengan luasan

    taman kota, namun hal yang signifikan terhadap kehadiran burung adalah tutupan

    dan struktur vegetasinya.

    Gambar II.7. Keterkaitan antara kehadiaran satwa dengan tutupan dan struktur vegetasi suatu tempat.

    Sumber: Ichinose, T., 2005

  • 32

    Beberapa poin penting yang diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah:

    1. Konservasi:

    Perlindungan area hijau yang ada sebagai habitat intu dari spesies-spesies,

    karena beberapa spesies dapat hidup dalan jangkauan lebih luas, sedangkan

    beerapa tidak.

    2. Restorasi:

    Restorasi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rasio pohon dan vegetasi

    tutupan untuk pemeliharaan burung.

    3. Penanaman baru dan pengembangan ruang terbuka:

    Penelitian ini mengemukakan bahwa hanya beberapa jenis burung dapat hidup

    dalam kondisi lingkungan dengan kepadatan dan aktivitas manusia yang tinggi,

    sehingga harus dibuat suatu konstruksi ruang terbuka baru di dalam wilayah

    perkotaan, meskipun hal ini tidak mudah, namun dapat dipecahkan dengan

    penanaman pada wilayah terbuka yang tidak cukup luas, menanam pohon pada

    lingkungan pribadi, atau mengkonstruksikan penanaman pada jalur.

    Suatu koridor memerlukan ruang-ruang konservasi, restorasi untuk

    mempertahankan habitat yang ada. Penanaman baru dan pengembangan ruang

    terbuka pada jalur dan lingkungan pribadi juga akan mendorong terciptanya

    koridor baru dan meningkatkan kualitas koridor yang telah ada.

    II.5.3. National Capital Parks-East, District of Columbia and Maryland.

    Merupakan Pengelolaan administrasi sekelompok taman nasional yang berada di

    kawasan timur Amerika serikat, melingkupi Washington DC dan Maryland yang

    terdiri dari 14 lokasi dengan luas diatas 8000 hektar di dalam Washington DC,

    dan 3 lokasi di Maryland yang dikelola untuk sumber daya alam, kultural, dan

    rekreasi. Fitur alami yang signifikan pada taman termasuk pantai-pantai dengan

    pasir dan kerikil, tebing-tebing pantai, dataran rendah dan dataran tinggi, dua

    sistem sungai besar, beberapa sungai-sungai kecil, dan wetland. Ancaman utama

    terkait dengan pengaturan perkotaan: populasi rusa yang tinggi, invasi jenis

    spesies eksotis, dan isu-isu batas manajemen.

  • 33

    Beberapa Perhatian khusus pada manajemen pertamanan ini antara lain adalah

    perlindungan terhadap spesies. Habitat yang berada pada taman seperti pantai-

    pantai dengan pasir dan kerikil, tebing-tebing pantai, dan beberapa variasi wetland,

    yang merupakan habitat lokal. Taman-taman ini mewadahi spesies hewan dan

    tumbuhan yang tidak biasa seperti kepah lampu dan elang gundul, dan

    menciptakan koridor sebagai sarana migrasi burung dan kupu-kupu. Tekanan

    yang diperoleh dari pembangunan perkotaan dan vegetasi-vegetasi invasif,

    membuat suatu kondisi kritis dalam perlindungan spesies-spesies lokalmya.

    Gambar II.8. Peta National Capital Parks-East, District of Columbia and Maryland

    Sumber: National Park Service, U.S. Departement of the Interior

  • 34

    Gambar II.9. Keanekaragaman Hayati dalam National Capital Parks-East,

    District of Columbia and Maryland. Sumber: National Park Service, U.S. Departement of the Interior

    Bentuk pengelolaan taman ditekankan pada interkasi antar manusia dengan

    taman-taman yang dilakukan melalui media2 aktivitas yang disediakan pada tiap

    tamannya. Setiap lahan yang terdapat dalam National Capital Parks memiliki

    banyak tawaran yang menarik untuk pengunjungnya, dimulai dari jalur jalan yang

    tenang di dalam hutan atau pinggiran sungai hingga kembang api meriah dan ice

    skating pada saat musim dingin, sehingga pengunjung dapat mengunjungi lebih

    dari satu lokasi dan aktivitas.

  • 35

    Pengelolaan taman ini melingkupi penyelenggaraan acara yang dilaksanakan

    secara khusus, seperti acara budaya, sejarah, atau perayaan hari nasional yang

    membawa masyarakat untuk berpartisipasi pada lahan yang tersedia. Beberapa

    contoh programnya antara lain adalah display film pada taman, memberi

    nutrisi/makan pada hewan dan tumbuhan, juga program kebersihan taman.

    Taman nasional ini juga merupakan sarana edukasi yang memberikan bimbingan

    informasi yang juga dimanfaatkan untuk pengembangan taman secara sains dan

    kultural serta edukasi mengenai manajemen aktivitas pada taman. Program

    tersebut ditempuh melalui pembelajaran dengan modul secara mandiri ataupun

    komunitas.

    Kesimpulan yang diperoleh dari studi ini adalah,

    1. Keanekaragaman hayati (dalam hal ini konservasi spesies lokal) merupakan

    elemen penting penyusun lokasitas lanskap suatu wilayah.

    2. Dalam skala urban, faktor aktivitas manusia menjadi sangat penting, sehingga

    manajemen taman-taman nasional ini bertujuan memberi wahana interaksi

    antara manusia dengan lingkungan alaminya yang ditujukan untuk

    pembangunan lingkungan kota yang berkelanjutan.

    II.5.4 Penelitian Behnax Aminzadeh dan Mahdi Khansefid (2009) mengenai

    Jejaring ekologis urban dan konteks perkotaan berkelanjutan pada Kota

    Metropolitan, Tehran, Iran.

    Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan jejaring ekologis kota yang bertujuan

    untuk mengkonservasi lingkungan alami di dalam kota dalam rangka

    mengembangkan lahan perkotaan yang berkelanjutan. Penelitian ini berfokus pada

    jejaring ekologis di perkotaan Teheran sebagai studi kasus untuk menyediakan

    suatu model bagi perencanaan jejaring di kawasan perkotaan lainnya dimana

    urbanisasi telah membawa dampak bagi kualitasi lingkungan. Tahapan yang

    dilakukan dalam penelitiannya yaitu mendefinisikan kondisi eksisting,

    menganalisis komponen jejaring ekologis baik yang alami maupun buatan,

    danmerancang usulan untuk pengembangan jejaring ekologis di masa depan.

    Komponen yang dianalisis yaitu:

  • 36

    1. Bercak alami dan buatan dalam bentuk ruang terbuka hijau (memiliki peran

    mendasar pada struktur ekologis kota sebagai bercak yang secara langsung

    mempengaruhi fungsi ekologis kota secara keseluruhan);

    2. Jejaring hidrologis (sebagai koridor ekologis utama di lanskap perkotaan yang

    bervariasi dari badan air alami hingga buatan manusia, keberadaannya

    mempengaruhi aliran energi, udara, dan nutrisi);

    3. Akses jalan (elemen struktur utama dan koridor ekologis perkotaan sebagai

    elemen penyambung bercak ekologis dan sebagai komponen struktur jejaring

    ekologis).

    Komponen-komponen tersebut kemudian dikategorikan menjadi: bercak alami ,

    bercak buatan, koridor alami, koridor buatan, matriks alami-buatan. Pada

    kesimpulan penelitian ini, struktur keruangan dan fungsi kawasan dipelajari dan

    dikategorisasikan melalui model bercak-koridor-matriks. Hasil penelitian

    disimpulkan melalui metode intervensi dan saran untuk perbaikan struktur dan

    fungsi lanskap perkotaan demi mencapai bentuk perencanaan pemanfaatan lahan

    yang lebih berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitiannya, Aminzadeh dan

    Khansefid (2009) menegaskan bahwa dalam rangka pengembangan jejaring

    ekologis, semua struktur komponen alami dan buatan harus dijadikan

    pertimbangan karena bercak dan koridor buatan di kawasan perkotaan bisa

    berperan sebagai komponen utama dalam menyusun jejaring yang berfungsi

    secara ekologis.

    II.5.5 Pembangunan koridor untuk Lycaena dispar batava (Large cooper), yang

    direncanakan oleh European Centre for Nature Conservation

    Badan Konservasi Eropa merencanakan pembangunan koridor untuk

    mempertahankan keberlanjutan hidup beberapa spesies yang dilindungi. Salah

    satu Spesies tersebut adalah jenis kupu-kupu Lycaena dispar batava.

  • 37

    Gambar II.10. Spesies Lycaena dispar batava

    Sumber: European Centre for Nature Conservation

    Beberapa faktor yang diperhatikan dalam pembangunan koridor untuk

    mempertahankan spesies Lycaena dispar batava antara lain :

    1. Ekologi

    Lycaena dispar batava biasanya hadir pada vegetasi rawa di sepanjang aliran air,

    sungai, dan rawa, juga dapat ditemukan pada hamparan rumput semi-natural.

    Spesies jantan mempertahankan teritori, sedangkan yang betina berkeliling secara

    luas pada daerah wetland mencari spesies jantan atau tanaman untuk meletakkan

    telurnya. spesies betina lebih suka berpindah-pindah dan dapat mengkolonialisasi

    habitat yang cocok pada radius hingga sepuluh kilometer. Hal ini menunjukkan

    bahwa kupu-kupu berfungsi baik pada mosaik bercak habitat. Jumlah spesies ini

    telah menurun secara signifikan di Eropa Barat, namun pada Eropa Timur,

    populasinya cukup stabil.

  • 38

    Gambar II.11. Tipikal Habitat Spesies Lycaena dispar batava di Eropa Tengah

    Sumber: European Centre for Nature Conservation

    2. Status Konservasi

    Spesies ini tergolong pada appendix II Konvensi Bern dan dalam appendix II dan

    IV dari Petunjuk pemerintah eropa mengenai habitat. Jenis kupu-kupu ini masuk

    dalam kategori Lower Risk, Nearly threatened species dalam the IUCN Red-list.

    3. Permasalahan

    Ancaman terbesar yang dialami oleh Lycaena dispar batava adalah fragmentasi

    habitatnya. Intensifikasi pertanian di daerah Barat Laut Eropa memberi efek pada

    drainase dan penurunan luasan habitat. Di Daerah Jerman Timur dan Polandia,

    populasi dalam jumlah besar masih ada, namun arahan kebijakan pertanian dapat

    akan segera diikuti sebagai bagian dari Uni Eropa.

    LARCH (Landscape Analysis and Rules for Configuration of Habitat), sebuah

    model ekologi lanskap dalam penaksiran lanskap dan keberlanjutan populasi,

    mengidentifikasikan dan membandingkan spesies ini dengan pola distribusi

    spesies aktual (gambar II.12). Dalam beberapa lokasi (1, 2, 3) terdapat populasi

    dalam luasan yang cukup besar jika dibandingkan dengan lokasi yang lain, namun

    tetap terkoneksi (4, 5). Pada area barat laut Jerman (6), wetland terlalu kecil,

    terpecah-pecah, dan terisolasi. Meskipun secara ekologis terdapat sedikit

  • 39

    perbedaan pada spesies ini, model koridor ini juga memprediksikan kemungkinan

    persebaran di Belanda (7). Pada kenyataannya di Belanda, subspesies ini terbatas

    pada daerah North-west Overijssel dan Southern Friesland (8).

    4. Solusi

    Untuk meningkatkan konektivitas spesies ini, dibutuhkan dua jenis koridor.

    Koridor yang pertama adalah koridor yang menghubungkan jaringan-jaringan

    yang berbeda, yang kedua adalah koridor yang menghubungkan populasi yang

    lebih kecil dengan jaringan yang ada. Matriks lanskap dan koridor linear dengan

    node yang terhubung dengan populasi lokal merupakan hal yang penting dalam

    jejaring koridor ini. (Gambar II.12)

    Gambar ini menunjuan bahwa akses anggota baru dalam Uni Eropa (A)

    menyebabkan intensifikasi pertanian pada negara-negara ini. Hal ini mendorong

    terjadinya fragmentasi wetland pada daerah Polandia tengah. Faktor yang sangat

    penting adalah perlindungan terhadap area dengan populasi spesies ini, dan area

    tersebut dihubungkan dengan Biebrza valley (3) dan Kaliningrad (2). Di daerah

    Barat Laut Jerman (B), wetland berukuran kecil dan terisolasi. Hal ini

    menjelaskan bahwa populasi spesies di Belanda terisolasi dari populasi di Jerman

    Timur. Solusinya hanya dengan menciptakan wetland dalam skala besar. Di

    Belanda, habitat yang relatif luas dan cocok terhadap spesies ini masih tersedia,

    terutama pada daerah Oostvaardersplassen / Vechtplassen / Nieuwkoopse Plassen

    (C). Area ini dapat dihubungkan dengan area North-West Overijssel (8). Area

    bercak spesies di Belanda ini dapat diperpanjang untuk kelangsungan hidup

    spesies secara berkelanjutan

  • 40

    Gambar II.12. Ecological core areas and possible corridors to improve the network viability of the Large copper (based on an analysis by Alterra & inderstichting)

    Sumber: European Centre for Nature Conservation

    5. Kegunaan Spesies

    Lycaena dispar batava merupakan spesies payung bagi banyak serangga dan

    spesies lain pada wetland seperti Burung, sehingga pengelolaan koridor yang

    benar bagi spesies ini juga memberi keuntungan bagi keberlanjutan beberapa

    spesies yang lain.