pengembangan sumber daya air pada penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode...

Upload: soedirman

Post on 10-Feb-2018

272 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    1/19

    258 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    258

    ARAHAN SPASIAL TEKNOLOGI DRAINASE

    UNTUK MEREDUKSI GENANGAN

    DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI WATU BAGIAN HILIR

    Diah Ayu Kusumadewi1, Ludfi Djakfar2, Moh. Bisri21Mahasiswa Program Magister Universitas Brawijaya Malang

    2Dosen Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Malang.

    Abstrak: Tingginya perkembangan penduduk menyebabkan tingginya kebutuhan akan hunian besertasarana prasarana pendukungnya, padahal luas wilayah relatif tetap. Hal ini menyebabkan tingginya alih

    fungsi ruang terbuka menjadi terbangun. Sehingga apabila terjadi hujan, selalu terdapat genangan. Sub

    Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Watu bagian Hilir adalah salah satu lokasi yang cukup diminati pe-

    ngembang untuk membangun perumahan. Tercatat di lokasi studi terjadi peningkatan jumlah lokasi ge-nangan dengan lama genangan dan tinggi genangan yang bervariasi. Di sisi lain belum ada penanganan

    genangan dengan pendekatan tata ruang air, sehingga tercipta penataan ruang daratan dengan membe-

    rikan ruang yang semestinya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui proses

    infiltrasi.

    Tujuan penelitian ini adalah memberikan arahan spasial teknik drainase untuk mereduksi genangan di

    Sub DAS Watu bagian Hilir. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif, melalui analisa penggunaan

    lahan, analisa resapan air, analisa laju limpasan permukaan, dan analisa sistem drainase, Analisis dila-

    kukan terhadap data eksisting Tahun 2010 dengan data pada Tahun 2030 berdasarkan Rencana Tata

    Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030. Berdasar analisa, pada tahun 2010, luas ruang terbangun

    adalah 207,36 Ha (31,82%) dan ruang terbuka 444,36 Ha (68,18%). Pada Tahun 2030 terjadi peningkatan

    ruang terbangun menjadi 417,97 Ha (64,13%) diikuti penurunan ruang terbuka menjadi 233,75 Ha

    (35,87%). Terjadi penurunan daya resap air dari 240.888,40 m3/tahun pada Tahun 2010 menjadi 117.444,40

    m3/tahun pada Tahun 2030. Dan terjadi peningkatan laju aliran permukaan dari 118,622 m3/detik pada

    Tahun 2010 menjadi 136,874 m3/detik pada Tahun 2030. Dari hasil analisa sistem drainase diperoleh

    kondisi eksisting 33% tidak tersedia drainase, 17% Saluran drainase tertutup bangunan, 6% Saluran

    drainase berfungsi ganda sebagai saluran irigasi, 10% Saluran drainase terlalu kecil, 14% Saluran

    drainase tanpa inlet atau bibir saluran lebih tinggi daripada muka jalan, 11% Saluran drainase tidak

    terpelihara atau saluran ditumbuhi rumput, dan 8% Saluran dalam kondisi baik

    Dengan melihat data hasil analisis yang ada serta kajian teorinya, maka Arahan spasial teknologi drainase

    untuk mereduksi genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu bagian Hilir adalah sistem eko-drainase

    atau drainase ramah lingkungan, yang menyinergikan praktek penataan ruang dengan konservasi air.

    Arahan spasial eko-drainase di Sub DAS Watu bagian Hilir adalah (1). Pemisahan antara saluran drainase

    yang mengalirkan air limbah rumah tangga dengan saluran drainase air hujan, (2). Pembuatan sumur

    resapan individu pada koridor jalan utama, terutama pada bangunan hunian menengah, hunian besar,

    sarana perdagangan dan jasa, sarana industri dan pergudangan, sarana pendidikan dan kesehatan, (3).Pembuatan sumur resapan kolektif pada bangunan dengan kepadatan tinggi, terutama bangunan hunian

    sangat kecil dan kecil/sederhana, dan (4). Membuat kolam resapan bagi perumahan formal pada topografi

    cekungan.

    Abstract:The high population growth have led to higher demand for housing and supporting infrastruc-ture, but the area is relatively fixed. This leads causing high conversion of open space to be built. So if it

    rains, there is always a pool. In downstrean Sub Water Catchment Area of Watu is one of the quite interested

    location

    for developers to build housing. Recorded at the studied location, increased number of sites pool with long

    pool and varying height of pools. On the other hand there has been no approach to handling spatial puddle

    of water, so as to create spatial land by providing an appropriate space for water to enter the maximum into

    the ground through infiltration process.The purpose of this study is to provide the spatial direction of drainage techniques to reduce puddles on the

    Lower Sub-basin Watu. The method used were descriptive method, through the analysis of land use, water

    absorption analysis, analysis of the rate of surface runoff and drainage system analysis. Analyses were

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    2/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 259

    performed on data with the data existing in the year 2010 based on the end year plan from Kota Malang

    Spatial Plan Year 2010-2030. Based on the analysis, in 2010, woke up the living space is 207.36 ha

    (31.82%) and 444.36 ha of open space (68.18%). In the year 2030 an increase in space woke up onto

    417.97 ha (64.13%) followed by reduction of open space to be 233.75 ha (35.87%). A decrease in water

    absorption of the Year 2010 m3/year 240,888.40 to 117,444.40 m3/year in the year 2030. And an increase

    in flow rate on the surface of m3/second 118.622 136.874 m3/second Year 2010 to the Year 2030. From theanalysis of the drainage system obtained 33% of the existing conditions are not available drainage, drain-

    age channels covered 17% of the building, 6% of the drainage channels double as irrigation canals,

    drainage channels 10% too small, 14% with no inlet or drainage channels lip channels higher than face

    the street, 11% poorly maintained drainage channel or channels overgrown with grass, and 8% tract in

    good condition.

    By looking at the result of data analysis and assessment of existing theory, then the directives of spatial

    technology to reduce the pool of drainage in Sub Water Catchment Area of Watu is the eco-drainage

    technology or drainage eco-friendly environment, which synergize with the spatial practices of water

    conservation. Spatial direction of eco-drainage in the Lower Sub-basin Watu are (1). The separation

    between the drainage channel that drains domestic wastewater with rain water drainage, (2). Preparation

    of individual wells on the main road corridors, particularly in the residential building medium, large

    residential, commercial and service facilities, industry and warehousing facilities, education and healthfacilities, (3). Making collective wells at high density buildings, especially residential buildings are very

    small and small / simple, and (4). Creating a catchment pond for formal housing in the topography of the

    basin.

    sendiri atau bahkan berkumpul di luar badan air. Jadi

    menata ruang untuk pendirian bangunan harus satu

    paket dengan menata ruang untuk jalannya air di se-

    kitar rencana bangunan dimaksud.

    Konflik antara penataan ruang dengan penge-

    lolaan sumber daya air yaitu penataan ruang lebih

    cenderung direncanakan dengan pendekatan wilayahadministrasi. Sedangkan pengelolaan sumber daya

    air dilakukan dengan pendekatan wilayah sungai atau

    melalui unit daerah aliran sungai. Disamping itu, kon-

    flik tersebut menyangkut konservasi sumber daya

    air dalam pengelolaan sumber daya air dan kawasan

    budidaya dalam penataan ruang. Di satu sisi untuk

    memenuhi aspek konservasi sumber daya air adalah

    bagaimana bisa menahan aliran permukaan (run off)

    yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan se-

    lama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infil-

    trasi). Di sisi lain adalah adanya kawasan budidayadalam penataan ruang, yang biasanya berada pada

    kawasan konservasi.

    Tidak ada pembangunan yang tidak mengguna-

    kan ruang. Pembangunan gedung, jalan, saluran, dan

    semua bentuk pembangunan fisik lainnya selalu

    menggunakan ruang. Oleh karena itu, pembangunan

    selalu menjadi kambing hitam bagi sebagian orang

    atas terjadinya genangan. Jadi pembangunan di satu

    ruang tertentu mengakibatkan genangan di ruang

    yang lain.

    Menata ruang daratan dengan memberikan tem-pat yang semestinya bagi air untuk dapat masuk se-

    cara maksimal ke dalam tanah melalui proses infiltrasi

    adalah upaya menata ruang air. Dengan demikian

    Genangan adalah peristiwa manakala kawasan di-

    penuhi air karena tidak ada drainase yang mematus

    air tersebut keluar kawasan (Sobirin,2007). Jadi, ge-

    nangan berhubungan erat dengan resapan dan saluran

    drainase. Genangan didefinisikan sebagai sekumpu-

    lan air yang berhenti mengalir di tempat-tempat yang

    bukan merupakan badan air.Genangan ditengarai oleh sebagian pengamat

    perkotaan dan lingkungan hidup, sebagai salah satu

    akibat adanya konflik kepentingan dan kebutuhan an-

    tara manusia dengan air. Konflik tersebut meliputi

    konflik antara ruang terbangun dengan ruang terbuka

    hijau, konflik antara tata ruang bangunan dengan tata

    ruang air, dan konflik antara penataan ruang dengan

    pengelolaan sumber daya air.

    Konflik antara ruang terbangun dengan ruang

    terbuka hijau yaitu meningkatnya ruang terbangun

    menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau,yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan aliran

    permukaan dan berkurangnya air yang meresap ke

    dalam tanah menjadi air tanah. Padahal bagi sebagian

    orang, perubahan penggunaan lahan tidak terbangun

    menjadi terbangun mengandung arti telah terjadi pe-

    ningkatan nilai ekonomi lahan.

    Konflik antara tata ruang bangunan dengan tata

    ruang air yaitu terisinya suatu ruang untuk bangunan

    harus diikuti dengan penataan arah aliran air. Air se-

    lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Maka

    pada saat mendirikan bangunan, harus selalu dibuat-kan pengarah aliran menuju badan air. Sehingga air

    yang jatuh di atas permukaan yang terbangun, terarah

    jalannya menuju badan air, dan tidak mencari jalan

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    3/19

    260 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    kapasitas limpasan (run off) air menjadi minimal dan

    berdampak pada konservasi air tanah. Selain itu, hal

    lain yang harus dipertimbangkan dalam tata ruang

    air adalah dengan memahami bahwa air selalu meng-

    alir ke tempat yang lebih rendah dan air membutuh-kan jalan atau tempat untuk mengalir, baik melalui

    sistem alami berupa sungai, maupun sistem buatan

    berupa saluran buatan.

    Rachmat Fajar Lubis dalam Majalah Inovasi On-

    line ISSN: 0917-8376 Vol. 7 XVIII Juni 2006, menulis

    bahwa Air merupakan salah satu parameter kendali

    dalam tata ruang. Pengembangan tata ruang sangat

    berdampak terhadap siklus air yang ada di suatu

    wilayah sungai. Siklus air tersebut maksudnya adalah

    siklus hidrologi, yaitu siklus keseimbangan antara air

    hujan, air permukaan, dan air bawah tanah (air tanah).

    Air yang harusnya meresap sebagai infltrasi dan men-

    jadi imbuhan bagi air tanah bila terhalang akan ber-

    akibat meningkatnya aliran permukaan dan menye-

    babkan genangan air bila tidak diarahkan masuk ke

    badan air.

    Perkembangan suatu kota biasanya ditandai de-

    ngan indikator pertumbuhan penduduk yang tinggi,

    akibat semakin tingginya minat penduduk untuk bisa

    bekerja dan bertempat tinggal di kota tersebut, se-

    hingga arus urbanisasi semakin meningkat. Pening-

    katan jumlah penduduk biasanya diikuti dengan tun-

    tutan penyediaan sarana dan prasarananya. Konse-kuensi logis dari rantai perkembangan kota ini adalah

    terjadinya perubahan fungsi guna lahan atau alih fung-

    si lahan. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cen-

    derung ke arah penutupan lahan dengan bahan-bahan

    yang tidak tembus air (impervious) seperti semen

    dan aspal, sehingga mengakibatkan terganggunya ke-

    seimbangan hidrologi. Kondisi seperti ini akan se-

    makin parah apabila kapasitas saluran drainase yang

    diharapkan mampu membawa air ke sungai tidak

    mencukupi, sehingga menimbulkan genangan di tem-

    pat-tempat tertentu yang apabila dibiarkan akan se-makin meluas dan menimbulkan kerusakan fungsi

    prasarana kota lainnya.

    Drainase merupakan suatu sistem yang dibuat

    untuk menangani persoalan kelebihan air, baik yang

    berada di atas maupun di bawah permukaan. Drai-

    nase bukan satu-satunya metode untuk mengatasi

    genangan, namun dengan kondisi sistem drainase

    yang baik, dapat mengurangi dampak buruk akibat

    kelebihan air pada permukaan tanah.

    Kota Malang, sebagai kota orde 2 di wilayah

    Propinsi Jawa Timur, yang memiliki cuaca cukup ber-sahabat dan lingkungan pendidikan yang menarik,

    menjadi daya tarik dan alternatif hunian yang nyaman

    bagi sebagian masyarakat. Perkembangan Kota Ma-

    lang, yang diikuti dengan peningkatan daya tarik eko-

    nomi kota, peningkatan laju urbanisasi, dan pada

    akhirnya peningkatan penyediaan prasarana hunian

    dan fasilitas sarana pendukungnya, membawa kon-

    sekuensi tidak terelakkannya pengalihfungsian lahan,dari lahan dengan tutupan vegetasi menjadi lahan de-

    ngan tutupan beton, aspal, dan material tutupan lahan

    yang tidak tembus air.

    Fenomena terjadinya genangan akibat curah hu-

    jan di Kota Malang saat ini juga sudah mulai tampak

    umum dan semakin meluas, terutama pada saat terjadi

    hujan dengan intensitas tinggi dan cukup lama. Hal

    ini tentunya cukup mengejutkan mengingat Kota Ma-

    lang adalah kota yang memiliki topografi dataran ting-

    gi, dan dilintasi sungai-sungai besar yang berfungsi

    sebagai drainase utama (main drain).

    Sejak sekitar Tahun 1995, genangan menjadi ba-

    gian dari masalah serius yang timbul di Kota Malang.

    Air banyak menggenang di ruang manfaat jalan (ru-

    maja) bahkan kadang prasarana jalan menjadi jalan-

    nya air karena kapasitas prasarana saluran drainase

    tidak mencukupi, karena tidak adanya jalur air menuju

    saluran drainase, atau karena posisi jalan lebih rendah

    daripada inlet saluran drainase. Penanganan per titik

    genangan telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Ma-

    lang, tetapi tidak menyelesaikan permasalahan se-

    cara tuntas. Bahkan titik-titik genangan semakin ba-

    nyak dan meluas. Penanganan genangan oleh Pe-merintah Kota Malang yang cenderung melihat satu

    titik genangan, bukan satu sistem genangan, membuat

    genangan sebenarnya hanya beralih tempat.

    Pembangunan dan perkembangan bangunan di

    Kota Malang tidak dapat dihindarkan dan dihentikan,

    akan tetapi perlu dilakukan penataan pemanfaatan

    ruang dengan memperhatikan tata ruang airnya, mak-

    sudnya tetap memberikan tempat yang semestinya

    bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam

    tanah melalui proses infiltrasi dan mampu mengarah-

    kan air untuk mengalir ke badan air sehingga terciptaruang yang mampu meminimasi dan mengeleminir

    terjadinya genangan akibat pembangunan.

    Genangan seharusnya bukan masalah bagi Kota

    Malang, mengingat keadaan topografi Kota Malang

    yang berada pada daerah pegunungan/dataran tinggi

    dengan ketinggian rata-rata 380 667 meter di atas

    permukaan laut dengan kemiringan yang bervariasi

    sebagian besar antara 0 15% serta terdapat sungai-

    sungai besar yang membelah Kota Malang. Sebagai

    suatu drainase alam, perananan sungai-sungai yang

    ada di Kota Malang sebenarnya sangat membantudalam usaha menata dan mengembangkan sistem

    drainase kota.

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    4/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 261

    Sungai-sungai yang melewati Kota Malang ada-

    lah Sungai Brantas, Sungai Metro, Sungai Amprong,

    Sungai Bango, dan Sungai Sukun. Kelima Sungai ter-

    sebut membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)

    Brantas Hulu, DAS Metro dan DAS Amprong. Su-ngai Sukun membentuk Sub DAS Sukun yang me-

    rupakan bagian dari DAS Metro. Sedangkan Sungai

    Bango membentuk Sub DAS Bango yang merupakan

    bagian dari DAS Amprong.

    Pada Tahun 2006, Pemerintah Kota Malang te-

    lah membuat Studi Drainase Berbasis Daerah Peng-

    aliran Sungai (DPS) untuk DPS Metro, DPS Brantas,

    DPS Bango, DPS Amprong, dan DPS Sukun. Akan

    tetapi solusi yang disampaikan dalam studi tersebut

    hanya solusi teknis struktural, yakni hanya penangan-

    an struktural fisik prasarana saluran drainasenya. Pa-

    dahal dengan pendekatan DPS, ada banyak solusi

    non struktural yang bisa dilakukan.

    Banjir di Kota Malang mengakibatkan banyak

    rumah terendam di Kelurahan Bandungrejosari, Ke-

    camatan Sukun, Kota Malang. Di kelurahan itu, se-

    bagian besar rumah terendam air setinggi 170 cm

    dan 80 orang warga diungsikan ke tempat yang lebih

    aman di rumah-rumah penduduk (http://www.tempo

    interaktif.com tanggal 21 Nopember 2005). Hal ini

    sangat mengejutkan, mengingat lokasi dimaksud luas

    ruang terbukanya jauh lebih besar dibandingkan luas

    ruang terbangunnya.Pemerintah Kota (Pemkot) Malang menyatakan

    11 lokasi di Kota Malang sebagai daerah rawan ban-

    jir yang lokasinya tersebar di dalam kota atau jalan

    protokol, sedangkan sisanya di daerah pinggiran. Sa-

    lah satunya adalah Jalan Sudanco Supriadi, dan se-

    kitarnya. Beberapa lokasi genangan yang cukup pa-

    rah di pinggiran kota adalah di Kelurahan Bandung-

    rejosari dan sekitarnya yang saat ini mulai banyak

    dilirik sebagai lokasi-lokasi hunian (http:// www.

    tempointeraktif.com tanggal 25 Nopember 2005).

    SDN 1 Bandungrejosari tutup karena tergenang,setelah selama 2 (dua) hari Kota Malang dilanda hu-

    jan terus menerus. Pusat perbelanjaan di wilayah ke-

    camatan Klojen juga menjadi titik-titik genangan yang

    belum bisa dipecahkan (http://www.kompas.com

    tanggal 17 Pebruari 2010)

    Bisnis properti yang semakin marak menjadi pe-

    nyebab utama terjadinya banjir di perkotaan. Area

    parkir air berubah fungsi menjadi lokasi bangunan.

    Hak air untuk meresap ke dalam tanah terhalangi

    lapisan kedap air, tanpa ada pengganti bagi daerah

    resapan. Peristiwa ini menjadi dosa bersama seluruhstakeholder pembangunan kota (Rudianto dalam

    http://www.bebasbanjir2025.com tanggal 4 Januari

    2011).

    Studi yang dilakukan penulis, dilatarbelakangi ku-

    rang adanya arahan spasial teknologi drainase untuk

    mengurangi genangan tanpa menghambat pemba-

    ngunan. Lokasi yang dipilih adalah Sub Daerah Aliran

    Sungai (Sub DAS) Watu bagian Hilir, yang secaraadministratif adalah Kelurahan Bandungrejosari dan

    Kelurahan Bakalankrajan Kecamatan Sukun. Sub

    DAS Watu bagian Hilir adalah salah satu unit Daerah

    Aliran Sungai (DAS) Metro yang merupakan bagian

    dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Brantas. Kedua

    kelurahan tersebut merupakan 2 (dua) kelurahan dari

    57 (lima puluh tujuh) kelurahan di Kota Malang, yang

    cukup diminati para pengembang perumahan.

    Pada area Sub DAS Watu bagian Hilir, luas area

    terbangunnya lebih kecil dibandingkan luas area yang

    belum terbangun, akan tetapi setiap terjadi hujan yang

    cukup lama atau hujan dengan intensitas relatif tinggi,

    selalu ditemui lokasi-lokasi yang tergenang, dengan

    tinggi dan durasi genangan yang bervariasi. Dengan

    minat yang tinggi dari pengembang perumahan untuk

    mendirikan bangunan hunian sebagai perumahan for-

    mal disertai fasilitas sarana dan prasarana pendu-

    kungnya, maka wilayah lokasi studi memiliki kecen-

    derungan potensi genangan yang meningkat, dan apa-

    bila tidak dilakukan tindakan akan menimbulkan dam-

    pak negatif seperti gangguan terhadap aktivitas atau

    ketidaknyamanan penduduk dan ketidaksehatan ling-

    kungan.

    Perumusan Masalah

    Dari latar belakang maka rumusan masalahnya

    adalah: Bagaimana arahan spasial mengurangi ge-

    nangan tanpa menghambat pembangunan di Sub

    DAS Watu bagian Hilir?

    Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat

    maka tujuan dari studi ini adalah menganalisis arahan

    spasial teknologi drainase untuk mengurangi genang-an tanpa menghambat pembangunan di Sub DAS

    Watu bagian Hilir.

    Manfaat Penelitian

    Manfaat yang dapat diperoleh dengan dilaku-

    kannya Studi ini adalah:

    1. Bagi Pemerintah Kota Malang: Sebagai masu-

    kan pada Pemerintah Kota Malang, mengenai

    pentingnya membangun dengan menyeimbang-

    kan antara kepentingan tata ruang dan konser-

    vasi air.2. Bagi Akademisi: Memberi informasi tentang kon-

    sep mengurangi genangan, tanpa mengkambing-

    hitamkan pembangunan

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    5/19

    262 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    3. Bagi masyarakat Kota Malang secara umum:

    Memberi informasi dan sebagai pembuka

    wawasan akan pentingnya menyeimbangkan

    penataan ruang dan konservasi air.

    Ruang Lingkup Materi

    Berdasarkan tujuan studi, maka materi yang di-

    bahas meliputi:

    1. Tinjauan spasial adalah tinjauan keruangan, da-

    lam hal ini adalah satu kesatuan Sub Daerah

    Aliran Sungai Watu bagian Hilir, meliputi ruang

    terbangun dan tidak terbangun.

    2. Teknologi drainase adalah metode drainase atau

    metode mengelola kelebihan air di agar tidak

    menggenang dan menimbulkan dampak lanjutan.

    Kondisi drainase di lokasi studi dititikberatkan

    sampai dengan saluran drainase pengumpul dan

    pembawa, tanpa perhitungan detail kapasitas sa-

    luran.

    3. Genangan adalah sekumpulan air yang tidak me-

    resap ke dalam tanah dan tidak mengalir ke lo-

    kasi yang lebih rendah, diidentifikasikan dengan

    limpasan air permukaan

    4. Tinjauan tata ruang air dianalogikan melalui pe-

    nataan jalannya air, agar air hujan yang jatuh

    dikelola jalannya air yang meresap dan jalannya

    air yang mengalir menuju saluran drainase utama

    (main drain. Daya resap air ditinjau secara spa-sial, tanpa meninjau jenis tanahnya, karena jenis

    tanah di wilayah studi relatif homogen dengan

    daya serap yang relatif seragam.

    Ruang lingkup wilayah

    Pembatasan ruang lingkup wilayah dilakukan

    untuk memfokuskan lokasi studi, berkaitan dengan

    keterbatasan waktu kajian. Wilayah studi yang dipilih

    adalah sub Daerah Aliran Sungai Watu bagian Hilir

    yakni Sub DAS Watu yang masuk dalam sebagian

    wilayah Kelurahan Bandungrejosari dan KelurahanBakalankrajan, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Sub

    DAS Watu merupakan salah satu unit Daerah Aliran

    Sungai Metro. Sungai Metro merupakan sungai orde

    2 dari Sungai Brantas. Orientasi lokasi studi disajikan

    pada Gambar 1 Gambar 4.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Ruang Terbangun

    Ketersediaan ruang adalah tidak tak terbatas.

    Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, ke-

    mungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ru-

    Gambar 1. SWS Brantas

    Gambar 2. DAS Metro

    Gambar 3. Sub DAS Watu

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    6/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 263

    ang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu,

    diperlukan penataan ruang untuk mengatur peman-

    faatannya berdasarkan besaran, jenis kegiatan, fungsi

    lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan (Ano-

    nim, 2007: 5).

    Di wilayah perkotaan, ruang terbagi atas Ruang

    terbuka dan Ruang terbangun. Ruang terbuka yakni

    lahan tanpa atau dengan sedikit bangunan atau de-

    ngan jarak bangunan yang saling berjauhan, dan da-

    pat berupa pertamanan, tempat olah raga, tempat

    bermain anak-anak, pekuburan, serta daerah hijau

    pada umumnya (Kamus Tata Ruang, 1998: 94).

    Tata guna tanah di perkotaan pada umumnya

    terdiri dari dua jenis penggunaan (Jayadinata, 1992:23), yaitu sebagai berikut:

    1. Kawasan terbangun, yaitu kawasan atau area

    yang telah terisi oleh bangunan fisik seperti pe-

    rumahan, fasilitas umum dan sosial, serta pra-

    sarana kota lainnya.

    2. Kawasan tidak terbangun, yaitu kawasan atau

    area yang belum mendapatkan perlakuan fisik,

    berupa lahan kosong, ruang terbuka hijau, per-

    tanian, dan lain sebagainya.

    Banjir dan GenanganMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poer-

    wadarminta, 1990: 313), Genangan berasal dari kata

    genang yang artinya terhenti mengalir. Sehingga

    pengertian genangan air adalah air yang berhenti

    mengalir pada suatu area tertentu yang bukan me-

    rupakan badan air atau tempat air. Namun demikian

    bagi masyarakat secara umum, baik genangan mau-

    pun banjir disamaratakan istilahnya sebagai banjir.

    Banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi

    diakibatkan antara lain oleh sebab-sebab berikut ini

    (Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2005: 71):1. Sebab pengaruh tindakan manusia:

    a. Perubahan tata guna lahan (land use),

    b. Pembuangan sampah,

    c. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drai-

    nase,

    d. Perencanaan sistem pengendalian banjir ti-

    dak tepat,

    e. Penurunan tanah,f. Tidak berfungsinya sistem drainase lahan,

    g. Bendung dan bangunan air,

    h. Kerusakan bangunan pengendali banjir.

    2. Sebab alami:

    a. Erosi dan sedimentasi,

    b. Curah hujan,

    c. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai,

    d. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak

    memadai,

    e. Pengaruh air pasang,

    f. Penurunan tanah,

    g. Drainase lahan.

    Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab uta-

    ma banjir dibandingkan dengan yang lainnya (Kodo-

    atie dan Roestam Sjarief, 2005: 73).

    Terdapat 2 (dua) pendekatan dalam pengenda-

    lian banjir dan genangan air (Anonim, 2003: 3-1):

    1. Pengendalian Struktural (Pengendalian terhadap

    banjir)

    Dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, ter-

    utama dalam penyediaan prasarana dan sarana

    serta penanggulangan banjir.2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian ter-

    hadap Pemanfaatan Ruang)

    Dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang

    terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa

    maupun materi, yang dilakukan melalui penge-

    lolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan

    banjir,flood proofing, penataan sistem permu-

    kiman, sistem peringatan dini, mekanisme per-

    ijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan

    upaya pembatasan (limitasi) pemanfatan lahan

    dalam rangka mempertahankan keseimbanganekosistem.

    Daerah Aliran Sungai (DAS) /

    Daerah Pengaliran Sungai (DPS)

    Daerah Aliran Sungai menurut Undang-Undang

    No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (2004:

    8) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan

    satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai-

    nya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan

    mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke da-

    nau atau ke laut secara alami, yang batas di daratmerupakan pemisah topografis dan batas di laut sam-

    pai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh

    aktivitas daratan.

    Gambar 4. Sub DAS Watu Bagian Hilir

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    7/19

    264 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    Definisi lain yaitu suatu daerah tertentu yang

    bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga

    merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-

    anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam

    fungsinya menampung air yang berasal dari air hujandan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanan-

    nya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berda-

    sarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi ke-

    seimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai,

    meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan

    tempat sumber air dan semua curahan air hujan yang

    mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara

    sungai. Ada yang menyebut dengan Daerah Peng-

    aliran Sungai (DPS) dan Daerah Tangkapan Air

    (DTA). Dalam istilah bahasa Inggris juga ada bebe-

    rapa macam istilah, yaitu Catchment Area, Water-

    shed, atau River Basin.

    Sedangkan menurut Asdak (1995: 4), Daerah

    Pengaliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang

    secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung

    gunung yang menampung dan menyimpan air hujan

    untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui su-

    ngai utama. DAS berfungsi menampung, menyimpan,

    dan mengalirkan air (hujan) sehingga untuk keseim-

    bangan hidrologis memerlukan daerah yang berfung-

    si: resapan air, kontrol erosi dan limpasan permukaan.

    Jadi Daerah Pengaliran sebuah sungai adalah

    daerah tempat presipitasi (hujan) mengkonsentrasike sungai (Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 1999:

    169).

    Hidrologi Perkotaan

    Siklus hidrologi menunjukkan gerakan air di per-

    mukaan bumi. Selama berlangsungnya Siklus hidro-

    logi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke at-

    mosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali

    lagi ke laut yang tidak pernah habis, air akan tertahan

    (sementara) di sungai, danau/waduk, dalam tanah

    sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia ataumakhluk lain (Asdak, 1995: 7).

    Siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang

    keseimbangan air secara global di bumi. Siklus ini

    juga menunjukkan semua hal yang berhubungan de-

    ngan air (Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2005: 8).

    Dengan perkembangan suatu wilayah atau kawasan,terutama perkotaan, tidak dapat dihindari adanya pem-

    bangunan yang apabila tidak dilaksanakan secara ter-

    padu dan meyeluruh (terintegrasi dan holistik) akan

    mempengaruhi proses-proses alami dalam siklus hi-

    drologi yang akhirnya menyebabkan terganggunya

    keseimbangan hidrologi.

    Di dalam hidrologi perkotaan, pengaruh urbani-

    sasi dan perubahan penggunaan lahan berperan pen-

    ting. Aspek-aspek urbanisasi yang berpengaruh ter-

    hadap proses hidrologi perkotaan adalah (1) mening-

    katnya kepadatan penduduk, dan (2) meningkatnya

    kepadatan bangunan di daerah perkotaan (Liong, 1991

    dalam Anwar 2002).

    Kemampuan Resap Air Hujan

    Resapan air dalam tanah ialah suatu proses pe-

    nambahan jumlah air ke dalam ruang di antara butir

    tanah yang kosong sehingga jenuh air melalui proses

    infiltrasi dan perkolasi (Anonim, 2004: II-7). Infiltrasi

    adalah perjalanan air ke dalam tanah sebagai akibat

    gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi

    (gerakan air ke arah vertikal). Setelah keadaan jenuh

    pada lapisan tanah bagian atas terlampaui, sebagiandari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam

    sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal se-

    bagai proses Perkolasi (Asdak, 1995: 212). Laju

    maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dina-

    makan kapasitas infiltrasi, yang mana terjadi ketika

    intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam

    menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila in-

    tensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas infiltrasi,

    maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.

    Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang sa-

    ling tidak tergantung, namun saling terkait (Asdak,1995: 213), yakni:

    (1). Proses masuknya air hujan melalui pori-pori per-

    mukaan tanah

    (2). Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah

    (3). Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain

    (bawah, samping, dan atas)

    Jadi infiltrasi adalah unsur dalam siklus hidrologi

    yang membawa air meresap ke dalam tanah sehingga

    menambah air tanah. Apabila tanah tertutup oleh la-

    pisan yang kedap air, maka air hujan yang jatuh akanlangsung melimpas. Hal ini menunjukkan bila dalamGambar 5. Siklus hidrologi

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    8/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 265

    suatu hamparan lahan yang tadinya tanah kosong

    atau tanah bervegetasi berubah menjadi lahan yang

    diisi bangunan, maka kemampuan resap air hujan di

    kawasan tersebut berkurang, dan limpasan permu-

    kaan bertambah.Sunarto (1985) dalam Susilawati (2000: 19)

    menggunakan formula perhitungan jumlah air yang

    meresap ke dalam suatu kawasan sebagai berikut:

    1000

    fHIa (1)

    dimana:

    Ia

    = imbuhan alami (sebelum terjadi perubahan

    fungsi lahan) (m3/tahun)

    f = angka koefisien resapan

    H = curah hujan tahunan (mm)

    A = luas kawasan terbuka (m2

    )

    Dalam rumus di atas luas kawasan adalah A

    m2, bagian berupa atap bangunan (yang akan me-

    nangkap air hujan untuk diresapkan) mempunyai luas

    sebesarA m2, yang mana merupakan persentase

    terhadap luasan A tersebut. Bagian yang terbuka (ti-

    dak dilakukan penyemenan) dimana air hujan dapat

    meresap secara alami mempunyai luasan sebesar

    A m2. Sisa seluas (100% - ) tidak dapat diresapi

    oleh air.

    Daya resap air suatu area tergantung dari be-berapa faktor antara lain ialah Jenis tanah, Kelereng-

    an tanah, Jenis tutupan lahan, Intensitas dan durasi

    curah hujan. Dari berbagai hal yang berpengaruh da-

    lam perhitungan daya resap air itu, maka faktor jenis

    tutupan lahan dan faktor kemiringan lahan yang mem-

    punyai pengaruh cukup besar. Pengaruh tersebut di

    dalam rumus Sunarto (1985) dalam Susilawati (2000:

    19) direpresentasikan dalam parameter f (koefisien

    resapan). Besarnya koefisien f adalah

    f =1 c (2)

    dimana:

    c = koefisien limpasan (run off) yang harganya

    tergantung dari jenis pengunaan lahan dan

    kelerengan lahan (sebagaimana Tabel 2.3)

    Limpasan Permukaan

    Bilamana curah hujan mencapai permukaan ta-

    nah, maka seluruh atau sebagiannya akan meresap

    ke dalam tanah. Bagian yang tidak teresap akan men-

    jadi limpasan permukaan (surface run off) (Sosro-

    darsono, 1999: 71).

    Perubahan tata guna lahan merupakan penyebabutama banjir dibandingkan dengan yang lainnya. Se-

    cara kuantitatif pengaruh perubahan tata guna lahan

    ditunjukkan dalam gambar 6 (Kodoatie, 2005: 74)

    Gambar 6. Peningkatan debit puncak akibat perubahan

    tata guna lahan

    Perubahan tata guna lahan memberikan kontri-busi dominan kepada aliran permukaan (run off).

    Hujan yang jatuh ke tanah, airnya akan menjadi aliran

    permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke

    dalam tanah tergantung kondisi tanahnya.

    Faktor penutup lahan akan cukup signifikan da-

    lam pengurangan ataupun peningkatan aliran permu-

    kaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup

    lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke

    wilayah tersebut, faktor penutup lahan ini akan sa-

    ngat memperlambat kecepatan aliran permukaan,

    bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol (0).

    Gambar 7. Ilustrasi perubahan debit akibat perubahan

    tata guna lahan (Kodoatie, 2005: 76)

    Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan

    dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (c), ya-

    itu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara

    besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan.

    Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan sa-

    lah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu

    DAS. Nilai c berkisar antara 0 sampai 1. Nilai c = 0

    menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi

    dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai

    c = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalirsebagai aliran permukaan.

    Untuk memperkirakan volume aliran permukaan,

    digunakan metode Rasional, dengan bentuk persa-

    maan matematika adalah (Suripin, 2004: 79):

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    9/19

    266 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    AIC0,002778Qp (3)

    Dimana:

    Qp

    = laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/

    detik)

    C = koefisien limpasan permukaan (0 C 1)I = intensitas hujan (mm/jam)

    A = luas DAS (Ha)

    Penggunaan rumus Rasional untuk tata guna

    lahan tidak homogen adalah (Suripin, 2004: 82):

    n

    i

    iip ACIQ1

    002778,0 (4)

    Dimana:

    Ci

    = koefisien aliran permukaan jenis penutup

    tanah iAi

    = luas lahan dengan jenis penutup tanah i

    Tata Ruang

    Tata Ruang adalah pengaturan ruang berdasar-

    kan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu, dengan

    perkataan lain, pengaturan tempat bagi berbagai ke-

    giatan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua

    pihak secara adil, menghindari persengketaan serta

    menjamin kelestarian lingkungan dibutuhkan proses

    yang dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 di-

    sebut penataan ruang (www.cifor.cfiar.org).

    Penataan ruang sebagai proses perencanaan ta-

    ta ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pe-

    manfaatan ruang merupakan satu kesatuan sistem

    yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya

    (Anonim, 2007: 6).

    Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pe-

    manfaatan ruang berupa struktur dan pola peman-

    faatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Struktur

    ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan ta-

    tanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis

    dan fungsional saling berhubungan. Sedangkan pola

    pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan ke-serasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi

    kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung), yang

    meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara,

    dan tata guna sumber daya alam lainnya (Anonim,

    2007: 32).

    Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program

    kegiatan pelaksanaan pembangunan yang meman-

    faatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan

    di dalam rencana tata ruang (Anonim, 2007: 34).

    Kegiatan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

    diselenggarakan melalui kegiatan:a. Perijinan terhadap pemanfaatan ruang

    b. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang

    c. Penertiban terhadap pemanfaatan ruang

    Pengelolaan Air Hujan

    Untuk mendapatkan solusi pengendalian banjir

    perlu perubahan referensi. Referensi lama yang

    mengkaitkan banjir kota dengan drainase kota ter-

    nyata tidak menyelesaikan masalah secara menye-luruh. Referensi baru yang diperkenalkan oleh Tri-

    weko (2000) adalah pengendalian banjir dengan pe-

    ngelolaan air hujan. Sebelum air hujan melimpas ke

    saluran drainase atau ke badan jalan, air hujan ter-

    sebut dikelola dengan teknik tertentu sehingga tidak

    menjadi limpasan permukaan.

    Prinsip dari pengelolaan air hujan tersebut adalah

    setiap pemilik lahan bertanggung jawab terhadap air

    hujan yang jatuh di atas lahan mereka. Usaha yang

    harus dilakukan adalah mengatur limpasan air hujan

    yang keluar dari lahan agar tidak melebihi debit mak-

    simum sebelum lahan tersebut dibangun. Hal ini bisa

    dilakukan dengan membangun sumur resapan, mem-

    bangun daerah resapan (percolation basin) pada

    halaman yang menggunakan perkerasan kedap air

    atau menggunakan perkerasan lolos air (paving

    Block atau grass block). Strategi ini merupakan

    upaya memperbesar resapan air hujan ke dalam ta-

    nah dan memperkecil aliran permukaan sebagai pe-

    nyebab banjir.

    Penyelesaian banjir kota dengan paradigma drai-

    nase perkotaan perlu digeser dengan paradigma pe-

    ngelolaan air hujan (stormwater management). Per-geseran paradigma lama dan paradigma baru dides-

    kripsikan pada Tabel 1.

    Sumur Resapan Individual

    Sumur Resapan Air Hujan adalah prasarana un-

    tuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah.

    Air hujan yang ditampung dan diresapkan, berasal

    dari bidang tanah, atap bangunan dan permukaan ta-

    nah yang dikedapkan untuk menjaga keseimbangan

    sistem tata air di lingkungan permukiman. Sumur re-

    sapan hanya menampung air hujan, bukan air limbah.Sumur resapan merupakan sumur atau lubang

    pada permukaan tanah yang dibuat untuk menam-

    pung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah.

    Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka

    air tanah (Kusnaedi, 2000: 1).

    Tujuan utama dari sumur resapan ini adalah

    memperbesar masuknya air ke dalam tanah sebagai

    air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan

    lebih banyak masuk ke dalam tanah dan sedikit yang

    mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Se-

    makin banyak air yang mengalir ke dalam tanah ber-arti akan banyak tersimpan air tanah di bawah per-

    mukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kem-

    bali melalui sumur-sumur.

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    10/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 267

    Kondisi yang ada Jarak minimal

    dengan sumur

    resapan (m)

    Bangunan/bangunanBatas pemilikanSumur air minum

    Aliran air (sungai)Pipa air minum

    Jalan

    Pohon besar

    3,001,5010.50

    30.003,00

    1,50

    3,00

    Gambar 9. Tata letak sumur resapan (Kusnaedi, 2000:

    14)

    Sumur resapan yang dapat diterapkan di perko-

    taan dapat berupa sumur resapan individual dan ko-

    lektif (Kusnaedi, 2000: 12). Sumur resapan individual

    adalah sumur resapan yang dibuat secara pribadi un-

    tuk masing-masing rumah. Biaya pembuatan dan pe-

    meliharaan diserahkan kepada pemiliknya. Letak su-

    mur resapan harus memperhatikan keadaan lingkung-

    an setempat. Dengan demikian sumur resapan akan

    berfungsi dengan baik tanpa menimbulkan dampak

    baru bagi kepentingan lainnya (Kusnaedi, 2000: 13).

    Sumur Resapan Kolektif

    Sumur resapan kolektif adalah sumur resapan

    yang dibangun secara bersama-sama dalam satu ka-

    wasan tertentu. Sumur resapan ini dapat dibuat per

    sepuluh rumah, per blok, satu RT, atau satu kawasan

    No. Paradigma Lama Paradigma Baru

    1. Air hujan merupakan bencana, jadi harus segera

    dibuang agar tidak menimbulkan genangan

    Air hujan merupakan rahmat, jadi harus dikelola

    dengan baik. Terjadinya genangan memang harus

    dihindari, tetapi tidak berarti bahwa air hujan harus

    dibuan.2. Untuk itu dibangun saluran drainase untuk

    pembuang air hujanUntuk itu selain sistem saluran drainase jugadibangun kolam penahan untuk mengendalikan aliran

    air hujan.

    3. Titik pusat perhatian terletak pada daerah yangdilindungi, dampak permasalahn sebelah hilir

    tidak dipikirkan

    Cakrawala pendangan meliputi Daerah Aliran Sungai(DAS). Penyelesaian masalah air hujan di sebelah

    hulu jangan sampai menimbulkan masalah di sebelah

    hilir.

    4. Ruang lingkup permasalahan hanya terbatas padaaspek kuantitas air saja

    Ruang lingkup permasalahan tidak hanya terbataspada kuantitas air, tetapi juga pada aspek kualitas air.

    5. Penyelesaian asalah secara partial, terbatas padausaha untuk menghindari genangan

    Penyelesaian masalah secara terpadu selainmenghindari genangan juga memikirkan kelestarian

    sumber daya air.

    Tabel 1. Paradigma lama dan baru dalam penyelesaian banjir perkotaan

    Sumber: Triweko dalam Mukhori (2001: 28)

    Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan

    dan menampung air hujan ke dalam lubang atau su-

    mur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permu-

    kaan tanah lebih lama sehingga sedikit air dapat me-

    resap ke dalam tanah.

    Gambar 8. Prinsip kerja sumur resapan penampungan

    air hujan (Kusnaedi, 2000: 6)

    Tabel 2. Jarak minimal sumur resapan dengan bangu-

    nan lainnya

    Sumber: Kusnaedi, 2000: 13

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    11/19

    268 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    permukiman. Model yang bisa diterapkan di antara-

    nya:

    (1). Kolam resapan, bila kedalaman muka air tanah-

    nya dangkal (< 5 m) dan ketersediaan lahannya

    luas.

    Gambar 10 Ilustrasi Sumur resapan individual

    (Kusnaedi, 2000: 20)

    Gambar 11. Ilustrasi Model Kolam resapan (Kusnaedi,

    2000: 29)

    (2). Sumur dalam, bila kedalaman muka air tanahnya

    dalam (> 5 m) dan ketersediaan lahannya sempit.

    Gambar 12 Ilustrasi Model Sumur resapan dalam

    (Kusnaedi, 2000: 30)

    (3). Parit berorak, bila kedalaman muka air tanahnya

    dangkal (< 5 m) dan ketersediaan lahannya sem-

    pit.

    Gambar 13 Ilustrasi Model Parit berorak (Kusnaedi,

    2000: 31)

    Saluran Air Hujan Pracetak Berlubang

    Saluran air hujan pracetak berlubang adalah sa-

    luran air hujan yang dibuat dari bahan beton bertulang

    dengan sistem pracetak dan diberi lubang pada dasarsaluran. Fungsinya mengalirkan limpasan air hujan

    ke badan air dan meresapkan sebagian air hujan.

    Tujuannya untuk menjaga keseimbangan sistem tata

    air di lingkungan permukiman. Air yang mengalir ke

    saluran resapan adalah air hujan, bukan air limbah.

    Kepadatan Bangunan

    Kepadatan bangunan menggambarkan persen-

    tase lahan yang tertutup bangunan (land coverage)

    pada suatu lingkungan/bagian kota. Biasa diistilahkan

    dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atauBu-

    ilding Coverage Ratio (BCR).

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    12/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 269

    Kepadatan bangunandinyatakan dengan Koe-

    fisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu merupakan koe-

    fisien perbandingan antara luas lantai dasar bangunan

    terhadap luas persil/kaveling/blok peruntukan, atau

    angka perbandingan luas lahan yang tertutup bangun-an dan bangunan-bangunan dalam tiap petak perun-

    tukan dibanding dengan luas petak peruntukan.

    100%xlahanLuas

    BangunanLuasKDBBCR

    Drainase

    Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu di-

    alirkan atau dibuang, caranya dengan pembuatan sa-

    luran yang dapat menampung air hujan yang mengalir

    di permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas

    selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar. Sis-tem yang paling kecil juga dihubungkan dengan sa-

    luran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan

    infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup banyak

    limbah cair yang berada dalam saluran tersebut perlu

    diolah (treatment). Seluruh proses tersebut di atas

    yang disebut dengan sistem drainase (Kodoatie, 2010:

    95).

    Bagian infrastruktur (sistem drainase) dapat di-

    definisikan sebagai serangkaian bangunan air yang

    berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang ke-

    lebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehinggalahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari

    hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran

    penerima (interceptor drain), saluran pengumpul

    (collector drain), saluran pembawa (conveyor

    drain), saluran induk (main drain) dan badan air

    penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem

    sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-go-rong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pin-

    tu-pintu air, bangunan terjun, kolam tandon dan stasiun

    pompa. Pada sistem drainase yang lengkap, sebelum

    masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada

    instalasi pengolah air limbah (IPAL), khususnya un-

    tuk sistem tercampur. Hanya air yang telah memliki

    baku mutu tertentu yang dimasukkan ke dalam badan

    air penerima, biasanya sungai, sehingga tidak merusak

    lingkungan (Suripin, 2004:8)

    Sampai saat ini perancangan drainase didasar-

    kan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan

    seminimal mungkin menggenangi daerah layanan.

    Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air

    (pemakaian dan ketersedian) maka diperlukan suatu

    perancangan drainase yang berfilosofi bukan saja

    aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas

    pada konservasi air (Sunjoto,1987:4).

    Drainase Ramah Lingkungan atau Eko-drainase

    adalah pengelolaan drainase yang tidak menimbulkan

    dampak yang merugikan bagi lingkungan. Drainase

    ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya me-

    ngelola kelebihan air dengan cara sebesar-besarnya

    diresapkan ke dalam tanah secara alamiah ataumengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui ka-

    pasitas sungai sebelumnya. Dalam drainase ramah

    lingkungan, justru kelebihan air pada musim hujan

    harus dikelola sedemikian sehingga tidak mengalir

    secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap

    ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air

    tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Konsep

    ini sifatnya mutlak di daerah beriklim tropis dengan

    perbedaan musim hujan dan kemarau yang ekstrem

    seperti di Indonesia. Konsepnya adalah mengelola

    limpasan permukaan dengan cara mengembangkanfasilitas untuk menahan air hujan. Berdasarkan fung-

    sinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan

    menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan dan tipe

    peresapan (Suripin, 2004:231). Pola tersebut adalah:

    a. Pola detensi (menampung air sementara), mi-

    salnya dengan membuat kolam penampungan,

    b. Pola retensi (meresapkan), antara lain dengan

    membuat sumur resapan, saluran resapan, bi-

    dang resapan atau kolam resapan.

    Tata Ruang AirTata ruang air adalah bagaimana menata ruangdaratan dengan memberikan tempat yang semesti-

    Gambar 14 Saluran air hujan pracetak berlubang

    terpasang di lingkungan permukiman

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    13/19

    270 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    nya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke

    dalam tanah melalui proses infiltrasi. Dengan demi-

    kian kapasitas run offair menjadi minimal. Untuk

    mencapai hal ini maka bidang resapan air baik di

    hulu dan hilir harus memadai. Bidang resapan air dibagian hulu yang paling baik adalah apabila fungsi

    kawasan hutan dapat maksimal. Artinya, luas ka-

    wasan hutan yang ada harus dapat menampung se-

    besar-besarnya jumlah hujan yang turun. Sedangkan

    di bagian hilir, cara yang banyak dilakukan adalah

    dengan memaksimalkan luas dan fungsi hutan kota,

    ruang terbuka hijau publik maupun perorangan serta

    bidang resapan lainnya (http://www.pu.go.id/isu

    strategis/view/21)

    Hal lain yang mendasar harus dipertimbangkan

    dalam tata ruang air adalah dengan memahami bah-

    wa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah

    dan air membutuhkan jalan (saluran) baik sistem ala-

    mi (sungai, anak sungai) maupun saluran buatan (sa-

    luran drainase). Saluran-saluran tersebut harus dapat

    dilalui air dengan kapasitas maksimal sepanjang

    tahun.

    Kodoatie (2010:18) mendefinisikan tata ruang

    air sebagai wujud struktur ruang air dan pola ruang

    air. Struktur ruang air adalah susunan pusat-pusat

    sumber daya air dan sistem infrastruktur keairan yang

    berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi

    masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubunganfungsional. Pola ruang air adalah distribusi peruntukan

    ruang air dalam suatu wilayah. Peruntukan ruang

    dibagi dua yaitu untuk fungsi lindung sumber daya

    air (daerah konservasi) dan untuk fungsi budi daya

    sumber daya air (pendayagunaan sumber daya air).

    METODOLOGI PENELITIAN

    Jenis Penelitian

    Penelitian merupakan pekerjaan ilmiah yang ha-

    rus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib,

    baik mengenai prosedurnya maupun dalam proses

    berpikir tentang materinya (Nawawi, 2005: 1). Sifat

    ilmiah menitikberatkan kegiatan penelitian sebagai

    usaha menemukan kebenaran yang objektif. Kebe-

    naran itu dapat berbentuk hasil pemecahan masalah

    atau pengujian hipotesis, dan mungkin pula berupa

    pembuktian tentang adanya sesuatu yang semula be-

    lum ada, tetapi diduga mungkin ada.

    Tugas pokok penelitan terapan adalah mengung-

    kapkan sebab-sebab terjadinya suatu masalah (diag-

    nose) yang dinilai kurang menguntungkan bagi kehi-

    dupan manusia. Berdasarkan rumusan kesimpulantentang kondisi masalah dan sebab-sebabnya, tugas

    berikutnya adalah menyusun implementasi dan sa-

    ran-saran tindakan berupa alternative untuk meng-

    atasi, memperbaiki, dan menyelesaikan masalah yang

    diteliti.

    Tugas-tugas penelitian terapan bila dihubungkan

    dengan tugas-tugas penelitian sebagai kegiatan ilmiah,dapat dipilah sebagai berikut (Nawawi, 2005: 29):

    1. Tugas Eksplenatif (Explanation)

    Mampu mendeskripsikan dan menjelaskan kon-

    disi masalah yang dihadapinya.

    2. Tugas Prediktif (Prediction)

    Kemampuan memperkirakan sesuatu yang akan

    terjadi, jika ada atau tidak adanya suatu gejala

    tertentu.

    3. Tugas Kontrol (Control)

    Dilakukan berupa penyusunan implementasi dan

    saran-saran tindakan, dalam mengatur gejala-

    gejala tertentu, agar masalah yang dihadapi dapat

    diatasi.

    Studi ini termasuk dalam jenis penelitian terapan

    sebagai penelitian deskriptif. Masalah terapan yang

    diteliti berkaitan dengan fenomena makin meluasnya

    ruang terbangun yang mengindikasikan makin meluas

    pula genangan di lokasi studi, yang secara logika ka-

    rena tidak diindahkannya hak air untuk meresap ke

    dalam tanah menjadi imbuhan alami bagi simpanan

    air tanah sebagai fungsi konservasi air.

    Metode Penelitian

    Metode merupakan cara, sedang kebenaran

    yang akan diungkapkan adalah tujuan. Penggunaan

    metode dimaksudkan agar kebenaran yang diung-

    kapkan benar-benar dibentengi dengan bukti ilmiah

    yang kuat. Oleh karena itu metode dapat diartikan

    sebagai prosedur atau rangkaian cara yang sistematik

    dalam mengggali kebenaran ilmiah (Nawawi, 2005:

    71).

    Metode yang digunakan dalam membahas studi

    ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapatdiartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang

    diselidiki, dengan menggambarkan/melukiskan kea-

    daan objek penelitian pada saat sekarang berdasar-

    kan fakta-fakta yang tampak.

    Dalam studi ini, metode deskriptif yang diterap-

    kan, menggunakan bentuk studi kasus, artinya pene-

    litian dibatasi pada kasus di lokasi studi.

    Metode Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data adalah metode pen-

    catatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau kete-rangan-keterangan atau karakteristik-karakteristik

    sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    14/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 271

    menunjang atau mendukung penelitian (Hasan, 2002:

    83).

    Berdasarkan caranya, metode pengumpulan da-

    ta dalam studi ini terdiri dari data primer dan data

    sekunder

    Data Primer

    Data Primer adalah data yang diperoleh atau

    dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang

    melakukan penelitan atau yang bersangkutan yang

    memerlukannya (Hasan, 2002: 82).

    Survey untuk mengumpulkan data primer yang

    dilakukan adalah:

    1. Observasi (pengamatan lapangan), yaitu meru-

    pakan pengumpulan data yang dilakukan melalui

    pengamatan yang dilakukan, ini berarti terhadap

    data yang diamati harus tidak sekedar dilihat te-

    tapi begitu dilihat langsung diperhatikan, jika perlu

    ditanya dan dicatat segala sesuatunya. Observasi

    penelitian meliputi pengamatan terhadap aspek

    pemanfaatan ruang atau ragam penggunaan la-

    han dan kondisi saluran drainase, di wilayah lo-

    kasi studi.

    2. Dokumentasi

    Untuk melengkapi perolehan data, dilakukan pu-

    la dokumentasi hasil observasi lapangan dalam

    bentuk foto mengenai kondisi saluran drainase

    eksisting pada lokasi studi, mulai saluran peng-umpul dan saluran pembawa.

    Data sekunder

    Data sekunder adalah data yang dikutip dari sum-

    ber lain, yang kemungkinan sudah merupakan data

    dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya.

    Populasi dan Sampel

    Dalam penelitian ini, tidak diambil sampel. Peng-

    amatan dilakukan terhadap seluruh populasi wilayah

    studi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkanarahan spasial teknologi drainase agar genangan di

    lokasi studi terreduksi. Jadi jenis populasi yang men-

    jadi obyek penelitian yaitu seluruh ruang terbangun,

    No. Instansi Data yang dibutuhkan

    1. Bappeda Kota Malang - Naskah Akademis, Peta, dan Legalitas hukum RencanaTata Ruang Wilayah Kota Malang

    - Malang dalam Angka

    2. Balai Pengembangan Sumberdaya Air

    Wilayah Sungai Bango Gedangan

    - Data-data hidrologi seperti curah hujan, debit maksimum,

    kemiringan sungai, luas DAS3. Perum Jasa Tirta I - Peta SWS Brantas dan pembagian DAS nya

    4. Dinas Pekerjaan Umum Kota Malang - Data genangan

    - Data dan Peta penggunaan lahan eksisting

    Tabel 3. Instansi dan Data yang Dibutuhkan

    ragam penggunaan lahan, dan saluran drainase (pe-

    ngumpul dan pembawa) di lokasi studi.

    Variabel Penelitian

    Variabel penelitian adalah kondisi-kondisi yangoleh peneliti dimanipulasikan, dikontrol atau diobser-

    vasi dalam suatu penelitian (Narbuko, 2005: 118).

    Sedang Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen

    Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa yang di-

    maksud variabel penelitian adalah segala sesuatu yang

    akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Jadi, va-

    riabel penelitian meliputi faktor-faktor yang berperan

    dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.

    Variabel penelitian merupakan himpunan bebe-

    rapa gejala yang berfungsi sama dalam suatu masalah

    (Nawawi, 2005: 49). Di dalam satu variabel terdapat

    satu atau lebih gejala, yang mungkin pula terdiri dari

    berbagai aspek atau unsur sebagai bagian yang tidak

    terpisahkan.

    Jenis variabel dalam penelitian terapan (Nawawi,

    2005: 49) ada beberapa, namun tidak semua variabel

    harus ada dalam suatu penelitian. Jenis variabel ter-

    sebut adalah:

    1. Variabel bebas (Independence Variable)

    Variabel bebas adalah himpunan sejumlah gejala

    yang memiliki pula berbagai aspek atau unsur,

    yang berfungsi mempengaruhi atau menentukan

    munculnya variabel lain yang disebut variabelterikat. Adanya variabel ini tidak dipengaruhi atau

    tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya variabel

    lain.

    2. Variabel terikat (Dependence Variable)

    Variabel terikat adalah himpunan sejumlah gejala

    yang memiliki pula sejumlah aspek atau unsur

    di dalamnya, yang berfungsi menerima atau me-

    nyesuaikan diri dengan kondisi variabel lain, yang

    disebut variabel bebas. Muncul atau tidaknya

    variabel ini tergantung pada ada atau tidaknya

    variabel bebas.3. Variabel kontrol (Control Variable)

    Variabel kontrol merupakan himpunan gejala

    yang memiliki berbagai aspek atau unsur di da-

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    15/19

    272 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    lamnya, yang berfungsi untuk mengendalikan

    agar variabel terikat yang muncul bukan karena

    pengaruh variabel lain, tetapi benar-benar karena

    pengaruh variabel bebas yang tertentu.

    4. Variabel antara (Intervining Variable)Variabel antara merpakan himpunan sejumlah

    gejala yang memiliki beberapa aspek atau unsur

    di dalamnya, yang berfungsi mengendalikan

    agar variabel terikat yang muncul benar-benar

    karena pengaruh variabel bebas, dengan mem-

    perhitungkan pengaruhnya pada kedua variabel

    tersebut.

    5. Variabel Ekstrane (Extranicus Variable)

    Variabel ekstrane merupakan himpunan sejum-

    lah gejala yang memiliki beberapa aspek atau

    unsur di dalamnya, yang fungsinya mempenga-

    ruhi variabel bebas, sehingga pengaruhnya ter-

    hadap variabel terikat dapat berkurang atau ber-

    ubah.

    6. Variabel Moderator

    Variabel moderator merupakan himpunan sejum-

    lah gejala yang memiliki berbagai aspek atau un-

    sur di dalamnya, yang berfungsi mendominasi

    dalam kondisi suatu masalah, tanpa dihubungkan

    satu dengan yang lain.

    Variabel yang digunakan dalam studi ini dapat

    dijelaskan sebagai berikut:1. Variabel bebasnya adalah penggunaan lahan dan

    kondisi saluran drainase eksisting,

    Karena adanya penggunaan lahan mempenga-

    ruhi munculnya variabel lain, yaitu ruang terba-

    ngun dan genangan, di samping itu kondisi saluran

    drainase eksisting juga dapat mempengaruhi

    munculnya variabel genangan.

    2. Variabel terikatnya adalah ruang terbangun, ge-

    nangan, dan kemampuan meresap air,

    Karena variabel ruang terbangun dan kemam-

    puan meresap air muncul akibat adanya variabelpenggunaan. Kemampuan meresap air meng-

    akibatkan munculnya variabel genangan. Di sam-

    ping itu variabel genangan juga bisa muncul ka-

    rena variabel kondisi saluran drainase eksisting.

    3. Variabel kontrolnya adalah jenis tanah,

    Karena variabel jenis tanah bias mempengaruhi

    variasi kemampuan meresap dan genangan. Se-

    hingga variabel jenis tanah dikontrol dengan cara

    dieliminasi melalui menghilangkan variabel ter-

    sebut.

    4. Variabel antaranya tidak ada,5. Variabel ekstranenya tidak ada,

    6. Variabel moderatornya tidak ada.

    Metode Analisis

    Analisis data merupakan proses pengelompokan

    data terpilih dalam kategori yang memiliki kesamaan

    tema untuk menyelesaikan permasalahan atau hipo-

    tesa awal (Moleong, Lexy, 2000:64).

    Analisis Penggunaan Lahan

    Tahap awal studi adalah identifikasi penggunaan

    lahan di lokasi studi. Identifikasi dilakukan dengan

    membaca peta eksisting lokasi studi, kemudian men-

    cocokkan (cross check) kondisi lapang lokasi studi

    dengan peta tersebut. Hal ini menjadikan peta yang

    digunakan adalah mendekati kondisi eksisting lokasi

    studi. Plotting peta meliputi ragam penggunaan lahan,

    meliputi;

    - perumahan/permukiman,

    - perdagangan dan jasa,

    - industri dan pergudangan,

    - fasilitas umum dan sosial, serta

    - ruang terbuka hijau.

    Masing-masing ragam penggunaan lahan ini kemu-

    dian dianalisis luasannya.

    Selanjutnya adalah menganalisis luasan ruang

    terbangun dan ruang terbuka (saat ini belum terba-

    ngun). Ruang terbangun adalah ruang yang didirikan

    bangunan, dimana bila air jatuh di atasnya, maka air

    tidak dapat meresap ke dalam tanah. Sedangkan ru-

    ang terbuka, atau saat ini masih belum terbangun,adalah ruang yang belum ada bangunannya, dimana

    bila air jatuh di atasnya, maka air masih bisa meresap

    ke dalam tanah.

    Berikutnya untuk melihat gambaran pada Tahun

    akhir Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang,

    yakni pada Tahun 2030, digunakan peta pola ruang.

    Untuk memprediksi luasan ruang terbangun dan ru-

    ang terbukanya, untuk penggunaan lahan perumahan/

    permukiman, perdagangan dan jasa, industry dan per-

    gudangan, serta fasilitas umum dan sosial, dikalikan

    dengan rerata Koefisien Dasar Bangunan yakni 70%.Sedangkan untuk luasan ruang terbuka adalah 30%

    nya ditambahkan luasan ruang terbuka hijau pada

    peta pola ruang tersebut.

    Analisis Resapan Air Hujan

    Untuk menghitung jumlah air yang meresap, di-

    gunakan persamaan (1) Perhitungan dilakukan ter-

    hadap kondisi eksisiting dan kondisi akhir tahun pe-

    rencanaan Rencana tata Ruang Wilayah Kota Ma-

    lang Tahun 2010 2030.

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    16/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 273

    Analisis Limpasan Permukaan

    Untuk menghitung aliran permukaan (run off),

    artinya air yang tidak meresap dan menjadi air larian

    mengalir ke lokasi yang lebih rendah, digunakan per-

    samaan (4). Air larian ini mengalir terus, dan apabilaterdapat cekungan maka akan menimbulkan genang-

    an. Perhitungan dilakukan terhadap kondisi eksisiting

    dan kondisi akhir tahun perencanaan Rencana tata

    Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010 2030.

    Analisis Sistem Drainase

    Analisis sistem drainase dilakukan dengan me-

    lakukan pendataan dan evaluasi kondisi saluran drai-

    nase eksisting pada saluran pengumpul dan pemba-

    wa, atau setara dengan saluran drainase sekunder.

    Kemudian dikelompokkan kondisi saluran tersebut

    dengan beberapa kategori.

    Analisis Arahan Spasial Teknologi Drainase

    Dengan melihat seluruh hasil analisis di atas, di-

    hubungkan dengan kerangka teori yang ada, maka

    dilakukan arahan penanganan keruangan teknik

    mengalirkan air hujan dan system drainase yang ada

    di lokasi studi, agar mengurangi potensi genangan

    akibat meluasnya penggunaan lahan.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Gambaran Umum Lokasi Studi

    Lokasi studi adalah Sub Daerah Aliran Sungai

    Watu bagian Hilir, yang merupakan sisi hilir Sub DAS

    Watu. Sub DAS Watu merupakan salah satu unit

    Daerah Aliran Sungai Metro. Sungai Metro meru-

    pakan sungai orde 2 dari Sungai Brantas, dengan

    panjang 54,5 km dari hulu hingga hilir, dan bermuara

    pada Sungai Brantas dengan elevasi + 300 m, se-

    dangkan bagian hulu pada mata air elevasinya + 2.700

    m. Kemiringan Sungai Metro rata-rata 0,044, dan

    dikategorikan sebagai sungai dengan pengaliran se-dang. DAS Metro terdiri dari 13 Sub DAS, seperti

    diuraikan pada Tabel 1.1. Sebagai gambaran orientasi

    lokasi studi, Sub DAS Watu bagian Hilir disajikan

    pada Gambar 1.1 sampai dengan Gambar 1.4, pada

    Bab I.

    Sub DAS Watu memiliki luas daerah tangkapan

    3.433 Ha. Sungai-sungai pada Sub DAS Watu adalah

    Sungai Curah Clumprit dengan panjang 5.768 km,

    Sungai Watu dengan panjang 9.829 km, Sungai Glun-

    deng dengan panjang 7.319 km, Sungai Sanan dengan

    panjang 11.958 km, dan Sungai Wangkal dengan pan-

    jang 5.725 km.

    Sub DAS Watu bagian Hilir, sebagai lokasi studi,

    memiliki luas 651,72 Ha, dan dilewati sebagian Sungai

    Watu dengan panjang 3.032,30 m, serta sebagian Su-

    ngai Metro dengan panjang 1.728,50 m. Lokasi studi

    berada sekitar 440 500 m di atas permukaan laut.

    Jumlah penduduk di lokasi studi berjumlah 39.260

    jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 2,9% per tahun.Penduduk wilayah lokasi studi adalah 33% penduduk

    asli dan 67% pendatang. Ini menunjukkan bahwa pen-

    datang banyak menghuni kawasan permukiman di

    lokasi studi. Pendatang terbanyak berasal dari Ma-

    dura.

    Kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada lo-

    kasi studi didominasi oleh mata pencaharian meng-

    garap lahan sawah (38%). Sedangkan 18% adalah

    Pegawai Negeri Sipil (PNS), 25% bekerja di bidang

    swasta, dan sisanya adalah pelajar. Kehidupan berte-

    tangga secara garis besar sangat harmonis, dan men-

    junjung tinggi semangat kekeluargaan dan gotong ro-

    yong.

    Analisis Penggunaan Lahan

    Penggunaan lahan di lokasi studi sangat bera-

    gam, dengan dominasi ruang terbuka hijau seluas

    410,45 Ha, dimana seluas 129,98 Ha adalah tegalan

    dan 280,47 Ha adalah sawah.

    Tabel 4. Ragam penggunaan lahan eksisting Sub DAS

    Watu bagian Hilir

    Sumber: identifikasi dan analisa

    No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

    1 Perumahan/Permukiman 222,64

    2 Perdagangan dan Jasa 4,28

    3 Industri dan pergudangan 9,234 Sarana Umum dan Sosial 5,125 Ruang Terbuka Hijau : tegalan 129,98

    6 Ruang Terbuka Hijau : sawah 242,007 Utilitas jalan 38,47

    Total 651,72

    Gambar 15 Penggunaan lahan eksisting di Sub DASWatu bagian Hilir

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    17/19

    274 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

    1 Perumahan/Permukiman 477,64

    2 Perdagangan dan Jasa 8,07

    3 Industri dan pergudangan 9,23

    4 Sarana Umum dan Sosial 10,155 Ruang Terbuka Hijau :

    tegalan

    82,22

    6 Utilitas jalan 64,41

    Total 651,72

    Maka dapat diperoleh luas ruang terbuka dan

    ruang terbangun eksisting pada lokasi studi.

    Luas Ruang terbangun: 207,36 Ha

    Luas Ruang terbuka: 444,36 Ha

    Kondisi eksisting ini kemudian dibandingkan de-ngan rencana pola ruang berdasar Rencana Tata Ru-

    ang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030 yang

    telah menjadi Peraturan Daerah Kota Malang No. 4

    Tahun 2011.

    Tabel 5 Ragam penggunaan lahan berdasar RTRW

    Kota Malang 2010-2030

    Analisa Resapan Air

    Dengan demikian resapan air pada kondisi eksisting

    adalah: 240.888,40 m3/tahun.

    Sedangkan resapan air pada kondisi berdasarkan

    RTRW 2010 2030 adalah 117.444,40 m3

    /tahunSehingga terdapat penurunan daya resap air sebesar

    123,444 m3/tahun selama 20 tahun.

    Analisa Limpasan Permukaan

    Dengan demikian laju aliran permukaan pada kondisi

    eksisting adalah = 118,622 m3/detik

    Sedangkan laju aliran permukaan pada kondisi ber-

    dasarkan RTRW 2010 2030 adalah = 136,874 m3/

    detik

    Sehingga terapat peningkatan laju aliran permukaan

    sebesar 18,252 m3/detik selama 20 tahun.

    Analisa Sistem Drainase

    Tabel 7. Rekapitulasi kondisi saluran drainase eksisting

    Sumber: analisa

    Maka dapat diperoleh luas ruang terbuka dan

    ruang terbangun berdasar RTRW Tahun 2010-2030

    pada lokasi studi.

    Luas Ruang terbangun = 417,97 Ha

    Luas Ruang terbuka = 233,75 Ha

    Tabel 6. Perbandingan Ruang terbuka dan terbangun

    Sumber: Hasil identifikasi

    No. Kategori BerdasarEksisting

    (Ha)

    %BerdasarRTRW

    2010-2030

    %

    1 Ruang

    Terbangun

    207,36 31,82 417,97 6 4, 13

    2 Ruang

    Terbuka

    444,36 68,18 233,75 3 5, 87

    Total 651,72 651,72

    Gambar 16. Penggunaan Lahan berdasar Pola Ruang

    RTRW Tahun 2010-2030 di Sub DAS Watu bagian

    Hilir

    No. Kondisi saluran drainase Prosentase

    1 Tidak tersedia saluran

    drainase

    33%

    2 Saluran drainase tertutup

    bangunan

    17%

    3 Saluran drainase berfungsiganda sebagai saluran irigasi

    6%

    4 Saluran drainase terlalu kecil 10%5 Saluran drainase tanpa inlet

    atau bibir saluran lebih tinggi

    daripada muka jalan

    14%

    6 Saluran drainase tidakterpelihara atau saluran

    ditumbuhi rumput

    11%

    7 Saluran dalam kondisi baik 8%

    Selain itu, tidak ditemui adanya sumur resapan

    pada kavling hunian, walaupun dari lampiran Ijin Men-

    dirikan Bangunan (IMB) dinyatakan harus memba-

    ngun sumur resapan air hujan. Juga tidak ada kolam

    tampungan yang berfungsi sebagai konservasi air di

    lokasi cekungan-cekungan strategis.

    Analisa Arahan Spasial Sistem dan Teknik

    Drainase

    Data di atas menunjukkan bahwa terdapat pe-

    ningkatan luas ruang terbangun yang memberikan

    pengaruh secara signifikan pada penurunan resap

    air dan peningkatan laju limpasan permukaan. Apabila

    kondisi ini tidak diarahkan, maka akan mengganggu

    siklus hidrologi dan penataan air akan menimbulkan

    daya rusak bagi sarana prasarana terbangun serta

    menimbulkan penurunan kesehatan apabila sampai

    terjadi genangan yang masuk ke bangunan hunian.

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    18/19

    Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu 275

    Di samping itu fungsi penataan ruang menjadi tidak

    bersinergis dengan fungsi konservasi air.

    Agar kondisi tersebut menjadi minimal, perlu si-

    nergitas antara konsep penataan ruang dengan kon-

    servasi air, sehingga penataan kawasan perkotaanyang cenderung dipenuhi bangunan tetap memberikan

    hak kepada air untuk meresap, sehingga air tidak

    mengganggu kawasan terbangun dan tidak menim-

    bulkan daya rusak pada kawasan perkotaan.

    Strategi yang diperlukan adalah:

    1. Perlu pembedaan antara saluran drainase yang

    mengalirkan air limbah rumah tangga dengan sa-

    luran drainase yang menampung dan memfasi-

    litasi jalannya air untuk mengalir ke tempat yang

    lebih rendah bagi air hujan.

    2. Membuat sumur resapan individu pada bangunan

    hunian menengah, hunian besar, bangunan sa-

    rana perdagangan dan jasa, bangunan fungsi in-

    dustri dan pergudangan, serta bangunan sarana

    pendidikan dan kesehatan. Sumur resapan indi-

    vidu menampung air hujan yang jatuh pada atap

    bangunan, dihubungkan dengan talang menuju

    ke sumur resapan agar air yang tertampung

    mempunyai keleluasaan meresap dan membe-

    rikan imbuhan bagi air tanah, sebagai fungsi kon-

    servasi air. Khusus untuk bangunan kesehatan,

    perlu dilengkapi dengan Instalasi Pengolah Air

    Limbah (IPAL) yang berfungsi mengolah air ko-tor menjadi air yang siap dilepas ke saluran drai-

    nase umum.

    3. Membuat sumur resapan kolektif pada bangunan

    hunian sangat kecil dan bangunan kecil/seder-

    hana. Sumur resapan kolektif menampung air

    hujan pada beberapa atap bangunan yang ke-

    mudian dihubungkan dengan talang menuju ke

    saluran resapan air hujan.

    4. Membuat kolam resapan bagi perumahan for-

    mal pada topografi cekungan, sehingga air hujan

    yang jatuh di jalan lingkungan perumahan for-mal mengalir menuju kolam resapan. Kolam re-

    sapan dapat juga menjadi lokasi wisata dan sa-

    rana umum untuk berkumpul bagi penduduk ling-

    kungan sekitar. Kolam resapan dihubungkan de-

    nga saluran pracetak berlubang, sehingga bila

    volume kolam resapan melebihi kapasitas kolam,

    maka akan mengalir melalui saluran dimaksud,

    dengan tetap memiliki kesempatan untuk mere-

    sap.

    5. Sumur resapan juga dibuat untuk menampung

    air hujan yang jatuh ke jalan, sehingga kesem-patan air untuk meresap terwadahi. Alternatif

    lainnya adalah membuat saluran pracetak ber-

    lubang untuk menampung air hujan yang jatuh

    ke jalan aspal/beton.

    6. Penataan, pengawasan, dan pemberian insentif-

    disinsentif pagi pengembang perumahan formal,

    agar memiliki perhatian lebih pada pembuatanutilitas saluran drainase dan pemfungsiannya,

    agar meringankan beban pemerintah dalam me-

    nyediakan prasarana kawasan perkotaan.

    7. Pemisahan antara saluran drainase dengan sa-

    luran irigasi. Hal ini sangat prinsip, mengingat

    saluran drainase memiliki kapasitas yang sema-

    kin besar ke arah hulu, sedangkan saluran drai-

    nase memiliki kapasitas yang semakin besar ke

    arah hilir. Sehingga memiliki fungsi yang bertolah

    belakang.

    8. Semaksimal mungkin saluran air hujan tidak di-

    tutup bangunan, melainkan ditutup ram besi, se-

    hingga memberikan kontribusi positif dalam me-

    nampung air hujan. Saluran yang boleh ditutup

    bangunan adalah saluran drainase air limbah, te-

    tapi tidak sepanjang saluran ditutup.

    9. Memberikan jalur pengarah aliran air menuju sa-

    luran air hujan, semacam inlet pengarah, agar

    air mengalir menemukan jalannya menuju ke sa-

    luran penampung air hujan, dimana saluran di-

    maksud adalah saluran pracetak berlubang agar

    peresapan air hujan tetap berfungsi.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Berdasarkan Latar belakang penelitian, kajian

    teori terkait rumusan masalah, analisis permasalahan

    dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa per-

    lu sinergitas antara penataan kawasan yang cende-

    rung bersifat fisik pembangunan dengan konservasi

    air, sehingga tercipta penataan ruang daratan dengan

    memberikan ruang yang semestinya bagi air untuk

    dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui

    proses infiltrasi atau peresapan, agar pembangunan

    (penambahan ruang terbangun) tidak menimbulkan

    genangan. Secara spasial, teknologi drainase yang

    diperlukan pada lokasi studi, yaitu Sub DAS Watu

    bagian Hilir, adalah teknologi eko-drainase, yaitu drai-

    nase ramah lingkungan. Eko-drainase ini merupakan

    kombinasi antara pola detensi (menampung semen-

    tara) dan pola retensi (meresapkan).

    Arahan spasial teknologi drainase untuk mere-

    duksi genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

    bagian Hilir adalah:

    1. Pemisahan antara saluran drainase yang meng-alirkan air limbah rumah tangga dengan saluran

    drainase air hujan,

  • 7/22/2019 pengembangan sumber daya air pada Penerapan pemodelan hujan dan aliran permukaan dengan metode rational.

    19/19

    276 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

    2. Pembuatan sumur resapan individu pada koridor

    jalan utama, terutama pada bangunan hunian

    menengah, hunian besar, sarana perdagangan

    dan jasa, sarana industri dan pergudangan, sa-

    rana pendidikan dan kesehatan.3. Pembuatan sumur resapan kolektif pada bangu-

    nan dengan kepadatan tinggi, terutama bangunan

    hunian sangat kecil dan kecil/sederhana.

    4. Membuat kolam resapan bagi perumahan for-

    mal pada topografi cekungan

    Saran

    Saran bagi penelitian

    Perlu dilakukan studi serupa dengan variabel

    yang lebih banyak dan kompleks.

    Saran bagi Pemerintah Kota Malang

    Dengan kewenangannya, disarankan memulai

    menetapkan aturan terkait sinergitas antara pene-

    rapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang

    Tahun 2010 2030 dengan Konservasi Air.

    Saran bagi masyarakat

    Dengan kemampuannya, disarankan pengem-

    bang tidak semata-mata berorientasi pada nilai eko-

    nomi lahan tetapi juga harus menyeimbangkan nilai

    ekonomi lahan dengan nilai-nilai konservasi yang man-

    faatnya tidak diukur dengan ekonomi saat ini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

    26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta.

    2007.

    Anonim. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Buletin

    Warta Kebijakan No. 5.www.cifor.cfiar.org. Center for

    International Forestry Research. Jakarta. Agustus

    2002.

    Anonim. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan RuangDi Kawasan Rawan Bencana Banjir. Ditjen Penataan

    Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana

    Wilayah. Jakarta. 2003.

    Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7

    Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Penerbit

    Pustaka Widyatama. Yogyakarta. 2004

    Anonim. Konflik Kepentingan Dalam Pengelolaan

    Sumber Daya Air. Penerbit Bigraf Publishing bekerja

    sama dengan STTL Yogyakarta. Yogyakarta. 2004.

    Anonim. Kebijakan Penanggulangan Bencana. Koloki-

    um Hasil Litbang Ditjen Perumahan dan Permukiman,

    Departemen Kimpraswil. Bandung. 2002.

    Anonim. Peraturan Daerah Kota Malang No. 4 Tahun

    2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

    Malang Tahun 20102030. Pemerintah Kota Ma-

    lang. 2011.

    Asdak, C. 1995. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah

    Aliran Sungai. Yogyakarta: UGM Press.Catanese, A.J., & Snyder, JC. 1996. Perencanaan Kota.

    Jakarta: Penerbit Erlangga.

    Edie, E. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

    (Das) Terpadu. http://www.bappenas.go.id. 2003.

    Jayadinata, J.T. 1986. Tata Guna Tanah Dalam Perenca-

    naan Pedesaan, Perkotaan Dan Wilayah. Penerbit

    ITB. Bandung.

    Kodoatie, R.J., dan Roestam, S. 2005. Pengelolaan Sumber

    Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Penerbit Andi.

    Kodoatie, R.J., dan Roestam, S. 2010. Tata Ruang Air.

    Yogyakarta: Penerbit Andi.

    Kodoatie, R.J., dan Sugiyanto. 2002.Banjir, Beberapa Pe-nyebab Dan Metode Pengendaliannya Dalam Pers-

    pektif Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pe-

    lajar.

    Kusnaedi. 2000. Sumur Resapan Untuk Permukiman Per-

    kotaan Dan Pedesaan. Jakarta: Penebar Swadaya.

    Linsley, R.K., dan Joseph, B.F. 1994. Teknik Sumber Daya

    Air. Jakarta: Penerbit Erlangga.

    Maryono, A. 2002.Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai.

    Yogyakarta: Penerbit Program Magister Sistem Teknik

    Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

    Maryono, A. 2004.Menangani Banjir, Kekeringan, Dan

    Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada Uni-

    versity Press.

    Mirsa, R. 2012.Elemen Tata Ruang Kota. Jogjakarta: Graha

    Ilmu.

    Nawawi, H., dan Mimi, M. 2005.Penelitian Terapan. Jog-

    jakarta: Gajah Mada University Press.

    Santoso, G. 2005. Fundamental Metodologi Penelitian

    Kuantitatif Dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka

    Publisher.

    Seth, R., and Norman, E.P. 2001.Hydrological Processes.

    USA: John Wiley & Sons, Ltd.

    Soefaat (et al). 1997. Kamus Tata Ruang. Direktorat Jen-

    deral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum be-

    kerja sama dengan Ikatan Ahli Perencanaan Indone-sia. Jakarta.

    Sosrodarsono, S., dan Kensaku, T. 1999.Hidrologi Untuk

    Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita.

    Tarigan, R.M.R.P. 2004. Perencanaan Pembangunan Wi-

    layah. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara.

    Sunjoto. 1987. Sistem Drainase Air Hujan Yang Berwa-

    wasan Lingkungan. Jogjakarta: Makalah PAU Ilmu

    Teknik Universitas Gajah Mada.

    Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berke-

    lanjutan. Jogyakarta: Penerbit Andi.

    Wesli. 2008.Drainase Perkotaan.Jogjakarta: Graha Ilmu.