korelasi in vitro in vivo

Upload: aprianarohman

Post on 10-Feb-2018

576 views

Category:

Documents


67 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    1/26

    PENGEMBANGAN PRODUK BERDASARKAN KORELASI

    IN VITRO DAN IN VIVO

    MAKALAH

    Disusun Oleh :

    Nina Yuniawati 260112100575

    Randy Andrian H 260112100578Coryca Ascottina 260112100587

    Gina Adityalugina 260112100594

    Selvia Oktaviani 260112100600

    Niken Permatasari 260112100605

    Agung Suwandi 260112100

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

    FAKULTAS FARMASI

    JATINANGOR

    2011

    Pengembangan Produk Berdasarkan Korelasi In Vitro Dan In Vivo

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    2/26

    Perkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pemasaran obat

    banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat pemerintah, dan

    masyarakat terhadap obat. Pada 10-20 tahun yang lalu industri-industri farmasi

    banyak menekankan pada penemuan-penemuan obat baru, dan peta kefarmasian pada

    saat itu ditandai dengan cepatnya suatu molekul obat baru ditemukan. Obat-obat yang

    beredar tersebut harus telah mendapat pengakuan uji bioavailabilitas/bioekivalensi

    oleh instansi setempat. Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

    melalui Peraturan Kepala BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman Uji BE dan

    Peraturan Kepala BPOM-RI, 18 juli 2005 tentang: Tata Laksana Uji Bioekivalensi,

    mewajibkan uji bioavailabilitas/bioekivalensi (BA/BE) terhadap obat copy yang

    beredar. Udjianto menjelaskan, penerapan uji BA/BE merupakan bagian dari fungsi

    BadanPOM.

    Bioavailabilitas menunjukan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang

    aktif terapetik yang mencapai sirkulasi sistemik. Dalam perjalanan suatu obat menuju

    sirkulasi sistemik, terutama untuk obat per oral pada umumnya produk obat

    mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi

    disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; disolusi obat dalam media

    Aqueous; absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Didalam

    proses disintegrasi obat, disolusi dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem

    sikulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat (rate limiting step) dalam

    rangkaian di atas. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju

    pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    3/26

    mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat.

    Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju

    disolusinya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membrane merupakan

    tahap penentu kecepatan (Shargel et.al, 2005).

    Prinsip dasar petunjuk studi bioavailabilitas in vivo adalah tidak ada

    penelitian pada manusia yang tidak diperlukan (Shargel et.al, 2005). Dimana untuk

    memperkirakan efek klinik suatu obat adalah dengan pengukuran kadar obat dalam

    darah, karena ada hubungan yang erat antara kadar obat dalam darah dengan efek

    klinik obat tersebut. Tapi menurut Drs. Victor S. Ringoringo Apt, dalam hal ini juga

    ditemukan beberapa kelemahan diantaranya uji kadar obat dalam darah biayanya

    mahal, memerlukan peralatan analisis yang canggih, tenaga ahli yang terampil, dan

    sejumlah sukarelawan sehat. Sehingga saat ini tidak mungkin untuk melakukan uji

    kadar obat dalam darah untuk setiap batchproduk obat.

    Menurut BPOM RI, pada produk-produk tertentu bioavailabilitas dapat

    ditunjukan dengan fakta yang diperoleh in vitro yang dilakukan dalam lingkungan

    seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi terbanding. Obat-obat ini

    bioavailabilitasnya terutama bergantung pada obat yang berada dalam keadaan

    terlarut. Laju disolusi obat dari produk obat tersebut diukurin vitro. Data laju disolusi

    in vitro harus berhubungan dengan data bioavailabilitas in vivo untuk obat tersebut

    (Shargel et.al, 2005).

    Secara umum uji disolusi dirancang sebagai alat untuk mengoptimalkan suatu

    formulasi baru atau sebagai kontrol kualitas memonitor keseragaman dan

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    4/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    5/26

    Bioavaibilitas absolut: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi

    sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif

    tersebut dengan pemberian intra vena.

    Bioavaibilitas relatif: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik

    dari suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain selain intra

    vena.

    Faktor yang mempengaruhi bioavaibiltas:

    Obat: sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan.

    Subjek: karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis, posisis

    dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama).

    Rute pemberian

    Antaraksi obat/makanan, misalnya grisovulvin sukar larut dalam air. Apabila

    diberikan bersama makanan berlemak jadi mudah larut. Di dalam tubuh,

    digunakan surfaktan alami sehingga baik diabsorpsi. Pemberian vitamin B12

    dengan coca cola menghasilkan absorpsi yang lebih baik.

    Tujuan bioavaibilitas:

    Pengembangan ilmu

    Pengembangan produk/formulasi

    Pengembangan senyawa baru

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    6/26

    Jaminan mutu produk (quality control)

    Kesetaraan obat:

    1. Farmakokinetik: 2 obat memiliki molekul kimia yang berbeda, tetapi

    mempunyai aktivitas yang sama dan melekat pada substrat molekul aktif yang

    sama. Misalnya bentuk ester dan garam dari sutu zat aktif.

    2. Farmasetik: 2 produk obat dinyatakan memiliki fase farmasetik yang sama

    apabila mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama serta

    bentuk sediaan yang sama dan memenuhi standar kompendial yang sama

    (misalnya waktu hancur, keseragaman kandungan, dan kecepatan disolusi)

    wlaupun bentuk, mekanisme pelepasan, eksipien, kemasan, dll berbeda.

    3. Biologik: 2 produk obat disebut ekivalen apabila mempunya ekivalensi

    farmasetik yang sama dan pada pemberian molar yang sama akan

    menghasilkan bioavaibilitas yang sebanding sehingga kemanjuran dan

    keamanannya akan sama baiknya.

    4. Klinik/terapetik: 2 obat yang diberikan pada subjek yang sama dengan

    posologi yang sama akan menghasilkan efek terapetik/toksisitas yang sama.

    Perbedaan dapat terjadi pada bioavaibilitas dan respon klinik apabila:

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    7/26

    Obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industri yang

    berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara

    pembuatan yang berbeda.

    Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada bioavaibilitas dari produk obat yang

    diuji dengan produk obat pembanding, maka kedua produk itu dapat dikatakan

    inekivalen secara terapetik. Dalam hal ini harus dilakukan reformulasi dan uji

    bioavaibilitas harus dilakukan lagi.

    Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam uji BA/BE:

    1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (absorpsi, distribusi,

    metabolisme, dan eliminasi).

    2. Pemilihan metode analisis yang tepat: hal ini diperlukan untuk mengetahui

    efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-efek tersebut.

    3. Stabilitas obat dalam sampel

    4. Penyusunan percobaan protokol yang tepat: sebelum dilakukan uji, sebaiknya

    mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik terlebih dahulu.

    Protokol harus lulus kajian ilmiah.

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan percobaan BA/BE:

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    8/26

    1. Sediaan pembanding

    2. Subjek percobaan dan kriteria

    3. Jumlah subjek

    4. Desain percobaan

    5. Interval waktu pemberian

    6. Modalitas pengambilan sampel: tunggal, berulang, jumlah dosis, dll.

    7. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya.

    8. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel.

    9. Jenis sampel yang akan dikumpulkan: darah/urin.

    Kriteria obat pembanding:

    1. Produk obat inovator

    2. Primary marketdi negara lain atau

    3. Market leaderdi Indonesia

    4. Produk pembanding yang digunakan harus mendapatkan persetujuan dari

    BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)

    Metode uji bioekivalensi:

    Uji bioavaibilitas komparatif

    Uji farmakodinamik komparatif

    Uji disolusi in vitro komparatif

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    9/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    10/26

    Obat yang harus diuji BE:

    Obat oral dengan pelepasan segera, yaitu:

    Non-linier farmakokinetik

    Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera

    Obat oral dengan indeks terapi sempit

    Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan (BCS III&IV)

    BCS (Biopharmaceutic Classification System) dinedakan menjadi 4 kelas

    (berdasarkan kelarutan/permeabilitas):

    1. BCS 1: kelarutan baik&permeabilitas baik sehingga tidak perlu uji BE,

    disolusi terbanding saja.

    2. BCS 2: kelarutan jelek, permeabilitas baik. Tidak perlu uji BE, disolusi

    terbanding saja.

    3. BCS 3: kelarutan baik, permeabilitas jelek. Perlu uji BE dan disolusi

    terbanding.

    4. BCS 4: kelarutan jelek&permeabilitas jelek. Perlu uji BE dan disolusi

    terbanding.

    Subjek dan jumlah subjek:

    Sukarelawan sehat

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    11/26

    Jumlah subjek dihitung berdasarkan koefisien variasi intrasubjek dari

    parameter bioavaibilitas yang utama, yaitu AUC.

    Koefisien variasi diperkirakan dari percobaan pendahuluan atau dari data

    publikasi.

    Pada umumnya dibutuhkan 18-24 subjek, minimal 12 orang.

    Jika ternyata koefisien variasi yang diperoleh lebih besar, maka jumlah dapat

    ditambah.

    Kriteria subjek:

    Inklusi

    Sukarelawan sehat: pemeriksaan fisik dan laboratorium

    Umur antara 18-55th.

    Berat badan dalam kisaran normal ( 15% BB)

    Sebaiknya tidak merokok. Bila merokok sebaiknya disebutkan (perokok

    sedang) dan dievaluasi.

    Eksklusi

    Perokok berat, peminum alkohol, dan pengguna narkotika.

    Penderita HIV/AIDS

    Kriteria lain tergantung obat yang diuji misalnya riwayat alergi, wanita hamil

    dan menyusui, wanita haid, dll.

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    12/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    13/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    14/26

    Untuk produk-produk tertentu availabilitas dapat ditunjukkan dengan fakta

    yang diperoleh secara in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama

    dengan bioavailabilitas obat. Idealnya, disolusi obat in vitro berkorelasi dengan

    bioavailabilitas obat in vivo (Shargel et al., 2005).

    Availabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik produk obat

    dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Availabilitas suatu formula obat

    dibandingkan terhadap availabilitas formula standar, yang biasanya berupa suatu

    larutan dari obat murni (Shargel et al., 2005). Sebagai produk standar dapat

    digunakan: 1) produk larutan oral 2) produk inovator/originator, yaitu produk yang

    dibuat oleh pabrik penemunya, yang dianggap mempunyai bioavailabilitas terbaik

    yang sudah teruji secara klinik dengan hasil terapi yang baik (biasanya ditentukan

    oleh lembaga resmi, misalnya FDA). Penelitian availabilitas relatif dapat diterapkan

    untuk:

    a. Memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama dengan

    formulasi yang berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik, sehingga

    diketahui pengaruh komponen formulasi terhadap availabilitas.

    b. Memilih bentuk sediaan yang mempunyai availabilitas terbaik dari beberapa

    alternatif bentuk sediaan yang akan dikembangkan.

    c. Mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk sediaan yang

    sama dari batch yang berlainan.

    d. Membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai

    bioavailabilitas terbaik (Ringoringo, 1995).

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    15/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    16/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    17/26

    memungkinkan perumusan suatu peraturan, meskipun agak banyak mengalami

    kesulitan dalam mengatur secara persis suatu imitasi proses alam. Oleh karena itu,

    cara ini lebih mudah dibuat melalui prinsip dasar pengkondisian yang dinormalkan.

    Yang lebih tepat adalah pengembangan metode in vitro, cara in vitro untuk sediaan

    obat jenis ini masih dinilai cocok mengingat pentingnya peranan sediaan obat peroral

    dalam terapi (Voigt, 1971).

    Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk

    menunjukkan (1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 % dan (2) laju

    pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari

    batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis (Lachman et

    al., 1994).

    b. Ekivalensi

    Ekivalensi dapat didefinisikan, tidak adanya perbedaan secara

    signifikan/bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang

    memiliki kesetaraan farmasetik (Rahmat, 2004). Industri obat yang telah memiliki

    data efektifitas obat melalui uji klinik dari suatu formulasi obat, maka industri obat

    lainnya yang ingin memasarkan obat yang sejenis haruslah melakukan suatu

    penetapan availabilitas yang dapat menunjukkan bahwa formulasinya memberikan

    kadar puncak yang sama, kecepatan absorbsi yang sama, dan jumlah obat yang

    diabsorbsi yang sama dengan formulasi dari industri obat yang pertama. Jika ketiga

    kriteria di atas dipenuhi merupakan alasan untuk mengharapkan bahwa formulasi

    yang dikembangkan industri obat kedua akan memberikan efek terapetik yang sama

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    18/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    19/26

    desain formulasi. Pedoman ini disebut sebagai, Pedoman Korelasi In Vitro/ In vivo

    yang telah dikembangkan oleh Badan Obat dan Makanan dan berdasarkan pada

    penelitian ilmiah.

    Pedoman itu menyatakan bahwa tujuan utama mengembangkan dan

    mengevaluasi suatu IVIVC adalah untuk memungkinkan uji disolusi untuk menjadi

    pengganti dalam uji bioavailabilitas in vivo. Hal ini dapat mengurangi jumlah uji

    bioekivalensi yang dibutuhkan untuk persetujuan selama kenaikan skala dan

    perubahan pasca-persetujuan.

    Korelasi In vitro-In-vivo (IVIVC) telah ditetapkan oleh Badan Obat dan

    Makanan (FDA) sebagai "prediksi model matematis yang menggambarkan hubungan

    antara sifat in-vitro dari suatu bentuk sediaan dan reaksi in- vivo. Pada dasarnya,

    sifat in-vitro adalah laju atau tingkat pemisahan obat atau pelepasan obat sedangkan

    respon in-vivo adalah konsentrasi obat di dalam plasma atau jumlah obat yang

    diserap.

    Farmakope Amerika Serikat (USP) juga menetapkan IVIVC sebagai pembuat

    hubungan antara suatu sifat biologi, atau sebuah parameter yang dihasilkan dari sifat

    biologi yang dihasilkan dari suatu bentuk sediaan dan sifat fisikokimianya sama

    dengan bentuk sediaan. Persamaannya, parameter yang dihasilkan dari sifat biologi

    adalah AUC atau Cmax, dan juga sifat fisikokimianya adalah profil disolusi in vitro.

    Pengujian disolusi in vitro merupakan pedoman penting dalam

    pengembangan produk obat padat, seperti dalam kontrol kualitas batch. Tujuan dari

    uji ini adalah untuk melihat bahwa obat terlarut sempurna di dalam saluran

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    20/26

    pencernaan dan dapat diserap dengan baik. Oleh karena itu diharapkan bahwa dengan

    tes in vitro dapat memberikan data yang dapat dihubungkan dengan situasi in vivo.

    Namun, hasil yang diperoleh IVIVC sering mengalami kegagalan dan konsep dari

    IVIVC telah ditentang.

    BCS (Biopharmaceutic Classification System) atau sistem klasifikasi

    biofarmasetika dapat digunakan sebagai batasan untuk memprediksi saat IVIVC bisa

    diharapkan untuk produk padat IR (Immediate Release) atau lepas cepat, seperti yang

    dirangkum dalam Tabel. Hal ini penting untuk memahami bahwa dalam Uji disolusi

    in vitro hanya contoh pelepasan dan pemisahan zat aktif obat dari formulasi, dan itu

    terjadi hanya pada saat proses cepat-terbatas dalam proses absorpsi dimana IVIVC

    diharapkan.

    Tabel. Perkiraan korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) untuk produk lepas cepat (IR)

    yang berdasarkan pada BCS.

    KELAS PERKIRAAN IVIVC

    I Kelarutan tinggi / Peff tinggi Tidak ada IVIVC hingga pemisahan

    produk menjadi lebih lambat

    dari pengosongan lambung

    II Kelarutan rendah / Peff tinggi IVIVC akan mungkin untuk ditetapkan

    ketentuan bahwa disolusi in vitro

    merupakan metode uji yang cocokdigunakan dan absorpsi obat dibatasi oleh

    laju pemisahan daripada kelarutan jenuh

    III Kelarutan tinggi / Peff rendah Tidak ada IVIVC sehingga pemisahanproduk menjadi lebih lambat dari

    permeabilitas usus

    IV Kelarutan rendah / Peffrendah Kemungkinan rendah untuk IVIVC

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    21/26

    Dalam kasus obat kelas I, dosis lengkap akan dilarutkan di dalam lambung ,

    asalkan penyerapan dinding usus dapat diabaikan, pengosongan lambung akan

    membatasi kecepatan kelarutan obat. Ini jelas bukan faktor yang diinginkan dalam uji

    disolusi in vitro. Dengan demikian, tidak diharapkan ada IVIVC untuk obat-obatan

    kelas I selama pelepasan obat lebih cepat dari pengosongan lambung. Waktu paruh

    pengosongan cairan lambung pada saat puasa biasanya 10 menit, meskipun hal ini

    bisa bervariasi karena beberapa faktor seperti waktu pemberian obat dalam kaitannya

    dengan fase motilitas lambung, dan juga volume cairan. Hubungan antara disolusi in

    vitro, digambarkan sebagai waktu untuk melarutkan setengah dosis (T50%), dan

    puncak konsentrasi plasma (Cmax) untuk menggambarkan obat kelas I adalah

    dicontohkan pada Gambar. 21,12. Jenis hubungan in vitro / in vivo hanya diharapkan

    untuk variabel yang dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi, sedangkan variabel

    mencerminkan tingkat ketersediaan hayati, misalnya, AUC, seharusnya tidak

    bergantung pada kecepatan disolusi.

    Obat kelas II, yaitu senyawa dengan kelarutan rendah/permeabilitas tinggi,

    diharapkan memiliki absorpsi pemisahan terbatas. Dengan demikian, untuk jenis obat

    yang IVIVC mungkin dapat ditetapkan dengan menggunakan rancangan yang baik

    dalam uji disolusi in vitro.

    Cm

    a

    x

    Kecepatan pengosonganlambung

    Batas laju disolusi

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    22/26

    Gambar. 21,12. Tahap pokok C korelasi in vitro / in vivo untuk formula lepas-cepat

    (IR) obat kelas I.

    Salah satu cara untuk meneliti dan menentukan hubungan seperti itu adalah

    dengan mempelajari suatu formulasi yang mengandung partikel obat dengan area

    permukaan yang berbeda. Salah satu contoh penelitian ditampilkan pada Gambar.

    21,13, dimana profil disolusi in vitro (Gambar 21,13 (a)) dan konsentrasi plasma-

    waktu (Gambar 21,13 (b)) diberikan untuk administrasi tablet yang mengandung

    bahan obat dengan dua ukuran rata-rata partikel yang berbeda. Rata-rata penurunan

    sekitar 30% di Cmax untuk partikel yang lebih besar diperkirakan agak lambat dalam

    disolusi in vitro.

    Gambar. 21,13.

    Disolusi in

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    23/26

    Gambar. 21,13. (a) Nilai rata-rata disolusi in vitro dan (b) konsentrasi tablet

    candersartan cilexitil dalam plasma manusia yang mengandung partikel obat dengan

    tiga partikel yang diameter rata-ratanya berbeda (A, 3,9 mm, B, 5,7 mm; C, 9,1 mm).

    Dua kasus bisa diidentifikasi untuk obat kelas II pada saat penetapan IVIVCs

    yang tidak dapat dikerjakan dengan mudah. Pertama, ada beberapa dasar formulasi

    yang dapat meningkatkan laju disolusi dan kelarutan senyawa dengan kelarutan

    rendah, seperti dibahas di atas. Hal ini akan menjadi mungkin untuk mencapai

    pemisahan obat yang cepat dan sempurna dari obat kelas II bahwa dengan

    pengosongan lambung akan membatasi laju larut obat, yaitu, ketersediaan hayati dari

    bentuk-bentuk sediaan padat sama halnya dengan larutan oral. Jadi, dalam kasus

    seperti prasyarat untuk IVIVC akan identik dengan situasi untuk obat kelas I, yaitu,

    tidak akan diperoleh korelasi selama kecepatan disolusi secara signifikan lebih cepat

    daripada pengosongan lambung.

    Situasi kedua ketika IVIVC tidak seperti untuk obat kelas II dimana absorpsi

    lebih dibatasi oleh kelarutan jenuh di dalam saluran pencernaan daripada laju

    disolusi , seperti yang dibahas lebih terinci di atas. Dalam situasi ini, konsentrasi obat

    dalam saluran pencernaan akan dekat dengan kelarutan jenuh, dan perubahan laju

    disolusi tidak akan mempengaruhi konsentrasi plasma- profil waktu dan

    bioavailabilitas in vivo. Standar dalam pengujian disolusi in vitro dilakukan di

    bawah kondisi sink, yaitu, kondisi pada konsentrasi yang jauh di bawah kelarutan

    jenuh. Dengan demikian, efek yang terkait untuk menilai disolusi hanya dapat

    diprediksi secara in vitro. Jika uji disolusi ini lebih menggunakan media fisiologis,

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    24/26

    yang tidak harus selalu memberikan kondisi sink, kemungkinan untuk IVIVC bisa

    diperbaiki, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hasil studi terbaru dengan

    menggunakan media simulasi usus.

    Absorpsi obat kelas III dibatasi oleh permeabilitas obat tersebut di sekitar

    dinding usus. Dengan demikian, karena proses ini sama sekali tidak diperagakan oleh

    keunggulan uji disolusi in vitro , tidak ada IVIVC yang diharapkan. Ketika disolusi

    obat menjadi lebih lambat dari pengosongan lambung, penurunan tingkat

    ketersediaan hayati dapat dilihat dari laju disolusi yang lebih lambat sebagai waktu

    dimana obat yang tersedia akan berkurang karena diserap oleh permukaan dinding

    usus di dalam usus kecil. Dengan demikian, jenis hubungan yang sama dapat

    diharapkan antara bioavailabilitas dan disolusi in vitro, ditunjukkan pada Gambar.

    21,12 untuk obat kelas I.

    Obat kelas IV memiliki kelarutan yang rendah dan permeabilitas obat yang

    rendah. Obat-obatan yang termasuk dalam kelas ini menunjukkan banyak kesulitan

    untuk pemberian oral yang efektif. Misalnya Obat untuk kelas III dan IV masing-

    masing adalah simetidin dan chlorothiazide.

    Dalam uji in vitro memiliki beberapa tujuan. Ini menjadi pedoman penting

    untuk penggolongan kualitas produk biofarmasi di berbagai tahap pengembangan

    formulasi . Dalam pengembangan awal obat , sifat pemisahan in vitro yang

    menentukan dengan memilih antara bentuk sediaan alternatif yang berbeda untuk

    pengembangan lebih lanjut masing-masing produk obat. Juga, data disolusi in vitro

    dapat membantu dalam evaluasi dan interpretasi risiko, terutama dalam hal bentuk

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    25/26

  • 7/22/2019 Korelasi in Vitro in Vivo

    26/26