tathwirul afkar edisi april 2014

21
Tathwirul Afkar 1 1 Tathwirul Afkar

Upload: azim-aufaq

Post on 04-Apr-2016

227 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama. Tapi lebih dari itu, adalah sumber kekuatan ketahanan nasional dan juga sedikit gambaran tentang rakyat Indonesia yang sejatinya cinta tanah air dan NKRI. maka di sini kita akan melihat mereka sang pahlawan pesantren yang berjuang di zamannya.

TRANSCRIPT

Page 1: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 1

1 Tathwirul Afkar

Page 2: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 2

Susunan Redaksi

Tathwirul Afkar Pelindung

Rais Syuriah PCINU Sudan

Ketua Tanfidziah PCINU Sudan

Penanggung Jawab

LTNNU Sudan

Pimpinan Redaksi Ahmad Lukman Fahmi

Sekretaris

Rois Ibnu Sina

Redaktur

Kiki Ahmad Syakirin

Azim Aufaq

Istikhori,

Muhammad Khoironi Hidayat

Mimi Muthi’atillah

Awaliya Safitri

Ummi Habibah

Editor Muhammad Tajul Mafachir

Sidik Ismanto

Layout

Abdul Aziz

Ishom Syahin

Distributor/Advertising Muhammad Farisul Arsyad

Daftar Isi ............................ 02 Salam Redaksi .................. 03 Laporan Utama S a n g P a h l a w a n Pesantren........................ 04 Opini M e n y e g a r k a n k e m b a l i stigma…….. ………………...09 Artikel Filosofi Sholat Dalam Berorganisasi …………... 12 Catatan Kaki literasi ..................... ............. 15 Essay Mendirikan LESBUMI PCINU Sudan………………….. ……. … 18 Kitab Kuning ………….…….. 23 Catatan Pimred

Refleksi Pesantren…….…… 25 Review S h o l a w a t U h u d i y a …………………… ………………… 29 Oase Cerpen: DOAKAN.!! ……..…... 32 Profil sahabat …………………. 36 Galeri…………………. ……………38 Sajak …..…………...…..………….. 39

41 Tathwirul Afkar

SEGENAP JAJARAN REDAKSI

TAHWIRUL AFKAR

MENGUCAPKANMENGUCAPKANMENGUCAPKANMENGUCAPKAN

SELAMAT DAN SUKSES

KONFERENSI CABANG

PENGURUS CABANG ISTIMEWA

NAHDLOTUL ULAMA’

KHARTOUM SUDAN

KE-13

Page 3: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 40

Emansipasi wanita Cowok : Gw sebel deh!! Cewek gw, si A suka make baju seksi ama hotpants kmana mana! Mana jutek lg orangnya!! Cewek : kalo gitu kenapa ga milih si B aja buat jadi cewe lo? Dia kan alim, baik, trus bajunya sopan.. Cowok : nganu.. Lebih seksi si A sih.. Hehe.. Cewek : *jedokin kepala ke kompor* Cewek : *nonton sinetron* jangan, kartika! Jangan diminum racunnya! Cowok : ya elah... Ngapain sih teriak2 ke TV.. Emg orangnya di TV bisa denger kamu apa? Dasar wanita.. 5 MENIT KEMUDIAN Cowok : *nonton bola* Woy!! Gol-in!! Ayo cepetan!! Woyy, wasit!! Offside tuh!! Gol-in buruan!!! Cewek : *guling guling* Cowok : haaahh.. Dasar semua wanita itu susah ngertiinnya.. Cewek : dan semua cowok tuh bajingan.. Cowok : Jangan generalisir dong!! Kan gak semua cowok kaya gitu.. Cewek : *kejangkejang* Cowok : heran deh.. Semua cewe matre banget.. Sementara gw org nya pas2an.. Ada gak ya cewe baik yg mau nerima gw apa adanya tanpa ngeliat harta.. Cewek : kalo gak salah si C pernah bilang dia naksir kamu deh.. Cowok : yahh, gw gamau ama si C.. Gw maunya yg cantik, trus yg kulitnya putih, trus yg seksi, trus yg..blablabla Cewek : *minum baygon* Cowok : aku sebel ama kamu! Apa2 telpon aku, apa2 telpon aku.. Aku kan sibuk banyak urusan! Cewek : ohh iya deh, maaf SEMINGGU KEMUDIAN...... Cowok : kamu kok ga nelpon2 aku? Pasti ada cowok lain deh nih.. Cewek : *lambai2 ke kamera udh ga kuat* Cowok : kamu jangan minta duit terus dong ke aku! Matre banget sih jadi cewe! Cewek : oh yaudah deh.. Aku kerja aja buat cari duit sendiri.. Cowok : kamu jangan kerja dong!! Km harus dirumah! Itu namanya menyalahi kodrat sbg wanita! Cewek : *terjun bebas dr patung pancoran* Cowok : cewek tuh aneh ya.. Dia suka nge friendzone cowo baik2 trus milih cowo brengsek.. Eh, ending2 nya ngeluh semua cowok sama saja.! Cewek : lah, bukannya cowo2 juga gitu yak? Nge friendzone cewe baik2 trus milih cewe2 brengsek yg cantik2 n seksi2 trus ngeluh karena cewenya gitu? Cowok : yah namanya udh cinta.. Cewek : *nyelem lumpur lapindo*

3 Tathwirul Afkar

SSSS egala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, sholawat dan

salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada -Asyraful An-

biya’ wal Mursalin, keluarganya dan sahabatnya hingga hari

akhir. Amin.

Salam hangat kami haturkan. Setelah beberapa bulan tidak

memunculkan diri karna ada banyak yang mungkin lebih harus dimun-

culkan. Maka sekarang TAF memunculkan diri dengan beberapa muncu-

lan baru. Yang mungkin akan muncul dipikiran pembaca tentang apa

yang dimunculkan ? He..he..

Nah pada kesempatan terbit kali ini, TAF sedikit blak-blak-an ten-

tang Pahlawan Pesantren. Apasih pahlawan pesantren itu ?. Di sini

akan ada dua gambaran tentang hal tersebut. Gambaran yang dihasilkan

dari teropong masa lalu, dan gambar hasil jepret-an kamera masi kini.

Yang keduanya akan kalian dapatkan jika benar-benar terjun bebas

dalam membaca edisi kali ini.

Kenapa kok Pahlawan Pesantren ?. Jawabannya adalah karna

kami ingin membuka kembali cakrawala mengenai jejak sejarah yang

memang tidak bisa dipisahkan dengan peran penting pesantren. Teru-

tama dalam kawasan Jawa.

Lah terus apasih pahlawan pesantren itu ?. Nah.. Kalau pertan-

yaan ini yang muncul dibenak para pembaca. Maka jawabannya adalah

selamat membaca TAF edisi April 2014 ini. :)

Selanjutnya. Kami berharap kepada para pembaca untuk bisa ber-

partisipasi dalam kelangsungan Tathwirul Afkar. Tidak hanya pembaca

setia tapi juga kontribusi kalian semua yang kami harapkan. Sekian dan

terima kasih. Selamat Membaca !. :)

Kritik dan Saran :

Alamat Redaksi : Arkawit Blok 45 No. 506 Khartoum Sudan

Email : [email protected]

Facebook : LTN NU Sudan / Twitter : @PCINUSudan

Telepon : +249967126691

Website: www.nusudan.org

Page 4: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 4

Konstruksi Pahlawan Pesantren

D alam banyak hal, baik

tentang pengetahuan,

wacana, informasi ataupun segala

sesuatu yang bisa menambah skala

memory yang ada di otak. Kita harus

terlebih dahulu tahu dengan betul apa

yang ada dalam hal tersebut. Seperti

halnya kita sekarang yang akan

sedikit mengkaji tentang pahlawan

pesantren. Maka yang harus dilaku-

kan pertama adalah mengetahui kon-

struksi susunan frasa pahlawan

pesantren dan tahu akan maksud dari

kelompok kata tersebut.

Pada dasarnya kata pahlawan masih

dalam makna relativisasi yang bisa

direka atau dinalar oleh akal manusia.

Yang secara general, orang bisa dika-

takan sebagai pahlawan adalah mereka

yang berjasa, baik secara personalia

atau instansi. Ada juga yang mengarti-

kan bahwa pahlawan adalah orang

kuat, sakti mandraguna yang membela

kebenaran. Atau tidak sakti tapi benar,

entah kebenaran bagi orang benar atau

kebenaran bagi orang tidak benar.

Seperti KPK yang selalu menangkap

koruptor atau malah oknum DPR

yang membantu berlangsungnya

kegiatan korup suatu instansi. Maka

KPK pahlawan bagi masyarakat, se-

dang oknum DPR adalah pahlawan

bagi instansi tersebut.

Tetapi kalau kita mau berbicara

secara formal dan sesuai dengan situs

resmi kementrian sosial RI, maka kata

pahlawan adalah sebuah gelar yang

diberikan oleh president untuk mereka

yang gugur atau meningal dengan

kontribusi jasa perjuangan,

39 Tathwirul Afkar

PEMUDA KELAKPEMUDA KELAKPEMUDA KELAKPEMUDA KELAK By Maulidi Asyrof

kelak, dunia tak lagi berbicara

tertelan pundi-pundi yang bergelimpangan

hoi... apakah pemuda-pemuda kelak hanya

jadi data tak lagi jadi sesuatu yang nyata

katakanlah kau masih ada berkelas tinggi

budi baiknya bukan hanya jadi buah busuk saja

hoi.... mengertilah tentang air mata tua itu

air mata yang menetes air mata berkeluh-keluh juga peluh

terinjak kebaikan yang sudah pasti semu andai kau bisa berfikir

hoi.... seruanku tak terencana dengan pasti namun

maukah kau mengerti ini setiap aku bergerak inci demi inci

bisakah tak kau bilang terlalu dini prematur

katamu nanti tapi kapan lagi.

Page 5: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 38

Penampilan grub hadrah Jamiyah Syifaul

Qulub di salah satu station televisi regional

yaitu nile azroq TV. Dan juga sering jamiyah ini

mendapatkan kehormatan untuk tampil di

acara tahunan mahrojan al madh syaikh abu ar

Ra’I, pembesar thoriqoh Samaniyah.

Audiensi PCINU Sudan kepada Duta Besar baru untuk Sudan dan

Eritrea, bapak Burhanuddin Badruzzaman. Di wisma KBRI pada

tanggal 22 Maret 2014. Beliau sangat memberi apresiasi kepada PCI

tentang perannya yang sangat membantu KBRI dalam membangun

hubungan diplomasi antara Indonesia dan Sudan.

Malam literasi yang digalakkan

oleh Lajnah Ta’lif wa Nasyr dalam

membedah majalah TAF begitu

ramai oleh warga NU baik yang

muda ataupun tua. Semua saling

lempar pendapat tentang TAF edisi

pertama tahun masa khidmah 2013

-2014.

5 Tathwirul Afkar

pengabdian, dan karya yang luar biasa

kepada bangsa dan Negara.

Sekarang kita akan menelaah

tentang pesantren. Kata ini sangat

masyhur dikalangan kelompok

bersarung, atau mereka yang dikenal

sebagai kelompok yang mendalami

ilmu pengetahuan tentang agama

Islam. Tempat menimba ilmu agama

dengan sebuah system sangat klasik –

meski sekarang terdapat yang

mengaku modern- yang banyak

ditemukan di bumi pertiwi kita.

Sebuah instansi yang diatur oleh

satu central figure sebagai panutan

dalam hal apapun. Yang senantiasa

akan dilakukan apa yang diperintah

dan selalu siap untuk dihukum ketika

tidak bisa atau melangar aturannya.

Figure sebagai pembimbing dikala

pemikiran masih dini, dan kebanggan

ketika besar. Yang sosok tersebut

dalam bahasa jawa biasa disebut

dengan Kyai.

Maka secara kasat mata, kita bisa

mengambil garis besar bahwa

pahlawan pesantren adalah mereka –

kelompok bersarung- yang mem-

punyai peran besar terhadap revolusi

atau kebangkitan bangsa.

Jejak sejarah

Sebuah sejarah bisa dilihat atau

diketahui dengan riwayat cerita yang

dibawakan oleh saksi mata. Atau hasil

karya tulisan pelaku sejarah itu. Meski

semua hal itu kadang tidak

bisa dipertanggungjawabkan akan

kebenaran cerita atau karya itu sendiri.

Tetapi setidaknya kita bisa sekilas meli-

hat dunia yang telah lama berlalu.

Maka ketika kita melihat sejarah ke-

merdekaan Negara Kesatuan Republic

Indonesia, pasti akan muncul diingatan

kita tentang para jendral atau tentara

yang berjuang mati-matian untuk ter-

wujudnya sebuah kemerdekaan yang

nyata. Ada juga literature yang

menyebutkan tentang adanya peran

para pemuda yang sampai tega mencu-

lik calon orang nomer satu pada zaman

pra revolusi. Yang semua pemuda itu

menginginkan kesegeraan atas

proklamasi bangsa Indonesia.

Dan setelah sejarah yang terjadi di

bumi Batavia itu, selang beberapa bulan

meletuslah peperangan yang terjadi di

kawasan Indonesia timur. Yang ditulis

dalam buku Pertempuran Surabaya ter-

bitan balai pustaka dari Pusat Sejarah

dan Tradisi ABRI. Disebutkan bahwa

Figure sebagai

pembimbing dikala

pemikiran masih dini,

panutan dan

kebanggaan ketika

besar

Page 6: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 6

tepat pada tanggal 27 Oktober 1945,

bermula dari keributan yang ditim-

bulkan oleh tindakan Kolonel Pugh

dengan memberikan perintah kepada

anak buahnya untuk menyita semua

kendaraan yang lewat.

Dari sinilah timbul amarah rakyat,

kemudian didukung oleh Badan

Perjuangan, BKR dan Polisi yang

semuanya menganggap bahwa

perbuatan colonel Inggris tersebut

sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Sehingga pada tanggal yang sama

dengan waktu yang menunjukkan

pukul 14.00 terjadi

kontak senjata

pertama di daerah

Darmo. Setelah

kontak senjata

pertama terjadi,

kemudian men-

jalar ke pelbagai

daerah. Banyak

dari truk Inggris yang melakukan

distribusi bahan makanan dicegat

oleh rakyat. Pertempuran juga terjadi

di daerah Keputran, karna tentara

Inggris mencoba membebaskan

tawanan Belanda.

Sejak turunnya tentara Inggris

dengan propaganda-propaganda

mereka, hingga terjadinya

pertempuran yang memakan banyak

korban inilah, peran para pahlawan

pesantren sangat diperhitungkan. Meski

sangat jarang buku ataupun cerita se-

jarah yang menyebutkan tentang

peran mereka.

Pahlawan Pesantren

Dari beberapa cuplikan sejarah diatas

kita akan langsung beralih kembali

kepada pahlawan pesantren. Pada

intinya pahlawan pesantren adalah

mereka kelompok bersarung yang

berdiri di garda depan bersama para

pejuang demi untuk mewujudkan ku-

kuhnya kemerdekaan yang telah diprok-

lamasikan. Dengan fatwa yang diberikan

oleh salah seorang

figure central yang

sangat disegani

dan dihormati,

mereka bak singa

lapar yang siap

memangsa kerbau

di depannya.

Sosok central

figure di atas adalah KH. Hasyim Asy’ari.

Kyai asal Jombang Jawa Timur yang

lahir pada tanggal lahir 10 April 1875

(24 Dzulqaidah 1287H). Kyai yang-

menurut salah satu media berita online-

disowani oleh utusan dari president

Soekarno tentang bagaimana hukum

mempertahankan kemerdekaan pada

waktu itu. Maka setelah beliau menge-

luarkan resolusi jihad kepada seluruh

rakyat Indonesia, maka bung tomo seba-

37 Tathwirul Afkar

yang lainnya. Meski tidak ada bangunan yang besar, terkadang santi juga ditempat-

kan di kediaman Kyainya. Jadi bukan masalah bangunan.

Kalau memang begitu, menurut anda apakah ada sosok seorang pah-

lawan pesantren itu ?

Ya jelas ada.

Seperti apa orang tersebut ?

Kalau menurut saya, pahlawan pesantren adalah mereka yang benar-benar ber-

bakti kepada pesantren. Membantu dan berkhidmah kepada Kyai. Dan juga mereka

yang memperjuangkan apa yang telah menjadi tuntunan dari sang Kyai. (pahlawan

pesantren jaman sekarang kali yah?!. Red). Hehe...

Kenapa harus seperti itu ?

Yah karna saya teringat dawuh KH. Nasir Abdul Fattah yaitu: “sopo wonge

ngeramut barang keramat (pesantren. red) bakal keramut”. Siapapun yang merawat

sesuatu yang keramat, maka akan terawat hidupnya. Dan orang yang seperti itu

adalah mereka yang benar-benar membantu pesantren tanpa ada rasa pamrih sama

sekali.

Baiklah kang Ji’i.. Ini yang terakhir, yaitu apa saran anda untuk generasi

pesantren sekarang ?

Selalu berusah membentengi aqidah dan bertakwa. Karna kalau semua tindak

laku didasari dengan takwa maka akan berjalan lurus dan lillahi ta’ala.

Dari wawancara di atas kami bisa memberikan sedikit kesimpulan bahwa yang

mampu dikatakan sebagai pahlawan adalah mereka yang berani memberikan kontri-

busi sebanyak-banyaknya tanpa keinginan adanya timbal balik yang akan mereka

dapatkan. Dan pahlawan pesantren di zaman neodarwinisme sekarang ini adalah

mereka yang tekun belajar di pesantren dengan tujuan bisa membentengi faham

aqidah dan mencari ketakwaan kepada Yang Maha Tinggi.//azim

Page 7: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 36

Nama : Muhammad Rojikhi

TTL : Brebes, 27 Februari 1984 Kuliah : Kandidat Magister di Universitas Quran Karim Omdurman

Berbekal kenekatan untuk bisa belajar ke luar negeri, pemuda yang ak-

rab dipanggil dengan Kang Ji’I ini tiba di Sudan pada tanggal 25 Januari 2014.

membawa suasana baru di wisma PCINU Sudan, dengan raut wajahnya yang terli-

hat selalu riang dan bahagia. Selain mempunyai wajah yang riang dia juga adalah

salah satu adik kandung dari senior PCI yang sekarang sudah menjadi wakil rektor

di Univesitas Nahdlotul Ulama Cirebon.

Dan karna sifat dan sikapnya yang sangat mudah bergaul dengan teman

lainnya, menjadikan dia sebagai trending topic figure dalam beberapa bulan ke

depan insya Allah :). Karna momentum inilah kami redaksi TAF segera mendekati

dia untuk ngobrol ringan, memperbincangkan tentang Apa sih Pahlawan

Pesantren itu ?. Langsung saja untuk menyimak wawancara kami.

Kang Ji’i…. Apa sih menurut anda Pahlawan itu ?

Mas… pahlawan itu sangat banyak ragam. Tapi yang pasti, pahlawan adalah

mereka orang-orang yang memberikan banyak kontribusi tanpa memikirkan tim-

bal balik yang akan mereka dapat. Atau yang biasa disebut pamrih itu loh. Dan

perlu samean ketahui, menurut saya pahlawan yang sebenar-benarnya pahlawan

adalah sosok IBU. Karna dialah sosok yang banyak memberikan kontribusi kepada

kita, dan yang pasti memang tidak akan punya rasa pamrih kepada anaknya.

Jadi, kriteria yang bisa dikatakan untuk menjadi seorang pahlawan itu

yang bagaimana ?

Yah itu tadi.. Mereka yang membantu dan memberikan kontribusi kepada

masyarakat umum tanpa memikirkan timbal baliknya. Bukan mereka yang malah

menjeluntrungkan kita.

Nah. Sekarang tentang Pesantren. Apa persepsi kang Ji’I tentang

pesantren ?

Pesantren adalah kumpulan yang terdiri dari Kyai yang berperan sebagai

pendidik baik jasmani dan rohani, dan santri yang berperan sebagai peserta didik,

yang senantiasa nurut kepada Kyai.

Tapi sekarang itu ada banyak macam pesantren. Hanya tinggal mendiri-

kan sebuah bangunan yang mungkin bisa dibilang sebagai pondok, itu sudah bisa

dikatakan sebagai pesantren. Tapi yang seperti ini menurut saya salah. Karna ba-

gaimana pun pesantren adalah kumpulan dari dua aspek yang sulit dipisahkan.

Yaitu Kyai dan santri. Meski banyak bangunan baik dan megah yang hanya men-

datangkan tenaga pengajar untuk mendidik santri yang tinggal disitu, tanpa

adanya sosok Kyai, itu sangat tidak bagus.

Karna lagi-lagi pesantren itu bukan masalah bangunan, melainkan

hubungan antara dua macam orang yang saling mangambil manfaat satu dengan

7 Tathwirul Afkar

gai perwakilan dari para pejuang lang-

sung membacakan pidato yang pada

saat itu mampu membangkit-

kan semangat perjuangan anak bangsa.

Setelah apa yang terjadi pada masa

itu, maka KH. Hasyim Asy’ari

mendapatkan gelar pahlawan kemer-

dekaan nasional yang ditetapkan

pemerintah pada tanggal 17 November

1964. Kemudian hal yang sama juga

dianugerahkan kepada putra beliau

yakni KH. Wahid Hasyim yang benar-

benar mempunyai peran besar pada

zamannya.

Putra Hasyimiyah yang lahir pada

tanggal 1 Juni 1914 ini, banyak

memberikan kontribusi kepada

bangsa. Dari mulai aktif di organisasi

bentukan ayahandanya, sampai

menjadi Menteri Agama pada masa

President Soekarno. Wahid muda, juga

telah aktif dipelbagai organisasi. Pada

usianya yang ke-25, beliau telah

bergabung dengan Majelis Islam A’la

Indonesia (MIAI) yang selanjutnya

diganti dengan MASYUMI ketika Jepang

datang. Dan pada tanggal 19 April 1953

terjadi kecelakaan yang menimpa

beliau hingga mengakibatkan men-

inngal dunia pada usia 38.

Selanjutnya adalah Kyai kelahiran

Tapanuli yang pada tanggal 14 Mei

1962 tertembak disaat pemberontak

mencoba membunuh President ketika

sholat Idul Fitri bersama. Beliau

adalah KH. Zainul Arifin, Ketua Ca-

bang NU Jatinegara pada masa

Belanda, yang kemudian diamanahi

menjadi ketua Majelis Konsul NU Ba-

tavia. Dan ketika Belanda telah men-

gakui kedaulatan Republik Indonesia,

beliau menjabat sebagai Wakil Ketua I

DPR RI. Dan mendapatkan gelar seba-

gai Pahlawan Kemerdekaan Na-

sional pada tanggal 4 Maret 1963.

Demikianlah peran besar yang dila-

kukan oleh kelompok bersarung pada

masa kemerdekaan Negara, yang ma-

sih dalam keadaan ijo royo. Dan

mungkin masih banyak yang belum

dan tidak terekam oleh ahli sejarah

atau manuskrip sejarah bangsa kita.

Yang pada intinya kemerdekaan dan

keutuhan bangsa, tidak lepas dari

andil para Pahlawan Pesantren.//

azim

kemerdekaan dan

keutuhan bangsa,

tidak lepas dari

andil para

Pahlawan

Pesantren

Page 8: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 8

PCINU Sudan Mengucapkan selamat kepada

H. Zulham Qudsi Yang telah menyelesaikan jenjang

Magister dengan predikat CUMLAUDE

Di Universitas Quran Karim

Omdurman

Semoga ilmu yang didapat

bermanfaat untuk bangsa dan negara

35 Tathwirul Afkar

Hasan lek tadi hanya menggeleng, ke-

mudian bapak-bapak lain menyarankan

agar ia lekas pulang saja.

“Sebaiknya nak Hasan segera pu-

lang”, ia jadi bingung, karena tak mem-

peroleh jawaban. Di seratus meter

menuju rumahnya ia semakin melihat

banyak orang berjalan satu arah den-

gannya, semakin kencang ia kayuh se-

pedanya sedangkan keinginan untuk

menagih orang tuanya membelikan

motor tiba-tiba hilang dari kepalanya

terganti dengan rasa cemas dan pena-

saran. Ketika dirinya sampai depan

rumah, ia kaget dihalaman rumahnya

sudah terpasang tenda dan kursi-kursi

plastic putih berjajar rapi. Ia jatuhkan

begitu saja sepeda ontelnya, bukan

karena marah seperti kemarin tapi ia

sangat gugup dengan apa yang se-

benarnya terjadi.

“Maak…pak…ada apa ini,?” Hasan

berteriak sembari berlari ke dalam

rumah, di dalam orang sudah penuh

sesak, ramai membaca Yasin, ia se-

makin panik.

“Nang, ba..pa..kmu, bapakmu”, ucap

mak Yati sesenggukan menahan tangis

yang tak kunjung habis, wanita tua ini

tak mampu meneruskan perkataanya,

tangisnya kembali pecah, beberapa

kerabat perempuan berusaha mene-

nangkannya. mata Hasan menatap na-

nar pada sosok tubuh yang terbaring

kaku di atas dipan kayu persis dihada-

pannya, tidak ada yang menyuruh, tiba-

tiba air mata Hasan mengalir deras

tangisnya pun tak terbendung, ia peluk

tubuh bapaknya yang sudah berbalut

kain kafan putih.

“Pak e…Pak e…”, ia panggil-panggil

ayahnya.

“Ikhlaskan bapakmu nang. Bacakan

bapakmu surat yasin, do’akan beliau”,

ucap mak Yati ketika tangisnya sedikit

reda. kali ini ia benar-benar menurut

apa yang dikatakan emaknya, tanpa

membantah sedikitpun. Selepas magrib

jasad pak Zainal dikuburkan, sepanjang

perjalanan menuju pemakaman umum.

Hasan belum bisa berhenti menangis.

# # #

Hasan merasa Kematian ayahnya

itu disebabkan oleh dirinya, ia tak men-

yangka ayahnya yang berangkat nguli

pagi itu agar bisa dapat uang untuk

dijadikan tambahan uang muka kredit

motor buatnya, namun naas bagi pak

zaenal, bukan uang yang ia dapat me-

lainkan ajal, karena tubuhnya yang ma-

sih lemah, saat memanjat pohon kelapa

ia terpleset dan jatuh dengan posisi

kepala membentur tanah lebih dulu,

meninggal saat perjalanan menuju

puskesmas kecamatan, terlebih yang

membuat ia merasa sangat bersalah

adalah ketika pakde jarwo yang diutus

mak Yati mejemput Hasan ke sekolah

tidak bertemu dengannya, karena ia

sedang bolos menyaksikan balapan liar.

“Mak, Hasan ingin kita sowan ke

kyai Mochtar”, tiba-tiba Hasan men-

gungkapkan keinginanya saat mereka

berdua baru saja selesai membaca wirid

ba’da sholat magrib.

“Ada apa san,?” Tanya emaknya

agak heran dengan permintaan

anaknya.

“Minta nasehat dan petuah mak,”

jelas Hasan singkat sambil memijit pun-

dak mak Yati.

“Hasan merasa banyak salah pada

bapak dan belum sempat minta maaf”.

ia melanjutkan alsannya.

“Mmm…ya sudah, besok kita ke-

sana”, Ujar mak Yati menyanggupi, ia

Kembali ke Hal: 28

Page 9: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 34

tornya.

“Oke, oke, guwe ganti baju dulu ya,”

ucap Hasan meminta waktu temannya

untuk menunggu.

Hasan pergi dengan temannya tanpa

pamit dan uluk salam pada ayahnya, be-

lum sembahyang juga makan, di atas mo-

tor dia dan temannya asik mendedang-

kan lagu dangdut.

###

Pagi hari ketika Hasan bangun, ia tak

mendapati mak Yati di dapur, walaupun

pagi masih buta, namun ada yang aneh,

ceramah agama yang biasa diputar dari

radio milik ayahnya tidak terdengar, ia

mencoba melongok ke kamar ayahnya,

ternyata tidak ada siapa-siapa disana, ia

mulai bertanya-tanya dalam hati kemana

kira-kira ayahnya pergi saat sedang sakit

begitu. Sambil duduk diatas dingklik

dapur, ia termenung, tangannya men-

cokel abu pawon sisa pembakaran kayu

randu tadi malam, kemudian dia teringat

ucapan emaknya minggu lalu yang ingin

sekali mengajak berobat ayahnya ke

puskesmas kecamatan. “ ya..ya..”, gumam-

nya dalam hati. Mungkin emak dan ayah-

nya pergi selepas subuh supaya bisa

menumpang colt pengangkut sayur ke

kecamatan, tapi bukankah emaknya

disewa pak karwi untuk kuli tandur?, ia

semakin bingung. “Ah, gudal”, Hasan ke-

sal tidak kunjung menemukan jawaban

yang pasti, sedangkan ia harus segera

berangkat ke sekolah. ….

Saat jam istirahat sekolah tiba, be-

berapa teman sekelas mengajaknya bolos

untuk menyaksikan balapan motor liar di

jalan aspal baru, 2 kilo meter dari seko-

lahnya, balapan liar sedang menjadi trend

di kalangan anak sekolahan Hasan,

bahkan mereka sering mengadakan kom-

petisi antar sekolah, tentu saja tidak

resmi, kadang mereka juga adu modifi-

kasi motor, pemandangan semacam

itulah yang membuat hasrat Hasan un-

tuk punya motor kian hari kian menjadi

-jadi, membuatnya malu dalam pergau-

lan, ia merasa tidak pede karena belum

punya motor tunggangan sendiri, rasa

gengsi sebagai anak muda tampaknya

membutakan mata Hasan dengan

kondisi ekonomi keluarganya, dan lalai

akan keseriusan belajarnya.

Matahari mulai condong ke barat,

ketika ia mengayuh sepedanya menuju

rumah, para petani dan kuli tandur pun

tampak bersiap untuk pulang, ia mem-

percepat laju sepedanya, bukan karena

takut dimarahi orang tuanya pulang

terlambat, tapi ingin segera menagih

orang tuanya untuk membelikan motor.

Memasuki gerbang desa dua ratus me-

ter dari rumah Hasan, ia melihat ban-

yak orang berbondong-bondong pakai

sarung, baju koko dan kopiah hitam,

berjalan bergerombol dan beriringan

satu arah dengannya. “tumben banyak

sekali orang yang mau jama’ah magrib

sore ini”, gumam Hasan dalam hati Ia

agak sedikit memperlambat laju se-

pedanya, saat berhasil melewati

segerombol bapak-bapak ia mendengar

ada yang memanggil namanya dari arah

belakang.

“Nang, Hasan” panggil salah satu

dari mereka.

Hasan bersiap berhenti dan turun

untuk sekedar bertegur sapa dengan

mereka, namun sebelum benar-benar

kakinya menginjak tanah orang tadi

bilang “Cepet pulang ke rumah nang,

bapakmu”, ucap orang itu agak gugup

dan tampak menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa dengan bapak lek?” balas

Hasan penasaran. Orang yang dipanggil

9 Tathwirul Afkar

DDDD a l a m he g e mo n i

era modern yang

semuanya serba meng-

gunakan teknologi,

dengan semboyan “youth as agents of

change” (pemuda sebagai agen peruba-

han), tapi siapakah pemuda yang pantas

menyandang gelar itu ?.

Selama nafasku berhembus dalam

menjalani kehidupan hari kemarin, dan

dalam itu pula aku memperoleh ilmu

pengetahuan, baik itu dalam ranah

akademisi, aktifis, ataupun para politi-

kus. Sepertinya hanya para mahasiswa

yang paling pantas menyandang gelar

the agent of change. Tapi sepertinya

stigma tersebut juga berpotensi besar

untuk para pemuda yang belajar di lem-

baga non-formal seperti halnya

pesantren, yang mereka semua biasa

dikenal dengan sebutan Santri.

Peran pesantren dan para

santrinya dalam sejarah nasional yang

seharusnya mendapat apresiasi yang

besar, tapi malah mendapat ketidak-

akuan dari pemerintah. Sungguh san-

gat ironis, padahal mereka mempun-

yai andil yang sangat besar dalam

merebut tanah air dari para penjajah.

Dan sekitar tahun 1970-an sampai

1980, pesantren dianggap sebagai

sarang kejumudan, konvertisme yang

menjadi penghalang bagi usaha-usaha

pembangunan Negara. Dan ketika

masuk pada tahun 2011 tepatnya di

kota Sukoharjo Jawa Tengah, ada be-

berapa oknum yang mengatakan

bahwa pesantren adalah sarang

teroris.

Di balik tudingan-tudingan di atas,

pesantren beserta para pemimpinnya

mempunyai andil yang sangat besar

dalam menciptakan kedaulatan dan

Page 10: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 10

mempertahankan kesatuan. Seperti

contoh KH. Hasyim Asy’ari dan KH.

Wahab Hasbullah.

Mereka tidak hanya mahir dalam

hal keagamaan tetapi juga mampu

memobilisasi massa untuk menyerang

tentara asing yang mencoba ingin men-

duduki kembali wilayah Surabaya dan

sekitarnya.

Organisasi-organisasi yang dibuat

oleh para tokoh pesantren tidak kalah

hebat dengan kumpu-

lan yang digagas oleh

kelompok borjuis

yang memang sudah

terlatih dalam hal

keorganisasian.

Dari sanalah, pen-

yegaran kembali paradigma lama den-

gan yang baru adalah suatu keharusan,

dimana bukan hanya mahasiswa saja

yang pantas dan mampu untuk diikut

sertakan dalam dalam proses pemban-

gunan bangsa saat ini. Melainkan santri

yang menempuh pendidikan di lembaga

-lembaga dengan latar belakang cul-

tural juga pantas menyandang gelar

sebagai agents of change.

Pendidikan pesantren di nusantara

ini adalah model pendidikan yang san-

gat tertua dan telah banyak mencetak

orang-orang besar di Negara Indonesia.

Pesantren yang pada masa awal mampu

memberikan kontribusi untuk perjuan-

gan kemerdekaan bangsa Indonesia dan

sebagai basis pertahanan untuk menen-

tang dan ikut mengusir penjajah.

Ala kulli hal, suatu kemajuan yang

bermutu / berkualiatas dalam lapangan

apapun, termasuk pendidikan. Tak akan

bisa dicapai manakala tidak disandar-

kan pada tradisi yang kuat. Sedang pen-

didikan yang sangat melekat dengan

tradisi dalam Negara kita adalah pen-

didikan dalam pesantren.

Pesantren juga banyak

memunculkan banyak

figure dalam kancah

kebangsaan. Ada yang

jadi politisi, sastrawan,

menteri dan bahkan

pada pemilu 1999

bangsa kita dipimpin oleh seorang san-

tri. Yaitu KH. Abdurrahman Wahid.

Pondok pesantren yang menjadi

multicultural etnis dan budaya, karena

di dalamnya dihuni oleh banyak santri

dari berbagai macam karakter yang

berbeda. Dan dengan sistem pondok-

kan yang khas ini, bisa membuat

mereka yang ada di dalamnya mengerti

akan diri sendiri, kemudian yang nanti-

nya akan sangat bisa menghargai orang

lain ketika sudah mengenali diri sendiri.

Tidak hanya sebatas itu, meraka

yang benar-benar mempunyai niatan

yang kuat untuk masuk dalam kelom-

pok santri, haruslah mempunyai mental

Mereka tidak hanya mahir dalam hal keagamaan

tetapi juga mampu memobilisasi massa

33 Tathwirul Afkar

mukan pak Zaenal sedang tertidur sam-

bil mendengarkan Radio.

“Pak,,,bangunn, ini makan

siangmu,” teriak Hasan kencang agar

ayahnya terbangun tanpa ia harus men-

yentuhnya.

“San, san, anakku lanang,” Pak Za-

inal tergagap karena kaget. “Jam berapa

sekarang?” Tanya Ayahnya pada Hasan

yang sibuk mencari gelombang radio

kesukaanya, “Hasan!” panggil bapaknya

pelan. Hasan menoleh tanpa menjawab,

jari telunjuknya ditaruh diatas kedua

bibir tanda menyuruh ayahnya diam.

“ku tak bisa jauh, jauh darimu”, “dan tak

bisa, jauh, jauh darimu” Gelombang

yang ia cari ketemu ternyata sedang

memutar lagu Slank. Grup rock ibu kota

yang ia kenal melalui teman-teman

nongkrongnya.

“Apa?, tadi, pak e ngomong apa,?”

tanya Hasan setelah ia duduk disamping

Ayahnya.

“Jam berapa sekarang le,?” Pak Za-

inal mengulang lagi pertanyaanya.

“Ooh… jam dua”, Jawab Hasan sing-

kat, setelah itu mulutnya kembali sibuk

megikuti lirik lagu.

“Masya Allah, pak e belum sembahy-

ang Dlohor nang,” suara pak Zaenal

terdengar cemas. “Tolong ambilkan

bapak air wudlu dibawah tempat tidur,”

pinta pak Zaenal.

Mak Yati memang rutin men-

yediakan air wudlu dalam botol bekas

air minum dibawah tempat tidur pak

Zainal, dikala suaminya itu sedang sakit.

“Halah pak, nyante aja, kalo keting-

galan Solat Dluhur kan masih ada Sholat

Ashar,” gurau Hasan pada ayahnya .

“San, sembahyang itu rukun islam,

wong islam tidak boleh meningal-

kannya dalam keadaan apapun”, Balas

ayahnya marah mendengar gurauan

Hasan.

”Aah, nyusahin aja sih” gerutu Hasan

sambil mengambil air wudlu dalam botol

untuk ayahnya.

Selesai sholat, sambil menyuapi ba-

paknya Hasan menanyakan kembali per-

mintaan yang tak kunjung dikabulkan

oleh kedua orang tuanya.

“Pak, kapan Hasan di belikan motor

kayak teman-teman,?” kata Hasan me-

nagih ayahnya. “Hasan malu, 2014 kayak

gini sekolah masih pake sepeda ontel,”

dalih Hasan melanjutkan kala ia mulai

menyuapi bapaknya.

Mendengar itu pak zaenal seperti tak

sanggup menelan nasi yang ia kunyah,

naluri kebapakaanya tercabik karena

merasa tak mampu mengabulkan keingi-

nan anaknya itu, ia terdiam dalam, ia

mencoba menghitung apa saja kira-kira

harta benda yang masih bisa dijual, rumah

dan tanahnya tak mungkin dijual sedang-

kan lemari, sepeda dan perabot rumah

tangga lainnya kalupun dijual pasti laku

tak seberapa. Tiba-tiba Hasan berhenti

menyuapi ayahnya, ia mendengar suara

mesin motor meraung-raung depan

rumahnya, ketika raungan mesin mereda

ada suara memanggil.

“Saaann,,,Kasann…, cepet keluar,”

Hasan mengenali suara itu. Tanpa pikir

panjang, nasi makan ayahnya diletakkan

begitu saja diatas tempat tidur, ia berlari

ke luar rumah.

“Ada Monata, di kampung sebelah,

ayo berangkat” ajak temannya sambil

menata bentuk rambutnya agar tetap

ngacrak.

“Serius mad, acara apa,?” Tanya Hasan

antusias pada pemuda putus sekolah ini.

“Sedekah bumi, ayo cepetan,” jawab-

nya singkat sambil memainkan gas mo-

Page 11: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 32

“Braakk…”

“Astagfirullah, suara apa itu,” gumam

Mak Yati kaget, namun mendengar lang-

kah kaki masuk rumah ia segera tahu

bahwa suara tadi pasti ulah dari anak

semata wayangnya yang baru pulang

sekolah.

“San, Hasan, apa itu yang jatuh,?”

teriak Mak Yati memangil nama anaknya

dari dapur, namun yang dipanggil tak

menyahut juga tak menjawab.

“Mak, makan sudah siap,?” timpal

Hasan dengan nada berbau kesal begitu

sampai dapur.

“Le, mbok kalau masuk rumah itu

uluk salam, lan kalo dipanggil orang tua

itu yo semaur ngunu lo,” Mak Yati beru-

saha menasehati anaknya. “Ojo keluar

masuk rumah kayak pitik, semaunya aja,”

perempuan paruh baya ini melanjutkan

nasehatnya sambil menaburkan sedikit

garam di kuah nangka muda yang ia ma-

sak. “Suara apa tadi,?” Mak Yati kembali

bertanya.

“Sepeda jatuh,” jawab Hasan singkat,

sambil menuju rak gerabah tangannya

menjulur mengambil piring dan sendok.

“Loh, kok bisa jatuh, apa ndak kamu

sandarkan di pohon jambu seperti bi-

asanya,?” Tanya Mak Yati keheranan.

“Mak, kapan Hasan dibeliin motor,?”

Hasan justru balik bertanya. “Hasan malu

diejek teman-teman mak, sudah SMA

masih sekolah pake Pit Ontel”, tegas

Hasan.

Mak Yati baru nyambung ternyata

yang membuat anaknya sedemikian

kesal akhir-akhir ini adalah keinginanya

untuk mempunyai sepeda motor yang

tak kunjung terwujud.

“San, tolong antarkan nasi dan kuah

ini untuk bapakmu di kamar”, ucap Mak

Yati berusaha mengalihkan pembica-

ran. “Setelah itu kamu baru makan,”

sambung Mak Yati.

“Lahh,,,emak mau kemana,?” tanya

Hasan heran.

“Mak mau balik lagi ke sawah, nanti

dimarahi pak karwi le”.

Mak Yati takut dimarahi Pak Karwi

pemilik sawah yang menyewa tena-

ganya untuk kuli tandur. Tempo lalu

mak Yati pernah dimarahi habis-

habisan oleh Pak Karwi, gara-gara ter-

lambat setengah jam. Pria kaya pemilik

sawah puluhan hektar ini tidak mau

menerima alasan Mak Yati yang waktu

itu harus menyuapi suaminya makan

siang karena sedang sakit. Sudah be-

berapa bulan ini ayah Hasan, Pak Zae-

nal jatuh sakit. Selama itu pula urusan

mencari nafkah pindah ke pundak mak

Yati semua. Ia yang harus jungkir balik

cari penghasilan untuk biaya hidup

mereka dan sekolah Hasan yang sedang

duduk di kelas 2 SMA.

Sungguh mengherankan, Ayah

Hasan mendadak sering sakit semenjak

memanjat pohon kelapa tua di sekitar

punden, orang-orang desa bilang pak

zaenal kesambet gendruwo punden.

Hasan masuk kamar ayahnya, ia mene-

11 Tathwirul Afkar

yang kuat. Karna sejak dini mereka

sudah digembleng untuk bisa mengu-

rusi segala sesuatu dengan diri mereka

sendiri. Dan ketika sudah menjadi sen-

ior, maka tidak cukup hanya bisa men-

gurusi sendiri, melainkan harus berani

membimbing dan mendidik mereka

yang ada di bawahnya.

Pondok pesantren juga sering mela-

kukan sebuah proses demokrasi, di-

mana ketika perguliran ketua pondok

atau lebih dikenal dengan lurah pondok

menjadi kegiatan tahunan untuk

memilih siapa yang pantas dan diper-

caya santri dalam mengurus pondok

selama dekade yang ditentukan.

Dan kegiatan yang semacam itu

bukanlah hanya sebatas untuk menen-

tukan siapa yang menjadi lurah pon-

dok, melainkan jauh ke depannya lebih

untuk mendidik santri agar mampu

menjadi agents of change yang benar-

benar mampu membawa kemaslahatan

bangsa.

Dan yang paling penting adalah

bukan ketika kita menjadi pemimpin

kemudian bisa menjadi agents of

change melainkan setiap saat, setiap

ada kesempatan untuk mengubah se-

suatu ke arah yang lebih bagus, maka

saat itu jugalah kita harus siap meny-

ingsikan lengan baju demi kesatuan

bangsa.//hasan

Menulislah untuk minimal kau akan

baca sendiri kekurangannmu dan mem-

bacalah untuk minimal kau akan tulis

apa yang kau tau.

Koord. Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN)

قوة المسلم ا بالجماعة

و قوة الجماعة إ با�قتصاد

Koord. Lembaga Perekonomian (LP)

Kita tidak akan tahu jawabannya

kalau kita tidak pernah menco-

banya. Jadi, tetap semangat !.

Koord. LAKPESDAM

Page 12: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 12

didekte untuk menjadi seorang pemim-

pin yang di sebutkan hanya kelompok

kita (manusia) yang menyanggupi

untuk menjadi kholifah untuk di bumi.

Ketika Tuhan mewanarkan kepada

malaikat mereka langsung menyatakan

ketidak sanggupan. Kepada gunung

yang begitu raksasa, mereka langsung

terlihat seperti batu kecil ketika

mendengar tawaran itu. Tetapi ketika

tawaran itu jatuh kepada kelompok

makhluk yang bernama manusia, maka

mereka langsung menjawab dengan

kesanggupan.

Salah satu kegiatan yang

mencerminkan akan gambaran sosok

seorang pemimpin adalah ketika kita

sholat. Baik secara munfarid ataupun

jamaah. Bagaimana sikap seorang imam

dan juga gambaran menjadi rakyat atau

S ebuah kepemimpinan akan

terus muncul dikehidupan

manusia. Mulai dari memimpin diri

sendiri sampai memimpin banyak

orang yang sangat beragam karakter.

Dan pada tahun 2014 ini, Negara kita

melaksanakan salah satu proses

dalam mewujudkan sebuah kepemim-

pinan yang akan berjalan selama lima

tahun ke depan.

Yang coba kita persoalkan di sini

bukanlah tahun politik ini, me-

lainkan sebuah gambaran tentang

sosok yang benar-benar bisa memim-

pin diri sendiri dan juga bangsa.

Keluar dari calon-calon yang sekarang

bermunculan, baik itu atas dorongan

kelompok lain dan atau mendorong

diri sendiri untuk mencalon.

Sadar atau tidak, kita sering

Oleh: Wildan Habibul Ula*

31 Tathwirul Afkar

timur. mulai dari aliyah hingga perguruan

tinggi, kemudian beliau terpilih untuk

melanjutkan study S1nya ke Riyadh Saudi

arabia tepatnya di JAMI’ATUL IMAM

MUHAMMAD IBN SU’UD (Univ.islam

Imam Muhammad bin Su’ud) dengan

mengambil Fakultas Adaab(SASTRA).

Pendidikan S2nya beliau tempuh di

Univ.Islam Lamongan (UNISLA).

Selain menjadi dosen di LPBA-MASA

Surabaya dan dosen bahasa arab di

Institute Agama Islam ibrohimi(IAII)

Sukorejo Situbondo Jawa timur, beliau

juga mejabat sebagai Rais Syuriyyah

Nahdlotul Ulama’ Cab.Kabupaten

Lumajang Jawa timur. Sekarang beliau

menetap di kediaman beliau mengasuh

dan mengayomi santri di Ponpes yang di

didirikan oleh kakeknya Kyai Syarifuddin

di Wonorejo Lumajang Jawa timur, beliau

menjabat sebagai Ketua Yayasan Ponpes

Kyai syarifuddin dan Direktur STAI

Syarifuddin Wonorejo Lumajang hingga

sekarang.

Penutup

Tujuan penulis memperkenalkan

serta mempublikasikan tulisan ini untuk

menggugah semangat para santri,dan

pelajar untuk mengambil tauladan para

ulama’ khususnya ulama’ nusantara yang

senantiasa gigih dan konsisten membela

agama dan umat dengan beragam karya

seni yang kaya akan nilai,pengorbanan

dan ketulusan.

Semua data yang tertera di atas kami

ambil dari sumber yang falid, yang kami

ambil disaat kami masih nyantri di

pesantren yang di asuh oleh beliau KH. M

Adnan Syarif Lc. M ag di PONPES Kyai

SYARIFUDDIN WONOREJO LUMAJANG.

Atau bisa di lihat di as-syarief.press

dan www.syarifuddin.wordpress.com.//

Menghargai, menghormati, dan

bertawadlu’ kepada orang lain

merupakan kunci sukses untuk

berdakwah.

Koord. Lembaga Dakwah (LD)

Kamu tidak harus mengucapkan

yang kamu tahu,tapi kamu harus

mengetahui yang kamu ucapkan.

Rais Syuriah PCINU Sudan

Yang menjadikan kita tetap

semangat dalam pengabdian di NU

adalah tidak lain hanya mengharap-

kan bisa dianggap santri Hadrotus

Syaikh Hasyim Asy’ari.

Ketua Tanfidz PCINU Sudan

Page 13: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 30

Menilik sastra dan ide ide yang

terkandung dalam Nadhzom

Sholawat Uhudiyyah.

1-Penyair di dalam tulisannya

memilih lafadz lafadz yang mudah di

faham ,dan memakai prosa prosa yang

jelas dan tidak berbelit belit.

2- Penyair di dalam qhosidah ini

memilih menggunakan Bahr basiit

(salah satu susunan nadzom/syi’ir

arab),terlihat ketika susunannya cocok

dengan wazan )مستفعلن )تفعيلتين مكررتين

dan pemakaian wazan ini فاعلن

memberi kesan panjang dan tenang,

sehingga serasi dengan isi dan ide yang

terkadung dalam bait syi’irnya, yaitu

sholawat yang merupakan bagian dari

doa dan menujat pada Allah swt, dan

doa/munajat membutuhkan

kekhusu’an,ketenangan dan

ketundukan. Berikut pemabagian ide

ide (AFKAAR) dalam qhosidah

Sholawat uhudiyyah.

Dua bait pertama terdiri dari

sholawat beserta salam kehadapan

baginda Rosulullah Saw beserta

keluarga dan sahabatnya teristimewa

para pejuang perang uhud.

Dua bait berikutnya (3-4)

bertawassul dengan Nahdzotul

ulama’(NU) dan para pendirinya, Agar

Allah swt memenuhi segala kebutuhan

dan harapan umat islam dalam

kemasan nikmat di akhiri dengan

tawasshul dengan para pejuang perang

uhud.

Bait selanjutnya (5-10) berisi

permohonan kepada Allah swt agar

memberikan kekuatan pada ummat

islam dalam membentengi Islam dari

tipu daya para penghasut dan

kekejaman orang orang dzolim kepada

agama Islam. Serta menyerukan agar

umat islam senantiasa menjadi

anugrah dan rahmat untuk alam jagad

raya (Rahmatan lil a’lamiin).

Bait ke 11-16 berisi ajakan pada

persatuan dan kesatuan umat islam di

bawah panji panji syari’at islamiyyah

dan aqidah ahlis sunnah wal jama’ah.

Dan memohon pada Allah swt agar

mempersatukan umat ini dan memberi

pertolongan demi mencapai kejayaan

umat islam.

Bait ke 17-22 berisi permohonan

pada Allat swt agar menolong umat

islam khususnya kaum nahdiyyiin agar

cita-cita dan harapan mereka tercapai,

dan dosa dosanya di ampuni dan

meraih khusnul khotimah.

Tiap empat bait terakhir dalam tiap

bagian selalu menyandangkan

tawasshul kepada para syuhada’ dan

pejuang perang uhud,dengan harapan

agar dengan barokah perjuangan

mereka dan drajat mereka yang agung

disisi Allah swt, harapan dan doa doa

di ijabahi dan di kabulkan.

BIOGRAFI PENGARANG

SHOLAWAT UHUDIYYAH.

KH. M Adnan Syarief Lc. M ag

adalah Putra dari Kyai hadiri dan Nyai

Yumna, beliau adalah Cucu dari Kyai

Syarifuddin pendiri PONPES Kyai

Syarifuddin Wonorejo Lumajang Jawa

timur. Beliau lahir di Lumajang pada

tanggal 01 januari 1951M. Beliau

mengeyam pendidikan Ibtidaiyyah dan

tsanawiyyah (pendidikan stara SD dan

SMP)di Lumajang, kemudian

melanjutkan study di Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang Jawa

13 Tathwirul Afkar

bawahan yang ideal. Sholat yang

setiap hari dilakukan, ketika kita mau

memahami dan mencermati, akan

banyak memberikan kita gambaran

sikap yang bisa membuat kita

mengerti tentang sebuah arti ke-

pemimpinan.

Dan hal yang pertama kali kita

dapat adalah belajar tentang terbolak

-baliknya kehidupan. Kadang didepan

–dalam lingkup horizontal- atau

dibelakang. Kadang diatas -lingkup

vertical- atau dibawah. Kemudian

keikhlasan dalam menghadapi lika

liku kehidupan tersebut. Ikhlas

menjadi pemimpin ataupun bawahan.

Rela untuk mengikuti dan siap untuk

diikuti. Mengerti keadaan belakang

dan siap mengingatkan yang di depan

ketika salah.

Dan masih banyak lagi yang bisa

didapat dalam proses peribadatan itu.

Oleh karnanya, dalam tatanan ilmu

fiqh ada beberapa ketentuan untuk

menjadi seorang yang bisa men-

duduki jabatan depan. Maka ketika

seseorang yang telah dianggap me-

menuhi ketentuan yang ada, baik

dalam hal sholat atau beorganisasi,

harus benar-benar siap untuk mem-

bawa yang dibelakang menuju kek-

husu’an dan keberhasilan yang di-

inginkan. Meski terkadang rasa minder

atau perasaan ketidak mampuan itu ada

dalam diri imam. Maka tetaplah harus

dijalani semua syarat sah dan tatanan

dalam organisasi yang sudah tercantum.

Agar semuanya menjadi sah dan

berhasil.//

*: mahasiswa IUA tahun dua yang menjabat

menjadi ketua pelaksana konfercab PCINU ke-13

2014

خيرفي قوم ليسوا بناصحين

وخير في قوم يحبون الناصحين

Tidak ada kebaikan sama

sekali bagi satu kaum yang

tidak ada diantara mereka

orang yang memberi nase-

hat

Dan tidak ada kebaikan

pula bagi satu kaum yang

tidak ada dari mereka

orang-orang yang senang

untuk menerima nasihat.

Sayyidina Umar ibn Khattab RA

Page 14: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 14

Pengurus Cabang Istimewa

Nahdlatul Ulama Khartoum Sudan

Mengucapkan

Selamat kepada:

Saudari Awaliyah Safitri

Sebagai Ketua Muslimat NU masa

khidmah 2014-2015

Semoga selalu dalam lindungan dan

pertolongan-Nya Amiin..!

29 Tathwirul Afkar

Bait puisi (nadzom) arab yang berjudulkan Sholawat Uhudiyyah yang berada di hadapan

kita adalah salah satu karya sastra monumuntel salah seorang ulama’ nusantara yang

berbasic pesantren salaf NU, beliau adalah KH. M. Adnan Syarif Lc,M.Ag mantan direktur

(Mudir) Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya

(1985-1987 M) . sebelum kita mengenal lebih jauh keperibadian pengarang (muallif) karya

sastra Sholawat uhudiyah ini, kami akan memaparkan apa yang melatar belakangi beliau

mengarang dan menulis karya sastra ini.

LATAR BELAKANG

Jami’yah Nahdlotul Ulama’ , telah

berhasil memasyaratkan Sholawat

badar khususnya di kalangan

masyarakat Nahdiyyin (NU). Bahkan

seolah-olah telah menjadi trade mark

baginya.

Sholawat badar , dewasa ini telah

menjadi milik seluruh bangsa

indonesia , sehingga tak satupun

pertemuan yang luput dari nuansa

beningnya, terutama dalam resepsi

keagamaan islam. Sholawat badar

alunannya tidak pernah kosong dalam

agenda dan acara keagamaan di negara

kita Indonesia tercinta ini.

Berangkat dari realita di atas, maka

Pengurus besar Nahdlotul

Ulama’ (PBNU) mempunyai keinginan

agar umat islam di negri ini juga

bertawasshul kepada para syuhada’

yang gugur di perang Uhud , selain

bertawassshul pada para syuhada’

badar.

Untuk itu, KH. Abdurrahman

Wahied (Gus dur) selaku ketua umum

tanfidiyah PBNU pada zaman

kepemimpinannya meminta agar para

ulama’ khususnya para sastrawan

nusantara menulis Sholawat Uhud

dalam bentuk nadhzom (bait puisi).

Permintaan KH. Abdurrahman

Wahied (Gur dur) tersebut mendapat

respon hangat dari Lembaga

Pengajaran Bahasa Arab Masjid Agung

Sunan Ampel Surabaya (LPBA-MASA).

Sehingga dalam suatu kesempatan

informal disela sela istirahat mengajar

di sepakati agar KH. M Adnan Syarif

Lc.M ag (Dosen ilmu balaghoh di LPBA)

dengan segera menulis Sholawat

uhudiyyah dengan bentuk nadzom ,dan

inilah nadhom sholawat uhudiyyah

karya beliau ada di hadapan kita.

Page 15: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 28

Selanjutnya sebagaimana data statistik Kementrian Agama jumlah pesantren

saat ini mencapai 27.00 ribu lebih, kemudian untuk kondisi saat ini secara umum

peran pesantren yang sangat strategis dan efektif adalah sebagai media kontrol

terhadap perilaku sosial yang berkembang di masyarakat sekitar, serta mem-

posisikan diri sebagai “Benteng Moral” bangsa yang berusaha mengikis habis sisa-

sisa warisan budaya kolonial, sekaligus menjadi pelindung terdepan dari pihak-

pihak tertentu –dalam hal ini kalangan Transnasional- yang mencoba meron-

grong kedaulatan NKRI.

Dari fakta-fakta sejarah seperti diatas dapat kita renungkan sendiri bagaimana

kalangan pesantren melalui santri-santrinya –semenjak masa kolonial sampai

masa pasca kolonial- memiliki wawasan kebangsaan yang patut kita teladani, dan

hal ini secara langsung dapat membantah bias negatif terhadap eksistensi-

sumbangsih pesantren sebagaimana yang berkembang selama ini.//

senang karena anaknya telah menujuk-

kan banyak perubahan baik, lagi pula ia

sudah lama sekali tidak sowan ke

ndalem kyai Mochtar, ulama yang alim

dan bijaksana itu.

Di hadapan kyai Mochtar, Hasan

beranikan diri mengutarakan isi hati-

nya, ia ungkapkan kesalahan kepada dua

orang tuanya, terlebih terhadap ayahnya

yang sudah meninggal dan ia belum

sempat minta maaf. Kyai Mochtar hanya

mangut-mangut mendengar cerita

Hasan.

“lalu apa yang nak Hasan inginkan?”

Tanya kyai Mochtar saat Hasan selesai

bercerita.

“Hasan mohon petunjuk yai” timpal

Hasan singkat sambil tertunduk.

“Petunjuk apa,?” kyai yang sangat

dikagumi karena kealimannya oleh

masyarakat itu balik bertanya.

“Bagaimana caranya mendapat maaf

dari ayah saya,?” jawab Hasan dengan

posisi duduk tawarruk.

Kyai Mochtar tersenyum, sedang-

kan tangannya terus memutar tasbih,

Hasan dengan sabar menunggu jawa-

ban.

“Diunjuk dulu tehnya”, kata kyai

Mochtar mengagetkan Hasan.

Sambil tetap tertunduk Hasan

meminum teh hangat yang

disuguhkan oleh kyai Muchtar, cukup

lama ia menunggu perkataan apa

yang akan terlontar dari sang kyai

namun tak kunjung keluar, justru

yang terdengar dzikir-dzikir kyai

mengagungkan nama Allah, hingga

akhirnya kyai Mochtar menarik napas

panjang dan berkata: “ziarahi makam

bapakmu, dan doakan ia setiap

waktu”. Tamat.//

15 Tathwirul Afkar

TTTT amlikha dan 6

kawannya, kecuali

Qithmir anjingnya.

T i d a k p e r n a h

menyangka, menduga. Mereka tertidur

di dalam Raqeem, sebuah gua terletak

di Amman selama 309 tahun lamanya.

Dalam ingatan Tamlikha hanya

hangat mengenai seorang raja lalim,

yang memaksa ingkar dari ajaran Isa.

A.s, Decius atau Diyanus namanya.

Decius yang malang, ia raja yang jumud.

Ia jenuh. Ia mengingkari keyakinan

pendahulunya. Ia paksa rakyatnya

ingkar pada ke-esa-an tuhan Isa. A.s.

laki, perempuan, setengah baya, renta

hingga anak – anak dari rakyatnya

Decius kumpulkan pada halaman luas

depan pendopo kerajaannya. Mahkota

raja yang membuatnya arogan, pada

pagi – pagi saat puncak musim panas

itu: Decius melakukan alterasi

“keyakinan Esa” pemeluk Isa. A.s den-

gan otoritarianisme kekuasaan. Dajjal

kecil Decius, menyiapkan rumah

tahanan dan siksaan bagi siapa yang

tidak patuh pada kehendaknya. Meski

hanya ratusan orang loyalis setia ajaran

Isa. A.s yang tergiring ke dalamnya, dan

menempa sisa hidup berat mereka.

Sisanya, adalah jutaan umat pengingkar

ajaran “Esa” dan selamat

Rombongan Tamlikha beruntung,

mereka melarikan diri: menyelamatkan

keyakinan mereka.

Terbangun dari tidur panjangnya,

Tamlikha dan rombongannya yang ke-

laparan mencari makanan. Mereka ber-

jalan – jalan ke pasar. Mereka

tergemap: berada pada kurun lain

sistem, tatanan sosial, etika interaksi,

infrastruktur dan pengusa yang tak

mereka kenali. Mereka semakin

terpengarah, mendapati mata uang

dalam sakunya yang asing sebagai alat

tukar makanan saat itu.

Mau tidak mau, Tamlikha dan

rombongannya yang asing, dari hari ke

Page 16: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 16

waktu mereka lakoni

dengan mengakrabi dari

satu keterasingan men-

jadi keakraban dan ke-

kuatan karakter “orang

– orang” pelaku sejarah

yang pernah berani

“mengasingkan” diri

mereka dari tikaman

penguasa.

Tamlikha adalah

cermin satu arah, yang

memantulkan cahaya

dari satu sumber di

depannya: dengan menguasai

pengalaman dan kebulatan keyakinan.

Bahkan, bagi Tamlikha dan

Rombongannya ia dibangunkan pada

berapa ratus tahun lagi, pun ia tetap

sebagai sumber cahaya pantulan cer-

min satu arah: mereka seorang “literat”,

yang membaca “loka” dan memiliki

resapan garis lurus keyakinan.

Seorang literat, yang (biasanya)

terasing. Bukan pembaca situasi yang

cengeng. Ia dilahirkan dari kawin kon-

trak rekognisi dan dimensi waktu. Dari

balik cara pandang, yang ia tuntuni dari

“membaca”, ia selalu melewati batas –

batas tidak resmi orang – orang yang

dipegang kepalanya oleh penguasa.

Jernih, karena tidak diinjak oleh satu-

pun kepentingan, kecuali penjawat setia

usaha menyentuh kebenaran melalui

fakta dan naluri

luhur.

Sebuah film drama

latin, berjudul Lucía y

el sexo (Sex and

Lucia: 2001) ditulis

oleh Julio Médem,

yang berkebangsaan

Spanyol. Jika kita

baca judul film ber-

durasi 128 menit,

yang pada tahun

2002 pernah dirilis

juga di Prancis ini

impresi kita akan selalu lari pada satu

hal: Seks. Padahal bukan, dalam sex

and lucia, sex tidak mendasari plot

cerita. Julio Médem yang jeli,

menyajikan adegan seks hanya di

beberapa menit awal, dan potongan

beberapa menit pada seperempat awal

durasi film. Seseorang mengira, ini

adalah drama kasual seks, padahal

tidak, ini adalah “secret - magical

romance”. Antara Lorenzo dan Elena

yang diperankan oleh Najwa Nimri,

yang keduanya memiliki plot

kehidupan yang menyempitkan

keduanya pada satu ruang. Sedangkan,

adegan – adegan seks di dalamnya,

yang casual, juga berarti casual point

dari sex and Lucia. Karena Lucia lah,

tokoh eminen senter yang menyela –

nyela serba tahu dalam plot

Tamlikha adalah

cermin satu

arah, yang

memantulkan

cahaya dari satu

sumber

di depannya

27 Tathwirul Afkar

dimotori alumni pesantren berhasil

menghimpun kekuatan masyarakat

untuk melancarkan gerakan perubahan

dalam masyarakat pribumi, dan men-

jadi puncak pertama mobilisasi massa

sebagai basis kekuatan perubahan sosio

-politik umat islam Indonesia. Menje-

lang masa kemerdekaan keperdulian

dan kesadaran berbangsa kaum santri

semakin mengkristal, ketika ikut men-

jadi penyelenggara penetapan dasar-

dasar Negara, para elit pesantren tidak

keras kepala memaksakan kehendak –

dalam hal ini menerima usulan

masyarakat Indonesia Timur yang non-

muslim agar tidak mencantumkan

“Piagam Jakarta”- demi tegaknya Ne-

gara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Pada masa setelah kemer-

dekaan peran pesantren dalam realitas

sosial telah mengalami reposisi dan

reaktualisasi; pesantren dengan elit

politiknya tidak terbatas melakukan

proses rekonstruksi tatanan sosio-

kultural, tetapi juga terlibat dalam

proses rekontruksi sosio-politik,

karenanya banyak bermunculan jebo-

lan pesantren yang memegang tampuk

kepemimpinan di pemerintahan, tak

hanya itu tokoh-tokoh non-pemerintah

berlatar belakang pesantren juga ban-

yak mewarnai perjalanan bangsa Indo-

nesia.

lawan penjajah melalui musyawarah

ulama se-Jawa dan Madura, yang pada

akhirnya mampu membakar semangat

jihad kaum santri dan dapat memukul

mundur pasukan penjajah, yang be-

lakangan dikenal dengan istilah

“Resolusi Jihad”, meskipun buku se-

jarah nasional tidak mencatat

peristiwa resolusi jihad dalam konteks

peperangan, namun arti pentingnya

ditandai secara nasional; 10 Novem-

ber sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Dan masih banyak lagi pahlawan per-

juangan yang lahir dari tradisi

pesantren.

Jauh sebelum islam datang, bumi

Nusantara masih diselimuti Hawa

Kegelapan dan atau dunia Mitologi,

kondisi ini hampir mirip dengan Eropa

sebelum Era Renaissance. Kemudian

dari persentuhan islam –tradisi

pesantren- dengan budaya setempat

itulah peranan pesantren non-jihadi

menjadikan isolasi sosio-kultural

Nusantara dengan luar dapat terbuka

secara luas, diantaranya penggunaan

Arab-Melayu dengan huruf Pegon yang

telah menjadi media pemersatu ba-

hasa di dunia Melayu-Indonesia saat

itu. Selanjutnya di permulaan abad ke

20 M, dunia Intelektual kaum santri

mulai berkembang, terbukti dengan

berdirinya Sarekat Islam (SI) yang

Page 17: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 26

pesantren, terutama terhadap

perubahan sosio-kultural masyarakat

Nusantara, seperti yang dikemukakan

oleh Prof. Syed Naquib al-Attas

tentang islamisasi masyarakat nusan-

tara, bahwa islam datang –

diantaranya melalui pendidikan

pesantren- membawa pandangan

hidup baru yang ditandai oleh mun-

culnya semangat rasionalisme dan

intelektualisme. Pandangan hidup

baru ini kemudian merubah pandan-

gan hidup bangsa nusantara yang

sebelumnya dikuasai oleh dunia

Mitologi.

Selanjutnya islam dalam hal ini

pesantren telah sukses mentransfor-

masikan nilai-nilai prinsipnya ke-

dalam pola pikir masyarakat, peruba-

han kondisi inilah yang memacu kesa-

daran masyarakat nusantara untuk

tergerak menentang kolonialisme.

Kemudian dari sini setidaknya dapat

penulis kategorikan kedalam dua poin

penting faktual-historis peranan

pesantren semenjak masa kolonial

sampai masa pasca kolonial terhadap

(keberlangsungan) bangsa. Pertama,

Peranan Jihadi. Kedua, Peranan Non-

Jihadi.

Peranan Jihadi berawal semenjak

kolonialisme memasuki nusantara

yang menjadikan elit-elit pesantren

terpanggil untuk ikut terlibat dalam

memperjuangkan keberlangsungan

bangsa; dari aksi kolonialisme, dan sta-

bilitas agama dari ancaman pemurtadan;

kristenisasi-orientalisme. Dalam catatan

sejarah dapat kita jumpai diantaranya

pangeran dari Jawa lulusan pesantren,

adalah Pengeran Diponegoro pemimpin

Perang Jawa –pertengahan abad ke 19 M,

tercatat sebagai perang dengan jumlah

korban paling besar dalam sejarah Indo-

nesia. Dua abad sebelumnya terdapat

nama Syek Yusuf al-Maqassary, dalam

perjalanan perjuangannya ia ditangkap

dan diasingkan ke Srilangka. Di Srilangka

ia masih aktif dan masih dapat berkomu-

nikasi dengan pengikutnya di Nusantara,

oleh karenanya ia dipindahkan ke lokasi

yang lebih jauh, Afrika Selatan. Dari

tanah Minangkabau muncul nama Imam

Bonjol seorang pejuang juga alumni

pesantren, yang mencoba menghadang

hegemoni Belanda melalui Perang Padri

–permulaan abad 19 M. Kemudian jauh

setelah itu tepatnya pada masa kemer-

dekaan, belum lama Indonesia menyata-

kan kemerdekaannya dari segala bentuk

kolonialisme. Belanda dengan menung-

gangi Inggris pimpinan A.W.S Mallaby

mencoba kembali datang untuk menja-

jah, yang sebelum akhirnya Rais Akbar

Nahdlatul Ulama saat itu KH. Hasyim

Asy’ari mengeluarkan “Fatwa Jihad” me-

17 Tathwirul Afkar

percintaan agape antara Lorenzo dan

Elana, ibu Luna.

Kita tidak mesti seketika sadar,

adegan sekejap “sex” yang meng-

gairahkan sudah menggiring kita pada

penafsiran cinta yang eros. Pun,

pengertian tekstual Eros yang sudah

melacur dari makna ia dilahirkan

sebagai Divine Madness: egoism

ilahiyah, menjadi Prostitute love.

Membuat ke-absah-an literat kita dang-

kal, kering, dan mencerai – beraikan

substansi karena diendapi kepentin-

gan, semisal birahi.

Disitulah, pada film yang sempat

menaik-daun kan Paz Vega (sebagai

Lucia) meraih best newcomer pada

helatan Goya Award (2002), adalah

lembah luas yang bukan mesti

ditafsirkan “hitam”. Penafsiran “hitam”

hanya bagi mereka yang tidak sampai

memahami “putih” nya Agepe, karena

terburu melibatkan perasaan dan bi-

rahi eros-nya. Seperti sikap kita terha-

dap makna ikhlas, juga dicontohkan

Lucia menerima fakta dan merelakan

Lorenzo mencintai Elena di ujung

kisah.

Dari Tamlikha sang pimpinan

rombongan yang mengasingkan

keyakinan dari otoritarianisme

kekuasaan, dan menguasai “loka”

sebagai pembaca yang baik. Lalu bela-

jar dari sikap rela Lucia. Menjadi pem-

baca, yang masuk ke dalam teks cerita

dan merangkai bunga – bunga cara

pandang yang literat. Menjadi penulis,

demi menyelamatkan keutuhan cara

pandang kita terhadap sesuatu,

mengekalkan diri dalam histiografi

sejarah dan peradaban. Adalah alterasi

pertama, yang mula – mula bisa kita

tolak kehadirannya untuk masuk ke

dalam kebekuan teks atau malah, ter-

dorong membuka konteks – teks mulia

lain yang membenarkan sebuah sikap

yang bukan hanya tentang “hitam”

atau “putih” dalam melihat. Namun

literasi sebagai sikap, dalam konteks

pembenaran manusia yang selalu kha-

watir untuk salah, bukan?

Khartoum, 15 maret 2014

Rubrik ini diisi

tetap oleh

M. Tajul Mafachir

yang menjabat

sebagai ketua

lembaga Lajnah

Ta’lif wa an Nasr

PCINU Sudan

Page 18: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 18

dari sikap permisif Nahdatul ‘Ulama

sendiri sebagai organisasi modern, mod-

erate, dinamis dan terbuka terhadap hal

baru yang dirasa lebih baik, dan menyim-

pan tradisi, peninggalan dan budaya lama

yang masih baik.

Dalam sikap peradaban Nahdlatul

‘Ulama sendiri kita sangat lekat dengan “al

-Muhaafadha ‘ala Qadim al-Shalih, wa al-

Akhdzu bi al-jadiid al-Ashlah”, dengan arti

sikap menjaga warisan baik berupa

khazanah kebudayaan dan tradisi berke-

senian yang baik, dan mengambil pene-

muan (modern) yang dirasa lebih baik.

Sikap inilah, alasan kenapa sikap NU se-

lalu teridentifikasi baik secara sosio-

historis, ataupun sikap ideology dengan

P e r j a l a n a n p e r j u a n g a n

Nahdlatul ‘Ulama sebagai organisasi

keagamaan dan kemasyarakatan

terbesar di Indonesia dengan lebih

dari 40 juta pengikut yang bergerak

di pelbagai bidang strategis

masyarakat sebagai stekholder dan

penjaga sikap keagamaan yang

moderat, toleran, serta senantiasa

mampu menjeburkan diri dalam

instrument budaya dan warisan

lokal masyarakat setempat dengan

kearifan lokal yang dijunjung NU,

sebagaimana metoda akulturasi

budaya dalam berdakwah yang su-

dah diajarkan oleh para walisongo

di Jawa. Tidak akan pernah lepas

MENDIRIKAN LESBUMI

PCINU SUDAN:

SEBUAH MOMENTUM

25 Tathwirul Afkar

T radisi pesantren –yang

oleh Gus Dur disebut

sebagai Sub-kultur

tersendiri-merupakan

kerangka sistem pendidikan tertua di

bumi Nusantara, yang dalam per-

jalanan sejarahnya telah menjadi

obyek penelitian para sarjana yang

mempelajari islam Nusantara

(Indonesia), adalah J.F.B Brumund

salah seorang sarjana Belanda yang

pertama kali menulis sebuah buku

tentang sistem pendidikan di

Jawa pada tahun 1857 M, dari dalam

negeri sendiri muncul nama peneliti

kawakan, Zamakhsyari Dhofier yang

dari penelitiannya terhadap dua

pesantren -Tebuireng Jombang dan

Tegalsari Salatiga- melahirkan sebuah

buku berjudul “Tradisi Pesantren”, dan

lain sebagainya.

Pada umumnya studi yang

dilakukan oleh sarjana barat terhadap

pesantren lebih menitik beratkan

analisanya pada pendekatan intelek-

tual-teologis, sehingga seringkali

memberikan kesimpulan yang

meleset. Sebagai contoh selama ini

sering disimpulkan bahwa para kyai

sangat terikat oleh ajaran-ajaran

kaum sufi;tarekat, karenanya sering

dianggap telah mengamalkan islam

yang keliru, yang hanya mementing-

kan kehidupan akhirat tanpa mem-

perdulikan kehidupan duniawi –

dalam hal ini urusan kebangsaan-.

Dalam catatan kali ini penulis

ingin mencoba untuk merefleksikan

kembali eksistensi-sumbangsih

p e s a n t r e n t e r h a d a p

(keberlangsungan) bangsa, yang seir-

ing perkembangan politik di Indone-

sia telah banyak terjadi pengkaburan

melalui buku-buku dan lain seba-

gainya, yang secara tidak langsung

didukung pula oleh kesimpulan ke-

banyakan sarjana barat seperti yang

disebutkan diatas.

Sejak awal sejarah telah

membuktikan peranan tradisi

Oleh: Ahmad Lukman Fahmi

Page 19: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 24

kuning tampil dengan dua wajah

populer juga elit. Populer karena kita

kuning mudah ditemukan dimana-

mana. Ellit karena kitab kuning tidak

bisa dipelajari secara otodidak. Dunia

kuning adalah dunia kosmologis yang

unik, karena melibatkan sanad, ijazah,

silsilah ulama, dan kadang kadang

juga nuansa mistis.

Mistis karena ketika ingin lebih ke

maqom keilmuan yang lebih tinggi

diwajibkan melakukan riyadhoh-

riyadhoh khusus dan mistis karena

kitab kuning tidak dapat dipelajari

sendiri, harus berguru, dan berguru

pun dengan guru yang mempunyai

ijazah dan sanad yang melibatkan

sampai ke pengarang kitab. Karena

kitab kuning menyimpan beribu

misteri ynag wajib kita gali dan

mencari tahunya.

Di balik kemistisanya, kitab kuning

juga menyimpan sisi intelektual.

Karena bahasa arab yang digunakan

adalah bahasa dengan tingkatan

sastra tertentu. Bahasa arab kitab

kuning berbeda dengan bahasa arab

al-Quran. Bahasa Al-Quran

sebagaimana kata Imam Ali (karama

Allah al wajhah) mengandung

beragam kemungkinan interpretasi.

Tentunya sebelum mempelajari dan

memahami berbagai kitab, kita harus

memahami gramatika arab seperti Al-

Jurumiyah (karya seikh Muhammad As

sonhaji) Al Imrithi (karya syarifuddin

yahya) dan Alfiyah (karya seikh

Jamaluddin bin Maliki). Di dalam tiga

kitab ini memuat kaidah kaidah untuk

mengantarkan kita memahami kitab-

kitab kuning. Dan inipun dalam

konteks pra untuk memahami kitab

kuning, belum masuk kepada bidang

ilmu yang dipelajari.

Seperti ketika mempelajair ilmu

Fiqih, dimana kita diharuskan

memahami dasar kitab fiqih tersebut.

Seperti Fathul Qarib sebelum ke

jenjang yang lebih tinggi di atasnya

seperti fathul mu’in dan fathul wahab.

Dalam mempelajari satu tahapan ilmu

kita pun dituntut untuk menggunakan

kitab-kitab rujukan. Yang secara

langsung akan membuat kita

berwawasan lebih banyak. Misal kita

mempelajari fathul qarib, ketika kita

menemui sebuah masalah dalam suatu

pembahasan , maka mau tidak mau kita

harus membuka syarah fathul qarib

(almizan alkubro). Dan ketika kita juga

tidak menemukan jawabanya pada

kitab itu maka kita juga akan dituntut

untuk mereferensikan ke kitab yang

lebih tinggi, dan seterusnya. Dan

inipun tidak hanya dalam konteks fiqih

saja. Semua bidang ilmu juga akan

menuntut rantai referensi keilmuan.//

Hasan

19 Tathwirul Afkar

perjuangan awal para walisongo me-

lakukan missi dakwah di tanah Jawa.

Antara Walisongo dan perjalanan

Nahdlatul ‘Ulama sebagai organisasi

tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat

dirasakan dari sikap keagamaan NU

terhadap perkembangan Seni dan

Kebudayaan sebuah masyarakat.

Dimana NU selalu berusaha men-

gadopsi sikap –sikap dan strategi

dakwah walisongo yang dengan akul-

turasi budayanya, para pegiat dak-

wah cultural NU selalu diterima

karena memiliki keintiman dan ke-

mesraan dalam menyikapi suatu bu-

daya masyarakat setempat. Di tengah

maraknya ekstrimis kanan yang

senantiasa berusaha mengaburkan

nilai luhur kebudayaan dan kesenian.

Arti singkatnya, perjuangan dakwah

Walisongo di tanah Jawa dan per-

jalanan NU tidak akan dapat

dipisahkan. Karena Nahdatul ‘Ulama

adalah akselerasi keberhasilan dak-

wah Walisongo, sedangkan sikap bijak

Walisongo akan senantiasa direduksi,

diadopsi, dan dikolaborasi dengan

pemikiran baru oleh NU hingga saat

ini.

Mengacu pada seriusnya para seni-

man, budayawan, intelektual, cende-

kiawan dan siapapun yang memiliki

perhatian besar terhadap kebudayaan

dan kesenian. Dengan terbukti, diga-

gas ulang berdirinya kembali aliansi

Seniman dan Budayawan di tubuh NU

sendiri seperti digagas ulangnya Lem-

baga Seniman Budayawan Muslimin

Indonesia (LESBUMI) Nahdlatul

‘Ulama yang diprakarsai oleh ketua

terpilih LESBUMI Saat ini, Zastrwo

alNgatawi (masa khidmat 2010-2015).

Sudah selayaknya PCINU Sudan

memiliki sikap apresiasi gerakan

dalam sikap berkesenian dan berkebu-

dayaan. Hal ini akan menjadi sebuah

legislasi sikap kebudayaan NU dalam

ranah wilayah (Luar Negeri) yang

Page 20: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 20

memiliki potensi multi-

research kebudayaan dan kesenian

pada Negara dimana PCINU berada.

Kembalinya semangat melembaga-

kan kegiatan berkesenian ini juga tidak

terlepas potensi kentara dari hari ke

lain generasi mulai menunjuk perkem-

bangan yang sangat baik. Seperti yang

terlihat adalah, semangat berkesenian

Hadroh dan Rebana oleh warga PCINU

Sudan yang sudah tidak lagi kita ragu-

kan urgensitasnya dalam pelbagai mo-

men Sebagai icon PCINU Sudan dan

bahkan mulai dikenal luas oleh se-

bagian warga pribumi Sudan sendiri.

Perkembangan demikian, seharus-

nya sudah saatnya PCINU Sudan bersi-

kap memberi ruang bagi kelanjutan

kegiatan berkesenian yang sudah dirasa

membanggakan. Belum lagi kegiatan

berkesenian lain semisal dalam seni

gerak dan teater yang seringkali ber-

jalan apa adanya, bahkan lebih seder-

hada dari Hadroh dan Rebana yang

masih diayomi oleh Lembaga Dakwah

PCINU Sudan, yang memerlukan per-

hatian khusus bagi para pegiatnya yang

seringkali justru tidak terorganisir dan

terakomodasi dengan baik. Padahal

jika dikembangkan, akan sangat men-

guntungkan PCINU Sudan untuk mera-

jut ulang semangat dakwah kultural-

nya.

Jika di tahun ini, lagi –lagi PCINU

mengambil sikap diam seperti tahun

lalu dalam menanggapi wacana legis-

lasi (pe-lembaga-an) ruang dan wadah

berkesenian bagi para anggotanya

yang potensif, maka sudah sangat ter-

bayang bagaimana stagnasi kegiatan

berkesenian yang selama sudah ada

dan cenderung apa adanya tanpa

adanya lembaga yang menaunginya

secara serius. Sehingga, terhambat ide

– ide yang seharusnya bisa jadi bahan

ledak bagi sejarah PCINU Sudan dalam

meraih cita – cita pengemban tradisi

dan kultur nusantara yang sejatinya

23 Tathwirul Afkar

S eringkali kita mendengar

kata kitab kuning di

telinga kita, tapi pada dasarnya, apa

kitab kuning itu? Nah.. kitab kuning

adalah sebuah istilah yang disematkan

kepada kitab-kitab yang berbahasa arab,

yang biasa digunakan di banyak

pesantren atau madrasah diniyah

sebagai bahan pelajaran. Istilah kitab

kuning tidak asing lagi bagi para santri

dan kyai yang khususnya pernah belajar

di pesantren salaf.

Penamaan kitab kuning juga tidak

lepas dari identik warna kuningnya

yang kotras. Dibalik warnanya yang

kuning, lusut dan mungkin sulit untuk

dibaca dan dipahami. Kitab ini banyak

mempunyai misteri dan mitos dibalik

warna tersebut. Dimana para mushonif

ketika mengarang kitab-kitabnya

melakukan riyadhoh dan amalan-amalan

yang lainya.

Dalam perjalananya, kitab kuning

banyak menghadirkan hal-hal yang

berbau mistis. Seperti ketika ingin

mempelajari ke tingkatan yang lebih

t inggi . Be be ra p a p e sa ntre n

menganjurkan mengamalkan riyadhoh,

wiridan dan sampai harus membacakan

surah Yasin 306 kali di makam sesepuh

atau pendiri pesantren tersebut. Mulai

dari tengah malam sampai fajar. Dan

masih banyak lagi kemistisan tentang

kitab kuning ini.

Kitab kuning juga banyak penjelasan

tentang amalan-amalan yang bisa

menjadikan kita sebagai manusia yang

hebat, dicintai orang banyak, dihormati

masyarakat. Seperti kitab al aufaq

karangan Imam al Ghozali.

Mempelajari kitab kuning tidak

seperti mempelajari buku mata kuliah

atau buku-buku yang lain. Belajar kitab

tidaklah mudah. Karena harus

mendapatkan penjelasan dari seorang

guru yang mempunyai sanad tentang

kitab itu. Sanad disini adalah rantai

keilmuan dari pengarang kitab

(mushanif) sampai kepada pengajar

yang bersangkutan. Sanad keilmuan

dijaga agar penafsiran kitab kuning

tidak melenceng dari penafsiran orisinil

sang pengarang kitab tersebut. Karena

pengajar kitab kuning merupakan rantai

silsilah sang pengarang. Biasanya sang

pengajar bisa mengajarkan kitab-kitab

kuning asal mendapatkan ijazah (sejenis

ijin khusus) dari tingkatan sanad yang

berada diatasnya. Dan ada kalanya

ijazah itu bernuansa mistis yang

mengharuskan murid melakukan ritual-

ritual seperti yang telah disebutkan.

Sanad dan ijazah memberikan kitab

KITAB KUNING; ANTARA

MISTERI

DAN

INTELEKTUALITAS

Page 21: Tathwirul Afkar edisi April 2014

Tathwirul Afkar 22

lama ini sering dilupakan oleh pelbagai

varietas metoda dakwah keagamaan

yang justru dianggap kering dan ironis-

nya seringkali para pegiatnya malah

menampilkan agama dengan muka

yang menakutkan. Hal ini, hanya mung-

kin bisa terjadi secara rapi dan teror-

ganisir jika PCINU Sudan dalam hal

ini Steering Committee (SC) Konferensi

Cabang PCINU ke XII yang dipimpin

oleh H. Zainul Alim, MA mampu melu-

luskan berdirinya LESBUMI kemudian

menjadi wacana untuk direstui pada

puncak KONFERCAB XIII nanti.

JIka kita merujuk pada tema Kon-

ferensi Cabang (KONFERCAB) PCINU

Sudan ke XII 2013 lalu sendiri yang

salah satunya adalah optimalisasi peran

Sosial Budaya dalam menjaga jaringan

Internasional Ilmu dan ‘Ulama’ maka

tuntaslah sudah, bahwa PCINU Sudan

sudah tidak lagi pantas beralasan untuk

menolak kehadiran instrument lem-

baga baru yang menaungi semangat

dan kreatifitas dalam berkesenian dan

mengenal kebudayaan nusantara secara

intens. Karena ini merupakan titik kli-

mak dan momentum menjalankan ama-

nat profetik semangat KONFERCAB

PCINU Sudan ke XII.

Ini akan menjadi serangkaian legis-

lasi terhadap pelbagai sikap PCINU Su-

dan sendiri dalam bersikap dan juga

sebagai lembaga advokasi “syariah”

terhadap pelbagai issue dalam para-

digma kebudayaan dan kesenian yang

tidak bisa kita pisahkan dari perjalanan

NU Sendiri.//Mafachir

21 Tathwirul Afkar

mampu diupayakan dengan melemba-

gakannya.

Pelembagaan ini juga bisa bernilai

sikap perhatian serius dan jawaban

PCINU Sudan terhadap kegiatan berke-

senian dan menghargai kebudayaan

ditengah gagalnya pelbagai upaya in-

stansi pemerintah dalam mengako-

modir kegiatan berkesenian bagi war-

ganya sendiri yang cenderung ber-

orientasi “dangkal” dari yang kita

harapkan bersama. Karena seringkali

Negara hanya menganggap seni dan

budaya sebagai warisan yang bisa

setiap saat dia pamerkan dan pentas-

kan kepada Negara lain tanpa berdasar

falsafah kesenian dan kebudayaan yang

mendalam. Lantas, kepada instansi

mana lagi PCINU Sudan bisa memper-

cayakan potensi berkesenian

anggota dan cita – citanya kecuali pada

dirinya sendiri?

Sumberdaya Manusia dalam berke-

senian PCINU Sudan pada dekade ini

sedang dalam per-

tanda baik – baiknya untuk mengem-

bangkan kembali semangat berke-

senian yang sempat hilang pada be-

berapa tahun lalu. Lebih – lebih PCINU

Sudan dengan Lembaga Seniman Bu-

dayawan Muslimin Indonesia

(LESBUMI) nya, yang jika direstui untuk

didirikan menjadi ruang sendiri dalam

melahirkan, mendiskusikan dan men-

gadvokasi sikap berkesenian dan berke-

budayaan yang selama ini cenderung

berjalan tanpa payung yang menaungi

secara serius.

Dengan berdirinya LESBUMI, PCINU

Sudan akan lebih digiring pada sikap

substantive dakwah cultural yang se-

lama ini Nahdlatul ‘Ulama’ selalu per-

juangkan.

Sudah sangat terbayang, dibawah

Lembaga Seniman Budayawan Mus-

limin Indonesia (LESBUMI) PCINU Su-

dan nantinya, akan lebih sering melaku-

kan maneuver sikap dakwah yang se-