kti anestesi tonsilektomi

Upload: irna-meliya-wati

Post on 12-Oct-2015

119 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Definisi anestesiologi berdasarkan etimologi dibagi menjadi 2 kata yaitu 'an' yang berarti 'tidak', dan 'aestesi' yang artinya 'rasa'. Reanimasi dibagi menjadi 2 kata, yaitu 're' yang artinya kembali dan 'animasi' yang berarti 'gerak' atau 'hidup'. Maka ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama operasi akibat obat anestesia dan mengembalikannya seperti keadaan semula (Mangku, 2010).

General anestesi adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Teknik anestesi umum ada tiga macam, yaitu anestesi umum intravena, anestesi umum inhalasi, danb anestesi imbang (gabungan antara keduanya). Anestesia pediatric adalah anestesia pada pasien yang berumur di bawah 12 tahun, yang dibagi menjadi tiga kelompok umur yaitu neonatus, bayi hingga anak dengan umur dibawah atau sama dengan 3 tahun, dan anak dengan umur lebih dari 3 tahun (Mangku, 2010).

Masalah anestesi pada anak adalah perbedaan anatomi, fisiologi, psikologi, farmakologi dan patologi antara anak dan dewasa. Pada bayi lebih mudah mengalami hipoglikemia, hipotermia, hipertermia, dan bradikardia. Sistem parasimpatis lebih dominan dan angka morbiditas serta mortalitasnya tinggi.

Dalam penggunaan anestesia umum, pasien dapat bernafas sendiri secara spontan yang disebut spontan respiration (SR), dapat juga dengan bernafas spontan tetapi dengan sedikit bantuan dari tim anestesia yang disebut assist respiration (AR), atau pasien tidak bisa bernafas sendiri dan harus benar-benar dibantu tim anestesia atau dikontrol oleh tim anestesia yang disebut control respiration (CR).

Femur merupakan tulang terpanjang pada tubuh manusia. Perkembangan tulang femur terjadi pada bagian proksimal dan distal sehingga memungkinkan koordinasi aktifitas musculoskeletal pada panggul dan lutut. Perkembangan pada femur proksimal khususnya pada epifisis dan fisis sangat kompleks di antara region pertumbuhan skeletal apendikular (Odgen, 2000).

Parsch (2010) menyebutkan bawa fraktur batang femur (femoral shaft fracture) termasuk diantaranya region subtrokanter dan suprakondilar berkisar 1,6% pada semua fraktur pada anak. Rasio antara anak laki laki dan perempuan adalah 2 : 1, rasio ini mungkin akan mengalami perubahan jika semakin banyak anak perempuan yang berpartisipasi pada olah raga. Tingkat terjadinya fraktur batang femur per tahunnya adalah 19 per 100.000 anak anak.ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan sepanjang bidang anatomik tempat yang mengalami fraktur. Fraktur direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali, sesudah reduksi, fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat-alat berupa pin, plat, screw, dan paku.I.2. ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)

ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini dapat berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranversal (Appley dalam Afifudin, 2010).

I.2.1. Indikasi

Indikasi dilakukannya ORIF yaitu :

1. Fraktur yang tidak bisa sembuh tanpa manipulasi pembedahan.

2. Fraktur yang tidak bisa direposisi secara tertutup.3. Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan.4. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik

dengan operasi.I.2.2. Komplikasi

Beberapa komplikasi dari ORIF yaitu :

1. Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut atau miring. Komplikasi dapat dicegah dengan melakukan analisa yang cermat sewaktu melakukan reduksi dan mempertahankan reduksi dengan baik dan benar, terutama pada masa awal penyembuhan.2. Delayed union dan non union adalah sambungan tulang yang terlambat dan tulang patah yang tidak menyambung kembali.3. Gejala pada pasien post ORIF yaitu edema, nyeri, pucat, otot tegang dan bengkak, menurunnya pergerakan, deformitas (perubahan bentuk), eritema, dan parestesia atau kesemutan. I.3. Anestesi dan Reanimasi

I.3.1. DefinisiDefinisi anestesiologi berdasarkan etimologi dibagi menjadi 2 kata yaitu 'an' yang berarti 'tidak', dan 'aestesi' yang artinya 'rasa'. Reanimasi dibagi menjadi 2 kata, yaitu 're' yang artinya kembali dan 'animasi' yang berarti 'gerak' atau 'hidup'. Maka ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama operasi akibat obat anestesia dan mengembalikannya seperti keadaan semula (Mangku, 2010).I.3.2. Ruang lingkupRuang lingkup pelayanan medis yang dicakup oleh cabang ilmu anestesi dan reanimasi meliputi usaha penanggulangan nyeri dan stress emosional, usaha kedokteran gawat darurat, dan usaha kedokteran perioperatif (Mangku,2010).

I.3.3. Langkah baku

Langkah baku yang selalu digunakan dalam memberikan pelayanan anestesia pada pasien yang akan dilakukan prosedur pembedahan ataupun prosedur diagnosis antara lain :

a. Evaluasi pra anestesia dan reanimasib. Persiapan pra anestesia dan reanimasic. Anestesia dan reanimasi

1). Induksi

2). Pemeliharaan (maintenance).

3). Pemulihan (recovery)d. Pasca anesthesia

Dalam tindakan anestesia yang memadai, meliputi tiga komponen yang sering disebut trias anestesia, yaitu hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.e. Jenis-jenis pemberian anestesia

1). Anestesia umum (general anesthesia) Batasan dikatakan general anestesi adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Teknik anestesi umum ada tiga macm, yaitu anestesi umum intravena, anestesi umum inhalasi, anestesi imbang.2). Anestesia regional (regional ansteshia)3). Anestesia local (local anestesia)I.4. Penatalaksanaan Anestesi

I.4.1 Penilaian Preoperatif

Selain penilaian anestesi rutin, perhatian terutama di fokuskan pada fungsi organ dalam khususnya jantung dan paru-paru.Indikator yang terbaik bahwa pasien menderita penyakit sistemik adalah riwayat mediknya, sehingga perlu diteliti mengenai riwayat penyakitnya. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan hanya minimal saja yang didapatkan. Pada kasus ini tidak bisa diukur tekanan darah pasien akibat peralatan yang kurang memadai dan pasien adalah anak-anak.

Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk pasien yang akan melakukan operasi. Hal tersebut untuk menyiapkan pasien dan mengantisipasi keadaan yang tidak menguntungkan terjadi. Urinalisis merupakan pemeriksaan laboratorium yang murah, informatif, dan tersedia. Hitung darah lengkap dapat juga diperlukan untuk mengetahui kondisi pasien. Pemeriksaan lain seperti rontgen thorax dan EKG diperlukan tergantung dari symptom yang ditunjukan pasien.

I.4.2. Obat-obat Premedikasi1.4.2.1. Antikolinergik (Atropin)

Mekanisme atropin menghambat aksi asetilkolin pada bagian parasimpatik otot halus, kelenjar sekresi dan SSP, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, mengantagonis histamin dan serotonin. Atropin diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus. Dosis atropin untuk premedikasi injeksi intravena sebesar 300 600 mcg , segera sebelum induksi anestesia. Untuk anak-anak 20 mcg/kg ( maksimal 600 mcg). Pemberian injeksi subcutan atau intramuscular 300 600 mcg 30 60 menit sebelum induksi dan untuk anak-anak 20 mcg/kg (maksimal 600 mcg).

1.4.2.2. Obat Penenang (transquillizer)

MidazolamMidazolam merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi diberikan secara intramuskular 0,2 mg/kg atau 5-10 mg peroral. Untuk induksi diberikan secara intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kgBB (Mangku, 2010).

I.4.3. Obat-obat InduksiKetalar

Ketalar untuk induksi diberikan intravena dalam bentuk larutan 1%, dengan dosis 1-2/kgBB perlahan. Obat ini sering mrnimbulkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan tekanan tinggi pada intrakranial. Efek-efek tersebut dapat dikurangi dengan pemberian midazolam atau obat lain yang mempunyai khasiat amnesia sebelum diberikan ketalar (Mangku, 2010). I.4.4. Obat Anestesi Inhalasi

1.4.4.1. Dinitrogen Oksida (N2O/ gas gelak)

N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis, tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari pada udara, tidak mudah terbakar/meledak dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O:O2 yaitu 60%:40%, 70%:30%, dan 50%:50%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20%;80%, untuk induksi 80%:20%, dan pemeliharaan 70%:30%.

1.4.4.2. Sevofluran

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk induksi inhalasi, induksinya enak dan cepat terutama pada anak. Sevofluran dikemas dalam bentuk cairan, dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, dan tidak iritatif. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat anestesia inhalasi saat ini (Mangku, 2010). I.5. Keadaan Anatomis dan Fisiologis Anak

1.5.1. Sistem Respirasi Pada saluran nafas bagian atas, anak memiliki lidah yang lebih lebar dan posisi laring pada anterior dan letak laringnya lebih tinggi. Sniffing position biasanya tidak dapat menolong untuk mempermudah memvisualisasikan glotis untuk pemasangan ET. Pada pemasangan ET diletakkan 1 cm diatas karina dan kemudian difiksasi menggunakan hansaplast untuk mencegah gerakan kepala yang dapat mempengaruhi posisi ET (Macfarlane, 2012).

I.5.2. Sistem Kardiovaskuler

Tabel I.1. Denyut nadi dan tekanan darah pada anak

Tabel 1.2. Volume darah pada anak :

( Macfarlane, 2012 )

I.5.3. Sistem Uropoetika dan Keadaan Cairan Tubuh Anak

Pada anak, cairan ekstraselulernya lebih banyak dibandingkan dewasa. Pada dewasa cairan ekstraseluler mencapai 20%, 15% intertisial dan 5% intravaskuler. Sedangkan komposisi cairan ekstravaskuler pada anak adalah 40%. Hal ini menjadi indikator penting pada resusitasi cairan jika terjadi shock hipovolemik atau perdarahan hebat pada anak karena komposisinya lebih besar. Urin output pada anak sekitar 1-2 ml/kg/jam. ( Macfarlane 2012 )I.5.4. Sistem HeparSistem hepar belum berfungsi baik, dengan jumlah enzim hepar yang sedikit. Oleh karena itu, obat obatan seperti barbiturat dan golongan opiad karena akan dimetabolisme lebih lama dalam hepar (slower metabolism) (Macfarlane, 2012).I.5.5. Metabolisme Glukosa Hipoglikemia lebih cepat terjadi pada anak karena cadangan glikogennya lebih sedikit. Untuk mengantisipasi hal ini biasanya digunakan infus d5 atau d10 yang mengandung glukosa sebagai pengganti energinya (Macfarlane, 2012).I.6. Anestesi pada Pediatri

1.6.1. Definisi

Anestesia pediatric adalah anestesia pada pasien yang berumur di bawah 12 tahun, yang dibagi menjadi tiga kelompok umur yaitu neonatus, bayi anak umur < 3 tahun, anak umur > 3 tahun.1.6.2. Masalaha. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi, psikologi, farmakologi dan patologi antara anak dan dewasa.

b. Bayi lebih mudah mengalami hipoglikemia, hipotermia, hipertermia, bradikardia,dll.

c. Parasimpatis lebih dominan.d. Angka morbiditas dan mortalitasnya tinggi.1.6.3. Obat-obat

a. Premedikasi

Dapat diberikan atropine ditambah diazepam atau midazolam dengan dosis yang sesuai.b. Induksi

Induksi dapat dilakukan secara intravena dengan obat-obatan seperti pentothal, ketamine, midazolam, atau propofol dengan dosis disesuaikan. Induksi pemeliharaan dapat digunakan kombinasi N20 dan O2 dengan perbandingan pada neonatus 50 : 50, bayi 60 : 40, anak 70 : 30. Kemudian dapat digunakan obat pilihan untuk anak seperti Isofluran atau sevofluran. Pernafasan spontan dilakukan untuk operasi kecil, nafas bantu atau kendali dapat dilakukan untuk operasi sedang dan besar. c. Post anestesi

Dipantau kesadaran, pernafasan, denyut badi, warna kulit, aktivitas, suhu tubuh.

BAB II

LAPORAN KASUSII.1. Identitas PasienNama

: An. RSJenis Kelamin: Laki - Laki

Usia

: 7 tahun

Berat Badan: 17 kg

Agama

: Islam

Alamat

: Masaran, SragenNo. RM

: 373107Diagnosis

: Fraktur femur 1/3 medial dekstra II.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 07 Juni 2013, pukul 18.00 WIB. Informasi diberikan oleh orang tua pasien dan pasien.a. Keluhan utama

: Nyeri pada paha kanan dan pantat kanan.

b. Riwayat penyakit sekarang: Pasien mengeluh nyeri paha kanan dan pantat kanannya setelah tertabrak kereta mini di rumahnya. Pada saat datang ke rumah sakit pasien dalam sadar penuh. Tidak ada luka terbuka dan perdarahan, hanya pada bagian paha terlihat bengkak.

c. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat asma disangkal, riwayat alergi makanan dan obat disangkal, riwayat pernah operasi disangkal.

d. Riwayat penyekit keluarga: Riwayat asma, alergi dan riwayat

penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

II.3. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada 7 Juni 2013GCS:E4V5M6 = 15BB: 17 kg

Tekanan Darah : -

Nadi: 90x/menit.Suhu: 36,(C.Pernafasan:24x/menit.

Status Generalisa. Kulit:Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup.

b. Kepala:Tampak tidak ada jejas, dalam batas normal.

c. Mata:Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera tidak ikterikd. Pemeriksaan Leher : tidak dilakukan e. Pemeriksaan Thorax : Jantung dan paru dalam batas normalf. Pemeriksaan Abdomen : Supel, Bising Usus (+)

k.Pemeriksaan Ekstremitas : paha kanan bengkak

II.4. Pemeriksaan Penunjang

Tabel II.1. Hasil Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaanHasil Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin11,411,5-15,5 g/dL

Leukosit25,804800-10800/(L

Hematokrit32,835-45%

Eritrosit4,37x1064,0-4,2x106/(

Trombosit379000150000-450000/(L

MCV75,280,0-99,0 fl

MCH26,227,0-31,0 pg

MCHC34,633,0-37,0 %

RDW11.111,5-14,5 %

MPV4,697,2-14,1 fl

CT3.001-3 menit

BT2.001-6 menit

Gol. DarahB

Kimia Klinik

SGOT-< 31 U/L

SGPT-< 32 U/L

Ureum-10-50 mg/dL

Creatinin-0,60-0,90 mg/dL

GDS- 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAgNegatifNegatif

II.5. Kesan Anestesi

Laki Laki 7 tahun kecurigaan fraktur dengan ASA II

II. 6. PenatalaksanaanPenatalaksanaan pada pasien yaitu :a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 8 tpm saat di bangsal, 20 tpm saat di ruang operasi.b. Informed Consent Operasi.c. Konsul ke Bagian Anestesi.d. Informed Consent Pembiusan.

Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA IIII. 7. Kesimpulan

ACC ASA IIII.8. Laporan Anestesi 1.Diagnosis Pra Bedah

Fraktur femur 1/3 medial dekstra.2.Diagnosis Pasca Bedah

Fraktur femur 1/3 medial dekstra.3.Penatalaksanaan Preoperasi

Infus RL 500 cc.4.Penatalaksanaan Anestesi :

a. Jenis Pembedahan

: ORIF (Open Reduction Internal Fixation).b. Jenis Anestesi

: General Anestesi c. Teknik Anestesi

: Inhalasi Jaction Race dengan intubai

Endotraceal Tube

d. Mulai Anestesi

: 10 Juni 2013, pukul 12.15 WIBe. Mulai Operasi

: 10 Juni 2013, pukul 12. 30 WIBf. Premedikasi

: Sulfas Atropin 0,25 mg

Fortanest ( midazolam ) 1 mg

g. Induksi

: Ketalar ( Ketamin hidroklorida ) 10 mg

h. Intubasi

: ETT

i. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg j. Maintanance

: O2, N2O,sevofluranek. Relaksasi

: -

l. Repirasi

: Spontan Respirasi

m. Posisi

: Supine

n. Cairan Durante Operasi: RL 500 ml

o. Pemantauan HR

: Terlampir

p. Selesai operasi

: 13.30 WIB

Tanggal 10 Juni 2013 pukul 12.10, An. RS, 7 tahun tiba di ruang operasi dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign dengan nadi 150x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 12.20 diberikan premedikasi dengan injeksi sulfas atropin 0,25 mg dan midazolam (fortanest) 1 mg secara intravena. Setelah diberikan premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi ketalar 10 mg intavena. Setelah itu dipasang sungkup muka untuk mengalirkan oksigen dan juga menunggu kerja dari sulfas atropin sebagai pelemas otot sehingga ketika pemasangan endotrakeal tube akan lebih mudah.

Setelah pasien terinduksi dengan tanda reflek bulu mata menghilang, diberikan oksigen 2 liter/menit. Setelah itu dilakukan pemasangan ET (endotracheal tube) no. 5 dengan menggunakan laringoskop. Setelah intubasi dilakukan, ET dikunci dan dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O2. Setelah itu dilakukan auskultasi paru kanan dan kiri untuk mengetahui apakah ET sudah terpasang dengan benar. Intubasi dilakukan pada keadaan anestesia, antara lain; induksi dengan anestesia inhalasi, teknik GA, laringoskop, setelah itu lakukan intubasi ETT.Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2, N20 dan sevoflurane. Inhalasi N2O : O2 diberikan dengan perbandingan 50% : 50%. Pada pasien ini diberikan N2O sebesar 2 liter/menit dan O2 sebesar 2 liter/menit. Maintenance sevofluran dapat diatur baik diturunkan maupun dinaikkan sesuai kebutuhan pasien. Ventilasi dilakukan dengan respirasi spontan hingga operasi selesai. Selama maintenance diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign dicatat setiap 5 menit. Selama operasi , nadi di monitor tiap 5 menit dengan hasil:

- Lima menit I : nadi 150 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit II : nadi 153 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit III : nadi 153 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit IV : nadi 160 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit V : nadi 155 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit VI : nadi 153 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit VII : nadi 151 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit VIII: nadi 152 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit IX : nadi 151 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit X : nadi 150 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit XI : nadi 145 x/menit, SpO2 99%.

- Lima menit XII : nadi 143 x/menit, SpO2 99%.Tidak terdapat perdarahan massive. Pembedahan berlangsung selama 55 menit dengan IVFD RL 20 tpm. Setelah operasi selesai maintenance kadar N2O, oksigen, dan sevofluran diturunkan hingga 0%. ET yang terpasang tidak langsung dilepas, masih perlu dilakukan suction terlebih dahulu. Setelah ET dilepas dipasang kap oksigen serta dimonitoring saturasi oksigen pasien. Setelah saturasi oksigen mencapai kadar 99% pasien dipindahkan dari ruang OK ke recovery room. Di dalam recovery room Aldrete score dinilai. Dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat kesadaran, dan vital sign menggunakan ALDRETE score, yaitu :

1. Aktivitas : mampu bergerak sesuai perintah ( 2

2. Respirasi : mampu bernafas dalam dan batuk ( 2

3. Sirkulasi : -

4. Kesadaran : Sadar penuh ( 2

5. Warna kulit : kulit kemerahan ( 2

Total skor ALDRETE = 8 maka pasien dapat keluar dari recovery room (RR). Injeksi ketorolac 30 mg diberikan per 8 jam, jam I di ruang OK, diteruskan jam II dan III di ruang perawatan.

LAMPIRAN

LEMBAR ANESTESI

BAB III

PEMBAHASAN

BAB III

PEMBAHASAN

General anesthesia merupakan jenis anestesi yang sering digunakan untuk pasien anak yang akan menjalani operasi. Pada dasarnya baik pada anak maupun dewasa tujuan anestesi adalah sama, yaitu menghilangkan rasa sakit dan membuat nyaman pasien selama operasi berlangsung dan setelahnya. Komponen dari anestesi umum meliputi analgesik, amnesia, muscle relaxation, monitoring vital sign, dan penurunan kesadaran. Selama operasi berlangsung, tanda vital akan dipantau melalui monitor fungsi tubuh secara umum yaitu denyut nadi, nafas, tekanan darah, dan saturasi oksigen. Selain itu, intubasi atau insersi lain diperlukan untuk membuka jalan nafas pada anestesi umum. Pada hasil pemeriksaan fisik pasien pertama kali datang ke rumah sakit didapatkan keadaan umum yang baik, jantung paru dalam batas normal, ditemukan supel pada pemeriksaan abdomen dan status lokalis ditemukan paha kanan bengkak. Pemeriksaan penunjang diagnostik dilakukan pemeriksaan radiologi berupa foto AP femur dekstra dan pelvis dan ditemukan adanya fraktur pada femur dekstra.

Kemudian penatalaksanaan yang direncanakan adalah pemasangan ORIF. Pasien dipasang infus untuk memasukkan cairan maintenance dan untuk memasukkan cairan pengganti pada saat operasi. Pada saat maintenance di bangsal pasien mendapatkan cairan ringer Lactate dengan jumlah tetesan 8 tpm. Cairan pemeliharaan untuk anak yang masih mendapatkan makan dan minum dapat diberikan sebanyak 2 cc / kg BB / jam. Sehingga didapatkan 8,5 tetes, dengan perhitungan sebagai berikut :

2cc x 17 kg = 34 cc/jam

Tranfusi set 1 cc = 15 tetes

34 x 15 = 510 tetes / jam = 8,5 tetes / menit

Pada saat operasi cairan diberikan sebanyak 20 tpm dengan ringer lactate karena pada saat operasi anak dengan trauma sedang kebutuhan cairan rata-rata 4 cc / kgBB/ jam, sehingga degan pasien berat badan 17 kg maka dapat diberikan sekitar 17 tpm.

4 cc x 17 kg = 68 cc/jam

Tranfusi set 1 cc = 15 tetes

68 x 15 = 1020 tetes / jam = 17 tetes / menitKebutuhan cairan :

a Sebelum premedikasi

- Kebutuhan dasar = 2cc/kgBB/jam= 2x17 kg = 34 cc

- Stress op besar= 6 cc/kg/BB/jam= 6x17 kg= 102

Total

= 136 cc/jam

Tetesan = 136x15/60 = 34 tpm

b. Selama operasi

- pengganti perdarahan = 3cc/kgBB/jam = 3x17kg= 51cc/jam

- Kebutuhan dasar= 2cc/kgBB/jam = 2x17kg= 34 cc/jam

Total

= 85 cc/jam

Tetesan

= 85x15/60 = 20 tpmKeputusan untuk menggunakan anastesi umum (general anastesi) yang pertama dikarenakan pasien yang tidak kooperatif misalnya seperti bayi dan anak anak. Kedua dikarenakan lokasi operasi, operasi di daerah kepala dan leher dipilih anastesia umum, sedangkan operasi di daerah tubuh bagian bawah yakni abdominal bawah, anus, ekstremitas bawah dapat digunakan blok spinal. Ketiga, posisi operasi juga ikut menentukan jenis anastesi, contoh seperti posisi tengkurap otomatis harus diberikan anastesi umum. Keempat, manipulasi yang dilakukan jika sangat luas dengan segala resikonya maka akan dipertimbangkan dipilih anastesi umum. Kelima, durasi operasi menentukan pilihan juga, jika durasi operasi lama maka akan dipilih anastesi umum (Mangku,2010).

Setiap pemberian anastesi umum, sering dilakukan pemberian fasilitas intubasi endotrakeal karena dengan fasilitas ini jalan napas lebih dapat terkendali. Namun jika memungkinkan maka pasien akan dibiarkan bernafas spontan tanpa menggunakan intubasi endotrakeal (Mangku,2010).

Rees dan Gray dalam Mangku (2010) membagi anastesi menjadi 3 bagian (trias anastesi) yaitu hipnotika, analgetika, dan relaksasi. Anastesi umum dapat dibagi menjadi anastesi umum intravena, anastesi umum inhalasi, anastesi imbang. Obat-obat yang digunakan antara lain : induksi: enfluran, isofluran, halotan, desfluran, ketamin, propofol. Obat yang digunakan untuk pelumpuh otot adalah Atrakurium dan cistacuronium. Obat vasopressor dan antihipertensi yang sering digunakan: Propranolol, esmolol, nifedipin, verapamil dan diltiazem, Trimethapan, Nitrogliserin.

Pemeliharaan dengan anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang bisa dipakai antara lain isoflouran, halotan, desfluran, sevofluran

Obat-obatan yang digunakan selama anestesi, meliputi obat obatan untuk premedikasi, induksi, dan pemeliharaan. Obat obatan yang digunakan untuk premedikasi antara lain : sulfas atropin dan midazolam. Sulfas atropin merupakan antikolinergik yang tujuannya adalah melumpuhkan otot otot saluran pernafasan agar mudah saat intubasi. Selain itu, pemberian SA juga bertujuan untuk mengurangi sekresi saliva. Pemberian midazolam pada premedikasi juga bertujuan untuk mengurangi rasa cemas menjelang pembedahan. Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan pada premedikasi karena sifatnya yang larut air. Midazolam diberikan melalui intravena dan efek dari obat ini adalah tidak mengakibatkan iritasi vena. Keadaan hemodinamika pada penggunaan midazolam juga dapat dipertahankan stabil. Suatu studi menyebutkan bahwa pemberian midazolam pada anak dengan pemasangan LMA sebagai teknik inhalasi lebih baik dibandingkan dengan penggunaan obat lain, misalnya propofol untuk premedikasi. Setelah LMA dimasukkan terjadi peningkatan MAP ( Mean Arterial Pressure ) dan denyut nadi pada anak. Namun hal ini tidak ada peningkatan siginifikan. Baik denyut nadi dan tekanan darah akan stabil selama induksi dan maintenance dilakukan. ( Bhaskar, P., et al ; 2010 ).

Midazolam juga digunakan untuk mengurangi keluhan mimpi buruk, delirium, halusinasi pasca anestesi dengan ketalar (Mangku,2010). Sehingga sebelum diberikan ketalar, pasien ini diberi midazolam terlebih dahulu.

Teknik inhalasi menggunakan LMA lebih efektif dibandingkan dengan intubasi ET. Sebuah studi dilakukan Patel, et.al. tahun 2010 untuk mencari perbandingan antara penggunaan LMA dan ET pada anestesi dengan teknik inhalasi. Kelompok LMA menunjukkan tidak muncul efek setelah pemasangan LMA dilepas, seperti batuk, muntah, dll. Sedangkan kelompok ET sebanyak 40% mengalami batuk dan 13,3%muntah setelah ET dilepas. Selain itu, pada kelompok ET terjadi penurunan saturasi oksigen 90% sehingga perlu dilakukan pemasangan sungkup untuk meningkatkan saturasi okesigen menjadi 98%. Selain itu pemantauan hemodinamika pada kelompok ET seperti denyut nadi dan tekanan darah lebih signifikan kenaikannya dibandingkan dengan kelompok LMA. Hal ini sesuai dengan kasus yang kami dapatkan yaitu penggunaan anestesi dengan teknik inhalasi dan pemasangan ET bahwa terjadi takikardia setelah pemasangan ET (150x/menit).

Peningkatan denyut jantung atau takhikardia pada pasien dapat pula terjadi karena efek simpatomimetik yang didapatkan dari ketalar. Ketalar dapat memicu segala sesuatu yang bersifat simpatis, seperti peningkatan tekanan darah, takikardia, hiperglikemia, dan lain-lain (Mangku, 2010).

Obat obatan induksi antara lain ; ketamin, propofol, halothan, desfluran, sevofluran, dan isofluran. Dalam pelaksanaannya digunakan ketamin sebagai obat induksi, dan tidak digunakan obat lainnya, misalnya propofol. Propofol tidak digunakan karena efek propofol yang merugikan, yaitu tidak adekuatnya relaksasi otot jalan nafas, batuk, dan spasme laring. Pemeliharaan pada anestesi umum menggunakan inhalasi N2O, sevofluran dan oksigen. Sevofluran lebih banyak digunakan karena efek recovery lebih cepat. Selain itu, efek samping berupa mual dan muntah juga lebih kecil risikonya dibandingkan obat inhalasi lainnya seperti halothan, dll. Sevofluran juga tidak menimbulkan aritmia jantung. Pada saat recovery efek agitasi biasanya muncul setelah pemberian inhalasi sevofluran. ( Redhu, S., et.al ; 2010 ).

Selain itu, kebutuhan cairan selama operasi diganti dengan pemberian cairan kristaloid 500 cc. Mengingat pada ORIF femur kemungkinan risiko terjadi perdarahan dikarenakan terdapat arteri femoralis, sehingga tim anestesi perlu waspada untuk mengatasi hal ini. Terapi cairan pada bedah anak berdasarkan jenis operasi :

1. Operasi besar : 6-8ml/kgBB/jam

2. Operasi sedang : 4-6 ml/kgBB/jam

3. Operasi kecil: 2-4 ml/kgBB/jam

Koreksi perdarahan pada anak dengan menghitung perdarahan 10% dari perkiraan volume darah. Jika perdarahan >10% dari perkiraan volume darah maka dibutuhkan transfusi. Perdarahan < 10% dari perkiraan volume darah maka berikan kristaloid sebanyak 2-3x jumlah perdarahan. ( Mangku, 2010 ). Pada pemantauan perdarahan pada operasi ORIF pada anak, tidak terjadi perdarahan hebat, sekitar