menuju keadilan substantif
TRANSCRIPT
7/23/2019 Menuju Keadilan Substantif
http://slidepdf.com/reader/full/menuju-keadilan-substantif 1/3
Menuju Keadilan Substantif Jum'at, 18 Desember 2015 02:35 WIB
ilustrasi
PROBLEMATIKA penegakan hukum di Indonesia sudah lama terjangkit virus Orde Baru yang berujung pada
tuntutan pascarezim Soeharto dengan gagasan reformasi. Hingga kini belum tersentuh nilai-nilai yang
terselubung dalam bidang hukum bahkan semakin menunjukkan wajah bopengnya. Kasus-kasus hukum mulai
dari pelaku akar rumput hingga kerah putih banyak terjadi disparitas dalam proses penyelesaiannya.
Penegakan hukum di Indonesia selama ini hanya menerapkan nilai kepastian hukum dan mengutamakan
perundang-undangan yang secara eksplisit terdiri atas norma-norma baku sehingga nilai keadilan dankemanfaatan yang merupakan substansi hukum kian terkikis. Deretan kasus-kasus hukum yang terjadi
selama ini, terutama kasus yang menimpa para pelaku yang tidak memiliki “power”, dilakukan secara
legalistik-prosedural. Sedangkan kasus yang makro dan berdampak pada kerugian negara seakan
terninabobokan oleh oknum yang memiliki “power” melalui lobi-lobi dan negosiasi terhadap para operator
hukum.
Kasus hukum Mpok Minah adalah kisah nyata yang berujung pada pesakitan di ruang pengadilan layak
dijadikan backgound sebagai kilas balik penegakan hukum di Indonesia. Ganjaran 1 bulan 15 hari penjara
dengan masa percobaan 3 bulan diberikan akibat perbuatannya memetik tiga buah kakao di perkebunan milik
PT Rumpun Sari Antan. Kasus tersebut berada pada titik nadir aparat hukum sekaligus menjadi trending topic
yang mendapat perhatian masyarakat dalam porsi lebih di media, baik cetak, elektronik, maupun media
virtual.
7/23/2019 Menuju Keadilan Substantif
http://slidepdf.com/reader/full/menuju-keadilan-substantif 2/3
Berbagai peristiwa sebagai wujud respons masyarakat dapat dilihat dari unjuk rasa, baik melalui demonstrasi
turun ke jalan maupun pemberian opini publik. Hal ini menunjukkan bahwa kasus hukum tersebut bukan
kasus hukum biasa.
Contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa aparat hukum, terutama kepolisian, yang paling dekat dan selalu
berhubungan dengan masyarakat memiliki asumsi semua masalah dapat diselesaikan dengan hukum sehingga
kurang memperhatikan aspek-aspek nonhukum, perdamaian atau kompromi dari pihak-pihak yang
bersengketa hanya sebatas restitusi.
Penegak hukum menghendaki adanya kepastian hukum yang secara eksplisit tertuang dalam undang-undang.
Namun, keadilan substantif belum mampu dirasakan oleh masyarakat, terlebih pelaku yang “tak berdaya”.
Karena itu, tidak sedikit para pencari keadilan yang melakukan perlawanan terhadap aparat hukum,
sekalipun di dunia maya. Terutama hakim yang merupakan ujung pangkal dari nasib seseorang di kemudian
hari.
Sejarah hukum abad 19 saat kejayaan analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek penegakan hukum
dirumuskan sebagai subsumptie otomat atau pencet tombol otomatis. Hal tersebut merupakan pikiranhukum yang dominan di abad 19 sehingga hakim hanya boleh menjadi mulut atau corong undang-undang
(Raharjo, 2007: 59). Dari sini dapat diketahui bahwa pada abad 19 mengalami positivisasi yang luar biasa
dimana hukum menghendaki adanya kodifikasi, peraturan yang tertulis, logis, dan sistematis.
Alhasil, yang tampak di luar undang-undang tidak ada hukum, dan semua permasalahan tidak dapat
diselesaikan tanpa undang-undang. Maka, inilah yang selanjutnya dinamakan paham legisme, oleh Hans
Kelsen dikatakan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan yang berjenjang, logis, dan sistematis.
Karena itu, aturan tersebut harus disterilkan dari faktor-faktor di luar hukum. Para aparat penegak hukum
dalam pelaksanaannya harus lebih memahami dan mampu memberikan interpretasi dari kondisi di luar
peraturan legalistik, formal, dan prosedural. Kondisi tersebut lebih menekankan pada aspek sosiologis atau
law in action sehingga pemahaman tentang hukum berubah menjadi law is behavior.
Sinzheimer berpendapat bahwa hukum tidak bergerak atau tidak dapat hidup dalam ruang hampa dan
berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Tetapi, hukum selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu
dan manusia yang hidup dalam masyarakat. Sebagai imbas dari pola hukum yang seperti itu, dalam menangani
kasus-kasus hukum aparat hukum selalu berpandangan legal-normatif. Akhirnya, kesan dari masyarakat
pencari keadilan mengasumsikan lembaga penegak hukum sarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan
lamban dalam memberikan keputusan.
Keadilan memang barang yang abstrak, dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang
berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusian keadilan telah menjadi
institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern. Oleh sebab
itu, pekerjaan “mengadili” tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial, tetapi hukum substantif yang
bertolak dari nilai-nilai etika, religi, politik, dan sosiologi.
Kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan, menurut Satjipto Rahardjo (2002: 134), dapat dicapai jika keluar dari
bingkai-bingkai normatif yang terselubung di dalam undang-undang yang serbaformal-prosedural. Jika
menginginkan dan memercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa,harus berani mancari agenda alternatif, terobosan-terobosan baru yang bersifat progresif.
Berpikir progresif berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum. Kemudian
menempatkan hukum dalam posisi yang relatif, menggunakan hati nurani dan akal pikiran yang sehat. Dalam
7/23/2019 Menuju Keadilan Substantif
http://slidepdf.com/reader/full/menuju-keadilan-substantif 3/3
hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Para legal profesional diantar
untuk berpandangan secara makro, komprehensif, dan tidak parsial akan makna filosofi dari bekerjanya
hukum dalam tataran empiris yang selalu berbenturan dengan hal-hal di luar hukum. Ketika perundang-
undangan diterapkan bukan hanya berporos pada sisi yuridis-normatif, melainkan juga melihat hukum dalam
ranah sosiologis. Hukum tidak dapat berjalan tanpa ada masyarakat dan selalu berhadapan dengan hal-hal
yang abstrak, sekalipun di pedalaman Amazon yang dihuni suku primitif oleh satu orang saja.
Setidaknya, Satjipto Rahardjo telah mengingatkan bahwa: “suatu masa akan tumbuh seribu bunga bak disebuah taman. Warna-warni itu akan semakin menyemarakkan dan mengharumkan aroma. Biarlah muncul
gagasan-gagasan kritis di hati (mereka), gagasan tentang hukum dan kehidupan di bumi. Kita sudah cukup
lama terpuruk dalam pemaknaan hukum sebatas hitam-putih”.
Dalam rangka mewujudkan keadilan yang substantif, diperlukan terobosan-terobosan baru, jalan baru, jika
berani melakukan dan mematahkan aturan atas kebuntuan legalitas normatif yang selama ini dipedomani
oleh para penegak hukum. Semoga keadilan yang substantif dapat ditemukan di dalam ruang yang serba
proseduralistik di kolong negeri ini.
Dilema Nikah Siri (http://lampost.co/berita/dilema-nikah-siri)
Nilai Kebangsaan Dasar Bela Negara (http://lampost.co/berita/nilai-kebangsaan-dasar-bela-negara)
Pohon: Tanam, Tanam, dan Pelihara (http://lampost.co/berita/pohon-tanam-tanam-dan-pelihara)
Mahkamah Konspirasi Dewan (MKD) (http://lampost.co/berita/mahkamah-
Penulis : Sakirman, Pegiat Jurai Siwo Corner
Editor : Ricky Marly
dibaca : 1475 Kali
Tweet
2
5Suka Bagikan
Bagikan
0 komentar
Urut Berdasarkan
Facebook Comments Plugin
Paling Lama
Tambahkan Komentar...
OPINI