tulisan dr prakarsa 09 10-2011-03

6
Respon Kementerian Lingkungan Hidup atas Dampak TPL di Humbahas Oleh: David Rajagukguk dan Trisna Harahap Kehadiran PT TPL yang sebelumnya bernama Inti Indorayon Utama (IIU) ditanah Batak dari hadirnya sampai sekarang masih perlu dipertanyakan. Apakah untung atau buntung yang didatangkan bagi Tanah Batak ini. Cukup banyak permasalahan yang ditimbulkan baik dari segi lingkungan karena pencemaran udara dan air serta kerusakan infrastruktur yang dipergunakan umum terutama jalan akibat operasi turk pengangkut kayu mereka. Dan yang paling parah, akibt kehadiran PT TPL di Tanah Batak adalah banyaknya sengketa tanah yang berhubungan dengan Konsesi HPHTI mereka. Korbannya adalah Masyarakat adat yang telah mengelolah tanahnya secara turun-temurun. Terkait dengan banyaknya masalah yang ditimbulkan ini terkhusus soal lingkungan masyarakat sudah banyak membuat surat pengaduan ke berbagai instansi terkait, termasuk ke kementrian lingkungan hidup. Salah satu surat yang ditanggapi oleh kementerian lingkungan hidup adalah surat pengaduan masyarakat dari Kecamatan Parlilitan yang disampaikan oleh salah satu LSM yang ada di Ibukota negara ini. LSM Paragon yang telah diberikan kuasa oleh beberapa kelompok masyarakat di Parlilitan melayangkan surat pengaduan terkait kerusakan lingkungan, masalah hutan kemenyan dan pemanfaatan limbah padat untuk pengeras jalan serta sengkat tanah. Pengaduan yang disampaikan oleh LSM Paragon tersebut direspon dengan baik ditunjukkan dengan kehadiran staf Kementerian Lingkungan hidup di Humbang Hasundutan pada 28 Oktober 2011. Keterlibatan KSPPM dan kelompok yang didampingi sebenarnya tanpa perencanaan karena sebelumnya sudah ada janji diskusi diengan dinas kehuatan dan lingkungan hidup humbahas terkait masalahTombak Haminjon Pandumaan-sipituhuta dan Tombak Sitakkubak - Aek Lung. Pertemuan ini diibaratkan sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui. Setelah pertemuan ini disepakati dilakukan pertemuan keesokan harinya FGD khusus dengan keompok pelapor dan masalah yang ada di Pandumaan-Sipituhuta. Sekitar pukul 10.30 pada 29 Oktober 2011, perwakilan dari Kecamatan Parlilitan dan pandumaan Sipituhuta bersama KSPPM melakukan diskusi di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Upload: david-rajagukguk

Post on 07-Apr-2017

538 views

Category:

News & Politics


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tulisan dr prakarsa 09 10-2011-03

Respon Kementerian Lingkungan Hidup atas Dampak TPL di HumbahasOleh: David Rajagukguk dan Trisna Harahap

Kehadiran PT TPL yang sebelumnya bernama Inti Indorayon Utama (IIU) ditanah Batak dari hadirnya sampai sekarang masih perlu dipertanyakan. Apakah untung atau buntung yang didatangkan bagi Tanah Batak ini. Cukup banyak permasalahan yang ditimbulkan baik dari segi lingkungan karena pencemaran udara dan air serta kerusakan infrastruktur yang dipergunakan umum terutama jalan akibat operasi turk pengangkut kayu mereka. Dan yang paling parah, akibt kehadiran PT TPL di Tanah Batak adalah banyaknya sengketa tanah yang berhubungan dengan Konsesi HPHTI mereka. Korbannya adalah Masyarakat adat yang telah mengelolah tanahnya secara turun-temurun. Terkait dengan banyaknya masalah yang ditimbulkan ini terkhusus soal lingkungan masyarakat sudah banyak membuat surat pengaduan ke berbagai instansi terkait, termasuk ke kementrian lingkungan hidup. Salah satu surat yang ditanggapi oleh kementerian lingkungan hidup adalah surat pengaduan masyarakat dari Kecamatan Parlilitan yang disampaikan oleh salah satu LSM yang ada di Ibukota negara ini. LSM Paragon yang telah diberikan kuasa oleh beberapa kelompok masyarakat di Parlilitan melayangkan surat pengaduan terkait kerusakan lingkungan, masalah hutan kemenyan dan pemanfaatan limbah padat untuk pengeras jalan serta sengkat tanah.

Pengaduan yang disampaikan oleh LSM Paragon tersebut direspon dengan baik ditunjukkan dengan kehadiran staf Kementerian Lingkungan hidup di Humbang Hasundutan pada 28 Oktober 2011. Keterlibatan KSPPM dan kelompok yang didampingi sebenarnya tanpa perencanaan karena sebelumnya sudah ada janji diskusi diengan dinas kehuatan dan lingkungan hidup humbahas terkait masalahTombak Haminjon Pandumaan-sipituhuta dan Tombak Sitakkubak - Aek Lung. Pertemuan ini diibaratkan sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui. Setelah pertemuan ini disepakati dilakukan pertemuan keesokan harinya FGD khusus dengan keompok pelapor dan masalah yang ada di Pandumaan-Sipituhuta. Sekitar pukul 10.30 pada 29 Oktober 2011, perwakilan dari Kecamatan Parlilitan dan pandumaan Sipituhuta bersama KSPPM melakukan diskusi di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Humbahas. Diskusi ini bertujuan untuk menggali informasi lebih banyak lagi terkait kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktifitas PT TPL.

Sebelum memulai diskusi, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Humbahas, Ir. Marco Panggabean menjelaskan tujuan dan maksud kedatangan 2 orang staf kementerian lingkungan hidup ke Humbahas. Kepala Dinas memperkenalkan utusan dari kementerian lingkungan hidup adalah Vitry A, SH (Kasubdit Kerugian Negara dan Masyarakat) dan Suharno, SH (staf Ass. Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan). Vitry dari kementerian menjelaskan bahwa kehadiran mereka adalah untuk mengklarfikasi dan memverifikasi pengaduan yang masuk ke kementerian Lingkungan Hidup terkait adanya laporan yang masuk pada mereka. Perwakilan masyarakat yang hadir pada diskusi kelompok terbatas ini, diminta untuk menceriterakan dampak kehadiran PT TPL di daerah mereka.

Masden Tinambunan (Desa Sion Timur) sebagai salah satu pelapor, menjelaskan bahwa saat ini masyarakat masyarakat Sionom Hudon Timur sangat resah atas kehadiran PT TPL di daerah mereka. Hampir seluruh Hutan kemenyan milik mereka sudah menjadi konsesi TPL

Page 2: Tulisan dr prakarsa 09 10-2011-03

yang ditanami eucaliptus. Secara garis besar masden menjelas 3 hal yang menjadi permsalahan pokok akibat kehadiran PT TPL di daerah mereka, yaitu: (1). Menurunnya debit air dari sumbernya untuk kebutuhan harian masyarakat dan untuk persawahan. Masdem juga menjelaskan sumber air meraka berasal Aek Situmohap, Aek Sihulihap dan Aek Marbatang yang kesumanya berada di konsesi TPL. Masyarakat Khawatir bahwa beberapa tahun ke depan akan terjai kekeringan di daerah mereka. Kekeringan ini akan menyebabkan (2). Banyaknya Kemenyan yang telah ditebangi oleh PT TPL dari hutan adat mereka yang telah 200 tahun di kelola mulai nenek moyang sampai sekarang. Hutan kemenyan tidak tertata, kemenyan harus berada di hutan lindung, ketika hutan ditebangi yang terjadi adalah pengurangi hasil haminjon/kemenyan yang mengakibatkan masyarakat mengalami penurunan penghasilan. (3). Jika Hutan adat mereka yang telah mereka kelola selama ini dijadikan konsesi TPL maka masyarakat akan tergusur karena tidak ada tanah untuk mencari nafkah.

Sondang Tamba dari Desa Sionom Hudon Timur menambahkan, masalah lainnya adalah denkatnya eukaliptus ke lahan Tombak Haminjon/Kemenyan masyarakat dan akibatnya petani kemenyan terganggu. Dicontohkannya kemenyan dari kebunnya telah ditebang oleh TPL (sekitar 1500 pohon ditebang) dan yang belum ditebang 3.000 batang. Hal ini dilakukan kontraktor TPL tanpa pemberitahuan kepadanya. Ia sendiri tidak pernah menjual kayu yanga da dilahannya pada kontraktor TPL tersebut.

Pinus Sitanggang (Dusun Pargamanan-Desa Simataniari, Kec Parlilitan) dan Togap Sitanggang (Desa Sihas Dolok I, Kec. Parlilitan) selanjutnya juga menyampaikan keluhannya kepada utusan dari Kelemterian Lingkungan Hidup, pada intinya apa yang disampaikan tidak jauh berebeda dengan yang disampaikan perwakilan dari Sionom Hudon Timur. Hal lain yang disampaikannya adalah adanya dampak penggunaan limbah “boiler” (limbah padat dari Pabrik TPL di Porsea). Limbah yang digunakan untuk pengerasan jalan di lokasi konsesi ini merember ke air/sungai yang dipergunakan oleh masyarakat. Dampaknya masyarakat terkena penyakit gatal karena menggunakan air tersebut untuk kebutuhan sehari-harinya. Bahan pengerasan jalan ini berada di hulu sungai yang mengalir ke desa, dimana air dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Ditambahkannya kedatangan TPL meresahkan masyarakat. Terjadi perpecahan adat dan jemaat dalam satu lembaga gereja. Hal ini diakibatkan sebagian masyarakat di Desa Simataniari menerima ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000/Ha dar kontraktor TPL dan sebagian masyarakat yang tidak menolak menerima ganti rugi. Hal ini yang menyebabkan perpecahan di masyarakat. TPL menyuruh kontraktor yang berasal dari masyarakat sebagai pengusaha untuk menebangi hutan yang dinyatakan sebagai lahan konsesi mereka. Secara khusus disampaikan juga bahwa sudahada kekeringan kurang lebih 12 ha lahan persawahan di daerah Bintang Maria, Desa Simataniari.

Perwakilan Masyarakat dari Desa Pandumaan-Sipituhuta yang diwakili Arnold Lumban Batu dan Kersi Sihite, menyampaikan hal yang sama dengan apa yang telah disampaikan perwakilan dari Kecamatan Parlilitan. Mereka hanya menambahkan bahwa akibat penebangan hutan adat/kemenyan yang dilakukan oleh PT TPL, berbagai hewan hutan sudah memasuki kawasan Tombak Haminjon dan merusak pondok mereka yang dihutan kemenyan, misalnya kera dan beruang madu. Bahkan Beruang madu pernah masuk ke perkampungan dan mengobrak-abrik isi rumah. Ditambahkan juga bahwa lahan yang sudah dirusak dan ditebangi oleh PT TPL yang merupakan milik masyarakat adat Pandumaan-

Page 3: Tulisan dr prakarsa 09 10-2011-03

Sipituhuta kurang lebih 400 ha. Selesai mendengar dan menggali informasi dari masyarakat, diskusi dilanjutkan dengan membahas rencana kunjungan lapangan bersama masyarakat dengan utusan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Kunjungan lapangan ini ditujukan untuk melihat realitas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh TPL di kawasan Hutan adat/kemenyan masyarakat.

Kunjungan LapanganSetelah selesai diskusi, Suhano dan Vitri dari Kementrian Lingkungan Hidup, Marco Panggabean dan Halomoan Manullang dari Dinas Kehutanan Humbahas bersama masyarakat mewakili Desa Pandumaan, Desa Sipituhuta, desa Sihas Dolok 1 dan Desa Simataniari, bersama pergi ke Tombak haminjon (hutan kemenyan) milik masyarakat. Kegiatan ini bertujuan mengklarfikasi dan memverifikasi pelaporan masyarakat kecamatan Parlilitan mengenai dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas TPL.

Daerah yang kami tuju adalah tombak haminjon milik Desa Pandumaan. Kami melalui jalan bukaan TPL di sektor Tele. Sekitar 100 meter sebelum tiba di kantor TPL, terlihat timbunan kayu yang menggunung. Di lokasi itu tertera nama-nama plank merk sawmil. “Entah apa yang difikirkan orang-orang ini saat membabat hutan” fikirku.

Dari di kantor TPL, rombongan yang terdiri atas tiga mobil yaitu TPL, Kadishut Humbahas dan utusan KLH serta masyarakat masuk ke lokasi yang akan dituju yaitu Dolok Ginjang. Sepanjang perjalanan terlihat truk yang sedang mengangkat kayu alam. Diameter kayu-kayu itu mulai dari sekitar 30 cm hingga 1,5 meter. Menurut Pinus Sitanggang (Desa Simataniari) kayu-kayu ini adalah kayu yang sangat bagus. “Padahal untuk menumbuhkan pohon itu bukan butuhkan waktu yang sangat lama. Tapi mudah sekali TPL menebangnya” sahutnya.

Perjalanan kami melalui lokasi Aek Sulpi. Sejauh mata memandang yang ada hanya bekas penebangan pohon dan akar pohon yang tercerabut dari tanah. Di lokasi itu juga terlihat eucaliptus tumbuh sekitar ½ meter. Padahal menurut Arnold Lumban Batu daerah ini merupakan salah satu lokasi yang distampas. Stampas adalah perjanjian yang dibuat antara masyarakat, TPL, Kapolres Humbahas dan Dinas Kehutanan Humbahas bahwa dilokasi ini dilarang melakukan kegiatan. Dengan ditanamnya pohon eucaliptus, TPL telah melanggar kesepakatan stampas itu.

Diskusi dengan utusan dari KLH, Arnold Lumban Batu menceritakan bahwa burung sudah tidak ada lagi di lokasi TPL, monyet sering merusak pohon kemenyan bahkan beruang sering merusak tempat tinggal di hutan. Hal ini karena habitat asli hewan-hewan tersebut telah dirusak. “Tidak ada kehidupan yang diberikan eucaliptus ini untuk binatang di hutan” sahutnya.

Vitry menanyakan tentang perusahaan yang membiarkan satu-satu batang kemenyan tumbuh diantara eucaliptus dan dibuktikan dengan plangkat yang bertuliskan “Pohon Kemenyan ini dilindungi oleh TPL”. Arnold Lumban Batu menjelaskan apa yang ditanyakan oleh Vity dengan mengatakan “membiarkan pohon kemenyan tumbuh tanpa berdampingan dengan kayu alam hanya tinggal menunggu waktu hingga kemenyan itu mati. Ia menunjuk pohon-pohon kemenyan yang sudah mati yang berada diantara eucaliptus dan penebangan pohon sebagai bukti”.

Page 4: Tulisan dr prakarsa 09 10-2011-03

Perjalanan kami lanjutkan ke lokasi Dolok Ginjang, menurut pekerja lapangan TPL tempat itu bernama Kuari 7 (baru) tempat pengambilan batu untuk pengersan jalan di lokasi konsisi TPL. Menurut masyarakat di tempat itu merupakan lokasi dimana dinamit diledakkan. Namun pihak TPL sendiri tidak mengakui peledakan itu. Ama Liston Lumban Gaol, salah satu perwakilan masyarakat Pandumaan yang kami temui di tengah jalan menuju Dolok Ginjang mengatakan bahwa mereka baru mengusir pekerja TPL yang mengoperasikan alat berat pengeruk batu di lokasi tersebut. Hal ini juga diakui oleh staf lapangan TPL.

Penggunaan lokasi tersebut untuk penggalian batu dijelaskan staff lapangan TPL, bahwa mereka telah menandatangani penyerahan lahan dengan seorang warga dari Desa Aek Nauli yang menyatakan bahwa lokasi itu adalah miliknya. Penyerahan inipun diketahui oleh Kepala Desa Aek Nauli 1 Kecamatan Pollung. Namun menurut Ama Liston bahwa warga tersebut hanya mengelola tanah ini. “Lokasi ini adalah perbatasan hutan kemenyan milik masyarakat Pargamanan Kec.Parlilitan dengan hutan kemenyan milik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, Kec.Pollung” serunya. Ia juga mengatakan bahwa warga tersebut telah memina maaf kepada masyarakat Pollung karena telah menjual hutan kemenyan pada pertemuan bersama Pansus DPRD Humbahas, Kepala Desa dari 9 Desa di Pollung pada tanggal 26 September 2011.

Dalam perjalanan pulang kami melihat banyak anak sungai yang hampir kering dan kami menyampaikan kepada utusand ari KLh bahw hal tersebut karena tidak ada lagi hutan alam karena sudah tergantikan eucaliptus yang terkenal rakus air. Hasil dari kunjungan ini perwakilan masyarakat yang ikut berharap bahwa ada laporan yang berpihak terhadap masyarakat atas apa yang mereka alami. Harapan besar atas tersampaikannya informasi kerusakan yang ditimbulkan oleh TPL ini dapat benar-benar ditindak lanjuti dengan baik dan serius sehingga masyarakat tidak lagi merasa dirugikan dan dikorbankan hanya untuk kepentingan pengusaha semata.

Foto 1 : Anak sungai yang mengeringFoto 2 : Lokasi Dolok Ginjang yang diledakkan oleh TPL