Transcript

DIFUSI DAN AKULTURASIOleh: Eko S. KusumoNIM. 121141011(Kelompok Pembahas)

I. PENDAHULUANManusia merupakan makhluk unik karaena merupakan suatu kumpulan kehidupan yang mempunyai budaya (White, 1959: 3). Budaya juga merupakan elemen yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya (Poespowardojo, 1982: 8). Istilah kebudayaan banyak digunakan dalam bidang antropologi budaya. Dalam disiplin ilmu tersebut tidak ada perbedaan maksud antara istilah budaya dengan kebudayaan (Awang, 1998: 8). Konsep tentang kebudayaan banyak dan rumit. Penguraian mengenai konsep tersebut mengundang berbagai kerancuan dan kekeliruan kesan daripada perbedaan disiplin dan perspektif kebudayaan dilihat dari kacamata masing-masing tokoh. Malah lebih merumitkan lagi apabila melibatkan emosi. Konsep ini hendaknya perlu dipahami sama, baik dari aspek praktikal maupun teoretikal (Bidney, 1968:30). Setiap mengonsepkan budaya, kerap kali dipengaruhi oleh kerangka teori dan pemahaman mengenai asas pembentukan masyarakat dan kebudayaan itu sendiri. Sebagai contoh teori evolutionism yang dipelopori oleh Edward Burnett Tylor (1882M-1917M), teori historical particularism atau historical diffusionism oleh Franz Boas (1858M-1942M), teori culture and personality oleh Ralph Linton (1893M-1953M), teori functionalism oleh Bronislaw Malinowski (1884M-1942M), teori structural-functionalism oleh Alfred Reginald Radcliffe-Brown (1881M-1955M), teori structuralism oleh Claude Lvi-Strauss dan sebagainya. Hasil-hasil dari penelitian kebudayaan yang beragam menciptakan sebuah persoalan utama di antara para peneliti tentang bagaimana manusia mengalami kemajuan mulai zaman purba hingga zaman modern seperti sekarang ini (Beals dan Hoijer, 1959: 664).Setelah runtuhnya pengaruh evolusionisme di awal abad 20, muncul pemikiran baru mengenai konsep difusi kebudayaan. Secara sederhana konsep diffusi menjelaskan terjadinya proses persebaran budaya dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Sering terjadi kesamaan unsur-unsur budaya dalam berbagai kelompok masyarakat yang terpisah jarak yang jauh satu sama lain, misalnya adanya tembikar yang dibuat di Khurja (kota kecil di negara bagian Uttar Pradesh di India) dibuat juga oleh orang-orang di berbagai belahan dunia lain atau penggunaan parfum Perancis oleh orang-orang di seluruh dunia. Contoh lain dari penyebaran unsur-unsur budaya adalah mengenai masakan. Kebanyakan dari kita menyadari bahwa kuliner tertentu bukan hanya milik kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda di dalam suatu negara, tetapi juga milik negara-negara yang berbeda. Banyak restoran mengkhususkan diri dalam masakan internasional tertentu. Sehingga terdapat restoran Cina, restoran Italia, restoran Thailand dan lain sebagainya yang melayani makanan dari suatu negara tertentu saja. Apa yang keluar adalah pemahaman bahwa ada regular flux atau pertukaran antar budaya dan dalam pengertian ini budaya tidak terisolasi satu sama lain. Bahkan, gagasan bahwa unsur-unsur wisata budaya dari satu lokasi ke lokasi yang lain telah ada sejak dua abad yang lalu. Dalam bahasa antropologi, difusi mengacu pada proses transmisi unsur-unsur budaya yang berasal dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Diperkirakan bahwa lebih dari sekitar 90 persen dari konten dalam suatu budaya tertentu berasal dari difusi (lihat Murphy 1989). Unsur-unsur budaya yang dapat ditransfer meliputi: materi (tangible) yang terdiri dari benda-benda dan artefak, dan non-material (non-tangible) terdiri dari kebiasaan, keyakinan, dan nilai-nilai..Pada tahap tersebut, dapat dicatat bahwa difusi bukanlah satu-satunya proses yang menunjukkan terjadinya pentransferan unsur budaya. Proses lain yang terjadi adalah percampuran budaya melalui akulturasi. Sementara difusi mengacu pada penyebaran unsur-unsur budaya, akulturasi mengacu pada pertukaran elemen-elemen budaya melalui kontak langsung antara dua budaya yang terpisah, di mana kedua budaya tersebut mengalami perubahan. Lebih khusus lagi, Acculturation comprehends those phenomena which results when groups of individuals having different cultures come into continuous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups (Redfield, Linton, dan Herskovits, 1936: 149-150). Istilah akulturasi pertama kali digunakan dalam konteks kelompok imigran dengan pengertian bahwa kelompok pendatang melakukan kontak dengan kelompok yang didatangi serta meninggalkan budayanya dan menerima budaya dari kelompok yang didatangi secara penuh. Selain kelompok-kelompok imigran, akulturasi bekerja dalam konteks kontak budaya yang dibentuk melalui penaklukan. Hal ini tentu saja tidak relevan mengingat bahwa suatu kelompok masyarakat tidak mungkin dapat meninggalkan budayanya sendiri sepenuhnya dan menggantikannya dengan budaya masyarakat lain. Dalam kehidupan nyata, hal ini tidak mungkin terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi adalah ditemuinya percampuran dua budaya dalam perjalanan menuju perkembangan budaya hibrida (didefinisikan sebagai unit budaya terkecil), tidak hanya diambil dari kedua budaya tersebut, tetapi termasuk juga yang bukan merupakan bagian dari keduanya. Linton (1936) menjelaskan hal ini dengan contoh orang-orang Italia yang tinggal di Amerika, di kebanyakan kasus mereka kehilangan identitas budaya pada generasi ketiga atau keempat yang melingkupi gaya hidup mereka. Proses akulturasi berbeda dengan proses difusi dalam membuktikan terjadinya kontak antara budaya. Difusi mengasumsikan bahwa kontak antara budaya memang terjadi karena satu unsur budaya di suatu negara dapat ditelusuri di negara lain. Menurut Herskovits (1955:472) Diffusion is the study of achieved cultural transmission; while acculturation is the study of cultural transmission in process. Perbedaan lain antara akulturasi dan difusi dalam hal sifat transmisi. Seperti disebutkan sebelumnya, akulturasi menyebabkan munculnya budaya hibrida yang terdiri dari kombinasi sifat yang diambil dari kedua budaya yang meliputi unsur-unsur yang tidak ditemukan dalam salah satu budaya induknya. Tidak seperti akulturasi, difusi terdiri dari pinjaman atau mengambil unsur-unsur budaya dari suatu budaya oleh satu atau lebih budaya lainnya.Dalam makalah ini, penulis akan memberikan gambaran rinci mengenai definisi, tokoh-tokoh penggagas, kritik-kritik yang muncul, serta terjaddinya proses difusi dan akulturasi yang ada dalam masyarakat.

II. DIFUSIDiffused culture material often contains concrete or specific elements by which the fact of diffusion can be subsequently recognized even in the absence of a record of the event. In some cases it happens that the diffusion is definitely piecemeal; only fragments of a larger complex or system reach the affected culture or are accepted by it. In this event, the fragments or isolated items may be put into an entirely new context in the culture which they enter (Krober, 1940: 1).

Ketertarikan para pemikir dunia tentang adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia yang letaknya sering kali berjauhan, telah muncul sejak lama. Ketika kewibawaan konsep evolusi masih berkuasa, persamaan bentuk-bentuk tersebut dijelaskan sebagai implikasi dari adanya tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi yang terjadi di berbagai wilayah di seluruh dunia. Menjelang abad ke-20, konsep evolusionisme mulai kehilangan pengaruhnya di bidang antropologi. Muncul pemikiran baru yang menyatakan bahwa persamaan unsur-unsur kebudayaan merupakan akibat dari adanya persebaran atau difusi dari satu tempat ke tempat lain dan atau sebaliknya. Tylor memberikan ruang bagi keragaman proses perkembangan kebudayaan di dunia. Bagi Tylor hal itu tidak cukup hanya semata-mata dengan mengatakan bahwa kesatuan skema yang diperlakukan bagi semua kebudayaan itu, tidak mungkin, tetapi ia mendemonstrasikan dengan bantuan fakta-fakta, bahwa orang harus memperhitungkan juga difusi (pengambilalihan kebudayaan sebagai akibat kontak) dan masalah kebetulan dalam sejarah (Baal, 1987: 85).Uraian di bawah ini akan menjelaskan bagaimana perkembangan konsep difusi, definisi yang dibangun untuk menjelaskan istilah tersebut, para pemikirnya, gelombang kritik difusionisme, serta penerapan pemikiran tersebut dalam beberapa proses terjadinya keragaman kebudayaan.

A. Sejarah Pemikiran DifusionismeKonsep migrasi dan difusi muncul sebagai penjelasan yang dominan dalam menggambarkan perubahan budaya pada awal abad ke-20, sebagai reaksi perlawanan terhadap evolusionisme yang telah mendominasi pemikiran antropologi di akhir abad ke-19. Permasalahan utamanya terletak pada gagasan yang disampaikan secara terbuka tentang ide-ide rasisme dan etnosentrisme yang ditunjukkan oleh Darwinisme sosial (Trigger, 2006: 217). Di Amerika Serikat gagasan difusi sebagian besar digagas oleh Franz Boas yang menggunakan ide terkait erat dengan konsep relativisme budaya dan partikularisme sejarah. Namun, beberapa teori difusi awal tetap menunjukkan gagasan rasisme dalam menginterpretasikan masa lampau. Hal ini terutama berlaku dalam karya hyperdiffusionist paling berpengaruh, Sir Grafton Elliot Smith, yang berpendapat bahwa konsep peradaban diciptakan hanya sekali secara independen (prasejarah Mesir) dan dari sana menyebar ke semua tempat di dunia, termasuk prasejarah Mesoamerika dan Amerika Selatan. Mesir tidak hanya dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban, tetapi juga tempat lahirnya semua inovasi yang berkaitan dengan peradaban. Imigran Mesir disebut-sebut sebagai pihak yang bertugas untuk menyebarkan pengetahuan tersebut ke seluruh dunia (1933). Smith juga percaya bahwa peradaban akan diwariskan ketika terputus dari masyarakat induknya. Di sekolah antropologi Wina pada akhir tahun 1800, dikembangkan kepercayaan bahwa Asia merupakan sumber dari segala inovasi ( Trigger, 2006: 219). Terlepas dari mana budaya diidentifikasikan sebagai induk dari budaya yang lain, antropologi akhir abad 19 dan awal abad ke-20 berpandangan bahwa difusi, migrasi, dan invasi adalah proses utama yang menyebabkan perubahan dalam prasejarah (Politis, 1995: 212). Paradigma difusi awal juga mencetuskan ide bahwa transmitted features dapat diidentifikasikan secara intuitif (Graebner, 1911). Hal itulah yang kemudian memicu kemarahan para arkeolog baru.Baik rasis atau tidak, migrasi dan difusi dalam paradigma sejarah budaya awal, pada intinya merupakan mekanisme untuk mentransfer ciri-ciri budaya. Namun, ada perbedaan antara migrasi skala besar dan peristiwa kontak skala kecil. Perubahan besar yang muncul sebagai kepurbakalaan sesaat dianggap sebagai produk migrasi. Petrie (1939) melihat migrasi sebagai faktor yang paling penting dalam perubahan budaya dan dia percaya bahwa transfer budaya dan teknologi dari satu kelompok ke kelompok lain juga akan menghasilkan perubahan biologis (Trigger, 2006: 221-222). Mekanisme ini diadopsi sebagian oleh V. Gordon Childe yang juga melihat difusi sebagai penyebaran sifat-sifat fungsional yang menguntungkan atau gaya yang lebih menarik dari satu budaya ke budaya lain, sedangkan migrasi mengakibatkan pergantian satu kelompok dengan yang lain atau pencampuran budaya (Trigger, 2006: 246). Pada 1920-an, kerja lapangan dan analisis artefak menunjukkan perbedaan-perbedaan yang signifikan antara Dunia Lama (Old World) dan Dunia Baru (New World) (Trigger, 2006: 221). Hyperdiffusionism tidak sepenuhnya hilang, namun umumnya ditinggalkan oleh akademisi yang beraliran mainstream. Julian Steward (1929) mengatakan bahwa ketika ciri-ciri budaya yang dimiliki oleh dua budaya dipertemukan, kemungkinan tehadap penemuan independennya berbanding lurus dengan kesulitan komunikasi antara kedua tempat tersebut dan keunikan elemen-elemennya. Lebih penting lagi, pada tahun 1950, antropologi budaya telah mengembangkan dua teori yang akan merusak diffusionisme, yaitu: ekologi budaya Steward dan evolusionisme budaya Leslie White.

B. Pendefinisian Istilah DifusiPenelitian difusionisme sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19 sebagai sarana untuk memahami sifat distribusi budaya manusia di seluruh dunia. Pada saat itu para sarjana mulai belajar tidak hanya budaya maju, tetapi juga budaya masyarakat yang buta huruf (Beals dan Hoijer 1959: 664). Munculnya pemahaman mengenai konsep difusionisme berawal dari adanya usaha untuk memahami karakteristik suatu budaya dilihat dari segi asal usul suatu kebudayaan dan proses penyebarannya dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Pemikiran tentang difusionisme merupakan implikasi dari keyakinan tentang adanya tiga konsep proses penyebaran kebudayaan yang meliputi: a) seluruh budaya berasal dari satu budaya sebagai pusatnya (culture center) dikenal dengan heliocentric diffusion, b) kebudayaan berasal dari kumpulan culture center yang disebut dengan culture circle, c) setiap kebudayaan masyarakat akan dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat lain, akan tetapi proses difusi atau penyebaran kebudayaan bersifat acak (Winthrop 1991: 83-84). Berdasarkan beberapa konsep di atas, maka Titiev (1959:446) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Cultural Anthropology mendefinisikan terminologi difusi kebudayaan sebagai proses penyebaran kebudayaan dari satu tempat yang menjadi tempat asal kebudayaan tersebut ke tempat lainnya. Proses penyebaran tersebut dapat terjadi akibat adanya aktivitas migrasi, transaksi perdagangan, peperangan, dan lain sebagainya (Winthrop, 1991: 82). Sehingga adanya interaksi antar masyarakat memungkinkan terjadinya proses difusi kebudayaan.Menurut Rouse (1986: 1), istilah difusi didefinisikan sebagai transmission by contact, and thus the spread of norms from one person to another and more broadly from people of one local tradition to another. Sedangkan Roger mendefinisikan difusi sebagai suatu proses di mana inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial yang menekankan pentingnya konsep-konsep baru (2003:5-11). Menekankan pentingnya konsep-konsep baru atau teknologi, karakteristik kunci difusi adalah interaction (interaksi), di mana terjadi kontak antara individu-individu dan kelompok-kelompok sosial serta mekanisme yang menyebarkan ciri-ciri budaya baik melalui kontak internal maupun eksternal (1986:9 Rouse). Daerah di mana jenis pertukaran ini berlangsung, baik secara fisik maupun secara kognitif, disebut dengan interaksi spheres (Rouse,1986: 9). Spheres tersebut diperkirakan terdiri dari wakil-wakil dari dua atau lebih culture areas (wilayah-wilaya budaya). Kroeber (1962: 15) berpandangan bahwa culture areas mengandung sejarah perkembangan implisit, seperti taksonomi dalam biologi.Pertanyaan mengenai bagaimana proses perkembangan kebudayaan manusia tidak pernah berhenti. Apakah perkembangan tersebut hampir sama dengan perkembangan biologis manusia? Ataukah kebudayaan tersebut berkembang karena menyebar dari innovation center melalui proses difusi? (Hugill, 1996: 343). Hugill memberikan dua opsi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut:1. Hanya ada beberapa tempat dengan jumlah yang sangat terbatas, atau bahkan hanya ada satu tempat saja yang dianggap sebagai tempat asal kebudayaan dan kemudian dari tempat itulah kebudayaan yang paling tinggi menyebar ke seluruh tempat di muka bumi ini. Pemikiran ini dianggap sangat ekstrim.2. Pemikiran kedua beranggapan sebaliknya, seperti yang dicetuskan oleh para ahli evolusi kebudayaan menyebutkan tentang konsep "psychic unity of mankind": semua manusia mempunyai sifat-sifat psikologis yang sama, sehingga mereka memiliki kemiripan dalam berinovasi. Menurut kaum evolusionis, inovasi dalam sebuah kebudayaan akan berlangsung secara terus-menerus. Pemikiran tersebut menjadi dasar pemikiran bahwa penemuan-penemuan dalam sebuah kebudayaan tercipta secara mandiri di masing-masing kebudayaan. Atas dasar pemikiran tersebut, maka penyebaran (difusi) kebudayaan dianggap tidak memberi pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan.

Pada tahun 1920-an, The School of Cultural Geography di California University, Berkeley memisahkan pemahaman inovasi dari konsep difusi dan berpendapat bahwa inovasi hampir tidak ada atau jarang sekali terjadi dan justru proses difusi-lah yang lebih sering terjadi. Pemahaman tersebut untuk menghindari perangkap pemikiran bahwa ciri-ciri atau karakteristik sebuah budaya berawal dari masyarakat Eropa yang dianggap sebagai pusat kebudayaan. Adanya penjelasan yang meliputi idealisme, lingkungan, dan struktur sosial-lah yang menunjukkan bahwa proses difusi lebih mungkin terjadi daripada proses inovasi (Hugill 1996:344).Terdapat berbagai model terjadinya proses difusi budaya. Salah satu model difusi dilihat sebagai epidemic atau contagious. Hal ini berarti bahwa perilaku-perilaku kultural menyebar melalui kontak antar masyarakat. Perilaku-perilaku tersebut muncul di dalam tungku pusat dan kemudian menyebar dalam gelombang, seperti pola penyebaran dari pusat (Dickson 1988; Morrill et al 1988). Hal ini juga dapat digambarkan sebagai difusi spasial (Morrill et al, 1988). Kemudian para ahli geografi menemukan bahwa tidak semua kelompok yang berada di jalur gelombang penyebaran mengadopsi fenomena menyebar, dan dengan demikian eksplorasi mengenai hambatan dan resistensi diperlukan (Hudson 1972: 22). Gelombang tersebut dapat terganggu apabila terjadi penolakan inovasi oleh beberapa kelompok atau efek sosial atau hambatan fisik (Hudson, 1972). Inovasi juga dapat menyebar dari beberapa tempat yang berbeda pada waktu yang berbeda dan dengan demikian dapat menyebar dalam beberapa gelombang yang bersifat independen.

Gambar 1.1. Difusi Epidemikwww.google.com

Difusi juga dapat terjadi secara hierarkis, di mana inovasi menyebar di antara pusat-pusat kebudayaan besar dan kemudian keluar ke kota-kota kecil dan desa-desa (Morrill et al, 1988). Hal ini juga dapat memberikan alternatif penjelasan yang baik ketika fenomena yang terjadi tidak menyebar dalam gelombang yang berpola. Namun, difusi hirarkis terhambat ketika agen-agen perubahan tidak menyebarkan inovasi pada pusat-pusat (Hudson 1972). Jika agen pengantar berasal dari lokal, mereka dapat melalui jalur politik untuk memperkenalkan hal-hal baru, seperti penyajian cokelat oleh para pejabat Maya kepada Pangeran Philip dari Spanyol, yang difasilitasi oleh biarawan Dominika adengan hirarki yang telah ditetapkan (Weinberg dan Bealer, 2001: 55). Namun kontak yang tidak disengaja antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda tidak mungkin untuk dilanjutkan melalui jalur resmi, atau jika tidak, itu belum tentu akan terjadi di kota-kota besar.Jenis lain dari transmisi barang atau ide disebut dengan relocation diffusion (difusi relokasi) yang dicapai melalui migrasi dan intrusi ke daerah-daerah baru; penyebaran budaya atau pembentukan ciri-ciri budaya dilakukan melalui gelombang migran bukan melalui saluran komunikasi (Dickson, 1988: 65). Stimulus diffusion (difusi stimulus) terjadi ketika suatu kelompok menyalin material budaya kelompok lain tanpa memiliki pengetahuan teknologi tentang bagaimana sifat-sifat tersebut awalnya diproduksi, umumnya mengarah ke sebuah tipe baru yang inovatif (Jett, 1971: 45). Dalam hal ini tidak akan ada bukti untuk tahap perkembangan di wilayah budaya baru. Kasus tersebut berbeda dengan evolusi paralel, di mana dua budaya mengembangkan sifat kompleks yang sama melalui serangkaian tahap perkembangan independen yang mirip, dari titik awal yang berbeda (Jett, 1971: 145). Hasil ini merupakan sifat analog, yang mungkin keliru apabila dijadikan sebagai bukti untuk konsep difusi.

C. Fitur-Fitur DifusiProses difusi dapat dipahami secara tepat melalui aktivitas operasionalnya. Hal ini berarti bahwa bukan hanya mengamati penyebaran suatu sifat budaya saja, akan tetapi juga faktor yang berkontribusi terhadap penyebaran tersebut. Linton (1936) mengidentifikasi tiga proses yang berlangsung secara difusi, meliputi: kehadiran elemen-elemen budaya baru dalam masyarakat, adanya penerimaan oleh masyarakat, serta integrasi elemen-elemen yang diterima ke dalam budaya pra-existing. Berikut ini adalah fitur utama dari difusi:a. Sifat dan tingkat difusi suatu budaya sangat tergantung pada kesiapan dalam menerima budaya lain. Sifat-sifat tertentu (misalnya, cara memancing atau pengolahan tanah) yang jelas dinyatakan melalui tindakan sederhana dan verbalisasi akan lebih mudah menyebar dibandingkan yang tidak diverbalisasikan dan dikomunikasikan (misalnya, ajaran yang mendalam tentang filsafat hidup yang tertanam dalam interpretasi ritual atau sikap-sikap, keyakinan dan nilai-nilai yang tidak diartikulasikan secara sederhana).b. Penerimaan sifat-sifat budaya tergantung pada dua faktor utama, yaitu: utilitas dankompatibilitas terhadap sifat-sifat budaya penerima. Idealnya suatu sifat menonjol yang dapat menimbulkan konflik tajam dengan sifat-sifat budaya penerima akan menghambat terjadinya difusi. Linton (1936) menunjukkan hal ini dengan contoh dari reaksi suku Apache (Indian Amerika yang banyak mendominasi daerah di barat daya pada abad ke-19) terhadap konsumsi peyote (untuk menginduksi roh halus pada individu dan dengan berbuat demikian membawa mereka dalam kontak dekat dengan makhluk gaib). Sedangkan suku Apache menolak menggunakan peyote. Alasannya adalah suku Apache percaya bahwa roh halus menghasilkan kekuatan yang berbeda di masing-masing individu. Kekuatan tersebut berisiko karena bisa dicuri oleh dukun yang menanganinya. Mereka tidak menerima pola reguler terhadap konsumsi peyote dalam kelompok seremonial karena berkeyakinan bahwa kesaktian dikembangkan sebagai akibat dari makan peyote akan dicuri oleh orang lain terutama jika orang yang diakuisisi tersebut benar-benar lengah.c. Proses difusi dari setiap sifat budaya tergantung pada kontak antar masyarakatnya. Hal ini memungkinkan bahwa suatu masyarakat, yang diisolasi, tidak mampu mengadopsi sifat-sifat budaya masyarakat lain. Dengan kata lain, semakin besar jarak fisik antar kelompok, menyebabkan bahwa difusi akan berlangsung lambat. Sifat-sifat budaya yang diambil oleh masyarakat yang dekat dengan tempat asalnya dibandingkan masyarakat yang jauh atau kurang memiliki kontak langsung dengan tempat asalnya akan memiliki hasil yang berbeda.d. Perubahan atau modifikasi dalam suatu sifat budaya (yang telah mengalamidifusi dan menjangkau masyarakat lain) akan meninggalkan sifat budaya aslinya. Jadi, setelah lama terjadi modifikasi sifat budaya yang dibangun di tempat asalnya, bentuk aslinya akan bertahan dan terus eksis di pinggiran area difusi. Hal iniadalah prinsip hidup marjinal. e. Ciri-ciri budaya yang berasal dari pusat tertentu dapat menyebar tidak teratur dan pada kecepatan yang berbeda. Linton (1936 ) menjelaskan hal ini dengan contoh budidaya jagung yang berasal dari Meksiko. Dari area tersebut menyersebar di lembah Mississippi, timur Amerika Serikat dan berakar kuat di daerah Barat Daya. Di daerah timur, mencapai New England, Dakotes dan semenanjung Michigan. Sementara di barat hampir mencapai California selatan.f. Tingkat penyebaran sifat-sifat baru berjalan lambat ketika sifat-sifat tersebut tidak atau enggan diterima. Hal ini tidak berarti bahwa proses difusi berhenti. Memang, bagaimanapun juga, akan jauh terhambat karena kelompok yang tidak mudah menerima sifat baru menciptakan sebuah penghalang antara tempat asal dan kelompok terpencil. ( Wallis 1925: 94 )

D. Para Pemikir DifusionismeAdapun tokoh-tokoh penggagas, pengguna, dan pengembang teori difusi di antaranya adalah sebagai berikut:1. Franz Boas (1858-1942)

Gambar 1.2. Franz Boaswww.google.com

Boas dikenal sebagai pelopor peneliti lapangan di bidang antropologi. Penelitiannya diawali dari penelitian etnografi terhadap orang-orang suku Eskimo pada tahun 1883. Pada tahun 1886, Boas melanjutkan penelitiannya pada suku-suku Indian di Amerika. Tahun 1888-1936 ia pindah ke Universitas Columbia dan melanjutkan penelitiannya hingga pensiun. Boas mengatakan bahwa para peneliti lapangan hendaknya mengumpulkan data lapangan secara detail, mempelajari sebanyak mungkin bahasa masyarakat setempat, dan menjadi bagian dari masyarakat setempat dalam upaya memahami kehidupan masyarakat tersebut. Ia juga menggunakan teknik recording untuk merekam penjelasan dari para informan di lapangan sebagai data tambahan dalam penelitian etnografi. Boas meyakini bahwa inventarisasi budaya suatu masyarakat bersifat kumulatif dan merupakan hasil dari proses difusi. Ciri-ciri suatu kebudayaan melewati dua proses sejarah, yaitu difusi dan modifikasi. Kedua proses sejarah tersebut merupakan kunci penting untuk menjelaskan konsep budaya serta untuk menginterpretasikan makna kebudayaan (Hatch 1973: 57-58).2. Fritz Graebner (1877-1934)Graebner merupakan pendukung teori Culture Circle yang digagas pertama kali oleh Frobenius da diinspirasikan oleh pemikir Fredrich Ratzel, pencetus antropogeografi. Graebner menulis tentang buku Cultural Circle dan Cultural-strata di Oceania. Dua tahun kemudian ia menggunakan konsep tersebut untuk meneliti budaya-budaya di dunia.

Gambar 1.3. Fritz Graebnerwww.google.com

Konsep yang dikembangkan oleh Graebner adalah kulturkreise (lingkaran kebudayaan-kebudayaan, maksudnya adalah lingkaran di muka bumi yang mempunyai unsur-unsur kebudayaan yang sama). Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi ke dalam berbagai kulturkreise itu diterangkan dalam bukunya yang berjudul Methode der Ethnologie (1911). Prosedur klasifikasinya meliputi:1. Seorang peneleliti mula-mula harus melihat di tempat-tempat mana di muka bumi terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Misalnyadi 3 kebudayaan di tempat yang kita sebut A, B, dan C yang letaknya saling berjauhan, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Kesadaran akan persamaan tadi dicapai dengan alasan perbandingan berupa ciri-ciri, atau kualitas, dari ketiga unsur tadi, dan disebut dengan qualitats kriterium.2. Peneliti kemudian harus melihat apakah di A ada unsur-unsur lain yang sama dengan unsur-unsur lain di B dan C, dan misalkan ada unsur b,c,d, dan e di A yang sama dengan b',c', d' dan e' di B, dan yang sama pula dengan unsur-unsur b,c,d dan e di C. Maka alasan pembandingan berupa suatu jumlah banyak (kuantitas) dari berbagai unsur kebudayaan tadi disebut quantitats kriterium. Tiap kelompok unsur-unsur yang sama tadi, yaitu (a b c d e), (a' b' c' d' e') dan (a b c d e), masing-masing disebut kultur-kompleks.3. Terakhir, ppeneliti menggolongkan ketiga tempat itu, yaitu A, B, C, dimana terdapat ketiga kultur-kompleks yang menjadi satu, seolah-olah memasukkan ketiga tempat di atas peta bumi itu ke dalam satu lingkaran. Ketiga tempat tadi menjadi satu kulturkreis.Dengan menggunakan prosedur tersebut, maka di atas peta bumi akan tergambar berbagai kulturkreise yang saling bersimpangan. Dengan demikian akan tampak gambaran persebaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang lampau. Akan tetapi, prosedur trsebut dianggap sulit karena jumlah unsur-unsur kebudayaan yang tersebar di bumi dapat mencapai ratusan ribu. Meskipun metode klasifikasi Graebner dianggap cacat, namun banyak juga sarjana yang menggunakannya, misalnya Schmidt dan pengikut-pengikutnya.

3. W.H.R. RiversRivers merupakan penulis buku berjudul The History of Melanesia Society dan merupakan penggagas pemikiran difusionisme di Britain. Rivers juga seorang antropolog yang menentang faham evolusionisme.

Gambar 1.4. W.H.R. Riverswww.google.com

Rivers mengembangkan suatu metode wawancara baru yang membuatnya berhasil mengumpulkan banyak data terutama mengenai sistem kemasyarakatan beberapa suku bangsa yang tinggal di Selat Torres. Metode yang digunakan oleh Rivers kemudian diuraikan dalam karyanya yang berjudul A Genealogical Method of Anthropology Inquiry (1910) dan terbukti menjadi metode pokok dalam sebagian besar penelitian antropologi yang berdasarkan field work. Metode Rivers sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan genealogi dan merupakan alat utama bagi tiap peneliti antropologi yang akan melakukan penelitian ke daerah (Koentjaraningrat, 1997: 182-189). 4. Wihelm Schmidt (1868-1954)Schmidt adalah seorang pendeta dan etnolog yang meneliti tentang agama-agama di dunia. Hasil tulisannya lebih kepada hubungan antar agama. Ia mengaplikasikan teori Culture Circle dan Cultur-strata untuk mendukung penelitiannya.

Gambar 1.5. Wihelm Schmidtwww.google.comSchmidt terkenal dalam dunia antropologi sebagai seorang yang telah berhasil mengembangkan metode klasifikasi kebudayaan-kebudayaan di dunia dalam kulturkreise. Klasifikasi tersebut digunakan agar dapat melihat sejarah persebaran dan perkembangan kebudayaan seluruh umat manusia di muka bumi. Schmidt juga terkenal karena penelitiannya mengenai bentuk religiyang tertua di dunia. Ia percaya bahwa keyakinan akan adanya satu Tuhan bukanlah suatu perkembangan yang termuda dalam sejarah kebudayaan manusia, religi yang bersifat monoteisme merupakan bentuk religi yang tertua. Dalam zaman selanjutnya, ketika kebudayaan bertambah maju, keyakinan asli terhadap Tuhan semakin kabur, kebutuhan manusia semakin banyak, maka keyakinan asli tersebut menjadi semakin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, ruh-ruh, dewa-dewa, dan sebagainya.

5. G. Elliot Smith dan W.J. PerrySmith dan Perry berpendapat bahwa Mesir adalah pusat dari segala budaya yang tertinggi. Mereka mengungkapkan bahwa dalam sejarah kebudayaan dunia pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangakal dari Mesir, yang bergerak ke Timur dan yang meliputi jarak yang sangat jauh, yaitu ke daerah-daerah di sekitar Lautan tengah, ke Afrika, ke India, ke Indonesia, ke Polinesia, dan ke Amerika. Terdapat tiga asumsi yang dikeluarkan oleh Smith:a. Manusia tidak bersifat menciptakan dan budaya tidak muncul secara independen tetapi berkembang dalam sirkumtansi tertentu.b. Sirkumtansi tersebut hanya ada di Mesir kuno di mana kebudayaan kemudian menyebar setelah ditemukannya arah mata angin.c. Sejarah manusia akan mencair setelah kebudayaan dari manusia semakin jauh tersebar.Perry membukukan hasil penelitiannya dalam buku yang berjudul The Childern of the Sun (1923). Namun kemudian, teori Heliocentricm mendapat banyak kecaman. Salah satu kecaman tersebut datang dari seorang yang bernama R.H. Lowie (antropologi Amerika) yang menyatakan bahwa teori tersebut merupakan teori difusi yang ekstrim, yang tidak sesuai dengan kenyataan, baik dilihat dari hasil-hasil penggalian ilmu prehistoris, maupun dari konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam kalangan ilmu antropologi ketika itu. Pada masa sekarang teori heliocentrism hanya bisa kita pandang sebagai suatu contoh dari salah satu cara yang pernah digunakan oleh para ahli untuk melihat persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia.

E. Kritik terhadap DifusionismeSekitar awal abad 20, aliran difusi mampu mempengaruhi beberapa ahli antropologi di berbagai belahan dunia. Dua aliran utama yang mempunyai pandangan difusi adalah aliran Inggris dan Jerman. Tokoh-tokoh antropologi Inggris yang beraliran difusi beranggapan bahwa pada hakikatnya manusia tidak cenderung menciptakan hal yang baru, melainkan lebih suka meminjam penemuan-penemuan kebudayaan dari masyarakat lain daripada menciptakan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Sebagian besar ahli antropologi mengakui bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebar melalui proses difusi, namun sedikit sekali dari mereka yang mencoba mencari dasar adanya perkembangan dan variasi kebudayaan pada gejala difusi.Banyak yang tidak dijelaskan dalam teori difusi, misalnya mengenai cara penyampaian unsur-unsur kebudayaan dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya. aliran difusi hanya menggarapnya secara dangkal, karena pertanyaan yang akan muncul dan paling mendasar adalah : mengapa suatu masyarakat mau menerima, menolak, atau hanya sedikit mengubah unsur budaya yang telah dimiliki oleh salah satu masyarakat tetangganya? Suatu masyarakat tidak selalu meminjam dari masyarakat lain, mungkin peminjaman hanya akan terjadi jika mereka menganggapnya bermanfaat.Pendekatan difusionisme perlahan-lahan digantikan oleh pendekatan akulturalisme, pola budaya, dan hubungan antara budaya dan kepribadian. Boas menulis artikel yang berjudul Method of Ethnology di mana ia membahas mengenai dampak satu masyarakat atas masyarakat lain yang tidak dapat dipahami hanya sebagai penambahan atau pengurangan sifat budaya diskrit, tetapi sebagai transformasi berpotensi besar terhadap perilaku, nilai-nilai, dan modus adaptasi " ( Winthrop 1991: 4) .Ketika terjadi Perang Dunia I, difusionisme ditantang oleh kemunculan paham fungsionalisme yang dipimpin oleh Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Mereka berpendapat bahwa, jika ada seseorang yang bisa menunjukkan bukti adanya aspek budaya yang diimpor dalam masyarakat, sifat-sifat asli dari budaya tersebut mungkin menjadi berubah, hal tersebut menunjukkan fungsi yang sangat berbeda dari masyarakat yang disebari (Kuklick, 1996: 161).Pada tahun 1920, Boas dan antropolog Amerika lainnya, seperti Robert Lowie dan Ralph Linton, berpendapat bahwa perubahan budaya telah dipengaruhi oleh berbagai sumber. Mereka menentang "rekonstruksi grand para evolusionis dan difusionis" (Winthrop 1991: 84).James M. Blaut ( 1993) percaya bahwa extreme diffusionism adalah rasis. Namun, ia percaya bahwa sebagai sebuah proses, difusionisme merupakan hal yang penting. Ia mengkritik difusionisme ekstrim karena ia percaya bahwa hal itu berkontribusi pada keyakinan umum "European-style societies" yang lebih inovatif dari masyarakat non-Eropa dan bahwa bentuk yang tepat dalam pembangunan akan maju sesuai dengan sifat-sifat budaya telah disebarkan oleh masyarakat Eropa ( Hugill 1996: 344).

F. Contoh-contoh Proses Difusi Contoh difusi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah berbagai kata yang ada dalam Bahasa Indonesia. Tanpa kita sadari, Bahasa Indonesia sendiri merupakan contoh hasil dari proses difusi yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kata dalam Bahasa Indonesia merupakan hasil serapan dari bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain. Berbagai kontak budaya yang terjadi dalam masyarakat, menyebabkan terjadinya difusi dalam struktur Bahasa Indonesia. Proses difusi yang menyebabkan munculnya kosakata baru dalam Bahasa Indonesia terbagi dalam 2 proses, yaitu : 1. Difusi ekstern yaitu penyerapan kosakata asing oleh Bahasa Indonesia yang mengubah Bahasa Indonesia ke arah yang lebih modern. Dampak dari difusi ekstern ini terlihat dari kreativitas orang-orang Indonesia, yang memadukan berbagai unsur bahasa asing sehingga menjelma menjadi bentuk kata-kata baru, seperti : gerilyawan, ilmuwan, sejarawan, Pancasilais, agamis, dan lain-lain.2. Difusi intern yaitu timbulnya hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa (seperti masuknya kata lugas, busana, pangan dll) atau dengan bahasa Sunda (kata-kata nyeri, pakan, tahap, langka) mengenai penyerapan kosakata.

III. AKULTURASIParadigma akulturasi lahir dalam bidang antropologi dan sosiologi pada awal abad ke-20 (lihat Park & Burgess, 1921; Redfield, Linton & Herskovits, 1936), di mana pada saat itu gagasan tersebut telah digunakan untuk menjelaskan dinamika yang terjadi ketika orang-orang dari latar belakang budaya yang beragam datang sekaligus melakukan kontak secara terus-menerus satu sama lain. Mengutip definisi klasik yang dikemukakan oleh Redfield, Linton, dan Herskovits (1936: 149): acculturation comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continuous first-hand contact with subsequent changes in the original culture patterns of either or both groups. Dalam hal akulturasi kebudayaan Islam-Jawa, semisal, terlihat bagaimana sejarah kebudayaan Jawa ketika kedatangan agama Budha sampai pada proses waktu bermetamorfosa menjadi Budha-Jawa melalui memorial artifact atau prasasti yang fenomenal-Borobudur. Demikian juga kedatangan Islam sebagai donor culture dengan nilai-nilainya, menjadikan kesatuan unsur-unsur pra Islam-Jawa secara sinkretis, seperti bagaimana karakter masyarakat Jawa yang komunal membentuk budaya kupatan sebagai tradisi sinkretis Islam-Jawa.Penekanan Berry (1990) selanjutnya adalah terletak pada konsep akulturasi yang pada dasarnya netral (artinya perubahan / change bisa terjadi pada salah satu kelompok ataupun keduanya). Namun, dalam prakteknya konsep akulturasi cenderung memicu perubahan salah satu kelompok daripada kelompok yang lain. Pada tingkatan selanjutnya, terdapat penekanan konteks asimilasi yang tidak hanya bagian dari akulturasi, hal itu bisa berupa:1. Reactive (memicu pertentangan perubahan dari dua kelompok tersebut)2. Creative (menstimulus bentuk-bentuk kultural baru, yang tidak ditemukan dalam dua kelompok tersebut)3. Delayed (memulai perubahan yang muncul dalam beberapa tahun kemudian) (SSRC, 1954: 973)Selanjutnya, terdapat pula pararel konsep yang dikembangkan oleh Clanet (1990: 70) yang dinamakan interculturation. Sebagai kutipanya Clanet memaparkan: the set of processes by which individuals or groups interact when they identify themselves as culturally distinct. Pemahaman ini secara implisit menyebutkan bahwa selama terjadi interaksi manusia, selama itu pula terjadi kontak dan proses penyebaran kebudayaan[footnoteRef:2] yang sinkretis. Proses difusi atau penyebaran unsur kebudayaan itu terjadi karena dua hal, pertama: adanya migrasi bangsa atau kelompok dari satu tempat ke tempat lain, dan mereka membawa pula unsur kebudayaan asal ke tempat yang baru. Yang kedua, terdapat penyebaran unsur kebudayaan yang sengaja dibawa oleh individu-individu tertentu seperti pedagang, pelaut, mubalig, atau tokoh agama. Akibat dari pertemuan pendukung unsur-unsur kebudayaan yang berbeda itu, ada hubungan simbiotik yang berpengaruh terhadap bentuk kebudayan masing-masing. Ada pula unsur kebudayaan yang secara tidak sengaja ikut masuk dengan damai ke dalam kebudayaan penerima (penetration pasifique) (Koentjaraningrat, 1996: 152-154). [2: Patokusumo mengutip Ki Hajar Dewantoro tentang makna kebudayaan. Kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan Budaya. Budaya berasal dari kata Budi, yang diartikan jiwa manusia yang telah masak. Budaya dan kebudayaan manusia tidak lain adalah buah budi manusia yang juga berarti memelihara dan memajukan (Partokusumo, 1995: 164). Herusatoto (1984: 5) menambahkan Budi sendiri, pada dasarnya terdiri dari tiga kekuatan manusia, yakni pikiran, rasa dan kemauan. Kata Budi juga mengandung aarti: akal, dalam arti batin, untuk menimbang baik dan buruk, benar dan tidak.]

A. Masyarakat Plural dan Strategi AkulturasiDalam skala yang lebih jauh, akulturasi merujuk pada perubahan yang terjadi akibat dari hubungan atau kontak dengan masyarakat, grup yang secara budaya berbeda dalam pengaruh sosialnya (Gibson, 2001), sebagai hasilnya disini muncul konteks imigrasi (seperti istilah yang sering dipakai dalam kajian sosial, berupa: mainstream; minority; ethnic group dan lain sebagainya. Berry (2006a) lebih mempertegas paradigma akulturasi yang tidak terbatas pada setiap hubungan intercultural (seperti globalisasi, Arnett, 2002), akulturasi juga meninjau titik kajian pada individu yang menetap di luar negeri atau daerah di luar tempat di lahir, yang biasa disebut imigran, pelarian, penduduk tidak tetap (sojourner) laiknya siswa internasional, pekerja musiman, Berry, 2006a). Dari sudut pandang inilah konsep akulturasi secara umum mengklasifikasikan golongan masyarakat seperti tersebut sebelumnya dalam kelompok orang yang tinggal sementara di lokasi barunya.Banyak jenis masyarakat dengan budayanya hadir dalam masyarakat yang plural. Varietas tersebut dapat timbul karena beberapa faktor: beberapa grup terlibat dalam proses akulturasi secara sukarela (seperti imigran); dan yang lain mengalami akulturasi tanpa harus mencari (indigenous atau masyarakat asli); sementara beberapa group yang lain mengalami kontak karena harus migrasi ke lokasi terbaru (refugee atau sukarelawan); sementara yang lain harus mengalami kontak karena budaya baru yang dibawa (national minorities kelompok minoritas); sedangkan yang lain situasinya hanya sementara (sojourner atau siswa internasional, dan guest workers atau pekerja lepas atau asylum atau pencari yang akhirnya dideportasi). Dalam konteks ke-Indonesiaan, beberapa kutipan sejarah menceritakan kedatangan keberagaman unsur budaya Islam yang mulai tersebar di Jawa seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia secara sukarela melalui perdagangan. Sedangkan masyarakat Jawa secara kelompok telah mengenal unsur budaya Islam semenjak mereka bersentuhan dengan para pedagang yang notabene merupakan para pensyiar agama Islam pertama di Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika peran Walisongo menyebarkan Islam pada garis geografis pesisir pantai Jawa, dari Cirebon hingga Surabaya. Daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa, seperti Gresik, Tuban, Jepara, Surabaya, dahulu merupakan pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Dan yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana peran Walisongo dalam proses awal akulturasi. Walisongo memiliki peranan yang cukup besar dalam awal sejarah proses akulturasi Islam dengan budaya Jawa[footnoteRef:3]. Mereka menelurkan banyak karya kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi Islam dengan budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru secara persuasif. Dalam hal-hal yang sensitif, seperti bidang kepercayaan para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan masyarakat Jawa (Kartodirdjo, 1993: 26). Hanya saja hal tersebut tidak berlaku pada ubarampe (perlengkapan) upacara, seperti sesaji yang diganti dengan pemberian makan kepada tetangga dan sanak saudara, yang biasa dikenal dengan hajatan. Tidak terlepas pula dengan hal mantra-mantra diganti dengan kalimat thoyyibah (puji-pujian kepada Allah). Konteks kalimat thoyyibah ini banyak ditemui di setting makam Walisongo. [3: Berdasarkan pengertian tentang kebudayaan sebelumnya, maka kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin (Partokusumo, 1995: 166)]

Terlihat dari kasus diatas, bagaimana strategi akulturasi terkait dalam isu-isu antara kelompok pendatang dan masyarakat asli. Isu-isu dapat berupa: cultural maintenance atau sejauh mana identitas cultural dianggap penting; dan contact and participation atau sejauh mana keterlibatan kelompok pendatang dengan masyarakat asli atau tanpa ada kontak, artinya bertahan pada kultur aslinya. Ketika seseorang atau individu tidak berkenan untuk melakukan kontak dengan budaya baru dan rela melepaskan budaya aslinya, maka strategi asimilasi terbentuk-disinilah konsep melting pot terjadi. Sebagai kontrasnya, ketika individu mempertahankan nilai budaya aslinya dalam proses kontak akulturasi, maka strategi separatif berjalan. Berbeda ketika ada ketertarikan untuk meleburkan dua budaya berbeda dari dua individu yang berbeda pula, maka strategi integratif berjalan karena adanya faktor-faktor yang akomodatif, disini terdapat tingkat peleburan kapasitas akulturasi budaya yang berbeda, yang di sisi lain terdapat kecenderungan pertisipasi terhadap jaringan sosial yang lebih besar. Dan yang paling terakhir, jika terdapat perpaduan dalam skala kecil kemungkinan dan kecil keinginan dalam memadu hubungan atau kontak budaya dengan lawan budaya, maka strategi marginalisasi muncul.B. AdaptasiDalam konteks yang lebih jeneral, adaptasi merujuk kepada perubahan yang menempatkan individu-individu yang responsif terhadap tuntutan lingkungan (Beiser, 1988). Melihat proses adaptasi dengan syariat Islam, para Walisongo yang notabene penyebar Islam di Jawa memerlukan cara-cara lunak, persuasif, dan perlahan-lahan. Sepertihalnnya upaya Sunan Ampel kepada masyarakat Jawa ketika proses penyebarluasan Islam dalam atmosfir ajaran Hindu-Budha yang kental. Upaya Sunan Ampel merubah konsepsi Mo-Limo (Moh Main, Moh Ngombe, Moh Madat, Moh Maling, dan Moh Madon.), sebagaimana diutarakan Sunyoto (1990: 63), adalah merupakan bentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima. Singkatnya, dikalangan pengikut Yoga-Tantra istilah Ma-Lima berkonotasi sebagai suatu ajaran penyempurnaan batin, maka para ulama menetapkan bahwa apa yang disebut Ma-Lima adalah suatu konsep perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh manusia yang berbudi sesuai syariat Islam. Titik tekan pertemuan dua budaya yang bersifat integrative dan bukan pemaksaan itu merupakan ciri dari proses akulturasi (Bakker, 1984: 115).Tidak terlepas dari konsep Mo-Limo diatas, terlihat bagaimana masyarakat Jawa dengan tradisi yang sudah lama diterima, akan mengalami masa transisi untuk menyesuaikan dengan unsur budaya asing yang diterimanya. Kepribadian individu yang berada dalam kelompok atau masyarakat Jawa tersebut akan ikut mempengaruhi proses akulturasi.Sebaliknya, dalam proses akulturasi Islam dan budaya Jawa, tidak bisa selalu dibilang mulus dalam pencapaian kehendak pelaku akulturasi. Koentjaraningrat (1990: 108-112) menyatakan bahwa terdapat golongan kolot yang cukup kuat. Kelompok atau golongan ini dapat menentang atau menghentikan proses akulturasi. Namun jika tidak bertahan dan melakukan penetrasi, kelompok ini cenderung mencari kepuasan batin dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat tersebut. Kelompok semacam ini dapat mennimbulkan gerakan kebatinan yang kontra-akulturasi.Pendefinisian kelompok tersebut selaras dengan hasil penelitian Robert W. Hefner di Tengger sekitar tahun 1977-1978. Masyarakat Tengger merupakan kelompok yang memelihara tradisi-tradisi kuno peninggalan nenek moyangnya. Menurut pengakuan, mereka adalah descendant atau keturunan orang Jawa Majapahit yang melarikan diri ketika kekuasaan Majapahit jatuh ke tangan kekuasaan Islam pada permulaan abad XVI. Mereka menolak masuk Islam dan mengasingkan diri atau separasi untuk memelihara tradisi agama Hindu yang mereka peluk (Hefner, 1985: 6).Mobilitas islamisasi ini menimbulkan reactive-reaksi assimilasi sekaligus creative-assimilasi kreatif (meminjan istilah SSRC) tersendiri bagi masyarakat Tengger. Dan dalam kurun waktu berikutnya, delayed-assimilasi yang tertunda, sebagian dari kelompok masyarakat Tengger tidak bisa melepaskan diri dari persentuhan dengan masyarakat sekitar, yang rata-rata beragama Islam. Maka di daerah-daerah tertentu yang sebelumnya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat Hindu Tengger, seperti yang ada di Besuki, telah mengalami perubahan dengan adanya pendatang-pendatang muslim. Beberapa tradisi lama Tengger[footnoteRef:4] juga menerima sentuhan tradisi masyarakat muslim (Hefner, 1985: 242-245). Berbeda dengan penduduk Tengger di daerah-daerah yang secara geografis lebih tinggi, mereka tidak terpengaruh tradisi muslim karena mencari hubungan dengan kelompok masyarakat Bali yang beragama Hindu. Dari interaksi itu kemudian terjadi proses kebangkitan agama Hindu di Tengger yang disertai dengan rekonseptualisasi tradisi kuno mereka sebagai konsekuensi dari afiliasi tradisi Hindu Bali (Hefner, 1985: 250-253). Walaupun tidak secara keseluruhan masyarakat suku tengger menerima Islam, dalam hal ini di daerah Besuki secara perlahan telah menerima Islam sebagai donor culture, dan di sisi lain, masyarakat Besuki menjadi acceptor culture. [4: Dalam semua upacara pernikahan misalnya, masyarakat mengikuti tradisi walimahan yang diajarkan Islam, maka terdapat kenduren ala masyarakat muslim. Sementara itu, upacara lama Walagara boleh dilakukan setelah upacara menurut tradisi muslim (Hefner: 242-245)]

Konteks refusal-penolakan sekelompok masyarakat Tengger dari proses islamisasi, tentu saja, bukan selalu masalah utama dalam akulturasi. Apa yang dikemukakan oleh Berry (1997: 10), When dominant group enforces certain forms of acculturation, or constrains the choices of non-dominant groups or individuals, then other terms need to be used. Most clearly, people masy sometimes choose the Separation option: but when it is required of them by the dominant society, the situation is one of the Segregation. Similarly, when people choose to assimilate, the notion of the Melting Pot may be appropriate; but when forced to do so, it becomes more like a Pressure Cooker.

Dalam historiografi perjuangan Islam menundukkan kerajaan Majapahit, terlihat bagaimana dominasi para wali atau utusan Islam di Jawa (sepanjang pantai utara pulau Jawa-lihat peta kerajaan Islam pesisir pantai pulau Jawa) seperti dikisahkan J.J. Ras (1991: 163) terdapat tiga kesempatan bagaimana dominasi Islam di tanah Jawa berlangsung: 1. Pertama, pembangunan masjid suci Demak; aspek simbolik dari kejadian ini adalah masjid Demak merupakan titik pusat kehidupan masyarakat Islam pada masa awal itu.. Sebagai tempat resmi yang pertama untuk salaat al-jumah. Juga sebagai simbol masuknya Pulau Jawa dalam daar al-Islam (rumah Islam).2. Kedua, penggulingan Keraton majapahit yang kafir (dalam pandangan Islam); ini menjadi simbol kemenangan akhir perjalanan gerakan jihad (perang suci) terhadap raja kafir terakhir, atau dengan kata lain-kemenangan politis Islam.3. Dan ketiga, mengutuk dewan yang menganut doktrin heterodoks mistik dari Syeh Siti Jenar, dan menghukun mati penganjurnya yang dulunya seorang wali. Di sini, dewan wali merupakan symbol kemenangan rohani Islam ortodoks terhadap sisa-sisa panteisme Hindu-Budha. Aliran mistik yang menyamakan Tuhan dengan semua kekuatan alam mulai saat itu resmi dilarang (paradigm segregasi sebagai kontra-separasi).Pada kesempatan pertama terdapat aspek melting pot yang terjadi ketika masyarakat menerima ajaran syariat Islam melalui terbangunya masjid Demak dan prosesi awal syariat Islam yang pertama- salaat al-jumah. Dan pada kesempatan kedua, terlihat bagaimana usaha kekuatan Islam mendominasi kekuasaan Keraton majapahit dalam arti perebutan politik Islam di Jawa. Hal ini seperti dikutip dalam Babad Tanah Jawi kanto 17, Arya Teja in Tuban nagarinira, apan wus sami prapti, kumpul in Bintara, saha gagamanira, punika kang Selam manjing, maring susunan, in Ampel lan ing Giri[footnoteRef:5] Dan yang terakhir, terdapat aspek segregation dari kalangan dewan utama (sebagai bentuk dominasi terhadap penyeleweng ajaran dari salah satu kalangan dewan wali juga) untuk menghapus kalangan yang menolak doktrin ajaran Islam ortodoks, yakni Syeh Siti Jenar. [5: J.J. Ras (1990: 50) mengutip Babad Tanah Jawi (dalam Major Babad Surakarta 1939/41 jilid 3, bab 14) serangan atas Majapahit yang dipimpin oleh Raden Patah (Adipati Bintara/Demak) bersama saudara tirinya, Adipati Terung. Mereka menyeru perang suci kepada sekutu muslim mereka, dan mereka kemudian kumpul di Bintara. Kutipan kanto 17 diatas bermakana: Arya Teja dari Tuban telah tiba dan bergabung dengan mereka di Bintara, bersama tentaranya, dan juga orang-orang Islam yang mengabdi pada Sunan Ampel dan Sunan Giri]

IV. KESIMPULANKetika difusi memberikan penjelasan tentang penyebaran ciri-ciri budaya, hal itu tidak dapat menjelaskan asal-usul sifat-sifat budaya tersebut. Berfokus pada penyebaran ciri-ciri budaya dari satu daerah yang kemudian diterima oleh daerah lain, hal tersebut meminimasi kreativitas manusia. Bahkan, salah satu perdebatan utama dalam literatur antropologi adalah pada konteks diffusion melawan invention. Dikatakan bahwa difusi tidak dapat menjelaskan penemuan independen atau perubahan budaya. Dijelaskan bahwa situasi budaya yang tidak memiliki kontak dengan budaya lain, bisa saja menunjukkan persamaan dan paralel satu sama lain.Meskipun terbatas, diffusionism menarik perhatian antropolog dalam waktu yang relatif lama. Lebih serius, diffusionism mewakili upaya sederhana untuk menjelaskan keberadaan budaya yang memiliki ciri-ciri sama yang terpisah jarak, melalui kontak antara masyarakat. Diffusionism tidak boleh dianggap sebagai prinsip tanpa jasa apapun. Bahkan, diffusionism telah memberikan dasar bagi pengembangan ide-ide penting dan konsep yang digunakan tidak hanya oleh para antropolog tetapi para ahli disiplin ilmu lainnya. Difusi, yang dikembangkan oleh beberapa antropolog adalah bagian dari pengembangan konsep antropologi tentang bagaimana masyarakat berubah karena penyebaran ciri-ciri budaya dan penemuan-penemuan yang bersifat independen. Namun, hal itu masih diliputi ide-ide etnosentris. Sebuah pendekatan yang lebih holistik, berasal dari pemikiran difusionisme untuk melawan evolusionisme, telah memberikan pemahaman yang lebih memadai dari gambaran keseluruhan kebudayaan.Sebaliknya, perkembangan kebudayaan suatu masyarakat yang menyebar sebagai paradigma difusi, konsep akulturasi lahir dengan berbagai konteks yang melihat karakter individu yang berbeda yang melakukan perpaduan nilai-nilai budaya yang berbeda pula. Seperti keterlibatan isu-isu berupa: cultural maintenance atau sejauh mana identitas cultural dianggap penting; dan contact and participation atau sejauh mana keterlibatan kelompok pendatang dengan masyarakat asli atau tanpa ada kontak, artinya bertahan pada kultur aslinya. Dari munculnya kedua isu tersebut, terdapat strategi yang dilakukan individu-individu terhadap konteks yang berbeda: strategi asimilasi yang memungkinkan terbentuknya konsep melting pot; strategi separatif; strategi integratif yang muncul karena adanya faktor-faktor yang akomodatif; dan yang terakhir yaitu strategi marginalisasi.

DAFTAR PUSTAKAAwang A.R. 1998, Budaya dan Kebudayaan : Teori, Isu dan Persoalan. Kuala Lumpur : Citra BudayaBaal, J van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya: Hingga Dekade 1970, Jakarta: GramediaBeals, Ralph L. and Harry Hoijer . 1965 An Introduction to Anthropology. New York: Macmillan Company.Berry, John W. 1997. Immigration, Acculturation, and Adaptation. Applied Psychology: An International Review, 46 (1), 5-68.Berry, J.W. 2006a. Contexts of Acculturation. In D. L. Sam & J.W. Berry (eds), Cambridge Handbook of Acculturation Psychology (hlm. 27-42). New York: Cambridge University PressGibson, M.A. 2001. Immigrant Adaptation and Patterns of Acculturation. Human Development 44. 19-23Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y. Crowell CompanyHefner, Robert W. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. New Jersey: Princeton University PersHerskovits, M. J. 1955. Cultural Anthropology. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd.Hugill, Peter J. 1996. Diffusion (In Encyclopedia of Cultural Anthropology David Levinson and Melvin Ember, eds. Pp. 344-45). New York: Henry Holt and CompanyKartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jilid I. Jakarta: Gramedi Pustaka UtamaKoentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi. Jilid II. Jakarta: UI Press.Kuklick, Henrika. 1996. Diffusionism. In Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. Alam Barnard and Jonathan Spencer, eds. Pp, 160-162. London: Routledge.Linton, R. 1936. The Study of Man: An Introduction. New York: Appleton-Century-Crofts.Murphy, R. 1989. Cultural and Social Anthropology: An Overture. Englewood Cliffs, NJ: Prentice HallPoespowardojo, Soerjanto. 1982. Menuju kepada Manusia Seutuhnya. Jakarta: GramediaRas, J.J. Javanese Tradition on the coming of Islam. Dalam Stokhof, W.A.L. dan N.J.G. Kaptein. 1990. Beberapa Kajian Indonesia dan Islam, Indonesian and Islamic Studies (edisi dua bahasa), Kumpulan karangan Jakarta: INIS, 1990. Seri INIS Jilid VIRedfield, R., Linton, R., & Herskovits, M. 1939. Memorandum on the Study of Acculturation. American Anthropologist, 38. 149-152Rouse, I.B. 1986. Migrations in Prehistory. New Haven: Yale University Press,Social Science Research Council (SSRC). 1954. Acculturation: An Exploratory Formulation. American Anthropologist, 56, 973Titiev, Mischa . 1958 Introduction to Cultural Anthropology. New York: Henry Holt and Co.Wallis, W. D. 1925. Diffusion as criterion of Age. American Anthropologist 27, 1: 91:99White, Leslie A. 1959. The Evolution of Culture. New York : Mc Graw HillWinthrop, Robert H. 1991. Dictionary of Concepts in Cultural Anthropology. New York: Greenwood.11 | DIFUSI DAN AKULTURASI


Top Related