makalah lbhk warda

Upload: zioldy-arhdum

Post on 10-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

f

TRANSCRIPT

PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINANNYA

A. PERJANJIAN KREDITPengertian PerjanjianMenurut Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa: suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut para sarjana kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-kelemahan dan terlalu luas pengertiannya karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum. Para sarjana hukum perdata pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata itu tidak lengkap dan terlalu luas. Pendapat lain dikemukakan oleh Rutten dalam Prof. Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal bailk.Menurut R Subekti , Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.Menurut Wirjono Prodjodikoro: Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dari definisi tersebut jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu, kendati pelaksanaan itu datang dari satu pihak , misalnya dalam perjanjian pemberian hadiah (hibah). Dengan perbuatan memberi hadiah itu, pihak yang diberi hadiah setuju untuk menerimanya, jadi ada konsensus yang saling mengikat.

Unsur unsur Perjanjiana. Ada Pihak-pihakPihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang.b. Ada persetujuan antara pihak-pihak,yang bersifat tetap dan bukan suatu perundinganc. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum,kesusilaan dan undang-undang.d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi , oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.f. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersiftat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan, namun dalam hal ini menurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis perjanjian tidak hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya perjanjian.Suatu perjanjian apabila diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada didalamnya, maka dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Esentialia : unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Contohnya : Sebab yang halal merupakan esensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga barang yang disepakati kedua belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil , syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia , sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal.b. Naturalia : unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Disini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/ menambah ( regelend/ aanvullend recht ). Contohnya : kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin/vrijwaren dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.c. Accidentalia : unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak , undang-undang sendiri tidak mengatur hal tersebut. Contohnya : di dalam suatu perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap tertentu dapat dikecualikan , seperti dalam jual beli rumah para pihak sepakat untuk tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman rumah.

Syarat sahnya PerjanjianAdapun untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat (Pasal 1320 KUH Perdata), yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari Hukum Perjanjian . Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Asas Konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan , dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain . Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena khilaf atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Sepakat yang dimaksud adalah sepakat yang harus diberikan secara bebas kepada para pihak.b. Kecakapan. Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Mengenai kecakapan, Subekti menjelaskan bahwa seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.c. Suatu hal tertentu Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidaktidaknya dari keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.25 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1333 ayat (1) mengatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Pasal 1333 ayat (2) mengatakan bahwa jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dari ketentuan pasal tersebut di atas selanjutnya dapat disimpulkan bahwa yang diperjanjikan dalam perjanjian itu harus jelas dan dapat ditentukan dikemudian hari, jadi tidak boleh samar- samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya perjanjian kredit yang fiktif.d. Suatu sebab yang halal. Sebab adalah sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian. Di dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Menurut Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan : Jika tidak dinyatakan semua sebab,tetapi memang ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada sebab lain yang tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah . Perjanjian itu dibuat harus didasarkan oleh sebab yang tidak dilarang oleh undangundang, baik mengenai hak yang melekat pada objek perjanjian maupun tentang perjanjian itu sendiri. Suatu sebab yang halal mengenai hal yang melekat pada objeknya , misalnya tidak boleh membuat perjanjian jual beli dari hasil curian, sebab pihak penjual sebenarnya tidak memiliki hak terhadap barang yang dijualnya tersebut, sedangkan sebab yang halal yang berhubungan dengan perjanjian itu adalah sesuatu yang menyebutkan orang yang membuat perjanjian, sebab disini artinya dilihat dari isi perjanjian itu sendiri, menggambarkan apa yang akan dicapai oleh para pihak, misalnya perjanjian perjudian atau perjanjian untuk membunuh seseorang. Perjanjian ini tidak halal karena dilarang oleh undang-undang. Pasal 1335 sampai dengan pasal 1337 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memberi ketentuan tentang sebab yang halal yaitu sebab yang dapat dilaksanakan secara nyata tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Sebab yang halal adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang merupakan tujuan bersama dari para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian dan tujuan tersebut harus halal dan diperbolehkan karena jika dilarang atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai orangorangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Pengertian KreditSecara etimologis kata kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti kepercayaan. Maka seseorang yang mendapatkan kredit berarti orang tersebut telah mendapatkan kepercayaan dari kreditur. (kreditur yang dimaksud disini adalah pihak bank).Achmad Anwari, memberikan arti kredit sebagai berikut : Suatu pemberian prestasi oleh satu pihak kepada pihak lain dan prestasi(jasa) itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontra prestasi(balas jasa yang berupa biaya).Pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-undang di Indonesia ditemukan di dalam Pasal 1 butir (12) UU Nomor 7 tahun 1992 Pasal 1 angka 12 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga ,imbalan atau pembagian hasil keuntungan.Pengertian Kredit diatas, menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka II mengalami sedikit perubahan, selengkapnya sebagai berikut : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.

Pengertian Perjanjian KreditPerjanjian kredit (credit/loan agreement) merupakan salah satu perjanjian yang dilakukan antara bank dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah nasabahnya. Perjanjian kredit sebenarnya dapat dipersamakan dengan perjanjian utang-piutang. Perbedaannya, istilah perjanjian kredit umumnya dipakai oleh bank sebagai kreditur, sedangkan perjanjian utang-piutang umumnya dipakai oleh masyarakat dan tidak terkait dengan bank. Menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian ini, perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian pinjam-meminjam antara bank sebagai kreditur dengan pihak lain sebagai debitur yang mewajibkan debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.Pemberian istilah perjanjian kredit memang tidak tegas dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan surat Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970 yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa saat itu, pemberian kredit diinstruksikan harus dibuat dengan surat perjanjian kredit sehingga perjanjian pemberian kredit tersebut sampai saat ini disebut Perjanjian Kredit. Dewasa ini pemberian kredit mengacu pada ketentuan hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian yang diadakan antara bank dengan calon debitur untuk mendapat kredit dari bank bersangkutan. Di dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2/539/UPK tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966/Pemb. Diinstruksikan bahwa dalam bentuk apapun setiap pemberian kredit, bank wajib menggunakan akad perjanjian kredit, dan dari kata akad perjanjian kredit tersebut dalam praktek perbankan dikenal dengan istilah perjanjian kredit. Subekti mengatakan bahwa: Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh KUHPerdata Pasal 1754 s/d Pasal 1769. Pendapat Marhainis Abdul Hay mirip dengan pendapat Subekti, yang menyatakan bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII dari Buku III KUH Perdata. Berbeda dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman, menurutnya perjanjian kredit itu memiliki identitas sendiri yang berbeda dengan perjanjian pinjam uang. Djuhaendah Hasan sependapat dengan pendapat Mariam Darus, menurut Djuhaendah Hasan perjanjian kredit mempunyai identitas sendiri dan berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam, dimana perbedaan itu terletak pada beberapa hal yaitu : a. Perjanjian Kredit selalu bertujuan artinya pemberian kredit sudah ditentukan tujuannya, sedangkan pinjam meminjam tidak ada ketentuan tersebut uang dapat digunakan secara bebas.b. Sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu.c. Untuk perjanjian pinjam meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab III KUHPerdata, sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku : ketentuan dalam UUD 1945,ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata,UU No 7 Th 1992 tentang Perbankan,Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia(SEBI) dan sebagainya.d. Pada Perjanjian Kredit ditentukan bahwa pengembalian pinjaman harus disertai bunga,imbalan atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam hanya berupa bunga inipun ada apabila diperjanjikan.e. Pada Perjanjian Kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materii maupun immateriil, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam baru ada apabila diperjanjikan terlebih dahulu dan jaminan secara fisik atau materiil saja. Menurut Djuhaendah Hasan dasar hukum untuk perjanjian kredit akan berlaku ketentuan-ketentuan berdasarkan ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal yang mengandung asas kebebasan berkontrak. Karena yang melandasi perjanjian kredit antara bank dengan debitor lebih ditekankan kepada kesepakatan antara para pihak , yaitu pihak bank dan pihak calon debitor. Ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan : Perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de controhendo), perjanjian kredit mendahului perjanjian hutang piutang ( perjanjian pinjam pengganti ), sehingga perjanjian hutang piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian kredit. Perbedaan perjanjian kredit dan perjanjian hutang piutang adalah sebagai berikut, dari segi yuridisnya perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pokok) sedangkan perjanjian hutang piutang merupakan perjanjian runtut (ikutan). Apabila dilihat dari sifatnya perjanjian kredit termasuk perjanjian nonsensual sedangkan perjanjian hutang piutang termasuk dalam perjanjian riil. Secara yuridis ada dua jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu :a. Perjanjian atau pengikatan kredit dibawah tangan atau akta dibawah tangan .b. Perjanjian atau pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapkan Notaris atau akta otentik.Perjanjian kredit yang dibuat baik dibawah tangan maupun dengan akta notaris, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu dengan cara kedua belah pihak yaitu pihak bank dan pihak nasabah menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausal klausalnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam hal perjanjian kredit bank yang dibuat dengan akta notaris, maka bank akan meminta Notaris berpedoman pada model perjanjian kredit dari Bank yang bersangkutan.UU Perbankan memberikan ketentuan-ketentuan pokok terhadap bank yang memberikan kredit kepada para nasabahnya. Ketentuan-ketentuan pokok ini merupakan pedoman perkreditan yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit, yaitu:1. Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksama terhatap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur.3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit.4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit.5. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.6. Penyelesaian sengketa.Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan pokok tersebut tidak hanya memberikan pedoman atau landasan bagi bank sebagai kreditur untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, melainkan juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi para nasabah debitur dalam memperoleh fasilitas kredit dari bank.Kredit dapat digolongkan dalam berbagai macam kategori. Macam-macam kredit dilihat dari tujuannya, dapat dibedakan sebagai berikut:1. Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperoleh/membeli barang-barang dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang bersifat konsumtif.2. Kredit produktif, yaitu kredit yang diberkan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya proses produksi.3. Kredit perdagangan, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk membeli barang-barang untuk dijual lagi, yang terdiri atas kredit perdagangan dalam dan luar negeri.Kalau dilihat dari sudut jangka waktunya, kredit dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kredit jangka pendek (kurang dari 1 tahun), kredit jangka menengah (maksimal 3 tahun) dan kredit jangka panjang (lebih dari 3 tahun). Sementara, kalau kredit dilihat dari sudut jaminannya, dapat berupa kredit tanpa jaminan (di Indonesia dilarang dilakukan oleh bank) dan kredit dengan jaminan, seperti barang bergerak/tidak bergerak, pribadi (borgtocht), dan efek-efek saham. Perjanjian borgtocht adalah perjanjian di mana satu pihak (borg) menyanggupi pihak lainnya (kreditur) bahwa ia menjamin pembayaran suatu utang, apabila si terutang (debitur) tidak menepati kewajibannya.Selain itu, subyek dalam perjanjian kredit tidaklah selalu perseorangan. Berdasarkan status hukum debiturnya, kredit bank umum dapat dibedakan menjadi 2 macam golongan, yaitu kredit yang diberikan kepada debitur yang berstatus badan hukum (kredit korporasi) dan kredit yang diberikan kepada debitur perorangan. Dalam hal pertama, debitur kredit ini merupakan badan usaha yang membutuhkan dana untuk modal kerja, pengadaan fasilitas baru, penggantian atau renovasi fasilitas produksi yang ada dan sebagainya. Dalam hal kredit perorangan, kredit yang diberikan umumnya untuk membiayai kebutuhan barang dan jasa konsumtif, antara lain kredit perumahan, atau kartu kredit.

Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Tertulis (Akta)Akta merupakan tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti yang dalam Hukum (Acara) Perdata diatur oleh Pasal 138, 165, 167 HIR serta Pasal 1868 KUH Perdata. Bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum. Menurut Pasal 1867 KUH Perdata, pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan secara otentik maupun dengan tulisan di bawah tangan. Mengenai ini, UU Jabatan Notaris (UU JN) tidak memberi pengertian lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan akta otentik. Istilah dan pengertian akta otentik dapat dilihat dalam Buku Ke-4 KUH Perdata mengenai Bukti dan Daluwarsa. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, akta otentik merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Dengan demikian, sebuah akta dapat dikatakan otentik apabila telah memenuhi unsur-unsur:1. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud pembuatan akta tersebut;3. Dibuat di wilayah notaris berwenang.Akta yang dibuat di hadapan notaris disebut akta notarial, atau authentik, atau akta otentik. Otentik itu berarti sah, harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, yang dalam hal ini adalah notaris sesuai dengan UU JN. Pasal 1870 KUH Perdata kemudian menegaskan bahwa akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna (terkuat) tentang apa yang termuat di dalamnya, sepanjang berhubungan langsung dengan pokok isi akta. Namun, seringkali para pihak membuat perjanjian yang ditulis sendiri oleh para pihak, tidak dibuat di hadapan notaris yang disebut akta di bawah tangan (onderhands). Undang-Undang Perbankan di dalam pasal-pasalnya tidak menyatakan dengan tegas bahwa suatu perjanjian kredit wajib dalam bentuk tertulis. Menurut Pasal 8 ayat 2 UU Perbankan, bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawasi dan mengatur bank. Namun, dalam Penjelasannya, UU Perbankan secara tidak langsung telah menetapkan suatu pedoman perkreditan bahwa perjanjian kredit bank harus dibuat secara secara tertulis. Dalam praktek perbankan di luar negeri, ada kemungkinan untuk memberikan fasilitas kredit berupa cerukan (overdraft facility) tanpa adanya suatu perjanjian tertulis. Mengenai bentuk formal perjanjian kredit, Bank Indonesia Unit I pada tahun 1966 pernah mengeluarkan instruksi kepada bank untuk memberikan kredit dengan mempergunakan akad perjanjian kredit. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dengan adanya kewajiban untuk membuat akad perjanjian kredit dapat ditafsirkan bahwa perjanjian kredit bank harus dilakukan dalam bentuk tertulis. Alasannya, kalau peraturan tersebut tidak bermaksud merujuk pada suatu perjanjian tertulis, peraturan tersebut tidak perlu menekankan istilah akad perjanjian kredit karena Hukum Perjanjian sebenarnya tetap mengakui adanya perjanjian tidak tertulis.Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit dengan dua bentuk, yaitu perjanjian kredit berupa akta di bawah tangan dan perjanjian kredit berupa akta notaris. Namun, walaupun UU Perbankan dalam Penjelasannya mewajibkan perjanjian kredit bank harus dalam bentuk tertulis, bank lebih banyak membuatnya dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.[46] Dengan kata lain, perjanjian tersebut dibuat tidak di hadapan pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat suatu perjanjian, dalam hal ini notaris. Perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat di antara kreditur (pihak bank) dan debitur, tanpa kehadiran notaris. Lazimnya, dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan tandatangannya. Akan tetapi, walaupun perjanjian dibuat di bawah tangan, perjanjian tersebut tetap berlaku sah dan mengikat menurut hukum. Perbedaannya adalah perjanjian tersebut tidak dipandang sebagai alat pembuktian yang sempurna dibandingkan dengan akta otentik. Bila dikatakan otentik, maka hakim harus menerima dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta tersebut sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.Notaris merupakan pejabat umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik. Menurut Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, notaris berwenang membuat akta otentik mengenai perjanjian yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam menjalankan kewenangannya, notaris dituntut untuk mengetahui dan memahami seluk-beluk permasalahan hukum yang akan dihadapi dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat berarti bahwa dalam membuat perjanjian, notaris harus berpedoman pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Namun, walaupun pembuatan akta otentik merupakan kewenangan notaris, ketika pihak bank menggunakan jasa notaris dalam membuat perjanjian kredit, bank umumnya meminta notaris untuk tetap berpedoman pada klausula-klausula yang baku dari pihak bank. Walaupun perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan maupun perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris tidak memberikan kekuatan pembuktian yang sama, pada prinsipnya perjanjian kredit tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu: 1. Perjanjian kredit merupakan alat bukti bagi kreditur dan debitur untuk membuktikan adanya hak dan kewajiban yang timbal-balik antara bank sebagai kreditur dan nasabah yang meminjam sebagai debitur.2. Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat bukti atau sarana pemanfaatan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit.3. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya, yaitu perjanjian pengikatan jaminan.4. Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti yang membuktikan adanya utang debitur dan perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank (kreditur) untuk mengeksekusi barang jaminan/agunan apabila debitur tidak mampu melunasi utangnya.

Klausula-Klausula Penting dalam Perjanjian KreditAsas kebebasan berkontrak yang berlaku dalam Hukum Perjanjian mengisyaratkan para pihak untuk dapat memperjanjikan hal-hal apa saja yang menurut mereka diperlukan sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata. Alasan inilah yang membuat materi perjanjian kredit tidak memiliki formulasi yang standar. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah tentu mengandung risiko. Risiko yang dimaksud di sini merupakan kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Terkait dengan pemberian kredit oleh bank, risiko yang dimaksud adalah ketidakmampuan debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya karena sesuatu hal yang tidak dikehendaki. Oleh karena pemberian kredit mengandung risiko, maka bank diwajibkan untuk mempunyai keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya. Isi dari perjanjian kredit sangat bervariasi, namun lazimnya terdapat klausula-klausula yang dianggap penting untuk sebuah perjanjian kredit. Klausula-klausula yang dianggap penting dalam suatu perjanjian kredit, antara lain: 1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause) yang menyangkut pembayaran provisi, premi asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun debitur dan asuransi barang jaminan, penyerahan barang jaminan beserta dokumennya.2. Klausula mengenai maksimum kredit (amount clause) yang merupakan obyek dari perjanjian kredit dan menjadi batas kewajiban kreditur dalam menyediakan dana selama tenggang waktu perjanjian. Klausula ini juga terkait dengan penetapan nilai agunan yang diserahkan berikut dengan besarnya provisi atau commitment fee.3. Klausula mengenai jangka waktu kredit yang merupakan tenggang waktu antara pemberian atau pencairan kredit oleh bank dengan pelunasan kredit oleh debitur. Lazimnya, pelunasan kredit dilakukan dengan cara angsuran sesuai kemampuan debitur. Berdasarkan jangka waktu ini pula, bank memiliki hak tagih dan dapat melakukan teguran-teguran kepada debitur dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya tepat pada waktunya.4. Klausula mengenai bunga pinjaman (interest clause) yang merupakan penghasilan bank yang baik secara langsung maupun tidak langsung diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut. Berdasarkan Pasal 1765 dan 1767 KUH Perdata, penetapan bunga di atas 6 % per tahun dapat dilakukan asalkan diperjanjikan secara tertulis.5. Klausula mengenai barang agunan kredit yang mengatur bahwa debitur tidak dapat melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam perjanjian kredit, jaminan utang dapat berupa: Hak Tanggungan atas Tanah, hipotik, fidusia, gadai, corporate garansi, personal garansi, pengalihan tagihan (receivable assignment) dan sebagainya. 6. Klausula asuransi (insurance clause) yang bertujuan untuk mengalihkan risiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Pada hakekatnya, penutupan asuransi ini bertujuan untuk menjaga kepentingan bank dalam hal debitur tidak dapat membayar kembali utangnya atau disebut kredit macet. Namun, ketika terjadi sesuatu atas barang agunan atau kreditnya, bank bukan sebagai pihak dalam perjanjian asuransi tersebut sehingga bank tidak memiliki kedudukan yang kuat. Untuk mencegah hal tersebut, biasanya bank melakukan 2 cara. Pertama, dengan menambahkan klausula pemberian kuasa dari nasabah debitur kepada bank untuk menagih dan menerima pembayaran dari maskapai asuransi. Perjanjian pemberian kuasa ini dianggap tidak terpisahkan dengan perjanjian kredit dengan mengesampingkan sebab-sebab berakhirnya pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata. Walaupun demikian, klausula ini dianggap memiliki kelemahan karena pemberian kuasa tersebut tidak akan menghilangkan hak debitur untuk menagih sendiri gantirugi dari maskapai asuransi. Cara kedua disebut sebagai bankers clause yang dicantumkan pada perjanjian asuransi (polis asuransi) bahwa debitur tersebut mengadakan perjanjian untuk kepentingan bank sesuai yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata. Dengan demikian, debitur tersebut tidak dapat menuntut haknya ketika bank telah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak tersebut.7. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause) yang pada utamanya bertujuan untuk melindungi kepentingan bank, baik secara yuridis maupun secara ekonomis, antara lain larangan untuk meminta kredit dari pihak lain tanpa seizin bank atau larangan mengubah bentuk perusahaan atau membubarkan perusahaan tanpa seizin bank.8. Trigger clause (opeisbaar clause) berupa klausula yang mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit belum berakhir.9. Klausula mengenai denda (penalty clause) yang dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pemungutan, baik mengenai besarnya maupun mengenai kondisinya.10. Expense clause yang mengatur mengenai beban biaya atau ongkos-ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit dan biasanya dibebankan kepada nasabah debitur, meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang dan penagihan kredit.11. Klausula mengenai ketaatan pada ketentuan bank untuk menjaga kemungkinan adanya hal-hal yang belum diperjanjikan secara khusus, akan tetapi masih dipandang perlu sehingga dianggap telah diperjanjikan secara umum, misalnya tempat dan waktu pencairan serta penyetoran kredit.12. Dispute settlement (alternative dispute resolution) yang merupakan klausula mengenai metode penyelesaian sengketa yang timbul antara kredit dan debitur sebagai akibat dari perjanjian kredit tersebut.Pengertian Kredit MacetDalam setiap pemberian kredit yang dilakukannya, bank mengharapkan pengembalian yang tepat waktu dan sesuai dengan syarat yang telah diperjanjikan bersama dengan debitor. Namun kadang-kadang , dengan berbagai alasan , debitor belum atau tidak bisa mengembalikan hutangnya pada kreditor ( dalam hal ini bank). Hal ini dapat terjadi karena mungkin memang debitor yang bersangkutan mengalami kerugian dalam menjalankan usahanya ataupun mungkin karena memang debitor yang bersangkutan tidak beritikad baik , dalam arti debitor sejak semula memang bertujuan untuk melakukan penipuan terhadap kreditor. Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR membagi kredit bank ke dalam 4 kategori yang dilakukan berdasarkan kolektibilitasnya, yaitu :a. Kredit Lancar;b. Kredit Kurang Lancar;c. Kredit Diragukan;d. Kredit Macet.Untuk sub b sampai dengan d adalah merupakan kredit bermasalah. Istilah kredit bermasalah telah digunakan oleh dunia perbankan Indonesia sebagai terjemahan dari problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan dalam dunia perbankan internasional. Dalam istilah perbankan, kredit macet disebut dubius. Dubius timbul karena cash flow debitur yang tidak lancar. Akibatnya debitor tidak dapat membayar angsuran/bunga kreditnya. Mengenai pengertian kredit macet, ada beberapa pendapat,yaitu:a. Menurut Bank Indonesia,kredit dikatakan macet apabila telah diusahakan oleh bank dengan memberikan perpanjangan waktu atau kelonggaran ,serta ajust dan reajust, utangnya tidak dibayar. Jadi sudah ada tindakan intern bank terlebih dahulu, tetapi debitor tidak juga membayar angsuran/bunga. b. Menurut Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), kredit dianggap macet apabila debitor tidak membayar utangnya menurut ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Kredit. Jika kita perhatikan ,pengertian kredit macet yang diberikan PUPN cukup keras. Bila debitor tidak membayar utang tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, maka langsung divonis kredit macet. Sedangkan menurut Bank Indonesia tidak langsung divonis kredit macet. Tetapi masih diberikan kesempatan memperbaiki usaha debitor, kalau perlu dengan bantuan bank. Dikatakan macet jika secara total debitor tidak dapat lagi membayar utangnya. Di Indonesia bank-bank pada umumnya tidak menganut pengertian PUPN. Jarang sekali dalam praktek perbankan pengertian kredit macet menurut PUPN itu diterapkan. Kita lebih cenderung menerima pengertian kredit macet yang diberikan oleh Bank Indonesia. Pada dasarnya, kasus kredit bermasalah ini adalah persoalan perdata yang menurut terminologi hukum perdata, hubungan antara debitor dengan kreditor ( bank ) selaku pemberi kredit merupakan hubungan utang piutang. Hubungan yang bersangkutan lahir dari perjanjian. Pihak debitor berjanji untuk mengembalikan pinjaman beserta biaya dan bunga, dan pihak kreditor memberikan kreditnya. Apabila setelah bank berusaha melalui upaya prefentif namun akhirnya kredit yang telah dikeluarkannya menjadi kredit yang bermasalah, maka bank akan menggunakan upaya represif. Upaya-upaya represif yang mula-mula akan dilakukan ialah melakukan upaya penyelamatan kredit. Bila ternyata upaya penyelamatan kredit tidak dapat dilakukan atau walaupun sudah dilakukan tetapi tidak membawa hasil , maka bank akan menempuh upaya penagihan kredit.

WanprestasiApabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;2. melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;2. pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;3. peralihan resiko;4. membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.1. Membayar KerugianGanti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.1. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.3. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.Pasal 1247 KUHPer menentukan :Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.

Pasal 1248 KUHPer menentukan :Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga.Perkataan moratoir berasal dari kata Latin mora yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.

2. Pembatalan PerjanjianPembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat melainkan, Membatalkan perjanjian.

Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama terme de grace.

3. Peralihan ResikoSebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.

4. Membayar Biaya PerkaraTentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :1. pemenuhan perjanjian;2. pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;3. ganti rugi saja;4. pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.

B. MACAM-MACAM JAMINANJaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.Jaminan adalah suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari hubugan perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya. Kebendaan tertentu diserahkan debitur kepada kreditur dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang diberikan kreditor kepada debitur sampai debitur melunasi pinjaman tersebut. Apabila debitur wanprestasi, kebendaan tertentu tersebut akan dinilai dengan uang, selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari pinjaman atau utang debitur kepada kreditornya. Dengan kata lain jaminan berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.Secara umum jaminan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :1. Jaminan timbul karena undang-undang, yang merupakan jaminan umumJaminan yang timbul karena undang-undang maksudnya adalah bentuk-bentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu undang-undang. Jaminan yang lahir karena undang-undang ini diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.Pasal 1131 KUH Perdata pada intinya menyatakan bahwa segala harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan nada di kemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai agunan, menurut hokum menjadi jaminan atas seluruh utang-utang debitur. Dikatakan timbul karena undang-undang disebabkan berdasarkan undang-undang yaitu pasal 1131 KUH Perdata, dengan sendirinya segala harta kekayaan seseorang manjadi jaminan dari utang yang dibuat.Karena tidak adanya pengikatan secara khusus dan meliputi seluruh harta kekayaan debitur, jaminan kredit yang timbul karena undang-undang ini juga menjadi jaminan bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya. Jadi, bila terhadap harta kekayaan debitur dilakukan penjualan. Hasil dari penjualan tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan (proporsional) sesuai besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali ada alasan-alasan yang sah bagi kreditor tertentu untuk didahulukan pelunasan piutangnya (pasal 1132 KUH Perdata). Kedudukan para kreditor satu sama lainnya terhadap harta kekayaan seseorang debitur yang demikian lazim disebut concurrent atau saling bersaing. 2. Jaminan karena perjanjian, yang merupakan jaminan khusus.Jaminan yangtimbul karena perjanjian. Secara yuridis baru timbul karena adanya suatu perjanjian antara bank dengan pemilik agunan atau barang jaminan, atau antara bank dengan orang pihak ketiga yang menanggung utang debitur. Jaminan ini dapat dibedakan antara jaminan bentuk jaminan yang bersifat perorangan dan bersifat kebendaan.a. Jaminan yang Bersifat Perorangan1) Perjanjian PenanggunganYakni suatu persetujuan dengan mana seseorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untukmemenuhi perikatannya si berpiutang apabila orang ini sendiri tidak memenuhinya (Pasal 1820 KUH Perdata). Tujuan dan isi perjanjian penanggungan ini adalah memberikan jaminan untuk dipenuhinya perutangan dalam perjanjian pokok.2) Perjanjian GaransiKetentuan mengenai perjanjian ini terdapat dalam pasal 1316 KUH Perdata. Perjanjian garansi pada dasarnya sama dengan perjanjian penanggungan, yaitu sama-sama ada pihak ketiga yang berkewajiban memenuhi prestasi. Perbedaan nya adalah pada perjanjian garansi kewajiban tersebut dicantumkan didalam perjanjian pokok yang berdiri sendiri. Sementara perjanjian penanggungan adanya kewajiban untuk memenuhi prestasi dari sipenanggung apabila debitur wanprestasi tercantum dalam perjanjian accessoir.3) Perjanjian Tanggung-MenanggungDitemukan dalam pasal 1280 KUH Perdata, dimana ditentukan bahwa akan terjadi sesuatu perikatan tanggung menanggung dipihak orang-orang yang berutang manakala mereka semuanya diwajibkan melakukan hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu hal dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah satunya membebaskan orang-orang berutang lainnya terhadap si berpiutang. b. Jaminan yang Bersifat KebendaanJaminan ini merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang berarti mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikat bendanya (droit de suite) dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan ini antara lain terdiri dari :1) GadaiGadai diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Dalam pasal 1150 KUH Perdata dinyatakan gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak, yang diberikan olehnya debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditor-kreditor lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya sama harus didahulukan.2) FidusiaFidusia (Fidusia Eigendom Ovedracht) adalah penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan, maksudnya penyerahan hak milik atas barang-barang debitur yang dijadikan jaminan kepada kreditor atas dasar kepercayaan saja, sedangkan secara fisik, barang-barang yang bersangkutan masih tetap ada pada debitur.3) HipotikMenurut pasal 1162 KUH Perdata, Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.4) Hak TanggunganDasar hukumnya adalah Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah , yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Dalam makalah ini, fokus pembahasan ada pada Hak Tanggungan dan Fidusia.1. Hak Tanggungana. Objek Hukum Hak TanggunganUUPA mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan hak Tanggungan. Menurut UUPA, Hak Tanggungan dapat dibebankan diatas tanah Hak Milik (pasal 25), Hak Guna Usaha (pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (pasal 39). Menurut pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1996. Berdasarkan UU Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam UU No. 4 Tahun 1996 tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebankan Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :1) Hak Milik2) Hak Guna Usaha3) Hak Guna Bangunan4) Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan 5) Hak-hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian hak Tanggungan yang bersangkutan.b. Sujek Hukum dalam Hak Tanggungan Undang-undang Hak Tanggungan memuat ketentuan mengenai Subjek Hak Tanggungan dalam pasal 8 dan pasal 9, yaitu :1) Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. 2) Pemegang Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.c. Asas Hak TanggunganHak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai empat asas, yaitu :1) Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. 2) Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau ditangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut beralih atau berpindh-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitasAsas spesialitas maksudnya benda yang dibebani Hak Tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam akta pemberian hak tanggungan harus disebutkan secara tegas dan jelas mengenai benda yang dibebani itu berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya,apa batas-batasnya dan apa bukti pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya hal pembebanan hak tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap akta pemberian hak tanggungan harus didaftarkan.4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinyaArtinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hokum tetap dan pasti.d. Janji-Janji dalam Pembebanan Hak TanggunganDalam ketentuan pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain :1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;4) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;7) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;10) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;11) Janji yang menyimpangi bahwa setifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menerima dan menyimpan sertifikat tersebut sampai utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut lunas.e. Pembebanan Hak Tanggungan1) Surat Kuasa Membebankan Hak TanggunganDalam penjelasan umum angka 7 dan penjelasan pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT. Hanya apabila karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta autentik.Isi SKMHT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain selain pembebanan Hak Tanggungan Tidak memuat kuasa substitusi Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan 2) Akta Pembebanan Hak TanggunganAkta pemberian Hak Tanggungan (APHT) mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari debitur kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. 3) Pembebanan Hak Tanggungan atas Tanah Hak Milik AdatDalam pasal 10 ayat (3) UUHT disebutkan : Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetap pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.Dalam penjelasannya dinyatakan :Yang dimaksud dengan hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan1) Lahirnya Hak TanggunganMenuru pasal 13 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan, terhadap Pembebanan Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selain itu di dalam pasal 13 ayat (5) jo ayat (4) UU Hak Tanggungan juga dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, Hak Tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran, karena jika tidak dilakukan pendaftaran itu pembebanan Hak Tanggungan tersebut tidak diketahui oleh umum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. 2) Beralihnya Hak TanggunganDalam pasal 16 ayat (1) UU Hak Tanggungan dapat diketahui sebab-sebab peralihan Hak Tanggungan : CessieAdalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain. SubrogasiAdalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang debitur. PewarisanBerdasarkan ketentuan dalam pasal 833 dan pasal 955 KUH Perdata, dengan meninggalnya pewaris maka demi hokum semua hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli warisnya. Sebab-sebab lainDijelaskan dalam penjelasan atas pasal 16 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan yang dapat beralih dikarenakan terjadinya pengambilalihan perusahaan (akuisisi) atau penggabungan perusahaan (merger).3) Berakhirnya Hak TanggunganDalam ketentuan pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan dinyatakan bahwa Hak Tanggungan berakhir atau hapus karena beberapa hal sebagai berikut : Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak TanggunganHapusnya utang itu mengakibatkan Hak Tanggungan sebagai hak accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya Hak Tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari utang debitur yang menjadi perjanjian pokoknya. Dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh Pemegang Hak Tanggungan.Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh Pemegang Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai hal dilepaskannya Hak Tanggungan kepada Pemberi Hak Tanggungan Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan NegeriHal ini terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak TanggunganHak Tanggungan hapus karena hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan hapus. Hapusnya hak atas tanah ini tidak menyebabkan hapusnya pula utang yang dijamin pelunasanna oleh debitur.g. Hak Tanggungan dalam Kepailitan : Kedudukan Pemegang Hak Tanggungan terhadap Harta KepailitanApabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan.

2. Fidusiaa. Pengertian FidusiaFidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, dimana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia (kreditor) terhadap kreditor lainnya. Ketentuan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia menyatakan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.Dari perumusan diatas diketahui unsur-unsur fidusia yaitu :1) Pengalihan hak kepemilikan suatu benda2) Dilakukan atas dasar kepercayaan3) Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda Dengan adanya penyerahan hak kepemilikan atas kebendaan jaminan fidusia ini, tidak berarti kreditor penerima dari jaminan fidusia akan betul-betul menjadi pemilik kebendaan yang dijaminkan dengan fidusia tersebut. Dalam kedudukn sebagai kreditor (penerima fidusia), dia mempunyai hak untuk menjual kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya seolah-olah dia menjadi atau sebagai pemilik dari kebendaan jaminan fidusia dimaksud, bila debitur(pemberi fidusia) wanprestasi. Dengan kata lain, selama debitur (pemberi fidusia) belum melunasi utangnya selama itu pula kreditor (penerima fidusia) mempunyai hak untuk menjual kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya. Ini berarti bil utang debitur lunas, maka kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya tersebut akan diserahkan kembali kepanya oleh kreditor (penerima fidusia). Dalam pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia dirumuskan pengertian jaminan fidusia, yaitu :Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.Berdasarkan perumusan diatas, unsure-unsur jaminan fidusia adalah :1) Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan2) Kebendaan bergerak sebagai objeknya3) Kebendaan yang tidak bergerak khusunya bangunan yang tidak dibebani dengan Hak Tanggungan juga menjadi objek jaminan fidusia4) Kebendaan menjadi objek jaminan fidusia tersebut dimaksudkan sebagai agunan5) Untuk pelunasan suatu utang tertentu6) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

b. Objek Jaminan FidusiaPasal 2 Undang-undang Fidusia menyatakan Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian fidusia yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan FidusiaMenurut undang-undang Fidusia objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu :1) Benda bergerak yang berwujud2) Benda bergerak yang tidak berwujud3) Benda tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggunganc. Utang yang Dijamin dengan Jaminan FidusiaJaminan Fidusia diberikan sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu debitur, atau piutang tertentu kreditor. Oleh karena itu Jaminan Fidusia merupakan accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain. Kelahiran, keberadaan, peralihan, eksekusi dan hapusnya jaminan fidusia ditentukan oleh ada, beralih dan hapusnya piutang yang dijamin pelunasannya. Ada atau tidaknya jaminan fidusia bergantung pada ada atau tidaknya suatu piutang tertentu yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia. Pasal 7 UU Fidusia mengatur mengenai utang yang dijamin dengan Fidusia :Utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:1) utang yang telah ada;2) utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau3) utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. d. Subjek Jaminan FidusiaSubjek Jaminan Fidusia adalah mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian Jaminan Fidusia, yang terdiri atas pihak pemberi Fidusia dan penerima Fidusia. Menurut ketentuan dalam pasal 1 angka 5 UU Fidusia yang menjadi pemberi Fidusia, bisa orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Dari pengertian tesebut, berarti pemberi Fidusia tidak harus debiturnya sendiri, bisa pihak lain, dalam hal ini bertindak sebagai penjamin pihak ketiga, yaitu mereka yang merupakan pemilik objek Jaminan Fidusia yang menyerahkan benda miliknya untuk dijadikan sebagai Jaminan Fidusia. Pemberi Fidusia harus memiliki hak kepemilikan atas benda yang akan menjadi objek Jaminan Fidusia pada saat pemberiaan Fidusia tersebut dilakukan. e. Pembebanan Jaminan Fidusia1) Bentuk Akta Pembebanan Jaminan FidusiaKetentuan dalam pasal 5 ayat (1) UU Fidusia menetapkan Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia.Dari bunyi ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) UU Fidusia, dapat diketahui bahwa sesungguhnya tidak mensyaratkan adanya keharusan atau kewajiban pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dituangkan dalam bentuk akta notaris, sehingga dapat ditafsirkan bahwa boleh-boleh saja pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia tidak dituangkan dalam bentuk akta notaris. 2) Isi Akta Jaminan FidusiaDalam pasal 6 UU Fidusia ditentukan isi minimum Akta Jaminan Fidusia dalam rangka memenuhi asas spesialitas, yaitu :a. identitas pihak Pemberi dan Penerima fidusia;b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;c. uraian mengenai Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia;d. nilai penjaminan; dane. nilai Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.f. Saat Lahirnya Jaminan FidusiaJaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 14 ayat (3) UU Fidusia, lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Tanggal Pencatatan Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dianggap sebagai saat lahirnya Jaminan Fidusia, bukan pada saat terjadi pembebanan Fidusia dengan dibuatnya Akta Jaminan Fidusia dihadapan notaris.g. Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia1) Pengalihan Hak atas Piutang Pada Jaminan FidusiaMengenai pengalihan hak atas piutang pada Jaminan Fidusia, ketentuan dalam pasal 19 UU Fidusia menentukan sebagai berikut :a. Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demihukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.b. Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.Berdasarkan pada ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) UU Fidusia ini, secara hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusiaberalih seiring dengan pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia tersebut kepada kreditor baru orang yang menerima pengalihan hak atas piutang tersebut. 2) Pengalihan Benda Objek Jaminan FidusiaDalam pasal 23 ayat (1) UU Fidusia diatur kemungkinan pengalihan benda atau hasil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia:Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan,mencampur, atau mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang, maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Penerima Fidusia melepaskan Jaminan fidusia.Pada prinsip Pemberi Jaminan Fidusia tidak mempunyai kewenangan untuk mengalihkan benda atau hasil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, karena telah terjadi penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda atau hasil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dari debitur (pemberi fidusia) kepada kreditor (penerima Fidusia) sehingga debitur berkedudukan sebagai peminjam pakai atau peminjam pengganti atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang hak miliknya telah dialihkan secara kepercayaan darinya kepada kreditor.3) Hapusnya Jaminan FidusiaJaminan Fidusia hapus secara hukum disebabkan oleh hal-hal tertentu. Ketentuan dalam pasal 25 ayat (1) UU Fidusia berbunyi :Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atauc. musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.Adanya Jaminan Fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, dengan sendirinya atau otomatis Jaminan Fidusia yang bersangkutan juga menjadi hapus. Menurut Penjelasan atas Pasal 25 ayat (1) UU Fidusia, hapusnya utang disini yang menyebabkan hapusnya Jaminan Fidusia antara lain karena peluanasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditor. Dengan hapusnya Jaminan Fidusia dalam hal hapusnya utang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia, hak kepemilikan atas objek Jaminan Fidusia dengansendirinya akan kembali kepada pemberi fidusia, karena telah terpenuhinya syarat batal (onder ontbindende voorwaarde).

C. KASUS DAMPAK PENYALAHGUNAAN KREDIT DARI PT. BANK NIAGA OLEH CV. RAHAYU TERHADAP TANAH OBJEK HAK TANGGUNGANKasus ini adalah kasus perdata tanah mengenai kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan No. 901/Pdt/2007, tanggal 24 Oktober 2007 tentang Perkara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan No. 147/PEN.EKS/APHT/2003/PN.TNG. Sengketa hak tanggungan atas tanah ini terjadi antara PT. Bank Niaga selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I Pembanding I melawan Ny. Han Moy selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat Terbanding dan CV. Rahayu, Yohan Suparman, Pemerintah RI cq. Departemen Keuangan RI cq. Direktorat Jenderal Piutang Dan Lelang Negara, cq. Kantor Wilayah IV Bandung cq. Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang selaku para turut Termohon Kasasi dahulu para Tergugat Pembanding II dan para turut Terbanding.Kasus ini berawal dari perjanjian kredit antara CV. Rahayu dengan Bank Niaga dengan tujuan untuk investasi perluasan modal kerja, masa berlakunya kredit ini efektif mulai berlaku pada tanggal 14 Nopember 2002 dan harus dilunasi pada tanggal 14 Nopember 2005. Namun setelah pinjaman kredit diterima oleh CV. Rahayu, ternyata pelaksanaan program perluasan usaha sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas kredit tidak dilaksanakan, dan ternyata dialihkan kebidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta.Salah satu persyaratan dalam perjanjian kredit investasi adalah kewajiban dari CV. Rahayu, untuk menyerahkan sebagai jaminan yaitu 3 (tiga) bidang tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat yang asalnya dari Sertipikat Hak Milik No. 344, No. 421 dan No. 538 yang kini telah dibalik nama oleh PT. Bank Niaga menjadi :1. Sertipikat HGB No. 8563/Cibodas, luas 650 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 271/Cibodas/2004, tertanggal 10 Juli 1987 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;2. Sertipikat HGB No. 8564/Cibodas, luas 1.133 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 272/Cibodas/2004, tertanggal 15 Oktober 1991 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;3. Sertipikat HGB No. 8565/Cibodas, luas 1.500 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 273/Cibodas/2004, tertanggal 10 April 1996 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik Penggugat tersebut diatas telah dijadikan sebagai jaminan karena berdasarkan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Akta pendirian perusahaan yang dibuat oleh Notaris Nani Wahyudi, SH dan Akta perubahan yang dibuat oleh Notaris Herry Sosiawan, SH, Sdr. Anton Wijaya selaku Direktur CV. Rahayu berjanji untuk dengan segera selambat-lambatnya pada tanggal 14 Maret 2003, setelah sertipikat hak atas tanah tersebut selesai segera menyerahkan kepada PT. Bank Niaga sebagai jaminan, dan melaksanakan serta menandatangani akta pemberian jaminan atas tanah dan bangunan sesuai dengan Akta Perjanjian Kredit.Oleh karena CV. Rahayu tidak melaksanakan program perluasan usaha sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas kredit antara Bank Niaga dengan CV. Rahayu dan ternyata dialihkan kebidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta. Maka seluruh jumlah pinjaman baik karena hutang pokok, bunga, provisi, fee dan biaya lainnya wajib dibayarkan kembali dengan seketika dan seluruhnya kepada Bank Niaga, karena kelalaian dari CV. Rahayu tersebut.Oleh karena CV Rahayu terhitung sejak April 2003 tidak melakukan pembayaran atas kelalaiannya tersebut kepada Bank Niaga. Dengan berdasar pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 6 UUHT, Bank Niaga melakukan tindakan penyitaan atas harta milik Penggugat berupa Sertipikat Hak Milik No. 344 No. 421, No. 583 atas bidang tanah dan bangunan milik suami istri yang tercatat atas nama Yohan Suparman yang telah dijual lelang oleh Kantor Lelang Negara yang lelangnya telah dilaksanakan pada tanggal 3 September 2004 No. 426/2004.Namun dalam proses pelelangan objek hak tanggungan dalam hal ini sertipikat hak milik (yang juga merupakan objek hak tanggungan CV. Rahayu terhadap Bank Niaga) yang dilakukan oleh Bank Niaga tersebut, namun dalam proses pelelangan tersebut Bank Niaga juga bertindak sebagai pembeli lelang dari sertipikat tersebut.Dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala Atas Nama Keadilan. Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan, serta Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk membeli tanah dimaksud dari pelelangan, jadi ikut dalam pelelangan apa akibatnya, pasti bahwa hal-hal yang sangat memprihatinkan akan terjadi dan yang menjadi korban adalah rakyat, pihak penggugat Ny. Han Moy yang juga merupakan istri dari Yohan Suparman (Direktur Keuangan CV Rahayu yang mengadakan perjanjian kredit dengan Bank Niaga) menggugat bahwa pelelangan yang dilakukan oleh Bank Niaga cacat hukum.Terhadap gugatan dari Ny. Han Moy tersebut di atas Pengadilan Negeri Tangerang telah membuat putusan, melalui Putusan No. 215/PDT.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006 yang amarnya sebagai berikut : Menyatakan tidak sah penjualan lelang atas tanah-tanah milik Yohan Suparman yaitu Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 oleh Bank Niaga melalui perantaraan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang. Menyatakan Risalah Lelang 426/2004 tertanggal 3 September 2004 yang dibuat oleh turut Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum. Dan menghukum turut Tergugat I dan turut Tergugat II tunduk dan patuh terhadap putusan ini.Putusan Pengadilan Negeri tersebut diambil alih sebagai pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten di Serang dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten dengan putusan No. 41/Pdt/2006/PT.Banten tanggal 18 September 2006.Dalam perkara ini dengan mendasarkan diri Pasal 12 A (1) UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang PERBANKAN yang berbunyi Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; yang selanjutnya penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya.Dalam hal Bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli agunan diluar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank Niaga melakukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 14 Desember 2006 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 215/Pdt.G/2005/PN/TNG yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Tangerang, permohonan mana disertai dengan/diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 27 Desember 2006.Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 24 Oktober 2007 melalui Putusan No. 9001 K/Pdt/2007, memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten di Serang No. 41/Pdt/2006/PT. Banten tanggal 18 September 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 215/Pdt.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006, menolak gugatan Penggugat, dan menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara.Hal tersebut di ataslah yang menjadi fokus pembahasan makalah ini yaitu mengenai keabsahan dari pemegang Hak Tanggungan untuk ikut menjadi peserta lelang dan membeli tanah yang merupakan objek Hak Tanggungan dalam suatu pelelangan dari objek tersebut. Ini terjadi karena adanya kerancuan yang terkandung dalam Pasal 12 UUHT yang berbunyi Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila cidera janji, akan batal demi hukum.Selain itu bagaimana dengan pertimbangan hukum dari Termohon Kasasi/dahulu Penggugat dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan PUPN yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala Atas Nama Keadilan.Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan. Apakah hal ini dapat menyebabkan proses kepemilikan tanah Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 yang di beli melalui pelelangan tersebut menjadi cacat hukum.

ANALISA KASUS:1. Kasus ini berawal dari perjanjian kredit antara CV. Rahayu dengan Bank Niaga dengan tujuan untuk investasi perluasan modal kerja2. sebagai jaminan yaitu 3 (tiga) bidang tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat yang asalnya dari Sertipikat Hak Milik No. 344, No. 421 dan No. 538 yang kini telah dibalik nama oleh PT. Bank Niaga3. Setelah perjanjian kredit diterima ternyata CV. Rahayu tidak melaksankaan sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas pemberian kredit, tetapi CV. Rahayu melakukan kegiatan lain yaitu melakukan pembebasan tanah di Bandara Soekarno Hatta.4. Karena CV. Rahayu tidak melaksanakan sesuai dengan perjanjian kredit, maka CV Rahayu dikenakan harus membayar semua hutang pokok, bunga, provisi, fee dan biaya lainnya wajib dibayarkan kembali dengan seketika5. Tetapi CV. Rahayu tidak melakukan kewajibannya tersebut, kemudian jaminan CV. Rahayu di lelang oleh Bank tanpa kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)6. Dalam proses pelelangan tersebut Bank Niaga juga bertindak sebagai pembeli lelang dari sertipikat tersebut.7. pihak penggugat Ny. Han Moy yang juga merupakan istri dari Yohan Suparman (Direktur Keuangan CV Rahayu yang mengadakan perjanjian kredit dengan Bank Niaga) menggugat bahwa pelelangan yang dilakukan oleh Bank Niaga cacat hukum.8. Terhadap gugatan dari Ny. Han Moy tersebut di atas Pengadilan Negeri Tangerang telah membuat putusan, melalui Putusan No. 215/PDT.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006 yang amarnya sebagai berikut : Menyatakan tidak sah penjualan lelang atas tanah-tanah milik Yohan Suparman yaitu Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 oleh Bank Niaga melalui perantaraan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang.9. Putusan Pengadilan Negeri tersebut diambil alih sebagai pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten di Serang dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten . Dalam perkara ini dengan mendasarkan diri Pasal 12 A (1) UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang PERBANKAN yang berbunyi Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.10. Bank Niaga melakukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 14 Desember 2006 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 215/Pdt.G/2005/PN/TNG yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Tangerang, permohonan mana disertai dengan/diikuti oleh memorikasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 27 Desember 2006.11. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 24 Oktober 2007 melalui Putusan No. 9001 K/Pdt/2007, memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten di Serang No. 41/Pdt/2006/PT. Banten tanggal 18 September 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 215/Pdt.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006, menolak gugatan Penggugat, dan menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara.

KESIMPULAN1. UUPA mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan hak Tanggungan. Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu. Menurut UUPA, Hak Tanggungan dapat dibebankan diatas tanah Hak Milik (pasal 25), Hak Guna Usaha (pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (pasal 39). Menurut pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1996. 2. Fidusia (Fidusia Eigendom Ovedracht) adalah penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan, maksudnya penyerahan hak milik atas barang-barang debitur yang dijadikan jaminan kepada kreditor atas dasar kepercayaan saja, sedangkan secara fisik, barang-barang yang bersangkutan masih tetap ada pada debitur.3. CV. Rahayu yang tidak melaksanakan Akta Perjanjian Kredit tentang Persetujuan Fasilitas Kredit Antara PT. Bank Niaga Tbk. dengan CV. Rahayu melainkan di alihkan ke bidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa CV. Rahayu telah melakukan wanprestasi karena tidak melakukan apa yang diperjanjikan sebagaimana dituangkan dalam Akta Perjanjian Kredit No. 2 tanggal 14 Nopember 2002. CV. Rahayu telah menggunakan fasilitas kredit menyimpang dari tujuan pemberian fasiltas kredit sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit. Dampak dari tindakan CV. Rahayu tersebut yang wanprestasi terhadap perjanjian tersebut adalah di lelangnya tanah yang menjadi objek hak tanggungan dalam hal ini berupa 3 (tiga) bidang tanah berikut segala sesuatu yang berdiri, tertanam dan melekat di atas tanah tersebut yang terdiri dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 344/Desa Cibodas, SHM No. 421/Desa Cibodas, dan SHM No. 583/Desa Cibodas yang telah dijadikan jaminkan kepada PT. Bank Niaga Tbk. 4. Dalam proses pelelangan objek hak tanggungan dalam hal ini sertipikat hak milik (yang juga merupakan objek hak tanggungan CV. Rahayu terhadap Bank Niaga) yang dilakukan oleh Bank Niaga tersebut, dalam proses pelelangan tersebut Bank Niaga juga bertindak sebagai pembeli lelang dari sertipikat tersebut. Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Tesis : Indah Antari Murti, (2010). Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia atas Kendaraan Bermotor yang Dijual pada Pihak Ketiga pada Bank Danamon Tbk Unit DSP, Universitas Diponegoro, 2010.Sutedi, Adrian. (2010). Hukum Hak Tanggungan. Jakarta. Sinar Grafika.Usman, Rachmadi. (2008). Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta, Sinar Grafika.http://blogprinsip.blogspot.com/2012/10/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya.html 7/11/2013 19.36

36