perubahan tata guna lahan

Upload: sigit-bintan

Post on 10-Feb-2018

261 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    1/31

    Dampak Peralihan Fungsi Lahan terhadap

    Banjir di Kelurahan Panjer Kota Denpasar

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang

    Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi salah satu unsur

    utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai

    tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali

    dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian). Seiring pertumbuhan

    populasi dan perkembangan peradaban manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai

    terusik. Keterusikan ini akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat

    pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika

    pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian),

    berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan.

    Penduduk adalah salah satu komponen yang mempengaruhi perkembangan suatu

    kota. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah pengendalian pertumbuhan dan

    perkembangan kota itu yang harus diseimbangkan

    dengan daya dukung lingkungan. Banyak kota yang berkembang secara tidak

    terkendali, sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Di antaranya penyebab erosi

    lingkungan adalah terjadinya invansi penggunaan tanah untuk pembangunan kawasan baru

    dan peningkatan infrastruktur pada wilayah-wilayah yang semestinya menjadi daerah

    preservasi alami untuk melestarikan sumberdaya air permukaan, air tanah, dan tanah.

    Perkembangan dan kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan sebagai

    konsekuensinya perkembangan kegiatan ekonomi maupun sosial dari peningkatan penduduk.

    Beberapa hal yang menjadi daya pikat kota itu sendiri maupun di wilayah sekitarnya yaitu

    ketika daya dukung kota melampaui batas. Maka timbul berbagai macam permasalahan, di

    antaranya meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur. Akibatnya perubahan tata

    guna lahan berdampak negatif kepada kota sendiri terutama menurunnya tingkat kenyamanan

    akibat dari terbatasnya areal lahan terbuka yang ada. Secara lebih khususnya perubahan

    tersebut berdampak kepada banjir dan genangan yang cenderung meningkat dari waktu ke

    waktu.

    http://merywintari.blogspot.com/2012/04/dampak-peralihan-fungsi-lahan-terhadap.htmlhttp://merywintari.blogspot.com/2012/04/dampak-peralihan-fungsi-lahan-terhadap.htmlhttp://merywintari.blogspot.com/2012/04/dampak-peralihan-fungsi-lahan-terhadap.htmlhttp://merywintari.blogspot.com/2012/04/dampak-peralihan-fungsi-lahan-terhadap.html
  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    2/31

    Aktivitas perubahan tata guna lahan yang dilakukan di daerah hulu daerah aliran

    sungai (DAS) tidak hanya memberikan dampak di daerah di mana kegiatan tersebut

    berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk

    perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air

    lainnya (Asdak, 1995). Banyaknya peralihan fungsi penggunaan lahan terbuka (hutan,

    pertanian, padang rumput, dan lain-lain.) menjadi lokasi dan/atau peruntukan lainnya yang

    bersifat pemadatan tanah telah memberikan dampak lingkungan di daerah hilir, misalnya:

    banjir pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau.

    Peningkatan jumlah penduduk memberikan konsekuensi pula terhadap terjadinya

    kompetisi dalam pemanfaatan tata guna lahan pada suatu DAS, mengandung arti bahwa

    penduduk semakin banyak melakukan penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk berbagai

    pemanfaatan dan aktivitas serta melakukan konversi atau perubahan vegetasi. Menurut

    Soemarwoto (1978), menurun dan merosotnya kondisi suatu DAS pada umumnya disebabkan

    oleh beberapa faktor, antara lain: adanya tekanan penduduk, tekanan pembangunan, dan

    tekanan sosial ekonomi masyarakat dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS).

    Pemanfaatan tataguna lahan yang tidak memperhatikan daya dukungnya, budidaya

    pertanian yang tidak memperdulikan azas konservasi tanah serta penggunaan lahan yang

    tidak sesuai dengan fungsinya dapat menurunkan mutu tanah, degradasi lingkungan di

    wilayah aliran sungai, terganggunya tatanan air, terutama ketersediaan air dalam kualitas dan

    kuantitasnya.

    Urbanisasi yang terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia akhir-akhir ini

    menambah beban daerah perkotaan menjadi lebih berat. Kebutuhan akan lahan, baik untuk

    pemukiman maupun kegiatan perekonomian meningkat, sehingga lahan yang berfungsi

    sebagai retensi dan resapan menurun, akibatnya aliran permukaan bertambah besar. Kapasitas

    saluran drainase yang sudah ada menjadi tidak mampu menampung debit yang terjadi, air

    melimpah, dan terjadilah genangan banjir. Genangan banjir tidak hanya menyebabkan

    kerugian langsung pada penduduk dan aset-asetnya, tetapi juga menyebabkan kerugian tidak

    langsung berupa penundaan aktivitas sehari-hari. Genangan banjir juga menyebabkan

    lingkungan menjadi kotor, tidak sehat, dan mengganggu estetika.

    Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam

    suatu DAS dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Pada batas-batas

    tertentu, kegiatan tersebut dapat mempengaruhi kualitas air, terjadinya perubahan tataguna

    lahan dan jenis vegetasi dalam skala besar dan bersifat permanen dapat mempengaruhi besar

    kecilnya hasil air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    3/31

    perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi,

    khususnya curah hujan.

    Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat ditambah dengan urbanisasi menyebabkan

    wilayah pemukinan semakin meningkat sehingga menambah kerapatan bangunan. Kerapatan

    bangunan ini menuntut perubahan dan pembaruan sistem drainase perkotaan, serta akan

    memperbesar wilayah kedap air yang secara langsung meningkatkan volume aliran air

    permukaan (surface run-off). Dengan kata lain bagian air yang diserap atau terinfiltrasi

    semakin kecil. Pengaruh meningkatnya volume aliran permukaan (surface run-off)

    menyebabkan debit air semakin tinggi yang secara tidak langsung akan menimbulkan

    permasalahn banjir di perkotaan.

    Bledsoe (1999) dalam desertasinya tentang sungai terhadap urbanisasi antara lain

    menyimpulkan bahwa keseimbangan sungai mulai terganggu jika perubahan fungsi kawasan

    bagian hulu (dari hutan menjadi ) telah melebihi 15% dari luas daerah pengaliran sungainya.

    Dengan kata lain suatu daerah yang masih asli, masih mungkin dapat beralih fungsi tanpa

    harus merubah keadaan alam sungai yang bersangkutan.

    Akibat perkembangan penduduk yang pesat dan tingkat urbanisasi ke kota cukup

    tinggi, hal ini berpengaruh terhadap kebutuhan akan lahan kawasan perkotaan dan

    dikarenakan dengan meningkatnya permintaan akan lahan, masyarakat pendatang tidak

    mampu untuk memiliki lahan yang legal. Dengan banyaknya konversi lahan di perkotaan

    maka sekarang ini banyak sekali lahan-lahan yang seharusnya menjadi penopang dan

    penyerapan air hujan di kawasan terbuka hijau Kota Denpasar berubah menjadi kawasan

    terbangun dan menjadi kawasan yang dipenuhi dengan berbagai aktivitas. Keadaan ini dapat

    diperhatikan dengan jelas, salah satunya di Kelurahan Panjer. Hal tersebut seolah-olah

    menjadi hal yang biasa dan tidak dipikirkan dampak yang akan diperoleh yaitu banjir.

    Padahal akhir-akhir ini akibat perubahan lingkungan yang cukup tinggi, Kota Denpasar serta

    Kelurahan Panjer yang terletak di Kecamatan Denpasar Selatan ini menjadi sering dilanda

    banjir.

    1.2 Rumusan Masalah

    Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar, khususnya Kelurahan

    Panjer, baik yang disebabkan urbanisasi, migrasi, maupun pertambahan jumlah penduduk

    berdampak langsung terhadap peningkatan kebutuhan lahan. Bertambahnya luas daerah

    terbangun mengakibatkan daya dukung daerah resapan berkurang yang selanjutnya akan

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    4/31

    meningkatkan pengaliran. Peningkatan pengaliran mengakibatkan peningkatan pada kapasitas

    pengaliran yang terjadi sehingga mengakibatkan terjadinya genangan atau banjir.

    Sebagai kota yang berwawasan budaya sangatlah diperlukan lingkungan yang bersih,

    nyaman, dan indah. Permasalahan drainase yang menyebabkan genangan banjir tidak hanya

    menyebabkan kerugian langsung pada penduduk dan aset-asetnya, tetapi juga menyebabkan

    kerugian tidak langsung berupa penundaan kegiatan sehari-hari. Genangan banjir juga

    menyebabkan lingkungan menjadi kotor, tidak sehat dan mengganggu estetika.

    Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana dampak peralihan fungsi lahan terhadap banjir di Kota Denpasar pada umumnya

    dan di Kelurahan Panjer pada khususnya?

    2. Apa saja langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah Kota Denpasar untuk

    mengendalikan peralihan fungsi lahan di Kota Denpasar umumnya dan Kelurahan Panjer

    khususnya?

    1.3 Tujuan

    Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana diuraikan diatas,

    maka pembuatan makalah ini bertujuan:

    a. Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari peralihan fungsi lahan

    terhadap banjir di Kota Denpasar pada umumnya dan di Kelurahan Panjer pada khususnya.

    b. Untuk mengetahui besarnya perubahan luasan lahan terbangun yang terjadi di Kota Denpasar

    pada umumnya dan di Kelurahan Panjer pada khususnya.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    5/31

    BAB II

    METODE PENGUMPULAN DATA

    Metode pengumpulan data dalam makalah ini dilakukan dengan 4 metode, yaitu

    metode kajian pustaka, metode wawancara, dan metode observasi.

    2.1 Metode Kajian Pustaka

    Metode kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data dari sejumlah pustaka yang

    memiliki kaitan erat dengan judul yang diambil, yaitu Dampak Peralihan Fungsi Lahan

    terhadap Banjir di Kelurahan Panjer Kota Denpasar. Selain itu, pustaka online juga

    dijadikan media untuk mengumpulkan informasi terkait kepentingan makalah ini.

    2.2 Metode Wawancara

    Metode wawancara dilakukan dengan mengumpulkan beberapa data dari narasumber yang

    memiliki kaitan erat dengan judul yang diambil. Wawancara dilakukan dengan 2 orang

    narasumber, yaitu petugas di lingkungan Kantor Lurah Panjer, Denpasar serta Pekaseh

    Kelurahan Panjer, Denpasar.

    2.3 Metode Observasi

    Metode observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan di sejumlah tempat di kawasan

    kelurahan Panjer, Denpasar.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    6/31

    BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    3.1 Kelurahan Panjer

    Kelurahan Panjer adalah salah satu kelurahan di Kota Denpasar yang terletak di

    Kecamatan Denpasar Selatan. Kelurahan ini memiliki luas 314, 16 ha dan menaungi 9 banjar,

    yaitu Banjar Bekul, Banjar Kertasari, Banjar Antap, Banjar Kangin, Banjar Kaja, Banjar

    Sasih, Banjar Tegal Sari, Banjar Celuk, dan Banjar Manik Saga.

    Batas-batas Kelurahan Panjer yaitu, sebelah utara Desa Dangin Puri Kelod dan Desa

    Sumerta Kelod, sebelah timur Kelurahan Renon, sebelah selatan Desa Sidakarya, dan sebelah

    barat Kelurahan Sesetan.

    Kelurahan Panjer dilewati oleh 3 sungai, yaitu Tukad Punggawa, Tukad Rangda, dan

    sungai yang alirannya di sekitar Jalan Tukad Pakerisan. Tukad Punggawa mengalir di

    kawasan Banjar Kangin, sementara Tukad Rangda mengalir di kawasan Banjar Celuk. Aliran

    air Tukad Punggawa ditampung di Bendungan Sebun dan Bendungan Pandian, sementara

    aliran air sungai di sekitar Jalan Tukad Pakerisan ditampung di Bendungan Bekul. Ketiga

    bendungan dibangun kurang lebih 40 tahun yang lalu dan masih berfungsi sampai sekarang.

    Jumlah penduduk Kelurahan Panjer pada akhir tahun 2006 tercatat sebanyak 17.037

    jiwa, pada akhir tahun 2007 tercatat 17.172 jiwa, pada akhir tahun 2008 tercatat 17.292 jiwa,

    dan data terakhir pada akhir 2009 jumlah penduduknya adalah 17.368 jiwa. Data

    kependudukan dari masing-masing tahun yang telah disebutkan dapat dilihat pada lampiran.

    Menurut data yang penulis peroleh dari narasumber, perbandingan penduduk asli dan

    pendatang Kelurahan Panjer tahun 2010 adalah 65% : 35%.

    Luas lahan pertanian di Kelurahan Panjer pada tahun 2010 yang masih dapat ditanami

    adalah seluas 35 ha dari 314,16 ha luas keseluruhan Kelurahan Panjer dan sisanya merupakan

    lahan yang sudah dibangun menjadi perumahan. Produksi padi di lahan pertanian Kelurahan

    Panjer pada tahun 2010 adalah 9-11 ton per ha tiap 6 bulan. Hasil panen umumnya langsung

    dijual karena ketidakadaan fasilitas penggiling padi di kawasan Kelurahan Panjer untuk saat

    ini.

    Sistem drainase di kawasan Kelurahan Panjer kondisinya dapat dijelaskan berupa got-

    got dangkal dengan trotoar sebagai penutupnya. Kondisi ini dapat dengan jelas diperhatikan

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    7/31

    di sepanjang Jalan Waturenggong, Jalan Tukad Jogading, dan Jalan Tukad Pakerisan (sisi

    barat). Sementara untuk di kawasan Jalan Tukad Batanghari sistem drainase belum dapat

    dikatakan layak, maka dari itu kawasan ini menjadi langganan banjir tiap musim hujan.

    Sampah yang dihasilkan di Kelurahan Panjer per hari rata-rata 4 truk mobil Dinas

    Pekerjaan Umum (DKP) Kota Denpasar. Sampah dikumpulkan sementara di tempat

    penampungan sampah sementara yang terletak di samping belakang Setra Banjar Kangin.

    Kondisi sampah di tempat penampungan sampah sementara ini tercampur aduk, baik sampah

    organik maupun nonorganik.

    3.2 Gambaran Penggunaan Lahan Sawah di Kota Denpasar pada Umumnya dan Kelurahan

    Panjer pada Khususnya

    Penggunaan lahan Kota Denpasar didominasi oleh pemukiman. Dari 12.778 ha luas

    lahan Kota Denpasar, penggunaan lahan untuk pemukiman adalah 7.831 atau 61,29%. Diikuti

    oleh sawah dengan luas 2.717 ha (21,26%), hutan negara seluas 538 ha (4,21%), tegalan 396

    ha (3,10%), hutan rakyat 75 ha (0,59%), perkebunan 35 ha (0,27%), tambak dan kolam 10 ha

    (0,08%) dan sisanya seluas 1.176 ha (9,20%) termasuk penggunaan lainnya seperti rumput,

    pasir, rawa, dan tanah kosong. Hampir semua jenis penggunaan lahan tersebar di masing-

    masing kecamatan, kecuali hutan negara hanya ditemukan di Kecamatan Denpasar Selatan,

    sedangkan perkebunan hanya ditemukan di Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar

    Selatan. Sementara tegalan, hutan rakyat, dan tambak/kolam tidak terdapat di Kecamatan

    Denpasar Barat.

    Pemukiman yang merupakan penggunaan lahan terluas di Kota Denpasar terdistribusi

    paling luas di Kecamatan Denpasar Selatan seluas 2.591 ha atau 33,08% dari luas seluruh

    pemukiman di Kota Denpasar atau 20,28% dari luas total Kota Denpasar, kemudian diikuti

    oleh Kecamatan Denpasar Utara 2.189 ha (27,95% dari luas pemukiman yang ada atau

    17,13% dari luas Kota Denpasar), Kecamatan Denpasar Barat 1.834 (23,42% dari total luas

    pemukiman atau 14, 35% dari luas Kota Denpasar), dan luasan pemukiman terkecil terdapat

    di Kecamatan Denpasar Timur seluas 1.217 ha (15,54% dari luas pemukiman atau 9,53% dari

    luas Kota Denpasar).

    Sawah merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah pemukiman. Denpasar

    Selatan merupakan kecamatan dengan luas sawah terbesar, yaitu 935 ha (34,41% dari luas

    keseluruhan sawah di Kota Denpasar). Kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Utara

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    8/31

    seluas 772 ha (28,41%), Kecamatan Denpasar Timur 726 ha (26,72%), dan Kecamatan

    Denpasar Barat 284 ha (10,45%).

    Penggunaan lahan tegalan tersebar di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar

    Selatan seluas 183 (46,21%), Kecamatan Denpasar Timur 144 ha (36,36%), dan Kecamatan

    Denpasar Utara seluas 69 ha (17,42%). Hutan rakyat terdistribusi di 3 Kecamatan, masing-

    masing Kecamatan Denpasar Selatan 53 ha (70,67%), Kecamatan Denpasar Timur 15 ha

    (20,00%), dan Kecamatan Denpasar Utara 7 ha (9,33%). Tambak dan Kolam juga terdapat di

    3 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan 6 ha (60,00%), Kecamatan Denpasar Utara

    2 ha (20,00%), dan Kecamatan Denpasar Timur 2 ha (20,00%).

    Perkebunan hanya terdapat di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan 21,00

    ha (60,00%) dan Kecamatan Denpasar Timur 14 ha (40,00%). Sementara hutan negara

    (Tahura) hanya terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan seluas 538,00 ha. Penggunaan lahan

    lain termasuk di antaranya rumput, pasir, rawa, dan tanah kosong terdapat di semua

    kecamatan. Di Kecamatan Denpasar Selatan terdapat 762 ha (57,19%), Kecamatan Denpasar

    Barat 288 ha (24,51%), Kecamatan Denpasar Timur 112 ha (9,53%), dan Kecamatn Denpasar

    Utara 103 ha (8,77%).

    Dari data yang penulis peroleh dari wawancara dengan Pekaseh Kelurahan Panjer,

    pada tahun 1980, dari total luas lahan Panjer, 272 Ha merupakan lahan sawah . Seiring

    dengan banyaknya pendatang yang menetap di kawasan ini, pembangunan mulai dilakukan

    sekitar tahun 1981. Dan puncak dari pembangunan itu sendiri adalah pada tahun 1992. Dari

    pihak pemerintah Kota Denpasar sendiri untuk tahun 2010 ironisnya telah memberikan izin

    penuh untuk melakukan pembangunan total di kelurahan Panjer yang saat ini tercatat masih

    memiliki 35 Ha lahan sawah irigasi. Dan menurut estimasi pekaseh Kelurahan Panjer, 5

    tahun lagi keberadaan lahan sawah irigasi di Panjer akan habis.

    Dari data yang penulis peroleh dari Kantor Lurah Panjer, pada tahun 2008

    pembangunan Kelurahan Panjer didominasi oleh pendirian warung atau toko dengan jumlah

    204 toko. Selanjutnya disusul dengan pendirian biro jasa sejumlah 34 kantor. Pendirian

    bengkel dan koperasi masing-masing menduduki peringkat ketiga dan keempat yaitu

    sejumlah 24 bengkel dan 17 koperasi.

    3.3 Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Denpasar

    Dari 8 jenis penggunaan lahan yang ada di Kota Denpasar, penggunaan lahan sawah

    dan pemukiman merupakan 2 penggunaan lahan yang selalu mengalami perubahan setiap

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    9/31

    tahun. Sementara penggunaan lahan yang lain tidak selalu mengalami perubahan dan

    perubahan yang terjadi pun tidak terlalu signifikan.

    Penggunaan lahan sawah dari tahun ke tahun mengalami pengurangan, sedangkan

    pemukiman terus mengalami peningkatan. Perubahan luasan sawah dan pemukiman dari

    tahun 2001 sampai tahun 2007 selalu mengalami fluktuasi. Penurunan jumlah sawah dan

    peningkatan jumlah pemukiman paling drastis terjadi dari tahun peralihan tahun 2001 dan

    2002. Pada kisaran waktu tersebut terjadi penurunan luas sawah sebesar 149 ha atau 4,92%.

    Sementara luas pemukiman meningkat sebesar 293 ha atau 3,98%. Perubahan luas sawah dan

    pemukiman yang cukup signifikan juga terjadi pada kisaran tahun 2005 dan 2006. Luas

    sawah pada selang waktu tersebut mengalami penurunan sebanyak 51 ha (1,84%), sedangkan

    pemukiman bertambah sebesar 117 ha (1,52%). Sementara pada selang waktu 2002/2003,

    2003/2004, 2004/2005, dan 2006/2007, penurunan luas sawah per tahun masing-masing 26

    ha (0,90%), 42 ha (1,47%), 46 ha (1,63%), dan 10 ha (0,37%), sedangkan peningkatan luas

    pemukiman per tahun pada kurun waktu yang sama berturut-turut 17 ha (0,22%), 11 ha

    (0,14%), 35 ha (0,46%), dan 16 ha (0,20%).

    Pesatnya pembangunan di berbagai bidang dan semakin bertambahnya jumlah

    penduduk Kota Denpasar dari tahun ke tahun menyebabkan semakin banyaknya kebutuhan

    lahan baik untuk kebutuhan pembangunan di berbagai sektor maupun untuk tempat tinggal.

    Oleh karena itu, terjadi perebutan penggunaan lahan terutama di sekotor pertanian dan non

    pertanian. Atas dasar pertimbangan ekonomi atau finansial, banyak lahan-lahan pertanian

    dikonversi menjadi penggunaan non pertanian (pemukiman, perkantoran, dan sarana lainnya).

    Penurunan luas lahan pertanian khususnya sawah menjadi penggunaan non pertanian

    seperti pemukiman tentu akan menimbulkan berbagai konsekuensi ekologis, di antaranya

    menurunkan ruang terbuka hijau dan berkurangnya daerah resapan air hujan.

    Dampak dari penuruna ruang terbuka hijau adalah meningkatnya kadar CO2 di udara

    sehingga temperatur udara di Kota Denpasar menjadi semakin panas. Sementara

    berkurangnya daerah resapan akan berakibat terjadinya banjir karena sebagian besar air hujan

    akan mengalami run-off dibandingkan dengan yang terinfiltrasi ke dalam tanah.

    Berkurangnya potensi air tanah juga merupakan konsekuensi dari berkurangnya daerah

    resapan air hujan.

    Pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di satu sisi memerlukan

    ketersediaan sumber daya lahan yang semakin banyak. Sementara di sisi lain, pertambahan

    jumlah penduduk sendiri akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya lahan tersebut

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    10/31

    serta berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Hal ini dapat menimbulkan krisis ekologis

    apabila tidak ditangani secara serius, sistematis, dan berkesinambungan.

    Dalam hubungannya dengan pemanfaatan dan konservasi lahan terutama lahan

    pertanian ke non pertanian khususnya pemukiman, respon Pemerintah Kota Denpasar yang

    telah diambil adalah menutup izin pembangunan perumahan. Mempercepat perizinan dalam

    pembuatan bangunan dengan melengkapi IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sehingga ekses

    yang ditimbulkan dari perubahan fungsi lahan tersebut dapat ditangani dengan baik.

    3.4 Faktor-faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan Sawah di Kelurahan Panjer

    Terjadinya perubahan penggunaan lahan secara umum dapat disebabkan karena

    adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan

    karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal

    yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai

    tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan

    kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui

    kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam

    penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian

    terjadi secara meluas.

    Secara khusus, lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal

    tersebut telah dirasakan oleh Kelurahan Panjer, yang terletak di wilayah selatan Kota

    Denpasar. Beberapa faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan sawah Kelurahan

    Panjer antara lain:

    1. Ketersediaan agroekosistem dominan sawah

    Kepadatan penduduk di Kelurahan Panjer pada tahun 1980-an yang mempunyai

    agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem

    lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi seiring dengan

    perkembangan zaman yang menuntut perkembangan bidang infrastruktur.

    2. Daerah pesawahan Panjer yang lokasinya berada di daerah perkotaan

    Seperti yang kita ketahui bersama, Kelurahan Panjer adalah salah satu Kelurahan yang

    terletak di Kota Denpasar, tepatnya di Kecamatan Denpasar Selatan. Seiring dengan

    perkembangan Kota Denpasar, Kelurahan Panjer yang termasuk salah satu bagian

    wilayahnya pun mendapatkan imbasnya. Maka terjadilah peralihan lahan sawah menjadi

    lahan non sawah secara besar-besaran di kawasan ini yang tercatat dimulai pada tahun

    1990an.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    11/31

    3. Kelurahan Panjer yang terletak di daerah bertopografi datar

    Pembangunan prasarana dan sarana , kawasan industri, dan sebagainya cenderung

    berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi

    seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Jika ditinjau dari topografi,

    keadaan medan Kota Denpasar secara umum miring ke arah selatan dengan ketinggian

    berkisar antara 0-75 meter diatas permukaan laut. Keadaan topografi yang strategis ini sangat

    mendukung terjadinya pembangunan di kawasan ini dan terjadilah peralihan lahan

    persawahan di Kelurahan Panjer.

    4. Lemahnya peraturan perundang-undangan alih funsi lahan

    Beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian yang ada memiliki

    berbagai kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:

    a. Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan berdasarkan

    kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relative mudah direkayasa, sehingga

    alih fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

    b. Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik

    yang menyangkut dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.

    c. Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,

    maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling bertanggung jawab, mengingat izin alih fungsi

    lahan merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.

    d. Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik.

    Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya

    pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya

    membutuhkan lahan.

    5. Kurangnya keterlibatan petaniPanjer

    Belum banyak dilibatkannya petani sebagai pemilik lahan dan pelaku dalam kelembagaan

    lokal secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Hal ini

    akan mendorong ketimpangan persepsi antara kedua pihak yang terlibat, sehingga akan

    memperbesar kecenderungan aliih fungsi lahan oleh salah satu pihak.

    6. Belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, dan pengembangan

    kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian Kelurahan

    Panjer.

    3.5 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Menjadi Non-Sawah di Kelurahan

    Panjer

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    12/31

    Terkonsentrasinya pembangunan di Kelurahan Panjer, di satu sisi menambah

    terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, industri, dan

    perdagangan, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan.

    Dampak negatif tersebut antara lain :

    1. Berkurangnya luas sawah di Kelurahan Panjer yang mengakibatkan turunnya produksi padi,

    yang mengganggu tercapainya swasembada pangan, baik itu untuk kebutuhan masyarakat

    Panjer sendiri maupun kebutuhan beras Kota Denpasar.

    2. Berkurangnya luas sawah Kelurahan Panjer yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja

    dari sektor pertanian ke nonpertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap

    seluruhnya justru akan meningkatkan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan

    berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap

    pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.

    3. Investasi pemerintah Kota Denpasar dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan

    menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

    4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, sebagai

    dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak

    termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang

    pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

    5. Terjadi Banjir di Kelurahan Panjer yang disebabkan oleh produksi sampah-sampah rumah

    tangga maupun industri masyarakat di Kelurahan Panjer.

    3.6 Dampak Peralihan Fungsi Lahan terhadap Banjir di Kota Denpasar pada Umumnya

    dan Kelurahan Panjer pada Khususnya

    Banjir merupakan peristiwa atau kejadian di mana volume curah hujan yang jatuh

    melebihi kapasitas infiltrasi tanah dan saluran air yang tersedia, sehingga air hujan tidak

    dapat menghilang dengan cepat baik ke dalam tanah maupun ke saluran pembuangan akhir

    atau laut. Faktor utama penyebab banjir adalah intensitas dan volume curah hujan,

    kemiringan lereng, jenis tanah dan kondisi permukaannya, serta ketinggian tempat.

    Dilihat dari segi faktor penyebab banjir, Kota Denpasar mempunyai potensi banjir

    yang tinggi. Hal ini disebabkan karena topografi Kota Denpasar termasuk datar sampai

    landai, kondisi penutup tanah yang kedap air karena banyaknya ruang yang terbangun, curah

    hujan yang cukup tinggi (1800 mm per tahun), dan altitude yang rendah. Kondisi ini

    menyebabkan kenapa Kota Denpasar akhir-akhir ini sering terkena banjir.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    13/31

    Banjir di Kota Denpasar terutama terjadi pada saat puncak musim hujan, yaitu bulan

    Desember, Januari, dan Februari. Faktor utama penyebab terjadinya banjir di Kota Denpasar

    adalah permukaan tanah yang sebagian besar merupakan daerah terbangun dan rendahnya

    resapan air hujan. Air hujan yang jatuh pada permukaan yang kedap air menyebabkan tidak

    adanya air hujan yang masuk ke dalam tanah melalui proses filtrasi, melainkan langsung

    menuju ke tempat yang lebih rendah dan saluran-saluran pembuangan air. Banyaknya volume

    limpasan permukaan air hujan tanpa didukung oleh adanya saluran drainase yang memadai

    ditambah dengan adanya kebiasaan buruk masyarakat dengan membuang sampah ke saluran-

    saluran pembuangan air menyebabkan peluang terjadinya banjir semakin tinggi.

    Permasalahan banjir sebenarnya adalah persoalan dampak banjir bagi manusia.

    Perilaku manusia yang menyebabkan banjir seperti pembuangan sampah, illegal logging

    hanyalah sebagian dari permasalahan penyebab banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya

    curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan overload sungai. Permasalahan banjir

    terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rawan bencana banjir(flood plain) oleh manusia.

    Bencana banjir di Kota Denpasar yang dicatat sebagai kejadian luar biasa oleh Badan

    Penanggulangan Bencana Daerah Kota Denpasar antara lain adalah banjir yang terjadi pada

    awal tahun 2009 dan pertengahan tahun 2010. Bencana banjir terjadi pada 11 sampai dengan

    12 Januari 2009 berlokasi di Denpasar Selatan dengan dampak genangan air setinggi 1,5

    meter yang menggenangi daerah penduduk sehingga menyebabkan aktivitas masyarakat

    terganggu. Di samping itu, beberapa fasilitas umum tembok tempat pemujaan roboh.

    Sehingga diperkirakan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir tersebut sebesar Rp.

    2.582.915.000,00. Selain itu, bencana banjir yang menimpa Kota Denpasar akibat hujan

    lebat, pukul 23.00 WITA, pada Rabu 28 Juli 2010 juga sempat menimbulkan kepanikan

    warga. Lokasi Bencana Banjir pun ada di beberapa titik, antara lain:

    1. Jl. Pura Demak, Br. Tegal Lantang, Desa Pemecutan Klod, Kecamatan Denpasar Barat , Kota

    Denpasar, ada korban 3 ekor sapi mati.

    2. Perumnas Monang-maning air setinggi orang dewasa.

    3. Banjar Buana Santi evakuasi 10 orang

    4. Desa Padang Sambian Kaja, Jalan Kebo Iwa di Perumahan Gunung Sari Indah air setinggi

    leher orang dewasa.

    5. Kawasan Jalan Mahendradata di Gang Manggis air setinggi 1,5 meter.

    6. Jalan Buana Raya depan kantor pos.

    7. Jalan Gunung Talang I Gg. I/31B melakukan evakuasi korban 10 orang.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    14/31

    8. SD No. 11 dan 13 air setinggi 1 meter, di Jalan Gunung Tangkuban Perahu Lingkungan

    Buana Desa Kelurahan Padang Sambian, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar. (lantai

    dan halaman sekolah digenangi lumpur dan telah dilakukan penyemprotan dan pembersihan

    oleh BPBD dan Dinas PU Kota Denpasar.

    9. Gunung Agung (Sebelah barat jembatan tukad mati) air meluap setinggi leher orang dewasa

    1,5 m, Kelurahan Padang Sambian, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar kerugian

    material terendam dan melakukan evakuasi 17 orang.

    10. Jalan Pudak yang menghubungkan Jalan Cokroaminoto dan Jalan Ken Arok Jebol.

    11. Jalan Gunung Gede Melakukan evakuasi 3 orang.

    12. Jalan Kebo Iwa Gg. Citarum Banjar Batu Kandik, Desa Padangsambian Kaja ada 4 pelinggih

    longsor.

    13. Jalan Diponegoro Gg. VI dan jalan Pulau Buru Denpasar, Kel. Dauh Puri.

    14. Jalan Kecubung No. 25, Br. Pande, Kec. Denpasar Timur, tembok warga roboh sepanjang 25

    meter atas nama Made Yasa.

    Untuk Banjir yang terjadi di Kelurahan Panjer, dari data yang penulis peroleh banjir

    terkonsentrasi di kawasan Banjar Manik Saga, Banjar Kertasai, Jalan Tukad Jogading, Jalan

    Tukad Batanghari, dan Jalan Waturenggong. Pada tahun 1980-an, saluran-saluran air di

    Kelurahan Panjer ternyata sudah mengalami penyumbatan namun belum terjadi banjir.

    Karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam menangani pendangkalan sungai, akibatnya

    sekarang ini ketika banjir ketinggian air mencapai 35 cm. Waktu untuk surutnya banjir ini

    mencapai 3-4 jam.

    Berbagai fenomena bencana yang terjadi di Kota Denpasar pada umumnya dan

    Kelurahan Panjer pada khususnya ini pada dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya

    ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni antara manusia dengan kepentingan

    ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.

    3.7 Kajian Sistem Drainase dan Konsep Penanganan/Pengendalian Banjir Kota

    Denpasar

    3.7.1 Kajian Sistem Drainase Kota Denpasar

    Kota Denpasar merupakan kota yang kerap kali mengalami genangan pada musim

    hujan. Penyebab terjadinya genangan adalah :

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    15/31

    1. Kapasitas saluran belum cukup untuk mengalirkan beban drainase maksimum.

    2. Penurunan kapasitas saluran akibat pendangkalan saluran.

    3. Beban banjir puncak meningkat akibat penurunan kualitas dan kuantitas daerah aliran sungai.

    Daerah yang dekat pantai sering terjadi genangan akibat pengaruh back waterair laut

    pada saat kondisi air laut pasang. Perkembangan guna lahan yang tidak sesuai rencana

    mengakibatkan berkurangnya resapan tanah dan jaringan drainase yang telah ada tidak

    berfungsi dengan baik.

    Instansi penyelenggara sistem drainase Kota Denpasar adalah Dinas Pekerjaan Umum

    Kota Denpasar. Tiga sungai penting dalam sistem drainase Kota Denpasar adalah Tukad

    Ayung, Tukad Badung, dan Tukad Mati. Sistem drainase primer yang melintasi Kota

    Denpasar terdiri dari lima sistem, yaitu Sistem I Tukad Badung, Sistem II Tukad Ayung,

    Sistem III Tukad Mati, Sistem IV Niti Mandala-Suwung, dan Sistem V Pemogan. Kondisi

    topografi kota relatif rendah maka banyak terjadi genangan rawan banjir. Water storage

    dibangun di daerah hilir untuk menampung limpahan air drainase.

    Berbagai permasalahan sektor drainase Kota Denpasar, antara lain adalah sistem

    perencanaan dan pelaksanaan saluran drainase belum optimal atau dapat dikatakan masih

    terbatas. Masalah selanjutnya adalah masih dijumpai saluran drainase tertimbun sampah

    akibat masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membuang sampah. Biaya

    operasi dan pemeliharaan saluran drainase belum memadai atau terbatas, adanya tumpang

    tindih saluran irigasi (kebutuhan air) dan drainase (pembuangan air) dibeberapa lokasi

    perkotaan serta banyak adanya titik-titik rawan banjir atau genangan air di Kota Denpasar

    adalah kumpulan permasalahan yang juga menjadi faktor penghambat dalam sistem drainase

    Kota Denpasar.

    Program pengembangan sektor drainase Kota Denpasar:

    a. Program Perencanaan Master Plan Drainase Kota Denpasar 20022007 yang sudah digarap

    secara bertahap melalui proyek drainase Perkotaan setiap tahun.

    b. Program Perencanaan Master Plan Kota Denpasar 20072012 yang dirancang pada tahun

    Anggaran Perubahan 2007 untuk menyiapkan master plan drainase berbasis topografi,

    memanfaatkan sungai atau tukad di Denpasar.

    c. Program kali Bersih (PROKASIH) sarana untuk melaksanakan penggelontoran pada sungai-

    sungai di Kota Denpasar yang merupakan titik-titik rawan banjir, termasuk juga pada saluran

    drainase perkotaan dilakukan pengerukan secara berkala.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    16/31

    d. Program Pengendalian Banjir Modern sarana sistem dan rangkaian peralatan penyaring

    Sampah Otomatis Mekanikal-Electrical Hydraulic yang berlokasi di Sungai Badung-Banjar

    Buagan Desa Pemecutan Kelod, Denpasar (program terpadu antara sampah dan drainase).

    3.7.2 Penanganan dan Pengendalian Banjir Kota Denpasar pada Umumnya dan Kelurahan

    Panjer pada Khususnya

    Langkah-langkah umum yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan banjir

    adalah perbaikan dan pemeliharaan saluran drainase seperti perbaikan got dan tanggul-

    tanggul sungai, pemasangan jaring penangkap sampah di beberapa sungai, pelanggaran

    terhadap pembuangan sampah ke saluran air, dan pelanggaran pembuatan bangunan di

    sempadan-sempadan sungai.

    Mengantisipasi datangnya musim hujan yang biasanya datang pada bulan Oktober,

    Pemerintah Kota Denpasar juga sudah mengambil langkah-langkah antisipasi yakni dengan

    menyiagakan tim Penanggulangan Bencana yang tergabung dalam tim Satlak PB (Satuan

    Pelaksana Penanggulangan Bencana). Berdasarkan evaluasi, musibah banjir sering terjadi

    pada daerah yang rendah dan yang berada dibantaran sungai. Untuk itu Dinas PU segera

    membuat peta-peta daerah yang rawan banjir.

    Ketua Badan Penaggulangan Bencana Kota Denpasar ini juga akan membuat surat

    edaran untuk menginstruksikan kepada camat, Kepala Desa/Lurah untuk lebih rajin

    memantau wilayahnya. Para perangkat desa diharapkan segera melapor jika terjadi banjir atau

    bencana ke call center 223333 dan ikut mengawasi saluran-saluran sungai yang berada

    diwilayahnya. Penyiapan langkah ini sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Kota Denpasar

    dalam melindungi warga kota Denpasar dari bencana alam. Namun demikian, partisipasi

    masyarakat Kota Denpasar untuk ikut menjaga kebersihan lingkungan termasuk got dan

    sungai dengan tidak membuang sampah ke selokan atau sungai juga sangat diperlukan.

    Seperti diketahui topografi Kota Denpasar realtif landai, dengan penduduk padat serta prilaku

    masyarakat yang masih banyak membuang sampah kesungai sehingga sedikit saja turun

    hujan akan terjadi banjir.

    Sementara itu Dinas Pekerjaan Umum Kota Denpasar mengungkapkan untuk

    mengantisipasi banjir pihaknya sedang melakukan penggelontoran di sungai dan trotoar serta

    sudah menyiagakan sebanyak 70 orang tenaga penggelontoran untuk membantu masyarakat

    bila kena banjir.

    3.8 Peran Dinas Tata Kota dan Bangunan serta Badan Perencanaan Daerah Kota Denpasar

    dalam Bidang Penataan Ruang Kota Denpasar

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    17/31

    Tata ruang merupakan mata ruang yang ditujukan untuk menata fungsi ruang melalui

    pengaturan jenis kegiatan sehingga akan terjadi sinergi antara satu jenis kegiatan dengan

    kegiatan lainnya dan diharapkan kegiatan-kegiatan tersebut dapat berakselerasi secara

    optimal, adanya peningkatan kualitas lingkungan, dan di samping itu melalui penataan ruang

    diharapkan dapat digunakannya nila-nilai budaya daerah sebagai landasan penyusunan

    pedoman teknis pembangunan yang bercirikan budaya daerah.

    Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, penataan ruang mutlak diperlukan mengingat

    tujuan pembangunan pada umumnya, yang secara garis besar terdiri dari peningkatan

    pertumbuhan ekonomi, pemerataan kemakmuran bagi seluruh masyarakat, kestabilan yang

    tangguh dan dinamis, terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, terselenggaranya

    pengaturan pemanfaatan ruang untuk kawasan kawasan yang dilindungi dan kawasan yang

    dapat dibudidayakan serta tercapainya tata ruang berkualitas bagi manusia.

    Kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam mewujudkan

    Penataan Ruang Kota Denpasar adalah mengendalikan pemanfaatan ruang yang efektif untuk

    menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan keseimbangan antar fungsi.

    Untuk mewujudkan sasaran Penataan Ruang Kota Denpasar yang nyaman dan

    terkendali, lembaga yang bertanggung jawab adalah Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota

    Denpasar serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar.

    3.8.1 Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Denpasar

    Pemanfaatan ruang di Kota Denpasar sudah terlihat adanya kecenderungan yang

    semakin meningkat dari berbagai kepentingan seperti kegiatan untuk bangunan-bangunan

    baik perumahan, pertokoan, perdagangan dan jasa serta perkantoran. Dengan kondisi

    demikian, pemanfaatan ruang di Kota Denpasar untuk kawasan terbangun dan tidak

    terbangun perlu dikendalikan. Memperhatikan kondisi pemanfaatan tata ruang yang

    dimaksud, Pemerintah Kota Denpasar memfokuskan pengendalian melalui:

    1. Terkendalinya Kawasan Terbangun dan Tak Terbangun

    2. Terkendalinya Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)

    3. Terkendalinya Pelanggaran Tata Ruang dan Tata Bangun pada masa yang akan datang.

    Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Denpasar adalah Dinas Daerah yang

    melaksanakan sebagian rencana rumah tangga daerah di bidang penataan ruang yang

    mencakup penataan fungsi-fungsi ruang dan fungsi bangunan, di mana dalam mewujudkan

    Misi Kota Denpasar Dinas Tata Kota dan Bangunan telah menentukan tujuan organisasinya:

    Citra Penataan Kota yang Berwawasan Budaya yang dijabarkan lebih rinci dalam bentuk

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    18/31

    sasaran yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun jaitu: Penataan Ruang

    Kota Denpasar yang Nyaman dan Terkendali

    Keberhasilan pencapaian sasaran Penataan Ruang Kota Denpasar yang Nyaman dan

    Terkendali dicapai melalui indikator sasaran:

    No. Indikator Sasaran Target Realisasi Capaian

    1. Terkendalinya

    pemanfaatan ruang

    Terkendalinya kawasan

    terbangun dan tak

    terbangun

    Terkendalinya Kawasan

    Ruang Terbuka Hijau

    51:49%

    45,7%

    45,84:54,16%

    45,7%

    110%

    100%

    2. Menurunnya angka

    pelanggaran terkait tata

    ruang dan bangunan

    Terkendalinya

    pelanggaran tata ruang

    dan tata bangunan

    555 kasus 271 kasus 47,36%

    Kedua indikator tersebut sebagai gambaran hasil pencapaian sasaran sekaligus

    mencakup aspek pembangunan masyarakat itu sendiri yaitu dengan meningkatnya kesadaran

    masyarakat dalam melaksanakan peraturan tata ruang yang ada. Oleh karena itu seluruh

    program yang direncanakan terfokus kepada tercapainya indikator sasaran yang dimaksud.

    Meningkatkan kegiatan penataan ruang melalui perencanaan, pengendalian dan

    pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan yang berlaku dituangkan dalam 9 Program dan

    19 Kegiatan Pembangunan terdiri dari:

    a. Program Penataan Ruang dijabarkan dalam 1 kegiatan

    Hal ini penting untuk diprogramkan agar pemanfaatan ruang dapat mengakomodasi seluruh

    keperluan masyarakat dan dapat mengikuti/menyesuaikan perkembangan kota, di mana

    diharapkan seluruh pembangunan baik oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah dapat

    diarahkan sesuai dengna peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua hal ini akan

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    19/31

    berdampak kepada arus pengaturan perpindahan maupun distribusi pemukiman penduduk di

    Kota Denpasar, di mana hal ini meliputi: Pelayanan Advice Planning dan Ijin Lokasi

    b. Program Pemeliharaan Kamtibnas yang dijabarkan dalam 2 kegiatan

    Hal ini dimaksudkan adalah tindaka-tindakan pembinaan serta pengendalian pelanggaran-

    pelanggaran yang ada baik pelanggaran tata ruang dan tata bangunan, yang dijabarkan dalam

    kegiatan-kegiatan pembinaan dan penertiban pelanggaran serta penegakan tata ruang wilayah

    Kota Denpasar.

    Capaian kinerja sasaran tahun 2008 dapat diuraikan sebagai berikut:

    1) Terkendalinya kawasan terbangun dan tak terbangun dengan perbandingan 38:62%. Dengan

    upaya-upaya yang telah dilakukan kondisi saat ini berada pada posisi 45,84% : 54,16%.

    Upaya berkesinambungan dalam pengendalian tata ruang, pengawasan, pembinaan-

    pembinaan kepada masyarakat masih tetap dilaksanakan tahun 2008, termasuk pelayanan

    perijinan. Sampai dengan tahun 2008 pergeseran kawasan terbangun dan tak terbangun masih

    terkendali yaitu di bawah target sasaran tahun 2008.

    2) Terkendalinya Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK):

    Berdasarkan hasil kajian atas peta-peta digitasi dan foto udata yang tersedia, hal-hal terkait

    RTHK dapat disampaikan sebagai berikut:

    a. Kawasan sudah Perbangun (sudah ada bangunan), terdiri dari fungsi-fungsi:

    - Pariwisata maksimal KDB 40% luas sudah terbangun 414 ha, berarti yang tidak terbangun

    60% = 620 ha;

    - Pemukiman, perdagangan, jasa, KDB max 50%, luas yang telah terbangun 3.999 ha (55%)

    berarti yang tidak terbangun 3.272 ha (45%). Kawasan dengan peruntukan ini telah melebihi

    ketentuan yang berlaku (kurang lebih 5%)

    - Pada kawasan KDB 30 yang sudah terbangun 432 Ha, (30%), berarti yang tidak terbangun

    pada kawasan KDB 30%=1.008 Ha (70%).

    Kesimpulannya pada kawasan yang sudah terbangun, terdapat area terbuka seluas (620 Ha +

    3.272 Ha + 1.008 Ha = 4.900 Ha = 38,35% dari luas Kota denpasar).

    b. Kawasan tidak terbangun samapai saat ini seluas 3.033 Ha atau 23,73 % dari luas wilayah

    Kota Denpasar:

    Sesuai arahan UU No. 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang, RTHK disyaratkan 30% dari

    luas wilayah yang terbagi menjadi RTHK Publik (20%) dan RTHK Privat (10%).

    Kalau dilihat kondisi saat ini maka dapat disampaikan bahwa total RTHK Publik dan Privat

    (kawasan belum terbangun) = 38,35% + 23,73% = 62,08% --- masih lebih besar dari

    ketentuan yang ada.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    20/31

    3) Terkendalinya pelanggaran Tata Ruang dan Tata Bangunan

    Tahun 2008 pelanggaran tata ruang dan tata bangunan sebanyak 555 buah telah ditindak

    lanjuti 271 buah yang belum ditindaklanjuti 284 buah pelanggaran tahun ini menurun

    sebanyak 6 buah dari tahun sebelumnya yaitu 568 buah pelanggaran. Sehingga walaupun

    pelanggaran-pelanggaran tata ruang masih ada dan telah ditangani sesuai prosedur yang

    berlaku, namun jumlah pelanggaran terus menerus menurun setiap tahunnya.

    Upaya-upaya lainnya dalam pengendalian tata ruang adalah mengadakan evaluasi

    pemanfaatan ruang kota melalui pemantauan-pemantauan yang diharapkan dapat menjadi

    pedoman dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang yang dilaksanakan melalui

    informasi peruntukan lahan, informasi peruntukan lahan dan ijin lokasi.

    3.8.2 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar.

    Pada tahun 2008 Bappeda Kota Denpasar dalam sasaran ini melaksanakan 2 kegiatan yaitu

    Koordinasi Pelaksanaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kota Denpasar

    dan penyusunan Perda RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Denpasar.

    Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 tahun 2004 tentang Pedoman

    Penataan Ruang Daerah, telah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)

    yang telah ditetapkan dengan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/13/HK/2008

    tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah ( BKPRD) Kota Denpasar

    untuk kegiatan tahun 2008, dengan maksud untuk meyelenggarakan koordinasi penataan

    ruang tingkat daerah dalam rangka membantu Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

    dalam merumuskan kebijakan.

    Adapun tujuan dari BKPRD ini adalah:

    1. Untuk dapat merumuskan dan mengkoordinasikan berbagai kebijakan penataan ruang Kota

    Denpasar dengan memperhatikan kebijakan penataan ruang nasional dan provinsi serta

    kabupaten lainnya.

    2. Untuk dapat memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak

    sesuai dengan rencana tata ruang.

    3. Untuk dapat memberikan rekomendasi dan memfasilitasi keterpaduan perencanaan tata

    ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang Kota Denpasar dengan

    kabupaten yang berbatasan

    4. Untuk dapat memberikan rekomendasi dan memfasilitasi permasalahn-permasalahan

    mengenai ketataruangan yang terjadi di Kota Denpasar dengan pemerintah provinsi maupun

    pemerintah kabupaten lainnya dalam mencarikan jalan keluar permasalahan tersebut.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    21/31

    3.9 Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana,

    Direktorat Pengairan dan Irigasi

    Dari penelusuran data ditemukan, baik di daerah kajian utama atau daerah

    pembanding penyebab banjir relatif sama, meskipun dengan intensitas berbeda, yaitu:

    1. Curah hujan tinggi;

    2. Jumlah dan kepadatan penduduk tinggi;

    3. Pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak

    berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan

    penampungan air;

    4. Drainase kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya

    prasarana darinase, dan kurangnya pemeliharaan;

    5. Luapan beberapa sungai besar yang mengalir ke tengah kota;

    6. Kerusakan lingkungan pada daerah hulu;

    7. Kondisi pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater;

    8. Berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai, penggunaan lahan

    illegaldi bantaran sungai;

    9. Kurang lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah;

    10. Ketidakjelasan status dan fungsi saluran.

    Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah, antara lain meliputi:

    1. Korban manusia;

    2. Kehilangan harta benda;

    3. Kerusakan rumah penduduk; sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar

    udara, tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya;

    4. Terganggunya transportasi,

    5. Rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan kolam ikan.

    Di samping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non

    material, antara lain kerawanan sosial, wabah penyakit, menurunnya kenyamanan

    lingkungan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan

    perekonomianmereka terhambat.

    Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan

    program penanggulangan, baik yang bersifatprevention, intervention maupun recovery.

    Pada tahappra bencana dilakukan:

    1. Membuat peta rawan bencana;

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    22/31

    2. Membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai,

    tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya;

    3. Menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai;

    4. Membuat peta daerah genangan banjir;

    5. Sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir;

    6. Menegakkan hokum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai;

    7. Menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya;

    8. Membuat sumur resapan;

    9. Pemantapan Satkorlak PBP; (

    10. Merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi;

    11. Mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu;

    12. Membuat penampungan air berteknologi tinggi;

    13. Menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan

    memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS;

    14. Membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah;

    15. Mereboisasi kota dan daerah hulu;

    16. Mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW.

    Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa:

    1. Pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca;

    2. Menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan;

    3. Menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan banjiran;

    4. Mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan

    dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak

    PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna;

    5. Memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan

    kesehatan darurat kepada korban bencana;

    6. Mendata lokasi dan jumlah korban bencana.

    Pada tahap setelah banjir, program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah:

    1. Pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik;

    2. Memperbaiki prasarana publik yang rusak;

    3. Pembersihan lingkungan;

    4. Mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    23/31

    Sementara itu, belum semua pemerintah daerah melakukan penegakan hukum,

    sehubungan dengan penanggulangan banjir. Jika ada, maka penegakan hukum tersebut

    terbatas pada penertiban penggunaan lahan secara illegal.

    Dalam hal ketersediaan landasan hukum, hampir semua pemerintah daerah (Pemda)

    belum mempunyai peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan banjir dan hanya

    beberapa propinsi saja yang sedang mempersiapkannya. Sementara itu pemerintah daerah

    hanya memiliki Perda yang mengatur pengelolaan sungai dan tata ruang.

    Upaya pemerintah daerah mengendalikan banjir banyak menemui kendala, antara lain

    lantaran:

    1. Kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan;

    2. Kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan

    lingkungan;

    3. Kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada bantuan pemerintah;

    4. Peraturan daerah masih sangat terbatas;

    5. Lemahnya penegakan hukum;

    6. Kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah;

    7. Terbatasnya dana pemerintah.

    Upaya penanggulangan banjir tidak terlepas dari peran stakeholder dalam setiap

    kegiatan. Dari hasil survai diketahui bahwa secara umum peran stakeholder, terutama

    penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat

    dominan.

    Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam

    berbagai kegiatan, seperti sosialisasi berbagai peraturan, membangun atau membersihkan

    saluran drainase lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan

    memantau kondisi lingkungan. Di samping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam

    bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan

    RT/RW.

    Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban,

    pembagian makanan, pakaian, dan penyediaan obat-obatan. Partisipasi masyarakat seperti ini

    muncul secara spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa

    diupayakan pemerintah. Dengan belum tersedianya peraturan perundangan yang mengatur

    penanggulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    24/31

    Pada semua daerah survai, pendanaan program penanggulangan banjir sebagian besar

    sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat, meskipun

    potensinya cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup pembiayaan

    bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana lingkungan secara

    swadaya. Di sisi lain, swasta juga mulai ikut berpartisipasi menjaga kebersihan sungai

    melalui penyediaan dana pengelolaan, namun belum diimplementasikan di semua kota lokasi

    survai.

    Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan dan eskalasi perilaku manusia

    dalam mengubah fungsi lingkungan. Di kawasan budidaya telah terjadi perubahan tata ruang

    secara massive, sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Pesatnya pertumbuhan

    permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan, bahkan kawasan

    retensi banjir (retarding basin) yang disediakan alam berupa situ-situ telah juga dihabiskan.

    Keadaan ini secara signifikan menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis.

    Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai, sehingga

    pada curah hujan tertentu, menimbulkan genangan air di mana-mana. Selain itu, lemahnya

    penegakan hukum ikut mendorong tumbuh dan berkembangnya permukiman ilegal di

    bantaran sungai, bahkan masuk ke badan sungai. Keadaan ini makin memperburuk sistem

    tata air lingkungan, karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai menurun dan terjadilah

    luapan air. Penambangan pasir illegal, terutama pada areal-areal bangunan pengendali banjir,

    yang umumnya mudah diakses juga ikut memperparah keadaan. Sebab, kemampuan

    bangunan pengendali banjir menjadi turun. Di sisi lain, ternyata pada wilayah-wilayah kajian,

    secara umum belum ada implementasi kebijakan efektif untuk mengendalikan penggundulan

    hutan dan perubahan fungsi ruang di daerah hulu. Aktivitas dan perubahan ini makin

    meningkatkan debit air yang masuk langsung dan secara cepat ke badan sungai, dan pada

    akhirnya karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai telah menurun, meluaplah air

    sungai ke kawasankawasan permukiman, persawahan, dan pertambakan serta kawasan

    industri. Meski demikian, secara umum hasil survai menunjukkan bahwa tidak ada landasan

    hukum spesifik yang mengatur penanggulangan banjir, apalagi pengaturan partisipasi

    masyarakat dalam penanggulangan banjir. Namun ada temuan yang menggembirakan, yaitu

    partisipasi masyarakat sangat kentara dan dominan, terutama pada kegiatan tanggap darurat.

    Bahkan bersama-sama dengan kelompok stakeholder dari unsur intermediaries, mereka

    membentuk gugus tugas reaksi cepat yang secara mandiri dan tanpa intervensi pemerintah,

    mampu memberi bantuan darurat bagi para korban banjir. Temuan lapangan menunjukkan

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    25/31

    bahwa partisipasi masyarakat lebih didorong oleh semangat kesetiakawanan dalam

    bermasyarakat, bukan merupakan resultantupaya pemerintah untuk menggalangnya.

    Mencermati partisipasi masyarakat pada tahap siklus banjir, ternyata tidak dapat

    disamaratakan. Pada tahap tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan.

    Sementara pada tahap lain sulit ditemukan, bahkan tidak ada. Perlu dianalisis lebih jauh

    untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok-kelompok

    kegiatan penanggulangan banjir.

    Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder

    (beneficiaries, intermediaris, dan decision/policy maker) mempunyai peran dan pengaruh

    yang sama pada tiap tahap penanggulangan banjir. Demikian juga masing-masing

    karakteristik/jenis kegiatan penanggulangan banjir, memerlukan jenis dan tingkat partisipasi

    yang berbeda.

    Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia, maka dalam

    penanggulangan banjir ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu:

    1. Indirect benefits, direct social cost;

    2. Large number of beneficiaries and few social cost;

    3. Targeted assistance.

    Kegiatan berciri indirect benefits, direct social costdikenali pada kelompok kegiatan

    struktural di luar badan air(off-stream structural measures) yang meliputi kegiatan-kegiatan

    peningkatan dan pembangunan sistem drainase, pembangunan parasarana retensi air

    (retention facilities), pembangunan sistem serapan air, pembangunan sistem polder, dan

    penanganan masalah erosi dan kemiringan tebing.

    Kegiatan berciri large number of beneficiaries and few social cost terdapat pada

    kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang(long term flood prevention nonstructural

    measures) yang mencakup kegiatan-kegiatan pengaturan dataran banjir (floodplain),

    pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan ruang terbuka

    (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman pengelolaan air

    permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat.

    Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen

    darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada

    kegiatan-kegiatanpre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah terkena

    banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong kawat,

    identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    26/31

    perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi

    dan barak-barak pengungsian.

    Kelompok Kegiatan Struktu ral di Luar Badan Air (of f -stream structural measures)

    Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, sudah tersedia kebijakan

    nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum. Kebijakan ini dapat dijadikan acuan

    menyusun konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang,

    peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah.

    Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatan-kegiatan

    kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat, dalam mengidentifikasi masalah

    drainase, hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat dalam skema pembiayaan

    pemeliharaan saluran drainase.

    Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/perundangan

    yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum yang

    sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dalam

    pelaksanaan konstruksi dan umumnya dilaksanakan penyedia jasa konstruksi.

    Meskipun dalam kebijakan dan peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang

    jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahap operasionalisasi

    prasarana. Pada tahap monitoring dan evaluasi, hanya teridentifikasi peran pemerintah daerah

    yang memonitor dan mengevaluasi prasarana off-stream structural measure; sedangkan

    partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan.

    Temuan-temuan tersebut menegaskan masih lemahnya dukungan aspek legal untuk

    mengakomodasi dan merekognisi peranserta masyarakat dalam kelompok kegiatan offstream

    structural measure yang berciri indirect benefits, direct social cost.

    Dengan ciri kegiatan yang biaya sosialnya dapat dirasakan langsung, seharusnya

    diperlukan upaya mengakomodasi dan merekognisi kepentingan pihak-pihak yang mungkin

    dirugikan (yang terkena adverse impact), misalnya masyarakat yang terkena penggusuran,

    karena pembangunan inftastruktur pengendali banjir.

    Pengaturan ini sangat penting untuk meminimalisasi dampak negatif (adverseimpact)

    yang dapat mempengaruhi kelancaran proses penanggulangan banjir. Selain itu, prosedur

    keterlibatan masyarakat harus lebih spesifik dikembangkan. Isu penting dalam hal ini adalah

    skema pembiayaan, maupun sistem ganti rugi melalui subsidi yang harus diatur secara jelas

    dan adil.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    27/31

    Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini, dalam kondisi ideal adalah

    collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) terutama untuk tahapan konsep dan implementasi;

    sedang untuk tahapan kontruksi mencapai skala ke 3 dari skala 0-6 atau pada tataran

    concensus building and agreement.

    Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang (long term flood prevention non

    structural measur es)

    Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, cukup banyak kebijakan

    nasional yang dapat diidentifikasi. Umumnya kebijakan ini hanya menekankan pada

    floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata

    Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan Perda yang

    berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air.

    Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang berkaitan dengan

    floodplain regulation. Umumnya kegiatan ini masih berupa konsep yang tertuang dalam

    bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu dilaksanakan, karena

    keterbatasan dana dan sumberdaya manusia.

    Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi

    merupakan bentuk daripublic information and education yang merupakan tahap lanjutan dari

    implementasifloodplain regulation.

    Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan pengelola

    sungai dan Pemda. Mereka menindak dengan menggusur pemukim ilegal pada bantaran dan

    badan sungai. Meskipun penduduk daerah rawan banjir, pemuka masyarakat dan agama,

    profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat melakukan monitoring dan evaluasi, namun

    belum ada regulasi yang tegas mengatur hal ini.

    Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dan kepentingan yang

    berbeda-beda, serta biaya sosial yang rendah, maka dalam penyusunan regulasi, pemerintah

    sebagai fasilitator harus mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut dengan

    secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder utama dan menyusun skema birokrasiyang

    sesuai dan efektif, serta perencanaan pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi.

    Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi ideal adalah

    empowerment-risk sharing (skala ke 5 dari skala 0-6) untuk tahapan pengembangan dan

    tahapan evaluasi; pada skala ke 4 dari skala 0-6 atau pada tataran collaboration untuk tahapan

    konsep; dan pada tahapan implementasi mencapai skala ke 1 dari skala 0-6 atau pada tataran

    information-sharing. Dengan demikian menerapkan floodplain regulation secara utuh,

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    28/31

    pemerintah harus berperan lebih banyak, sebab tidak ada stakeholder lain yang mempunyai

    kekuatan hukum untuk menindak pelanggaran suatu regulasi.

    Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek (short term flood

    emergency management)

    Dalam kelompok kegiatan penanganan darurat banjir, terutama pada

    kegiatanpersiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), di tahap penyusunan konsep

    terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang

    secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat.

    Seperti pada tahap penyusunan konsep, dalam tahap pengembangan juga sudah

    terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan

    penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana perhubungan

    di daerah yang terkena bencana. Namun pada tahapan ini, di lapangan tidak teridentifikasi

    partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir dilakukan instansi

    pemerintah.

    Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak

    teridentifikasi secara spesifik. Sedang instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai

    melakukan hampir semua kegiatan.8 Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini, tidak

    teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi banjir yang

    melibatkan masyarakat secara langsung.

    Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas, maka

    masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan perhatian utama.

    Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi, sehingga kelompok masyarakat ini

    mempunyai akses terhadap kegiatan yang memungkinkan mereka menghindari bencana, atau

    paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana banjir.

    Di samping itu, perlu disusun kebijakan yang memprioritaskan peningkatan kapasitas

    sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut, sehingga dalam perencanaan kegiatan

    penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapatmenyumbangkan pemikiran mereka lebih

    mendalam.

    Dari hasil analisis, tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi

    ideal adalah collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) untuk tahapan konsep sampai dengan

    implementasi; sedangkan untuk tahapan evaluasi pada skala ke 6 pada skala 0-6 atau pada

    tataran empowerment and partnership.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    29/31

    BAB IV

    PENUTUP

    4.1 Kesimpulan

    Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

    a. Penggunaan lahan di Kota Denpasar umumnya dan Kelurahan Panjer khususnya didominasi

    oleh pemukiman penduduk.

    b. Peralihan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian di Kelurahan Panjer mulai terjadi pada

    tahun 1980an dan berlangsung hingga sekarang. Sisa lahan pertanian di Kelurahan Panjer

    untuk sekarang ini adalah sekitar 35 ha dari total luas Kelurahan Panjer yaitu 314,16 ha.

    c. Peralihan fungsi lahan di Kota Denpasar umumnya dan Kelurahan Panjer khususnya

    mengakibatkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah banjir setiap musim penghujan

    akibat berkurangnya daerah resapan air.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    30/31

    d. Berbagai langkah telah ditempuh oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk menangani banjir di

    kawasan kota, namun masalah banjir tetap saja terjadi setiap tahunnya akibat kurangnya

    kerjasama dari masyarakat Kota Denpasar sendiri untuk penanganan banjir tersebut.

    e. Berbagai fenomena bencana yang terjadi di Kota Denpasar pada umumnya dan Kelurahan

    Panjer pada khususnya ini pada dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya

    ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni antara manusia dengan kepentingan

    ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.

    4.2 Saran

    Masalah banjir sebenarnya adalah masalah lintas sektor dan lintas daerah sehingga

    diperlukan adanya kerjasama yang baik, sistematis, dan berkesinambungan antar dinas yang

    terkait dan antar pemerintah kabupaten/kota. Beberapa saran terkait dengan permasalahan

    yang diangkat pada makalah ini, yaitu:

    a. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan melakukan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)

    secara terpadu dan berkesinambungan antar instansi yang terkait dan antar pemerintah

    kabupaten lain seperti Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar sesuai dengan kaedah

    konservasi tanah dan air.

    b. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan melakukan penataan pembangunan perumahan

    dengan baik, dengan melakukan pengawasan lebih intensif dan memberikan sanksi yang

    tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku kepada pihak-pihak yang melanggar.

    c. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan membuat peraturan pelanggaran pembuangan sampah

    ke sungai ataupun ke saluran drainase air, dan dengan peran serta masyarakat Kota Denpasar

    agar bersama-sama menjadikan sungai-sungai di Kota Denpasar sebagai tempat rekreasi,

    bukan tempat pembuangan sampah.

    d. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan melakukan penataan dan perbaikan tanggul-tanggul

    sungai dan got-got tempat saluran air hujan.

  • 7/22/2019 Perubahan Tata Guna Lahan

    31/31

    DAFTAR PUSTAKA

    Dinas Tata Kota, 2008. Draft Laporan Identifikasi Kawasan Pemukiman Padat/Kumuh dan

    Pembuatan Design Engeering Detail (DED) Pemukiman Padat/Kumuh di Kecamatan

    Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat dan Denpasar Utara Kota Denpasar.

    Denpasar

    Kantor Lurah Panjer, 2010. Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kelurahan Panjer. Denpasar

    Muhammad Iqbal dan Sumaryanto.-. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian

    Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Bogor

    Bieri, Stephan. Dr., Disaster Risk Management and the Systems Approach by, World Institute

    for Disaster Risk Management (DRM), 2003 (www.drmonline.net)

    Pemerintah Kota Denpasar, 2008. Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kota Denpasar.

    Denpasar

    Perintah Kota Denpasar, 2008. Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Denpasar. Denpasar

    Pemerintah Kota Denpasar, 2008. Program Sanitasi Kota Denpasar. Denpasar

    Bambang S. Widjanarko, Moshedayan Pakpahan, bambang Rahardjono, dan Putu Suweken,-.

    Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Jakarta

    http://www.drmonline.net/http://www.drmonline.net/http://www.drmonline.net/http://www.drmonline.net/