referat ptsd

Upload: andyandy2590

Post on 16-Oct-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ptsd

TRANSCRIPT

Referat gangguan stress pasca trauma.

BAB I PENDAHULUAN.

1.1 LATAR BELAKANG.

Dalam satu decade terakhir ini kita sering mendengar terjadinya kasus-kasus yang terjadi pasca bencana alam, kekerasan rumah tangga serta berbagai peristiwa traumatic lainnya. Pelbagai kondisi ini merupakan suatu stressor psikososial yang mungkin akan berdampak terhadap kehidupan individu berupa terjadinya gangguan stress pasca trauma.

Di samping gangguan stress pasca trauma, mereka yang mengalami peristiwa yang traumatic juga beresiko untuk mengalami pelbagai jenis gangguan psikiatrik lainnya, seperti gangguan depresi major, gangguan panic, gangguan cemas menyeluruh dan penyalahgunaan zat.

Anak-anak dan orang dewasa yang mengalami peristiwa traumatic yang kronik dan berulang, juga beresiko untuk mengalami pelbagai jenis gangguan fisik seperti hipertensi, asma bronkiale serta pelbagai jenis keluhan somatic tanpa dasar kelainan organic yang bermakna.

Produktivitas individu yang mengalami gangguan stress pasca trauma akan menurun. Mereka seringkali absen sehingga kehilangan pekerjaan, kapasitas mereka sebagai pencari nafkah juga akan menurun. Mereka lebih banyak mengunjungi fasilitas kesehatan dalam upaya untuk mengatasi keluhan dan penderitaan yang dialami. Dengan demikian, dampak dari gangguan ini tidak hanya melibatkan individu yang terlibat, malah juga meningkatkan beban kepada keluarga dan masyarakat.1,2BAB II PEMBAHASAN.2.1 Definisi.

Psikiater dari Jakarta, Roan, menyatakan bahwa trauma berarti cedera, kerusakan jaringan, luka atau syok. Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa di linkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar.

Menurut Kaplan, gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.

National Institute of Mental Health(NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma sebagai gangguan kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam, kecelakaan atau perang.

Gangguan stress pasca trauma juga merujuk kepada suatu kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam nyawa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat kekerasan seksual atau perang.1,22.2 Epidemiologi.

Gangguan psikologis setelah mengalami peristiwa traumatic atau stress berat, seperti peristiwa perang telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tahun 1980, American Psychiatric Assiciation mulai memperkenalkan gangguan jiwa yang disebut sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dengan criteria diagnosis tercantum dalam DSM III. WHO memasukkan diagnosis ini ke dalam International Classification of Diseases (ICD) X.

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering dijumpai. Kasus ini dijumpai pada sekitar 10.3 % pada pria dan 18.3 % pada wanita.1,22.3 Etiologi.

Terjadinya gangguan stress pasca trauma didahului oleh adanya suatu stressor berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang. Kondis psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatic tersebut akan berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.1,2

Beberapa factor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma adalah :

Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutan maupun pada keluarganya. Adanya trauma pada masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.

Kecenderungan untuk menjadi kuatir.

Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen dan dissosial.

Mempunyai karekter yang introvert atau isolasi social, adanya masalah menyesuaikan diri.

Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.

Terpapar oleh kejadian yang luar biasa sebelumnya dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan perderitaan bagi dirinya.

Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma dapat dikategorikan menjadi :

i. Mereka yang mengalami tindak kekerasan interpersonal.

ii. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat manusia.

iii. Trauma berulang dan bersifat kronis.

Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma, yaitu :

i. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan).ii. Penculikan.

iii. Penyanderaan.

iv. Serangan militer.

v. Serangan teroris.

vi. Penyiksaan.

vii. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang.

viii. Bencana alam.

ix. Kecelakaan mobil yang berat.

x. Didiagnosis mengalami suatu penyakit berat yang mengancam kehidupan.

Pada umumnya, individu yang mempunyai karekter yang extrovert atau lebih berpikir positif lebih jarang mengalami maalah psikologis seperti ini. Karekteristik dari peristiwa tarumatik yang dialami juga mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti :

Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami.

Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang.

Berat ringannya kehilangan yang dialami (material atau personal).

Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa trauma tersebut. Misalnya, apakah ia menyelamatkan orang lain pada saat kejadian atau hanya menyelamatkan dirinya sendiri.

Setelah mengalami peristiwa traumatic, maka system keyakinan dan latar belakang budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan serta dukungan social dari linkungan sekelilingnya memegang peranan yang penting bagi individu untuk menyesuaikan dirinya kembali.

2.4 Aspek biologic dari gangguan stress pasca trauma.

Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologic juga psikologik seseorang. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa system di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang.2

Terpaparnya seseorang pada peristiwa traumatic akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberhayaan, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan neurokomiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatic yang mengancam nyawa. Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada : Sistem saraf simpatis (katekolamin).

Sistem saraf parasimpatis.

Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (aksis HPA).

Akibat perangsangan pada system saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa traumatic, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi fight or flight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot skelet sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal.

Reaksi system saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi system saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang diberikan oleh system saraf simpatis.

Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatic. Hipotalamus akan mengeluarkan cortico-releasing factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran adenocorticotrophic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormone kortisol dari kelenjar adrenal.

Jika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormone kortisol. Pengeluaran kedua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energy yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhdap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi system saraf simpatis dan beberapa system tubuh yang bersifat defensive tadi. Dengan kata lain, hormone kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormone kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negative pada aksis HPA tersebut.

Individu yang cenderung untuk mengalami gangguan stress pasca trauma, mengami gangguan dalam meregulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu terus berada dalam kondisi siaga terus-menerus. Jika hormone kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan peristiwa traumatic yang dialami.2.5 Aspek psikodinamik dari gangguan stress pasca trauma.

Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatic yang dialami maka konflik-konflim psikologis yang belum diselesaikan itu akan teraktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi.22.6 Gambaran klinis.

Gangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut yang berat ata trauma yang berkelanjutan. Stress yang terjadi atau keadaan yang tidak nyaman tersebut merupakan factor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini tidak akan terjadi.1,2

Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada gangguan stress pasca trauma adalah :

i. Pengulangan pengalaman trauma, yang ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tenteng kejadian yang membuatnya sedih, reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.ii. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, penderita juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.

iii. Sensivisitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah, sulit berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebihan dan respons yang berlebihan terhadap sesuatu.

Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter tidak dengan gejala yang tersebut di atas, mereka umumnya datang dengan keluhan berupa gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan social, kesulitan tidur, penyalahgunaan alcohol/zat adiktif lainnya. Selain itu, penderita juga mengeluh berbagai keluhan fisik lainnya seperti nyeri kronik, irritable bowel syndrome dan lain-lain.

Gangguan stress pasca trauma juga menyebabkan beberapa gangguan social. Antara gangguan tersebut adalah :

Serangan panic (Panic attack).Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panic ketika dihadapkan sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panic meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar, berkeringat, gementar, sesak napas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa. Perilaku menghindar.

Salah satu gejala dari gangguan stress pasca trauma adalah menghindar hal-hal yang dapat mengingatkan penederita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang penderita mengaitka semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma ang pernah dialami sedangkan kondisi telah jauh berbeza. Hal ini menyebabkan penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain pada saat keluar rumah.

Depresi.

Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalamn trauma dan menjadi tidak tertarik dengan hal yang disenangi sebelumnya. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, bersalah, menyalahkan diri sendiri dan merasa peristiwa yang dialami merupakan kesalahannya.

Pikiran untuk bunuh diri.

Akibat dari depresi berat yang dialami, penderita merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga sehingga mempunyai pikiran untuk bunuh diri.

Merasa disisihkan dan sendiri.

Penderita memerlukan dukungan dari linkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan.

Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah dia alami. Mereka tidak percaya dan merasa dikhianati. Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan penderita mungkin kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhinati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan. Gangguan berarti dalam kehidupan sehari-hari.

Penderita mempunyai gangguan yang terkait dengan fungsi sosial serta gangguan di sekolah atau tempat kerja. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melaksanakan kegiatan sehariannya.

Persepsi dan kepercayaan yang aneh.

Seringkali penderita mengembangkan idea atau persepsi yang aneh. Misalnya, percaya bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal. Gejala ilusi atau halusinasi ini bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.

Gangguan stress pasca trauma bisa menyebabkan kesehatan yang buruk melalui interaksi yang rumit antara mekanisme biologi dan psikologi. Pemikiran pada saat ini adalah bahwa pengalaman trauma membawa perubahan neurochemical di otak. Perubahan tersebut bisa mempunyaai efek biologi pada kesehatan seperti : Rentan terhadap hipertensi dan atherosclerosis heart disease. Permasalahan dengan persepsi rasa sakit, toleransi sakit dan sindrom sakit kronis.

Psikologi dan perilaku juga dapat terganggu kesan dari gangguan stress pasca trauma ini, seperti :

Depresi. Isolasi sosial dan gangguan dalam berhubungan dengan orang lain.

Meningkatkan permusuhan dan kemarahan.

Meningkatnya konsumsi alcohol dan merokok.

Kebiasaan makan yang salah.2.7 Diagnosis.

Diagnosis gangguan stress pasca trauma tidak akan pernah dibuat jika dokter tidak pernah menanyakan apakah individu pernah atau tidak pernah mengalami suatu peristiwa traumatic tertentu. Perlu juga diketahui bahwa seringkali peristiwa traumatic yang dialami sudah bertahun-tahun sebelum gejala psikiatri ditemui, oleh karena itu kadang-kadang tidak mudah untuk mengaitkan apakah ada kaitan langsung antara peristiwa traumatic yang dialami dahulu dengan keluhan gangguan jiwa saat ini.

Kadang-kadang bagi pasien sendiri juga sulit untuk mengemukakan peristiwa traumatic yang dialami oleh karena malu atau perasaan bersalah karena merasa telah membuka aib keluarga. Dengan demikian seorang dokter perlu berempati dan memberi dukungan kepada individu yang mengalami gangguan stress pasca trauma sehingga mereka lebih mudah untuk berbagi perasaan dan pengalaman akan peristiwa traumatic yang pernah dialami.1,22.7.1 Kriteria diagnosis dari Gangguan Stres Pasca Trauma berdasarkan DSM IV.1. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatic berupa :a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan satu kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam kehidupan atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.b. Respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan pada anak, kondisi ini mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi.2. Pengalaman peristiwa traumatic selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk di bawah ini :a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa traumatic yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali kondisi ini diekspresikan melalui pola mainan yang bertemakan peristiwa traumatic yang dialami.b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi individu. Pada anak kondisi ini seringkali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu.

c. Berperilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatic yang dialami itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang bersifat flashback).

d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau symbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya secara internal maupun eksternal.e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau symbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatic yang dialami dan disertai dengan respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini :

a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatic yang dialaminya.

b. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-orang yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatic yang dialaminya.

c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan peristiwa traumatic yang dialaminya.

d. Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas-aktivitas.

e. Merasa asing atau terpisah dari lingkungan atau orang-orang di sekitarnya.

f. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan perasaan dicintai.

g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak mempunyai keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup, perkahwinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-harinya.4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai sebelum mengalami peristiwa traumatic), yang ditandai oleh dua gejala atau lebih gejala di bawah ini :

a. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur.

b. Iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan.

c. Kesulitan berkonsentrasi.

d. Hypervigilance.

e. Respons yang kacau dan tidak terkendali.

5. Durasi dari gejala-gejala dalam criteria 2, 3, dan 4 berlangsung lebih dari satu bulan.6. Gejala-gejala di atas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya. Spesifikasi :

Akut: Jika durasi gejala kurang dari tiga bulan. Kronik: Jika durasi gejala berlangsung 3 bulan atau lebih.

Dengan awitan lambat : Jika awitan dari gejala terjadi paling lambat 6 bulan setelah mengalami peristowa traumatic.

2.7.2 Kriteria diagnosis dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan PPDGJ III (F43.1). Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan awitan gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternative kategori lainnya.3 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback). Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

Suatu sequalae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katostrofa).

2.7.3 Diagnosis banding.

Secara umumnya, bagi menegakkan diagnosis, seharusnya dilakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang lengkap bagi menyingkirkan diagnosis yang lain. Misalnya, kelainan organic tertentu yang bisa menimbulkan trauma antara lain, cedera kepala, epilepsy, ketergantungan alcohol dan penyalahgunaan zat. Intoksikasi akut serta gejala putus zat juga bisa menyebabkan gejala yang sulit untuk dibedakan.

Selain itu, gejala gangguan stress pasca trauma juga sulit dibedakan dengan gejala dari gangguan panic dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini karena, ketiga-tiganya berhubungan dengan keluhan cemas yang menetap dan gangguan otonom. Kunci bagi menegakkan diagnosis yang tepat adalah dengan cuba mengaitkan gejala yang timbul dengan suatu kejadian trauma. Gangguan stress pasca trauma juga berhubungan dengan peristiwa trauma yang terjadi berulang-ulang melaui mimpi buruk dan lain sebagainya serta adanya penghindaran dari sesuatu yang bisa mengingatkan penderita terhadap peristiwa trauma tersebut. Gejala depresi juga selalu menyertai gangguan ini.42.8 Tatalaksana.

Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang komprenhensif, meliputi pemberian medikamentosa dan psikoterapi serta edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup.

Edukasi sangat penting karena merupakan suatu bentuk pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatic yang dialami, baik adapatif maupun maladaptive.

Dukungan psikososial dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negative yang muncul akibat dari diagnosis gangguan stress pasca trauma. Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter tetapi juga oleh seluruh anggota keluarga bahkan seluruh lingkungan masyarakat di sekitar pasien.

Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur pernapasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pasca trauma.

Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alcohol, rokok an obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur dan lain-lain.

2.8.1 Farmakoterapi.

Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif dari ambilan serotonin).5 Antara lain seperti :

Fluoxetin 10-60 mg/hari.

Sertralin 50-200 mg/hari.

Fluvoxamine 50-300 mg/hari.

Antidepresan lain yang dapat diberikan adalah :

Amitriptilin 50-300 mg/hari.

Imipramin 50-300 mg/hari.2.8.2 Psikoterapi.

Karena sering kegelisahan hebat yang dihubungkan dengan kenangan yang menggoncangkan jiwa, psikoterapi mendukung tugas yang penting dalam pengobatan. Ahli terapi secara terbuka berempati dan bersimpati dalam mengenal rasa sakit psikologis. Terdapat tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan gangguan stress pasca trauma yaitu anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy.6a. Anxiety management.

Dalam terapi ini, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala dengan lebih baik melalui : Relaxation training : Belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.

Breathing retraining : Belajar bernapas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernapas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.

Positive thinking dan self-talk : Belajar untuk menghilangkan pikiran negative dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress. Assertiveness : Belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.

Thought stopping : Belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.b. Cognitive therapy.Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan kegiatan seharian. Misalnya, seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran yang tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistic untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.c. Exposure therapy.Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus orang lain, objek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistic dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara :

Exposure in the imagination : Bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan.

Exposure in reality : Membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Misalnya, kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah. Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.

Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan gangguan stress pasca trauma. Terapis memakai permainan untuk memulai topic yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.

Selain itu didapatkan support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy, seluruh peserta merupakan penderita gangguan stress pasca trauma yang mempunyai pengalaman serupa di mana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian mereka saling memberi penguatan satu sama lain.

Sementara dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi berita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi bisa memperingan bebab pikiran dan kejiwaan yang di pendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan.

Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain dalam pengobatan gangguan stress pasca trauma. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita gangguan stress pasca trauma (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala gangguan stress pasca trauma dan bermacam terapi dan pengobatan yang sesuai.

2.9 Prognosis.

Gejala gangguan stress pasca trauma berfluktuasi dan berkemungkinan paling berat terutama dalam jangka masa stress. Tanpa pengobatan yang baik, 30 % dari pasien sembuh sempurna, 40 % berkelanjutan dengan gejala yang ringan, 20 % tetap dengan gejala sedang dan 10 % tidak mengalami sebarang perubahan malah bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar 50 % pasien bisa sembuh.

Prognosis yang baik ditentukan oleh onset gejala yang cepat, durasi dari gejala yang pendek (kurang dari 6 bulan), funsi premorbid yang baik, dukungan dari sosial yang kuat, dan tiadanya gejala psikiatri lainnya, pengobatan atau factor resiko lainnya.

Secara umumnya, umur yang sangat muda dan sangat tua akan mempunyai masalah dengan kejadian trauma berbanding dengan umur dewasa. Misalnya, 80 % dari anak usia muda yang menderita luka bakar mempunyai gejala gangguan stress pasca trauma setelah 1 atau dua tahun. Sementara, 30 % dari orang dewasa yang menderita dengan keluhan yang sama mempunyai gejala gangguan stress pasca trauma setelah 1 tahun. Hal ini kira-kira disebabkan oleh anak usia muda tidak mempunyai coping mechanisms yang adekuat bagi mengatasi kesan fisik dan emosi dari suatu trauma.7

Sementara, pada orang usia lanjut sepertinya memiliki coping mechanisms yang lebih kaku sehingga kurang fleksibel dalam hal mengatasi efek dari trauma. Tambahan lagi, suatu efek dari trauma dapat diperberat oleh kelainan fisikal pada orang dengan usia lanjut, terutama kelainan pada system saraf dan system kardiovaskular antara lain, pengurngan aliran darah ke otak, penglihatan yang berkurang, palpitasi dan aritmia.

Selain itu, kelainan psikiatri sebelumnya sama ada gangguan kepribadian atau kondisi lain yang lebih serius juga dapat meningkatkan efek dari stressor tertentu. Gangguan stress pasca trauma yang komorbid dengan kelainan psikiatri yang lain selalunya lebih berat dan kemungkinan lebih kronik dan lebih sulit untuk ditangani. Dengan demikian, dukungan sosial mungkin dapat mempengaruhi perkembangan, keparahan dan durasi dari gangguan stress pasca trauma tersebut. Secara umumnya, pasien dengan dukungan sosial yang baik kebiasaannya sulit untuk terjadi gangguan yang lebih berat dan memiliki fase penyembuhan yang lebih cepat.

BAB III KESIMPULAN.

Gangguan stress pasca trauma merupakan keluhan yang semakin sering dikeluhkan pasien karena seringnya terjadi kasus-kasus yang bisa menjadi stressor seperti bencana alam, kekerasan, peperangan dan lain sebagainya. Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for Post Traumatic Stress Disorder, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek, antara lain :1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkomorbiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin (SSRI) merupakan obat pilihan.

3. Terapi yang efektif dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Farmakoterapi harusnya disertai dengan psikoterapi dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

Dengan tatalaksana yang baik serta teratur, ditambah dengan dukungan dari keluarga dan masyarakat, penderita dari gangguan ini pasti mempunyai prognosis yang lebih baik yang seterusnya mengurangi dampak ganguan ini pada masyarakat umumnya.Daftar Pustaka.

1. Sadock Benjamin J. Sadock Virginia A. Post traumatic stress disorder and acute stress disorder. Dalam : Kaplan and Sadocks synopsis of psychiatry : behavioral sciences/clinical psychiatry. Edisi 10. Lippincott Williams & Wilkins. New York, 2007. Halaman 613-622. 2. Wiguna T. Gangguan stress pasca trauma. Dalam : Buku ajar psikiatri. Sylvia D. Hadisukanto G (editor). Edisi 1. Badan Penerbit FKUI. Jakarta, 2010. Halaman 254-264.

3. Maslim R. Gangguan stress pasca trauma. Dalam : Buku saku diagnosis gangguan jiwa. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001. Halaman 79.

4. Jerald K. Allan T. Traumatic stress disorder. Dalam : Essentials of psychiatry. Edisi 1 . John Wiley and Sons Inc. 2006. Halaman 627-638.

5. Maslim R. Obat anti depresi. Dalam : Penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi 3. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2007. Halaman 23-30.6. Roan W. Melupakan kenangan menghapus trauma. Di unduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1148690-medication#showall pada 18 September 2011.7. Wardhani F. Lestari W. Gangguan stress pasca trauma. Di unduh dari http://www.emedicinehealth.com/article_em.htm pada 18 September 2011.

1