municipal development fund
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
1/122
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADirektorat Jenderal Perimbangan Keuangan
LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN
BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013
Didukung oleh:
MUNICIPALDEVELOPMENTFUNDSSEBAGAI ALTERNATIFPEMBIAYAANINFRASTRUKTURDAERAH
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP
FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Dr. B. Raksaka Mahi
(Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya
(Universitas Gajah Mada)
Dr. Fauziah Zen
(Universitas Indonesia)
PENULIS EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak
(Universitas Indonesia)
Dr. Hefrizal Handra
(Universitas Andalas)
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
2/122
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanii
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
3/122
Australian
Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP
FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Acknowledgement
Buku Municipal Development Funds
Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah ini
disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan
didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for
Decentralisation (AIPD).
Disclaimer
Pandangan dan pendapat dalam buku Municipal
Development Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan
Infrastruktur Daerah ini bersumber dari Tim AsistensiKementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF)
Republik Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan
Pemerintah Australia.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
4/122
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbaniv
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
5/122
v
Daftar Isi
Kata Pengantar Direktur Program AIPD ............................................. vii
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan .............. ix
Ringkasan Eksekutif ........................................................................... xi
1 Pendahuluan ............................................................................... 1 1.1. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian .......................................... 6
1.2. Metodologi ........................................................................... 7
1.3. Sistematika Penulisan ............................................................ 7
2 Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pembiayaan untuk
Infrastruktur Daerah ................................................................... 9
2.1. Kondisi Infrastruktur Daerah Saat Ini ..................................... 9
2.2. Keterbatasan Skema Pinjaman Daerah Saat ini...................... 18 2.3. Besarnya Biaya Transaksi Pembiayaan Proyek Infrastruktur
Daerah .................................................................................. 21
2.4. Kebutuhan untuk Mekanisme Persetujuan Pinjaman
Kompetitif ............................................................................. 24
2.5. Kebutuhan untuk Memupuk Modal dalam Jangka Panjang .. 25
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
6/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHvi
3 MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain ................. 28
3.1. Definisi dan Cakupan Municipal Development Funds. ........... 28
3.2. Implementasi MDF di Berbagai Negara ................................. 31
3.3. Sumber Modal MDF .............................................................. 34 3.4. Pentingnya MDF Bagi Kota-Kota Negara Berkembang ........... 35
4 MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di
Indonesia ..................................................................................... 38
4.1. Analisis Awal Fungsi dan Permodalan MDF .......................... 38
4.2. Analisis Kerangka Institusional MDF ...................................... 40
4.3. Bentuk Ideal Institusi Perantara Pembiayaaan:
BLU atau BUMN? .................................................................. 50 4.4. Anatomi Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Saat Ini ..... 51
4.5. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek ..................... 54
5 Desain Kebijakan ......................................................................... 62
5.1. Desain Insentif ...................................................................... 62
5.2. Struktur Modal ...................................................................... 64
5.3. Model Pengelolaan................................................................ 66
5.4. Proteksi Pinjaman .................................................................. 66
5.5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam ............ 68
5.6. Kelembagaan MDF ............................................................... 71
5.7. Kerjasama dengan Entitas Lain .............................................. 72
6 Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................... 74
7 Daftar Pustaka............................................................................. 77
8 Lampiran ..................................................................................... 81 8.1. Rangkuman Mengenai Findeter dan TNUDF ......................... 81
8.2. Hasil Survei Awal Kepada Pemangku Kepentingan Pinjaman
Daerah Tentang Minat Terhadap MDF ................................... 85
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
7/122
vii
Kata PengantarDirektur Program AIPD
Sejak tahun 2012, Program AIPD mendukung Kementerian Keuangan,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Ke-
menterian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama
untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal berbasis penelitian
(research based policy).
Pada tahun 2013 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan em-
pat kajian dan penyusunan sejumlahpolicy brief. Hasil kajian tersebut telah
didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini:
1) Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK): Kondisi dan Strategi ke Depan;
2) Municipal Development Funds sebagai Alternatif Pembiayaan Infra-
struktur Daerah;
3) Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya ter-
hadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah;
4) Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pa-
jak Daerah dan Retribusi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Daerah.
Sedangkan hasilpolicy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan
dalam buku Policy Brief 2013.
Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi
untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi
fiskal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi
masyarakat.
Jessica Ludwig-Maaroof
Direktur Program
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
8/122
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanviii
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
9/122
ix
Kata PengantarDirektur JenderalPerimbangan Keuangan
D
inamika hubungan keuangan pusat dan daerah yang juga dipengaruhi
oleh perubahan kondisi global maupun dinamika politik perlu men-
dapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat karena sangat ber-
kaitan dengan berbagai kebijakan yang langsung berdampak pada penyeleng-garaan layanan publik oleh Daerah. Oleh karenanya, perbaikan kebijakan yang
didasarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah harus dila-
kukan secara terus menerus.
Dalam rangka melakukan perbaikan kebijakan yang berbasis penelitian
atau research based policy, maka Kementerian Keuangan telah menjalin
kerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi
Fiskal (TADF). TADF beranggotakan para akademisi dari berbagai universitasterkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan
otonomi daerah. Pada tahun 2013, TADF telah melakukan empat buah pene-
litian dan menghasilkan 7 (tujuh) buahpolicy briefdan 1 (satu) buahpolicy
note.
Salah satu hasil penelitian tersebut adalah Municipal Development
Funds Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah. Penelitian ini
pada dasarnya berusaha untuk menawarkan alternatif penyediaan sumber
pembiayaan infrastruktur bagi Pemerintah Daerah. Alternatif pembiayaan
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
10/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHx
tersebut adalah pengembangan Municipal Development Fund(MDF), seba-
gaimana yang telah diterapkan dibeberapa negara lain. Berdasarkan best-
practicesyang ada tim peneliti menyimpulkan bahwa MDF bisa dikembangkan
di negara Indonesia agar kebutuhan daerah akan pembiayaan infrastrukturyang kontinyu dan jangka panjang bisa dipenuhi melalui penyediaan dana
dari institusi MDF. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia diharapkan agar segera
merintis upaya untuk menyiapkan Institusi MDF.
Rekomendasi lain yang sangat menarik untuk ditindaklanjuti dari pene-
litian ini adalah perlu disusun tujuh buah desain kebijakan strategis dalam
rangka mengoptimalkan potensi MDF di masa mendatang. Desain kebijakan
strategis tersebut meliputi desain insentif, struktur modal, desain pengelolaan,proteksi pinjaman, kriteria daerah yang berhak meminjam, kelembagaan
MDF dan kerjasama dengan entitas lain.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepadaAustralia
Indonesia Partnership for Decentralizationyang telah mendukung terlaksana-
nya rangkaian kegiatan TADF 2013. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini
bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di
Indonesia.
Direktur Jenderal,
Boediarso Teguh Widodo
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
11/122
xi
Gambar 1. Persentase Akses Penduduk terhadap Air Bersih (19932009) ...... 11
Gambar 2. Peningkatan Panjang Jalan Kota/Kabupaten dan Provinsi (ribu km) 11
Gambar 3. Kualitas Jalan Kabupaten/Kota di Indonesia (2001-2009) ............. 12
Gambar 4. Kemampuan Pembiayaan Infrastruktur Daerah ............................ 13
Gambar 5. Profil Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ....................... 14
Gambar 6. Incomplete MarketPembiayaan Infrastruktur Perkotaan ............ 17
Gambar 7. Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia ......................................... 17Gambar 8. Pinjaman dan Belanja Modal Daerah Sebagai Persentase Terhadap
Belanja Daerah (Riil) ......................................................................... 21
Gambar 9. Struktur MDF Secara Umum ......................................................... 29
Gambar 10. Tahapan dalam Pengadaan Proyek Infrastruktur........................... 30
Gambar 11. Tantangan dalam Urbanisasi ........................................................ 36
Gambar 12. PIP dan PT. SMI Sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah Pusat ....... 53
Gambar 13. Opsi Kelembagaan MDF dalam Jangka Pendek ............................ 55
Gambar 14. Tahapan Transisi PIP Menuju BUMN Pelaksana MDF ..................... 59
Gambar 15. Desain Insentif MDF ..................................................................... 63
Gambar 16. Alternatif Sumber Modal Bagi MDF .............................................. 65
Gambar 17. Model Pengelolaan ....................................................................... 66
Gambar 18. Proteksi Pinjaman ......................................................................... 67
Gambar 19. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam .................... 69
Gambar 20. Kerjasama MDF dengan Entitas Lain............................................. 73
Gambar 21. Operasional Findeter .................................................................... 83
Gambar 22. Operasional TNUDF ...................................................................... 84
Daftar Gambar
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
12/122
xii
Tabel 1. Penduduk Urban dan Rural di Indonesia ............................... 2
Tabel 2. Persentase Penduduk Urban Per Provinsi di Indonesia,
2005-2025................................................................................... 2
Tabel 3. Pemerintah Daerah Kreditor dengan Outstanding Debt
per 31 Desember 2012 .......................................................... 19Tabel 4. Jumlah Pokok Kredit Macet Pemerintah Daerah
per 31 Desember 2012 ......................................................... 20
Tabel 5. Ringkasan Persyaratan Pinjaman Daerah ............................... 22
Tabel 6. Rincian Salah Satu Portofolio Proyek Investasi Infrastruktur
TNUDF ................................................................................... 23
Tabel 7. Berbagai Tipe Pembiayaan Perantara untuk Pemerintah Daerah 31
Tabel 8. Tantangan dalam Implementasi MDF di Negara Lain ............. 32
Tabel 9. Beberapa Contoh Sukses Implementasi MDF ......................... 33
Tabel 10. Berbagai Skema Pemodalan MDF .......................................... 34
Tabel 11. Perbandingan Bentuk Kelembagaan Penyedia Infrastruktur .. 41
Tabel 12. Anatomi Kelembagaan Formal Institusi Penyedia Infrastuktur
di Indonesia .......................................................................... 51
Tabel 13. Perbandingan PIP dengan PT. SMI ......................................... 53
Tabel 14. Fungsi Lembaga Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia ........ 54
Daftar Tabel
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
13/122
xiii
Ringkasan Eksekutif
Diperkirakan akan terjadi peningkatan penduduk perkotaan,
namun antisipasi Pemerintah Daerah dalam penyediaan infra-
struktur masih rendah.
Kawasan perkotaan merupakan mesin utama perekonomian, di mana
setengah kegiatan perekonomian dunia berjalan. Kini, kawasan perkota-
an di berbagai negara dihadapkan pada tantangan laju urbanisasi yang
tinggi. Distribusi populasi perkotaan dunia diperkirakan akan mencapai
angka 70% pada tahun 2050 (UNDESA, 2012).
Pembangunan infrastruktur di daerah, khususnya di perkotaan sangatlah
penting dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan penduduk yang
tinggal di perkotaan. Untuk Indonesia, diperkirakan sekitar 68% populasi
Indonesia akan hidup di wilayah perkotaan pada akhir tahun 2025. Pe-
ningkatan penduduk perkotaan (urban) ini akan terjadi hampir semua
Provinsi di Indonesia.
Namun demikian, upaya Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi ur-
banisasi ini masih sangat minim. Hal ini terlihat dari besarnya belanja
modal Pemerintah Daerah tidak lebih dari 0,7% dari total PDRB pada
periode 1997-2009. Ini berakibat kurangnya penyediaan berbagai infra-
struktur dasar. Hingga saat ini hanya 50% penduduk perkotaan di Indo-nesia yang menikmati layanan air bersih, dengan proporsi yang semakin
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
14/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHxiv
menurun tiap tahun, sedangkan jaringan drainase hanya ada di 11 kota
besar (Bank Dunia, 2009).
Salah satu kendala dalam peningkatan infrastruktur adalah penyediaan
sumber pembiayaan bagi Pemerintah Daerah.
Bentuk infrastruktur yang saat ini sangat diperlukan oleh Pemerintah
Daerah adalah infrastruktur lingkungan (environmental infrastructure)
yang umumnya tidak memberikan pendapatan proyek yang menjanji-
kan (non-revenue generating project).
Untuk membiayai infrastruktur ini, Pemerintah Daerah memerlukan
sumber pembiayaan tidak saja dari dana perimbangan maupun Penda-
patan Asli Daerah (PAD), tetapi juga dari pinjaman daerah, baik dengan
meminjam dari Pemerintah Pusat maupun lembaga keuangan, ataupun
dengan menerbitkan surat utang.
Sangat tidak mudah bagi Pemerintah Daerah untuk menemukan sumber
pinjaman jangka panjang. Saat ini sebagian besar pinjaman daerah ada-
lah warisan masa lalu dari Pemerintah Pusat melalui mekanisme pene-
rusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement). Skema pinjaman SLA masih
bersifatsupply-driven, jumlahnya relatif terbatas dan akses pinjamannya
pun tidak terbuka bagi semua Pemerintah Daerah. Sedangkan pinjaman
demand-drivenmelalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dikeluhkan per-
syaratan dan besaran bunganya.
Di berbagai negara, kebutuhan pembiayaan infrastruktur jangka panjang
ini dapat dipertemukan dengan berbagai sumber dana melalui sebuah
lembaga perantara pembiayaan, yang sering disebut sebagai MDF (Mu-
nicipal Development Fund).
Terdapat 7 (tujuh) alasan mengapa Indonesia memerlukan kehadiran
MDF dalam pembiayaan infrastruktur daerah:
1. Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang untuk infrastruktur daerah.
2. Menutupgap(celah) dalam penyediaan infrastruktur daerah, baik secara
kuantitas maupun kualitas infrastruktur.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
15/122
RINGKASAN EKSEKUTIF xv
3. Melengkapi pasar penyediaan infrastruktur daerah, khususnya untuk
pasar pembiayaan infrastruktur lingkungan (environmental infrastruc-
ture) yang bersifat non-revenue generating.
4. Masih adanya berbagai keterbatasan pada skema pinjaman daerah saatini, baik pinjaman dari Pemerintah Pusat lewat Pusat Investasi Pemerintah
maupun mekanisme penerusan pinjaman (SLA), pinjaman dari lembaga
keuangan bank dan non-bank, maupun penerbitan surat utang.
5. Memenuhi kebutuhan untuk penyediaan pinjaman yang kompetitif.
6. Kebutuhan untuk memupuk modal bagi pembiayaan infrastruktur di
masa depan, yang dapat dilakukan melalui penerbitan obligasi, saham
khusus, saham biasa, pinjaman kepada pihak luar, dan kumulasi keun-tungan usaha.
7. Mengurangi biaya transaksi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur
daerah. Dalam jangka panjang, MDF juga dapat melakukan pengum pul-
an (pooling) berbagai proyek infrastruktur daerah, untuk kemudian diter-
bitkan obligasi dalam jumlah yang signifikan dalam rangka membiayai
semua proyek tersebut di daerah.
Bentuk MDF yang optimal bagi Indonesia adalah MDF yang menyalurkanPinjaman daerah secara langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier)
dan memiliki kelembagaan berbentuk BUMN.
Dengan kondisi saat ini, bentuk MDF yang optimal untuk Indonesia ada-
lah institusi yang memberikan pinjaman kepada daerah, bukan yang
memberikan hibah, dan juga tidak bertindak sebagai Bank Obligasi yang
membeli obligasi dari Pemerintah Daerah.
Selain itu institusi MDF Indonesia adalah MDF yang memberikan pinjam-an langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier), dan bukanlah MDF
yang menyalurkan pinjaman daerah melalui lembaga keuangan lain
(second-tier).
Berdasarkan analisa kelembagaan menggunakan 12 (dua belas) aspek ber-
ikut ini: pertanggungjawaban (liability), orientasi perusahaan, investasi,
permodalan, keputusan untuk memberikan pinjaman, sumber pendanaan,
proteksi pinjaman, peraturan pendirian, koordinasi, manajemen, pasar mo-
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
16/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHxvi
dal, dan pengawasan, dapat disimpulkan bahwa bentuk terbaik untuk
institusi MDF di Indonesia adalah BUMN (Badan Umum Milik Negara).
Terdapat 3 (tiga) opsi kelembagaan MDF dalam jangka pendek, yaitu (1)
Transisi melalui BUMN yang ada saat ini, (2) Transisi melalui BLU yang
ada saat ini, dan (3) Membuat BLU Baru.
1. Transisi melalui BUMN yang ada:
Saat ini terdapat PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) sebagai BUMN yang
bergerak dalam pembiayaan infrastruktur nasional dan daerah, terutama
melalui mekanisme PPP (Public Private Partnership). Apabila PT. SMI di-
minta melaksanakan fungsi MDF tersebut, maka MDF ini akan menjadiunit di bawah PT. SMI yang khusus melakukan pinjaman infrastruktur
kepada Pemerintah Daerah. Untuk melaksanakan kewajiban ini, PT. SMI
memerlukan peningkatan instrumen keamanan pinjaman, yang dapat
diusulkan kepada Pemerintah: (1) PT. SMI dapat melakukan intercept
DAU (Dana Alokasi Umum), (2) PT. SMI dapat meminta jaminan aset dari
Pemerintah Daerah, (3) PT. SMI dapat meminta komitmen dari DPRD
melalui penerbitan Perda. Selain itu, PT. SMI memiliki kepentingan men-
jaga credit rating-nya, Penyertaan Modal Negara (PMN) sebagai modal
awal MDF lebih baik dicatatkan sebagai hibah ekuitas dibandingkan
dengan utang, karena langsung mempengaruhi Debt-to-Equity Ratio
(DER), aktivitas MDF juga dapat dicatatkan dalam buku terpisah (sub-
ledger).
2. Transisi melalui BLU yang ada:
Saat ini BLU yang telah aktif melakukan pinjaman daerah adalah PIP(Pusat Investasi Pemerintah). Sebagai pengelola kekayaan negara untuk
diinvestasikan (sovereign wealth fund) (PP 1/2008), PIP memiliki mandat
yang sangat luas baik dalam skala maupun cakupan tujuan manfaat. Di
lain pihak, tujuan dan skala MDF sangat spesifik tetapi memerlukan ke-
leluasaan ruang gerak yang sulit dilakukan jika masuk dalam sistem
birokrasi. Seandainya MDF dimasukkan ke dalam PIP, maka ada tambahan
tugas baru untuk PIP, yang memerlukan penyesuaian yang tidak seder-
hana untuk mencapai tujuan MDF. Selain itu, mengingat bahwa dalam
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
17/122
RINGKASAN EKSEKUTIF xvii
jangka menengah, MDF yang ideal haruslah berbentuk BUMN, maka
diperlukan sebuah mekanisme transisi dari bagian BLU menjadi BUMN
yang harus dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Momen pen-
tahapan ini sangat penting, mengingat bahwa menjadi MDF yang kom-petitif haruslah MDF yang dapat mengakses pasar modal secara leluasa,
yang hanya dapat dilakukan oleh BUMN.
3. Transisi dengan mendirikan BLU baru:
Mendirikan BLU baru adalah sebuah opsi dengan maksud tidak meng-
ganggu sistem di PIP sebagai pilihan transisi, karena untuk mencapai
tujuan efektif MDF perlu dalam format BUMN. Namun pada akhirnya
harus tetap diingat bahwa secara konteks tujuan besar, yaitu untuk men-
jadi sebuah MDF potensial dalam jangka menengah dan jangka panjang,
maka pengalaman internasional membuktikan bahwa bentuk BLU baru
inipun bukanlah bentuk optimal untuk sebuah pendirian MDF. Jadi, bila
opsi membentuk BLU baru ini yang akan dipilih, maka diperlukan juga
sebuah tahapan, yang memungkinkan bahwa bentuk BLU ini akan
menjadi bentuk BUMN di dalam jangka menengah.
Untuk menjadi MDF yang potensial, setidaknya perlu dibuat sebuah de-
sain kebijakan yang meliputi 7 (tujuh) kebijakan strategis:
1. Desain Insentif: Insentif dapat diberikan dalam bentuk fiskal dan non-
fiskal. Insentif fiskal dapat diberikan dalam bentuk subsidi modal, subsidi
bunga pinjaman, atau masa tenggang waktu memulai cicilan pemba-
yaran.
2. Struktur Modal: Struktur modal awal MDF dapat berupa 100% modal
atau dengan komposisi modal-utang. Modal murni dapat menekan
biaya pinjaman, jika dipandang dari sisi neraca keuangan institusi karena
tanpa cost of funds; walaupun opportunity costdari alokasi tersebut
harus dipertimbangkan dari sisi kebijakan fiskal. Sumber modal murni
dapat berasal dari swasta atau non-swasta
3. Model Pengelolaan: Pengelolaan MDF harus bersifat independen,
profesional, dan efisien. Dewan direksi dipagari oleh prinsip hard budget
constraintsehingga tidak ada dana tambahan Pemerintah untuk menu-
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
18/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAHxviii
tup kerugian karena kesalahan manajemen. Sistem reward and punish-
mentjuga harus mengacu pada pasar.
4. Proteksi Pinjaman: Pinjaman selalu mengandung risiko gagal bayar
(Non-Performing Loan, atau NPL). Lembaga pinjaman harus mempunyai
cara untuk meminimasi risiko gagal ini. Desain dari proteksi pinjaman
akan memerlukan beberapa perubahan dalam Undang-undang maupun
cukup berupa peraturan Menteri.
5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam: Jika Pemda me-
mang belum mampu meminjam, maka seharusnya mendapatkan sum-
ber pembiayaan lain seperti hibah. Pinjaman diberikan hanya pada dae-
rah yang mempunyai kapasitas untuk membayar pinjaman dengankriteria meminjam yang jelas dan transparan.
6. Kelembagaan MDF: Dari uraian sebelumnya, untuk membentuk MDF
yang independen, profesional, dan efisien, dari berbagai bentuk institusi
yang telah dielaborasi, solusi ideal mengerucut pada pembentukan
sebuah BUMN baru. Dalam jangka pendek telah diuraikan beberapa opsi
yang dapat dipilih oleh Pemerintah.
7. Kerjasama dengan Entitas Lain: MDF perlu menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak untuk penyediaan Technical Assistancedan Capacity
Buildingke Pemda.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
19/122
1
Pendahuluan
D
engan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, maka keber-
hasilan pembangunan ekonomi daerah menjadi salah satu kunci
keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Langkah penting
yang harus diambil oleh Pemerintah adalah pengembangan strategi
pemberdayaan perekonomian daerah melalui pembangunan infrastruktur
khususnya di daerah perkotaan1sebagai simpul penghubung pertumbuhan
ekonomi di daerah.
Kawasan perkotaan merupakan mesin utama perekonomian, di mana
setengah kegiatan perekonomian dunia berjalan. Kini, kawasan perkotaan di
berbagai negara dihadapkan pada tantangan laju urbanisasi yang tinggi.
Distribusi populasi perkotaan dunia diperkirakan akan mencapai angka 70%
pada tahun 2050 (UNDESA, 2012).
Tren yang sama juga terjadi di Indonesia. Selama kurun waktu 50 tahun
terakhir, telah terjadi peningkatan yang signifikan dari proporsi populasi per-
1 Yang dimaksud dengan perkotaan adalah daerah yang memiliki ciri-ciri urban, dan bukan
secara khusus merujuk kepada daerah dengan klasifikasi Kota menurut Kementerian DalamNegeri. Di masa kini, banyak Kabupaten yang juga telah menunjukkan ciri-ciri urban (Simatupang,2008).
1
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
20/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH2
kotaan terhadap total populasi (lihat Tabel 1), yaitu dari dari 17,2 % di tahun
1971 menjadi 49,8% di tahun 2010.
Tabel 1.Penduduk Urban dan Rural di Indonesia
TahunPenduduk Urban
(juta jiwa)Penduduk Rural
(juta jiwa)Total
(juta jiwa)
PendudukUrban
(%)
1971 20,5 98,9 119,4 17,17
1980 32,8 114,1 146,9 22,33
1990 55,5 123,8 179,3 30,95
2000 85,8 117,7 203,5 42,16
2010 118,3 119,3 237,6 49,79
Sumber: diolah dari data Sensus 2010 BPS (www.bps.go.id)
Gambaran yang lebih rinci dapat dilihat padaTabel 2. Pada tahun 2005,
hanya terdapat 6 provinsi (di luar DKI Jakarta) yang memiliki proporsi pendu-
duk urban lebih dari 50% total populasi. Pada akhir tahun 2025, diperkirakanjumlah itu akan meningkat menjadi 26 provinsi. Laju urbanisasi yang sangat
tinggi tergambarkan dari selisih jumlah penduduk urban dalam periode 2025-
2005 tersebut: Provinsi Jawa Tengah dan Lampung akan bertambah proporsi
populasi urbannya sebanyak 25,2% selama kurun waktu 20 tahun. Sehingga,
sekitar 68% populasi Indonesia akan hidup di wilayah perkotaan pada akhir
tahun 2025. Peningkatan populasi urban ini terutama akan terjadi di 25-30
kota megapolitan dan metropolitan yang kini ada.
Tabel 2.
Persentase Penduduk Urban Per Provinsi di Indonesia, 2005-2025
Provinsi 2005 2015 2025Selisih2025-2005
DKI Jakarta 100,0 100,0 100,0 0,0
DI Yogyakarta 64,3 75,2 82,8 18,5
Banten 60,2 73,0 81,5 21,3
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
21/122
PENDAHULUAN 3
Provinsi 2005 2015 2025Selisih2025-2005
Jawa Barat 58,8 72,4 81,4 22,6
Bali 57,7 70,7 79,6 21,9
Kalimantan Timur 62,2 69,9 75,9 13,7
Jawa Tengah 48,6 63,1 73,8 25,2
Jawa Timur 48,9 63,1 73,7 24,8
Riau 50,4 62,1 71,1 20,7
Nusa Tenggara Barat 41,9 55,2 66,0 24,1
Sulawesi Utara 43,4 55,7 65,7 22,3Kepulauan Bangka Belitung 47,8 56,5 63,9 16,1
Sumatera Utara 46,1 54,4 63,5 17,4
Kalimantan Selatan 41,5 51,6 60,6 19,1
Kalimantan Tengah 34,0 47,2 58,8 24,8
Bengkulu 35,2 46,5 56,5 21,3
Sumatera Barat 34,3 45,3 55,6 21,3
Sumatera Selatan 38,7 47,0 54,6 15,9
Gorontalo 31,3 42,8 53,2 21,9
Lampung 27,0 39,8 52,2 25,2
Nanggroe Aceh Darussalam 28,8 39,7 49,9 21,1
Jambi 32,4 40,6 48,4 16
Sulawesi Selatan 32,2 38,8 46,7 14,5
Kalimantan Barat 27,8 34,8 43,7 15,9
Sulawesi Tenggara 23,0 28,5 35,5 12,5
Maluku Utara 29,7 31,5 33,6 3,9
Sulawesi Tengah 21,0 24,9 29,9 8,9
Maluku 26,1 27,9 29,9 3,8
Nusa Tenggara Timur 18,0 23,5 29,3 11,3
Papua 22,8 24,3 26,0 3,2
Sumber: diolah dari estimasi BPS & LD FEUI dalam datastatistik-indonesia.com
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
22/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH4
Kawasan perkotaan selama ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Pertumbuhan penduduk perkotaan akan berimbas kepada me ning-
katnya kebutuhan terhadap berbagai layanan publik dan terutama, infra-
struktur. Tanpa dibarengi penyediaan layanan publik dan infrastruktur yangbaik, urbanisasi justru dapat menghambat kemajuan pertumbuhan ekonomi
dan menurunkan kualitas hidup penduduk daerah tersebut.
Ketidaksiapan banyak Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi urbani-
sasi terlihat dalam penyediaan berbagai infrastruktur dasar yang masih buruk.
Jumlah belanja modal Pemerintah Daerah tidak lebih dari 0,7% dari total PDRB
pada periode 1997-2009. Akibatnya, hanya 50% penduduk perkotaan di Indo-
nesia yang menikmati layanan air bersih, dengan proporsi yang semakin me-nurun tiap tahun, sedangkan jaringan drainase hanya ada di 11 kota besar.
Juga, meskipun pasca-desentralisasi terdapat penambahan panjang jalan
yang signifikan, kondisi jalan di Indonesia justru semakin memburuk karena
minimnya pemeliharaan dan meningkatnya beban transportasi darat (Bank
Dunia, 2009).
Dengan kondisi tersebut, merupakan suatu prioritas genting bagi Peme-
rintah Daerah untuk memperbaiki perencanaan daerah, dan meningkatkan
kinerja penyediaan berbagai infrastruktur: transportasi, air, pengolahan lim-
bah, energi, komunikasi, dsb. Sementara beberapa tipe infratruktur relatif mu-
dah dipenuhi lewat penyediaan swasta (mis. energi, komunikasi) karena mudah
dikomersialkan, penyediaan infrastruktur-infrastruktur dasar lainnya membu-
tuhkan insentif dan intervensi dari pemerintah karena eksternalitasnya yang
tinggi, dan sifatnya yang viable secara ekonomi, tidak secara komersial. Con-
toh infrastruktur dasar adalah barang publik seperti jalan raya dan infrastruktur
lingkungan (environmental infrastructure) seperti pengolahan limbah, dan air.
Infrastruktur dasar memiliki ciri khas padat modal, dengan investasi ber-
sifat jangka panjang, serta memberikan eksternalitas tinggi kepada daerah-
daerah sekitarnya (interjurisdictional spillover). Sifat eksternalitas antardaerah
yang tinggi ini mengakibatkan tidak mudahnya membebankan retribusi atas
penggunaan fasilitas infrastruktur tersebut; pada umumnya hasil dari retribusi
ini tidak akan mampu menutup biaya investasi. Selain itu, perencanaan infra-
struktur lingkungan juga rawan dipengaruhi politik dan birokrasi.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
23/122
PENDAHULUAN 5
Hal-hal di atas menyebabkan tipe infrastruktur tersebut tidak diminati oleh
pihak swasta, sehingga tidak dapat diharapkan untuk tersedia melalui meka-
nisme pasar. Padahal di sisi lain, dengan kapasitas anggaran yang terbatas
dimana sebagian besar penerimaan adalah untuk pembayaran pegawai dankebutuhan rutin lainnyaPemerintah Daerah telah terbukti sulit untuk dapat
menyediakan cukup infrastruktur dasar bagi masyarakatnya melalui ang-
garan.
Di masa lalu, pembiayaan untuk infrastruktur dasar mayoritas berasal
dari anggaran Pemerintah Pusat. Selain itu, pembiayaan juga berasal dari
hibah maupun pinjaman yang sebagian besar berupa pinjaman yang dite-
ruskan dari luar negeri (yakniSubsidiary Loan Agreement sebagai two-steploan atau Penerusan Pinjaman Luar Negeri). Namun, praktik ini menuai ba-
nyak kritik. Karena perencanaannya yang bersifat top-down, acapkali program
yang dijalankan tidaklah sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah. Selain
itu, risiko kurs serta anuitas pinjaman menambah beban pinjaman Pemerintah
Daerah: pada akhirnya bunga pinjaman menjadi berkali lipat dibandingkan
pokoknya. Juga, pinjaman melalui skema SLA tidaklah berkesinambungan
karena berbasis program yang didorong oleh donor asing.
Skema lainnya yang kemudian dibuka, baik melalui Rekening Dana
Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD) pada masa Orde Baru,
maupun Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada masa reformasi, ternyata juga
tidak dapat diandalkan. RDI dan RPDsebagai suatu rekening Pemerintah
Pusatmengalami masalahsupply-drivenyang mirip dengan SLA, dan tidak
pernah mendapatkan kejelasan institusi. Sementara itu, pembiayaan melalui
PIPmeskipun telah mengadopsi sepenuhnya prinsip demand-driven,dan
dilaksanakan melalui Badan Layanan Umum yang diharapkan lebih lincah
tetap tidak beranjak dari birokrasi yang panjang. Bunga yang cukup tinggi,
setara dengan bunga pasar, pun membuat skema pinjaman melalui PIP tidak
begitu atraktif bagi Pemerintah Daerah.
Tentu saja, di atas kertas juga telah diundangkan bahwa Pemerintah Dae-
rah dapat meminjam kepada pasar, baik kepada lembaga keuangan bank dan
non-bank, maupun lewat penerbitan surat utang. Namun regulasi pinjaman
daerah yang terlewat rigid(penerimaan dan aset daerah tidak diperbolehkansebagai pinjaman, surat utang hanya boleh diterbitkan melalui pasar modal,
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
24/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH6
dsb), justru menghambat Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan dana yang
ada di pasar. Lembaga keuangan tidak ingin memberikan pinjaman kepada
Daerah karena tidak adanya kolateral, sedangkan penerbitan surat utang me-
lalui pasar modal masih problematik di sisi municipality credit rating, karenatidak adanya rujukan kinerja masa lalu untuk memeringkat keuangan Daerah.
Dengan berbagai kendala yang ada pada berbagai skema pembiayaan
infrastruktur yang telah adabaik anggaran Pemerintah Daerah, skema-ske-
ma pinjaman daerah dari Pemerintah Pusat, maupun sumber pembiayaan
dari swastaperlu suatu skema alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan
Pemerintah Daerah akan sumber pembiayaan infrastruktur yang terbuka, ber-
kesinambungan, berbasis demand-driven, profesional, dan atraktif bagi Pe-merintah Daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu perantara pembiaya-
an (financial intermediary) yang menghimpun dan menyalurkan dana kepada
Pemerintah Daerah.
Financial intermediary ini berupa suatu Municipal Development Fund
(MDF) yang dikhususkan untuk tujuan peningkatan infrastruktur, seperti yang
telah dijalankan di beberapa negara. Kajian MDF berikut ini adalah sebuah
upaya untuk lebih memahami sejauh mana MDF dapat dimanfaatkan diman-
faatkan sebagai sebuah instrumen pembiayaan untuk pembangunan infra-
struktur daerah di Indonesia. Dalam kajian ini akan dibahas secara rinci bebe-
rapa argumentasi tentang perlunya MDF dibangun di Indonesia serta rencana
pengembangan kelembagaan MDF di Indonesia.
1.1. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian aplikatif untuk mendukung peng-
ambilan kebijakan di bidang pinjaman daerah. Secara khusus, penelitian ini
dilatarbelakangi oleh beberapa tujuan:
a. Melakukan kajian terhadap pentingnya dibentuk MDF bagi Indonesia.
b. Melakukan kajian terhadap bentuk-bentuk institusi yang tepat agar MDF
dapat berfungsi sesuai yang diinginkan.
c. Melakukan kajian terhadap kebijakan-kebijakan pokok yang perlu diim-
plementasikan bila MDF berfungsi.
d. Melakukan inventori permasalahan dan solusinya dari MDF dalam men-
jalankan fungsi-fungsinya.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
25/122
PENDAHULUAN 7
Laporan ini mencoba memenuhi tujuan penelitian dengan menjawab
beberapa pertanyaan di bawah ini:
a. Pinjaman Daerah untuk pembangunan infrastruktur dirasakan belum
optimal: Perlukah, tetapi perlukah Indonesia memiliki MDF?
b. Bila MDF dirasakan perlu untuk Indonesia, bentuk kelembagaan apakah
yang tepat untuk MDF?
c. Pokok-pokok kebijakan apa saja yang diperlukan oleh MDF untuk dapat
melaksanakan fungsi dan tugasnya?
1.2. Metodologi
Untuk menjawab ketiga pertanyaan riset, Tim Penulis menggunakan beberapa
metodologi yang digunakan:
a. Focus Group Discussiondengan berbagai pihak (Instansi Pusat, Daerah,
mitra pembangunan, serta lembaga keuangan) untuk mengetahui minat
dan kebutuhan daerah terhadap pembiayaan infrastruktur.
b. Analisis deskriptif terhadap berbagai data sekunder mengenai kondisi
infrastruktur dan pinjaman daerah kini.
c. Studi literatur untuk menganalisis dan membandingkan berbagai model
MDF di berbagai negara.
d. Institutional Development Process (Metode Analisa Kelembagaan).
Cakupan analisis ini antara lain mencakup regulasi, business process dan
kelembagaan MDF, sumber pendanaan MDF, pengelolaan MDF, dsb.
1.3. Sistematika Penulisan
Laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pada bagian pertama, 1. Penda-
huluan, dijelaskan latar belakang yang mendasari kajian mengenai MDF,
berikut Tujuan dan Pertanyaan Penelitian, Metodologi, serta Sistematika Pe-
nulisan. Pada bagian kedua, 2. Kebutuhan Indonesia Terhadap Perantara Pem-
biayaan untuk Infrastruktur Daerah, Tim meneguhkan berbagai argumen yang
melatarbelakangi perlunya suatu perantara pembiayaan di Indonesia untuk
menjawab kondisi pembiayaan infrastruktur daerah saat ini. Bagian ketiga,
MDF: Prinsip, Karakteristik, dan Praktik Negara Lain, memaparkan hasil studi
literatur mengenai berbagai model MDF di negara lain. Analisis kelembagaan
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
26/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH8
mengenai model institusi MDF yang cocok untuk kasus Indonesia ada di ba-
gian keempat, 4. MDF Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah di
Indonesia. Sementara itu, bagian selanjutnya, 5. Desain Kebijakan, memapar-
kan berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam desain kebijakan pen-dirian MDF, 6. Kesimpulan dan Rekomendasiterangkum dalam bagian terakhir,
7. Daftar Pustaka, dan 8. Lampiran..
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
27/122
9
KebutuhanIndonesia TerhadapPerantara
Pembiayaan untukInfrastruktur Daerah
Terdapat suatu celah yang besar dalam
pembiayaan infrastruktur di Indonesia.Skema-skema pembiayaan infrastruktur
yang telah ada tidaklah optimalmemiliki
kendalanya masing-masing dan tidak mampu
membiayai kebutuhan infrastruktur, terutama
infrastruktur dasar untuk kawasan perkotaan.
Dibutuhkan suatu terobosan bentuk pembiayaan
infrastruktur baru melalui perantara pembiayaan(financial intermediary) untuk dapat mengisi
celah tersebut.
2.1. Kondisi Infrastruktur Daerah Saat Ini
Percepatan pembangunan infrastruktur daerah di Indonesia, khususnya dikawasan perkotaan, membutuhkan tidak saja perencanaan yang baik, namun
2
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
28/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH10
juga dukungan pembiayaan yang jelas. Dalam era desentralisasi, pembangun-
an infrastruktur publik di daerah menjadi tanggung jawah Pemerintah Dae-
rah. Sayangnya, keinginan untuk membangun layanan publik yang baik kadang
terkendala oleh kemampuan daerah menyediakan pendanaan untuk infra-struktur tersebut.
Pendapatan Pemerintah Daerah yang berasal dari dana perimbangan mau-
pun Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukanlah satu-satunya sumber pendanaan
untuk membangunan infrastruktur di perkotaan. Pemerintah Daerah dapat
memperoleh pembiayaan dengan melakukan pinjaman daerah, baik dengan
meminjam maupun menerbitkan surat utang. Di berbagai negara, kebutuhan
pembiayaan infrastruktur ini dapat dipertemukan dengan berbagai sumberdana melalui sebuah lembaga perantara pembiayaan.
Mengingat kondisi infrastruktur daerah di Indonesia saat ini, dan menya-
dari besarnya kebutuhan untuk pelayanan publik di daerah, khususnya di kawa-
san perkotaan di masa mendatang, pembentukan lembaga perantara pembi-
ayaan menjadi sangat penting. Beberapa alasan strategis yang melatarbelakangi
pentingnya Indonesia untuk memiliki lembaga perantara pembiayaan untuk
pembiayaan infrastruktur dasar di daerah akan diuraikan dalam bagian ini.
2.1.1. Masih Besarnya Celah dalam PenyediaanInfrastruktur Daerah
Laju urbanisasi yang cepat telah menjadi tantangan utama bagi banyak ne-
gara di duniatermasuk di Indonesia. Namun kuantitas dan kualitas infrastruk-
tur dasarterutama di perkotaanmasih cenderung buruk. Jaringan drainase
hanya ditemukan di 11 kota, hanya sekitar 2% dari penduduk perkotaan Indo-
nesia yang memperoleh akses terhadap sistem sanitasi. Selain itu, pada tahun
2009 hanya sekitar 50% penduduk di Indonesia yang memperoleh akses
terhadap air bersih, seperti yang terlihat dalam Gambar 1. Penduduk daerah
perdesaan mengalami perbaikan akses terhadap air bersih, tetapi kondisi pen-
duduk daerah perkotaan pasca-desentralisasi justru memburuk. Dapat diduga,
bahwa daerah perkotaan memiliki beban yang lebih besar akibat laju per-
tumbuhan penduduk yang lebih pesat.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
29/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 11
Gambar 1. Persentase Akses Penduduk terhadap Air Bersih (19932009)
Sumber: Bank Dunia (2012)
Gambaran lain dari keterbatasan fasilitas publik di perkotaan terlihat dari
kondisi jalan. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, panjang jalan di Kabupa-
ten dan Kota mengalami peningkatan sepanjang periode 1978-2008khususnya
pada periode pasca-desentralisasi ketika terjadi peningkatan yang tajam (lihat
Gambar 2). Pertumbuhan total panjang jalan di Indonesia ditumpu oleh kinerja
pertumbuhan panjang jalan Pemerintah Kabupaten/Kota, dari 292 ribu kilome-
ter pada tahun 2001 menjadi 353 ribu kilometer pada tahun 2007.
Gambar 2. Peningkatan Panjang Jalan Kota/Kabupaten dan Provinsi (ribu km)
Sumber: Bank Dunia (2013a)
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
30/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH12
Namun, bila dilihat dariGambar 3, yakni ditinjau dari segi kualitas jalan,
maka kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih perlu diperbaiki.
Jumlah jalan Kabupaten/Kota yang memiliki kualitas baik masih berada di
bawah 40% dari total panjang jalan untuk periode 2001-2009, sementarakondisi jalan yang jelek maupun rusak kurang lebih sekitar 40% juga dalam
periode yang sama. Ini menandakan masih buruknya kondisi jalan di Kabupa-
ten dan Kota.
Gambar 3. Kualitas Jalan Kabupaten/Kota di Indonesia (2001-2009)
Sumber: Bank Dunia (2013a)
Dari gambaran di atas, sangat nyata terdapat sebuah celah kebutuhan
yang signifikan terhadap investasi infrastruktur lingkungan (environmental
infrastructure) seperti air dan sanitasi. Selain itu, infrastruktur yang terkait de-
ngan transportasi, khususnya jalan, juga tampak mengalami celah kebutuhan
yang besar. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus memikirkan strategi pembi-
ayaan yang tepat untuk infrastruktur lingkungan maupun transportasi yangrelatif masih sangat kurang.
Berdasarkan penelitian Tim Pokja Pinjaman Lunak pada tahun 2012, ter-
dapat celah yang signifikan antara kebutuhan daerah untuk pembangunan
infrastruktur dengan besarnya alokasi belanja modal terhadap pendapatan
daerah (Gambar 4). Pada penelitian terdahulu, kira-kira separuh responden
Pemerintah Daerah menjawab mereka hanya memiliki 10-40% kapasitas pem-
biayaan infrastruktur.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
31/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 13
Gambar 4. Kemampuan Pembiayaan Infrastruktur Daerah
Sumber: TADF (2012)
2.1.2. Terbatasnya Sumber Pembiayaan Jangka Panjanguntuk Infrastruktur Daerah
Pada dasarnya, investasi infrastruktur perkotaan dapat dibagi menjadi 3 kate-
gori:
Pertama, adalah investasi yang bersifat barang publik murni, seperti
taman kota, jalan dalam kota, jembatan, yang pembiayaannya sepenuhnyadapat berasal dari pajak dan pinjaman daerah.
Kedua, adalah investasi yang lebih memiliki sifat seperti barang swasta
(private goods), yaitu air bersih dan tempat pembuangan sampah. Untuk ka-
tegori ini, pembiayaan dapat berasal dari retribusi. Namun demikian, bila retri-
busi diterapkan sepenuhnya dalam rangka penggantian biaya investasi, maka
dapat dipastikan bahwa tarif retribusi akan tinggi. Oleh karena itu, pada umum-
nya tarif retribusi disubsidi untuk mengurangi tingginya tarif yang dibebankankepada masyarakat pengguna.
Ketiga, proyek investasi yang menghasilkan penerimaan (revenue gene-
rating projects) seperti jalan tol maupun jembatan berbayar. Untuk jenis inves-
tasi ini, maka pembiayaannya dapat sepenuhnya berasal dari pungutan yang
dibebankan kepada pengguna fasilitas infrastruktur tersebut.
Dengan melihat ke 3 jenis kategori investasi tadi, setidaknya untuk inves-
tasi kategori pertama dan kedua sangat membutuhkan peran dari pendapatan
daerah. Selain itu beberapa jenis investasi pada infrastruktur lingkungan dan
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
32/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH14
trasportasi, membutuhkan pembiayaan dengan jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran (multi-year investment).
Bila investasi tersebut akan sepenuhnya dibiayai sendiri melalui sumber
pendapatan Pemerintah Daerah, maka terdapat keterbatasan, karena padaumumnya anggaran belanja Pemerintah Daerah sudah tidak lagi fleksibel,
karena telah terikat kepada berbagai kebutuhan wajib tertentu dan untuk
pembiayaan satu tahun anggaran. Sebagai gambaran, berikut ini adalah ber-
bagai kemungkinan sumber pendapatan Pemerintah Daerah dan keterbatas-
annya:
Dana Alokasi Umum (DAU): Meskipun transfer Pemerintah Pusat (uta-
manya DAU) menjadi pendapatan yang besar bagi banyak Pemerintah Daerahdi Indonesia, komponen belanja pegawai masih menjadi komponen paling
signifikan dalam belanja Pemerintah Daerah.
Gambar 5. Profil Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Sumber: diolah dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2012)
Sekitar 40% dari belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan
belanja pegawai, apabila dibandingkan dengan pendapatan DAU, maka pen-
dapatan DAU di hampir semua Kabupaten/Kota habis untuk belanja pegawai,
seperti yang terlihat dalam Gambar 5 di atas.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
33/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 15
Dana Alokasi Khusus (DAK): Beberapa DAK saat ini memang ditujukan
untuk pembangunan infrastruktur di daerah, misalnya DAK untuk pembangun-
an jalan. Namun demikian, berdasarkan peraturan yang ada, penetapan besar-
nya DAK dilakukan setiap tahun, dan tidak berbasis kepada multi-year invest-ment. Oleh karena itu untuk infrastruktur yang tidak dapat diselesaikan da lam
satu tahun anggaran, akan mengalami ketidakpastian.
Dari uraian di atas, sangatlah jelas bahwa saat ini Pemerintah Daerah masih
sangat memerlukan sumber dana pembiayaan infrastruktur dengan keterbatas-
an pendapatan yang dimilikinya saat ini, terutama untuk pembiayaan yang ber-
sifat multi-year(lebih dari satu tahun anggaran). Dalam kaitan ini, maka lembaga
MDF memiliki kapasitas untuk mengumpulkan berbagai sumber dana yangdapat dialokasikan untuk membiayai investasi jangka menengah dan panjang.
2.1.3 Pasar Pembiayaan Infrastruktur Sebagai SuatuIncomplete Market
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disampaikan bahwa kebutuhan pem-
biayaan infrastruktur di perkotaan sangatlah besar, namun secara makro-
ekonomi ketersediaan sumber dananya masih terbatas. Keterbatasan skema
pembiayaan infrastruktur yang ada saat ini dapat dilihat dalam Gambar 6.
1. Skema pembiayaan infrastruktur melalui mekanisme PPP, umumnya
diminati untuk pembiayaan infrastruktur yang bersifat komersial, yaitu
jalan tol, bandar udara, pelabuhan, pasar. Pemerintah Indonesia telah
berupaya agar mekanisme pembiayaan PPP ini dapat berjalan dengan
baik, tetapi mekanisme ini masih mengalami berbagai hambatan dalam
implementasinya di Indonesia. Meskipun suatu saat PPP akan dapat ber-
kembang, tetapi pembiayaan via PPP tidak dapat dijadikan tumpuan
untuk infrastruktur dasar, karena hanya cocok untuk diterapkan untuk
proyek-proyek dengan karakteristik tertentu. Di negara maju seperti Ing-
gris dan Afrika Selatan, pembiayaan PPP hanya sekitar 5-10% dari total
pembiayaan infrastruktur, sedangkan di Australia dan Korea sekitar 10-
15%.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
34/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH16
2. Pinjaman langsung dari perbankan: bagi perbankan, pinjaman untuk
pembangunan infrastruktur, khususnya kepada Pemerintah Daerah, ma-
sih dianggap kurang menarik karena setidaknya dua alasan: (1) Tingkat
pengembalian investasi untuk infrastruktur umumnya lama. (2) Risikogagal bayar (default) dari Pemerintah Daerah masih cukup tinggi. Oleh
karena itu, sumber pendanaan dari perbankan dan lembaga keuangan
non-bank menjadi sangat terbatas. Pilihan pinjaman langsung dari bank
dan lembaga keuangan non-bank masih belum berkembang di Indo-
nesia.
3. Pembiayaan dari APBD. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pem-
biayaan melalui APBD masih sangat terbatas. Melihat keterbatasan keuang-an daerah pada umumnya, maka sumber pembiayaan dari APBD hanya
mampu untuk melakukan perbaikan secara marjinal pada fasilitas publik
yang mengalami kerusakan, seperti jalanan kota, taman dan lampu jalan.
Sifatnya lebih kepada rehabilitasi daripada investasi baru.
4. Pembiayaan investasi daerah yang bersifatmulti-yearmelalui lem-
baga perantara pembiayaan (financial intermediaries). Skema pen-
danaan ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan diIndonesia. Fokus dari pembiayaannya adalah pembangunan fasilitas da-
sar publik, seperti air bersih, sanitasi, tempat pembuangan sampah dan
transportasi dalam kota. Pertimbangannya tidak semata-mata dari segi
keuangan, namun lebih pada segi efisiensi ekonomis, jadi bukanlah se-
mata-mata proyek yang menghasilkan pendapatan (revenue-generating
projects). Saat ini dapat dikatakan bahwa terjadi kevakuman (ketiadaan)
pembiayaan untuk kebutuhan investasi ini. Yang terjadi saat ini masih
merupakan pinjaman dari Pusat, yang dikelola melalui sistem pinjaman
SLA (Subsidiary Loan Agreement) yang sangat terbatas dan tidak pasti.
Oleh karena itu, salah satu bentuk ideal untuk memenuhi kekosongan
pasar ini adalah dengan membentuk lembaga perantara pembiayaan
seperti MDF (Municipal Development Fund).
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
35/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 17
--------------
Skema pembiayaan PPP (Public-PrivatePartnership), penerbitan obligasi
Proyek berskala besar, berjangka panjang, yangmenciptakan penerimaan dan menarik bagi swasta.
Jumlahnya terbatas.
--------------
Pinjaman langsung dari perbankan
Proyek berskala menengah dan besar, yangdianggap bankable. Saat ini tidak berkembangkarena bank menganggap pinjaman daerah berisiko.
--------------
Pembiayaan investasi daerah yangbersifatmulti-yearmelalui lembagaperantara pembiayaan (financialintermediary)
Proyek berskala dan berjangka menengah danpanjang, umumnya tidak dapat menciptakanpenerimaan karena eksternalitas yang tinggi.Proyek-proyek ini saat ini tidak memiliki dukunganpembiayaan yang jelas, sehingga ada bagianyang tak lengkap dalam pembiayaan infrastrukturperkotaan.
--------------
Pembiayaan melalui APBD
Pemeliharaan dan proyek berskala kecil denganjangka pendek.
Gambar 6. Incomplete MarketPembiayaan Infrastruktur Perkotaan
Sumber: Bank Dunia (2013c)
Pembiayaan yang belum ada sumber dananya: IDR 300-400 Triliun (Nominal 2012)
Gambar 7. Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia
Pilihan Pembiayaan:
1. PPP + Privatisasi (terbatas)2. Pinjaman komersial (bank):
mahal dan umumnya jangka
pendek3. Bonds dan Pasar Modal:belum siap
4. Pinjaman dari LembagaKeuangan/BankPembangunan
MDF mengisisebagianperan ini
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
36/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH18
Apabila kebutuhan belanja infrastrukur di Indonesia dihitung secara kasar
(10% dari Produk Domestik Bruto), maka pembiayaan infrastruktur di Indo-
nesia membutuhkan sumber pembiayaan lain sebesar 300-400 triliun rupiah
per tahun. Tentu saja, sebagian dari belanja ini akan disumbangkan oleh privat.Namun, belanja infrastruktur privat menunjukkan tren menurun (Bank Dunia,
2013a). Pilihan pembiayaan lain yang dapat dilakukan adalah PPP dan priva-
tisasi, maupun utang oleh Pemerintah, baik melalui pinjaman maupun pener-
bitan obligasi. MDF akan membantu mengisi sebagian celah pembiayaan me-
lalui pinjaman dari lembaga keuangan non-bank kepada Pemerintah Daerah.
2.2. Keterbatasan Skema Pinjaman Daerah Saat iniSkema pinjaman yang tersedia bagi Pemerintah Daerah saat ini adalah melalui
SLA (Subsidiary Loan Agreement) dan pinjaman daerah yang dilakukan oleh
PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Di masa lalu pernah terdapat mekanisme
pinjaman melalui Rekening Dana Investasi (RDI) dan Rekening Pembangunan
Daerah (RPD), yang dianggap bermasalah, sehingga tidak lagi dilanjutkan.
Pada masa lalu, pinjaman SLAterutama yang berada di bawah program
IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program)telah dikritikatas sifatnya yangsupply-driven, yang didesain oleh lembaga donor asing
tanpa melibatkan Pemerintah Daerah dalam perencanaannya (Lewis, 2007).
RPD kemudian didirikan pada tahun 1988 sebagai respon terhadap permin-
taan Pemerintah Daerah akan mekanisme pembiayaan infrastruktur yang
lebih baik dibandingkan dengan SLA, terutama dari sisi kecocokan permintaan
Pemerintah Daerah akan pembiayaan. Meskipun ada sedikit perbaikan, seba-
gian besar proyek yang didanai RPD masih berupa proyek yang direncanakan
oleh Pemerintah Pusat (Departemen Pekerjaan Umum).
Mekanisme pinjaman SLA, RDI, dan RPD telah digunakan Pemerintah
Indonesia untuk menyalurkan pinjaman jangka panjang kepada Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan PDAM (BUMD). Secara jumlah, pinjaman Pemerintah
Daerah lewat mekanisme SLA dan RPD sangat kecil; sepanjang tahun 1975-
2004 hanya ada 838 transaksi pinjaman. Umumnya, jangka waktu pinjaman
SLA, RDI, dan RPD adalah sekitar 18-20 tahun, dengangrace periodselama
3-5 tahun, dengan komposisi cicilan-pokok berupa anuitas (Lewis, 2007).
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
37/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 19
Saat ini, skema pinjaman SLA jumlahnya relatif terbatas dan akses pinja-
mannya pun tidak terbuka (no open access) bagi semua Pemerintah Daerah.
Pada umumnya Pemerintah Pusat telah memiliki ketentuan tentang daerah
yang dapat memperoleh fasilitas pinjaman SLA. Mekanisme pinjaman SLA jugatidak kompetitif, tidak memiliki kriteria penetapan yang jelas (noncriteria-
based lending). Bila dilihat praktek pinjaman SLA yang pernah terjadi, misalnya
pinjaman SLA kepada PDAM untuk penyediaan air bersih, tampak bahwa pin-
jaman tersebut diberikan tanpa kriteria yang jelas. Sebagai akibatnya, bebe-
rapa PDAM yang tidak memiliki kinerja keuangan yang baik juga tetap mem-
peroleh kesempatan meminjam, dan menimbulkan banyak kejadian gagal
bayar pada sejumlah PDAM. Non Performing Loan(NPL) pada PDAM sangatlahbesar, dan belum terselesaikan hingga saat ini.
Tabel 3.
Pemerintah Daerah Kreditor dengan Outstanding Debt
per 31 Desember 2012
Pemerintah Daerah BUMD
RDI 8 13
RPD 79 195
SLA 144 197
Jumlah 231 405
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (2012)
Pada tahun 2010, utang jatuh tempo Pemerintah Daerah dan PDAM me-
lalui mekanisme SLA, RDI, dan RPD, adalah sebesar 5,1 Trilliun rupiah. Sebagian
besar utang ini adalah utang PDAM, dimana dari 205 PDAM yang mendapatkan
pinjaman, 175 menunggak (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2010). Bu-
ruknya tingkat gagal bayar PDAM telah memaksa Pemerintah Pusat untuk me-
lakukan restrukturisasi utang. Pada tahun 2012, kredit pokok macet Peme-
rintah Daerah tetap didominasi oleh BUMD PDAM, dengan total kredit pokok
macet sejumlah 564 miliar rupiah (lihat Tabel 4).
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
38/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH20
Tabel 4.
Jumlah Pokok Kredit Macet Pemerintah Daerah
per 31 Desember 2012
(juta rupiah)
Pemerintah Daerah BUMD Jumlah
RDI 13.489 8.604 22.093
RPD 26.090 349.220 375.311
SLA 44.872 206.645 251.517
Total 84.451 564.469 648.920
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (2012)
Gagalnya SLA, RDI, dan RDP sebagai sumber pembiayaan infrastruktur
daerah berbasis pinjaman, serta stagnannya pinjaman daerah kepada lem-
baga keuangan bank, membuat Pemerintah Pusat memberi mandat kepada
Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk menja-
lankan fungsi sebagai lembaga penyalur pinjaman daerah.
Tahun 2013, PIP menyalurkan pinjaman daerah sebesar 1,56 triliunrupiah. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan total kelolaan
dana PIP sebesar 26,4 triliun rupiah pada tahun yang sama. Fungsi lembaga
penyedia pinjaman daerah yang tidak maksimal ini ditengarai akibat berben-
turan dengan mandat lain yang juga dijalankan PIP, yakni sebagai lembaga
pengelolasovereign wealth fund, yang merupakan mandat utamanya.
Di luar itu, Pemerintah Daerah mengeluhkan panjangnya birokrasi dan
tingginya bunga pinjaman yang diberikan oleh PIP. Cukup banyak juga usulanpembiayaan proyek kepada PIP yang tidak disetujui, karena berbagai persya-
ratan yang kurang. Salah satu yang dianggap menyulitkan Pemerintah Daerah
adalah diperlukannya Peraturan Daerah yang disetujui DPRD sebagai wujud
komitmen melakukan pinjaman kepada PIP. Selain itu Pemerintah Daerah
masih menganggap ketentuan tingkat bunga yang diberikan PIP masih diang-
gap tinggi, dimana tinggi bunga adalah berbasis kepada tingkat bunga SBI
ditambah tingkat bunga untuk menutup administrasi dan keuntungan, yang
berakibat berkurangnya minat Pemerintah Daerah meminjam kepada PIP.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
39/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 21
Gambar 8. Pinjaman dan Belanja Modal Daerah Sebagai Persentase
Terhadap Belanja Daerah (Riil)
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2012)
Berbagai mekanisme pinjaman daerah yang telah ada masih belum da-
pat mengembangkan kinerja pinjaman daerah. Meskipun terlihat tren positif
dalam lima tahun terakhir, pinjaman daerah masih merupakan setitik kecil
komponen anggaran Pemerintah Daerah, dengan proporsi pinjaman daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota selama 5 tahun berturut-turut konsisten di bawah
1% apabila dibandingkan dengan total belanjanya. Selama 5 tahun terakhir,
(2007-2012), belanja modal daerah stagnan dan cenderung menurun, dari
kisaran sepertiga total belanja daerah, menjadi di bawah seperempat total
belanja daerah (22,27%).
2.3. Besarnya Biaya Transaksi Pembiayaan ProyekInfrastruktur Daerah
Pembiayaan infrastruktur di mata Pemerintah Daerah membutuhkan belanja
modal yang besar, yang mana memerlukan keterlibatan sektor swasta untuk
turut meningkatkan kemampuan pembiayaan ini. Idealnya dapat diperoleh
biaya yang murah untuk jangka panjang, sehingga APBD dapat juga diman-
faatkan optimal untuk keperluan lainnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi dewasa ini mening-
katkan kemampuan penawaran dana dari pihak swasta, yang dapat diman-
faatkan untuk membiayai proyek infrastruktur. Namun, proyek infrastruktur
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
40/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH22
daerah, khususnya infrastruktur lingkungan, masih belum menjadi minat bagi
investor swasta ini, karena dua alasan: pertama, pada umumnya pinjaman
daerah yang dibutuhkan untuk pembiayaan proyek ini tidaklah besar, yang
berakibat tingginya biaya transaksi. Kedua, beragamnya sumber-sumber pen-dapatan daerah yang dipergunakan untuk membiayai bunga pinjaman (debt
service), yang memiliki beragam risiko yang berbeda.
Tabel 5.
Ringkasan Persyaratan Pinjaman Daerah
Investasi
PemerintahPusat
PPLNLK Bank/Non-
BankSuratUtang
Pemangkukepenting-an
Kemenkeu Kemenkeu,Kemendagri
Kemenkeu,Kemendagri,Gubernur
Kemenkeu
Kisaranbunga
> Bunga pasar 11,5%-11,75%(Lewis, 2007)
> Bunga pasar Belum adacontoh
Dokumenuntukappraisal
RPJMD,audit WTP3x berturut-turut, APBD,persetujuanDPRD, dsb
RekomendasiKemendagri,RPJMD,audit WTP3x berturut-turut, APBD,persetujuanDPRD, dsb
RekomendasiKemendagri,RPJMD,audit WTP3x berturut-turut, APBD,persetujuanDPRD, dsb
Persetu-juan DPRD,credit rating(hinggasaat inihanya adashadowrating), dsb
Status Terbatas Terbatas,mayoritassupply-driven
Terbatas Belum adacontoh
Jangka Menengah &Panjang
Menengah &Panjang
Pendek-Panjang
Panjang
Lamaproses
>1 tahun > 1 tahun > 1 tahun Belum adacontoh
Jaminan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Kegiatansertabarangyangmelekat
padakegiatan tsb
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
41/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 23
Tabel 5 tersebut di atas menunjukkan bahwa persyaratan pinjaman
daerah masih tergolong tinggi, misalnya tingkat bunga. Selain itu prosedur
yang diperlukan dalam melakukan proses pinjaman daerah juga harus meng-
ikuti prosedur yang panjang, yaitu perlunya persetujuan DPRD. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga perantara pembiayaan yang
dapat mengurangi biaya transaksi pinjaman daerah, baik lewat prosedur
yang lebih dipermudah, maupun lewat inovasi baru. Misalnya, mengumpulkan
(pooling) berbagai kebutuhan investasi Pemerintah Daerah ini, dan kemudian
mengelolanya menjadi paket investasi yang menarik, untuk mengurangi
risiko dan juga biaya transaksi.
Dengan menggunakan mekanismepoolingini, maka lembaga perantarapembiayaan membuka akses (open-access) bagi setiap jenis daerah, baik Ka-
bupaten/Kota besar maupun kecil, yang memiliki rencana investasi infrastruk-
tur dan berminat untuk mendapatkan pembiayaan berbasis kriteria. Sebagai
ilustrasi, lembaga perantara pembiayaan Tamil Nadu Urban Development
Fund (TNUDF) membuat bundlingberbagai proyek pembangunan infrastruktur
lingkungan dan transportasi di Provinsi Tamil Nadu, India. Dengan pooling
berbagai proyek infrastruktur ini, maka biaya transaksi untuk penerbitan obli-
gasi daerah menjadi lebih murah dan dibebankan secara proporsional kepada
Pemerintah Daerah sesuai ukuran proyeknya. Contoh salah satu portofolio
investasi infrastruktur yang telah diterbitkan obligasinya oleh TNUDF dapat
dilihat dalam Tabel 6.
Tabel 6.
Rincian Salah Satu Portofolio Proyek Investasi
Infrastruktur TNUDF
No RincianBiaya
proyekPagu
pinjamanPinjaman
tersalurkan
Skema Penyediaan Air
1 Ambattur Municipality 336,56 67,32 67,32
2 Tambaram Municipality 182,00 109,20 109,20
3 Madhavaram Municipality 325,00 195,00 105,754 Rajapalayam Municipality 85,00 51,00 51,00
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
42/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH24
No RincianBiaya
proyekPagu
pinjamanPinjaman
tersalurkan
Daerah Sekitar Perkotaan /
Adjacent Urban Areas (AUA)
5 (i) Alandur Municipality 427,00 403,00 403,00
6 (ii) Pammal Municipality 378,00 357,00 357,00
7 (iii) Ankapathur TownPanchayat
188,00 178,00 178,00
8 (iv) Ullagaram TownPanchayat
298,00 281,00 281,00
9 (v) Porur Town Panchayat 579,00 547,00 547,0010 (vi) Maduravoyal Town
Panchayat146,00 138,00 138,00
11 (vii) Valsaravakkam TownPanchayat
189,00 179,00 179,00
12 (viii) Meenambakkam TownPanchayat
17,00 16,00 16,00
Drainase Bawah Tanah
13 Madurai Corporation 1407,00 500,00 325,00
Total 4557,56 3021,52 2757,27
Sumber: www.tnuifsl.com
2.4. Kebutuhan untuk Mekanisme PersetujuanPinjaman Kompetitif
Prosedur dan mekanisme persetujuan pinjaman melalui lembaga perantarapembiayaan semacam MDF memungkinkan penerapan sistem keberhati-
hatian untuk menghindari gagal bayar. Untuk itu setiap Pemerintah Daerah
yang akan melakukan pinjaman dievaluasi tidak saja kemampuan membayar
kembali pinjaman, namun juga kesediaannya untuk membuka rekening ber-
sama yang merupakan rekening untuk pengembalian pinjaman (escrow
account).
Untuk mengurangi risiko gagal bayar, maka MDF dapat menetapkan ting-kat bunga dan nilai tukar tetap. Selain itu MDF juga memiliki petunjuk kriteria
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
43/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 25
yang jelas, yang secara mudah dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi
batas kemampuan pinjaman Pemerintah Daerah, berdasarkan kepada kapa-
sitas pembayaran hutang.
Berikut ini adalah beberapa mekanisme yang umumnya diterapkan olehMDF untuk memperkuat persetujuan pinjaman ke pemerintah kota:
a. Terdapat kriteria pinjaman yang jelas
b. Sistem penilaian proposal pinjaman dilakukan oleh lembaga inde pen-
den
c. Latar belakang pinjaman masa lalu diperhitungkan (credit history)
d. Memiliki jaminan pemda yang diperkuat dengan esrow account
e. Pinjaman obligasi dievaluasi atas dasar rating-nya oleh lembaga ratingindependen
Pengalaman dua MDF yang dianggap sukses dalam tingkat pengembalian
pinjaman, yaitu MUFIS (Republik Ceko) dan FINDETER (Kolombia) bekerja sama
dengan bank swasta untuk sepenuhnya melakukan analisa kelayakan kredit
dari Pemerintah Daerah untuk semua aspek risiko dan menggunakan sistem
komersial untuk melakukan penagihan/pembayaran pinjaman.
Namun demikian, metode evaluasi kelayakan kredit yang ketat ini me-
merlukan persyaratan tersendiri, yaitu adanya kestabilian pendapatan peme-
rintah kota. Untuk kasus Indonesia, sebenarnya hal ini tidaklah sulit, meng-
ingat bahwa porsi terbesar dari pendapatan pemerintah kota adalah berasal
dari dana transfer, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), yang selama ini telah
terbukti stabil dan pasti, dari segi besarannya maupun penyalurannya setiap
bulan ke daerah.
2.5. Kebutuhan untuk Memupuk Modal dalamJangka Panjang
Salah satu kelebihan dari MDF adalah dapat menarik investor-investor baru
yang tertarik untuk melakukan pembiayaan infrastruktur perkotaan. Dengan
demikian terjadi peningkatan modal pada MDF. Selain itu, kelebihan dari MDF
adalah, keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan infrastruktur dapat di-
pupuk kembali untuk menambah modal. Dengan demikian, lembaga MDF
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
44/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH26
dapat memiliki struktur permodalan yang kuat dan pada akhirnya mampu
meningkatkan pinjaman untuk pembiayaan infrastruktur perkotaan.
Sifat pemupukan modal ini akan makin besar apabila bentuk kelemba-
gaannya adalah sebuah perseroan terbatas, atau lembaga yang pengelolaan-nya terpisah dari pemerintah. Lembaga ini dengan demikian akan meningkat-
kan kapasitas modalnya untuk lebih jauh menarik investor yang berminat
melakukan investasi pembiayaan infrastruktur kota, khususnya infrastruktur
lingkungan, dalam durasi jangka menengah dan panjang.
Untuk meningkatkan modal, maka dapat dilakukan beberapa cara:
1. Menerbitkan obligasi.Keuntungan dari penerbitan obligasi oleh MDF
adalah memungkinkannya untuk memperoleh tingkat bunga yang lebihrendah, karena umumnya tingkat bunga obligasi memperoleh perlakuan
tingkat pajak yang lebih rendah. Namun demikian, bagi MDF yang pada
tahun tertentu tidak memiliki kinerja yang baik, tetap diwajibkan melaku-
kan pembayaran bunga obligasi ini kepada pembelinya. Selain itu, seba-
gai pilihan alternatif ekspansi dari sebuah MDF, maka sangat tergantung
dari ukuran MDF itu sendiri. Bila MDF yang masih relatif kecil, maka pem-
beli obligasinya umumnya menginginkan tingkat bunga yang lebih tinggi,
yang pada akhirnya membebani MDF yang bersangkutan.
2. Menerbitkan Saham Khusus (Preferred Stock).MDF dapat memilih un-
tuk menerbitkan saham preferred untuk meningkatkan modalnya. Pem-
beli saham ini akan memperoleh status khusus dalam hal MDF memiliki
masalah keuangan.Selain itu pemilik saham khusus ini juga akan mem-
peroleh keistimewaan dalam hal memperoleh terlebih dahulu dividen
yang dibayarkan.
3. Menerbitkan Saham biasa (Common Stock). Apabila MDF dalam per-
kembangannya memiliki kinerja keuangan yang sangat baik, maka salah
satu sumber utama dalam meningkatkan modal adalah dengan mener-
bitkan saham biasa, yang dilakukan di pasar modal. Prosesnya adalah me-
lalui IPO (initial public offering). Pada umumnya untuk penerbitan saham
ini dapat dibantu oleh sebuah Bank/Lembaga Investasi yang setuju untuk
membeli saham tersebut pada harga minimum tertentu, dalam kasus ma-
syarakat tidak tertarik membeli saham yang ditawarkan oleh MDF ter-
sebut.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
45/122
KEBUTUHAN INDONESIA TERHADAP PERANTARA PEMBIAYAAN UNTUK INFRASTRUKTUR DAERAH 27
4. Melakukan Pinjaman. Pada umumnya, karena fungsinya yang jelas, yaitu
pembiayaan infrastruktur jenis tertentu (misalnya infrastruktur lingkung-
an), maka sebuah MDF dapat melakukan ekspansi melalui pinjaman ke-
pada lembaga komersial tertentu. Selain itu, bila komposisi kepemilikan-nya masih didominasi oleh pemerintah, maka dimungkinkan MDF tersebut
untuk memperoleh pinjaman berbunga murah dari lembaga internasio-
nal, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan lainnya.
5. Mempergunakan Kumulasi dari Keuntungan (profit).Strategi dasar
dari sebuah korporasi untuk melakukan pemupukan modal adalah me-
lalui laba yang ditahan (retained earnings). Besarnya laba yang ditahan
ini berbeda-beda untuk setiap jenis MDF yang melakukan pengembangansektor yang berbeda.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
46/122
28
MDF: Prinsip,Karakteristik, danPraktik Negara Lain
M
unicipal Development Funds
merupakan suatu perantara
pembiayaan (financial intermediary)
yang dikhususkan kepada pembiayaan
infrastruktur bagi Pemerintah Daerah. MDF
dapat memberikan pembiayaan berbasis utang
maupun hibah, baik dengan cara memberikan
pinjaman langsung, tak langsung, menerbitkan
surat utang, maupun meneruskan hibah.
3.1. Definisi dan Cakupan Municipal DevelopmentFunds.
Berbagai bentuk dan peran MDF di berbagai negara telah dibahas pada bab
sebelumnya. Walaupun bentuk kelembagaan memiliki perbedaan antara satu
MDF dengan MDF lainnya, namun pada dasarnya setiap MDF memiliki fungsi
yang kurang lebih sama, yaitu :
3
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
47/122
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 29
1. Membentuk dan meningkatkan modal
2. Memberikan pinjaman modal kepada pemerintah kota atau lembaga
investasi pembangunan infrastruktur kota.
3. Melakukan penagihan pinjaman berikut bunganya.
Gambar 9. Struktur MDF Secara Umum
Davey (1988) mendeskripsikan Municipal Development Fund sebagai
berikut:
A municipal development fund is a pool of money operated at a level above
individual subnational governments that is available to the subnational
government for investment purposes.
The main objective of these pools of funds is to mobilize resources fromprivate lenders, the central government, and donor agencies, and to make
these resources available for investment in urban infrastructure.
Dari definisi di atas, terlihat bahwa MDF berperan layaknya institusi khu-
sus yang mengumpulkan berbagai sumber dana. MDF didesain untuk sebagai
perantara Pemerintah Daerah mengakses sumber pembiayaan untuk penye-
diaan infrastruktur.
Beberapa literatur melaporkan bahwa MDF memiliki perbedaan-perbe-
daan dalam wilayah kerjanya (lihat Peterson, 1996, dan Alm, 2010). Area tang-
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
48/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH30
gungjawab yang nantinya akan dimandatkan kepada MDF harus berpijak pada
tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan batasan-batasan yang dimiliki. Proyek-
proyek infrastruktur dapat dipecah menjadi 5 tahapan yang tergambar dalam
bagan di bawah ini. Fokus pada satu atau dua tahapan dapat menjadi salahsatu kunci sukses MDF dalam menjalankan bisnisnya. Dalam hal ini, fokus MDF
adalah kepada pendanaan/pembiayaan infrastruktur daerah.
Gambar 10. Tahapan dalam Pengadaan Proyek Infrastruktur
Lembaga MDF harus menjalankan beberapa fungsi dasar sebagai berikut:
Menghimpun modal agar dapat menyalurkan lebih banyak kredit kepada
Pemerintah Daerah;
Menyediakan pinjaman untuk Pemerintah Daerah/lembaga lain dalam
rangka penyediaan infrastruktur daerah;
Menarik angsuran pinjaman.
Dalam menyediakan pembiayaan kepada Pemerintah Daerah, MDF me-
lakukan beberapa tugas: (1) uji kelayakan keuangan/ekonomi; (2) menentukan
pendanaan yang tepat bagi proyek yang berbeda; (3) pengawasan pelaksa-
naan proyek (perencanaan/selama konstruksi/setelah konstruksi); (4) pendam-
pingan teknis; (5) penyaluran pinjaman. Fungsi-fungsi tersebut dalam dilaksa-
nakan seluruhnya atau melimpahkan sebagian fungsi ke lembaga yang lain.
Sangat penting bagi MDF untuk melaksanakan kemampuan utamanya
untuk mencapai kinerja yang efektif dan efisien. Mengabaikan prinsip ini dapat
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
49/122
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 31
menyebabkan MDF terpapar oleh berbagai risiko yang beragam. Apabila dike-
lola secara profesional, MDF pada akhirnya akan dapat meningkatkan efisiensi
dalam investasi proyek infrastruktur di daerah, dan meningkatkan transparansi
keuangan daerah.Sebagai penyalur pinjaman, MDF harus menjalankan beberapa fungsi da-
sar sebagai berikut:
- Menghimpun modal agar dapat menyalurkan lebih banyak kredit kepada
Pemerintah Daerah
- Menyediakan pinjaman untuk Pemerintah Daerah/lembaga lain dalam
rangka penyediaan infrastruktur daerah
-Menarik angsuran pinjaman berikut bunga
Dengan memegang prinsip:
- Memiliki kriteria pinjaman yang jelas
- Bersifat open-access(dapat diakses semua Pemerintah Daerah)
- Appraisal yang independen
- Memiliki mekanisme pengaman (kolateral, escrow account, dsb)
- Memperhitungkan credit historydebitur
-Manajemen risiko dan portofolio yang baik
- Berkesinambungan (memupuk modal)
3.2. Implementasi MDF di Berbagai Negara
Tabel 7.
Berbagai Tipe Pembiayaan Perantara untuk Pemerintah Daerah
PenyalurPinjaman(First-TierLender)
PenyalurPinjaman Level
Kedua(Second-Tier
Lender)
BankObligasi
PenyalurHibah
Basis Utang Hibah
Dana Awal Berbagai
sumber
Berbagai
sumber
Berbagai
sumber
Pemerintah,
Mitra Pem-bangunan
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
50/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH32
Debitur PemerintahDaerah
LembagaKeuangan yangmemberikanpinjaman
kepadaPemerintahDaerah
PemerintahDaerah
-
Akses kePasar Modal
Dimungkinkan Dimungkinkan Terintegrasi -
PemupukanModal
Dimungkinkan Dimungkinkan Dimung-kinkan
-
Contoh TNUDF, India Findeter,Kolombia
Bond Bank,Amerika
Serikat
RIF,Australia
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
Menjadi hal yang penting untuk memahami bahwa mengimplementasikan
MDF bukan sebuah tugas yang mudah. Meskipun beberapa negara menunjuk-
kan keberhasilan dalam implementasi MDF, beberapa negara lainnya meng-
alami pengalaman yang buruk. MDF yang terbukti berhasil dalam implemen-
tasinya ternyata didukung oleh penerapan disiplin pasar dan keuangan sertapenilaian proyek yang ketat. Tabel berikut ini menyajkan beberapa pelajaran
berharga dari beberapa negara tentang berbagai tantangan yang mereka
hadapi dalam implementasi MDF:
Tabel 8.
Tantangan dalam Implementasi MDF di Negara Lain
Negara:Institusi MDF
Tantangan/Permasalahan dengan Implementasi MDF
India:Tamil Nadu UrbanDevelopment Fund(TNUDF)
Sektor swasta belum menyuntikkan modal tambahandan belum melaksanakan skema pembiayaanbersama di tingkat daerahAdanya kompetitor bagi lembaga ini yang justrudibentuk oleh pemerintah Tamil NaduJatuhnya tingkat suku bunga membuka ruangkompetisi dengan lembaga pembiayaan lainnyaPrinsip-prinsip pasar tidak sepenuhnya diterapkan,
karena institusi MDF dijalankan sebagai badanpemerintah bukan sebagai konsep KerjasamaPemerintah-Swasta.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
51/122
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 33
Negara:Institusi MDF
Tantangan/Permasalahan dengan Implementasi MDF
Nepal:
Town DevelopmentFund Board (TDBF)
Pemerintah Daerah memiliki kapasitas yang terbatas
dalam mempersiapkan studi kelayakan proyek dandetailed engineering designuntuk pinjaman yangmereka ajukanPemerintah Daerah memiliki kompetensi yangterbatas dalam memulai sebuah proyek danpenyusunan dokumen pengajuan pinjamanSengketa dengan masyarakat karena buruknyapengelolaan masyarakat dan perubahan terhadapdesain teknis yang sudah disepakati di awalKartel kontraktor menjadi hambatan untukmendapatkan kontraktor yang layak
Prosedur birokrasi yang tidak efisienDiperlukan persetujuan dari kementerian tertentuAdanya kepentingan politik terselubungBatas atas pinjaman yang terlalu rendah.
Kolombia:FINDETER
Krisis keuangan (1999-2001) memaksa FINDETER untukmengurangi persetujuan pinjamannya menjadi COP(Colombian Peso) 229 miliar
Georgia Tidak terlalu banyak Pemerintah Daerah yang mampumelakukan pinjaman untuk utang jangka pendek danmenengah.
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
Sebaliknya, aspek keberhasilan MDF disajikan secara singkat dalam tabel
di bawah:
Tabel 9.
Beberapa Contoh Sukses Implementasi MDF
Negara:MDF
Dampaknya Terhadap PenyediaanInfrastruktur
Nilai Kredityang Disetujui
Kolombia:FINDETER
Keberhasilan dalam pembayaran darisektor pelayanan publik (30% dari pem-bayaran); jalan & transportasi (30%) danfasilitas pendidikan (13%)
COP (Colombia Peso)37 miliar pada tahun1990, naik menjadiCOP 413,5 miliar danmencapai COP 1,02triliun pada 2003
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
52/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH34
Georgia Peningkatan kualitas pelayananpublik, 83 proyek infrastruktur dis-etujui oleh MDF (2002);55% pinjaman dialokasikan untuk
perbaikan jalan perkotaan dan 20%lainnya untuk air bersih dan saluranpembuangan;
USD (United StatesDollar) 17 juta padatahun 2002
Sumber: kompilasi Tim dari berbagai sumber
3.3. Sumber Modal MDF
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa tidak ada sumber dana tunggal
bagi sebuah MDF dan sumber permodalannya bervariasi untuk beberapa ne-gara. Namun demikian, APBN adalah sumber dana awal yang standar bagi ope-
rasional awal MDF karena seringkali MDF dibentuk atas inisiatif pemerintah.
Akses terhadap pasar modal yang lebih luas dan kompetitif sepenuhnya ter-
gantung dari peringkat kredit yang diperoleh MDF yang ditentukan oleh
kinerja keuangannya. Kinerja keuangan ini juga ditentukan oleh baik tidaknya
penerapan disiplin pasar dan rendahnya kredit macet. Memastikan bahwa
Pemerintah Daerah yang meminjam dana mampu membayar angsurankreditnya dengan lancar adalah aspek yang paling utama untuk mencapai
peringkat kredit yang baik. Di bawah ini adalah contoh internasional tentang
berbagai sumber dana MDF:
Tabel 10.
Berbagai Skema Pemodalan MDF
Negara:MDF
Peme-rintah
dan/atauDonor
TabunganPeme-rintahDaerah
LembagaSimpanan
PasarModal
PasarKreditDaerah
Brazil:PrAM/PIMES
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Kolombia:FINDETER
Ya Tidak Ya Ya (kecil) Ya
Rep. Ceko:
MUFIS Ya Tidak Tidak Tidak Ya
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
53/122
MDF: PRINSIP, KARAKTERISTIK, DAN PRAKTIK NEGARA LAIN 35
Ekuador:BEDE
Ya Ya Tidak Tidak Tidak
Honduras:
BANMA
Ya Ya Ya Tidak Tidak
Indonesia:RDP1
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Yordania:CVDB
Ya Ya Ya Parsial Tidak
Kenya:LGLA
Ya Ya Tidak Tidak Tidak
Maroko:
FEC
Ya Ya Ya Partial Tidak
Filipina:MDF
Ya Ya Tidak Tidak Tidak
Sumber: Peterson (1996)1
3.4. Pentingnya MDF Bagi Kota-Kota NegaraBerkembang
Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian awal tulisan ini, Pemerintah Dae-
rah harus mewaspadai peningkatan populasi di tahun-tahun mendatang.
Urbanisasi yang sangat pesat memicu peningkatan kebutuhan akan pelayanan
publik dan infrastrukur yang lebih banyak dan lebih baik kualitasnya. Sayang-
nya, kota-kota di negara berkembang memiliki keterbatasan kapasitas untuk
meningkatkan pendanaan karena terbatasnya ruang fiskal atau rendahnya
keberanian birokrat untuk mengelola risiko. Bahkan ketika terdapat akses ter-
hadap pasar modal dan ruang fiskal yang cukup, Pemerintah Daerah sering-kali tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam pengelolaan keuangan dan
proyek. Ketika tantangan tersebut diatasi secara bertahap, urbanisasi akan
terus terjadi dan kebutuhan akan infrastruktur akan terus meningkat.
Bersamaan dengan fenomena urbanisasi, Pemerintah Daerah terutama
di negara-negara berkembang yang menerapkan desentralisasi fiskal tetap
diharuskan untuk: (1) meningkatkan daya saing ekonomi lokal; (2) memenuhi
1 Catatan untuk Indonesia: Beberapa ahli menganggap bahwa Rekening Pembangunan Daerah(RPD) di Indonesia di masa lalu adalah suatu bentuk MDF.
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
54/122
MUNICIPAL DEVELOPMENT FUNDS SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAERAH36
kebutuhan akan layanan publik; (3) memperluas dan melakukan diversifikasi
basis pajak daerah; (4) mengupayakan pendanaan bagi investasi. MDF mengisi
kebutuhan Pemerintah Daerah akan sumber dana investasi yang berkelanjutan
untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur di daerah.
Gambar 11. Tantangan dalam Urbanisasi
Pengalaman internasional mengungkapkan bahwa pinjaman jangka
panjang terpapar beberapa risiko (risiko gagal bayar, risiko kurs, risiko politik,
risiko pasar, risiko makroekonomi, dsb). Risiko-risiko ini memerlukan skema
pendanaan yang berbeda. Sebagai contoh, negara-negara di Amerika Utara
cenderung mengandalkan pada obligasi Pemerintah Daerah, negara-negara
Eropa Barat mengandalkan bank pembangunannya. Sementara itu, negara-
negara berkembang seringkali tidak dapat mengakses pasar modal sehingga
menerbitkan obligasi daerah menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Negara-
negara ini cenderung menerapkan skema pendanaan berlapis, secara lang-
sung atau melalui lembaga keuangan intermedier (Venkatachalam, 2005). MDFadalah suatu bentuk financial intermediary (lembaga keuangan intermedier)
Terdapat beberapa manfaat yang mungkin dapat dituai dari penerapan
MDF:
1. Aksesibilitas Pemerintah Daerah kepada pasar kredit berarti bahwa Pe-
merintah Daerah memiliki akses terhadap sumber belanja modal;
2. Kesiapan proyek yang lebih baik. Pemerintah Daerah didorong untuk meng-
akses pasar kredit dan juga berusaha untuk layak mendapatkan pinjaman
-
7/23/2019 Municipal Development Fund
55/122