praktikum fisiologi part i

27
PRAKTIKUM FISIOLOGI Part I Modul Respirasi 2011 SEKSI PENDIDIKAN 2009 Ade Ilyas Mukmin Anggi Puspita Nalia Pohan Dessy Framita Dina elita Enninurmita Hazrudia Fitria Chandra Gusti Rizky Teguh Riyanto Kabisat Febiachrulia Karina Kalani Firdaus Monika Besti Yolanda Naela Himayati Afifah Qam Qam Qurratul Aini Riska Wahyuningtyas Rizka Ramadhani Tika Ayu Pratiwi Wahyu Permata Sari Zahra Suhardi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2011

Upload: intansarifnosaa

Post on 18-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

fakultas kedokteran

TRANSCRIPT

  • PRAKTIKUM FISIOLOGI Part I Modul Respirasi 2011

    SEKSI PENDIDIKAN 2009

    Ade Ilyas Mukmin Anggi Puspita Nalia Pohan

    Dessy Framita Dina elita

    Enninurmita Hazrudia Fitria Chandra

    Gusti Rizky Teguh Riyanto Kabisat Febiachrulia

    Karina Kalani Firdaus Monika Besti Yolanda Naela Himayati Afifah

    Qam Qam Qurratul Aini Riska Wahyuningtyas

    Rizka Ramadhani Tika Ayu Pratiwi

    Wahyu Permata Sari Zahra Suhardi

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2011

  • PRAKTIKUM FAAL TAHAN NAPAS dan SESAK NAPAS

    A. TAHAN NAPAS Oke, seperti yang kalian tahu, pada percobaan ini, OP harus tahan napas, terus

    itung waktunya sampe si OP udah ga kuat lagi. Waktu dimana OP ga kuat sok2an nahan napas dan akhirnya bernapas lagi adalah BREAKING POINT.

    Nah, dalam percobaan ini, si OP mendapat beberapa perlakuan untuk melihat apakah perlakuan tsb berpengaruh ato tidak terhadap BREAKING POINT. Apa saja perlakuan-perlakuan tersebut? Ada 9 perlakuan, bisa diliat penuntun praktikum masing2. Apa?! Penuntun anda hilang? Ga masalah, bakal saya tulis ulang.

    I. Landasan Teori Berikut ini adalah definisi formal dari BREAKING POINT:

    Breaking point adalah suatu keadaan tidak dapat menahan napas lebih lama lagi. Keadaan ini ditandai dengan keinginan untuk bernapas yang semakin kuat. Saat seseorang menahan napas, tidak terjadi pertukaran udara antara sistem respirasi dan atmosfer. Akumulasi CO2 di darah meningkatkan konsentrasi H+ di cairan serebrospinal sehingga merangsang pusat respirasi di medula. Pusat respirasi memberikan sinyal eferen ke otot-otot pernapasan dan organ respirasi sehingga kembali terjadi inspirasi.

    Pengaruh latihan fisik pada proses ventilasi Saat berolahraga berat, ventilasi meningkat, namun peningkatan ini cenderung pada kedalaman pernapasan daripada laju pernapasan. Perubahan PCO2 dan PO2 ternyata tidak memiliki peran yang signifikan saat berolahraga. Jadi pas olahraga, apa yang bikin pas olahraga ada peningkatan ventilasi? Memang ada beberapa faktor yang mungkin menstimulasi peningkatan ventilasi. Faktor-faktor tersebut adalah:

    - input persarafan dari korteks motorik (pernapasan meningkat karena area motorik korteks yang menstimulasi otot, juga menstimulasi pusat respirasi)

    - proprioseptor di otot dan persendian (proprioseptor terutama di otot dan sendi yang bergerak menstimulasi pusat respirasi)

    - epinefrin dan norepinefrin - perubahan pH akibat asam laktat

    II. Tujuan praktikum Menentukan lama tercapainya breaking point dalam berbagai kondisi. Menentukan faktor-faktor yang memengaruhi lama kesanggupan menahan

    napas

  • III. Percobaan Untuk mencapai tujuan praktikum poin pertama, kita harus mengatur kondisi/perlakuan kepada si OP, terus baru OP-nya tahan napas. Perlakuannya adalah sebagai berikut:

    1. Inspirasi biasa terus tahan napas. 2. Ekspirasi biasa terus tahan napas. 3. Inspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas. 4. Ekspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas. 5. Napas cepat dan dalam 20 detik, terus inspirasi tunggal yang kuat terus tahan

    napas. 6. Inspirasi tunggal yang kuat dari kantong O2 terus tahan napas. 7. Napas cepat dan dalam 20 detik, 3 pernapasan terakhir dari kantong O2,, terus

    inspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas. 8. Inspirasi tunggal yang kuat dari kantong CO2 10% terus tahan napas. 9. Lari di tempat 2 menit, terus inspirasi tunggal yang kuat terus tahan napas.

    IV. Hasil Percobaan Berikut ini adalah hasil dari kelompok saya. Oiya, ini hasilnya dalam satuan detik ya..

  • V. Diskusi dan Kesimpulan Nah yang kayak gini2 nih harus dibahas satu persatu, ga bisa sekaligus, huhuh

    1. Oke, ayo semua coba liat hasil percobaan pada perlakuan 1 dan 2! Tiga dari empat OP menunjukkan bahwa durasi menahan napas setelah ekspirasi biasa lebih lama daripada setelah inspirasi biasa. Hal ini tuh karena CO2 yang dihasilin sama jaringan terakumulasi dalam darah karena gak terjadi pertukaran udara. Akibatnya, terjadi peningkatan PCO2 dalam darah. Karena dengan PCO2 yang tinggi, kemoreseptor pusat akan terangsang yang dapat mempengaruhi pusat pernapasan untuk meningkatkan ventilasi. Nah, kalo ekspirasi biasa sebelum menahan napas tuh memungkinkan tubuh untuk mengeluarkan CO2 sebelum terjadinya akumulasi CO2. Hal ini menjelaskan kenapa durasi tahan napas setelah ekspirasi biasa lebih lama daripada durasi tahan napas setelah inspirasi biasa.

    2. Sekarang liat hasil percobaan pada perlakuan 3 dan 4 ya! Semua OP menunjukkan durasi tahan napas yang lebih lama setelah inspirasi tunggal kuat daripada setelah ekspirasi tunggal kuat, dengan perbedaan lama waktu rata-rata 35 detik. Hal ini bisa disebakan oleh karena setelah inspirasi kuat, volume udara dalam alveolus kan meningkat tuh, jadi cadangan O2 selama OP menahan napas juga masih banyak. Sedangkan setelah ekspirasi tunggal kuat, volume udara dalam alveolus sangat menurun, jadi cadangan udara selama menahan napas pun menurun.

    3. Nah, sekarang liat hasil percobaan pada perlakuan 5,6 sama 7! Keempat OP menunjukkan rata-rata durasi tahan napas yang tinggi. Percobaan pada perlakuan 5 menunjukkan bahwa keempat OP dapat menahan napas lebih lama setelah mengalami kondisi hiperventilasi akibat bernapas dalam dan cepat selama 20 detik. Sesuai dengan teori, hal ini menunjukkan bahwa saat keadaan hiperventilasi dimana PCO2 menurun, kemoreseptor akan sukar terangsang sehingga durasi tahan napas bertambah. Begitu juga dengan percobaan perlakuan 6 yang menunjukkan bahwa setelah menghirup O2 murni yang mengakibatkan PO2 alveolar meningkat, keempat OP dapat menahan napas lebih lama. Percobaan pada perlakuan 7 merupakan percobaan untuk melihat efek perlakuan 5 yang digabung dengan perlakuan 6. Percobaan ini membuktikan bahwa dengan dua perlakuan tersebut (menghirup O2 murni dan hiperventilasi), durasi OP menahan napas menjadi lebih lama daripada hanya dengan satu perlakuan.

    4. Ayo liat hasil percobaan pada perlakuan 8! Rata-rata durasi tahan napas OP gak berbeda jauh dengan pada perlakuan 1 (inspirasi biasa) dan 3 (inspirasi kuat), walaupun telah menghirup CO2 10% sebelum tahan napas. Hal ini mungkin disebabkan oleh kantung udara yang juga berkomposisi udara biasa, sehingga kenaikan PCO2 tidak signifikan hingga mempengaruhi ventilasi.

    5. Terakhir nih, liat hasil percobaan pada perlakuan 9! Jadi si OP disuruh berolahraga selama 2 menit, rata-rata durasi tahan napas OP menurun drastis. Jadi ini hasilnya kayak yang di teori ya. Kan pas

  • olahraga banyak factor-faktor yang bisa mempengaruhi ventilasi, seperti: penurunan pH darah akibat metabolisme, proprioseptor di otot dan sendi, dll. Faktor-faktor tersebut yang bikin OP-OP kita ini pada ga kuat nahan napas lama-lama.

    TAMBAHAN: Lama tercapainya breaking point tidak semata-mata disebabkan oleh perubahan PO2, PCO2, dan pH darah. Faktor-faktor lain seperti kontrol volunter, faktor psikologis (seperti nyeri dan emosi), irritant (seperti mukus berlebih atau asap) juga dapat mempengaruhi durasi tahan napas dan breaking point.

  • B. SESAK NAPAS Halo halo halo!!! Selamat datang ke percobaan sesak napas. Percobaan sesak

    napas ini intinya menjejalkan sesuatu ke lubang hidung OP, lalu hitung waktu sampe si OP-nya ga kuat lagi bernapas normal (gara2 sesuatu yang nyangkut di hidung doi itu). Apakah sesuatu yang saya maksud? Sesuatu itu adalah nose piece yang tersedia dengan dalam berbagai ukuran diameter, ada yang 5 mm, 4 mm maupun 3 mm.

    I. Landasan Teori Dispnea

    Menurut buku-buku dan slide kuliah, dispnea dalah sensasi subjektif yang berhubungan dengan perasaan seolah kekurangan udara sehingga muncul keinginan untuk memenuhi ventilasi yang adekuat. Apakah subjektif doang? Tidak! Menurut dokter-dokter pengajar kita, dispnea juga bisa objektif, soalnya kita bisa ngeliat otot2 pernapasan tambahan ikut bekerja saat sesak napas.

    Dispnea itu berawal dari aktivasi korteks sensorik oleh kemoreseptor dan mekanoreseptor, serta sinyal dari korteks motorik. Kemoreseptor dapat teraktivasi pada keadaan hiperkapnia (peningkatan CO2 di arteri) dan hipoksia. Sedangkan mekanoreseptor di paru dan dinding dada dapat teraktivasi saat terjadi peningkatan kerja otot-otot pernapasan.

    Resistensi Saluran Napas Udara dapat mengalir jika terdapat perbedaan antara tekanan atmosfer dan

    tekanan intralveolus. Namun adanya resistensi saluran napas dapat menurunkan laju aliran udara. Seperti yang dijelasi sama rumus berikut ini:

    F = P/R

    F = laju aliran udara (airflow rate) P = perbedaan antara tekanan atmosfer dan intra-alveolus

  • R = resistensi saluran pernapasan Penentu resistensi adalah jari-jari saluran pernapasan. Makin kecil lebar

    saluran pernapasan, makin gede resistensinya dan bakal menurunkan laju aliran udara, begitu juga sebaliknya. Pada keadaan yang normal, saluran napas memiliki resistensi yang rendah sehingga penentu utama laju aliran udara adalah gradien tekanan antara atmosfer dan alveolus (P). Nah, kalo resistensi meningkat, buat menghasilkan laju aliran udara yang normal, diperlukan peningkatan kerja otot-otot pernapasan tambahan, biar si gradien tekanan juga meningkat.

    II. Tujuan Praktikum Menjelaskan sensasi sesak napas Menjelaskan salah satu penyebab dan mekanisme sesak napas

    III. Percobaan Sedikit mengingatkan, masing-masing OP bakal melakukan percobaan ini 3 kali,

    pertama pake nose piece 5mm, terus 4 mm, terakhir pake 3 mm. Nah, percobaan ini ada kontraindikasinya.

    Kontraindikasi: o Penyakit Paru Obstruktif Kronik

    - Bronkitis kronik - Asma - Emfisema

    o Infeksi saluran pernapasan o Alergi sama bahan karet

    IV. Hasil Percobaan Lagi-lagi saya cantumkan hasil dari kelompok saya, hahahah!

    V. Diskusi dan Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan di atas, semua OP mampu bertahan hingga lebih

    dari 5 menit saat menggunakan nose piece dengan diameter 5 mm dan 4 mm. Tapi, pas pake nose piece yang diameter 3 mm, dimana resistensi yang dihasilkan lebih besar daripada dua nose piece sebelumnya, OP-OP kita ini mulai menunjukkan tanda-

  • tanda sesak napas. Lama-lama, para OP mulai ga kuat dan mencapai batas sesak napas masing2. Namun, tiap OP memiliki toleransi yang bervariasi dan sensasi sesak napas yang timbul juga beda-beda. Jadi hasil percobaannya sesuai sama teori ya: makin kecil diameter lubang, makin besar resistensi, makanya makin terasa sesak saat bernapas.

    -----

    Sumber: 1. Penuntun praktikum faal 2. Beberapa buku faal: Silverthorn, Sherwood, dan Martini 3. Jurnal dispnea yang waktu itu dikasih dokter yang ngasih kuliah dispnea

    Wooaaahhhh, selesai juga akhirnya tentir bagian saya Oiya, kalo ada yang mau nambahin atau koreksi, silakan langsung ke milis ya, biar yang lain bisa liat. Terima kasih banyak atas perhatiannya. Semoga bermanfaat!

    Special thanks to: 1. OP praktikum faal. Terima kasih bagi yang telah bersedia menahan napas

    dan bagi yang telah bersedia hidungya dijejelin nose piece. 2. Kelompok 1.Terima kasih atas laporan faalnya yang sangat indah. (Biased)

    Oleh : Zahra Suhardi

  • Tentir Praktikum Faal 01 Physio ex-8

    Teman-teman, pasti bisa! Ace faal!

    1. Simulasi spirometri: mengukur volume paru dan kapasitasnya. Terdapat empat volume respirasi yang biasa dan secara umum kita gunakan, yaitu volume tidal, ekspirasi cadangan, inspirasi cadangan, dan residual. Kapasitas respirasi adalah kombinasi spesifik dari volume respirasi yang dilakukan seseorang pada kondisi yang berbeda-beda (yaitu empat jenis volume respirasi yang telah disebutkan di atas). Pada orang dewasa sehat yang masih muda, jumlah maksimal udara yang dapat ditahan oleh paru adalah sekitar 5,7 liter untuk pria, dan 4,2 liter untuk wanita. Pada akhir ekspirasi tenang yang normal, paru masih mengandung sekitar 2200 ml udara. Pada ekspirasi maksimal, paru dapat mengempis hingga hanya menampung 1200 ml pada pria, dan 1000 ml pada wanita. Paru tidak akan pernah dapat dikempiskan sempurna karena jalan-jalan napas kecil akan kolaps pada ekspirasi yang dipaksakan sehingga udara sisa ini menjadi penting untuk respirasi, karena walaupun terjadi ekspirasi maksimal, pertukaran gas masih dapat terjadi antara darah dengan sisa udara di alveoli.

    Spirometri diperlukan untuk melihat abnormalitas pada gangguan pernapasan, karena dapat membedakan gangguang pernapasan obstruktif ataupun restriktif. Peningkatan pada TLC, FRC, dan RV dapat terjadi karena hiperinflasi dari penyakti paru obstruktif, dan pengurangan pada VC, TLC, FRC, dan RV disebabkan karena penyakit paru restriktif yang membatasi ekspansi paru.

    Selain itu, dengan menggunakan spirometri, dapat juga di dapatkan Minute Ventilation Rate (MVR) MVR adalah total gas yang mengalir masuk dan keluar sistem pernpasan selama 1 menit, atau volume tidak dikalikan jumlah napas per menit. Pada pernapasan normal, MVR : 6L/min. Pada olahraga berat, MVR dapat mencapai 200 L/min. Berikut beberapa jenis volume paru, yaitu:

    Volume tidal (TV). Volume udara yang masuk atau keluar paru dalam sekali napas. Nilai rata-rata pada keadaan istirahat sekitar 500 ml.

    Inspiratory reserve volume (IRV). Volume udara ekstra yang dapat diinspirasi secara maksimal di atas volume tidal istirahat. IRV tercapai akibat kontraksi maksimal diafragma, otot-otot intercostae externae, dan otot-otot inspiratori aksesorius. Nilai rata-rata: 3000 ml.

    Kapasitas inspiratori (IC). Volume udara maksimal yang dapat diinspirasi pada akhir ekspirasi normal (IC=IRV+TV). Nilai rata-rata: 3500 ml.

    Expiratory reserve volume (ERV). Volume udara ekstra yang dapat diekspirasi secara aktif dengan kontraksi maksimal otot-otot ekspiratori. Nilai rata-rata: 1000 ml.

  • Volume residual (RV). Volume minimum udara yang tersisa di dalam paru bahkan setelah ekspirasi maksimal. Nilai rata-rata: 1200 ml.

    Kapasitas residual fungsional (FRC). Volume udara di dalam paru pada akhir ekspirasi pasif normal (FRC=ERV+RV). Nilai rata-rata: 2200 ml.

    Kapasitas vital (VC). Volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan dalam satu kali napas setelah inspirasi maksimum. Nilai rata-rata: 4500 ml.

    Kapasitas paru total (TLC). Volume udara maksimum yang dapat ditahan oleh paru (TLC=VC+RV). Nilai rata-rata: 5700 ml.

    Forced expiratory volume in one second (FEV1). Volume udara yang dapat dikeluarkan selama detik pertama ekspirasi saat menentukan VC. Umumnya bernilai sekitar 80% dari VC.

    a. Hasil dan Diskusi: Mengukur volume respiratori

    Tabel di atas menggambarkan nilai normal sistem pernapasan kita yang diukur dengan spirometri.

  • Nilai minute respiratory volume (MRV) dihitung dengan menggunakan rumus: TV (tidal volume) x BPM (breath per minute) = 500 x 15 = 7500 ml/menit. Selain itu, volume cadangan ekspirasi tidak termasuk volume tidal karena ini hanya merupakan volum tambahan yang masih dapat dihembuskan setelah ekspirasi biasa

    b. Pengaruh Resistensi Saluran Napas terhadap Volume Pernapasan Jumlah aliran gas yang masuk dan keluar dalam alveoli berbanding lurus

    dengan P, perbedaan tekanan antara alveoli dengan atmosfer luar. Hanya dengan perbedaan tekanan sedikit maka dapat menimbulkan aliran udara yang cukup untuk pernapasan. Hal ini sesuai dengan persamaan:

    Keterangan: F : laju aliran udara R : resistensi saluran pernapasan yang ditentukan oleh jari-jari : gradien tekanan udara (antara alveolus dengan atmosfer luar)

    Seperti yang terlihat pada rumus, resistensi memberikan pengaruh yang jelas dimana jika resistensi meningkat maka aliran udara juga akan menurun. Hal ini akan memberikan hubungan berbanding terbalik antara resistensi dengan aliran udara. Resistensi terbesar pada sistem pernapasan adalah diameter dari tiap-tiap tabung penyalur udara tersebut.

    Hasil dan Diskusi

    CHART 1 FEV1 as % of VC Radius FEV1 (ml) Vital Capacity (ml) FEV1 (%)

    5.00 4.50 4.00 3.50 3.00

    3541 2303 1422 822 436

    4791 3143 1962 1150 621

    73.9 73.3 72.5 71.5 70.2

    Dari tabel hasil dapat dilihat bahwa semakin kecil radius, aliran udara juga akan semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh peningkatan resistensi saluran napas. Semua volume menurun, kecuali volume residual. Hal ini dikarenakan,

  • semakin besar resistensi, jumlah udara yang dapat dikeluarkan dari paru-paru juga semakin sedikit, sehingga udara yang tertinggal di paru lebih banyak.

    Pada Chart 1, nilai FEV1 (%) juga menurun seiring dengan penurunan radius saluran napas. Tingginya resistensi menyebabkan laju aliran udara berkurang sehingga nilai FEV1 menurun melebihi penurunan kapasitas vital paru, sehingga berakibat pada penurunan persentase FEV1.

    C. Faktor yang mempengaruhi sistem pernapasan: Surfaktan dan Tekanan Intrapleura Surfaktan

    Air merupakan kumpulan dari molekul yang sangat polar dan memiliki teggangan permukaan yang tinggi, dan komponen lapisan yang menyelimuti dinding alveolar, sehingga lapisan ini memaksa alveoli untuk terus mengecilkan ukurannya. Akan tetapi hal ini tidak terjadi karena terdapat cairan yang bernama surfaktan, yaitu kompleks campuran dari lipid dan protein yang disekresikan oleh sel alveolar tipe II. Surfaktan membuat tegangan permukaan alveolar menurun (mengurangi kohesif molekul-molekul air) sehingga memberikan keuntungan yaitu : meningkatkan penyesuaian paru, menurunkan penggembungan paru, menurunkan kecenderungan paru untuk mengecil sehingga mereka tidak kolaps dengan mudah, serta berkurangnya tenaga tambahan untuk mengekspansi alveoli. Menurut hukum LaPlace

    P =

    P = inward-directed collapsing pressure T = surface tension r = radius of bubble (alveolus)

    Karena tekanan untuk kolaps berbanding terbalik dengan radius, sehingga semakin kecil alveolus semakin besar pula kemungkinan alveolus untuk kolaps. Surfaktan berperan untuk mengurangi tegangan permukaan pada alveoli kecil, hal ini terjadi karena molekul surfaktan pada alveoli kecil saling berdekatan sehingga memiliki efek yang lebih besar dari pengurangan tegangan permukaan. Oleh karena itu surfaktan menjaga bentuk dari alveoli kecil dan besar, juga membuat alveoli tetap terbuka sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara.

    Tekanan Intrapleura

    Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantung pleura dan sering juga disebut sebagai tekanan intratoraks, umumnya lebih rendah daripada tekanan atmosfer (tekanan intrapleura 756 mmHg, tekanan atmosfer 760 mmHg). Besar tekanan intrapleura tidak sama dengan tekanan atmosfer maupun dengan tekanan intra-alveolar karena tidak ada komunikasi langsung antara ruang pleura dengan paru atau atmosfer. Hal ini disebabkan karena ruang pleura, adalah ruangan tertutup tanpa

  • bukaan, sehingga air tidak dapat masuk ataupun keluar sehingga tidak mungkin adanya perbedaan tekanan.

    Tekanan intrapleura yang lebih rendah memiliki dua efek: tekanan intra-alveolus yang lebih tinggi mendesak jaringan paru ke arah luar, dan tekanan atmosfer mendesak dinding dada ke arah dalam. Akibatnya paru dan dinding dada terdorong mendekat satu sama lain, namun paru dan dinding dada tetap memiliki resistensi terhadap desakan. Oleh karena itu cairan intrapleura berfungsi sebagai perekat (molekul cairan intrapleural bersifat kohesif sehingga saling menarik). Perubahan minor pada volum ruang intrapleura membuat tekanan intrapleura di sedikit lebih kecil daripada tekanan alveolus dan tekanan atmosfer.

    Gradien yang tercipta antara tekanan intraalveoli dan tekanan atmosfer akan memicu aliran udara untuk masuk dan keluar ketika bernapas. Tekanan pada rongga pleura ini akan selalu berfluktuasi saat pernapasan, tetapi tekanan tersebut selalu dijaga dibawah 4 mmHg daripada tekanan pada paru-paru. Hal ini terjadi karena dengan tekanan yang lebih rendah, paru-paru dapat terus mengembang.

    Hasil dan Diskusi

    Surfaktan merupakan salah cairan yang disekresikan oleh pneumosit tipe II yang bertugas untuk menurunkan teggangan permukaan cairan alveoli sehingga tidak mudah collapse. Peningkatan jumlah molekul surfaktan menyebabkan aliran udara meningkat sehingga udara yang masuk ke dalam paru juga semakin banyak (Lihat peningkatan total flow pada baris pertama dan kedua karena penambahan surfaktan).

    Pada percobaan tekanan, tidak adanya tekanan pada paru kiri (lihat pada baris ke-4 dan ke-5: mencapai nilai 0) membuat tidak adanya aliran udara yang masuk (Flow L (Left) juga mencapai 0) karena paru-paru mengalami collapse, akibatnya aliran darah turun. Hal ini terjadi karena pembukaan katup pleura pada percobaan ini menyebabkan udara masuk ke dalam pleura, tekanan intrapleural menjadi sama dengan tekanan atmosfer, lalu menekan paru-paru, akibatnya collapse. Tekanan intrapleural normalnya selalu dijaga berada di bawah tekanan paru-paru agar dapat menjaga ekspansi paru.

  • Jawaban Pertanyaan Physio-ex: 1. Does expiratory reserve volume include tidak volume? Tidak, karena ERV

    merupakan volume pernapasan ekspirasi yang masih dapat dikeluarkan setelah ekspirasi dengan volume tidal

    2. What happened to the FEV1 (%) as the radius of the airways was decreased? FEV1(%) juga ikut menurun, hal ini karena persentase FEV1 terus menurun dimana kapasitas vital tidak menurun secara signifikan sehingga persentase ikut berubah.

    3. What happened to the FEV1 (%) as the radius of the airways was decreased? FEV1(%) juga ikut menurun, hal ini karena persentase FEV1 terus menurun dimana kapasitas vital tidak menurun secara signifikan sehingga persentase ikut berubah.

    4. How has the airflow changed compared to the baseline run? Aliran udara menurun berbanding lurus dengan penurunan radius.

    5. Prematur infants often have difficulty breathing. Explain why this might be so! Hal ini terjadi karena pada bayi premature pneumosit II pada alveolus belum dapat memproduksi surfactant dengan sempurna sehingga beberapa alveoulus dapat collapse.1

    6. What happened to the lung in the left side of the bell jar? Paru-paru sebelah kiri collapsed.

    7. How did the pressure in the left lung differ from that in the right lung? Tekanan intrapleural pada paru-paru kiri menjadi meningkat sama dengan tekanan atmosfir sehingga menekan paru-paru kiri tersebut hingga collapse.

    8. How did the total air flow in this trial compare with that in the previous trial in which the pleural cavities were intact? Aliran udara total menurun drastis, hal ini wajar karena hanya paru-paru kanan yang bekerja memompa pernapasan.

    9. What do you think happen if the two lungs were in a single large cavity instead of separate cavities? Yang terjadi adalah jika terjadi kebocoran sedikit saja pada pleura hal ini akan langsung berakibat fatal karena tidak ada mekanisme cadangan pada paru-paru kiri dan kanan.

    10. Did the the deflated lung reinflate? Ya, paru-paru kiri mengembang kembali karena valve yang telah ditutup dan tekanan intrapleural dikembalikan lagi pada keadaan semula dimana tekanan tersebut lebih rendah daripada tekanan paru-paru sehingga memaksa paru-paru untuk mengembang.

    11. Why did lung function in the deflated (left) lung return to normal after you clicked reset? Karena paru-paru tersebut sudah dapat mengembang dengan baik dengan tekanan intrapleural pressure yang terus menjaga agar paru-paru tidak collapse.

    2. Stimulasi Variasi Pernapasan Pernapasan dibagi menjadi dua, yaitu pernapasan volunter (oleh beberapa

    kelompok neuron di bilateral medulla oblongata dan pons) dan involunter. Kontraksi dan relaksasi otot-otot pernapasan, diafragma dan musculus intercostae externus yang

  • dipersarafi oleh nervus phrenikus dan intercostals menyebabkan pernapasan secara ritmik. Daerah pada medulla oblongata dan pons dibagi menjadi tiga kelompok neuron utama, yaitu : Kelompok pernapasan dorsal

    Terletak di bagian dorsal medulla di dalam nukleus traktus solatorius. Irama dasar pernapasan terutama berasal dari kelompok neuron ini.

    Kelompok pernapasan ventral Terletak di kira-kira 5 milimeter di sebelah anterior dan lateral kelompok pernapasan dorsal yang di nukleus ambigus rostralis dan nukelus retroambigus kaudalis. Fungsinya adalah sebagai penyokong inspirasi dan ekspirasi.

    Pusat pneumotaksik Terletak di sebelah dorsal nucleus parabrakialis bagian superior pons. Efek utamanya adalah mematikan titik ramp inspirasi sehingga mengatur lamanya fase pengisian pada siklus paru. Fungsi ini berefek terhadap peningkatan kecepatan pernapasan.

    Pengaturan Kimia Pernapasan Aktivitas pernapasan sangat responsif terhadap perubahan konsentrasi oksigen,

    karbon dioksida, dan ion hidrogen dalam cairan tubuh.

    Kemoreseptor Pusat Terletak bilateral hanya seperlima milimeter di bawah permukaan ventral

    medulla, sangat sensitif terhadap perubahan Pco2 konsentrasi ion hidrogen yang kemudian merangsang bagian lain pada pusat pernapasan. Ion hidrogen lebih berpengaruh pada efek langsung sedangkan karbonsioksida mempunyai efek tak langsung, karena ion hidrogen tidak mudah melalui sawar darah-otak atau sawar darah-cairan serebrospinal. Karbon dioksida akan bereakasi dengan cairan jaringan untuk membentuk asam karbonat kemudian berdisosiasi menjadi ion bikarbonat dan ion hidrogen. Ion hidrogenlah yang berpengaruh secara langsung. Kemoreseptor Perifer

    Berfungsi untuk mendeteksi perubahan oksigen dalam darah, namun berespon juga terhadap perubahan karbon dioksida dan konsentrasi ion hidrogen. Kemoreseptor perifer terletak di badan karotis dan badan aorta.

    Efek Tekanan CO2 Peningkatan/penurunan konsentrasi karbondioksida atau peningkatan konsentrasi H+ mengeksitasi kemoreseptor langsung atau tidak langsung meningkatkan aktivitas respirasi. Efek di sentral dan perifer sama, namun efek sentral tujuh kali lebih kuat. Hiperventilasi Kenaikan PCO2 mengakibatkan penurunan pH (kenaikan H+), atau penurunan PO2, kemudian sinyal yang masuk ke dalam kemoreseptor sentral maupun perifer mengakibatkan pengaktifan area inspirasi, sehingga frekuensi dan kedalaman pernapasan pun meningkat (Rapid and deep breathing), disebut hiperventilasi (menyebabkan inhalasi O2 lebih banyak dan ekhalasi CO2 sampai PCO2 dan H+

  • menurun sampai normal). Dalam keadaan normal, PCO2 memiliki nilai normal 40 mmHg pada tekanan arteri. Pada kondisi tekanan CO2 berlebihan disebut hiperkapnia/hiperkarbia, kemoreseptor sentral tersimulasi dan memberikan respon yang menyebabkan peningkatan level H+.

    Saat seseorang melakukan hiperventilasi, terjadi penurunan PCO2 sehingga ketika hiperventilasi dihentikan, akan terjadi periode apnea sebagai upaya meningkatkan PCO2. Bersamaan dengan itu, PO2 darah turun. Rangsang hipoksia terhadap badan karotid dan aortik menyebabkan napas berlanjut, tetapi lebih dangkal dari napas normal. Jika keadaan hipoksia teratasi, apnea terjadi lagi sampai PCO2 kembali seperti semula. Jika PCO2 sudah normal kembali, ventilasi akan kembali ke frekuensi dan volume normalnya.

    Rebreathing

    Udara pernapasan dari paru kembali dihirup dan dilepaskan berulang-ulang sampai PCO2 alveoli meningkat dua kali lipat nilai normalnya (+ 80 mm Hg), terjadi kompensasi dengan meningkatkan minute volume respiration. Akan tetapi, jika PCO2 terlalu tinggi, pusat pernapasan justru akan terdepresi dan terjadi gagal napas.

    Breath Holding Respirasi volunter dapat diinhibisi dalam beberapa waktu, sampai titik dimana napas tidak dapat dihambat (breaking poin)t. Disebut breaking karena peningkatan PCO2 dan berkurangnya PO2. Refleks atau faktor mekanik dapat mempengaruhi breaking point, juga faktor psikologis (seseorang dapat menahan napas lebih lama ketika dia berkata bahwa dia dapat menahan napas daripada tidak).

    Hasil dan Diskusi

    Pada rapid breathing atau hiperventilasi, tekanan CO2 menurun karena banyak dikeluarkan oleh tubuh dan pernapasan pun berlangsung cepat, sehingga sebagai kompensasinya, frekuensi pernapasan ditingkatkan untuk tetap memenuhi kebutuhan oksigen. Akibatnya, aliran udara mengalami penurunan. Hal tersebut juga menandakan bahwa volume ekspirasi CO2 lebih banyak dibandingkan CO2 yang berdifusi dari kapiler pulmonal ke alveoli. Pada keadaan normal, CO2 yang berdifusi ke alveoli dan yang dikeluarkan lewat ekspirasi kurang-lebih seimbang, menghasilkan nilai PCO2 alveolar yang cenderung konstan pada sekitar 40 mm Hg.

  • Pada tahan napas atau breath holding, CO2 dalam tubuh mengalami peningkatan karena CO2 yang dihasilkan tidak diekshalasi, namun tetap disimpan dalam alveolar. Saat terjadi breaking point, inhibasi sentral untuk menahan napas telah diambil alih secara refleks, sehingga terjadi kedalaman napas signifikan. Hal ini sebagai kompensasi breath holding, dimana tubuh tidak memiliki ventilasi sehingga usahanya untuk memenuhi kebutuhan O2 dan membuang CO2 lebih besar.

    Pada rebreathing, tekanan CO2 meningkat karena CO2 yang baru saja dikeluarkan dihirup lagi. Frekuensi pernapasan sama, atau cenderung lebih cepat dan dalam, sebagai kompensasi tubuh untuk segera membuang CO2 yang banyak terkumpul dan menukarnya dengan O2.

    3. Pola Pernapasan Emfisema Kelainan paru pada penyakit emfisema terletak pada bagian distal dari bronkiolus terminal yang disertai dengan pembesaran permanen dan destruksi dinding rongga tersebut. Asma National Asthma Education and Prevention Program mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis pada saluran pernapasan di mana elemen-elemen seluler seperti sel mast, eosinofil, limfosit T, netrofil, dan sel epitel berperan, menimbulkan berbagai efek sehingga timbul berbagai manifestasi klinis, seperti menyempitnya saluran pernapasan, terbatasnya aliran udara, serta terganggunya mekanisme fungsi paru-paru. Peningkatan resistensi saluran napas yang persisten mengakibatkan terjadinya berbagai kelainan fungsi paru, diantaranya penurunan FEV (Forced Expiratory Volume) dan FR (Flow Rate), hiperinflasi paru dan toraks, perubahan pada elastisitas, peningkatan work of breathing, perubahan pada fungsi otot respirasi, perubahan pada konsentrasi gas arterial, serta distribusi abnormal ventilasi dan aliran darah pulmonal dengan mismatched ratio.

    Hasil dan Diskusi

    Empisema FVC pada pasien emfisema mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada

    orang normal, FEV1 pada pasien emfisema mengalami penurunan yang sangat besar. Hal ini dapat terjadi karena pada emfisema terjadi penyempitan bronkioli respiratorik.

  • Pada proses ekspirasi, bronkioli mengalami penyempitan karena gaya luar yang menekan paru sehingga fase ekspirasi akan terasa lebih sulit.

    Lalu, mengapa penurunan lebih besar pada FEV 1? Karena obstruksi sangat berat sehingga ekspirasi yang dilakukan selama 1 detik sangatlah kecil (FEV 1 menurun lebih besar). Sedangkan FVC merupakan total udara yang diekspirasi sehingga walaupun terjadi obstruksi, otot-otot pernapasan dapat membantu ekspirasi hingga titik maksimum (tidak diukur dengan waktu). Selain itu, peningkatan RV juga menunjukkan udara terperangkap di dalam paru-paru karena obstruksi.

    Serangan Asma akut dan Setelah Inhalasi Obat

    Pada keadaan asma juga hampir serupa, namun IRV pada pasien asma masih berada dalam keadaan normal yaitu 2700 ml dimana normalnya sekitar 2100-3200 ml. Hal ini menunjukkan kelainan yang tidak signifikan pada saat inspirasi, tetapi kelainan pada ekspirasi (penurunan ERV karena obstruksi, peningkatan RV karena udara terperangkap, penurunan FVC, FEV1 karena kesulitas ekspirasi akibat obstruksi yang menigkatkan resistensi jalan nafas).

    FVC yang menurun dapat disebabkan obstruksi lumen pada penderita asma yang dapat diakibatkan oleh tonus muskular atau hipersekresi sel Goblet. FEV1 yang berkurang drastis juga dapat disebabkan karena ketika inspirasi lumen masih akan terbuka karena adanya tekanan negatif di rongga paru, tetapi ketika ekspirasi yang bersifat pasif lumen akan tetap (dengan penyempitan) sehingga FEV1 lebih drastis merendah. Rasio FEV1/FVC menjadi 40% (di bawah normal).

    Setelah diberikan medikasi inhaler. FVC dan FEV1 meningkat hampir normal, menunjukkan volume dan kapasitas paru membaik. Rasio FEV1/FVC menjadi kembali normal. Respon fisiologis ini diakibatkan karena obat beta-2 agonis menempati reseptor beta-2 yang dapat meningkatkan tonus muskular menjadi tidak aktif dan lumen kembali melebar.

    Breathing during exercise

    Pada seseorang yang berolahraga menunjukkan peningkatan yang signifikan pada volume tidalnya, karena seseorang yang berolahraga membutuhkan banyak oksigen sehingga volume tidalnya meningkat, akibatnya IRV dan ERV menurun.

    Pada latihan berat, kebutuhan oksigen meningkat tetapi produksi CO2 sangat berlebihan sehingga volume tidal meningkat lebih drastis dibandingkan saat istirahat maupun latihan sedang, sehingga peningkatan volume tidal yang lebih besar.

    Sumber tentir: Laporan praktikum kelompok 1, 8, 12, dan 13. Oleh : Naela Himayati Afifah

  • Praktikum Fisiologi 02 PHYSIO EX KESEIMBANGAN ASAM BASAPHYSIO EX KESEIMBANGAN ASAM BASAPHYSIO EX KESEIMBANGAN ASAM BASAPHYSIO EX KESEIMBANGAN ASAM BASA

    Tinjauan Pustaka

    A. ASIDOSIS RESPIRATORI Eksresi atau pembuangan karbondioksida paru yang tidak adekuat pada keadaan produksi normal gas ini, maka akan menimbulkan asidosis. Pada orang yang sehat, peningkatan produksi karbondioksida akan merangsang pembuangannya secara respiratorik untuk mempertahankan PCO2 dan status asam basa darah. Pada semua keadaan sakit yang mengakibatkan asidosis respiratorik, PCO2 akan terus meningkat (biasanya meningkat sampai lebih dari nilai normal, yaitu > 45 mmHg) sampai ekresi karbondioksida paru sama dengan produksinya. Meskipun telah dicapai keseimbangan baru, peningkatan PCO2 akan menyebabkan asidosis sistmeik dengan meningkatkan konsentrasi asam karbonat serum dan ion hidrogen. Karbondioksida merupakan komponen penting sistem buffer cairan ekstraseluler, peningkatan PCO2 mula-mula harus di buffer non-bikarbonat, yaitu protein dalam cairan ekstraseluler dan fosfat, hemoglobin, protein lain, dan laktat dalam sel. Asidosis dan peningkatan PCO2 merangsang ginjal unuk meningkatkan ekskresi ion hidrogen dalam bentuk ammonium dan asam tertitrasi untuk menghasilkan dan mengabsobrsi lebih banyak bikarbonat. Kadar bikarbonat plasma dapat meningkat di atas normal. Pada keadaan ini, peningkatan kadar bikarbonat plasma mengkompensasi peningkatan PCO2 sehingga pH dapat kembali normal dan asidosis respiratori telah dikompensasi oleh mekanisme ginjal.

    Jadi, sesuai dengan reaksi berikut: CO2 + H2O H2CO3 H+

    + HCO3- Benar dikatakan apabila CO2 meningkat, maka makin banyak ion bikarbonat yang terbentuk sebagai bentuk kompensasinya. Kesimpulan : pada keadaan Asidosis respiratorius terjadi: Peningkatan PCO2, pH darah arteri yang rendah (menjadi asam), dan kadar bikarbonat plasma yang meningkat sedang. Skema disamping meringkas

    semua penjelasan di atas.

  • B. ALKALOSIS RESPIRATORI Kehilangan karbondioksida berlebihan dari paru pada keadaan produksi normal mengakibatkan penurunan PCO2 menimbulkan alkalosis respiratori. Pro

    B. ALKALOSIS RESPIRATORI Kehilangan karbondioksida berlebihan dari paru pada keadaan produksi

    normal mengakibatkan penurunan PCO2 (biasanya mencapai < 3 mmHg) menimbulkan alkalosis respiratori. Proses ini bisa terjadi pada hiperventilasi

    psikogenik, ventilasi yang berlebihan pada penderita dengan bantuan ventilator, dsb. Pada alkalosis respiratori, terjadi peningkatan pH darah dan penurunan PCO2 plasma. Maka akan terjadi kompensasi yang cepat pada perubahan ini, yaitu ion hidrogen akan dibebaskan ke darah oleh buffer tubuh untuk menurunkan bikarbonat plasma. Sekitar 99% ion hidrogen dibebaskan oleh buffer intraseluler, sedangkan sisanya 1% dari buffer ekstraseluler. Hayoo, masih pada inget tentang buffer? Kalo lupa nihdisamping ada gambarnya untuk merecall ingatan kita. Nah, bagaimana tubuh merespons alkalosis respiratori ini..? ini dia ada skemanya lagi:

    Kehilangan karbondioksida berlebihan dari paru pada keadaan produksi (biasanya mencapai < 3 mmHg) dan

    ses ini bisa terjadi pada hiperventilasi psikogenik, ventilasi yang berlebihan pada penderita dengan bantuan

    Pada alkalosis peningkatan pH

    darah dan penurunan PCO2 plasma. Maka akan terjadi kompensasi yang

    erubahan ini, yaitu ion hidrogen akan dibebaskan ke darah oleh buffer tubuh untuk menurunkan bikarbonat plasma. Sekitar 99% ion hidrogen dibebaskan oleh buffer intraseluler, sedangkan sisanya 1% dari buffer ekstraseluler. Hayoo, masih pada

    ffer? Kalo lupa nih nya untuk

    Nah, bagaimana tubuh merespons alkalosis respiratori ini..? ini

  • C. ASIDOSIS METABOLIK Asidosis metabolik ditimbulkan oleh perubahan keseimbangan antara produksi dan ekskresi asam. Asidosis sistemik bisa disebabkan oleh peningkatan konsentrasi ion hidrogen darah akibat akumulasi yang ditimbulkan oleh ketidakadekuatan ekskresi ion hidrogen atau kehilangan bikarbonat berlebihan dari urin atau tinja. Akibat asiodosis sistemik dan peningkatan PCO2, maka akan merangsang pusat respirasi dan juga kemoreseptor perifer di arteri karotis dan aorta untuk meningkatkan kecepatan respirasi, sehingga akan meningkatkan laju eksresi karbondioksida. PCO2 plasma dan kadar asam karbonat turun, secara total maupun parsial dan mengoreksi asidosis. Asidosis juga akan merangsang ginjal untuk meningkatkan produksi ammonia dan ekskresi ion hidrogen di urin. Di nefron distal, sekresi ion hidrogen disertai pengembalian bikarbonat ke sirkulasi meningkatkan pembentukan bikarbonat dan mengembalikan kadar bikarbonat plasma menjadi normal, yang berarti pH darah juga kembali normal. Singkat ceritaa,, ini diaa:

    D. ALKALOSIS METABOLIK Tiga mekanisme dasar yang dapat menyebabkan alkalosis yaitu:

    Kehilangan berlebihan ion hidrogen seperti pada aspirasi lambung berkepanjangan atau muntah terus menerus

    Peningkatan penambahan bikarbonat ke cairan ekstraseluler, misalnya pada sindrom alkali susu

    Penurunan volume cairan ekstraseluler yang meningkatkan konsentrasi bikarbonat di ruang cairan itu dan meningkatkan reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal

  • Sistem buffer akan meminimalkan perubahan pH, tetapi kadar bikarbonat plasma dan pH meningkat. Respirasi akan ditekan yang bertujuan mengurangi pernapasan yang nantinya akan menyebabkan sedikit peningkatan PCO2 plasma, tetapi respon ini dibatasi oleh peningkatan hipoksia sehingga kompensasi respiratorik tidak selalu lengkap dan tidak pernah mengembalikan pH ke normal.

    Ini bentuk kompensasinya:

    Nah, udah pada paham kan tentang keempat hal yang kita bahas di atas. Sebagai penutup, ini ada ringkasannya:

  • DISKUSI HASIL DAN KESIMPULAN 1. Asidosis dan Alkalosis Respiratori

    a. Pernafasan Normal Tabel 1.1 Pengukuran Pernafasan Normal

    no. Detik ke- pH 1 20 7,41 2 40 7,41 3 60 7,41

    Karena bernapasnya normal, maka nilai PCO2 juga pasti normal, sehingga pH darah bisa dipertahankan tetap normal pula.

    b. Hiperventilasi I Tabel 1.2 Pengukuran Hiperventilasi I

    no. Detik ke- pH 1 20 7,46 2 40 7,57 3 60 7,65

    Peningkatan ventilasi pernafasan yang dilakukan secara volunter maupun involunter mengakibatkan peningkatan pH. Peningkatan pH disebabkan oleh menurunnya PCO2 yang terjadi akibat pelepasan CO2 ke udara alveolus. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya PCO2 pada percobaan ini, dan dalam 20 detik pH menjadi basa (7,46).

  • Pada keadaan dimana peningkatan ventilasi terjadi secara involunter dan tidak dapat dikendalikan secara volunter, maka peningkatan pH menjadi tidak terhindarkan. Pada keadaan seperti ini peran mekanisme kompensasi pH melalui ginjal menjadi sangat penting. Ginjal mengatur jumlah ion HCO3- atau H+ yang akan diekskresikan melalui urin. Pada kasus ini eksresi HCO3- akan meningkat.

    c. Hiperventilasi II Tabel 1.3 Perhitungan Hiperventilasi II

    Frekuensi dan amplitudo dari pernafasan dipengaruhi oleh banyak faktor. Tekanan parsial O2 berbanding terbalik dengan frekuensi dan amplitudo pernafasan. Kadar H+ dan PCO2 memilki hubungan berbanding terbalik dengan frekuensi dan amplitudo pernafasan. Hiperventilasi yang dilakukan secara volunter mengubah keseimbangan kimiawi darah yang ditandai dengan meningkatnya pH, PO2 dan menurunnya PCO2. Perubahan ini memicu terjadinya apneu selama beberapa saat untuk melakukan kompensasi via sistem respirasi.

    d. Rebreathing Tabel 1.4 Perhitungan Rebreathing

    no. Detik ke- pH 1 20 7,37 2 40 7,30 3 60 7,24

    Gambar 1.5 Grafik ventilasi pada intervensi rebreathing

    Pada rebreathing, terjadi inspirasi ulang dari udara yang sudah diekspirasikan. Udara yang sudah diekspirasikan memiliki karakteristik meningkatnya PCO2 dan

  • terdapat sejumlah uap air. Efek dari mekanisme rebreathing adalah menrunnya pH hingga dibawah 7,35, sekitar 7,24. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya PCO2 alveolar sehingga pertukaran gas CO2 tidak sebanyak sebelumnya dan hal ini menyebabkan penumpukan CO2 di dalam tubuh dan pada akhirnya meningkatkan pH darah. Peningkatan dari pH juga mempengaruhi frekuensi dan amplituda pernafasan, ditandai dengan adanya peningkatan volume tidal.

    Tabel 1.6 Hasil Asidosis dan Alkalosis Respiratori

    Hanya ringkasan dari yang di atas kok teman2..

    2. Asidosis dan Alkalosis Metabolik Gambar 2.1 Respon respiratori terhadap Metabolisme normal

    Karena semuanya normal, pernapasan berlangsung normal.

  • Tabel 2.2 Hasil Asidosis/alkalosis Metabolik

    Gambar 2.3 Respon Respiratori terhadap Peningkatan Laju Metabolisme

    Pada saat kecepatan metabolik meningkat, terjadi peningkatan produksi CO2 dan asam laktat. Karbondioksida akan bereaksi dengan H2O dengan reaksi berikut :

    CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-

    Berdasarkan rumus tersebut, apabila terjadi kenaikan CO2 maka akan terjadi peningkatan produksi H+ sehingga pH darah akan meningkat dan terjadi asidosis metabolik. Peningkatan kadar asam laktat berkontribusi pula terhadap peningkatan pH darah. Pada tabel terlihat pada kecepatan metabolik 70 L/s dan 80 L/s, terjadi perubahan pH menjadi asidosis metabolik dengan pH 7,28 dan pH 7,25. Peningkatan CO2 , pCO2, dan [H+] akan menstimulasi kemoreseptor pusat dan perifer sehingga terjadi peningkatan ventilasi yang merupakan kompensasi dari asidosis metabolik. Dengan terjadinya peningkatan ventilasi, maka akan semakin banyak CO2 yang dikeluarkan dan pengurangan CO2-generating H+. Semakin berkurangnya H+, maka pH plasma akan meningkat dan kembali ke pH dalam kisaran normal.

  • Gambar 2.4 Respon Respiratori terhadap Penurunan Laju Metabolisme

    Pada saat kecepatan metabolik menurun, akan terjadi hal yang berkebalikan dengan pada saat kecepatan metabolik meningkat yaitu terjadi penurunan dari produksi CO2. Dengan berkurangnya produksi CO2 dan pCO2, konsentrasi H+ di dalam darah akan semakin berkurang. Dengan berkurangnya H+ maka akan terjadi alkalosis metabolik. Pada table terlihat pada kecepatan metabolic 20 L/s dan 30 L/s, terjadi perubahan pH menjadi 7,49 dan 7,46. Setelah terjadi alkalosis metabolic, maka stimulasi kemoreseptor sentral dan perifer akan menurun sehingga ventilasi akan berkurang sebagai kompensasinya. Sebagai kompensasi, CO2 dalam tubuh akan meningkat dan pH akan berkurang untuk kembali ke kisaran normal.

    1. Djojodibroto RD. Respirologi. Ed 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009; h. 57-59.

    2. Siregar P. Gangguan keseimbangan asam basa metabolik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Bukuajar ilmu penyakit dalam. ed.V. Jakarta: Interna Publishing; 2010. hal.191

    3. Laporan Kelompok 2

    Oleh : Monika Besti Yolanda Jangan kaget liat jumlah halamannya ya teman2.. :D