widyadari oktober 2014

Upload: anonymous-t4lnuzt

Post on 21-Feb-2018

274 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    1/297

    i

    Pengantar Redaksi

    IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu

    pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan

    wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.

    Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil

    mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit

    dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan

    pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17

    Tahun XI April 2015.

    Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi

    ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan

    pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan

    widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp

    PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP

    PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.

    Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yangbaik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik,

    dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.

    Redaksi

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    2/297

    iii

    DAFTAR ISI

    Pengantar Redaksi ............. ............ ......... ............. ............ ......... ....... i

    Daftar Isi ........... ............. ......... ............ ............. ......... ............. ....... ii

    Peran Kepala Sekolah Terhadap Guru Bimbingan dan Konsling(Konselor)

    Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, M.Pd ............ ............. ......... ............ ...... 1

    Konseptualisasi Desain dan Pendekatan Kurikulum

    Pendidikan Vokasi pada Abad 21Dr. I Made Darmada, M.Pd............ ............ ......... ............. ............. .... 18

    Penerapan Pendekatan Kontekstual denganMetode Observasi untukMeningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi di Kalangan SiswaKelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014

    Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd ............ ............. ......... ............. ......... 36

    Pengaruh Risiko Perusahaan dengan Konservatisma Akuntansi

    Putu Diah Asrida, SE., Ak., M.Si .................... ............ ........... .......... 51

    Efektivitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan untukMeningkatkan Perilaku Sosial Siswa (Studi Kuasi Eksperimen

    terhadap Siswa Kelas X SMA Laboratorium (Percontohan)UPI Bandung)

    Putu Agus Semara Giri, S.Pd., M.Pd............ ............ .......... ............ .... 62

    Beberapa Problematika Dan Kontroversi Seputar PenggunaanMixed Method(Metode Campuran) dalam Penelitian

    Dr. I Wayan Gunartha, M.Pd. ............ ............ ......... ............. ............ . 91

    Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan KeterampilanMenulis Puisi Siswa Kelas Viic SMP Negeri 2 Bebandem Semester 2

    Tahun Pelajaran 2014/2015Drs.I Wayan Kerti, M.Pd ............. ............. ......... ............ ............. ...... 109

    Efektivitas Psychological First Aiddalam Mengurangi GejalaKecemasan pada Penyintas Kecelakaan Kendaraan BermotorI Made Mahaardika, SH., M.Psi ............ ............. ......... ............. ......... 122

    Re-Brandingdan Model Aisas dalam Membangun

    Kesetiaan Pelanggan Es Krim Merek MagnumDra. Ni Nyoman Murniasih, M.Erg, dan Ni Wayan Karlini .... .... .... .... .. 142

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    3/297

    iv

    Penerapanpembelajaran Bioteknologi melalui Fermentasi

    Jerami Padi (Oryza Satival.)Menggunakan LarutanBio Casuntuk Pakan Ternak Ruminansia

    Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si dan Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd ... 158

    Program Intervensi untuk Meningkatkan Percaya Diri SiswaKadek Suhardita ............ ............ ......... ............. ............ .......... .......... 175

    Implementasi Model Collaborative Teamwork Learning (MCTL)untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Fisika

    Siswa Kelas Xi Mipa 4 Sma Negeri 1 TampaksiringTahun Pelajaran 2014/2015

    Ngakan Ketut Tresna Budi .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 197

    Peningkatan Kompetensi dan Profesional Guru melaluiPenelitian Tindakan Kelas.

    Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si ............ ............. ......... ............. ......... 209

    Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung Yang Exis DalamBentuk ,Fungsi Dan Makna

    Luh Putu Pancawati ......................................................... 221

    Penerapan Metode Inkuiri Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi BelajarIPS Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 9 Denpasar

    Tahun pelajaran 2013/2014Ni Wayan Widi Astuti .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 229

    Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan

    (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/KoperasiFPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014.

    Ni Wayan Ary Rusitayant i............. ............. ......... ............ ............. .... 240

    Pengaruh Komunikasi dari Bawahan Terhadap Atasan

    (upward communication) untuk motivasi karyawanPutu Dessy Fridayanthi ........... ............. ......... ............ ............. ......... . 248

    Pelatihan Jump Shoot dengan awalan Passing dan awalan Drible 10 repetisi 5set terhadap ketepatan Jumpt Shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring

    Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi ............ ............ ......... ............. ............ . 273

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    4/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    1

    PERAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP

    GURU BIMBINGAN DAN KONSLING ATAU KONSELOR

    Oleh:Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, MPd.

    Dosen FIP. IKIP PGRI Bali

    ABSTRACT

    Guidance teacher and counseling or counselor as a professional educator is a

    bachelor (S-1) in education of guidance and counseling department and hascompleted the teacher professional education program guidance and counseling or

    counselor (PPG LB/K), which provides expert guidance and counseling services,while individuals who receive guidance and counseling services are called counselee.

    The existence of guidance teacher and counseling or counselor in the nationaleducation system is expressed as one of educational qualifications, in line with the

    qualifications of teachers, lecturers, learning-educators, tutors, lecturers, facilitatorsand instructors (Law no. 2 20/2003, Article 1, paragraph 6). It is believed that the

    principals support in the implementation and management guidance and counselingprogram in schools is essential. The relationship between the principle and counselor

    is very important especially in determining the effectiveness of the program.Principals who understand well the guidance and counseling profession will: (1)

    giving credence to counselors and maintaining regular communication in variousforms, (2) understanding and formalizing the role of the counselor, and (3) placing

    the staffs of the school as a team or partners.

    Key words: make the principles understand; freeing the counselor from irrelevant

    task; counselor responsibility; building standard supervision

    PENDAHULUAN

    Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi

    kependidikan mampu menampilkan kinerja atas penguasan kompetensi akademik

    kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai

    bidang ilmunya. Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam

    sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar

    dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan

    instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan

    kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    5/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    2

    menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki

    konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang

    lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, di dalam naskah ini

    konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor

    mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan

    praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan

    Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga

    pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan

    Konseling atau Konselor

    1.1. Penegasan Konteks Tugas Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

    Pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal telah

    dipetakan secara tepat dalam kurikulum SMP dan SMA 1975, bahkan juga pada

    Kurikulum SD 1976, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan bimbingan

    dan penyuluhan, dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam

    kurikulum, sebagaimana tampak pada gambar 1.

    WilayahBimbingan &

    Konseling ygMemandirikan

    WilayahManajemen& Kepemimpinan

    WilayahPembelajaranyg Mendidik

    Manajemen& Suvervisi

    PembelajaranBidangStudi

    Bimbingan &

    Konseling

    Tujuan:Perkem-banganOptimalTiapPesertaDidik

    Gambar 01Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling

    Dalam Jalur Pendidikan Formal

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    6/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    3

    Pada konteks kurikulum, sesungguhnya penanganan pengembangan diri

    lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui

    pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang

    dapat dan oleh karena itu perlu dirajutkan ke dalam pembelajaran yang

    mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan.

    Meskipun demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor memang juga

    diharapkan untuk berperan-serta dalam bingkai layanan yang komplementer

    dengan layanan guru, bahu membahu dengan guru termasuk dalam pengelolaan

    kegiatan pengembangan diri dan ekstra kurikuler. Persamaan, keunikan, dan

    keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru

    bimbingan dan konseling atau konselor dapat digambarkan seperti tampak pada

    gambar 02, di mana materi pengembangan diri berada dan merupakan wilayah

    komplementer antara guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling

    atau konselor.

    PERKEMBANGAN OPTIMAL PESERTA DIDIK

    Pemenuhan standar Kemandirian

    Peseta Didik; Perwujudan Diri Secara

    Akademik, Vokasional, Pribadi dan

    Sosial melalui Bimbingan dan Konseling

    yang Memandirikan

    Pemenuhan Standar Kompetensi

    Lulusan; Penumbuhan Karakter yang

    Kuat serta Penguasaan hard skillsdan

    soft skillsmelalui pembelajaran yang

    mendidik

    Wilayah Layanan

    Bimbingan dan Konseling

    yang Memandirikan

    Penghormatan kepada

    Keunikan dan

    Komplementaritas

    Layanan

    Wilayah Pembelajaran

    yang Mendidik

    Gambar 02

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    7/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    4

    Keunikan Komplementalitas Wilayah Pelayanan

    Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

    1.2. Ekspektasi Kinerja Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

    dikaitkan dengan

    Jenjang Pendidikan

    Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sebagai pendidik

    profesional adalah Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling

    dan telah menyelesaikan program Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan

    Konseling atau Konselor (PPG BK/K) yang memberikan layanan ahli bimbingan

    dan konseling, sedangkan individu yang menerima pelayanan bimbingan dan

    konseling disebut Konseli. Meskipun sama-sama berada dalam jalur pendidikan

    formal, perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya

    kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap

    jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan

    jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas

    perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain,

    perbedaan yang lebih signifikan, juga tampak pada sisi pengaturan birokratik,

    seperti misalnya di Taman Kanak-kanak sebagian besar tugas guru bimbingan

    dan konseling atau konselor ditangani langsung oleh guru kelas taman kanak-

    kanak. Sedangkan di jenjang Sekolah Dasar, meskipun memang ada

    permasalahan yang memerlukan penanganan oleh guru bimbingan dan konseling

    atau konselor, namun cakupan pelayanannya belum menjustifikasi untuk

    ditempatkannya guru bimbingan dan konseling atau konselor di setiap Sekolah

    Dasar, sebagaimana yang diperlukan di jenjang sekolah menengah (SMP/MTs,

    SMA/MA, SMK).

    1.3. Keunikan dan Keterkaitan Tugas Guru Mata Pelajaran dan Guru

    Bimbingan dan

    Konseling atau Konselor

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    8/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    5

    Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan

    optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh

    guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan tenaga

    pendidik dan kependidikan lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu masing-

    masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung

    realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan

    fungsional kemitraan antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan

    guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan

    (referral). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru

    pada saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan konseling atau

    konselor untuk penanganannya, demikian pula masalah yang ditangani guru

    bimbingan dan konseling atau konselor dirujuk kepada guru untuk

    menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata

    pelajaran atau bidang studi. Masalah kesulitan belajar peserta didik

    sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.

    Ini berarti di dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsi-

    fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru, dan sebaliknya,

    fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian guru

    bimbingan dan konseling atau konselor.

    Secara rinci keterkaitan dan kekhususan pelayanan pembelajaran oleh guru

    mata pelajaran dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh guru bimbingan dan

    konseling atau konselor dilukiskan dalam Tabel 01.

    Tabel 01

    Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru Mata Pelajaran dengan

    Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

    Dimensi Guru Mata PelajaranGuru Bimbingan dan Konseling atau

    Konselor

    1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Pendidikan Khususnya Sistem Pendidikan Formal

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    9/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    6

    Dimensi Guru Mata PelajaranGuru Bimbingan dan Konseling atau

    Konselor

    Formal2. Tujuan Umum Pencapaian tujuan pendidikan

    nasional

    Pencapaian tujuan pendidikan nasional

    3. Konteks Tugas Pembelajaran yang mendididk

    melalui mata pelajaran dengan

    Skenario Guru

    Pelayanan yang memandirikan dengan

    skenario konseli-guru bimbingan dan

    konseling atau konselor.

    Fokus kegiatan Pengembangan kemampuan

    penguasaan bidang studi dan

    penyelesaian masalah-

    masalahnya.

    Pengembangan potensi diri bidang pribadi,

    sosial, belajar, karier, dan penyelesaian

    masalah-masalahnya.

    Hubungan

    kerja

    Alih tangan (referral) Alih tangan (referral)

    4. Target Intervensi:

    Individual Minim Utama

    Kelompok Pilihan strategis Pilihan strategis

    Klasikal Utama Minim

    5. Ekspektasi Kinerja:

    Ukurankeberhasilan

    - Pencapaian StandarKompetensi Lulusan

    - Lebih bersifat kuantitatif

    - Kemandirian dalam kehidupan

    - Lebih bersifat kualitatif yang unsur-unsurnya saling terkait (ipsatif)

    Pendekatan

    umum

    PemanfaatanInstructional

    Effects&Nurturant Effects

    melalui pembelajaran yang

    mendidik.

    Pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli

    dalam rangka pengatasan masalah pribadi,

    sosial, belajar, dan karier. Skenario tindakan

    merupakan hasil transaksi yang merupakan

    keputusan konseli.

    Perencanaantindak

    intervensi

    Kebutuhan belajar ditetapkan

    terlebih dahulu untuk

    ditawarkan kepada peserta

    didik.

    Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan

    dalam proses transaksional oleh konseli,

    difasilitasi oleh guru bimbingan dan konseling

    atau konselor

    Pelaksanaantindak

    intervensi

    Penyesuaian proses

    berdasarkan respons

    ideosinkratik peserta didik

    yang lebih terstruktur.

    Penyesuaian proses berdasarkan respons

    ideosinkratik konseli dalam transaksi makna

    yang lebih lentur dan terbuka.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    10/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    7

    Pembahasan

    2.1. Peran Kepala Sekolah dalam memahami Langkah-langkahPenegasan Indentitas Profesi

    Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman

    terhadap bimbingan dan ko nseling, dan memperhadapkan konselor kepada

    konflik, ketidak-konsistenan, dan ketidak-kongruenan peran. Untuk

    mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan

    pe negasan peran dan ident itas pro fesi. Adapun langkah-langkah ter se bu t

    adalah sebagai berikut:

    a. Memahamkan Para Kepala Sekolah.

    Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan

    program bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial. Hubungan dengan

    kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan

    keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan

    dan konseling akan: (1) memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara

    komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk, (2) memahami dan merumuskanperan konselor, dan (c) menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja.

    b. Membebaskan Konselor dari Tugas yang Tidak Relevan.

    Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan

    mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi

    petugas piket, perpustakaan, koperasi, dan sebagainya. Tugas-tugas ini tidak relevan

    dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan

    konseling dapat dilaksanakan secara profesional.

    c. Mempertegas Tanggungjawab konselor.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    11/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    8

    Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi

    tanggungjawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus

    diganti dengan sebutan Konselor. (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No.

    20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar

    belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus

    sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan layanan bimbingan dan

    konseling. Pemberian kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan

    konseling didasarkan kepada lisensi dan kredensialisasi oleh ABKIN, sesuai

    dengan perundang dan peraturan yang berlaku.

    d.

    Membangun Standar Supervisi.

    Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi

    bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif.

    Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar

    belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan

    konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.

    Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang

    substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling, melainkan hal-hal teknis

    administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya

    membina keterampilan profesional konselor seperti: (1) memahirkan keterampilan

    konseling, (2) belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, (3) mempraktekkan

    kode etik profesi, (4) mengembangkan program komprehensif, (5) mengembangkan

    ragam intervensi psikologis, dan (6) melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.

    2.2. Apa yang dilakukan Konselor Profesional

    Dengan melihat kecendrungan kehidupan dalam masyarakat dan arahparadigma konseling, seorang konselor profesional akan melakukan/dipersyaratkan

    untuk (Sunaryo, 2003: 12):

    a. Menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan ragam teknik

    assesment perilaku dan lingkungan.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    12/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    9

    b. Memiliki kemampuan mengantisipasi sosok perkembangan yang diharapkan

    dan menguasai keterampilan psikologi untuk mengembangkan lingkungan

    belajar.

    c. Memiliki kompetensi tinggi dalam memahami kompleksitas interaksi individu

    dan lingkungan dalam ragam konteks sosio-kultural.

    d. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada

    intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan lintas budaya.

    e. Menguasai strategi assesment lingkungan dalam kaitannya dengan

    keberfungsian psikologis individu.

    f. Menguasai kompetensi teknologi informasi.

    g. Memberikan layanan dalam tim yang akan mengurangi perdebatan wilayah

    garapan dan duplikasi upaya,

    h. Memberikan layanan konsultatif yang bersifat privat dan indipenden dalam

    ragam seting.

    i. Merancang dan mengembangkan strategi intervensi dan lingkungan

    perkembangan berbasis internet.

    2.3. Isu Isu ProfesionalKekuatan eksisitensi suatu profesi bergantung kepada public trust (Biggs &

    Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya

    dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan

    memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust

    akan melanggengkan profesi karena dalam public trust terkandung keyakinan bahwa

    profesi dan para anggotanya itu: (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang

    disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (b) ada perangkat aturan untuk

    mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahtraan public, dan (c) para

    anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang kepada

    standar profesi.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    13/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    10

    Diakui bahwa di Indonesia public trust terhadap profesi konseling ini masih

    sangat lemah, sehingga identitas profesi konseling-pun masih sangat lemah. Upaya

    upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat identitas profesi konseling di

    Indonesia antara lain :

    a. Menata organisasi asosiasi profesi konseling (ABKIN) menjadi betul-betul

    sebagai organisasi profesi yang dapat menumbuhkan public trust.

    b. Menetapkan tingkat pendidikan minimum untuk persyaratan konselor

    profesional, misalnya tingkat pendidikan program Magister dan atau melalui

    pendidikan profesi konselor.

    c. Kredensial (penganugrahan surat kepercayaan) dilakukan oleh organisasi

    profesi dengan standar assesment secara lokal dan nasional.

    d. Pemberian kesempatan kepada para konselor yang memenuhi standar profesi

    untuk melaksanakan praktek privat dan indipendent di masyarakat.

    e. Menata ulang dan memasyarakatkan kode etik profesi termasuk kode etik

    untuk konseling jarak jauh atau cyber counselling.

    f. Memperkokoh kesejawatan antar profesi yang terkait dengan helping

    relationship seperti: psikologi, dokter, pekerja sosial, dsbnya.

    2.4. Tantangan dan Arah Profesional Bimbingan dan Konseling

    Esensi tantangan dalam profesional bimbingan dan konseling terletak dalam

    pemantapan identitas profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Krisis identitas

    akan menimbulkan kesulitan pemantapan unjuk kerja profesional di kalangan orang-

    orang yang mengeluti dunia bimbingan dan konseling. Pemantapan identitas profesi

    bimbingan dan konseling memerlukan pemantapan dalam segi-segi sebagai berikut:

    a. Wawasan profesional yang akan menjadi dasar dalam melakukan timbangan

    profesional (professional judgment) dalam menentukan suatu tindakan

    layanan. Apakah suatu tindakan itu profesional atau tidak profesional antara

    lain terletak timbangan profesional (professional judgment) yang mendasari

    tindakan itu.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    14/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    11

    b. Standarisasi tingkat pendidikan. Jika eksistensi bimbingan dan konseling yang

    tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.

    20 tahun 2003 dan perangkat peraturannya serta tuntutan yang terkandung

    dalam SK Menpan No. 26/89 tahun 2003 ingin dilaksanakan secara optimal

    dan profesional, maka para guru pembimbing haruslah mereka yang

    berkelayakan untuk melaksanakan tugas itu. Ini berarti perlu adanya standar

    minimal tingkat pendidikan yang relevan yang harus dipenuhi oleh para guru

    pembimbing.

    c. Pemantapan bidang atau fokus garapan. Wilayah garapan bimbingan dan

    konseling masih dirasakan sebagai wilayah marginal yang ditarik oleh dua

    kutub, yakni kutub pekerjaan guru dan kutub pekerjaan ahli psikologi klinis.

    Kondisi ini menimbulkan krisis identitas bimbingan dan konseling.

    Pemantapan unjuk kerja hanya mungkin jika pemantapan bidang/fokus

    garapan ini telah tercapai, kendatipun pemantapan bidang garapan ini tidak

    merupakan titik akhir tetapi lebih merupakan sesuatu yang berkembang secara

    berkelanjutan. Pemantapan bidang garapan ini memerlukan kajian konseptual

    maupun emperik atas dasar penelitian. Konsep pendekatan atau orientasi

    perkembangan dalam bimbingan dan konseling adalah suatu konsep yang

    dipandang dapat membantu memantapkan fokus garapan bimbingan dan

    konseling.

    d. Pemantapan pendekatan dan metodologi intervensi. Keragaman tatanan dan

    populasi layanan sebagai peluang pemantapan identitas profesional,

    menghendaki pendekatan dan metode intervensi yang dinamik dan sejalan

    dengan isu-isu yang terjadi dalam perkembangan manusia. Metode intervensi

    bisa dalam bentuk konsultasi dan latihan, dan menggunakan media tertentu di

    samping memberikan layanan langsung kepada individu. Pendekatan dan

    intervensi kelompok tampaknya perlu lebih dimantapkan sebagai upaya

    mewujudkan fungsi preventif-pengembangan yang menjadi fungsi utama

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    15/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    12

    bimbingan dan konseling. Keterampilan mengajar dalam arti membantu

    individu terampil dalam berpikir, memahami diri dan lingkungan, serta

    memilih dan mengambil keputusan merupakan dimensi keterampilan

    profesional yang perlu dimantapkan.

    e. Pemantapan aturan main profesi berupa kode etik. Salah satu faktor yang

    menyebabkan banyaknya intervensi pihak luar terhadap pelaksanaan

    layanan bimbingan dan konseling karena ketidak jelasan kode etik profesi ini.

    Kode etik merupakan perlindungan profesi dan sekaligus juga merupakan

    perlindungan konsumen profesi itu. Yang lebih penting lagi ialah

    implementasi kode etik oleh para anggota profesi, yang ditunjukkan dalam

    kemampuan mengatur diri (self-regulation) baik sebagai seorang pribadi

    maupun sebagai seorang profesional dan anggota kelompok profesi. Perilaku

    mengatur diri sendiri atas dasar kode etik profesi inilah yang akan

    menumbuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap profesi

    bimbingan dan konseling.

    Sedangkan arah peningkatan unjuk kerja profesional bimbingan dan konseling

    menggambarkan adanya kecendrungan pergeseran-pergeseran konseptual maupun

    praktek dalam pelaksanaan layanan profesional bimbingan dan konseling.

    Kecendrungan pergeseran tersebut dapat diidentifikasikan dalam hal sebagai berikut:

    a. Pergeseran dari bimbingan dan konseling sebagai pekerjaan ke arah sebagai

    suatu profesi dengan ditandai adanya pengakuan secara formal tentang

    eksistensi bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan nasional.

    b. Pergeseran dari orientasi terapeutis-klinis ke arah orientasi perkembangan

    dengan menjaga martabat individu dalam konteks sosial budaya.c. Pergeseran dari populasi layanan yang terbatas kepada populasi layanan yang

    lebih luas dalam berbagai tatanan dan situasi.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    16/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    13

    d. Pergeseran dari teknik dan pendekatan mekanistik ke arah pendekatan yang

    dinamik, fluid, teknologis, sesuai dengan isu-isu yang muncul dalam

    perkembangan manusia.

    Kecendrungan pergeseran itu menghendaki peningkatan unjuk kerja

    profesional bagi guru pembimbing (konselor) dalam beberapa arah sebagai berikut:

    a. Pemerolehan kesadaran identitas profesional yang kuat dengan ditandai

    pemerolehan tingkat pendidikan minimal dan sertifikasi.

    b. Predikat konselor didasarkan atas sertifikasi yang dimiliki seseorang.

    Sertifikasi diberikan olehLembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan(LPTK)

    dalam program yang disiapkan secara khusus untuk itu. Program studi

    Bimbingan dan Konseling yang ada di LPTK adalah program yang

    terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga konselor profesional.

    c. Kelayakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan konselor didasarkan

    pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)

    bersama-sama ABKIN. Keterlibatan ABKIN dalam melakukan akreditasi

    dipandang penting karena ABKIN adalah institusi yang menetapkan

    kompetensi profesional yang harus dicapai melalui program pendidikan

    konselordi LPTK. Dengan sertifikasi dan akreditasi ini pekerjaan bimbingan

    dan konseling akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor

    profesional yang bersetifikat.

    d. Kredensial adalah penganugrahan kepercayaan kepada konselor professional

    yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan

    memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan professional secara

    indipenden kepada masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensidiberikan oleh ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku

    untuk masa waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk

    menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan

    atas hasil asesmen nasional yang dilakukan ABKIN melalui Badan

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    17/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    14

    Akreditasi dan Kredensialisasi Konselor Nasional. Seorang Konselor tidak

    secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali atas dasar permohonan dan

    melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.

    Simpulan

    Mengkaji kualifikasi profesional petugas bimbingan (konselor) di Indonesia

    tidak dapat lepas dari eksistensi profesi bimbingan dan konseling di dalam sistem

    pendidikan Indonesia. Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia

    bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang

    beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur,

    berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri,

    cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1).

    Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa

    pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup

    yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya

    membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas

    dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang

    pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses

    berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang

    bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat

    untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana

    seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti

    bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.

    Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun

    1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia

    Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu

    pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    18/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    15

    semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat

    individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan umum harus

    sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia

    Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik)

    memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola

    perilaku yang dipelajari melalui proses pendidikan umum.

    Strategi upaya khusus yang dapat menyentuh kehidupan individual itu adalah

    melalui layanan profesi bimbingan dan konseling. Sejalan dengan perkembangan

    bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia

    terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan

    Nasional. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu

    kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem

    Pendidikan Nasional merupakan prestasi pucak dalam sejarah bimbingan dan

    konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN (Asosiasi Bimbingan

    Konseling Indonesia) ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa Konselor

    adalah Pendidik , dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah

    Bimbingan dan Konseling.

    Pada Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan

    Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasi langkah lanjut

    profesional bimbingan dan konseling melalui Standarisasi Profesi. Standarisasi

    tidak hanya secaraNasionaltetapi juga kearah standarInternasional, yang mencakup

    etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini

    di awali pada tahun 2002, dengan pengembangan Dasar-Standarisasi Profesi

    Konseling Indonesia, sebagai kerjasama antara ABKIN dengan Dirjen Dikti.

    Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Konvensi

    Divisi-Divisi ABKIN tahun 2009 dikaji dan dikembangkan terus standarisasi

    profesional konseling untuk mencapi tujuan pendidikan nasional.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    19/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    16

    Daftar Pustaka

    Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi StandarKompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.

    Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

    Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-undang Republik Indonesia Nomor

    20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen

    Pendidikan Nasional

    Departemen Pendidikan Nasional, 2005, RENSTRA Departemen Pendidikan

    Nasional 2005-2009, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

    Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Peraturan Menteri Pendidikan NasionalNomor 16 Tahun 2006 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru,

    Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

    Directorate General of Higher Education, Ministry of Education, 2003, Higher

    Education Long Term Strategy 2003-2010. Jakarta: Directorate General of

    Higher Education Ministry of Education Republic of Indonesia

    Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan, 2003, Pedoman Penjaminan

    Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Pembinaan

    Akademik dan Kamahasiswaan. Ditjen Dikti. Depdiknas

    Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan PendidikanTinggi. 2003. Naskah Akademik Standar Kompetensi Guru SD-MI. Jakarta:Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan

    Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, DepartemenPendidikan Nasional.

    Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). 2005. The Professional Counselor

    Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:AACD.

    Faiver, C., S. Eisengart, dan R. Colonna. 2004. The counselor interns handbook.

    (3rd Edition). Belmont, CA: Brooks/Cole

    Gardner, H. 1993. Frame of Mind: The theory of multiple intelligences. N.Y.: BasicBooks.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    20/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    17

    Gysbers, N. C. dan P. Henderson. 2006. Developing and Managing your School

    Guidance and Counseling Program (4th Ed). Alexandria, VA: ACA.

    Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Cultural Diversity Competence: aProcess for Understanding and Practice. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole.

    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

    (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara

    Nomor 4496)

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang StandarKualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor

    Schone, DA. 1983. The Reflective Practitioner: how professionals think in action.

    New York: Basic Book, Inc., Publishers.

    Slavin, Robert E, 2006, EducationalPsychology: Theory and Practice. 8th. Boston:

    Allyn and Bacon

    Sternberg, RJ. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York:Cambridge University Press.

    T.Raka Joni 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah Naungan UU No.

    14 Tahun 2005, Universitas Negeri Malang

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    21/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    18

    KONSEPTUALISASI DESAIN DAN PENDEKATAN KURIKULUMPENDIDIKAN VOKASI PADA ABAD 21

    Oleh

    Dr. I Made Darmada, [email protected]

    ABSTRACT

    Vocational education is one type of higher education system. Vocational education

    has a special characteristic that is focusing on preparing the student to work in aspecific field. Therefore, a vocational education cannot be separated from the

    world of work because world of work is considered as link that should not bebroken from the series of vocational education system. A world of work and a

    vocational education are likened as a moving object with its shadows whichcannot be divided or moving separately. A vocational education is built and

    developed by carefully paying attention to the needs and situations in the world ofwork to satisfy the developing market demand. A vocational education cannot

    stand apart from the development of world of work includes the development and

    utilization of technology and its impact to paradigm demands, attitudes, and

    continuous

    skills.

    Key Words: Vocational, Curriculum, Higher Education

    1. PENDAHULUAN

    Dellors dalam laporan Komisi Pendidikan di abad 21 untuk

    UNESCO (1998:22) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat

    perubahan besar di dunia pendidikan tersebut, dipakai dua basis landasan,

    berupa : Empat pilar pendidikan: (i) learning to know, (ii) learning to do

    yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan

    keterampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard

    Classification of Education) dan ISCO (International Standard

    Classification of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan

    berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di

    kegiatan ekonomi informal, (iii) learning to live together (withothers), dan

    (iv) learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning

    throughoutlife).

    Perubahan-perubahan mendasar pendidikan yang berlangsung di

    abad 21 ini, akan meletakkan kedudukan pendidikan sebagai: (i) lembaga

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    22/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    19

    pembelajaran dan sumber pengetahuan, (ii) pelaku, sarana dan wahana

    interaksi antara pendidikan tinggi dengan perubahan pasaran kerja, (iii)

    lembaga pendidikan sebagai tempat pengembangan budaya dan

    pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan (iv) pelaku, sarana dan

    wahana kerjasama internasional.

    ukuran survive atau tidaknya suatu negara. Kemampuan bersaing

    berkaitan dengan kemampuan manajemen, penggunaan dan penguasaan

    teknologi informasi (IT), dan sumber daya manusia (SDM).

    Diberlakukannya perjanjian General Agreement on Tariff and Trade

    (GATT) yang berkembang menjadi World Trade Organization (WTO),

    dibentuknya blok-blok perdagangan regional seperti European Common

    Market (ECM) lalu menjadi European Economics Community (EEC),

    North American Free Trade Area (NAFTA), Asean Free Trade Area

    (AFTA), dan Asia Pacific Economics Cooperation (APEC) merupakan

    wujud nyata era perdagangan bebas, liberal, dan terbuka.

    Hal lain yang membutuhkan kewaspadaan adalah tuntutan

    percepatan penciptaan Masyarakat ASEAN dalam Asean Economic

    Communitymenjadi tahun 2015 dari rencana tahun 2020, untuk Indonesia

    Malaysia, Filipina, dan Thailand. Konsekuensinya, akan terjadi aliran

    perdagangan dan jasa serta pekerja lintas batas. Para pencari kerja di

    ASEAN akan bersaing tidak lagi dengan sesama warga negara, tetapi

    dengan negara lain di ASEAN.

    Oleh karena itu, abad 21 merupakan peluang dan ancaman yang

    patut dicermati serta sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai

    hal seputaran desain dan pendekatan kurikulum pada pendidikan vokasi.

    Adapun permasalahannya dapat dirumuskan seperti berikut ini.

    2.

    Permasalahan

    Bagaimana desain dan pendekatan kurikulum dalam pendidikan

    vokasi pada abad 21?

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    23/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    20

    3.

    Dukungan Teori

    Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan vokasi memiliki

    prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Pendidikan vokasi akan efisien jika

    lingkungan di mana peserta didik dilatih merupakan replika

    lingkungan dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan vokasi yang

    efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan

    dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di

    tempat kerja. 3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih

    seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang

    diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa terjadinya perubahan

    dalam kualitas pendidikan masa depan. Perubahan tersebut antara lain:

    (1) perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan

    menjadi pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari

    pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran

    yang diindividualisasikan yang didesentralisasikan, (3) dari

    pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi

    pembelajaran seumur hidup dan (4) dari pengakuan diploma menjadi

    pengakuan kekuatan-kekuatan nyata.

    Pendidikan vokasi merupakan jenis pendidikan yang memiliki

    karakteristik khusus, yakni berorientasi kepada penyiapan peserta didik

    untuk bekerja dalam bidang tertentu. Untuk itu, pendidikan vokasi

    tidak dapat terlepas dari keterikatannya dengan dunia kerja, karena

    dunia kerja dianggap sebagai mata rantai yang tidak boleh putus dari

    suatu rangkaian sistem pendidikan vokasi. Dunia kerja dan pendidikan

    kejuruan ibarat benda yang bergerak dan bayangannya, keduanya tidak

    dapat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Pendidikan vokasi dibangun

    dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dan situasi

    dunia kerja untuk dapat memenuhi tuntutan pasar yang berkembang.

    Pendidikan vokasi tidak dapat menutup diri terhadap perkembangan

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    24/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    21

    yang terjadi di dunia kerja, termasuk perkembangan dan pemanfaatan

    teknologi dan dampaknya terhadap tuntutan keterampilan lulusannya.

    (Ivan, 2008)

    Dengan demikian, permintaan terhadap keterampilan kerja

    yang berubah dengan sangat dinamis itu harus selalu dicermati,

    dipantau, dan dijadikan sandaran atau rujukan untuk mengembangkan

    pendidikan kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran

    yang sesuai dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan

    upaya untuk menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah

    arus perubahan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang

    berdampak langsung kepada tuntutan pengetahuan, sikap,dan

    keterampilan lulusannya. Sejak Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini

    melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah

    memperkenalkan kebijakan link and match, dimana kebijakan ini

    dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG),

    (Wardiman, 1998).

    Pendidikan kejuruan (vokasi) tidak dapat dilepaskan dari

    perkembangan dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang

    marketable dilakukan oleh pendidikan kejuruan berdasarkan

    kebutuhan pasar (demand driven) melalui peningkatan kompetensi

    lulusan. Selain itu Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan

    sektor industri dan mengarah kepada pemberian solusi terhadap

    permasalahan ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan

    bebas yang menuntut kemampuan bersaing di tingkat nasional dan

    internasional. Oleh karena itu kompetensi menjadi hal yang sangat

    penting agar para lulusan dapat diserap di dunia kerja/industri.

    Berdasarkan Kepmendiknas No.045/U/2002 kurikulum pada

    perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Karena

    itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun dalam pendidikan

    kejuruan termasuk bagaimana penetapan dan bagaimana pengukuran

    kompetensinya.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    25/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    22

    Pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang diarahkan

    pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program

    pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4, maksimal

    setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan pendidikan vokasi

    akan mendapatkan gelar vokasi.

    (id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi).

    Pendidikan vokasi tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan

    Pemerintah (PP) 2004 yang merupakan :

    Merupakan pendidikan tinggi maksimal setara dengan program

    sarjana yang berfungsi mengembangkan peserta didik agar memiliki

    pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program diploma dalam

    rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Pasal 21).

    Merupakan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk

    mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang

    pekerjaann tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja (Pasal 22

    Ayat [1]).

    Menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan multimakna

    (berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan

    watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life skill

    (Pasal 22 Ayat [2]).

    Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan

    perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai

    dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja (Pasal 22 Ayat [3]).

    Pendidikan vokasi merupakan pendidikan keahlian terapan yang

    diselenggarakan di perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik,

    sekolah tinggi, institut dan universitas (Pasal 23 Ayat [1]).

    Kurikulum pendidikan vokasi merupakan rencana dan pengaturan

    pendidikan yang terdiri atas standar kompetensi, standar materi,

    indikator pencapaian, strategi pengajaran, cara penilaian dan

    pedoman lainnya yang relevan untuk mencapai kompetensi

    pendidikan vokasi (Pasal 27 Ayat [3]).

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    26/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    23

    Pendanaan pendidikan vokasi menjadi tanggung jawab bersama

    antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia kerja (dunia

    usaha/industri), dan masyarakat (Pasal 38 Ayat [1]).

    Peran serta masyarakat dalam pendidikan vokasi meliputi peranserta

    perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan

    organisasi kemasyarakatan (Pasal 39 Ayat [1]).

    Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan vokasi dapat menjamin

    kerja sama dengan lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di

    luar negeri (Pasal 40 Ayat [1]). (http://www.polteklampung.ac.id)

    Menurut pendapat Gill (2000:12) vocational education is

    distinguished from general general education by its higher cost of

    delivery, especially at the secondary level, and by the options it opens or

    closesat the secondary and postsecondary levels. pendidikan kejuruan

    dibedakan dari pendidikan umumkarena biaya pendidikan yang lebih

    tinggi, terutama pada tingkat menengah, dan oleh karena itu pilihan ini

    membuka atau menutup pada tingkat sekunder dan pasca menengah

    Menurut Ornstein (2004:10) bahwa A curriculum can be defined

    as a plan for action or a written document that includes strategies for

    achieving desired goals or ends. Kurikulum dapat didefinisikan sebagai

    suatu rencana untuk melakukan tindakan dari suatu dokumen tertulis yang

    mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau

    berakhirnya suatu program pembelajaran.

    Selain itu menurut Saylor dalam bukunya Ornstein ( 2004 : 10)

    yang berjudul Curriculum, Foundation, Principles, and Issues

    mendefinisikan kurikulum sebagai as a plan for providing sets of

    learning opportunities for person to be educated .

    Definisi kurikulum menurut Finch & Crunkilton (1999 : 11) adalah

    the sum of learning activities and experiences that a student has under

    the auspices or direction of the school

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    27/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    24

    Finch & Crunkilton (1997 : 23), memberikan penjelasan dalam

    proses pengembangan kurilulum pada pendidikan teknik dan vokasi

    seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

    Gambar 1. Pengembangan Kurikulum pada Pendidikan Vokasi

    Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum

    diantaranya, yaitu:

    a)

    Kurikulum untuk Pendidikan Vokasi

    (1). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232

    Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor

    232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum

    Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam

    Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum.

    berdasarkan tujuan belajar (1)Learning to know, (2) learning to do,

    (3) learning to live together, dan (4) learning to be. Berdasarkan

    pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam

    kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata.

    kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata KuliahKeilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian

    Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan

    (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).

    Planning The

    Curriculum

    - Establish a Decision

    making Proses

    - Collect and AssessSchool-related Data

    - Collect and Asses

    Community-related

    Data

    EstablishingCurriculum Content

    - Utilize Strategies toDetermine Content

    - Make CurriculumContent Decisions

    -Develop Curriculum

    Goals and Objectives

    Implementing TheCurriculum

    - Identify and SelectMaterials

    - Develop Materials

    - Select DeliveryStrategies

    - Assess theCurriculum

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    28/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    25

    Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi

    setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9

    berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil

    rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai

    berikut:

    Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232

    tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis

    kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.

    (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004)

    (2). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas

    No.045/U/2002

    Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang

    Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi

    adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang

    dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh

    masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan

    tertentu".

    Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang

    pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan

    ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan

    pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang

    muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi

    pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang

    kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan

    kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan,

    serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan,

    karena kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan

    tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

    SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat

    perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum

    pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    29/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    26

    ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang

    dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-

    elemen kompetensi.

    Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah

    pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti

    dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan

    nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama

    sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi

    pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas

    nomor 045:

    Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama,

    bersifat:

    a. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan

    b.

    acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi

    c.berlaku secara. nasional dan internasional

    d. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di

    masa mendatang.

    e.

    kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi,

    masyarakat profesi, dan pengguna lulusan

    Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi

    pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut

    dengan kompetensi utama. (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18

    Oktober 2004).

    Ada banyak model pengembangan kurikulum yang telah dipikirkan

    dan dikemukakan banyak orang. Menurut Ahmad dkk (1997: 51-56) ada

    beberapa model yang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum,

    diantaranya model yang dikemukakan oleh Rogers Zais.

    a)Model Pengembangan Kurikulum Rogers

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    30/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    27

    Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari

    model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Model-

    model tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang

    berikutnya sebenarnya merupakan penyempurnaan dari yang

    sebelumnya.

    b)

    Model Pengembangan Kurikulum Robert Zais S.

    Zais (1976 : 91) mengemukakan delapan macam model pengambangan

    kurikulum. Model tersebut sebgian merupakan model yang sering

    ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Adapun

    beberapa model tersebut antara lain :

    1)Model Administratif.

    Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang

    paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan

    kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan

    menggunakan prosedur administrasi. Model administrative/ disebut

    juga model garis staf atau model dari atas ke bawah. Kegiatan

    pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang

    berwenang yang membentuk panitia pengarah. Biasanya terdiri dari

    pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia

    pengarah tersebut diarahkan tugas untuk merencanakan, menyiapkan

    rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan.

    Setelah kegiatan tersebut selesai, Panitia pengarah membentuk

    kelompok kerja sesuai keperluan. Para anggotanya biasanya adalah

    staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok ini bertugas

    untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan

    pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut

    direvisi Panitia Pengarah, menguji coba kemudian memutuskan

    pelaksanaannya. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan

    dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    31/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    28

    berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka

    model ini disebut juga model Top-Down. Dalam pelaksanaannya,

    diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan

    beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.

    2)

    Model Grass Root

    Model pengembangan ini merupakan lawan dari model

    pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan

    datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah.

    Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam

    sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,

    sedangkan model grass root akan berkembang dalam sistem

    pendidikan yang bersifat desentralisasi.

    Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut

    adanya kerja antarguru, antar sekolah secara baik, disamping harus

    juga ada kerjasama antar pihak diluar sekolah khususnya orangtua

    murid dan masyarakat.

    3)ModelBeauchamp

    Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh GA.

    Beauchamp, yaitu mengemukakan lima langkah penting dalam

    pengambilan keputusan pengambangan kurikulum, yaitu :

    1)Menentukan arena pengambangan kurikulum yang dilakukan,

    yaitu berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau

    nasional.

    2)

    Memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum yang

    terdiri atas spesialis kurikulum, kelompok professional, penyuluh

    pendidikan dan orang awam.

    3)

    Mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang

    meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan belajar.

    4)Melaksanakan kurikulum secara sistematis di sekolah.

    5)

    Melakukan penilaian.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    32/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    29

    4)

    Model Terbalik Hilda Taba

    Model yang dikemukakan Hilda (1962 : 234) ini berbeda

    dengan cara lazim yang bersifat deduktif karena caranya bersifat

    induktif. Itulah sebabnya ini dinamakan model terbalik. Model ini

    diawali justru dengan percobaan, kemudian baru penyusunan dan

    kemudian penerapan. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan antara

    teori dan praktek.

    Pengembangan model ini dilakukan dengan lima tahap, yaitu :

    1)

    Menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diujicobakan oleh

    staf pengajar.

    2)Mengujicobakan untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan

    kegiatan belajar mengajar.

    3)Menganalisis dan merevisi hasil ujicoba, serta

    mengkonsolidasikannya.

    4)Menyusun kerangka teroritis.

    5)

    Menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan

    mengumumkannya.

    5)The Systemic Action-Research Model

    Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa

    perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini

    mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,

    siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan

    kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi

    tersebut, model ini menekankan pada tiga hal, yaitu : hubungan

    insani, sekolah dan organisasi masyarakat serta wibawa dari

    pengetahuan profesional. Penyusunan kurikulum dengan

    memasukkan pandangan dan harapan masyarakat, dan salah satu

    cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action-research.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    33/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    30

    6)

    Emerging Technical Models

    Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta

    nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi

    perkembangan model kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang

    didasarkan atas hal itu, diantaranya :

    (1)

    The Behavioral Analysis Model.

    Menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu

    perilaku / kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi

    perilaku yang sederhana yang tersusun secara hirarkis.

    (2)

    The System Analysis Model.

    Berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama model ini

    adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang

    harus dikuasi siswa. Langkah kedua menyusun instrumen untuk

    menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga

    mengidentifikasi tahap-tahap hasil yang dicapai serta perkiraan

    biaya yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya

    dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.

    (3)

    The Computer-Based Model.Suatu pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan

    komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi

    seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki

    rumusan tentang hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan

    guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit

    kurikulum tersebut. Stelah diadakan pengolahan disesuaikan

    dengan kemampuan dan hasil belajar siswa disimpan dalam

    komputer.

    (b)

    Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum

    Menurut Finch & Crunkilton (1999 : 136-141), terdapat 5

    strategi/pendekatan dalam menentukan dan mengembangkan isi

    kurikulum, yaitu (1) Pendekatan Filosofis, (2) Pendekatan Instropeksi, (3)

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    34/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    31

    Pendekatan DACUM, (4) Pendekatan Fungsional, dan (5) Pendekatan

    Analisis Tugas. Selain itu Hussaini Umar (2002) menyatakan bahwa untuk

    merencanakan pendidikan termasuk didalamnya pengembangan kurikulum

    dapat dilakukan dengan Teknik Delphi.

    Dari beberapa pendekatan tersebut di atas dalam pengembangan

    kurikulum ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan DACUM

    (Development a Curriculum). Alasan dilakukan pendekatan ini karena

    DACUM banyak digunakan dibeberapa negara untuk berbagai bidang

    seperti pendidikan, perusahaan, serta pemerintahan dan terbukti berhasil

    dengan baik Selain itu jugaDACUMmemiliki metode yang sangat efektif,

    cepat dan biaya rendah (2008:5).

    Gambar 2. Evaluasi CIPP

    (c)

    Standar Kelulusan

    Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga

    pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah

    Kementerian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi)

    memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja

    ProcessProduct

    InputContext

    Curriculum Planing &

    Development

    Curriculum Operation &

    Refinement

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    35/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    32

    Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakers, sehingga

    kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari mishmach

    antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Gambar di bawah 3 ini

    menggambarkan kemitraan antara dunia industri dengan pendidikan

    berdasarkan kompetensi.

    Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu upaya yang dapat

    dilakukan adalah melakukan penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja.

    Penyelarasan merupakan upaya penyesuaian pendidikan sebagai pemasok

    SDM dengan dunia kerja sebagai penyerap SDM yang berubah sangat

    dinamis. (www. Penyelarasan.kemdiknas.go.id).

    Dalam upaya untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dari dunia

    industri maka pemetaan yang komprehensif menjadi sangat penting untuk

    dilakuan. Pemetaan ini dapat menghasilkan matching kompetensi antara

    dunia industri dengan dunia pendidikan dalam hal ini lembaga terkait. Setelah

    diperoleh matching competency langkah awal yang perlu dilakukan

    selanjutnya adalah pengembangan kurikulum, hal ini bertujuan agar

    kompetensi yang dimiliki oleh siswa atau mahasiswa sesuai dengan

    ekspektasi dunia kerja. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan kemendikbud

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    36/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    33

    dalam penyelerasan dunia kerja dengan dunia pendidikan seperti pada

    Gambar 4 di bawah ini.

    Gambar 4. Model Supply-DemandTenaga Kerja

    Dengan demikian pengembangan model kurikulum untuk menyiapkan

    kompetensi mahasiswa program vokasi perlu untuk dikembangkan dengan

    harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia kerja (workforce)

    untuk menghindari miss match dan under qualified, memuat tentang skill

    yang dibutuhkan di masa mendatang (the future skill), serta terdapat standar

    kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan vokasi.

    4.

    Simpulan

    1.

    Desain kurikulum dengan model Grass Root. Alasan dipilihnya model

    tersebut adalah, (1) karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah

    sistem desentralisasi, sehingga pengembangan kurikulum berlaku bottom-

    up, (2) model ini melibatkan lembaga, instansi, dan para praktisi industri

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    37/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    34

    yang aplikatif secara langsung di dunia industri sehingga mengetahui akan

    kompetensi yang menjadi tuntutan industri.

    2.

    Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan DACUM karena telah

    teruji dibeberapa negara, baik digunkan di dunia pendidikan, perusahaan,

    dan pemerintah.

    3.

    Evaluasi pelaksanaan kurikulum menggunakan CIPP dan Standar

    kelulusan dengan mengembangkan model kemitraan.

    4.

    Luaran pendidikan vokasi dapat bekerja sesuai dengan Model Supply-

    DemandTenaga Kerja

    SUMBER :

    Buku Teks :

    1.

    Indermit S. Gill, Fred Fluitman, & Amit Dar. (2000).

    Vocational Education & Training Reform. Matching Skills

    to Market and Budget.Oxford University Press.

    2.

    Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum

    Development in Vocational and Technical Education :

    Planning, Content and Implementation. Boston,Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc.

    3.

    Rahn, M. L., ODriscoll, P., & Hudecki, P. (1999). Taking

    off!: Sharing state-level accountability strategies. Berkeley,

    CA: National Center for Research inVocational Education.

    4. DACUM Handbook . (2008)

    5.

    Robert S. Zais. Curriculum Principles and Foundations.

    (1976). Harper & Row, Publishers.6.

    Hilda Taba. Curriculum Development. Theory and

    Practice. (1962). Harcourt Brace Jovanovich, Inc.7.

    Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within,

    1996. Report to UNESCO of the International Comission

    on Education for the Twenty-first Century. UNESCOPublishing/The Australian National Commission forUNESCO. 266 hal.

    Jurnal Internasional :

    1. Steven R. Aragon, Hui-Jeong Woo, Matthew R. The Role

    of National Industry-Based Skill Standards in The

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    38/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    35

    Development, Implementation, and Assessment ofCommunity College Curriculum. Marvel University of

    Illinois at Urbana-Champaign2005 Journal of Career and

    Technical Education, 21(2), Spring, 2005 Page 37 Jurnal Nasional Terakreditasi :

    1.

    Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004

    Sumber Internet :

    1.

    http://bksp-jateng.or.id, Diakses pada tanggal 17 Juni

    2010, 15:38)

    2.

    http://www.ittelkom.ac.id. Diakses pada tanggal 26

    Oktober 2010

    3.

    (id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi). Diakses pada

    tanggal 10 Agustus 2010.

    4.

    (http://www.polteklampung.ac.id). Diakses pada tanggal

    10 Agustus 2010

    Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan :1. Peraturan Pemerintah (RPP) Maret 20042. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

    2010 tentang Pengelolaan dan PenyelenggaraanPendidikan.

    3. PP UU No. 20/2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    Republik Indonesia nomor : kep.318/men /ix/2007 tentang

    Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia

    sektor penyedia makanan dan minuman sub sektor

    restoran, bar dan jasa boga bidang industri jasa boga

    5. Kepmendiknas No. 232/U/2000. Tentang Kurikulum

    Berbasis Kompetensi.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    39/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    36

    PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGANMETODE OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

    MENULIS WACANA DESKRIPSI DI KALANGAN SISWA

    KELAS X.3 SMA NEGERI 8 DENPASARTAHUN PELAJARAN 2013/2014

    Oleh

    Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd

    ABSTRACT

    Writing is an active and productive language skill. Nevertheless, writing a

    descriptive composition is not an easy thing for the students. Referring to the

    problem elaborated in the background of the study, one of the solutions is by

    appying Observation Method of Contextual Approach during the teaching-

    learning process. The problem of the study, then, was whether the use of The

    observation method of contextual approach really could improve the X.3 studentsof SMA NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2013/2014s ability inwriting descriptive composition? It had been expected that the use of observation

    method of contextual approach could improve the students achievement andability in writing descriptive composition.

    The theoretical background of the study was (1) the theory of contextuallearning and (2) the theory of descriptive writing. The methods applied in this

    study were: (1) the research setting, (2) the subject of the study, (3) the action

    procedure, (4) data collection method and (5) data processing method.

    The raw data which was the test result of Cycle I and II was processed into

    standard scores using descriptive statistics served in the form of tables. Using the

    data procession method , the average score in cycle I was calculated to be 54.02%

    which belonged to the Less Good category, while the data in cycle II showed an

    improvement in the average score of 82.27% and, thus, belonged to the Good

    Category. The students mastery learning in cycle I was only 27.27 and improved

    significantly into 84.09% in the cycle II.

    Based on the data procession result, this study can be considered a success

    since the implementation of observation method of contextual approach was able

    to improve the students ability in writing descriptive composition. Therefore, the

    conclusion to be drawn from the study is that the implementation of obeservationmethod of contextual approach improved students ability in writing descriptive

    composition of the x.3 students of sma negeri 8 denpasar in the academic year of2013/2014.

    Key Words: Observation method of contextual approach, descriptive

    composition

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    40/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    37

    Pendahuluan

    Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar berkomunikasi,

    mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi dalam masyarakat. Untuk dapat

    berkomunikasi dengan baik, maka seseorang perlu belajar cara berbahasa yang

    baik dan benar. Pembelajaran tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia

    dini dan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa

    disertakan dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap peserta didik dituntut

    agar mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama dalam penggunaan

    bahasa resmi yang dipakai oleh warga negara khususnya bagi peserta didik.

    Bahasa Indonesia menjadi materi pembelajaran yang wajib diberikan di setiap

    jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Hal ini

    dilakukan agar peserta didik mampu menguasai Bahasa Indonesia dengan baik

    dan benar serta mampu menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.

    Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang

    mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan membaca). Dewasa ini,

    keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan literasi (literacy skill) sudah

    menjadi keterampilan berbahasa lanjutan (advanced linguistic skill)

    (Zainurrahman 2011: 2)Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan secara

    umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis deskripsi,

    kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa ditugaskan untuk menulis

    wacana deskripsi secara langsung.

    Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di sekolah,

    khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil survei yang telah

    dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran menulis siswa

    kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi (free test) dari menulis wacana

    pada kelas tersebut, di mana dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang

    berhasil mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal

    SKBM dari menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru

    tercapai sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum tercapai. Selain

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    41/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    38

    itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran dan pembelajaran yang

    digunakan oleh guru cenderung menggunakan metode ceramah dan kegiatan

    tanya jawab yang tidak berpengaruh pada perubahan hasil pembelajaran siswa

    dalam menulis. Masalah lain yang muncul, adalah siswa akan beranggapan negatif

    terhadap materi menulis, karena metode yang digunakan terkesan membosankan

    serta membingungkan.

    Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut haruslah dapat

    diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru bidang studi Bahasa Indonesia

    di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha memberikan solusi alternatif dalam

    pembelajaran menulis agar segala permasalahan serta kendala yang terdapat pada

    siswa maupun guru dapat diatasi melalui pendekatan kontekstual dengan metode

    observasi dalam pembelajaran.

    Pendekatan kontekstual dengan metode observasi merupakan

    pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan wacana deskripsi

    karena adanya masalah yang dialami siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar

    tahun pelajaran 2013/2014.

    Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka peneliti

    memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah penelitian dengan

    judul: Pendekatan Kontekstual dengan Metode Observasi untuk Meningkatkan

    Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8

    Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014. Penerapan strategi pembelajaran ini

    diharapkan mampu memberikan tanggapan atas permasalahan yang diberikan oleh

    pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang mandiri diharapkan pula

    mampu menjadi pelajar yang mandiri serta mampu menciptakan suasana

    pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.

    Tujuan Penelitian

    Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu yang ingin

    dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini dapat

    dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti berikut.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    42/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    39

    1 Tujuan Umum

    Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui

    kemampuan siswa dalam menulis wacana.

    2 Tujuan Khusus

    Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus.

    Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.

    1.

    Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar

    tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis wacana deskripsi melalui

    pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

    2.

    Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan kontekstual dengan

    metode observasi dalam menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA

    Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2014/2014.

    Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan kelas ini

    dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah, dan pengembangan

    kurikulum.

    1. Manfaat bagi siswa

    Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada umumnya,

    menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta meningkatkan kreativitas

    dan keberanian siswa dalam berpikir.

    2.

    Manfaat bagi guru

    Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi dalam

    pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang tepat dalam

    mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan guru Bahasa Indonesia

    khususnya dalam menerapkan pembelajaran menulis wacana deskripsi

    melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

    3.

    Manfaat bagi sekolah

    Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan

    meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan dalam pembinaan

    guru bahwa alam pembelajaran menulis wacana deskripsi dapat

    menggunakan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    43/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    40

    4.

    Manfaat bagi pengembangan kurikulum. Dapat dijadikan bahan

    pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi belajar

    siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta dapat disampaikan dalam

    pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan dapat dijadikan pertimbangan dalam

    penyusunan kurikulum berikutnya.

    METODE PENELITIAN

    Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8

    Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang muncul di dalam

    kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana deskripsi. Dalam hal ini, peneliti

    berkolaborasi dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia, di mana peneliti

    berperan sebagai perencana, pengamat, pelaksana pengumpulan data, penganalisis

    data, pelapor hasil penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses

    penelitian berlangsung.

    Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang dilaksanakan

    selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila dalam siklus pertama belum

    mencapai hasil yang maksimal maka akan dilanjutkan dengan siklus II yang

    dilaksanakan pada minggu berikutnya, dan telah mendapat persetujuan dari kepala

    sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.

    Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada

    semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 44 orang siswa.

    Sedangkan yang menjadi objek penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran

    menulis wacana deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode

    observasi.

    Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:

    1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis wacana

    deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.

    2.

    Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis wacana deskripsi

    di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.

    3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada teori- teori

    yang relevan.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    44/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015

    ISSN 1907-3232

    41

    4.

    Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang

    ditemukan dengan memanfaatkan pendekatan kontekstual dengan metode

    observasi pada siklus pertama.

    5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.

    6.

    Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang berupa

    rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.

    Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:

    1.

    Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar yang akan

    dicapai.

    2.

    Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai berikut.

    a.

    Guru membuka pelajaran.

    b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.

    c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang

    materi yang disampaikan.

    d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada tempat yang

    telah ditentukan.

    e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk menulis

    wacana deskripsi berdasarkan pendekatan kontekstual dengan metode

    observasi.

    Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah

    meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA

    Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan pemanfaatan pendekatan kontekstual

    dengan metode observasi. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator

    tersebut dirancang dalam satu siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu

    1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan evaluasi, dan

    4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Tahap ini dilakukan

    dengan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah

    direncanakan. Pada siklus I, direncanakan satu kali pertemuan dengan alokasi

    waktu 2 X 45 menit.

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    45/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    42

    Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan

    Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data dengan metode tes

    adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun format penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk

    lebih jelasnya, pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagian berikut

    ini.

    1. Menyusun Tes

    Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah tes, instrumen

    penelitian harus disusun dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu

    bentuk tes yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara menyuruh

    siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil observasi.

    2. Menetapkan Skor

    Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya adalah menetapkan skor.

    Aspek yang dinilai dalam penetapan skor yaitu: 1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar

    kalimat, 3) pemakaian kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan

    Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan tugas untuk menulis sebuah

    wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes

    dilakukan dan diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.

    Observasi

    Refleksi

    Perencanaan

    Tindakan

    Observasi

    Refleksi

    Perencanaan

    Tindakan

    Siklus I Siklus II

    N Siklus

  • 7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014

    46/297

    Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232

    43

    Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kritis. Teknik

    tersebut mencakup kegiatan yang mengungkapkan kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan

    guru dalam proses belajar mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian berlangsung. Hasil

    analisis digunakan untuk menyusun rencana tindakan kelas berikutnya sesuai dengan siklus yang

    ada. Analisis dilakukan oleh guru dan peneliti secara bersama- sama.

    Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor mentah atas jawaban siswa

    terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu

    diolah dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor

    standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) kreteria ketuntasan minimal, (4) mencari skor rata-

    rata, (5) skor maksimal ideal, dan (6) menarik kesimpulan.

    Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual dikumpulkan melalui

    angket dengan cara menyebarkan angket kepada siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam

    angket sebanyak 10 item yang penyekorannya menggunakan skala likert 5. Angket yang

    digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS untuk pilihan sangat setuju, S untuk pilihan

    setuju, KS untuk pilihan kurang setuju, TS untuk pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan

    sangat tidak setuju.

    Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan untuk mengetahui respon

    siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data mengenai respon siswa dianalisis untuk

    memperoleh gambaran tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.

    Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan skor minimum idealnya adalah 10. Nilai

    tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban

    respon siswa.

    Indikator keber