sejarah dps

Upload: kurnia-prawesti

Post on 21-Feb-2018

380 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    1/114

    1

    I

    PENGANTAR

    1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

    Dalam sejarah, sebagian besar kota berasal dari komunitas bangsawan atau

    juga berkat adanya pasar sebagai tempat transaksi tukar menukar dan jual beli

    barang. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik di wilayah milik seorang

    bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan transaksi perdagangan guna

    memenuhi permintaan. Transaksi dagang hanya dapat terlaksana dengan bekerja

    ataupun dengan tukar menukar kemudian jual beli barang. Apabila kondisi demikian

    itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajar bila kota itu

    menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, bandanda, bhagawanta (keraton,puri)

    maupun tempat pasar, bencingah, wantilan, alun-alun dan lain-lainnya (Kartodirdjo,

    1977).

    Landasan teori penemuan hari jadi kota Denpasar dan untuk memahaminya

    mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya dan unsur-

    unsur sosiokultural seperti yang terdapat di pelbagai negeri dan di pelbagai daerah di

    Nusantara (Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk mengidentifikasi, menemukan dan

    menyoroti sejarah kota Denpasar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota-

    kota kuno di Asia termasuk munculnya kota-kota kuno atau kota-kota lama di

    Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia. Kota-kota di Asia banyak berpusat

    pada istana raja, keraton (pura ataupuri) sedangkan pelbagai lembaga dan komunitas

    terletak di sekeliling kota itu.

    Ekotipe kota atau komunitas sosial yang berkembang di kota sangatditentukan oleh pembagian pekerjaan antara lain pendeta, prajurit, pedagang, dan

    pengrajin. Mereka pada umumnya tinggal di lokasi yang terpisah-pisah. Di kota-kota

    kuno pada umumnya keraton (puri) menjadi pusat pemerintahan, perdagangan

    (pasar), kesenian dan kebudayaan. Pada masa lampau selama berabad-abad,

    permukaan kota hanya merupakan titik yang tidak berarti di tengah-tengah hutan

    rimba dan padang belantara. Kota kuno periode klasik Hindu/Budha di Nusantara

    pada umumnya didirikan dipedalaman dan dekat muara sungai-muara sungai besar

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    2/114

    2

    seperti Mataram, Kediri dan Majapahit di Jawa serta beberapa pulau besar lain

    (Mahmud, 2003: 41; Rahman, dkk, 2000: 3). Wertheim (1959) memandang bahwa

    semua aspek budaya yang lebih dahulu berakar di Indonesia berperan menentukan

    konsep yang diterapkan pada kota kunonya. Kota kuno klasik Hindu/Budha

    dikembangkan dan ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa (dewa raja).

    Stuterheim menggambarkan mengenai aturan tempat tinggal di lingkungan

    sekitar keraton Majapahit. Orang yang diijinkan mendirikan rumah disekitar keraton

    hanyalah kerabat raja, abdi dalem (pelayan), sanak keluarga yang dipercayai, dan

    pendeta yang memimpin upacara keagamaan. Sementara rakyat jelata bermukim di

    luar pusat administrasi (Piagewd, 1962: 8-11). Dengan demikian dapat dikatakan

    bahwa pusat kota kerajaan Hindu/Budha adalah keraton (puri). Di sekeliling keraton

    (puri) terdapat tempat tinggal pembesar kerajaan dan kerabat raja di Bali dinamakan

    jero, geriya, pasar, wantilan dan lain-lain. Dari aspek struktur ideologi kosmologi

    kota keraton ditata menurut konsep keseimbangan utara-selatan, timur-barat, ciri

    kosmologis itu mengaskan bahwa kota keraton klasik Hindu/Budha di Nusantara

    juga bersifat religius-magis, yaitu selain berfungsi sebagai pusat politik dan

    kebudayaan juga sebagai pusat keagamaan (Mahmud, 2003: 43). Sifat religius magis

    kota keraton klasik Hindu/Budha berhubungan erat dengan pandangan orang Jawa

    dan Bali bahwa raja (Dewa Agung, Cokor Dewa menjadi Cokorda) adalah wakil

    Dewa dan keraton sebagai pusat dunianya (Mahmud, 2003: 43). Oleh Geertz (2000)

    disebutnya suatu struktur halaman di dalam halaman berbentuk persegi yang

    berdinding. Tata letaknya menirukan geometri yang dalam dari kosmos (buwana

    agung dan buwana alit). Antara arah-arah utama dengan pusat yang tidak berarah

    merupakan gabungan dari semua arah itu atau antara bentuk-bentuk maya dari mana

    kekuasaan memancar dengan bentuk-bentuk nyata dalam mana kekuasaan itunampak. Keraton (puri) mengekspresikan secara arsitektural bahwa tempat duduk

    raja adalah poros dunia (Geertz, 2000: 208-209).

    Geertz (2000) juga menyatakan bahwa keraton (puri, puri agung) di Bali

    sebenarnya hampir sama dengan kahyangan (pura). Jika kahyangan (pura) adalah

    tempat persemayaman dewa dalam wujud yang abstrak, maka keraton (puri) adalah

    tempat persemayaman raja yang merupakan penjelmaan dewa yang mengejawantah

    pada diri manusia. Dengan demikian puri adalah bangunan suci dalam konsep

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    3/114

    3

    religi (Geertz, 2000: ibid.; Munandar, 2005: 12). Kesimpulan Geertz ini didasarkan

    kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang yang dihormati

    dan dimuliakan seluruh rakyatnya sehingga ia tidak boleh tampil sembarangan di

    depan umum. Demikian pula keraton (puri) tempat tinggal sang raja dianggap

    sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan disakralkan sesuai dengan

    kedudukan raja tersebut. Sebabpuri adalah bangunan tempat bertemunya dewa-dewa

    dengan masyarakat, antara penguasa dengan bangsawan lainnya (Geertz, 2000;

    Munandar, 2005: 13).

    Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemunculan kota Denpasar

    berawal dari dibangun dan berfungsinya Puri Denpasar yang sejak semula menjadi

    pusat pemerintahan, pusat kekuasaan raja Badung, kemudian termasuk pula pusat

    aktivitas ekonomi yaitu pasar yang terletak disebelah selatannya (lihat Schets dalam

    Gegevens, 1906). Demikian pula menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas lainnya.

    Teori terjadinya kota seperti melekat pada kota Denpasar yang berasal dari kota

    keraton tidaklah sendirian. Akan tetapi beberapa kota di Nusantara muncul dan

    berawal dari dibangunnya sebuah keraton atau pusat aktivitas lainnya, misalnya

    pelabuhan, sungai. Beberapa contoh dapat disebutkan dari acuan pustaka.

    1.2 Pustaka Acuan dan Pembanding

    Beberapa pustaka dapat dijadikan acuan yang memberikan penjelasan tentang

    dari jadi kota di Nusantara. Hal ini dapat dijadikan pembanding sekaligus landasan

    bagi penemuan hari jadi dalam hal ini tanggal dan tahun kelahiran kota Denpasar

    dalam proses waktu atau panggung pentas sejarah.

    Dalam buku Jakarta Kota Perjuangan, Jakarta kota Proklamasi Januari1945-Januari 1946, ditulis oleh Susantu Zuhdi, diterbitkan oleh Pemerintah DKI

    Jakarta pada tahun 1995 dinyatakan bahwa hari jadi kota Jakarta jatuh pada tanggal

    22 Juni 1527 (Susanto Zuhdi, 1995). Tentang jari jadi kota Jakarta, Susanto mengutip

    pendapat dan temuan dari Soekanto dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta:

    Sedjarah Ibukota Kita, terbit pada tahun 1954 (Soekanto, 1954: 60).

    Dari segi ekotipe kota, Jakarta adalah tipe kota bandar atau pelabuhan di

    Teluk Jakarta. Kota ini bermula dari sebuah komunitas pada masa kerajaan

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    4/114

    4

    Tarumanegara dan kemudian menjadi bandar kerajaan Pajajaran dengan nama

    Kalapa atau lebih dikenal sebagai Sunda Kalapa (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Menurut

    Soekanto, nama Sunda Kalapa diubah menjadi Jayakarta oleh Fatahillah pada tangal

    22 Juni 1527 setelah pimpinan pasukan Demak ini mengalahkan tentara Portugis.

    Nama Jayakarta yang dapat dilafalkan dengan beberapa nama: Jayakarta, Jakarta,

    Jaketra atau Jacatra, Yacatra. Menurut sumber-sumber Portugis dan ekspedisi

    Cornelius de Houtman (1596) sesungguhnya telah berumur lebih dari empat abad

    (Susanto Zuhdi, 1995; A. Heuken SJ, 1999, I: 77; II: 13-17).

    Ketika Belanda dengan VOC (kongsi dagang Hindia Timur) menancapkan

    kukunya di bumi Nusantara, nama Jayakarta diganti menjadi Batavia, yaitu nama

    benteng Belanda di Jayakarta pada tanggal 12 Maret 1619 (A. Heuken SJ, 1999, II:

    144-145). Namun, ketika Jepang berhasil menggantikan kekuasaan kolonialisme

    Belanda di Batavia, Pemerintah Jepang mengubah nama Batavia menjadi Jakarta

    pada tanggal 8 Desember 1942 (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Setelah Proklamasi

    Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia (RI) memutuskan Jakarta

    menjadi ibukota Negara RI pada tanggal 18 Agustus 1945 (Risalah Sidang BPUPKI,

    PPKI, 1945: 412). Meskipun telah terjadi beberapa kali perubahan nama namun

    Pemerintah DKI Jakarta menetapkan bahwa hari jadi kotanya selalu mengacu pada

    tanggal 22 Juni 1527, yaitu momentum kemenangan perang (Jayakarta) dan bukan

    momentum pada tanggal lainnya seperti proses perubahan nama seperti yang pernah

    terjadi pada kota Jakarta (Wirawan, dkk, 2004: 6).

    Sebuah buku yang diberi judul Syarif Abdurrahman Alkadri Perspektif

    Sejarah Berdirinya Kota Pontianak oleh penulisnya yang diterbitkan Pemerintah

    Kota Pontianak pada tahun 2000 memberikan gambaran tentang proses lahirnya kota

    Pontianak, Kalimantan Barat. Penulis menggambarkan kembali fenomena historiskelahiran kota Pontianak dengan menggunakan momentum berdirinya kerajaan atau

    Kasultanan Pontianak dan tokoh pendirinya yaitu Syarif Abdurrahman Alkadri.

    Pengalamannya mengembara dan suksesnya berdagang mendorong dia untuk

    mendirikan pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam di Pontianak. Tokoh putra

    asli Kalimantan Barat ini kemudian menjadi Sultan yang membangun dan

    mendirikan Kasultanan Pontianak yang berdaulat penuh dan otonom pada tanggal 23

    Oktober 1771 (Ansor Rahman, dkk, 2000). Dewasa ini, Pemerintah Kota Pontianak

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    5/114

    5

    merayakan hari jadi kotanya pada tonggak sejarah peranan raja Islam (Sultan) Syarif

    Abdurrahman Alkadri (1739-1808) membangun Kasultanan Pontianak pada tanggal

    23 Oktober 1771.

    Sebuah kajian penelitian yang dilakukan oleh tim dari Jurusan Sejarah

    Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tentang hari jadi kota Yogyakarta ditandai

    oleh momentum dibangun dan difungsikannya Keraton Ngayogyakarta-Adiningrat

    sebagai pusat pemerintahan Kasultanan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-

    1792) pada tanggal 7 Oktober 1756, setahun setelah penobatannya. Temuan tim

    sejarawan UGM menyimpulkan, apa yang diperingati sebagai hari jadi kota

    Yogyakarta yang didasarkan pada keputusan Pemerintah RI tentang Kotapraja

    Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 1947 perlu ditinjau ulang. Alasannya ialah kota

    Yogyakarta dengan segala kelengkapannya dan dinamikanya sudah ada jauh sebelum

    tanggal 7 Juni 1947, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1756. Oleh karena tanggal yang

    disebut terakhir ini adalah sebuah momentum yang sangat monumental, yaitu saat Sri

    Sultan Hamengku Buwono I masuk dan menempati Keraton Ngayogyakarta-

    Adiningrat (Tim Pengkaji, 2003). Dari nama keraton itu, sebelumnya sudah pernah

    diterbitkan sebuah buku yang berjudul Kota Jogjakarta 200 Tahunyang diterbitkan

    panitia peringatan pada tanggal 7 Oktober 1956. Di dalam buku peringatan Kota

    Jogjakarta 200 Tahun dijelaskan bahwa dari nama sebuah keraton pusat

    pemerintahan dan ibukota Negara Ngayogyakarta-Adiningrat dijadikan nama ibukota

    selanjutnya sesuai dengan perubahan statusnya.

    Sejak 5 September 1945 menjadi ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Kemudian sejak 4 Januari 1946 menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.

    Selanjutnya ibukota Yogyakarta termasuk lingkungan Kabupaten Kota. Dengan

    dihapusnya Kabupaten Kota, ibukota Yogyakarta mendapat kedudukan daerahotonom dengan nama Haminte Yogyakarta. Kemudian sejak tanggal 7 Juni 1947

    diubah menjadi Kotapraja Yogyakarta (Panitya Penerbitan, 1956: 31, 33). Dari

    gambaran proses perubahan status kota secara yuridis formal tidak mengurangi

    peranan dari aspek historis kelahirannya untuk Yogyakarta dikembalikan pada

    momentum berdirinya keraton sebagai cikal bakal kotanya.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    6/114

    6

    II

    DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL

    2.1. Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung

    Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan bekas-bekas

    atau bukti-bukti peninggalan masa lampau dapat diketahui, bahwa spasial yang

    kemudian menjadi wilayah Kerajaan Badung adalah tempat produk artefak,

    diantaranya: Prasasti Blanjong di Sanur berangka tahun 913 Masehi. Pura

    Maospahit Grenceng dan Tonja, Sumerta abad ke-14. Bukti tinggalan artefak Pura

    dengan langgam arsitekturnya, institusi dan lain-lainnya memberikan fenomena

    kehidupan komunitas yang sudah teratur.

    Dari sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan

    dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan. Oleh karena itu selain pertanian dapat

    juga dikatakan aktivitas perdagangan laut cukup tua usianya (Kuta, Sanur).

    Pelabuhan ini sering didatangi pedagang-pedagang dari luar, berinteraksi melalui

    tukar-menukar barang dagangan dan unsur-unsur sosiokultural antar etnik. Fenomena

    yang berlangsung selama 4 abad lebih sebelum dibangunnya institusi kerajaan sangat

    menarik untuk direkonstruksi meskipun informasi yang ada belum memadai. Oleh

    karena itu masih perlu digali sumber-sumbernya. Akan tetapi disepakati bahwa

    institusi dan komunitas kuno telah terbentuk berupa desa dan subak sebagai wadah

    berinteraksi para warganya. Artinya kehidupan masyarakatnya lebih menunjukkan

    corak agraris yang didukung pula aktivitas bahari karena wilayahnya dikelilingi

    lautan di sisi Barat, Selatan hingga di sisi Timur (Kuta, Kedonganan, Jimbaran dan

    Sanur). Selain nelayan dikawasan pantai itu juga dikenal produksi garamnya.

    Produksi kerajinan seperti gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno

    seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang (Boon, 1938: 3-4).

    Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh

    Anglurah dan kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak

    awalnya pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh

    Mahapatih Gajah Mada bersama-sama para Arya pada tahun 1343. Salah seorang

    Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi kerajaan di badung dan

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    7/114

    7

    Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan

    yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M.

    Suhardana, 2006: 44-45). Ketika ekspedisi Gajah Mada digelar, Arya Kenceng

    menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu Bali dari arah Selatan.

    Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan, Tabanan

    (Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II).

    Di dalam Babad Tabanan dijelaskan bahwa Arya Kenceng yang

    berkedudukan di Desa Pucangan atau Buahan penguasa Tabanan menurunkan empat

    putra putri, buah perkawinannya dari dua ibu. Dua putra beribu seorang putri

    Brahmanawangsa dari Ketepeng Reges Majapahit, yaitu Dewa Raka bergelar Sri

    Magada Prabu dan adiknya bernama Dewa Made bergelar Sri Magada Nata. Putra

    ketiga lahir dari lain ibu diberi nama Kyayi Tegeh atau Tegeh Kori dan adiknya

    bungsu adalah seorang putri diberi nama Istri Tegeh Kori. Sri Magada Prabu

    menggantikan kedudukan ayahnya berkuasa di Buahan Tabanan. Oleh karena tidak

    berputra sampai meninggal, maka kedudukannya digantri oleh adiknya yaitu Sri

    Magada Nata yang bergelar pula Sirarya Ngurah Tabanan. Adik Sri Magada Nata

    yang bernama Kyayi Tegeh Kori diberi tugas oleh raja Bali (Dalem) di Samprangan

    menjadi penguasa di Badung berkedudukan di Desa Tegal disebelah Selatan setra

    Badung (Babad Tabanan: 11b-12b).

    Kedudukan Sri Magada Nata semasih hidupnya digantikan oleh putranya

    yaitu Kyayi Langwang berhak memakai gelar Sirarya Ngurah Tabanan. Kyayi

    Langwang pindah dari Buahan membangun tempat tinggal baru di Tabanan. Setelah

    kedudukan diserahkan kepada Kyayi Langwang, Sri Magada Nata pergi dari Buahan

    membangun tempat peristirahatan di Kubon Tinggu. Disitu sempat menikah dengan

    putri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesaatau Kyayi Ketut Pucangan. Menginjak dewasa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya

    yaitu dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang

    bernama Kyayi Anglurah Langwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa)

    diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker tumbuh

    disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut Bendesa diberi

    julukan Kyayi Notor Wandira.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    8/114

    8

    Kyayi Ketut Bendesa yang diberi gelar juga Notor Wandira mempunyai

    kesukaan melakukan yoga semadi ke pura mengajak pengiring setia bernama Ki

    Tambyak. Atas keteguhan hati melakukan yoga semadi di Pura Panorajon

    memperoleh petunjuk melanjutkan perjalanan hingga ke Pura di Pelinggih Ida Batari

    Danu. Disini yoga semadinya memperoleh berkah sabda agar Kyayi Ketut Bendesa

    memandang daerah yang ditunjuk dan dilihatnya gelap (Badeng). Kyayi Ketut

    Bendesa diberi anugrah pula berupa cambuk (pecut) dan sumpit (tulup). Semua

    pengalaman yoga semadi yang memperoleh berkah dilaporkan kepada ayahnya Sri

    Magada Nata kemudian menganugrahkan sebuah keris pusaka bernama Ki Cekle

    kepada putranya.

    Ketika terjadi kekosongongan penguasa di Puri Penatih maka atas titah

    Dalemdi Gelgel kepada Arya Magada Nata untuk memperkenankan adiknya yang

    bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa. Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi

    pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang kemudian

    menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Oleh karena itu Kyayi Tegeh Kori

    menjadi penguasa di Badung.

    Berdasarkan anugrah petunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa

    bersama seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta pengiring

    setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk mengabdikan

    dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi putra angkat diberi nama

    Kyayi Nyoman Tegeh dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang

    bernama Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh.

    Kyayi Ketut Bendesa (Nyoman Tegeh) berputra Kyayi Gede Raka atau Kyayi

    Pasak. Kyayi Gede Raka berputra Kyayi Bebed yang ditugaskan oleh Kyayi Tegeh

    Kori atas perintah Dalem untuk menumpas pemberontakan Kyayi Ngurah Janggarandari Sidemen. Perang tanding antara Kyayi Ngurah Janggaran melawan Kyayi Bebed

    berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama menderita luka.

    Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah Janggaran mengetahui Kyayi Bebed mampu

    menyembuhkan lukanya sendiri, maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan jujur ksatria

    menyatakan diri kalah. Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan

    kemenangan Kyayi Bebed. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Bebed yang

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    9/114

    9

    sembuh mengkerut seperti kayupulemaka Dalem member nama kehormatan kepada

    Kyayi Bebed dengan gelar Kyayi Jambe Pule atau Kyayi Biket.

    Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri

    Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Jambe Merik

    membangun Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Gusti Ayu Made Jambe

    dengan Dalem Dimade melahirkan putra bernama Dewa Agung Jambe peletak dasar

    Kerajaan Klungkung. Permaisuri kedua Istri Penataran melahirkan seorang putra

    bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan membangun Puri

    Pemecutan. Istri Penawing Wija dari Desa Tumbak Bayuh Badung bernama Niluh

    Tameng (Jro Kame) melahirkan seorang putra yaitu Kyayi Ngurah Tumbak Bayuh

    atau Kyayi Ngurah Gelogor, membangun Puri Gelogor.

    Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung,

    Puri Pemecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan penguasa lama di daerah

    Badung yaitu Kyayi tegeh Kori di Puri Tegal. Kyayi Tegeh Kori berkeyakinan

    bahwa ketiga kekuatan itu lebih mendapat perhatian dan kepercayaan dari

    pemerintah pusat di kerato Sweca Linggarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena

    ketiga bersaudara itu adalah ipar dari penguasa Bali Dalem Dimade. Untuk

    mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyayi Tegeh Kori

    mempertunangkan seorang putrinya dengan I Gusti Jambe Mihik (Merik) di Puri

    Alang Badung. Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyayi Tegeh Kori

    berubah pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyayi Ngurah Agung di Puri

    Jero Gede Pupuan Mengwi (RajaPurana Kenceng, Gora Sirikan, II). Persetujuan

    atas lamaran penguasa Puri Pupuan Mengwi itu membangkitkan amarah I Gusti

    Jambe Mihik karena rasa malu dan dihinakan. I Gusti Jambe Pule bersama putra-

    putranya berunding untuk menyerang Kyayi Tegeh Kori. Akan tetapi sebelumgerakan laskar Jambe Pule sampai di Puri tegal, Kyayi Tegeh Kori sudah lebih dulu

    meninggalkan Purinya mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan

    menetap di Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh

    dibawah kekuasaan Puri Alang Badung dan Puri Pemecutan.

    Berkat kerjasama kedua raja kakak beradik maka dapat dikatakan Kerajaan

    Badung mulai berdiri diatas kekuatannya sendiri. Kedaulatan Kerajaan Badung dapat

    dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan Gelgel terutama setelah

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    10/114

    10

    dikendalikan oleh Kyayi Agung Dimade atau Sagung Maruti (1651-1677).

    Keberanian Kerajaan Badung menentang kekuasaan di Gelgel terbukti dari

    kebebasannya bertindak mengadakan hubungan langsung dengan persekutuan

    dagang kompeni (VOC) bangsa Belanda tanpa berunding terlebih dahulu dengan

    kekuasaan di Gelgel. Kerajaan Badung sudah member ijin kepada kompeni (VOC)

    Belanda mendirikan sebuah kantor dagang di pelabuhan Kuta pada tahun 1660.

    Kantor dagang VOC itu berfungsi untuk menimbun hasil bumi yang dibeli dari Bali

    dan juga untuk perdagangan budak yang banyak memberi keuntungan bagi kompeni

    pada abad 17-18 (Gora Sirikan, II).

    Ketika pangeran (Dewa Agung) Jambe putra Dalem Dimade menggulingkan

    kekuasaan Kyayi Agung Dimade di Gelgel pada tahun 1677 ternyata laskar Kerajaan

    Badung dibawah pimpinan I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) ikut membantu

    menyerang dari pantai Selatan. Perang tanding yang terjadi di pantai Batu Klotok

    antara Jambe Pule melawan Dukut Kerta, keduanya tewas. Untuk memperingatinya

    diberi gelar Dewata ring Batu Klotok. I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) diganti oleh

    putranya yang bernama I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Sejak kekuasaannya

    kebesaran Puri Pemecutan menanjak dan wilayah Kerajaan Badung bertambah luas.

    Keraton (Puri) Pemecutan dapat dipandang sebagai sumber pemusatan keluarga

    Jambe Pule. Puri Pemecutan dapat dianggap sebagai modal perjuangan untuk

    memperluas kekuasaan di Kerajaan Badung. Lebih-lebih sejak perkawinan agung

    antara I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan dengan putri mahkota Kerajaan Mengwi yang

    bernama I Gusti Ayu Bongan. Setelah pernikahan itu maka wilayah Kerajaan

    Badung di Puri Pemecutan bertambah luas. Putri mahkota Mengwi Gusti Ayu

    Bongan mendapat hadiah dari ayahnya sebagian wilayah Kerajaan Mengwi yaitu

    Dalung, Gaji, Kuta, Jimbaran sampai Bukit Pecatu diserahkan kepada Raja Badungdi Puri Pemecutan I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan (Gora Sirikan, II)

    Penguasa dan raja di Puri Pemecutan menggunakan kata Sakti untuk

    memperingati kemenangannya atas serangan laskar (Panji Sakti) dan menggalkan

    penyerangan Raja Panji Sakti dari Kerajaan Buleleng. Sebagai peringatan atas

    kemenangan itu maka medan laga itu disebut Taen Siat dan sebuah gong milik

    Kerajaan Buleleng dapat dirampas kemudian dijadikan pusaka Puri Pemecutan diberi

    nama Gagak Ora. Maknanya ialah apabila ditabuh laksana suara burung gagak

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    11/114

    11

    yang riuh rendah menakutkan sekalian musuh yang mendengarkan. Selain itu, raja

    Panji Sakti mempersembahkan sebuah Bale Kulkul yang masih berdiri dipojok

    perempatan Pemecutan saat ini.

    Kemasyuran namanya ditandai pula dengan banyak punya istri yang menjadi

    cikal bakal kerabat dan mereka masing-masing membangun puri-puri disekeliling

    Puri Pemecutan. Upaya ini dilakukan untuk mendukung sakti kekuasaan Puri

    Pemecutan. Salah seorang putranya lahir dari Istri Padmi I Gusti Ayu Bongan

    bernama I Gusti Gde Oka pindah dari Puri Pemecutan membangun Puri Kaleran.

    Kemudian putranya yang bernama I Gusti Ngurah Gde diangkat manca untuk

    memperkuat kekuasaan raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Mereka telah

    membawa tahta kekuasaan Kerajaan badung Puri Pemecutan mencapai puncak

    kebesarannya (Gora Sirikan, II). Ketika Raja Mengwi wafat pada tahun 1722,

    sumber VOC menyebut bahwa pembesar Kerajaan Badung adalah Raja Pemecutan.

    Dapat diketahui pula bahwa Raja Pemecutan pada waktu itu telah mengadakan

    hubungan perdagangan dengan orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan para

    pedagang dari badung sudah memiliki perahu dagang yang mampu mengangkut

    barang dagangan dan penumpang para budak, jumlah mereka 60-70 orang sebagai

    dagangan (Nordholt, 2006: 37).

    Memuncaknya kebesaran Puri Pemecutan juga karena ditopang oleh raja di

    Puri Alang Badung disebelah Timur Tukad badung sampai awal abad ke-18. Akan

    tetapi setelah raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan wafat, maka cahaya kebesaran

    Puri Pemecutan meredup maka kemudi Kerajaan Badung didominasi oleh kendali

    Gusti Jambe Ketewel (Gora Sirikan, II). Pemegang kekuasaan di Puri Alang Badung

    ialah I Gusti Jambe Ketewel putra I Gusti Jambe Tangkeban atau cucu I Gusti Jambe

    Mihik (Merik) pendiri Puri Alang Badung. Pada masa itu pemegang kekuasaan diPuri Pemecutan adalah I Gusti Gde Rai putra I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan atau

    cucu Kyayi Ngurah Pemedilan (Pemecutan). Oleh karena I Gusti Jambe Ketewel

    yang bertahta di Puri Alang Badung lebih tua usianya dari pada I Gusti Gde Rai yang

    bertahta di Puri Pemecutan. Sebaliknya cahaya kebesaran Puri Alng Badung

    memuncak pada decade ketiga abad ke-18.

    Ketika I Dewa Agung Anom putra I Dewa Agung Jambe Raja Klungkung

    membangun keraton dan mendirikan Kerajaan Sukawati, ternyata I Gusti Jambe

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    12/114

    12

    Ketewel bertindak atas nama Kerajaan Badung. Raja Jambe Ketewel ikut serta

    menegakkan kerajaan itu bersama-sama dengan raja-raja di Kerajaan Mengwi dan

    Tabanan. Atas dukungan itu, I Dewa Agung Anom raja Sukawati berkenan

    menyrahkan sebuah desa bernama Batubulan untuk menjadi milik Kerajaan Badung.

    Hubungan kekerabatan yang sangat akrab antara raja Badung di Puri Alang

    Badung dengan I Dewea Agung Anom di Puri Sukawati menyangkut pula pewarisan

    kekuasaan pewaris raja I Gusti Ngurah Jambe Ketewel. Seorang putra yang

    merupakan titisan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati lahir bernama I Gusti

    Jambe Aeng menjadi pewaris tahta di Puri Alang Badung. Sebagai pertanda titisan

    Ksatria Dalem kepada I Gusti Jambe Aeng dan keturunannya maka secara turun-

    temurun berhak menggunakan pengusung jenazah (bade) yang menggunakan dasar

    Bedawangnaladan Nagabandasebagai upakaradalam pitra yadnya(Babad Dalem

    milik Puri Sukawati). I Gusti Jambe Aeng pewaris tahta di Puri Alang Badung

    memindahkan keratonnya dan membangun keraton baru yang diberi nama Puri Satria

    pada tahun 1750. Puri Satria adalah sebuah nama yang dikaitkan dengan raja I Dewa

    Agung Anom di Puri Sukawati untuk mengabadikan nama wangsa atau trah Ksatria

    Dalem (Gora Sirikan, II).

    Pembangunan keraton baru di Puri Satria oleh I Gusti Jambe Aeng tidaklah

    menambah kekuasaan baru namun ciri kekuasaan kembar ke dalam dan kekuasaan

    tunggal Kerajaan Badung ke luar tetap berlangsung mengikuti jejak pendahulunya.

    Dalam praktek nampak bahwa secara bergantian raja-raja di Puri yang ada

    memegang kendali Kerajaan Badung. Pada masa raja I Gusti Gde Rai di Puri

    Pemecutan dan Raja Gusti Jambe Aeng di Puri Satria secara bergantian memegang

    kendali Kerajaan Badung. Keduanya mampu mengendalikan keamanan dan

    ketentraman. Mereka senantiasa bersatu dan bekerjasama demi kebesaran dankesentosaan kehidupan di Kerajaan Badung.

    2.2. Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota Kerajaan

    Badung Tahun 1788

    Raja I Gusti Jambe Aeng di Puri Satria (1750) wafat diganti oleh putranya

    bernama I Gusti Ngurah Jambe Ksatria (sampai 1779) yang sangat lemah dalam

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    13/114

    13

    mengendalikan pemerintahan. Kelemahan ini dipakai kesempatan oleh I Gusti

    Ngurah Rai adik I Gusti Ngurah Made seorang manca di Puri Kaleran, bawahan dan

    cucu raja di Puri Pemecutan. Niat dan ambisinya ditujukan kepada raja penguasa

    yang sangat lemah di Puri Satria. I Gusti Ngurah Rai terlebih dahulu mengadakan

    perundingan dengan Dewa Manggis raja di Kerajaan Gianyar. Raja Gianyar sanggup

    membantu usaha I Gusti Ngurah Rai. Untuk melaksanakan niatnya, dia sengaja

    mencari alasan perselisihan dengan raja di Puri Satria. Upaya ini berhasil

    mengakibatkan Puri Satria dikepung oleh laskar I Gusti Ngurah Rai bersama

    saudaranya dan I Gusti Ngurah Made yang dibantu laskar Gianyar. Serangan

    gabungan ini berhasil dan Raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria tewas (1779) di tangan

    I Gusti Ngurah Rai. Sebelum tewas tahta kekuasaan diserahkan kepada I Gusti

    Ngurah Made. Sebaliknya I Gusti Ngurah Rai karena kecurangannya dikutuk.

    Bekas kekuasaan Puri Satria jatuh dibawah genggaman I Gusti Ngurah Made

    penerima tahta dari I Gusti Ngurah Jambe Ksatria. Sejak itu dia diakui oleh rakyat

    Badung sebagai seorang raja yang mempunyai kekuasaan besar. Oleh karena Puri

    Satria rusak, maka I Gusti Ngurah Made mendirikan keraton baru yang dijadikan

    pusat untuk mengendalikan pemerintahannya. Keraton baru itu mengambil lokasi di

    sebelah Selatan Puri Satria, dan karena didirikan dilokasi taman Denpasar yang

    letaknya di sebelah Utara pasar maka setelah selesai diberi nama Puri Denpasar pada

    tahun 1788 (lihat Schets). Setelah I Gusti Ngurah Made berkedudukan di Puri

    Denpasar maka berhak menggunakan gelar seorang raja yaitu I Gusti Ngurah Made

    Pemecutan (1788-1813) mengingat keturunannya dari Puri Pemecutan. Sebgaia

    Bagawanta kerajaan yang tidak bisa dipisahkan sejak kehadiran Raja Denpasar I

    ialah Ide Pedanda di Geriya Sanur kemudian lebih dikenal Geriya Jero Gde Sanur

    hingga sekarang.Dari pihak raja di Puri Pemecutan pun mengakui kekuasaan raja di Puri

    Denpasar. Sementara itu untuk menepati janji I Gusti Ngurah Rai terhadap raja

    Gianyar yang telah membantunya, maka Raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan

    menyerahkan Desa Batubulan menjadi wilayah Kerajaan Gianyar. Janji lainnya ialah

    wasiat yang diberikan oleh raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria di Puri Satria sebelum

    tewas, yaitu menyerahkan permaisuri yang masih hamil kepada I Gusti Ngurah Made

    Pemecutan disertai syarat. Syarat dan wasiat itu menyatakan bahwa kelak apabila

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    14/114

    14

    lahir anak laki-laki maka dia yang berhak menduduki tahta kerajaan (Ida Cokorda

    Denpasar IX; Gora Sirikan, II).

    Gambar 1

    SCHETS VAN DENPASAR EN PAMETJOETAN

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    15/114

    15

    2.3. Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar hingga Hancurnya

    Puri Denpasar

    I Gusti Ngurah Made Pemecutan adalah raja pertama dari Puri Denpasar yang

    memperluas hegemoni Kerajaan Badung. Pernah menyerang dan menguasai

    Kerajaan Jembrana (1805-1818). Namun pada tahun 1818 direbut oleh raja Buleleng

    dan ditempatkan di bawah hegemoni Buleleng (Utrecht, 1962: 101). Pada tahun

    1810, I Gusti Ngurah Made Pemecutan membagi daerah kekuasaannya kepada dua

    orang putranya yaitu I Gusti Gde Ngurah dan I Gusti Gde Kesiman sebelum dia

    wafat pada tahun 1813. Tahta di Puri Denpasar diwariskan kepada I Gusti Gde

    Ngurah setelah dinobatkan bergelar I Gusti Ngurah Jambe, Raja Denpasar II (1813-

    1817). Sedangkan I Gusti Gde Kesiman mengalih dari Puri Denpasar dan mendirikan

    Puri Kesiman. Dialah raja Kesiman I (1813-20 November 1865).

    Oleh pemerintah Belanda I Gusti Gde Kesiman adalah seorang raja yang

    terkemuka di Kerajaan Badung. Dia dapat mempengaruhi Dewa Agung raja

    Klungkung karena seorang putrinya yang bernama I Gusti Ayu Jambe menjadi

    permaisuri dari Raja Klungkung VIII yang bergelar Dewa Agung Putra III.

    Perkawinan agung itu diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 1854. Raja I Gusti

    Gde Kesiman cakap berdiplomasi baik dengan pemerintah Belanda maupun dengan

    pihak kerajaan tetangga di Bali. Pengaruhnya semakin besar di Kerajaan Badung,

    sesudah saudaranya yaitu I Gusti Ngurah Jambe raja Denpasar II wafat (1813-1817).

    Penggantinya ialah I Gusti Made Ngurah, Raja Denpasar III (1817-1829). Karena

    masih muda ternyata dapat dipengaruhi oleh pamannya di Puri Kesiman yang

    semakin kuat pengaruhnya.

    I Gusti Gde Kesiman dianggap cakap dan dapat menciptakan kerjasama atas

    dasar saling pengertian antara tiga kekuasaan (Puri Pemecutan, Puri Denpasar, danPuri Kesiman) sehingga Kerajaan Badung merupakan kekuatan yang disegani oleh

    kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya bebahasa Melayu, I Gusti Gde Kesiman

    tidak canggung lagi berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga

    di Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II; ANRI, 1964).

    Sejak kemudi dipegang oleh I Gusti Gde Kesiman tampak Kerajaan Badung

    semakin ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing dari luar pulau Bali.

    Bandar Kerajaan Badung yaitu Kuta, Benoa dan Sanur menarik minat pedagang-

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    16/114

    16

    pedagang asing untuk berniaga di sana. Untuk memperlancar perdagangannya I Gusti

    Gde Kesiman berusaha memperbaiki hubungan dagang yang menghubungkan

    kerajaan disekitarnya antara lain jalan menuju Kerajaan Tabanan, Mengwi dan

    Gianyar. Salah satu jalan perdagangan penting adalah jalan perdagangan dari

    Kesiman menuju Kuta yang menurut laporan van Eck melalui Pagan, Tatasan, Tonja,

    Denpasar, Titih, Alang Badung, Suci, Alang Kajeng, Celagi Gendong, Gelogor,

    Tegal, Monang Maning, Tenten, Buagan, Abian Timbul dan akhirnya Kuta (van Eck,

    TNI, I 1880: 214).

    Di keraton (Puri) Denpasar, I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi raja

    Denpasar IV (1829-1848) bergelar pula Cokorda Denpasar. Dari gelar ini sudah

    dapat dinyatakan bahwa dia adalah salah seorang raja terkemuka di Kerajaan badung

    pada masa itu. Meskipun peranan raja I Gusti Gde Kesiman tetap penting. Peranan

    ini dijalankan terus walau terjadi suksesi baik di Puri Denapsar maupun di Puri

    Pemecutan. Akan tetapi setelah I Gusti Gde Kesiman wafat pada tahun 1865 maka

    pucuk pimpinan Kerajaan badung mulai pindah ke Puri Denpasar.

    Di Puri Denpasar ada tiga raja yang memerintah sebelum meletusnya Puputan

    Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1863-1883), dan I Gusti

    Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) yang menggunakan gelar I Gusti

    Ngurah Jambe Pemecutan. Raja yang disebut terakhir diganti oleh I Gusti Ngurah

    Made Agung menjadi Raja Denpasar VII (1902-20 September 1906). Raja Denpasar

    VII, I Gusti Ngurah Made Agung dan Raja Pemecutan VIII, I Gusti Ngurah

    Pemecutan (Desember 1890-20 September 1906) gugr dalam Puputan Badung. Raja

    Kesiman IV, I Gusti Ngurah Agung (1890-1906) wafat terbunuh oleh Dewata ring

    Keris pada awal September 1906 (Gora Sirikan, II).

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    17/114

    17

    III

    DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN

    3.1. Menjadi Ibukota Modern Kolonial

    Perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada tahun 1900-

    1940-an sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektor-

    sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, perdagangan, dan perindustrian.

    Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu memiliki ciri khas yaitu menjadi basis

    kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi,

    kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi putera atau

    Pribumi di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu

    orang Cina. (Djoko Suryo, 2004: 1). Kelompok-kelompok masyarakat tersebut

    merupakan pendukung berkembangnya suatu kota sehingga kota menjadi pusat

    modernisasi. Di Indonesia pada masa kolonial berkembang kota-kota besar baik di

    Jawa maupun di luar Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial.

    Berkembangnya kota kolonial di Bali tidak lepas dari upaya pemerintah

    kolonial Belanda dalam mewujudkan cita-citaPax Neerlandica, yang menginginkan

    agar keamanan dan ketertiban dapat diciptakan di seluruh wilayah Hindia Belanda di

    bawah naungan alat-alat kekuasaan kolonial Belanda. Perhatian pemerintah kolonial

    terhadap daerah luar Jawa termasuk Kerajaan Badung tidak bisa dilepaskan dari

    perkembangan politik internasional pada saat itu dengan munculnya kekuatan Inggris

    sebagai salah satu saingan kolonial Belanda di Nusantara terutama di kawasan timur

    Nusantara.(Utrech, 1962: 176-179). Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial

    Belanda untuk menjalin hubungan dan selanjutnya dapat menaklukkan kerajaan-

    kerajaan di Bali. Dalam kurun waktu 1846-1868 pemerintah Belanda dengan susuah

    payah dan pengorbanan yang cukup besar telah berhasil menaklukkan Bali Utara

    (Nijpels, 1897).

    Setelah berhasil menguasai Bali Utara, ekspedisi militer Belanda dilanjutkan

    ke Bali Selatan, namun kematian Mayor Jenderal Michiels, seorang jenderal yang

    sangat dikagumi oleh pemerintah Belanda tanggal 25 Mei 1849 menghentikan

    ekspansi kolonial ke wilayah Bali Selatan untuk sementara waktu. Dalam waktu

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    18/114

    18

    yang cukup lama akhirnya pemerintah kolonial Belanda melanjutkan lagi ekspasinya

    ke Bali Selatan. Pada tahun 20 September 1906 dalam pertempuran yang sangat

    heroik yang dikenal dengan peristiwaPuputan Badung, pemerintah kolonial Belanda

    dapat mengalahkan Kerejaan Badung. Puri Denpasar sebagai salah satu istana di

    Kerajaan Badung luluh lantak karena gempuran prajurit kolonial Belanda. Maka

    sejak tahun 1906 Kerajaan Badung telah menjadi wilayah koloni Belanda.

    Berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 2 November 1907 nomor

    3, maka sejak 11 November 1907 daerah Badung dijadikan onderafdeeling Badung

    di bawah asisten residen afdeeling yang berkedudukan di Denpasar (Staatblad 1907

    No. 449).

    Dalam Lembara Negara No. 638 tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda

    kembali mengadakan penataan administrasi terhadap wilayah Keredidenan Bali dan

    Lombok yang dikeluarkan pada tanggal 24 Desember 1910 (Staatblad 1910 No.

    638). Afdeeling Bali Selatan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang

    berkedudukan di Denpasar, dibagi menjadi lima onderafdeeling yaitu:

    Onderafdeeling Karangasem, Klungkung, Gianyar, Tabanan, dan Badung.

    Onderafdeeling Badung terdiri atas Distrik Denpasar, Pemecutan, Kuta, Panjer,

    Sanur, Kesiman, Peguyangan, Gaji, Kapal, Mengwi, Sibang, Abiansemal, dan

    Blahkiuh, termasuk juga onderdistrik Angantaka dan Carangsari. Semuanya dibawah

    kontrolir yang berkedudukan di Denpasar.

    Penataan administrasi yang dilakukan oleh pemerintah Belanda bertujuan

    untuk memperkuat kekuasaannya; menanamkan dan mengembangkan pengaruhnya

    di bekas wilayah Kerajaan Badung sehingga dapat menarik simpati masyarakat

    Badung. Upaya yang dilakukan untuk merebut simpati masyarakat adalah menata

    perkampungan masyarakat asli maupun para pendatang, membangun perkantoran,pasar, sekolah, museum. Di samping itu pemerintah Belanda juga menata sarana

    transportasi seperti pelabuhan, bandara, membangun jembatan dan jalan-jalan dalam

    mewujudkan Denpasar sebagai kota modern (Cf. Surjomihardjo, 2000).

    Nama Denpasar yang awalnya merupakan nama salah satu puri dijadikan

    sebagai nama ibukota afdeeling Bali Selatan, sedangkan situs Puri Denpasar

    digunakan sebagai kantor pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeeling

    dan onderafdeeling. Dari kantor itulah semua aktivitas pemerintahan dikendalikan

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    19/114

    19

    dipimpin oleh asisten residen untuk wilayah afdeeling Bali Selatan dan oleh kontrilir

    untuk wilayah onderafdeeling Badung. Di samping menjadi ibukota afdeeling dan

    onderafdeeling, nama Denpasar juga digunakan sebagai nama distrik yakni Distrik

    Denpasar. Sebagai salah satu distrik di wilayah onderafdeeling Badung, Distrik

    Denpasar membawahi beberapa desa adat seperti: Desa Adat Yangbatu, Denpasar,

    Padangsambian, Kerobokan; serta membawahi beberapa desa dinas diantaranya:

    Dangin Puri, Dauh Puri, Pemecutan, Padangsambian, dan Kampung Jawa (Boon,

    1938).

    Kondisi jalan yang belum memadai pada awal pemerintah Bekanda

    menguasai Badung, mulai mendapat perhatian agar arus lalu lintas manusia dan

    barang menjadi lebih lancar. Pemerintah Belanda mulai mengadakan pelebaran,

    perbaikan, dan pengaspalan jalan-jalan baik yang ada di sekitar kota Denpasar

    maupun jalan-jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan daerah-daerah lain

    di Bali. Pekerjaan dalam bidang pembangunan jalan, kantor, jembatan, dilaksanakan

    dengan memobilisasi tenaga masyarakat dalam kerja wajib (rodi). Menurut catatan

    L.U van Stenis (1919: 52-53), pemerintah kolonial Belanda telah melakukan

    perbaikan jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Sanur, Kuta dan jalan-

    jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan wilayah diluar daerah Badung

    seperti: Tabanan, Gianyar, Mengwi, dan Buleleng. Secara lebih rinci disebutkan

    bahwa jalan-jalan yang telah diaspal adalah: Denpasar- Sanur sepanjang tujuh

    kilometer, Denpasar- Kuta sepanjang 11 kilometer, Denpasar- Gianyar sepanjang 27

    Kilometer, Denpasar Tabanan sepanjang 20 kilometer, dan Denpasar Singaraja

    sepanjang 87 kilometer.

    Fasilitas jalan yang telah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda

    mendorong berkembangnya sarana transportasi. Disamping masih mempertahankansarana transportasi tradisional seperti dokar, gerobak, masyarakat di wilayah Badung

    telah melirik dan menggunakan sarana transportasi modern seperti: sepeda, mobil

    pribadi, truk, bus, dan kendaraan gandengan. Dalam catatan H.J. Hoekstra (1937: 59)

    jumlah sarana angkutan yang ada di Denpasar adalah sebagai berikut: sepeda 3.000

    buah, dokar 261 buah, gerobak 435 buah, mobil pribadi seperti sedan dan jeep 71

    buah, mobil truk 44 buah, mobil bus 46 buah, dan kendaraan gandengan 44 buah.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    20/114

    20

    Dalam bidang kebudayaan pemerintah kolonial Belanda mengajukan gagasan

    yang dikenal dengan Balisering, yang dicetuskan pada tahun 1920. Balisering yang

    artinya pembalian terhadap Bali, mencoba untuk mempertahankan Bali dari semua

    pengaruh luar khususnya dalam lapangan sosial budaya (Flierhaar, 1933: 3). Gagasan

    ini sesungguhnya mempunyai kaitan erat dengan perkembangan pariwisata yang

    didukung oleh golongan libral Belanda di Bali. Dengan tetap mempertahankan Bali

    sebagai sedia kala (museum hidup), diharapkan Bali akan menarik bagi orang luar

    untuk berkunjung ke Bali sehingga dapat menghasilkan banyak uang untuk

    membiayai semua aktivitas pemerintah baik pembangunan fisik maupun dalam

    meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat.

    Pengembangan pariwisata sudah mulai dirintis oleh perusahaan pelayaran

    Belanda yang bernama Nederlandsche Handel Maskapij (NHM) pada tahun 1839

    dengan membuka kantor cabangnya di Kuta. Usaha ini dilakukan untuk mengalihkan

    pandangan pemerintah kolonial dalam rangka mengelola Bali sehingga dapat

    menghasilkan keuntungan ekonomi, mengingat Bali bukanlah daerah yang

    mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi. Usaha dalam bidang pariwisata

    cukup prospektif karena keunikan-keunikan budaya dan keindahan alam Bali yang

    sudah mulai dikenal saat itu. Usaha untuk memperkenalkan Bali kepada orang luar

    mulai menampkan hasil sejak tahun 1920 karena saat itu telah berdatangan

    wisatawan dari luar seperti dari Belanda dan warga Eropa lainnya, walaupun

    jumlahnya masih terbatas.

    Sekitar tahun 1930 seorang warga negara Amerika yang dikenal dengan nama

    Ketut Tantri datang ke Bali untuk berlibur. Keindahan panorama alam Bali yang

    dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura serta keramah tamahan masyarakatnya

    mengakibatkan Tantri betah tinggal di Bali dan selanjutnya menetap di Bali. Karenaterpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali, maka Tantri ikut

    merintis pendirian fasilitas akomodasi pariwisata seperti pendirian Kuta Beach Hotel

    di kawasan pantai Kuta dan Hotel Bali di Denpasar. Pedirian hotel ini dalam rangka

    mengantisifasi berkembangnya kunjungan wisatawan ke Bali karena Bali telah

    menjadi pembicaraan di berbagai belahan dunia.

    Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali yang sudah mulai tampak sejak

    tahun 1930 menuntut adanya peningkatan penyediaan fasilitas transportasi yang lebih

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    21/114

    21

    memadai. Pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun lapangan

    terbang di Desa Tuban sekitar 13 kilometer dari Kota Denpasar. Sejak 1 Mei 1937

    jadwal penerbangan Denpasar Surabaya telah dilakukan secara teratur dua kali

    seminggu. Jumlah penerbangan dan lalu lintas manusia selama tiga tahun dapat

    dilihat pada tabel berikut (Soenaryo, 1989: 48).

    TABEL 1

    JUMLAH PENERBANGAN ANTARA TAHUN 1935-1937

    Tahun Berangkat Datang Jumlah PenumpangBanyaknya

    Barang

    1935 36 kali 36 kali 288 orang 51 kg

    1936 52 kali 52 kali 468 orang 79 kg

    1937 85 kali 85 kali 744 orang 172 kg

    Sumber: Hoekstra, 1937, Soenaryo, 1989.

    Dari tabel di atas menunjukkan bahwa selama tiga tahun terjadi peningkatan

    kedatangan wisatawan ke Bali yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa

    pemerintah Belanda telah cukup berhasil untuk memperkenalkan masyarakat Bali

    kepada dunia luar. Hal ini akan memberikan keuntungan secara ekonomi kepada

    pemerintah dan golongan pengusaha dan diharapkan akan memberi pengaruh positif

    bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali khususnya bagi masyarakat Kota

    Denpasar sebagai pusat pemerintahan wilayah Bali Selatan.

    Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial merupakan perpaduan

    antara konsep arsitektur modern dengan arsitektur tradisional. Sebagai contoh usaha

    pemerintah kolonial memperkenalkan konsep waktu secara modern denganmenempatkan sebuah jam besar (lonceng) tepat di tengah catuspathaKota Denpasar

    yang berfungsi sebagai titik O kilometer. Pada saat itu masyarakat Bali belum

    banyak yang memiliki jam dinding atau arloji dalam menentukan waktu, karena

    masyarakat masih berpatokan pada tanda-tanda alam seperti matahari, bulan, bintang

    dan juga tanda-tanda yang berasal dari suara binatang seperti kokok ayam.

    Penempatan jam besar di pusat Kota Denpasar merupakan salah satu unsur modern

    yang diperkenalkan pemerintah Belanda kepada masyarakat Denpasar.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    22/114

    22

    Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial tidak lepas nilai-nilai

    tradisi masyarakat Bali khususnya dalam bidang arsitektur. Hal ini tampak dari

    pembangunan Museum Bali yang dirintis sejak tahun 1910 oleh Asisten Residen Bali

    Selatan W.F. J. Kroon atas sumbangan pemikiran Ir. Th. A. Resink. Pembangunan

    Museum Bali sangat menonjolkan arsitektur Bali baik dari segi bentuk bangunan,

    konsep tata ruang, maupun bahan-bahan yang digunakan sehingga museum Bali

    merupakan salah satu ikon Kota Denpasar pada saat itu. Dari segi langgam arsitektur

    museum tampak bahwa para ahli bangunan dan arsitek Belanda mencoba

    memformulasikan arsitektur tradisional Bali ke dalam suatu fungsi baru.

    Pembangunan museum ini bertujuan untuk mencegah adanya usaha komodifikasi

    benda-benda budaya Bali yang secara ekonomis sangat menguntungkan pihak-pihak

    tertentu dan akan memiskinkan budaya Bali. Museum Bali dikelola oleh

    Perkumpulan Bali Museum dibuka untuk umum pada tanggal 8 Desember 1932.

    Usaha ini berhasil dan Museum Bali yang sekarang masih berdiri tegak di Jalan

    Mayor Wisnu menjadi tempat pembelajaran budaya bagi masyarakat Bali dalam

    usaha memahami sejarah dan budayanya.

    Dalam menunjang aktivitas perekonomian terutama dalam sektor ekspor dan

    import pemerintah Belanda mulai menata pelabuhan dengan memindahkan aktivitas

    bongkar muat barang dari pelabuhan Kuta ke lokasi baru yaitu di kawasan Benoa.

    Secara geografis letak pelabuhan Benoa lebih baik karena tidak langsung berhadapan

    dengan Samudera Hindia. Pelabuhan Kuta yang pada jaman kebesaran Kerajaan

    Badung menjadi pusat aktivitas perekonomian mengalami kemunduran sejak

    jatuhnya Bali Utara ke tangan pemerintah kolonial. Pemerintah Belanda

    memindahkan pusat aktivitas perekonomian ke pelabuhan Pabean Buleleng.

    Pemindahan pelabuhan dari Kuta ke Benoa memberi dampak positif baik bagimasyarakat Kuta maupun bagi masyarakat Benoa. Di satu sisi pindahnya aktivitas

    pelabuhan dari Kuta memberi kesempatan untuk berkembangnya sektor pariwisata di

    Pantai Kuta yang mulai menarik perhatian wisatawan karena pantainya yang berpasir

    putih. Di sisi yang lain pelabuhan Benoa dapat berkembang karena letaknya yang

    cukup memandai terlindung dari hempasan gelombang ombak besar sehingga

    menjadi salah satu pelabuhan penting dalam menunjang aktivitas perdagangan

    nasional maupun internasional. Di samping menjadi pusat perdagangan Benoa juga

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    23/114

    23

    berkembang menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata manca negara yang

    telah mulai ramai mengunjungi Bali.

    Pembangunan fasilitas fisik terus dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam

    membangun Kora Denpasar sebagai pusat pemerintahan. Pada tahun 1927 di jantung

    Kota Denpasar berdekatan dengan kantor pusat pemerintahan dibangun sebuah

    bangunan yang pada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal bagi tentara Belanda

    yang bertugas menjaga keamanan Kota Denpasar. Pada tahun 1928 bangunan ini

    diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada perusahan pelayaran milik pemerntah

    Belanda yang bernamaKoninkelijke Paketvaar Matschappij(KPM). Setalah dikelola

    oleh KPM bangunan dikembangkan dengan penambahan fasilitas yang memadai dan

    difungsikan sebagai tempat menginap bagi tamu pemerintah Belanda dan para

    pegawai perusahaan KPM yang mengadakan kunjungan dinas ke Bali. Pada tahun

    1942 bangunan tersebut telah difungsikan sebagai hotel dengan nama Bali Hotel,

    disamping untuk tamu pemerintah juga untuk umum yang membutuhkan fasilitas

    penginapan di Denpasar. Bali Hotel masih tetap dipertahankan sampai sekarang

    masih tegak berdiri sebagai situs sejarah Kota Denpasar era kolonial yang berlokasi

    di Jalan Veteran Denpasar.

    Menjelang dekade ketiga abad XX pemerintah Belanda mulai

    mengintensifkan penataan administrasi birokrasi pemerintahan di berbagai kawansan

    jajahannya termasuk di onderafeeeling Badung. Hal ini dilakukan karena

    perkembangan pembangunan membawa konskwensi meningkatnya tuntutan

    masyarakat terhadap pelayan administrasi pemerintahan. Untuk itu pemerintah

    Belanda memberikan jabatan kepada keturunan raja pada tingkat onderafdeeling. Hal

    ini terbukti setelah kembalinya salah satu keturunan raja Badung dari Puri Denpasar

    dari pengasingan (keselong) di Mataram, Lombok Barat yang bernama I GustiNgurah Alit Ngurah. Setelah menjalani hukuman pengasingan selama sepuluh tahun

    dan mendapat pendidikan model Barat, Alit Ngurah kembali ke Bali dan bekerja

    sebagai pegawai di kantor Pekerjaan Umum selama dua tahun. Selanjutnya pekerjaan

    yang pernah digeluti secara berturut-turut adalah sebagai juru tulis di kantor

    Keresidenan Bali dan Lombok antara tahun 1920-1924; menjadi manteri polisi

    (1925-1926), menjadi juru tulis di kantor pajak tanah (sedahan agung) tahun 1926-

    1929. Pengalaman pekerjaan yang telah dimiliki mengantarkan Alit Ngurah

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    24/114

    24

    menduduki posisi yang cukup strategis di daerah onderafdeeling Badung.

    Berdasarkan keputusan Gubernemen No. 23 tanggal 8 Juli 1929 Alit Ngurah

    diangkat menjadi kepala pemerintahan (besturder) untuk mengepalai daerah

    (zelfbesturende landschap) Badung dan berhak menggunakan gelar cokorda.

    (Boon, 1938). Selanjutnya untuk memenuhi fasilitas sebagai seorang kepala daerah

    akhirnya pada tahun 1930 mulai dibangun Puri Satrya yang posisinya berada di

    sebelah utara bekas Puri Denpasar yang telah berubah fungsi menjadi pusat

    pemerintahan.

    Berkembangnya Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan kolonial di Bali

    Selatan memerlukan tenaga-tenaga terampil yang telah menguasai pendidikan

    modern. Oleh karena itulah pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan

    sistem pendidikan modern di Kota Denpasar. Pada tahun 1907 untuk pertama kali

    pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Kelas II (Tweede Inladsche School) di

    Denpasar (Moolenburg, 1926: 79-80). Karena masyarakat belum memiliki kesadaran

    tentang pentingnya pendidikan modern model Barat, maka pemerintah sangat sulit

    untuk memperoleh siswa, bahkan untuk memperoleh siswa aparat desa harus turun

    tangan ke rumah-rumah penduduk untuk membujuk bahkan memaksa agar orang tua

    mau menyekolahkan anaknya. Usaha yang dilakukan oleh aparat desa berhasil

    menyadarkan sebagian anggota masyarakat sehingga sekolah yang baru didirikan

    memperoleh siswa walaupun jumlahnya sangat terbatas.

    Persoalan lain yang dihadapai oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal

    berdirinya sekolah-sekolah modern adalah kurangnya tenaga pendidik dari kalangan

    masyarakat pribumi. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah Belanda membuka

    sekolah Normaal Cursus di Denpasar. Orang-orang yang telah menyelesaikan

    pendidikan di Normaal Cursus inilah yang banyak memberi insprirasi kepadamasyarakat di sekitarnya sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat akan

    pentingnya pendidikan modern. Kondisi ini akhirnya yang mendorong pemerintah

    kolonial untuk mendirikanHollandsch Inlandsche School(HIS), Sekolah Bumi Putra

    Belanda yang mengambil lokasi di sebelah timur museum Bali. Pendirian HIS

    bertujuan untuk menampung anak-anak dari para pegawai pemerintah, tokoh

    masyarakat, dan golongan bangsawan. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS

    pada siswa dapat melanjutnya ke sekolah yang lebih tinggi seperti Meer Uitgebreid

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    25/114

    25

    Lager Onderwijs (MULO) atau ke Algemeene Middlebare School (AMS) yang

    tentunya berlokasi di luar Bali.

    Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial rupanya

    belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini direspon

    oleh kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pada waktu itu telah tumbuh

    dan berkembang sampai ke daerah-daerah khususnya di Kota Denpasar. Atas inisiatif

    pimpinan Komite Taman Siswa Denpasar yakni I Gusti Ngurah Pemecutan, I

    Nyoman Pegeg, dan I Ketut Ceteg, pada tahun 1933 didirikan Sekolah Taman Siswa

    yang berlokasi di belakang Bali Hotel. Dalam kurun waktu selanjutnya sekolah

    Taman Siswa berkembang sampai di Kota Negara dan Karangasem. Para siswa yang

    telah menyelesaikan pendidikan di Taman Siswa (kelas tujuh) dapat melanjutkan

    pendidikannya ke Sekolah Taman Dewasa yang telah dibuka oleh Komite Taman

    Siswa di sebelah selatan lokasi Puri Denpasar. (Soenaryo, 1989: 90).

    Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial

    menciptakan golongan intelektual yang memiliki kesadaran baru dalam upaya

    membangun masyarakat yang masih terkebelakang. Upaya yang dilakukan adalah

    mendirikan organisasi modern sebagai wadah baru untuk melakukan aktivitas di

    bidang sosial budaya. Pada tahun 1908 di Kota Denpasar lahir organisasi pertama

    yaitu Perkumpulan Budi Utomo Cabang Denpasar. Usaha yang dilakukan oleh

    organisasi ini adalah mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf di

    berbagai kawasan Kota Denpasar dan desa-desa sekitarnya agar meayarakat dapat

    membaca dan menulis. Kegiatan yang dilakukan oleh anggota-anggota Budi Utomo

    sangat membantu masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang tidak mendapat

    kesempatan untuk mengenyam pendidikan modern model barat. Walaupun aktivitas

    yang dulakukan berhubungan dengan masalah sosial, tetap mendapat pengawasandari pihak pemerintah kolonial karena Budi Utomo adalah organisasi yang

    menanamkan paham kebangsaaan bagi anggota-anggotanya. Di samping organisasi

    Budi Utomo di Kota Denpasar juga lahir organisasi yang mempunyai orientasi di

    bidang kebudayaan yaitu perkumpulan Eka Laksana pada tanggal 14 Juli 1935.

    Perkumpulan ini mempunyai tujuan untuk mempelajari dan mengembangkan

    kebudayaan Bali. Di samping itu perkumpulan juga mempunyai tujuan untuk

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    26/114

    26

    mempererat persaudaraan di antara para anggota dan saling tolong menolong apabila

    di antara pelajar-pelajar Bali ada yang mengalami kesusahan.

    Di kalangan kaum perempuan Kota Denpasar khususnya istri guru-guru dan

    pegawai kantor juga memiliki inisiatif untuk membentuk perkumpulan. Pada tahun

    1934 berdiri perkumpulan perempuan yang bernama Perukunan Istri bertujuan untuk

    meningkatkan kerukunan antar anggota yang berasal dari berbagai suku bangsa

    terutama istri guru-guru dan pegawai negeri yang tinggal di Kota Denpasar. Dalam

    pertemuan yang diadakan seminggu sekali para istri pegawai negeri ini berusaha

    untuk meningkatkan ketrampilan para anggotanya dalam mengurus rumah tangga.

    Kegiatan lain dari perkumpulan ini adalah membentuk usaha simpan pinjam

    sehingga dapat membantu anggotanya yang mengalami kesulitan keuangan.

    Pada tanggal 1 Oktober 1936 di Kota Denpasar lahir organisasi Putri Bali

    Sadar, atas inisiatif dari kalangan remaja putri Kota Denpasar terutama yang bekerja

    sebagai guru. Pengalaman yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Kota

    Blitar Jawa Timur memberikan inspirasi untuk mendirikan organisasi sebagai wadah

    untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Di bawah pimpinan Gusti Ayu

    Rapeg, Putri Bali Sadar mempunyai tujuan yang sangat mulia seperti: (1)

    mempererat kerukunan putri-putri Bali; (2) mengusahakan untuk saling menolong

    bila ada anggota yang mengalami kesusahan; (3) menambah pengetahuan para

    anggota dengan jalan membaca dan belajar pada waktu-waktu lowong; (4)

    membantu biaya sekolah murid-murid perempuan Bali yang ditimpa kesusahan; (5)

    berusaha memberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada putri-putri

    Bali yang tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Untuk memperoleh dana

    anggota perkumpulan Putri Bali Sadar diwajibkan membayar iuran sebesar 0,10

    tiap bulan.Pada bulan April 1937 di Kota Denpasar juga berdiri perkumpulan Bali

    Darma Laksana. Tujuan perkumpulan Bali Darma Laksana adalah memberikan

    bantuan keuangan kepada orang-orang Bali yang sedang belajar di sekolah

    menengah atau sekolah tinggi yang nantinya akan ikut membangun masyarakat Bali.

    Di samping itu perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara dan memajukan

    kebudayaan Bali secara luas. Aktivitas yang dilakukan oleh perkumpulan Bali Darma

    Laksana adalah: membangun semangat kedermawanan di kalangan anggota-

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    27/114

    27

    anggotanya, menggalang persatuan di kalangan anggota dan orang-orang Bali

    lainnya, mengusahakan bahan-bahan bacaan untuk kalangan anggota, dan

    menerbitkan majalah sebagai sarana komunikasi para anggota.

    Pemerintah Belanda melalui raja dan aparat pribumi lainnya (punggawa,

    perbekel, kelian dinas) mulai menata dan membangun sarana dan prasarana di

    Daerah Swapraja Badung dan tetap menggunakan Kota Denpasar sebagai ibukota.

    Sebagai ibukota daerah swapraja Badung Kota Denpasar dihuni oleh berbagai jenis

    suku bangsa yang telah ada sejak jaman kerajaan Badung. Menurut cacatan penulis

    Barat pada akhir abad XIX penduduk Kerajaan Badung berjumlah 71.800 jiwa

    dengan rincian, Suku Bali Hindu: 60.000 jiwa, Bugis dan Arab 6.000 jiwa, Jawa

    5.000 jiwa, dan Cina 600 jiwa (Soenaryo, 1989: 49). Penataan penduduk mulai

    dilakukan pada tahun 1930 melalui sensus penduduk sehingga jumlah penduduk

    Denpasar dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930

    penduduk Kota Denpasar berjumlah 62.329 jiwa teridiri atas orang Eropa 155 jiwa,

    Cina 1.170 orang, orang Timur Asing lainnya berjumlah 250 orang, dan penduduk

    pribumi jumlahnya 60.754 jiwa.

    Memperhatikan perkembangan penduduk yang cukup signifikan sebagai

    akibat dari pertumbuhan Denpasar sebagai kota modern, maka pemerintah kolonial

    mengintensifkan kembali penataan pemukiman yang sesungguhnya sudah

    menempati lokasi tertentu sejak jaman kerajaan. Orang-orang Bugis ditempatkan di

    Pulau Sakenan, Tuban, dan daerah Tanjung, sedangkan orang-orang Sasak, Madura,

    dan Jawa menempati lokasi di Kampung Wanasari (Kampung Jawa) dan Daerah

    Kepaon.(Korn, 1932: 8). Pertumbuhan Kota Denpasar pada masa kolonial sejalan

    dengan perbaikan dan pelebaran jalan-jalan yang mendorong tumbuhnya usaha

    pertokoan. Sepanjang ruas jalan yang pada masa kerajaan menghubungkan PuriDenpasar dengan Puri Pemecutan merupakan perkampungan orang-orang Cina dan

    menjadi basis kegiatan ekonomi karena sepanjang jalan tersebut orang-orang Cina

    mendirikan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat. Jalan yang

    menghubungkan Kampung Cina menuju ke selatan menjadi basis pemukiman orang-

    orang Arab dan Timur Asing lainnya dikenal dengan Kampung Arab.

    Penduduk Kota Denpasar pada masa kolonial teridiri atas berbagai suku

    bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda. Masuknya Misi dan Zending pada

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    28/114

    28

    masa kolonial menambah kompleksitas penduduk Denpasar. Walaupun pada

    awalnya mendapat banyak rintangan melalui proses yang cukup panjang akhirnya

    pada tanggal 11 November 1931 terdapat tujuh orang Bali yang dibaptis dan

    memeluk agama Kristen Protestan. Usaha orang-orang Bali yang telah masuk agama

    Kristen ini cukup giat, terbukti setahun kemudian yakni pada bulan Mei 1932 di

    Denpasar dibaptis 100 orang Bali, dan pada bulan Nopember tahun yang sama

    bertambah lagi 113 orang. Berbeda dengan agama Kristen Protestan yang telah

    dianut oleh orang Bali pada tahun 1931, agama Katolik mulai dianut oleh orang Bali

    pada hari Paskah 1936 setelah dua orang Bali dibaptis oleh Pastur J. Kersten. Setelah

    itu akhirnya agama Katolik berkembang di Denpasar dan sekitarnya bahkan sampai

    kedaerah-daerah lain di Bali (Soenaryo, 1989: 73-74).

    Kehidupan masyarakat Kota Denpasar yang memeluk agama berbeda pada

    masa kolonial tidak menimbulkan konflik antar umat. Hal ini tidak terlepas dari

    adanya toleransi yang tingga dari masyarakat Bali yang beragama Hindu sebagai

    umat yang mempunyai jumlah paling banyak di Kota Denpasar. Toleransi beragama

    sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Bali, terbukti dengan adanya ungkapan

    nyama slam, artinya orang-orang yang beragama Islam dianggap sebagai saudara

    oleh orang Bali yang beragama Hindu.

    Pergantian kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah

    pendudukan Jepang membawa perubahan terhadap masyarakat Bali khususnya

    masyarakat Kota Denpasar. Pada awalnya buat sementara segala undang-undang dan

    peraturan pemerintah Hindia Belanda diakui sah oleh pemerintah Jepang asalkan

    tidak bertentangan dengan keinginan pemerintah Jepang. Dalam perkembangan

    selanjutnya pemerintah Jepang mulai menerapkan peraturan dan disiplin yang ketat

    kepada para pegawai dan masyarakat. Untuk memikat hati rakyat dalam mendukungperang Asia Timur Raya pemerintah Jepang memperkenalkan suatu gerakan yang

    dikenal dengan A-Tiga yang artinya: Dai Nippon pembela Asia, Dai Nippon

    pemimpin Asia, dan Dai Nippon pahlawan Asia. Dengan mengobarkan semangat

    perang suci, perang Asia Timur Raya di kalangan pemuda pemerintah mengganti

    gerakan A-Tiga menjadi Putera artinya Pusat Tenaga Rakyat maksudnya pemerintah

    Jepang memusatkan semua tenaga rakyat untuk membantu perang melawan musuh-

    musuhnya.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    29/114

    29

    Karena masa pemerintahan yang sangat singkat, pemerintah Jepang tidak

    banyak meninggalkan karya-karya arsitektur di Bali khususnya di Kota Denpasar.

    Pemerintah Jepang lebih berorientasi kepada pertahanan dan persiapan perang,

    sehingga pemerintah Jepang lebih banyak membangun dan mengembangkan sarana

    pelabuhan seperti pelabuhan Benoa dan lapangan terbang di Tuban, membangun

    goa-goa pertahanan yang terdapat di daerah Oongan Desa Tonja, Denpasar;

    membangun gudang-gudang amunisi dan logistik. Hal yang tidak kalah pentingnya

    yang ditanamkan oleh pemerintah Jepang adalah masalah kedisiplinan sebagai bekal

    para pemuda untuk berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa

    revolusi fisik di Bali.

    3.2. Menjadi Ibukota Modern Republik.

    Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

    Agustus 1945 merupakan mementum bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan diri

    sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berita proklamasi

    disambut dengan penuh suka cita di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Bali.

    Kedatangan Mr. I Gusti Ketut Pudja di Bali membawa mandat pengangkatannya

    sebagai Gubernur Sunda Kecil yang berkedudukan di Singaraja. Di samping itu Mr.

    Pudja juga membawa mandat untuk Ida Bgus Putra Manuaba, yang juga telah

    diangkat oleh Ir. Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi

    Sunda Kecil (Pendit, 2008: 77). Berita yang dibawa oleh Mr. Pudja disambut oleh

    masyarakat khususnya para pemuda di berbagai kota Bali. Salah satu kota yang juga

    menjadi basis perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Bali adalah Kota

    Denpasar. Kota Denpasar yang telah tumbuh menjadi kota modern sejak pemerintahkolonial menjadikan Kota Denpasar sebagai salah satu pusat pemerintahan di Bali

    Selatan tumbuh menjadi kota perjuangan

    Pada bulan Agustus 1945 di Kota Denpasar lahir sebuah organisasi pemuda

    dengan nama Angkatan Muda Indonesia (AMI) di bawah pimpinan Gusti Ngurah

    Sindhu, yang bertujuan untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik

    Indonesia yang baru diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

    Dalam perkembangan selanjutnya di Denpasar lahir organisasi pemuda yang

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    30/114

    30

    bertujuan untuk menyatukan semua unsur kepemudaan dengan nama Pemuda

    Republik Indonesia (PRI) dengan susunan pengurus sebagai berikut:

    Ketua : Made Widjakusuma

    Wakil Ketua : Tjokorda Agung

    Seksi Keamanan : Ida Bagus Tantra, Nyoman Mantik

    Urusan Perlengkapan : Made Sugita, Gede Windia

    Seksi Penerangan : Ida Bagus Sadnya, Suwetja.

    Kelahiran PRI di Denpasar menunjukkan bahwa sikap pemuda dan

    masyarakat Kota Denpasar secara tegas mendukung Proklamasi Kemerdekaan

    Indonesia. Kehadiran organisasi Pemuda Republik Indonesia mempunyai pengaruh

    yang cukup besar di kalangan pemuda pelajar dan masyarakat, bahkan PRI terbentuk

    sampai ke desa-desa di sekitar Denpasar. Demikian juga para pelajar yang tergabung

    dalam Ikatan Siswa Sekolah Menengah di Kota Denpasar turut serta melancarkan

    rencana yang digariskan oleh pimpinan PRI Denpasar. Para pemuda di Denpasar ikut

    menjaga keamanan di wilayahnya masing-masing, ada juga yang berbuat iseng untuk

    mengekspresikan pikiran dan pandangannya dengan melakukan aksi corat-coret,

    menulis di tembok-tembok yang berbunyi: Indonesia Sudah Merdeka, Merdeka Atau

    Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Go Home Straers, The War Is Over.

    Ungkapan tersebut ditujukan kepada pemerintah pendudukan Jepang agar segera

    meninggalkan Indonesia.

    Untuk menjaga kemanan di Bali maka pada tanggal 31 Agustus 1945 lahirlah

    Badan Kemanan Rakyat (BKR) di Kota Singaraja di bawah pimpinan I Made Putu,

    mantanDaidanco dariDaedanNegara, Jembrana. Di Denpasar kegiatan BKR ada di

    bawah kendali Nyoman Pegeg. Pada 1 Nopember 1945 BKR berubah menjadi

    Tentara Keamanan Rakyat di bawah pimpinan Gusti Ngurah Rai. Lahirnya TKRmenjadikan suasana politik tambah hangat karena terjadi gesekan antara para

    pemuda pejuang dengan tentara Jepang yang sering melakukan provokasi. Dalam

    rangka mematangkan perjuangan maka diadakan pertemuan antara TKR, PRI di

    Denpasar untuk melucuti senjata tentara Jepang. Rupanya apa yang direncana oleh

    pihak pejuang sebelumnya telah tercium oleh tentara Jepang sehingga penyerbuan

    yang dilakukan terhadap tangsi Jepang mengalami kegagalan.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    31/114

    31

    Kegagalan ini mengakibatkan pimpinan TKR dan organisasi pemuda yang

    berjuang di Kota Denpasar memutuskan untuk mundur sampai di Puri Kesiman yang

    letaknya di bagian timur Kota Denpasar. Dalam keadaan terdesak di Puri Kesiman

    karena telah dikepung oleh tentara Jepang para pimpinan pemuda pejuang berusaha

    mengatur siasat agar dapat keluar dari kepungan tentara Jepang yang memiliki

    persenjataan jauh lebih lengkap. Dengan keyakinan yang tinggi dan bersumpah untuk

    terus melanjutkan perjuangan para pemuda pejuang yang terkepung di Puri Kesiman

    satu persatu meloloskan diri melalui rumah-rumah penduduk keluar ke arah utara dan

    melanjutkan perjalanan menuju Desa Carangsari tempat kelahiran Gusti Ngurah Rai.

    Gerakan ini merupakan strategi baru untuk menghindari pertempuran dengan tentara

    Jepang, dan selanjutnya mereka menyebar ke desa-desa dan memberi penerangan

    kepada masyarakat dan menyusun kekuatan massa.

    Selama periode revolusi Denpasar menjadi tempat markas pasukan Sekutu

    (Inggris) dan tentara NICA untuk mengamankan Pulau Bali. Oleh karena itu

    Denpasar menjadi wilayah perebutan pengaruh antara pemerintah kolonial dengan

    pemuda pejuang. Salah satu contoh upaya para pemuda pejuang untuk menunjukkan

    pengaruhnya adalah dengan mengadakan serangan dadakan yang dikenal dengan

    Serangan Umum Kota Denpasar pada bulan April 1946. Walaupun belum mencapai

    hasil yang maksimal, serangan tersebut sebagai upaya dari kalangan pemuda untuk

    menunjukkan eksistensinya kepada pemerintah asing yang tetap mengangkangi

    wilayah Indonesia yang telah diprokamirkan. Setelah peristiwa perang habis-habisan

    di Desa Marga yang dikenal dengan Puputan Margarana pada tanggal 20 Nopember

    1946, para pemuda pejuang tetap melanjutkan perjuangan dan menggunakan Kota

    Denpasar sebagai Markas Kota Pusat dalam upaya untuk terus menumbuhkan

    semangat mempertahankan kemerdekaan.Kebijakan pemerintah kolonial Belanda sesudah Perang Dunia II terhadap

    kerajaan-kerajaan di Bali ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih

    demokratis, kerjasama yang lebih besar berdasarkan prinsip federal, maka

    pemerintah dalam mempertahankan pengaruhnya mempelopori pembentukan suatu

    negara federal. Salah satu negara bagian pertama yang dibentuk adalah Negara

    Indonesia timur (NIT) melalui suatu konferensi bertempat di Bali Hotel Denpasar

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    32/114

    32

    dikenal dengan nama Konferensi Denpasar, berlangsung pada tanggal 7-24

    Desember 1946.

    Pemerintahan di Bali menjadi bagian administrasi pemerintahan NIT yang

    berlangsung selama tiga tahun, dari Desember 1946 samapi bulan Juni 1950. Daerah

    Bali merupakan federasi atau gabungan dari delapan kerajaan yaitu: Badung,

    Tabanan, Bangli, Buleleng, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Karangasem. Gabungan

    delapan kerajaan dibentuk berdasarkan Staatblad van Nederland Indiepada tanggal 4

    Pebroari 1946, diperbaharui setahun kemudia yakni pada tanggal 15 Agustus 1947.

    Susunan pemerintahan yang dibentuk memakai prinsip Bali yaitu sistem

    pemerintahan yang terdiri atas Dewan Raja-Raja dan sebuah Paruman Agung,

    semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Raja-Raja terdiri atas delapan anggota

    yakni raja-raja yang sedang memerintah, salah seorang dari raja-raja tersebut menjadi

    Ketua Dewan Raja-Raja. Paruman Agung terdiri atas 40 orang anggota, 34

    anggotanya dipilih dari kerajaan-kerajaan dan enam anggota diangkat oleh Dewan

    Raja-Raja. Kekuasaan membuat peraturan daerah dan menetapkan anggaran

    keuangan dilakukan oleh kedua badan tersebut.

    Golongan elite tradisional yang berkuasa (raja-raja) pada waktu itu sangat

    mendukung kebijakan pemerintahan NIT karena ingin tetap mempertahankan

    kekuasaan tradisionalnya di Bali dan menyesuaikan dengan ide-ide demokrasi yang

    dibawa oleh birokrat Belanda. Mereka ingin mempertahankan nilai-nilai sosial

    tradisional beserta lambang-lambang tradisi dan disesuaikan dengan ide-ide

    pembaharuan pada waktu itu.

    Setelah berakhirnya Puputan Margarana dan sejak berdirinya kembali

    pemerintahan kerajaan, tampak adanya dua kekuatan dalam masyarakat Bali yakni,

    golongan republikein adalah kelompak masyarakat yang tetap teguh membela danmendukung Negara Kesatuan Republik Indonesai; dan golongan federalis adalah

    kelompok masyarakat yang mendukung Negara Indonesia Serikat. Raja Badung

    Cokorda Alit Ngurah adalah raja yang menyatakan kesetiaannya kepada Negara

    Kesatuan Republik Indonesia dan menggunakan purinya sebagai tempat pertemuan

    para pejuang di Kota Denpasar. Perbedaan Kepentingan kedua golongan ini

    menumbuhkan benih-benih perpecahan yang cukup lama antara periode tahun 1946

    sampai tahun 1951.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    33/114

    33

    Menghadapi situasi politik yang terus bergolak terjadi kesepakatan antara

    golongan republikein yang berjuang di kota Denpasar dengan pemuda pejuang yang

    sedang bergrilya di gunung dan hutan untuk melahirkan partai politik. Pendirian

    partai politik bertujuan agar dapat berjuang mempertahankan kemerdekaan secara

    legal di kota, sedangkan para pemuda pejuang terus bertempur di hutan dan gunung

    melawan tentara NICA. Usaha yang tak kenal lelah dari golongan republikein

    akhirnya di Kota Denpasar pada tanggal 8 Desember 1946 melahirkan partai politik

    yang diberi nama Partai Rakyat Indonesia (PARRINDO) yang bertujuan

    memperjuangkan Indonesia meredeka dan menghap[uskan penjajahan atas bumi

    Indonesia (Pendit, 2008: 272). Partai yang baru berdiri diketuai oleh Gusti putu

    Merta dan wakil ketuanya adalah Dr. Suwarno.

    Berdirinya Partai Rakyat Indonesia mendapat simpati yang luas dari golongan

    republikein di wilayah Badung, Tabanan, Buleleng, dan Bangli karena partai ini

    mendapat dukungan dari Markas Besdar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia

    (MBU DPRI). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

    pendidikan dalam mencapai tujuan, maka Parindo membentuk badan yang diberi

    nama Majelis Pendidikan Rakyat (MPR) pada tanggal 8 Desember 1946. Majelis

    Pendidikan Rayat mendirikan lembaga pendidikan yaitu Sekolah Lanjut Umum di

    bawah pimpinan Gusti Made Tamba. Di samping itu Majelis Pendidikan Rakyat juga

    melakukan usaha berupa kursus-kursus Pemberantasan Buta Huruf. Keberhasilan

    Parindo bekerjasama dengan pemuda pejuang yang bergrilya di desa-desa merebut

    simpati masyarakat menimbulkan rasa antipati dikalangan penguasa Belanda.

    Berdasatkan surat keputusan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook, maka

    dilakukan penangkapan terhadap para pemimpin Parindo dengan tuduhan bekerja

    sama dengan kaum ekstrimis dan pembrontak. Berdasarkan tuduhan tersebutakhirnya para pemimpin Parindo dijebloskan ke dalam penjara dan Partai Rakyat

    Indonesia dinyatakan sebagai partai terlarang pada tanggal 4 Juni 1947.

    Dibubarkannya Parindo tidak menyurutkan usaha para pejuang untuk

    membangun kesadaran masyarakat terutama melalui pendidikan. Melalui lembaga

    pendidikan yang bernama Sekolah Lanjut Umum, I Gusti Putu Tamba dan kawan-

    kawan terus menggalang kekuatan kebangsaan di kalangan masyarakat. Intimidasi

    terhadap lembaga pendidikan kebangsaan terus dilakukan oleh pemerintah kolonial

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    34/114

    34

    Belanda melalui topeng Negara Indonesia Timur. Terbakarnya gubuk darurat SLU

    yang dibangun di Kaliungu Kelod dan penangkapan terhadap I Gusti Putu Tamba

    merupakan tindakan sewenang-wenang, walaupun dengan alasan demi keamanan

    dan ketertiban umum. Selanjutnya pemerintah NIT membubarkan Majelis

    Pendidikan Rakyat dengan alasan majelis telah melakukan tindakan subversif,

    melakukan usaha-usaha yang bertentangan dengan ketertiban umum,

    menyembunyikan orang-orang revolusioner yang ingin menumbangkan NIT dan

    menegakkan Republik Indonesoia di Bali.

    Setelah keluar dari tahanan I Gusti Putu Tamba dan kawan-kawannya

    bertekad untuk tetap meneruskan perguruan kebangsaan dengan segala macam

    tantangan yang dihadapi. Dalam perkembangan selanjutnya terus diadakan

    penyegaran kepengurusan dan pada tanggal 12 Pebruari 1949 perguruan kebangsaan

    ini dipimpin oleh Ida Bagus Putra Manuaba. Sejak itu SLU mulai mebuka cabang-

    cabangnya di beberapa tempat seperti di Karangasem, Tabanan, dan Negara. Pada

    tahun 1949 juga dilaksanakan kongres pendidikan bertempat di Taensiat Denpasar.

    Dalam kongres tersebut berhasil menghasilkan keputusan yang berubah nama

    Majelis Pendidikan Rakyat menjadi Perguruan Rakyat Saraswati.

    Dalam usaha memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan

    yang lebih tinggi, maka pada tahun 1952 didirikan Sekolah Lanjut Umum bagian

    Atas (SLUA) yang dibagi menjadi dua bagian yakni bagian A dan B. Tahun 1953

    didirikan Taman Guru Atas (TGA) yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga-

    tenaga pendidik yang pada saat itu sangat kurang. Pada tahun 1952 dibangun gedung

    yang lebih represntatif di wilayah Kreneng (Jalan Kamboja sekarang).

    3.3. Menjadi Ibukota Pusat Pemerintahan Dati II (Kabupaten) dan Dati I

    (Provinsi)

    Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang terus

    berkembang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka

    pemerintah membuat berbagai produk perundang-undangan. Pada tahun 1957

    dikelurkan Undang-Undang Nomor I Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok

    Pemerintahan Daerah, yang memuat ketentuan bahwa pemerintah daerah terdiri atas

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    35/114

    35

    Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah

    (DPRD). Implementasi dari UU No. I Tahun 1957 ialah dikeluarkannya Undang-

    Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II.

    Sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang tersebut, maka sejak

    bulan Desember 1958 nama daerah bagian/swapraja diganti menjadi Daerah

    Swatantra Tingkat II. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat II terdiri atas DPRD dan

    DPD daerah peralihan yang mengurus otonomi rumah tangga di daerah swatantra

    tingkat II. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh seorang Kepala Dearah Swatantra

    Tingkat II.

    Pada masa kekuasaan Orde Lama ada upaya untuk memperbaharui Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang otonomi daerah. Sebagai kelanjutan dari

    dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Penetapan

    Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 sebagai perubahan mendasar terhadap

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 khususnya mengenai kedudukan kepala

    daerah. Menururt Penpres Nomor 6 Tahun 1959, pemerintah daerah terdiri dari

    Kepala Daerah dan DPRD. DPD dihapuskan dan diganti dengan Badan Pemerintah

    Harian (BPH) yang anggota-anggotanya hanya merupakan pembantu kepala daerah

    dengan tugas sebagai Badan Penasehat Kepala Daerah. Pemerintahan kolegial

    diganti dengan pemerintah tunggal yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

    pusat. Kepala daerah mempunyai dua fungsi yakni sebagai pejabat negara adalah alat

    pemerintah pusat di daerah (bupati) dan sebagai alat pemerintahan daerah (kepala

    daerah).

    Ketentuan-ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 selanjutnya dimuat

    dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

    Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1965, seluruh wilayah Negara Republik Indonesia terbagi

    atas daerah-daerah yang berhak menguasai rumah tangganya sendiri (otonomi darah)

    yang tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu Provinsi/Kotaraya sebagai Daerah Tingkat

    I, Kabupaten/Kota Madya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja

    sebagai Daerah Tingkat III (Wirawan dkk., 2004: 62). Berdasarkan Undang-Undang

    Nomor 18 Tahun 1965yang mulai dilaksanakan di delapan daerah Swatantra tingkat

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    36/114

    36

    II seluruh Bali pada bulan Maret 1968, maka diubahlah sebutan Daerah Swatantra

    Tingkat II menjadi Daerah Tingkat II.

    Pelaksanaaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 pada masa Orde Baru

    belum mampu mengimbangi perkembangan dan tuntutan terhadap pelayanan kepada

    masyarakat yang terus meningkat sebagai dampak dari pembangunan yang

    dilaksanakan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itulah

    diadakan penyempurnaan aturan perundang-undangan dengan mengeluarkan

    undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pokok-

    Pokok Pemerintahan di daerah. Ketentuan yang ada di dalam undang-undang

    tersebut lebih memperkokoh unsur dekonsentrasi di daerah-daerah demi pengamanan

    keutuhan dan kesatuan Negara republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5

    Tahun 1974 disebutkan, bahwa pemerintah daerah terdiri atas Kepala Daerah dan

    DPRD. Kepala daerah tidak didampingi lagi oleh BPH sebagai badan penasehat

    dalam bidang eksekutif tetapi oleh Dinas-Dinas Daerah dan Sekretaris Daerah di

    bidang pemerintahan daerah. Sesungguhnya menurut Undang-Undang Nomor 5

    Tahun 1974 diharapkan titik berat otonomi ada di Kabupaten Daerah Tingkat II.

    Meskipun otonomi ditekankan pada daerah tingkat II, Provinsi Daerah Tingkat I

    masih tetap diperlukan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut lintas daerah

    tingkat II.

    Sesuai dengan perkembangan pemerintahan yang teah diatur dalam undang-

    undang, proses pemekaran daerah telah terjadi di Nusa Tenggara sebagai salah satu

    provinsi di wilayah Neraga Republik Indonesia. Pada tahun 1958 Provinsi Nusa

    Tenggara yang pada saat itu ibukotanya Singaraja dimekarkan menjadi tiga provinsi

    yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang masing-

    masing berkedudukan di Singaraja, Mataram,dan Kupang. Untuk mengimbangiperkembangan yang terjadi di Bali maka DPRD Tingkat I Bali mengajukan resolusi

    kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk memindahkan kedudukan

    ibukota Provinsi Bali. Atas dasar resolusi tersebut maka Menteri dalam Negeri dan

    Otonomi Daerah memutuskan untuk memindahkan kedudukan ibukota Provinsi Bali

    dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar sejak tanggal 23 Juni 1960 (Keddy Setiada,

    2009: 68). Sejak itulah Kota Denpasar menjadi nama ibukota Pemerintah Daerah

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    37/114

    37

    Tingkat I Bali dan ibukota Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Badung.

    (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 122, Tahun 1958).

    Pemindahan ibukota provinsi dari dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar

    memberi dampak positif bagi perkembangan Kota Denpasar. Kota Denpasar mulai

    ditata dan dibangun sarana dan prasarana baru untuk menunjang aktivitas

    pemerintahan. Pada mulanya pusat ibukota provinsi dipenuhi bangunan-bangunan

    hasil karya para teknokrat alumni Sekolah Teknik Menengah (STM). Langgam

    arsitektur dari karya mereka secara umum masih mencerminkan arsitektur kolonial.

    Dalam perkembangan selanjutnya peran mereka diambil alih oleh para insinyur dan

    arsitek yang telah menyelesaikan pendidikan di berbagai universitas di luar Bali.

    Perkembangan kota Denpasar memunculkan kelompok baru yang disebut

    golongan intelektual. Kesadaran yang semakin tinggi dari para intelektual di Bali

    betapa pentingnya peranan sastra klasik sebagai sumber untuk mempelajari budaya

    Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu memerlukan lembaga yang khusus sebagai

    tempat untuk mendalami hal tersebut. Dibukanya kesempatan oleh pemerintah untuk

    mendirikan lembaga pendidikan tinggi merupakan momentum untuk mendirikan

    Fakultas Sastra di Bali. Sebagai persiapan awal maka dibentuklah suatu yayasan

    yang diberi nama Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara diketuai oleh Letkol

    Minggoe, Komandan Resimen Infanteri 26/VII Wirabuwana/kem N.T Raksabuwana.

    Yayasan ini bertugas untuk mencari syarat-syarat untuk mendirikan sebuah fakultas

    dan menghubungi orang-orang yang memiliki kopetensi di bidang sastra seperti R.

    Goris, Ida Bagus Mantra, I Gusti Ketut Ranuh dan lain-lain. Hasil kerja keras yang

    dilakukan oleh Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara akhirnya berhasil

    membentuk suatu Panitia Persiapan Perguruan Tinggi Nusa Tenggara yang

    menetapkan pendirian Fakultas Sastra di Bali dan diresmikan oleh Presiden Soekarnopada tanggal 29 September 1958. Sesuai dengan isi pidato R. Ng. Poerbatjaraka

    pembukaan Fakultas Sastra dianggap sebagai kunci wasiat untuk membuka

    perbendaharaan sastra dan budaya lama secara ilmiah. Sedangkan Presiden Soekarno

    dalam pidato peresmian Fakultas Sastra mengharapkan agar Fakultas Sastra yang

    berdiri di Kota Denpasar dapat menjadi pewahyu (penerang dan penyuluh) bagi

    kehidupan masyarakat dan menanamkan rasa cinta tanah air demi kemajuan bangsa

    dan negara di masa yang akan datang.

  • 7/24/2019 Sejarah Dps

    38/114

    38

    Masyarakat Bali sangat mendambakan adanya sebuah perguruan tinggi di

    Bali telah mendorong pemerintah dan pejabat pemerintah daerah, tokoh-tokoh

    masyarakat dan tokoh-tokoh pendidikan untuk mengadakan pertemuan membahas

    langkah-langkah yang perlu diambil dalam p