proposal tentang tradisi bab 1, 2, 3

Upload: eddy-parmayadi-katanya

Post on 10-Oct-2015

151 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Pada bab 1 mengenai latar belakang tentang tradisi kaboro co'i, dan pada bab 2 akan membahan tnentang tinjauan teori dan bab 3 akan membahas metodologi peneltiansehingga siapa yang mendownload file ini, akan menambah wawasan tentang tradisi yang terdapat di daerah bima sumbawa NTB

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahNilai-nilai sosial di Indonesia sangat beragam. Hal ini sebagai dampak dari keanekaragaman budaya di negara ini. Nilai sosial merupakan nilai yang dianut oleh masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai sangat dipengaruhi oleh kebudayaan suatu masyarakat. Setiap daerah atau suku di Indonesia biasanya memiliki kebudayaan yang berbeda, begitu pula dengan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Keberagaman budaya yang ada di Indonesia dilandasi oleh toleransi hidup yang tinggi. Hal ini sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua. Kebudayaan dapat dipandang sebagai suatu kumpulan pola-pola tingkah laku manusia yang bersandar pada daya cipta dan keyakinan untuk keperluan hidup dalam masyarakat (Abdulsyani, 2002: 48) Salah satu kemajemukan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu sistem perkawinan. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut menurut Kompilasi HHHhhhhHJJukum Islam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Nuruddin, 2004:42)Berbagai macam tata upacara perkawinan yang berlaku diberbagai daerah adalah tatanan nilai-nilai luhur yang telah dibentuk oleh para tetua yang diturunkankan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, upacara adat perkawinan merupakan serangkaian kegiatan yang maksud dan tujuan agar perkawinan akan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan di hari kemudian. Semua kegiatan, termasuk segala perlengkapan upacara adat merupakan lambang yang mempunyai makna dan pengharapan tertentu (Wiyasa, 2002: 9).Dalam pelaksanaannya upacara perkawinan biasanya akan melalui beberapa tahapan. Misalnya terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Sasak Getap di Kelurahan Cakra Selatan Baru terdapat tahapan Bejango dimana diartikan sebagai kunjungan warga masyarakat sekitar tempat tinggal calon pengantin pria untuk melihat atau mengenal lebih jauh calon pengantin perempuan. Tradisi Bejango biasanya mulai dilaksanakan sejak calon pengantin perempuan dibawa kerumah orang tua calon pengantin pria dan berakhir hingga akad nikah dilangsungkan (Tasnia, 2008:33). Pada saat Bejango, calon pengantin wanita menjadi pusat perhatian masyarakat setempat, oleh karena itu sikap serta penampilan calon pengantin harus dijaga. Sementara itu masyarakat yang melakukan Bejango pada umumnya membawa beras dan gula, tetapi ada juga yang membawa pakaian atau perlengkapan pribadi untuk calon pengantin. Sementara itu dari pihak tuan rumah harus menyiapkan sajian berupa dulang sanganan (jajan). Tradisi Bejango mengandung banyak makna bagi masyarakat Getap, selain sebagai wadah silaturahim, serta diharapkan dapat membantu keluarga pengantin pria dalam melakukan begawe (syukuran). Sementara itu dalam perkawinan suku Bima terdapat tradisi kaboro coi (mengumpulkan mahar) tradisi kaboro coi merupakan salah satu dari beberapa tahap yang harus dilewati dalam perkawinan yang ada di Kabupaten Bima, khususnya di Desa Tangga Kecamatan Monta. Kaboro coi merupakan tardisi mengumpulkan mahar yang dilakukan oleh masyarakat sekitar guna membantu pihak calon pengantin laki-laki dalam memenuhi nilai mahar yang telah disepakati oleh kedua keluarga yang berhajat dan untuk menambah biaya yang diperlukan pada saat acara perkawinan. Dalam pelaksanaan perkawinan itu sendiri mahar merupakan syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, mahar atau dalam bahasa Bima-nya biasa disebut dengan coi merupakan pemberian wajib calon suami kepada calon istri, baik itu berupa uang maupun berupa barang. Seperti halnya di daerah lain, dalam pelaksanaan perkawinan suku Bima besarnya coi tergantung dari hasil keputusan musyawarah dan mufakat dari kedua belah pihak keluarga yang berhajat, mengenai sedikit banyaknya (kadar) mahar yang harus dipenuhi oleh calon suami kepada calon istri itu tidak dibatasi jumlahnya oleh syariat Islam, melainkan atas kesanggupan calon suami dan keridhoan calon istri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Wahab (2007), bahwa tidak ada ketentuan dalam agama yang menunjukan batas maksimal kadar mahar yang harus ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri.Tradisi kaboro coi mangandung banyak makna dan nilai-nilai bagi masyarakat Monta. Selain sebagai wadah silaturahim, tradisi ini juga diharapkan dapat membantu keluarga pengantin pria untuk memenuhi penunaian mahar dan juga sebagai biaya tambahan dalam pelaksanaan perkawinan tersebut. Melihat pentingnya penunaian coi dalam menentukan batal atau tidaknya perkawinan dan juga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kaboro coi pada masyarakat suku Bima ini mendorong penulis untuk mengangkat judul: NIlai-Nilai Sosial Yang Terkandung Dalam Tradisi Kaboro coi Pada Perkawinan Suku Bima Di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.

B. Rumusan MasalahDari uraian latar belakang di atas maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi inti pembahasan yaitu sebagai berikut:1. Bagaimanaka nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi kaboro coi dalam perkawinan suku Bima Di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat?2. Bagaiamana prosedur pelaksanaan kaboro coi dalam perkawinan suku Bima Di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat?3. Bagaimana fungsi kaboro coi dalam perkawinan suku Bima Di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat?

C. Tujuan PenelitianDari rumusan masalah di atas maka dapat diketahui bahwa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengetahui nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi kaboro coi pada perkawinan suku Bima di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.2. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan kaboro coi dalam perkawinan suku Bima di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.3. Untuk mengetahui fungsi kaboro coi dalam perkawinan suku Bima di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.

D. Manfaat Penelitian1. Manfaat TeoritisPenelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan pengembangan ilmu sosial budaya dan ilmu lainnya, serta memperoleh pengetahuan terkait dengan tradisi kaboro coi dalam perkawinan suku Bima di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat, baik itu mengenai prosedur pelaksanaan kaboro coi, fungsi kaboro coi, serta nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kaboro coi 2. Manfaat PraktisSecara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan pedoman bagi masyarakat yang akan melaksanakan kaboro coi serta dapat memberikan berbagai informasi serta pengetahuan baru tentang adat perkawinan yang ada di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.. Penulis juga berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi acuan atau bahan penelitian lanjutan bagi kalangan akademik pada masa yang akan datang.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Tinjauan Tentang Penelitian TerdahuluPenelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Radman (2013) yang berjudul Proses Pelaksanaan Tradisi Kaboro coi Dalam Perkawinan Masyarakat Bima Di Desa Bala Kecamatan Wera Kabupaten Bima Ditinjau Dari UU No. 1 Tahun 1974, bahwa pelaksanaan tradisi kaboro coi pada masyarakat Bima merupakan implementasi dari nilai kepercayaan atau kebiasaan dari suatu generasi ke generasi yang juga merupakan bagian dari rukun dan syarat perkawinan.Penelitian lain yang juga relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Umrah tahun (2007) yang berjudul Peranan Coi Dalam Perkawinan Suku Bima Di Desa Donggobolo Kecamatan Woha Kabupaten Bima. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peranan coi adalah menjadi penentu dapat tidaknya suatu perkawinan dilangsukan, jika dalam musyawarah mengenai coi tidak ada kesepakatan maka perkawinan tersebut batal. Fungsi coi dalam perkawinan suku Bima yaitu untuk membiayai segala kebutuhan pada saat penyelenggara perkawinan serta menjadi modal awal dalam memasuki masa mula dalam kehidupan berumah tangga.Penelitian mengenai tradisi kaboro coi ini memiliki kesamaan dengan tradisi bejango[footnoteRef:2] yang ada pada masyarakat suku sasak. Seperti pada penelitian Tasnia tahun 2008 yang berjudul Nilai-Nilai Moral Pada Tradisi Bejango Dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Sasak, mengatakan bahwa masyarakat yang datang bejango dengan membawa beras dan gula (kebutuhan begawe) bertujuan untuk membantu mengurangi biaya/beban begawe[footnoteRef:3] (syukuran), selain itu maksud dari masyarakat yang datang bejango ini juga sebagai bentuk partisipasi para pejango terhadap epen gawe[footnoteRef:4]. Sehingga didalam tradisi bejango ini terkandung nilai sosial seperti : (a) tolong menolong, (b) kepedulian, (c) saling membantu. [2: Bejango dimana diartikan sebagai kunjungan warga masyarakat sekitar tempat tinggal calon pengantin pria untuk melihat atau menganal lebih jauh calon pengantin perempuan.] [3: Begawe adalah kegiatan syukuran yang dilakukan oleh masyarakat.] [4: Epen Gawe adalah tuan rumah atau orang yang memiliki hajatan atau syukuran.]

Berdasarkan tiga penelitian terdahulu yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa para peneliti hanya meneliti tentang proses pelaksanaan kaboro coi dan peran coi dalam pelaksanaan perkawinan suku Bima, sedangkan mengenai nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi kaboro coi itu sendiri belum diteliti. Hal itulah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai tradisi kaboro coi dengan fokus kajian pada nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi kaboro coi pada perkawinan suku Bima.

B. Tinjauan Tentang Kebudayaan1. Pengertian KebudayaanSecara umum, kebudayaan adalah istilah yang menunjukan segala hasil karya manusia yang berkaitan dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan merupakan wadah, tempat, dimana hakikat manusia mengembangkan diri. Antara hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin hunbungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya kebudayaan sering dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tempat, waktu, dan kondisi masyarakat ( Ensiklopedi Indonesia dalam Malik, 2009: 185).Lebih lanjut seperti yang dikatakan Koentjaraningrat dalam Soelaeman (2007: 21), kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta Budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.Lebih lanjut seperti yang diungkapkan Taylor dalam Abdulsyani (2002: 48) melihat kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai warga masyarakat. Hal serupa juga diutarakan oleh Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi dalam Abdulsyani (2002: 49) mengemukakan bahwa kebudayaan itu adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.Dari beberapa pengertian kebudayaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dan diturunkan melalui proses belajar tiap individu dalam kehidupan bermasyarakat.2. Unsur-unsur KebudayaanUnsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan di dunia, baik yang kecil, sampai dengan hubungan yang luas. Menurut pendapat B. Malinowski dalam Soelaeman (2007: 23), kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal, yaitu:a. Bahasab. Sistem teknologic. Sistem mata pencahariand. Organisasi sosiale. Sistem pengetahuanf. Religig. Kesenian Lebih lanjut menurut C. Kluckhohn dalam Abdulsyani (2002:46), terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat dianggap sebagai kultural universal yaitu: a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya).b. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan). d. Bahasa (lisan maupun tertulis).e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).f. Sistem pengetahuan.g. Religi (sistem kepercayaan).3. Sistem kebudayaanSistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya atau cultural system merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian sistem budaya merupakan bagian dari kebudayaan, yang diartikan pula dengan adat istiadat. Adat istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan termasuk norma agama (Soelaeman, 2007: 25).

C. Tinjauan Tentang TradisiTradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib (Esten, 1999: 21). Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya dan bagaiamana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Dalam tradisi itu sendiri terdapat sejumlah konvensi[footnoteRef:5]. Konvensi inilah yang menjadi pedoman ataupun anutan dari kelompok masyarakat (tradisional) yang bersangkutan. Pelanggaran terhadap konvensi berarti pelanggaran terhadap tradisi. [5: Konvensi: aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. ]

Sebagai sistem budaya, tradisi akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dengan gagasan utama (vital). Sistem nilai dan gagasan utama ini akan terwujud dalam sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi (Soebadio dalam Esten 1999:22). Sistem ideologi meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Pada hakikatnya kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia tempat suatu proses pembaharuan terus-menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik. Masyarakat tradisional hanya bisa bertahan bilamana tersedia suatu mekanisme yang memungkinkan perubahan bisa terjadi, sehingga pada satu pihak tatanan atau stabilitas tidak terguncang tapi pada pihak lain perubahan atau pembaharuan terjadi. Seperti dikatakan Semuel P. Huntington dalam Esten (1999:26) bahwa tradisi bukan saja bisa berdampingan dengan modernitas[footnoteRef:6] tetapi malah modernitas itu dapat memperkuat tradisi itu sendiri. [6: Modernitas: Pandangan hidup yang yang bersangkutan dengan masa kini.]

D. Tinjauan Tentang Nilai 1. Pengertian NilaiKata value, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi nilai, berasal dari bahasa latin valere atau bahasa Prancis Kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valere, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Namun, ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu obyek atau dipersepsi dari sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam (Mulyana, 2004 :7). Fraenkel dalam Sumantri (2006: 5) mengatakan nilai adalah idea atau konsep tentang apa yang dipikirkan atau dianggap penting oleh seseorang. Lebih lanjut seperti yang dikemukakan oleh Allport dalam Abdulsyani (2002:49) nilai merupakan ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek, baik material maupun non-material. Dari beberapa pengertian nilai di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan konsep yang dianut oleh masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.2. Kategorisasi NilaiUntuk keperluan suatu analisis, ahli filsafat nilai membagi nilai ke dalam beberapa kelompok. Spranger dalam Mulyana (2004:32-36) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering di jadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya:a. Nilai TeoritikNilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoritik memiliki kadar benar-salah menurut timbangan akal pikiran. Karena itu, nilai ini erat dengan konsep, dalil, prinsip, teori, dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatan dan pembuktian ilmiah. b. Nilai EkonomisNilai ini terkait dengan pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Obyek yang ditimbangnya adalah harga dari suatu barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan sesuatu bagi kehidupan manusia. Kelompok manusia yang memiliki minat kuat terhadap nilai ini adalah para pengusaha, ekonomi, atau setidaknya orang yang memiliki jiwa materialistik. c. Nilai EstetikNilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari sisi subyek yang memilikinya, maka akan muncul kesan indah tidak indah. Nilai estetik lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif. d. Nilai SosialNilai tertinggi yang terdapat dalam nilai ini adalah kasih sayang antar manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang antara kehidupan yang individualistik[footnoteRef:7] dengan altruistik[footnoteRef:8]. Sikap tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, keramahan, dan perasaan simpati dan empati merupakan perilaku yang menjadi kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial. [7: Individualistik: sikap hidup yang mementingkan dirinya sendiri.] [8: Altruistik : tindakan suka rela yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan dan imbalan atau disebut juga tidak mementingkan dirinya sendiri.]

e. Nilai PolitikNilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan. Karena itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pada pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap pemilikan nilai politik pada diri seseorang. Sebaliknya, kelemahan adalah bukti dari seseorang yang kurang tertarik pada nilai ini.f. Nilai AgamaSecara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Karena itu, nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan.

E. Tinjauan Tentang Mahar 1. Pengertian MaharMahar dalam bahasa Arab diambil dari kata shidqin (jujur). Dinamakkan demikian karena mahar merupakan simbol keseriusan dalam menikah (Wahab, 2007: 214). Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan mahar adalah pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Abdurrahman, 1992: 113). Pendapat di atas sesuai dengan firman Allah dalam (Q.s. 4, An Nisa:4) Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya. Dengan demikian mahar dapat diartikan sebagai pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak dapat digantikan.2. Syarat-Syarat MaharMahar yang diberikan kepada calon istri menurut Slamet, (1999: 108-109) , harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :a. Harta/bendanya berharga Tidak sah mahar yang dengan yang tidak memiliki harga. Namun apabila mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah perkawinan tersebut. b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatTidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.c. Barangnya bukan barang gasabGasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil gasab, adalah tidak sah.d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannyaTidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. 3. Macam-Macam MaharUlama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (Rahman, 2006: 92-95). a. Mahar musamma Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah. Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :1) Telah bercampur (bersenggama).2) Salah satu dari suami istri meninggal. 3) Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata telah rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib ditunaikan setengahnya.

b. Mahar mitsil (sepadan)Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Mahar mitsil juga disebut sebagai mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil mengikuti mahar saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. 4. Kadar MaharUlama fiqih sependapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal dalam jumlah mahar yang harus ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri. Jumlahnya tergantung dari kemampuan mempelai laki-laki asal dianggap layak (Wahab, 2007: 220). Pendapat di atas sesuai dengan riwayat Rasulullah S.A.W yang artinya:Carilah maskawin meskipun hanya cincin besiMaskawin juga dapat berupa mengajar Al-Quran, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah S.A.W beliau pernah mengawinkan sahabatnya dengan mas kawin berupa bacaan Al-Quran. Rasulullah S.A.W juga pernah mengawinkan sahabatnya dengan mahar yang berupa pakaian yang hanya sepasang sandal (Hamdani, 2002: 131).Dari hadist di atas menunjukan bahwa maskawin kadarnya boleh sedikit dan boleh berupa sesuatu, asal bermanfaat, meskipun berupa mengajar Al-Quran. 5. Pembayaran MaharFiqh Islam telah menentukan bahwa mahar merupakan kewajiban suami terhadap istrinya, tetapi suami tidak harus membayar mahar tersebut langsung ketika akad selesai. Suami boleh menyerahkan sesuai dengan kesepakatan, dipercepat, ditunda, atau sebagian dibayar di muka dan dibayar kemudian, ditangguhkan sampai tanggal yang ditentukan, bahkan dibayar dengan mencicil bulanan atau tahunan sesuai kesepakatan (Wahab, 2007: 235). Untuk mahar yang telah disepakati dibayar di awal, si istri berhak menolak menyerahkan dirinya sebelum menerima mahar secara utuh. Begitu pula dengan mahar yang sudah ditentukan, tetapi belum disepakati waktu pembayarannya maka diambil kebijaksanaan sesuai dengan adat adat kebiasaan daerah tempat dilaksanakannya akad nikah (Wahab, 2007: 235).

F. Tinjauan Tentang Kaboro coi Kaboro coi merupakan suatu ungkapan yang sering di dengar dan di kenal di tengah-tengah masyarakat Bima (dou Mbojo). Kaboro coi merupakan sebuah proses pengumpulan mahar pada pihak keluarga calon mempelai laki-laki, proses ini dilakukan oleh keluarga beserta masyarakat yang berada dalam satu desa. Maksud dari tradisi Kaboro coi ini adalah membantu keluarga yang sedang berhajat. Tradisi Kaboro coi merupakan salah satu dari beberapa tradisi dalam perkawinan yanga ada di Kabupaten Bima, Khususnya di Kecamatan Monta. Tradisi Kaboro coi ini dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat yang akan melangsungkan upacara perkawinan.Di dalam upacara perkawinan suku Bima khususnya di Desa Tangga kecamatan Monta tradisi Kaboro coi wajib dilakukan tidak memandang status sosial seseorang, kaya ataupun miskin keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan tetap akan melewati proses Kaboro coi.Kaboro coi ini diawali dengan musyawarah atau mufakat keluarga yang dalam bahasa Bimanya biasa disebut (Mbolo Weki)[footnoteRef:9] yang mempunyai tujuan untuk memberitahukan kepada para keluarga dan kerabat bahwa ada anggota keluarganya yang ingin menikah. Setelah semua keluarga mengetahui maka setelah itu para keluarga ini memberitahu perihal tersebut kapada seluruh masyarakat desa, dengan maksud supaya masyarakat mengetahui dan ikut membantu semampunya, masyarakat yang membantu tidak terbatas pada uang saja tetapi juga dapat berupa benda seperti kayu bakar, beras dan kebutuhan yang diperlukan yang akan menjadi seserahan pada waktu (antar mahar). [9: Mbolo Weki: dalam bahasa Bima kata mbolo berarti lingkaran. Sedangkan weki berarti kerabat dekat. Dengan demikian mbolo weki berarti duduk melingkar para keluarga dekat dimana mereka membahas mengenai segala keperluan yang akan dibutuhkan pada saat acara perkawinan. ]

G. Tinjauan Tentang Perkawinan1. Pengertian PerkawinanPerkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa al-jamu, yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Lebih lanjut menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Lebih jauh seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Nuruddin, 2004:42).Selain pengertian menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 di atas terdapat pula pengertian perkawinan menurut para ahli diantaranya: a. Wahbah al-Zuhaily dalam Nuruddin (2004:38) berpendapat bahwa perkawinan adalah akad yang telah ditetapkan oleh syri agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta dengan seorang wanita atau sebaliknya. b. Menurut Sajuti Thalib dalam Nuruddin (2004:40), berpendapat bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia. c. Menurut Ibrahim Hosein perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara seorang perempuan dan seorang laki-laki (Nuruddin, 2004:40)Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah suatu pertalian atau ikatan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan menjadi suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan abadi.2. Hikmah PerkawinanIslam menyukai perkawinan dan segala akibat baik yang bertalian dengan perkawinan, baik itu bagi pasangan suami istri tersebut, bagi masyarakat, maupun bagi manusia pada umumnya.Diantara manfaat perkawinan ialah: bahwa perkawinan (a) menentramkan jiwa, (b) meredam emosi, (c) menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang suami istri yang dihalalkan Allah. Hal di atas sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 yang artinya: dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.(Hamdani, 2002: 7)Selain manfaat di atas terdapat juga manfaat lain dari adanya perkawinan, di antaranya:a. Mengembangkan keturunan Di dunia ini semua makhluk diciptakan berpasang-pasangan, begitu pula dengan manusia. Laki-laki berpasangan dengan perempuan. Mereka juga diciptakan Allah SWT mempunyai keinginan untuk mendapatkan keturunan. Dengan menikah kelangsungan keturunan manusia akan terus berlanjut, terus bertambah, dan berantai untuk mewarisi dunia dan isinya. Pendapat di atas sesuai dengan firmannya dalam surat An-Nahl ayat 72 yang artinya: Allah telah menciptakan istri-istri dan diri kamu dan menciptakan bagimu lewat istri-istri kamu itu anak dan cucu. (Hamdani, 2002: 30)b. Menyelamatkan masyarakat dari penyakitPernikahan akan menyelamatkan manusia dari penyakit menular yang dilingkungan masyarakat akibat dari perbuatan zina dan hubungan yang haram. Penyakit tersebut tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga akan merusak keturunan-keturunannya.c. Mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.3. Rukun PerkawinanRukun, artinya ialah unsur-unsur pokok untuk sah-nya sebuah perkawinan (Umay, 2004: 31), berdasarkan hadist-hadist yang shaheh. Rukun nikah ada lima;a. Calon suamib. Calon istric. Walid. Dua orang saksie. Aqad (Ijab-Qabul)Hal yang sama juga dikemukakan oleh para sarjana hukum Islam bahwa rukun nikah terdiri dari lima:a. Adanya calon istrib. Adanya calon suamic. Adanya walid. Adanya dua orang saksie. Akad nikah/ijab KabulSedangkan syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perkawinan adalah:a. Terpenuhinya rukun-rukun nikahb. Terpenuhinya syarat-syarat nikahc. Tidak ada yang menghambat dan mencegah sahnya pernikahan tersebut.4. Hukum PerkawinanHukum perkawinan itu asalnya mubah, mubah itu artinya boleh untuk dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan (bersifat perintah), namun tidak ada janji berupa konsekuensi berupa pahala terhadapnya. Dengan kata lain, mubah yakni apabila dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkanpun tidak berdosa dan tidak berpahala. Hukum ini cenderung diterapkan pada perkara yang lebih bersifat keduniaan[footnoteRef:10]. [10: http://id.wikipedia.org/wiki/Mubah (diakskes pada tanggal 24 April 2014)]

Pengikut Imam Syafii juga berpendapat bahwa perkawinan adalah urusan keduaniaan, sarana merealisasikan kebutuhan badan, makanan, minum, dan pakaian. Orang yang melakukannya sesungguhnya didorong insting. Oleh karena itu, orang mukmin maupun non-mukmin, saleh atau tidak saleh pasti membutuhkan perkawinan. Menikah menjadi sesuatu yang mubah. Ini berarti seseorang dibolehkan menikah dengan tujuan bersenang-senang dan dengan oriantasi seks (Wahab, 2007: 35).Allah SWT dalam Al-Quran dengan lafalzh ah-hill yang menunjukan bahwa nikah itu hukumnya mubah, tetapi dapat berubah menurut Akhamul Khamsah menurut perubahan keadaan (Hamdani, 2002: 7) :

a. Wajib Nikah diwajibkan bagi orang-orang yang telah mampu, yang akan menambah taqwa dan bila bila tidak dilakukan dikhawatirkan akan berbuat zina. Karena menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram adalah wajib. Kewajiban ini tidak dapat terlaksana kecuali dengan nikah.b. HaramNikah menjadi haram bagi orang orang yang sadar bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.c. SunahNikah disunahkan bagi orang yang sudah mampu, tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram. Dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang, karena membujang tidaklah dianjurkan oleh Islam.

BAB IIIMETODE PENELITIANA. Pendekatan PenelitianPenelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2008:6). Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi kaboro coi, prosedur pelaksanaan tradisi kaboro coi, dan fungsi kaboro coi dalam perkawinan Suku Bima Khususnya di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena masalah di atas lebih relefan diungkapkan dengan data yang terurai dalam bentuk kata-kata dan perilaku yang diamati.

B. Tempat dan Waktu Penelitian1. Tempat PenelitianPenelitian yang mengambil judul NIlai-Nilai Sosial Yang Terkandung Dalam Tradisi Kaboro coi Pada Perkawinan Suku Bima Di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat dilakukan di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa tenggara Barat. Pemilihan judul ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di lokasi ini masyarakat masih melaksanakn tradisi kaboro coi. Selain itu alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena akan mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait dengan hal yang diteliti yaitu mengenai tradisi kaboro coi.2. Waktu PenelitianPenelitian ini dilaksanakan terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan laporan akhir yakni dari bulan April sampai bulan Juli 2014. Namun tidak menutup kemungkinan adanya perubahan waktu yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang diperlukan dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan setelah konsultasi pengajuan judul disetujui oleh Dosen Pembimbing skripsi dan telah mendapatkan izin dari berbagai pihak yang berwenang baik dari kampus maupun lembaga atau instansi-instansi yang terkait.

C. Informan PenelitianDalam rangka mengkaji masalah tentang tradisi kaboro coi dalam perkawinan suku Bima di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima, maka yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dipandang paling mengetahui masalah yang dikaji. Informan menempati kedudukan yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Sesuai dengan namanya, informan merupakan sumber informasi bagi peneliti.Menurut Mahsun (2012), informan itu sebagai sampel penutur atau orang yang ditentukan sebagai narasumber bahan penelitian, pemberi informasi, dan pembantu peneliti dalam tahap penyediaan data. Orang-orang yang dipilih sebagai informan didasarkan atas pertimbangan tertentu, sesuai tujuan penelitian dan harus benar-benar sadar akan perannya sebagai narasumber yang pada hakikatnya sebagai alat pemerolah data.Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan informan penelitian pada penelitian kualitatif ini adalah orang-orang yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat memberikan informasi terkait dengan data yang diinginkan atau dibutuhkan peneliti berkaitan dengan peneltian yang sedang dilakukannya.Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dan snawball sampling. Dalam purposive sampling menurut Arikunto (2010), merupakan cara menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal, sedangkan teknik snawball sampling menurut Sugiyono (2010), teknik ini diibaratkan bola salju yang bila menggelinding makin lama makin besar. Penentuan sampel dalam teknik sampling ini mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel, begitu seterusnya sehingga jumlah sampel semakin banyak.Dalam penelitian ini, peneliti mengambil informan sebagai berikut: Kepala Desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan masyarakat yang ikut dalam tradisi kaboro coi. Serta tidak menutup kemungkinan dari orang yang dianggap banyak mengerti dan dapat memberikan informasi tentang masalah yang diteliti.

D. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara, observasi langsung, dan dokumentasi.1. WawancaraUntukmendapatkan data yang valid, peneliti melakukan wawancara langsung dengan subjek penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan wawancara semi struktur yaitu interviewer membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan. Namun dalam pelaksanaannya interviewer mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok pertanyaan yang dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan pemilihan kata-katanya juga tidak baku tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasi dan kondisi (Satori, 2012: 135). Dalam melakukakan wawancara dengan informan peneliti melakukan bergilir, mulai dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat setempat dan yang terakhir masyarakat yang ikut serta dalam tradisi kaboro coi.2. ObservasiDalam memperoleh data, peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap prosesi perkawinan suku Bima di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima sehingga memperoleh data dan gambaran secara jelas mengenai nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi kaboro coi, prosedur pelaksanaan tradisi kaboro coi, dan fungsi kaboro coi dalam perkawinan Suku Bima Khususnya di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.3. DokumentasiPeneliti juga memperoleh data-data tambahan dari buku-buku, data tertulis lainya sehingga dapat memperbanyak informasi yang di perlukan, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Arikunto (2006: 231) yang menyatakan bahwa data metode dokumentasi adalah data berupa catatan-catatan, buku-buku dan lain-lain, sehingga dapat menjadi informasi tambahan untuk melengkapi data yang dibutuhkan.E. Teknik Analisa DataSetelah data diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya dilakukan analisis data dengan cara kualitatif. Analisis data dilakukan oleh peneliti agar mendapatkan makna yang terkandung dalam sebuah data, sehingga interpretasinya tidak sekedar deskripsi belaka (Satori, 2012: 135).Lebih lanjut menurut Sugiyono (2012: 89) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Untuk menganalisa data yang diperoleh dari penelitian ini, digunakan teknik analissis data kualitatif dengan tahap-tahap sebagai berikut (Sugiyono, 2012:92-99) :1. Reduksi data (Data reduction)Merupakan proses pemilihan data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data ini berlangsung terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Pada penelitian ini data yang direduksi adalah tentang nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi Kaboro coi, prosedur pelaksanaan tradisi Kaboro coi, dan fungsi Kaboro coi dalam perkawinan Suku Bima yang diperoleh berdasarkan wawancara dan observasi.2. Penyajian data (Data Display)Penyajian data merupakan alur penting yang kedua dari kegiatan analisis. Setelah data direduksi maka data tersebut disajikan secara deskriptif, dimana hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yang telah dilakukan diubah bahasannya menjadi kalimat baku sehingga mudah dimengerti dan dipahami.3. Penarikan Kesimpulan (Verification)Menarik kesimpulan atau verivikasi data adalah data diolah dalam rangka memuat kesimpulan hasil penelitian yang dituang dalam bentuk pembahasan. Setelah data direduksi dan disajikan maka dilakukan penarikan kesimpulan tentang nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi Kaboro coi, prosedur pelaksanaan tradisi Kaboro coi, dan fungsi Kaboro coi dalam perkawinan Suku Bima Khususnya di Desa Tangga Kecamatan Monta Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat yang diperoleh berdasarkan wawancara dan observasi.30