pemeriksaan fisis diagnostik kesadaran

Download PEMERIKSAAN FISIS DIAGNOSTIK KESADARAN

If you can't read please download the document

Upload: dedymaricar

Post on 10-Dec-2015

67 views

Category:

Documents


33 download

DESCRIPTION

PEMERIKSAAN FISIS DIAGNOSTIK KESADARAN

TRANSCRIPT

PEMERIKSAAN FISIS DIAGNOSTIK KESADARAN16PEMERIKSAAN FISIS DIAGNOSTIK KESADARANPENDAHULUANPenurunan atau gangguan kesadaran mengacu pada menurunnya kemampuan untuk berespon terhadap stimulus eksternal. Status klinis kesadaran terdiri atas alert, letargi, stupor, dan koma. Alert merupakan keadaan kesadaran yang normal, stupor merupakan keadaan di mana pasien hanya dapat dibangunkan oleh stimulus fisik yang kuat dan berulang, sementara koma merupakan keadaan di mana pasien tidak dapat dibangunkan oleh stimulus apapun. Bentuk penurunan kesadaran yang lebih ringan, yaitu letargi merupakan keadaan kesadaran di antara alert dan stupor, di mana pasien tampak selalu tertidur atau tidak mampu untuk mempertahankan kesadaran jika tidak diberikan stimulus eksternal.1,2,3Kemampuan dalam menganalisis pasien dengan penurunan kesadaran menjadi kebutuhan praktis. Penurunan kesadaran merupakan masalah medis yang selalu bersifat mendesak, di mana perlu segera ditentukan proses penyakit yang mendasari dan tindakan untuk melindungi otak dari kerusakan yang lebih serius dan irreversibel. Ketika diperhadapkan pada pasien dengan penurunan kesadaran, seorang dokter harus memiliki kemampuan investigasi yang cepat dan sistematik untuk dapat menentukan diagnosis dan terapi yang tepat.3ANATOMI & FISIOLOGI KESADARANKesadaran ditentukan oleh kerja sama antara formasio retikularis dan hemisfer serebri. Komponen retikularis yang berperan dalam kesadaran terletak di mesensefalon. Mesensefalon dapat dipandang sebagai pusat penggerak menuju struktur-struktur yang lebih tinggi; adanya gangguan pada formasio retikularis mesensefalon menyebabkan kemampuan korteks serebri untuk dapat berfungsi menjadi terhambat. Sistem aktivasi retikularis mesensefalon kemudian berjalan asendens menuju thalamus. Mekanisme pasti mengenai keterlibatan diensefalon dalam kesadaran belum diketahui pasti. Informasi dari formasio retikularis mesensefalon berjalan melewati nukleus retikularis thalamikus, yang merupakan jalur yang harus dilalui agar korteks serebri dapat berfungsi. Nukleus retikularis thalamikus secara dominan berperan dalam penghambatan korteks serebri. Dengan meningkatkan atau mengurangi mekanisme penghambatan korteks serebri oleh thalamus tersebut, sistem aktivasi retikularis mesensefalon menjadi mekanisme yang penting dalam meningkatkan atau mengurangi aktivitas neuronal.4Kesadaran ditentukan oleh fungsi normal dari sistem aktivasi retikularis di batang otak dan proyeksi bilateralnya ke thalamus dan hemisfer serebriETIOLOGI PENURUNAN KESADARANPenurunan kesadaran umumnya disebabkan oleh cedera otak traumatik, ensefalopati hipoksik-iskemik, overdosis obat-obatan, perdarahan intrakranial, infeksi sistem saraf pusat, dan tumor otak. Berdasarkan sudut pandang patofisiologi, penurunan kesadaran dapat bersifat:5Primer sebagai akibat dari gangguan pada korteks serebri, struktur diensefalon, mesensefalon, atau pons (struktural) atauMerupakan manifestasi otak sekunder sebagai akibat dari gangguan toksik, metabolik, atau endokrin (nonstruktural).Gangguan struktural antara lain meliputi:1,3Abses otakTumor otakTrauma kepala (concussion, kontusio atau laserasi otak, hematoma epidural atau subdural)Hidrosefalus akut Perdarahan intraparenkimPerdarahan subaraknoidGangguan nonstruktural antara lain meliputi:1,3Gangguan metabolik (ketoasidosis diabetik, ensefalopati hepatik, uremia, myxedema, hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, dan sebagainya)Infeksi (ensefalitis, meningitis, sepsis, dan sebagainya)Obat-obatan (sedatif, barbiturat, alkohol, opiat, antikolinergik, dan sebaginya). PATOFISIOLOGI PENURUNAN KESADARANKesadaran yang tetap terjaga ditentukan oleh kedua hemisfer serebri dan sistem aktivasi retikularis yang berfungsi baik. Dengan demikian, mekanisme terjadinya gangguan kesadaran pasti melibatkan kedua hemisfer serebri atau disfungsi dari sistem aktivasi retikularis.3,6Untuk dapat menimbulkan gangguan kesadaran, lesi pada korteks serebri harus bersifat bilateral, atau dapat pula bersifat unilateral pada lesi yang cukup besar sehingga dapat menyebabkan pergeseran struktur dalam otak (shift). Pergeseran tersebut dapat mengganggu integritas struktural atau fungsi dari serabut saraf retikulothalamikus atau thalamokortikal sehingga mempengaruhi sistem aktivasi retikularis asendens dan proyeksinya. Selain itu juga dapat menyebabkan herniasi sentral atau tentorial yang akan menekan mesensefalon sehingga juga dapat mempengaruhi sistem aktivasi retikularis asendens bagian proksimal.3,5,6Disfungsi sistem aktivasi retikularis biasanya disebabkan oleh suatu kondisi yang menimbulkan efek difus, misalnya gangguan toksik atau metabolik (hipoglikemia, hipoksia, uremia, overdosis obat-obatan). Disfungsi sistem aktivasi retikularis juga dapat disebabkan oleh iskemi fokal (misalnya infark pada batang otak), perdarahan, atau gangguan mekanik langsung. Berbagai kondisi yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan tekanan perfusi serebral yang dapat berlanjut pada terjadinya iskemi otak sekunder. Iskemi otak sekunder selanjutnya dapat mempengaruhi sistem aktivasi retikularis atau kedua hemisfer serebri sehingga dapat menimbulkan gangguan kesadaran.3,6Patofisiologi penurunan kesadaran akibat gangguan toksik metabolik bersifat spesifik, bergantung pada penyebabnya masing-masing dan masih belum dipahami sepenuhnya. Sederhananya, kondisi ini dihubungkan dengan hambatan dalam transportasi dan utilisasi oksigen (hipoksia, iskemi, hipoglikemia, karbonmonoksida), perubahan pada eksitabilitas neuronal (kejang, asidosis, intoksikasi obat-obatan), atau perubahan pada volume otak (hipernatremia, hiponatremia).5Derajat kerusakan neurologik berhubungan dengan perlangsungan dari keadaan patologik yang mendasari. Perdarahan pada hemisfer atau batang otak yang bersifat akut dengan efek massa dapat menyebabkan penurunan kesadaran secara nyata, sementara tumor otak yang berkembang perlahan-lahan dapat bersifat asimptomatik saja.5ANAMNESISMeskipun seorang dokter yang diperhadapkan pada pasien dengan penurunan kesadaran harus mampu bekerja tanpa informasi eksternal apapun, namun pengetahuan mengenai riwayat pasien seringkali memberikan petunjuk penting dalam menentukan etiologi dari masalah dan pendekatan awal untuk penanganan. Adanya riwayat trauma atau penyakit medis yang mendasari penting untuk ditelusuri, demikian pula dari riwayat pengobatan dapat dipikirkan kemungkinan adanya intoksikasi atau reaksi obat.4Aspek penting dalam menggali riwayat pasien adalah waktu atau perlangsungan dari suatu penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran yang berlangsung tiba-tiba mengindikasikan adanya gangguan vaskuler sebagai faktor penyebab, khususnya strok pada batang otak atau perdarahan subaraknoid. Tanda-tanda hemisferik seperti hemiparesis, defisit neurosensorik, atau afasia yang berkembang cepat kepada penurunan kesadaran dalam hitungan menit sampai jam merupakan karakteristik perdarahan intraserebral. Penurunan kesadaran yang berkembang perlahan-lahan (dalam hitungan hari, satu minggu atau lebih) ditemukan pada pasien dengan tumor, abses, atau hematoma subdural kronik. Penurunan kesadaran yang diawali dengan status konfusional atau delirium tanpa disertai tanda atau gejala lateralisasi kemungkinan disebabkan oleh gangguan metabolik.7PEMERIKSAAN FISIS UMUMTanda-tanda trauma dapat dicari melalui pemeriksaan inspeksi dan palpasi. Inspeksi kepala dapat ditemukan tanda-tanda fraktur basis krani yang meliputi raccoon eyes (ekimosis periorbital), battle sign (pembengkakan dan perubahan warna pada daerah tulang mastoid di belakang telinga), hemotimpanum (pengumpulan darah di belakang membran timpani), dan rinore atau otore akibat kebocoran cairan serebrospinalis melalui hidung dan telinga. Pada palpasi kepala dapat ditemukan adanya fraktur tulang tengkorak atau pembengkakan jaringan lunak pada tempat trauma.7Perubahan pada tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah) memberikan petunjuk penting dalam diagnosis. Demam seringkali disebabkan oleh infeksi sistemik seperti pneumonia atau ensefalitis bakteri atau virus. Jika didapatkan suhu tubuh yang sangat tinggi (42 atau 43C), harus dipikirkan kemungkinan adanya heat stroke atau intoksikasi obat-obatan antikolinergik. Demam yang disebabkan oleh lesi di otak yang mengganggu pusat pengatur suhu merupakan kejadian yang jarang terjadi. Hipotermi dapat ditemukan pada pasien dengan intoksikasi alkohol atau barbiturat, terpapar suhu dingin, kegagalan sirkulasi perifer, dan myxedema.2,4,7Pernapasan yang melambat dapat disebabkan oleh intoksikasi opiat atau barbiturat, dan kadang-kadang juga ditemukan pada keadaan hipotiroidisme. Pernapasan yang cepat dan dalam (pernapasan Kusmaul) mengindikasikan kemungkinan adanya pneumonia, asidosis diabetik atau uremik, udem paru, dan meskipun jarang, juga dapat ditemukan pada penyakit intrakranial yang menyebabkan hiperventilasi neurogenik sentral. Penyakit-penyakit yang meningkatkan tekanan intrakranial seringkali menyebabkan pernapasan yang lambat, tidak teratur, ataupun pernapasan Cheyne-Stokes. Bau udara pernapasan juga dapat memberi petunjuk mengenai etiologi dari penurunan kesadaran. Bau alkohol dapat dengan mudah dikenali, bau seperti buah busuk ditemukan pada koma diabetik, bau seperti urin ditemukan pada uremia, dan bau almond bakar dapat ditemukan pada intoksikasi sianida.2,4,7Nadi yang sangat lambat mengindikasikan kemungkinan adanya hambatan jantung akibat intoksikasi obat-obatan antidepresan trisiklik atau antikonvulsan, atau peningkatan tekanan intrakranial akibat suatu lesi massa jika bradikardi disertai pernapasan periodik dan hipertensi. Infark miokard pada dinding inferior juga dapat menyebabkan bradikardi.2Peningkatan tekanan darah pada pasien dangan penurunan kesadaran mengindikasikan adanya hipertensi yang telah berlangsung lama sebelumnya yang merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan intraserebral atau ensefalopati hipertensif. Tekanan darah juga merupakan tanda vital yang penting dalam menentukan apakah penurunan kesadaran disebabkan oleh suatu lesi otak. Hipertensi ditemukan pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat (Cushing response). Gangguan mekanisme autoregulasi dari aliran darah otak menjelaskan terjadinya peningkatan tekanan darah pada pasien penurunan kesadaran akibat suatu lesi otak. Sebaliknya, hipotensi dihubungkan dengan disfungsi otak metabolik yang disebabkan oleh intoksikasi obat-obatan, sepsis, koma diabetik, atau ensefalopati hepatik.2,4,7,8PEMERIKSAAN NEUROLOGISPemeriksaan neurologis pada pasien dengan penurunan kesadaran meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, pola pernapasan, ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya, gerakan mata spontan, dan respon motorik.1Pemeriksaan Tingkat KesadaranGlasgow Coma Scale (GCS)PemeriksaanResponSkorRespon membuka mataTerbuka spontanTerbuka oleh stimulus verbalTerbuka oleh stimulus nyeriTidak ada respon4321Respon verbalOrientasi baikPembicaraan kacau, namun mampu menjawab pertanyaanKata-kata tidak sesuaiSuara yang tidak dapat dipahamiTidak ada respon54321Respon motorikMengikuti perintahMelokalisasi nyeriReaksi menghindarFleksi abnormal (dekortikasi)Ekstensi abnormal (deserebrasi)Tidak ada respon654321Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan stimulus kepada pasien, awalnya secara verbal, kemudian dengan stimulus tidak nyeri, dan akhirnya dengan stimulus nyeri (penekanan pada supraorbita, ujung jari, atau sternum), kemudian mengamati respon spesifik pasien terhadap stimulus yang diberikan. Glasgow Coma Scale (GCS) telah secara luas digunakan dalam menentukan tingkat keparahan suatu trauma kepala. Skor 3-8 mengindikasikan suatu trauma berat, 9-13 trauma sedang, dan 14-15 trauma ringan.1,4Pemeriksaan Pola PernapasanPola pernapasan tertentu mengindikasikan adanya lesi di daerah tertentu, dengan demikian melalui pemeriksaan ini dapat diperkirakan lokasi dari lesi yang menimbulkan gangguan kesadaran. Pola pernapasan tersebut meliputi pernapasan Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, pernapasan apneustik, pernapasan cluster, dan pernapasan ataksik.1,2,4Pada pernapasan Cheyne-Stokes terdapat periode hiperpnea di mana pernapasan menjadi sangat cepat lalu makin lama makin melambat kemudian diikuti periode apnea yang berlangsung singkat. Pola ini dihubungkan dengan adanya isolasi pusat pernapasan di batang otak dari serebrum yang menjadikannya lebih sensitif terhadap karbondioksida sehingga pernapasan menjadi lebih cepat. Selanjutnya sebagai akibat dari hiperventilasi, kadar CO2 dalam darah menurun hingga di bawah kadar yang diperlukan untuk dapat menstimulasi pusat pernapasan, dengan demikian pernapasan berhenti. CO2 kemudian terakumulasi kembali sehingga siklus pun berulang. Pernapasan Cheyne-Stokes juga dihubungkan dengan efek stimulasi dari tekanan O2 arteri yang rendah akibat depresi pusat pernapasan. Gangguan kesadaran yang disertai pola pernapasan ini dapat menandakan adanya disfungsi hemisferik bilateral ataupun disfungsi diensefalik yang biasanya disebabkan oleh intoksikasi atau gangguan metabolik berat dan kadang-kadang oleh lesi bilateral seperti hematoma subdural. Pernapasan dengan pola ini juga dapat ditemukan pada orang usia lanjut yang sedang tidur dan dapat merupakan manifestasi dari suatu ganggguan kardiopulmoner pada pasien yang sadar.Hiperventilasi neurogenik sentral mengacu pada pernapasan yang cepat dan dalam, 40-70 kali dalam semenit, sehingga dapat menyebabkan alkalosis respiratorik. Pernapasan dengan pola ini dapat terjadi akibat adanya lesi pada mesensefalon bagian bawah atau pons bagian atas, dan kemungkinan juga pada medulla oblongata. Bentuk yang lebih ringan sering ditemukan pada kasus trauma kepala.Pada pernapasan apneustik terdapat pola inspirasi yang memanjang yang disertai jeda 2-3 detik pada inspirasi penuh. Pernapasan dengan pola ini dapat terjadi akibat adanya lesi pada pons bagian bawah, biasanya akibat oklusi pada arteri basilaris.Pada pernapasan cluster terdapat pola pernapasan periodik yang tidak teratur baik dalam frekuensi maupun amplitudo dengan jeda apnea yang bervariasi waktunya. Pernapasan dengan pola ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada medulla oblongata bagian atas atau pons bagian bawah.Pada pernapasan ataksik terdapat pola yang tidak teratur baik pada frekuensi maupun irama pernapasan, biasanya disebabkan oleh lesi pada medulla oblongata. Pernapasan ataksik dan megap-megap (gasping) mengindikasikan adanya kerusakan batang otak bagian bawah dan seringkali merupakan keadaan preterminal. Pemeriksaan PupilPemeriksaan ini memiliki arti penting dalam menegakkan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. Ukuran pupil ditentukan oleh keseimbangan antara dua kelompok otot polos dalam iris, yaitu otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh sistem saraf parasimpatis, dan otot dilator pupil yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus Edinger-Westhphal yang bersatu dengan N.III dan bersinaps di ganglion siliaris untuk selanjutnya mempersarafi otot sfingter pupil. Serabut saraf simpatis berasal dari hipotalamus yang berjalan turun menuju mesensefalon, pons, medulla oblongata, dan medulla spinalis segmen servikal dan torakal atas lalu bersinaps di ganglion servikalis superior. Serabut saraf postganglion selanjutnya berjalan sepanjang arteri carotis interna dan melalui sinus kavernosus menuju nervus siliaris longus yang mempersarafi otot dilator pupil.2,3,4,7,9Jalur neural refleks cahaya dan konstriksi pupilJalur simpatis untuk dilatasi pupilPupil normal secara bilateral berukuran diameter 3-4 mm dan berkonstriksi secara cepat dan simetris dalam berespon terhadap cahaya. Pupil yang melebar unilateral hingga dapat mencapai diameter 7 mm bahkan lebih dan terfiksasi atau tidak berespon terhadap cahaya (fixed dilated pupils) merupakan indikator adanya kompresi Nervus III (misalnya pada herniasi transtentorial) oleh suatu lesi di hemisfer ipsilateral. Intoksikasi atropin atau obat-obatan yang bersifat atropinik ,khususnya antidepresan trisiklik, juga ditandai oleh pupil yang melebar dan terfiksasi.Pupil yang agak melebar dan terfiksasi atau tidak berespon terhadap cahaya (fixed midsized pupil) ditemukan pada keadaan kerusakan batang otak pada tingkat mesensefalon.Pupil yang sangat kecil dengan ukuran 1 mm (pinpoint pupil) pada pasien dengan penurunan kesadaran seringkali ditemukan pada keadaan di mana terdapat kerusakan fokal pada pons (perdarahan pons masif), yang disebabkan oleh kerusakan pada jalur simpatis (pupillodilator). Selain itu juga dapat ditemukan pada intoksikasi opioid atau insektisida tertentu (organofosfat, karbamat). Pada keadaan ini, respon pupil terhadap cahaya hanya dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar.Pupil dengan ukuran yang berubah-ubah, bagi beberapa pengamat, merupakan karakteristik ensefalopati metabolik.Pupil asimetris (anisokor) dengan perbedaan diameter 1 mm atau kurang ditemukan pada 20% populasi normal. Keadaan di mana salah satu pupil berkonstriksi lebih lambat dibandingkan pupil lainnya biasanya mengindikasikan suatu lesi struktural pada mesensefalon atau Nervus III.Pemeriksaan Gerakan Bola MataPusat pengaturan gerakan bola mata berdekatan dengan pusat kesadaran di batang otak. Oleh karena itu, dengan mengevaluasi gerakan bola mata maka dapat diperkirakan ada tidaknya keterlibatan batang otak pada suatu keadaan penurunan kesadaran.Jalur neural gerakan mata horizontal terkonjugasiJalur neural untuk pengaturan gerakan konjugasi horizontal bola mata dimulai dari korteks bagian frontalis (Area Brodmann 8). Serabut saraf yang mengatur gerakan konjugasi horizontal bola mata berjalan turun kemudian menyilang garis tengah pada mesensefalon bagian bawah lalu menuju formasio retikularis pontin paramedian (PPRF) di pons. Dari pons, serabur saraf diproyeksikan ke nukleus nervus abdusen (N.VI) yang akan menstimulasi gerakan otot rektus medialis pada bola mata ipsilateral dengan pons atau kontralateral dengan korteks yang mengatur gerakan bola mata. Selanjutnya serabut saraf dari nukleus N.VI menyilang garis tengah dan berjalan naik melalui fasikulus longitudinal medialis menuju nukleus nervus okulomotorius (N.III) di mesensefalon yang mempersarafi otot rektus medial pada bola mata ipsilateral dengan korteks yang mengatur gerakan bola mata. Dengan demikian stimulasi serabut saraf pada salah satu hemisfer serebri akan menyebabkan gerakan konjugasi horizontal bola mata ke arah kontralateral. Berdasarkan kelainan gerakan konjugasi horizontal bola mata yang terjadi, dapat diperkirakan lokasi dari lesi. Sebagai contoh, lesi pada hemisfer serebri kanan akan menyebabkan deviasi bola mata ke arah kanan. Sementara lesi pada pons, misalnya pada PPRF kiri akan menyebabkan bola mata tidak dapat bergerak ke arah kiri dan cenderung mengalami deviasi ke arah kanan.4Pada pasien dengan penurunan kesadaran, pemeriksaan gerakan bola mata dilakukan dengan menstimulasi sistem vestibuler melalui pemeriksaan refleks okulosefalik (dolls eye maneuver) atau refleks okulovestibuler (tes kalori).2,3,4,7Refleks okulosefalik (dolls eye maneuver) dicetuskan oleh gerakan rotasi pasif kepala dari satu sisi ke sisi lainnya atau dengan fleksi-ekstensi kepala yang dilakukan secara cepat. Manuver ini tidak boleh dilakukan pada kecurigaan adanya cedera servikal. Apabila mesensefalon atau pons intak, maka bola mata akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah rotasi kepala. Respon yang abnormal berupa tidak adanya gerakan bola mata atau gerakan bola mata yang asimetris mengimplikasikan adanya disfungsi pons atau mesensefalon.2,3,4,7,9Pada pasien dengan penurunan kesadaran di mana tidak didapatkan refleks okulosefalik, dilakukan pemeriksaan refleks okulovestibuler dengan cara irigasi liang telinga luar dengan air dingin yang merupakan stimulus yang lebih kuat dibandingkan manuver okulosefalik. Pemeriksaan ini juga dilakukan pada keadaan di mana dicurigai terdapat cedera servikal sehingga pemeriksaan refleks okulosefalik dikontraindikasikan. Setelah dipastikan bahwa membran timpani intak, kepala pasien dilevasikan 30 kemudian air dingin sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam liang telinga dalam waktu 30 detik, kemudian gerakan bola mata yang terjadi diamati. Apabila batang otak intak, maka akan terjadi deviasi konjugasi bola mata ke arah telinga yang diirigasi yang diikuti oleh nistagmus kompensasi selama beberapa detik. Dengan adanya disfungsi batang otak, refleks ini akan terganggu atau hilang. Jika ditemukan gerakan bola mata ipsilateral ke arah telinga yang diirigasi tanpa disertai gerakan bola mata kontralateral, hal ini mengindikasikan adanya kelainan pada fasikulus longitudinal medial kontralateral.2,3,4,7,9Pemeriksaan MotorikPemeriksaan respon motorik terhadap nyeri dilakukan dengan memberikan penekanan yang kuat pada supraorbita, sternum, atau ujung kuku. Respon yang timbul terhadap stimulus tersebut dapat membantu dalam menentukan lokasi dari disfungsi otak atau dalam menentukan kedalaman dari suatu penurunan kesadaran.1,2,4,6,7,9Pada disfungsi serebri yang tidak berat, pasien dapat melokalisasi stimulus nyeri yang diberikan dengan berusaha menjangkau daerah di mana stimulus diberikan atau bereaksi menghindar dari stimulus tersebut (withdrawal).Respon dekortikasi terdiri atas fleksi bilateral dari sendi siku dan pergelangan tangan disertai adduksi dari bahu dan ekstensi dari ekstremitas bawah. Sikap tubuh seperti ini biasanya disebabkan oleh lesi di atas batang otak.Respon deserebrasi terdiri atas ekstensi dari sendi siku, rotasi internal dari bahu dan lengan bawah, dan ekstensi dari ekstremitas bawah. Sikap tubuh seperti ini biasanya disebabkan oleh lesi pada mesensefalon bilateral atau lesi pada pons bagian atas.Pada pasien dengan lesi pada pons bagian bawah atau pada medulla oblongata, biasanya tidak timbul respon terhadap stimulus yang diberikan (flaccidity), namun kadang-kadang dijumpai fleksi pada sendi lutut. Sikap tubuh yang simetris bilateral dapat ditemukan baik pada gangguan struktural maupun gangguan metabolik.Sikap tubuh yang asimetris atau unilateral mengindikasikan adanya gangguan struktural pada hemisfer serebri atau batang otak kontralateral.PEMERIKSAAN PENUNJANGPasien dengan penurunan kesadaran harus segera dilakukan monitoring pulse oxymetry, tekanan darah dan elektrokardiogram, dan memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah, elektrolit, dan analisis gas darah arteri. Tes rutin fungsi hati, ginjal, tiroid, dan fungsi adrenal dan toksikologi urin juga perlu dilakukan secepatnya.5Jika dicurigai adanya intoksikasi zat tertentu, maka dapat dilakukan aspirasi dan analisis isi lambung atau dengan pemeriksaan yang lebih terpercaya berupa analisis kromatografik darah dan urin. Untuk kecurigaan adanya intoksikasi fenitoin dan antikonvulsan lain, opioid, diazepine, barbiturat, alkohol, dan substansi toksik lainnya, dapat dilakukan pemeriksaan pengukuran konsentrasi zat tersebut dalam darah. Spesimen urin dapat diperiksa untuk mengetahui berat jenis dan adanya kandungan glukosa, protein, dan aseton. Urin dengan berat jenis yang tinggi, glukosuria, asetonuria hampir selalu ditemukan pada koma diabetik.2Pemeriksaan CT scan merupakan modalitas yang dapat segera memberikan informasi akan adanya kelainan struktural intrakranial. CT scan kepala tanpa kontras harus dilakukan sesegera mungkin untuk mendeteksi ada tidaknya massa, perdarahan, edema, atau hidrosefalus. Pemeriksaan CT scan dengan kontras dan MRI dapat dilakukan untuk mendeteksi kelainan yang tidak dapat dideteksi oleh CT tanpa kontras, misalnya hematoma subdural dengan gambaran isodens atau suatu metastase multipel.3Pemeriksaan pungsi lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis bakteri, ensefalitis, dan juga perdarahan subaraknoid. Analisis cairan serebrospinal mencakup hitung jenis sel, protein, glukosa, pewarnaan Gram, kultur, dan tes spesifik atas indikasi tertentu. Pungsi lumbal berisiko menyebabkan herniasi otak, oleh karena itu sebelumnya perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI untuk memastikan tidak adanya massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif.2,3,4DAFTAR PUSTAKAStupor and coma, in Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J (editors), Pocket companion to neurology in clinical practice, 4th edition. USA:Elsevier;2003Coma and related disorders of consciousness, in: Ropper AH, Brown RH (editors), Adams and victors principles of neurology, 8th edition. USA:McGraw-Hill;2003Malese K. Coma and impaired consciousness. Available at:http://www.merckmanual.com/Bleck TP. Levels of consciousness and attention, in: Goetz CG (editor), Textbook of clinical neurology, 2nd edition. USA:Saunders;2003Stevens RD, Bhardwaj A. Approach to the comatose patient. Crit Care Med 2006 Vol. 34, No. 1Bateman DE. Neurological assessment of coma. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001;71(suppl I):i13-i17Coma, in: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP (editors), Clinical neurology, 6th edition. USA:Lange Medical Books;2003Ikeda M, Matsunaga T, Irabu N, Yoshida S. Using vital signs to diagnose impaired consciousness:cross sectional observational study. Available at:http://www.bmj.com/Badjatia N. Physiology of consciousness; pathophysiology of trauma and coma. Available at:http://neuroscienceupdate.cumc.columbia.edu/