laporan tutorial skenario 5 kelompok 2(1)
DESCRIPTION
Two of the most delicate laptut of all timeTRANSCRIPT
BLOK XI :HEMATOPOETIK DAN LIMFORETIKULER
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 5
“Leptospirosis”
OLEH:
Ardiansyah H1A012007
Arsy Mira Pertiwi H1A012009
BaiqFitriWulandari H1A212010
BaiqHulhizatilAmni H1A212011
HartiniAhadiyatur Ru’yi H1A212020
NovitaElmyMufida H1A012041
NurshadrinaHendra K H1A012044
Sandra YulianaAndiniPutri H1A212052
SayyidatiAmaliaAndhiniPutri H1A212054
Try Widianto Putra Nugraha H1A212061
LaluFebrianCipta Amali H1A011037
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
NUSA TENGGARA BARAT
2014
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar
dan menyusun laporan hasil diskusi ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Farah atas bimbingan beliau
pada kami dalam melaksanakan diskusi. Kami juga mengucapkan terima kasih
para pakar serta teman-teman yang membantu kami dalam proses tutorial skenario
ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan
yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya
pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun
laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Mataram, 16 Mei 2014
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. SKENARIO V
Seorang laki-laki, berusia 35 tahun, dibawa oleh keluarganya ke IGD rumah sakit
dengan keluhan demam. Pasien mengeluhkan mendadak demam tinggi sejak 4 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan menggigil, mual, muntah, nyeri kepala dan nyeri otot terutama
pada betis. Sejak 2 hari yang lalu pasien juga mengalami diare. Satu bulan yang lalu pasien
mengalami musibah banjir di lingkungan tempat tinggalnya, di pemukiman kumuh yang
padat penduduk. Sejak beberapa minggu yang lalu pasien disibukkan dengan pekerjaan
membersihkan tempat tinggalnya dan lingkungan sekitarnya yang kebanjiran.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah, tekanan darah
110/70 mmHg, pernapasan 20 kali/menit, frekuensi nadi 100 kali/menit, dan suhu tubuh 39
0C. Didapatkan juga tanda-tanda injeksi konjungtiva, sklera ikterus, fotofobia, hepatomegali
dan splenomegali. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan leukosit : 12.500/mm3,
amilase : 200 IU/L, lipase : 170 IU/L, SGPT : 120 mg/dl, SGOT : 79 mg/dl, bilirubin total : 6
mg/dl, ureum : 50 mg/dl, kreatinin : 2,9 mg/dl.
1.2. LEARNING OBJECTIVE
1. EPIDEMIOLOGI
2. PENEGAKAN DIAGNOSIS
3. PATOFISIOLOGI LEPTOSPIROSIS
4. ANALISIS GEJALA DAN HASIL LAB SKENARIO
5. TATALAKSANA
LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis ikterik Leptospirosis anikterik
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
PENCEGAHAN
1.3. MINDMAP
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Suatu penyakik zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme laptospira interogans
tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh weil
pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan
penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenalsebagai weils
disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mod fever, slime fever, swamp
fever,autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cuter fever, dan lain-lain.
Laptospirosis acap kali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnose tanpa uji laboraturium. Kejadian luar biasa laptospirosis
dalam decade terakhir dibeberapa Negara telah menjadikan laptospirosis sebagai salah satu
oenyakit yang termasuk tha emergin infectious disease.
1. Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang
umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa
berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia.
Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat
kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan
meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis
klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang
mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar
pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di
daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa
ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai
pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia,
bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu
kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri
( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu.
Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap
kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu
diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis
anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon
version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan
juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan
malaria.
2. Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal
akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas
atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga
dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status
imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat.
Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
ETIOLOGI
Laptospirosis disebabkan oleh genus laptospira, family treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit tipis fleksibel panjangnya
5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organism
sering membengkak membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak
ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop
lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai cokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan
lapangan redup pada mikroskop biasanya morfologi laptospira dapat dilihat. Utuk mengamati
lebih jelas gerakan laptospira digunakan mikroskop lapangan gelap (dark fild microscop).
Secara sederhana, genus leptopsira terdiri atas dua spesies; L.interogans yang
pathogen, dan L.blifleksa yang non pathogen atau saprofit. Tujuh spesies dari laptospira
sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA nya, namun lebih praktis dala klinis dan
epidemiologinya menggunakana klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis.
Spesies L. interogans ddibagi menjadi beberapa serogrupdana serogrup ini dibagi menjadi
beberapa serofar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250
serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovar L. interogans yang dapat
menginfeksi manusia dianataranya adalah:L.icterohaemorrhagiae, L. canicola, L.pomona,
L.grippothyphosa, L.javanica, L.celledoni, L.ballum, L.pyrogenes, L.automnalis,
L.hebdomadis, L.bataviae, dll. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi
manusia adalah L.icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L.canicola dengan reservoir
anjing dan L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.
EPIDEMIOLOGI
Laptospirosis tersebar di seluruh dunia, terbanyak didaerah tropis. Laptospira bisa
terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmot atau
binatang-binatang pengerat lainnya. Didalam tubuh binatang tersebut laptospira hidup
didalam ginjal atau air kemihnya. Tikus merupakan vector yang utama dari
L.icterohaemorrhagica penyebab laptospirosis pada manusi. Dalam tubuh tikus llaptospira
akan menetap dan membentuk koloniserta berkembangbiak didalam epitel tubulus ginjal
tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrate urin. Penyakit ini bersifat
musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insiddens dijumpai pada musin panas dan
musim gugur karena temperature adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
laptospira, sedangkan didaerah tropis insiden tertinggi teradi selama musim hujan.
Laptospira membentuk hubungan simbiosis dengan pejamunya dan dapat menetap
dalam tubulus renalis selama berbulan-bilan bahkan bertahun-tahun. International
laptospirosis society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan insiden laptospirosis
tinggi dan peringkat ketiga didunia untuk mortalitas. Di Indonesia laptospirosis ditemukan di
DKI Jakarta , jawa barat, jawa tengah, DI Yogyakarta, lampung, sumatera selatan, sumatera
utara, riau, Bengkulu, bali,NTB, sulawasi selatan, Sulawesi utara.
Salah satu kendala dalam menangani laptospirosis berupa kesulitan dalam melakuka
diagnostic awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa dapat
dideteksi adanya gerakan laptospira dalam urin. Diagnostic pasti ditegakan dengan
ditemukannya laptospira pada darah, urine, atau ditemukannya hasil serologi positif. Untuk
dapat berkembangbiak laptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu
yang lembab, hangat, Ph air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanang tahun
di daerah tropis.
Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan dan digolongkan sebagai zoonosis. Leptospirosis adalah zoonosis bakterial
berdasarkan penyebabnya, berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena
tidak memerlukan vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur
penularan dapa dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Penularan leptospirosis pada manusia
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira
adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok
unggas serta beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar
utama adalah roden. Kuman leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan
dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil seperti pada
gambar berikut :
Leptospirosis merupakan zoonosis yang didugapaling luas penyebarannya di dunia .
Sumberinfeksi pada manusia adalah akibat kontak secaralangsung atau tidak langsung dengan
urin hewan yang terinfeksi. Leptospira masuk ke dalarntubuh melalui kulit yang terluka atau
membranamukosa. Pekerjaan merupakan faktor resiko yangpenting pada manusia. Kelompok
yang beresiko adalahpetani atau pekerja di sawah, perkebunan tebu,tambang, rumah potong
hewan, perawat hewan, dokterhewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan,
lumpur dan hewan baik hewan peliharaanataupun satwa liar. Pada manusia penyakit ini
beragam, mulaisubklinis, dengan gejala akut sampai yang mematikan.Gejala klinisnya sangat
beragam dan nonspesifik. Gejala yang umum dijumpai adalah demam, sakitkepala, mual-
mual, nyeri otot, muntah . Kadang-kadang dijurnpai konjungtivitis, ikterus, anemia dan gagal
ginjal.Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia,dapat dibedakan atas maintenance host
dan incidentalhost . Dalam tubulus ginjal maintenance host,leptospirosis akan menetap
sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewanmelalui
kontaklangsung . Biasanya, infeksi didapatpada usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik
melaluiurin meningkat dengan bertambahnya umur hewan.Pada manusia, penularan melalui
kontak tidak langsungdengan - maintenance host. Luasnya penularan tergantung dari banyak
faktor yang meliputi iklim,kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host
dan incidental host. Hal ini dan jugatentang serovar penting untuk studi epidemiologi
leptospirosis pada setiap daerah.
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di
daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja
di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan
personel militer. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air
yang terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada
saat musim hujan dan banjir.
Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah
yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh
sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis
dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Angka
kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di
daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun,
sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000
orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko
tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.
Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi,
mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di
beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem
organ yang terinfeksi.
PENULARAN
Manusisa dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah
terkontmainasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi laptospira. Infeksi tersebut jika terjadi
luka atau erosi pada kulit ataupum selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang
terkontaminasi urin binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini
bahan air yang deras pun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan
binatang yang sebelumnya terinfeksi laptospira atau kontak dengan kultur laptospira di
laboraorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terdapat kulit yang
utuh juga dapat menularkan laptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi
mendapatkan penyakit ini adalah pekerja disawah, pertanian, perkebunan, peternakan ,
pekerja tambang, pekerja dirumah potong hewan, atau orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan dokter hewan.
PATOGENESIS
Laptopsira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir memasuki aliran
darah dan berkembang,lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunolosi baik secara selluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertaha pada
daerah yang terisolasi secara imunologi seperti didalam ginjal dimana sebagian
mikroorganisme akan mencapai tubulus konvolunter, bertahan disana dan dilepaskan melalui
urin. Laprospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar delapan hari sampai beberapa
minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Laptospira dapat diilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan
cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase laptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Laptospiruria
berlangsung satu sampai 4 minggu.
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri leptospira masuk ke
dalam tubuh pejamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, kunjungtiva atau mukosa utuh
yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi
droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan
penetrasi bakteri leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Bakteri
leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan
dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan, dan bakteri leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal
pada hari ke-4 sampai 10 perjalanan penyakit. Bakteri leptospira merusak dinding pembuluh
darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel.
Patogenitas bakteri yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu
stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu
hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung
fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotosin. In
vivo, toksin ini mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel
polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal
ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin dari
jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai
berkurangnya sekresi bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya perikorneal terjadi karena dilatasi pembuluh darah,
kelainan ini sering dijumpai dan patognomik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa
uveitis, iritis, iridoksiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan
bakteri leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang. Bakteri
leptospira difagosit oleh sel-sel retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah
organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah.
Bakteri leptospira akan dieliminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal
dan mungkin otak, dimana bakteri leptospira dapat menetap beberapa minggu atau bulan.
Tiga mekanisme yang terlibat dalam patogenesa laptopsirosis: invasi bkteri langsung,
faktor inflamasi nonspesifik, dan reaksi imunologis.
Patologi Leptospirosis
Transmisi Leptospira terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan air,
tanah, tanaman yang terpapar urine binatang mengerat yang mengandung Leptospira.
Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melaui kulit yang tidak intak maupun mukosa
mulut, saluran cerna, saluran hidung dan konjungtiva mata selanjutnya mengikuti aliran darah
sistemik, terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan organ tubuh.
Ekstraseluler Leptospira banyak ditemukan pada berbagai jaringan dan organ, sedangkan
intraseluler ditemukan didalam sel fagosit dan epitel. Organ yang paling banyak terdapat
akumulasi Leptospira adalah liver, kemudian berikutnya kelenjar adrenal, ginjal. Di ginjal,
Leptospira berada didalam jaringan interstisial, juga pada dinding serta lumen tubulus urine
iferous. Sedang organ paling sedikit terdapat Leptospira adalah limpa, sumsum tulang,
kelenjar limfe.
Dengan adanya respon imun oleh tubuh, maka Leptospira dalam sirkulasi dapat dieliminasi
sehingga jumlahnya menurun. Mekanisme patologis pada leptospirosis dapat terjadi akibat
efek toksik langsung dari Leptospira, maupun tidak langsung melalui kompleks imun.
Manifestasi klinis dapat berupa leptospirosis anikterik maupun ikterik, yang keduanya
berlangsung melalui fase leptospiremia atau fase septik dan fase imun. Pada fase
leptospiremia atau fase septic, disini keadaan patologis lebih diakibatkan oleh efek toksik
langsung dari Leptospira.
Leptospira memiliki struktur kimia dan biologi yang mirip dengan bakteri Gram-negatif.
Meskipun demikian efek tidak langsung melalui respon imun tidak bisa dipisahkan dengan
efek toksik langsung tersebut. Efek toksik langsung tersebut berdampak pada berbagai tipe
sel sehingga dikenal adanya neurotoksin, leukotoksin, hepatotoksin, kardiotoksin. Efek toksik
tersebut dimungkinkan karena pada dinding selnya lipopolisakarida (endotoksin) yang
merupakan bagian integral dari membrane luar (outer membrane).
Pada permukaan membrane luar terdapat komponen lipid A, serta antigen O. Lipid A
merupakan bagian yang mempunyai efek toksik terhadap sel atau molekul. Efek toksik
langsung tersebut terjadi bila membran mengalami lisis oleh berbagai faktor, termasuk akibat
aktivitas komplemen, fagositosis maupun dampak dari pemberian antibiotika.
Lipid A yang toksik tersebut dapat mengekspresi berbagai sel host untuk memproduksi
protein bioaktif termasuk sitokin. Sitokin merupakan salah satu dari sinyal molekuler yang
ikut berperan pada respon imun terhadap lipoprotein pada membran luar. Leptospira yang
berperan seperti halnya LPS yaitu menginduksi sekresi sitokin-sitokin (cytokine release)
berikutnya.
Peptidoglikan dari dinding sel Leptospira interrogans dapat menginduksi sekresi TNF-a dari
monosit yang berdampak luas terhadap timbulnya respon inflamasi lokal maupun sistemik,
pada setiap organ terjadi vaskulitis yang menyeluruh. Interaksi lipoprotein, LPS dari
membran luar Leptospira dengan sel-sel imun host dapat menimbulkan 3 peristiwa penting
yaitu:
1. Pertama: Produksi sitokin oleh monosit, makrofag, serta sel-sel lain. Adapun sitokin
yang diproduksi adalah IL-1, IL-6, IL-8, TNFa. IL-1 diproduksi makrofag, limfosit,
sel-sel endotel, dan keratinosit. Dampak dari IL-1 dapat memicu produksi
prostaglandin dari hipothalamus yang menyebabkan demam serta menstimulasi
reseptor nyeri.
Demam merupakan manifestasi karena dilampauinya set-point suhu di hipothalamus.
Dengan peningkatan set-point tersebut, hipothalamus mengirim sinyal untuk
meningkatkan suhu tubuh. Respon tubuh adalah menggigil dan meningkatnya
metabolisme basal.
IL-1 juga menginduksi serta mempengaruhi sekresi leukotrien yang berdampak
terhadap permeabilitas vaskuler dan berpotensi besar dalam penurunan tekanan darah
sistemik. Selain itu IL-1 juga memiliki kontribusi pada beberapa hal seperti anoreksia,
meningkatnya aktifitas PMN, peningkatan kadar transferin.
IL-6 diproduksi makrofag dan fibroblas akibat induksi IL-1. IL-8 diproduksi
makrofag, limfosit, sel-sel endotel setelah diinduksiIL-1 dan TNFa. IL-8 berperan
menstimulasi migrasi dan granulasi PMN, serta ikut memicu kerusakan endotel. TNFa
diproduksi makrofag, limfosit dan sel mast. Peran TNFa adalah ikut serta dalam
turun-naiknya suhu tubuh, wasting, meningkatnya frekuensi pernafasan dan frekuensi
denyut jantung, hipotensi dan timbulnya perdarahan pada berbagai organ.
2. Peristiwa Kedua: adalah aktivasi komplemen. Meningkatnya aktifitas komplemen
selama leptospirosis terutama C3a dan C5a juga merusak endotel. Peran C5a adalah
menginduksi dan ekskresi enzim lisosom yang merusak dinding pembuluh darah yang
menyebabkan kebocoran.
IL-6, IL-8, YNFa, prostaglandin, serta leukotrien semuanya mempunyai potensi
memicu kerusakan endotel sel sehingga memprovokasi terjadinya gangguan funsi
endotel, termasuk keikut sertaan dalam proses relaksasi dan konstriksi vaskuler
(Sayers, 1994; Scott, 2002). Akibat efek simultan dari sikotin dan komplemen
tersebut menyebabkan terganggunya sirkulasi darah terutama yang melalui pembuluh
darah kecil ke berbagai organ tubuh termasuk paru, ginjal, hati dan otak. Situasi
tersebut merupakan manifestasi dari perubahan vaskuler selama peradangan yang
dimulai segera setelah paparan Leptospira.
Arteriol, pada awalnya mengalami vasokonstriksi dalam waktu singkat, kemudian
disusul terjadinya vasodilatasi berkepanjangan yang meningkatkan tekanan cairan
dalam kapiler-kapiler di sebelah hilir sehingga terjadi peningkatan perpindahan filtrat
plasma ke dalam ruangan interstisial. Histamin, bradikinin merupakan mediator kimia
yang di sekresi selama fase leptospiremia menyebabkan endotel kapiler menjadi
renggang sehingga permeabilitas kapiler meningkat.
3. Peristiwa Ketiga: adalah peran dalam aktivasi kaskade koagulasi. Gangguan pada
kaskade koagulasi menyebabkan konsumsi fibrinogen dan trombosit yang abnormal
mengakibatkan insufisiensi komponen pembekuan dan terjadi manifestasi perdarahan
pada berbagai organ.
Rangkaian yang terbentuk akibat dari ketiga peristiwa tersebut, maka pada leptospirosis
terjadi berbagai kelainan pada sel, jaringan dan organ. Pada liver terjadi disfungsi
hepatoseluler termasuk menurunnya produksi faktor pembekuan, menurunnya produksi
albumin, serta menurunnya esterifikasi kholesterol, terjadi kholestasis intrahepatik serta
hiperplasi dan hiperthropi sel Kupffer, serta apoptosis hepatosit selama berlangsungnya
infeksi. Manifestasi leptospirosis ikterik yang disertai gagal ginjal dilaporkan pertama kali
oleh Adolf Weil di Heidelberg 100 tahun yang lalu.
Kelainan pada ginjal terjadi akibat komplek imun serta efek toksik langsung dari Leptospira
yang merusak tubulus, vaskulitis, kerusakan endotel, terjadi hipoksemia, nefritis interstisial,
nekrosis tubuler akut. Nefritis dan nekrosis tubuler akut, keduanya diakibatkan akibat migrasi
spirochaeta kedalam ginjal serta deposisi antigen Leptospira pada glomerolus dan tubulus
yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal dan kematian penderita.
Pada paru terjadi kongesti pulmonum, perdarahan-perdarahan, infiltrasi monosit dan neutrofil
di rongga alveoler, dan Leptospira juga dapat ditemukan di dalam sel-sel endotel septa
interalveoler serta kapiler. Keruasakan kapiler pulmoner mendorong terjadinya perdarahan di
paru dan gagal nafas akut sebagai penyebab kematian penderita leptospirosis berat. Pada
jantung terjadi miokarditis interstisial dan arteritis koroner.
Gangguan pada susunan saraf pusat terutama terjadi pada minggu pertama infeksi. Dalam
masa tersebut Leptospira dapat ditemukan dalam cairan cerebrospinal, tetapi tidak akan
menimbulkan meningitis sepanjang cukup tersedia imunoglobulin. Manifestasi gangguan
pada sistem saraf adalah neuritis atau polineuritis, perubahan mental termasuk perasaan
bingung, delirium, depresi mental, maupun psikosis yang dapat berlangsung beberapa bulan
sampai 2 tahun atau lebih.
Pada mata, manifestasinya berupa iritis, iridoksiklitis, dan uveitis kronis. Pada otot , terjadi
perubahan vakuola-vakuola sitoplasma dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada
vaskuler terjadi vaskulitis, jejas endotel kapiler. Pada eritrosit dapat terjadi hemolisis.
Manifestasi perdarahan dapat terjadi pada 33% kasus leptospirosis. Pada otot kerangka
terutama daerah betis terjadi nekrosis fokal, miositis pada sel-sel otot yang disertai infiltrasi
sel-sel histiosit, neutrofil dan sel plasma.
Pada fase imun infeksi Leptospira, terkait dengan respon imun diawali sewaktu sel B atau sel
T berikatan dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel B atau sel T sebagai benda
asing. Lipoprotein pada membran luar Leptospira merupakan protein permukaan yang akan
dikenali sebagai benda asing oleh sel B atau sel T. Karena dianggap asing maka lipoprotein
tersebut berperan sebagai antigen, dan bersifat imunogenik sehingga dapat menstimulasi sel T
dan sel B menjadi aktif, terjadi multiplikasi dan berdeferensiasi lebih lanjut.
Respon sel B terhadap lepoprotein pada protein membran luar Leptospira potensial memicu
keradangan. Sel plasma yang terdapat di dalam sirkulasi, limpa, segera merespon terhadap
lipoprotein Leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau imunoglobulin yang
kemudian berikatan dengan antigen tersebut dan terbentuk kompleks antigen-antibodi.
Meningkatnya aktivitas sel plasma selama berlangsungnya leptospirosis termasuk
meningkatnya aktifitas pembelahan secara ekstensif dan menghasilkan lebih dari 10 juta
salinan antibodi dalam satu jam. Selama berlangsungnya infeksi Leptospira akan terjadi
respons imun humoral yang mempengaruhi ekspresi protein.
Ada tujuh gen yang terekspresi selama berlangsungnya leptospirosis yaitu: p76, p62, p48,
p45, p41, p37 dan p32 yang dapat menjadi target respons imun humoral. Dengan imunoblots
dapat diidentifikasi empat dari tujuh karakteristik protein, yaitu: LipL32 (merupakan
lipoprotein membran luar utama), LipL41 (lipoprotein pada permukaan membran luar), serta
Hsp Gro EL dan DnaK. Oleh karena itu, identifikasi ekspresi antigen leptospirosis merupakan
implikasi yang penting dalam strategi serodiagnostik dan imunoprotektif.
Dua antigen leptospirosis yang penting adalah p62 dan p76 diidentifikasi sebagai molecular
chaperones yang dapat berinteraksi dengan GroL dan DnaK yang kemudian memegang
kendali guna menentukan hidup-matinya sel melalui opoptosis. Baik GroL dan DnaK
diketahui baik pada fase akut maupun pada fase konvalesen pada penderita-penderita
leptospirosis.
Ekspresi Hsp termasuk Leptospira GroL dan DnaK mempunyai peranan dalam peningkatan
suhu dan progresivitas penyakit, karena kedua gen tersebut berperan untuk mendorong ke
arah kematian atau proteksi terhadap sel-sel tubuh terutama yang terlibat dalam respons
imun.
Pembentukan antibodi pada paparan pertama sel B memerlukan waktu 2 minggu hingga lebih
dari satu tahun. IgM merupakan imunoglobulin berukuran terbesar, dan yang paling tinggi
kadarnya pada paparan pertama. IgG merupakan imunoglobulin yang terbentuk kemudian
meskipun perlahan selama respons primer, tetapi pasti. IgG merupakan 80% dari semua
imunoglobulin dalam sirkulasi. Pada paparan kedua IgG meningkat secara pesat dengan
kekuatan yang lebih besar.
Pada waktu leptospiremia sebagian besar Leptospira akan dimusnahkan oleh imunoglobulin.
Imunoglobulin akan menghancurkan Leptospira yang mereka ikat melalui mekanisme
langsung maupun tidak langsung.
Efek langsung terjadi sewaktu pengikatan antigen ke bagian Fab antibodi mengakibatkan
kompleks antigen-antibodi terpresipitasi keluar sirkulasi atau mengalami aglutinasi bersama
kompleks lain. Efek tidak langsung terjadi bila bagian Fc diaktifkan. Hal ini merangsang
reaksi peradangan , termasuk mengaktifkan komplemen, peningkatan aktivitas makrofag, dan
fagositosis. Leptospira yang tinggal pada beberapa organ liver, limpa, ginjal dan lain-lain
menginduksi terjadinya berbagai keadaan patologis sehingga memunculkansindrom klinis
MANIFESTASI KLINIS
Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang
asimtomatis, sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita terpapar infeksi
tidak bergejala tetapi serologis positif. Masa inkubasi 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari.
Sekitar 90% penderita ikterus ringan, 5-10% ikterus berat yang sering dikenal sebagai
penyakit Weil. Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemia dan
fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik.
a. Fase awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena bakteri dapat
diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Fase awal
sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk,
punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah
darah, ruam, nyeri kepala frontal, fotofobia, gangguan mental, dan meningitis.
Pemeriksaan fisik sering mendapatkan demam sekitar 40oC disertai takikardi.
Subconjunctival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan,
mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular,
makulopapular, eritematus, urticari, atau rash juga didapatkan pada fase awal penyakit.
b. Fase ke dua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibody dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urine; mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput
otak, hati, mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin
lebih ringan dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai beberapa minggu. Sekitar 77%
penderita mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak responsif dengan analgesik.
Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis selain delirium. Pada fase yang
lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan,
psikosis dan demensia. Manifestasi klinis sesuai organ yang terganggu. Gejala umum
berupa adenopati, rash, demam, perdarahan, tanda hipovolemia atau syok kardiogenik.
Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus, hepatomegali, tanda koagulopati.
Gangguan paru berupa batuk, batuk darah, dispneu, dan distres pernapasan. Manifestasi
neurologi berupa palsi saraf kranial, penurunan kesadaran, delirium atau gangguan
mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan, iritabel, psikosis, dan dementia. Pada
mata terdapat perdarahan subconjuntiva, uveitis, tanda iridosiklitis atau korioretinitis.
Gangguan hematologi berupa peradarahan, petekie, purpura, ekimosis dan splenomegali.
Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik adalah
manifestasi klinis paling penting pada fase anikterik imun. Gejala meningeal terjadi pada
50% penderita. Kelumpuhan saraf kranial, ensefalitis, dan perubahan kesadaran jarang
didapatkan. Meningitis bisa terjadi pada beberapa hari awal, biasanya pada minggu
pertama dan kedua. Kematian jarang pada kasus anikterik. Leptospirosis dapat diisolasi
dari darah selama 24-48 jam setelah timbul ikterus. Nyeri perut dengan diare dan
konstipasi pada sekitar 30%, hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia. Uveitis
pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit, bahkan dilaporkan dapat
sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal. Iridosiklitis and korioretinitis adalah
komplikasi lambat yang akan menetap selama setahun. Gejala pertama timbul 3 minggu
hingga 1 bulan setelah paparan. Perdarahan subkonjuntiva terjadi pada 92% penderita.
Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria dan oliguria tampak pada
50% penderita. Kuman leptospira juga dapat mengenai ginjal. Manifestasi paru terjadi
pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul.
Sindrom klinis tidak khas untuk serotype tertentu; tetapi beberapa manifestasi lebih
sering tampak pada seerotipe tertentu. Misalnya ikterus pada 83% penderita infeksi L
icterohaemorrhagiae dan 30% pada L pomona. Rash eritematous pretibial sering pada infeksi
L autumnalis. Gangguan gastrointestinal pada infeksi L grippotyphosa. Meningitis aseptik
sering pada infeksi L pomona atau L canicola. Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis
berat ditandai ikterus, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diathesis perdarahan.
Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase ke dua, tetapi bisa memburu
setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru
meliputi batuk, dispnu, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi
ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan
ikterus berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular.
Hepatomegali juga didapatkan. Oliguri atau anuri karena nekrosis tubular akut sering terjadi
pada minggu ke dua. Dapat terjadi gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal napas,
hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miokarditis, dan perikarditis. Kasus berat
dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-40%. Mortalitas juga
akan meningkat pada lanjut usia. Dapat ditemukan makular atau rash makulopapular, nyeri
perut mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis.
Leptospirosis dicurigai pada penderita flulike disease dengan meningitis aseptik atau mialgia
berat.
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala klinik menonjol yaitu ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjunctiva suffision.
Conjunctiva suffision dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan.
Conjunctiva suffision bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke 3 selambatnya hari ke
7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan conjunctiva unilateral ataupun bilateral yang
disertai fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Mialgia dapat sangat hebat,pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan
hiperestesi kulit. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu hepatomegali, splenomegali, kaku
kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya difus hemoragi. Diastesis
hemoragi timbul akibat proses vaskulitis, difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan
trombositopenia, uji pembendungan dapat positif. Perdarahan seing ditemukan pada
leptospirosis ikterik dan manifestasi dan ruam kulit. Ruam kulit berwujud eritema makula,
makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan tulang kering atau
tempat lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui
gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis dilakukan juga :
I. Pemeriksaan laboratorium umum
Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk menentukan
diagnosis leptospirosis.
Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu :
- Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal, atau
menurun, hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil.
Leukositosis dapat mencapai 26.000/mm3 pada keadaan ikterik.
Morfologi darah terpi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran
ke kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masa pembekuan
umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal.
Masa protrombin memanjang pada sebagian kecil pasien namun dapat
dikoreksi dengan vitamin k. Trombositopenia ringan 80.000/mm3 sampai
150.000/mm3. laju endap darah meningi dan pada kasus berat ditemua anemia
hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stadium
lanjut perjalanan penyakit.
- Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin, terdapat albuminuria dan peningkatan silinder
( hialin, granular ataupun selular ) pada fase dini, kemudian menghilang
dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinemia yang dapat
mencapai 1g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal
kemungkinan besar dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognosis, makin
tinggi kadarnya makin jelek prognosisnya. Peningkatan ureum sampai di atas
400 mg/dl. Proses perjalanan penyakit gagal ginjal berlangsung progresif dan
selang 3 hari kemudian akan terjadi amat total. Gangguan ginjal pada pasien
penyakit weil ditemukan proteinuria serta azotemia dan dapat terjadi juga
nekrosis tubulus akut, oliguria, produksi urin kurang dari 600 ml/hari, terjadi
akibat hidrasi, hipotensi.
- Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik.
Ikterik disebabkan karena bilirubin direk mening. Gangguan fungsi hati
ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase ( serum oxalaacetic
transaminase=SGOT fan tidak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2-
3 kali nilai normal.
Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna
SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase
juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-
rata mencapai nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai
peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.
II. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira
dapat secara langsung dengan mencari kuman leptospira atau antigennya dan
secara tidak melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira dengan uji
serologis
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah,
cairan prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya
antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin pada minggu ke dua, untuk
diagnosis definitif leptospirosis.
Spesimen urin diambil dengan kateter, punksi supra pubik dan urin
aliran tengah, diberi pengawet formalin 10 % dengan perbandingan 1:4.
Bila jumlah spesimen banyak dilakukan dua kali pemusingan untuk
memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Pemusingan pertama
dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk
membuang sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada kecepatan tinggi
antara 3000 – 4000 g selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira
terkonsentrasi, kemudian satu tetes sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas
kaca obyek bersih dan diberi kaca penutup agar tersebar rata.
Selain itu dapat dipakai pewarnaan Romanowsky jenis Giemsa, dan
pewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding Gram dan Giemsa
(kuman leptospira lebih jelas terlihat).
Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai dari pada pewarnaan perak
karena kuman leptospira lebih muda terlihat dan dapat ditentukan jenis
serovar. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai tanpa
mikroskop fluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel enzim,
seperti fosfotase dan peroksidase atau logam seperti emas.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi
DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer
khusus untuk memperkuat semua strain pathogen
c) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah,
cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke
media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.
d) Inokulasi hewan percobaan
Kuman leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh
karena itu hewan dapat dipakai untuk isolasi primer kuman leptospira.
Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4 – 6 minggu) dan marmut
muda ( 150 – 175 g), yang bukan karier kuman leptospira.
2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Jenis uji serologi:
Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide agglutination test
(MSAT)
Uji carik celup:
LEPTO Dipstick
LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA)
Aglutinasi lateks Kering
(LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test
Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc – slide agglutination test
(PSAT)
Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis (CIE)
Complement fixation Test (CFT)
Urine yang paling baik diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urine sejak
awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke tiga. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk
isolasi kuman sangat pendek Isolasi kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh
penderita adalah standar kriteria baku. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber
identifikasi kuman tetapi isolasi leptospira lebih sulit dan membutuhkan beberapa bulan.
Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis
tetapi lambat karena serum akut diambil 1-2 minggu setelah timbul gejala awal dan serum
konvalesen diambil 2 minggu setelah itu.
Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination test
(MAT). Titer MAT tunggal 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi
lapang gelap dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.
Pemeriksaan complete blood count (CBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin dapat
terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui
komponen DIC. Blood urea nitrogen dan kreatinin serum dapat meningkat pada anuri atau
oliguri tubulointerstitial nefritis pada penyakit Weil. Peningkatan bilirubin serum dapat
terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Peningkatan transaminase jarang dan kurang bermakna,
biasanya <200 U/L.
Waktu koagulasi akan meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum creatine kinase
(MM fraction) sering meningkat pada gangguan muskular. Analisis CSF bermanfaat hanya
untuk eksklusi meningitis bakteri. Leptospires dapat diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi
penemuan ini tidak mengubah tatalaksana penyakit. Pemeriksaan pencitraan foto polos paru
dapat menunjukkan air space bilateral. Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema
paru pada miokarditis. Perdarahan alveolar dan patchy multiple infiltrate dapat ditemukan.
Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus. Perwarnaan silver
staining dan immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal,
CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histology menunjukkan organisma tanpa
banyak infiltrate inflamasi.
DIAGNOSIS BANDING
1. Dengue Fever
2. Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
3. Hepatitis
4. Malaria
5. Meningitis
6. Mononucleosis, influenza
7. Enteric fever
8. Rickettsial disease
9. Encephalitis
10. Primary HIV infection
TATALAKSANA
Terapi antimikrobial adalah pengobatan utama. Pada infeksi tanpa komplikasi tidak
perlu rawat inap. Doksisiklin oral menurunkan durasi demam. Rawat inap perlu untuk terapi
penicillin G intravena. Penelitian terakhir menunjukkan sefalosporin sama efektifnya dengan
doksisiklin dan penisilin pada fase akut. Eritromisin digunakan pada kasus kehamilan yang
alergi terhadap penisillin sedangkan amoksisilin adalah terapi alternatif. Pada kasus berat
dengan gangguan organ dan gagal multiorgan, terapi suportif. Yang paling penting adalah
pemantauan cermat perubahan klinis karena kolaps kardiovaskular dan syok dapat cepat dan
mendadak. Fungsi ginjal harus dievaluasi cermat; jika gagal ginjal perlu dialisis. Umumnya
kerusakan ginjal reversibel jikadapat melewati fase akut. Ventilasi mekanik dan proteksi jalan
napas bila terjadi gangguan pernapasan berat. Pamantauan jantung untuk risiko takikardi
ventrikel, kontraksi ventrikel prematur, fibrilasi atrial, flutter, dan takikardi.
PENCEGAHAN
Menghindari atau mengurangi kontak dengan binatang yang berpotensi terpapar air
atau lahan tercemar. Orang berisiko tinggi harus memakai sarung tangan, baju dan kacamata
pelindung. Higiene sanitasi lingkungan, kontrol binatang pengerat seperti tikus harus
diperhatikan secara ketat. Penggunaan vaksin pada hewan dan manusia masih kontroversial.
Kemoprofilaksis efektif pada manusia risiko tinggi seperti anggota militer atau wisatawan di
daerah endemik. Doksisiklin 250 mg peroral sekali seminggu, efikasinya sangat baik. Tetapi
pencegahan tidak dianjurkan untuk jangka panjang
DAFTAR PUSTAKA
NSW Multicultural Health Communication Service. Leptospirosis. Diakses tanggal 20 Mei
2014 <http://www.mhcs.health.nsw.gov.au>
Setadi, B., Setiawan, A., Effendi, D. & Hadinegoro, S. 2001. Leptospirosis.
Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 - 167
Sudoyo, AW, Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata MK, & Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna Publishing.
World Health Organization. Leptospirosis. Diakses tanggal 20 Mei 2014
<http://www.who.int/topics/leptospirosis/en/>
World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and
control. Geneva / International Leptospirosis Society, 2003 (ISBN 92 4 154589 5;
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf).