pahlawan hampa makna

Upload: rio-heykhal-belvage

Post on 26-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 Pahlawan Hampa Makna

    1/5

    1

    Sabtu, 071115.11:00

    Pahlawan Hampa Makna

    Oleh: Belvage

    Friedrich Nietzsche (1844-1900) menyebutnya Ubermensch, terjemahan sederhananya

    adalah manusia super. Jangan dibalik menjadi Superman, sebab nanti orang mengira si

    Nietzsche-lah yang menggagas munculnya film superhero bikinan Hollywood itu, si

    pahlawan super yang mengisi fantasi remaja di seluruh dunia, di mana pada tahun 1974

    saat saya belum lahir, turut juga keluar film dari negeri sendiri berjudul "Rama Superman

    Indonesia". Ya, superman rasa Indonesia.

    Pada tahun yang sama ketika itu, negeri ini juga tengah mengalami dialektika cukup

    hebat, meski tak semeledak tahun 65. Sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai aksi

    perlawanan terhebat pertama sejak berdirinya Orde Baru. Dalam dialektika yang

    menempatkan demonstran mahasiswa sebagai antitesis terhadap kebijakan pemerintah

    pada waktu itu - sebagaimana cerita dari buku yang saya baca, massa menolak rencana

    penghadiran modal asing karena dinilai kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan

    Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI), yaitu lembaga pemodal asing bentukan

    Amerika Serikat (AS), dianggap bakal lebih menyengsarakan nasib hidup rakyat. Jika

    dibandingkan dengan kondisi yang terjadi hari-hari ini, pola ekspansi kapital kurang-

    lebih masih sama, dari dulu-dulu sudah terjadi, hanya saja skalanya semakin massif.

    Tentu ini menjadi PR bagi kita untuk menjawabnya, mengapa kesehatan kapitalisme di

    Indonesia selepas Orde Baru terkena stroke malah justru semakin membaik?

    Beberapa tahun sebelum peristiwa 1974 itu pecah, seorang sarjana lulusan Harvard,

    David Ransom, yang tergabung ke dalam Pacific Studies Center mempublikasikan hasil

    penelitiannya yang sangat provokatif tentang peta ekonomi-politik Indonesia. Tulisannya

    terbit pertama kali pada majalah berkala di Amerika, Ramparts, di Bulan Oktober 1970,

    yang selanjutnya disusul dengan versi Indonesia dalam tulisan bersambung pada majalah

    mingguan Dwiwarna berjudul Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia.

  • 7/25/2019 Pahlawan Hampa Makna

    2/5

    2

    Mafia Berkeley yang dimaksud Ransom, bukan Godfather seperti dalam imajinasi Mario

    Puzo, tetapi merujuk pada para sarjana Indonesia jebolan Berkeley California yang diberi

    wewenang menjadi arsitek ekonomi di era 1960an.

    Publikasi hasil penelitian Ransom tersebut meski kebenaran isinya masih perlu

    diverifikasi, namun tidak bisa ditolak bahwa wacana provokatif yang dilemparkannya ke

    publik sedikit-banyak juga turut menyumbang kegelisahan para aktivis di masa itu.

    Puncaknya, kegeraman mendapatkan momentumnya pada aksi demonstrasi besar-besaran

    yang terjadi pada saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, mengadakan

    kunjungan ke Indonesia di Bulan Januari 1974. Benturan pun tak terhindarkan. Menurut

    sejarah yang saya baca, peristiwa itu mengakibatkan belasan nyawa melayang, puluhan

    orang luka-luka, ratusan orang ditahan dan fasilitas-fasilitas umum rusak berat dihantam

    kerusuhan. Tentu, seperti kebanyakan aksi demontrasi yang terjadi kelak di kemudian

    hari, peristiwa tersebut diduga telah ditunggangi oleh oknum yang tidak bertanggung-

    jawab sehingga akibat fatal dari demonstrasi yang demikian besar itu bahkan berada di

    luar bayangan mahasiswa yang terlibat di dalamnya. Maka untuk mengingat kejadian itu,

    Orde Baru memonumentasikannya secara kreatif melalui akronim Malari (Malapetaka

    Lima Belas Januari).

    Perjuangan Manusia Unggul

    Ubermensch, dalam gagasan Nietzsche dapat diterjemahkan sebagai manusia unggul,

    jiwa-jiwa tuan yang kehadirannya mensyarakatkan pembebasan subyek dari dikotomi

    moralitas budak-tuan. Manusia super adalah manusia yang mampu menjadi tuan atas

    dirinya sendiri. Manusia yang memiliki kehendak bebas dari segala bentuk penjajahan

    yang menempatkan dirinya sebagai hamba. Dorongan untuk merdeka dan menjadi tuan

    bagi diri sendiri semacam inilah yang akan kita temukan bila mengkaji perjuangan dan

    berbagai peristiwa yang digerakkan oleh manusia-manusia terdahulu. Sebut saja misalnya

    perjuangan Diponegoro, Bandung lautan api, perang 10 November di Surabaya, dan tak

    terkecuali Malari itu sendiri. Tetapi tunggu dulu, sepertinya ada sedikit masalah dengan

    pemahaman terhadap tokoh-tokoh utama yang kerap mendapat julukan sebagai pahlawan

    di sini. Jangan-jangan pemaknaan terhadap istilah pahlawan yang kita pahami zaman ini

  • 7/25/2019 Pahlawan Hampa Makna

    3/5

    3

    tengah membentur yang simbolik - jika dilihat dalam psikoanalisa Jacques Lacan.

    Dalam perspektif tersebut, simbolisme merupakan kebutuhan dasar untuk memenuhi

    hasrat manusia yang fitrahnya selalu merasa berkurangan (lackness) terhadap segala hal -

    termasuk merasa kurang terhadap heroisme kepahlawanan yang mendiami imajinasi

    kolektifnya. Sehingga yang simbolik itu kemudian perlu untuk diejawantahkan dalam

    wujud yang lebih konkret, seperti pemberian gelar-gelar kepahlawanan, misalnya.

    Bila kita merefleksikan hal itu ke dalam wacana dominan seputar Hari Pahlawan di

    Indonesia hari ini, sebagian dari kita barangkali masih tertuju pada imajinasi sentimental

    yang diasosiasikan dengan perjuangan nostalgis berdarah-darah, sebagaimana narasi-

    narasi historis yang melatarbelakangi imajinasi kolektif lahirnya bangsa ini. Oleh karena

    itu pada tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk menghadirkan pemaknaan ulang

    terkait perbincangan mengenai tema-tema kepahlawanan.

    Tentu sudah sangat banyak sekali para sensei yang telah mengulas tentang tema-tema

    kepahlawanan tersebut. Di sini saya hanya akan mengambil satu diskursus umum saja

    dimana pahlawan selama ini cenderung dipahami secara kolektif sebagai orang yang

    telah berjasa terhadap bangsa dan negara.

    Premis yang menyebutkan bahwa pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi

    bangsa dan negara memang benar, tetapi belum tentu tepat. Sebab cara memahami yang

    saklek seperti itu juga sekaligus membatasi luesnya konotasi kepahlawanan itu sendiri.

    Sebab dari premis tersebut, banyak orang yang mestinya disebut sebagai pahlawan atas

    pengabdian dan kasih sayangnya terhadap kemanusiaan justru hilang ketika pahlawan itu

    sendiri hanya diletakkan dalam konteks berjasa bagi bangsa dan negara. Para pengikut

    paham Shakespeare mungkin akan nyeletuk, Apalah arti sebuah nama?. Jangan

    dianggap remeh. Keberadaan nama sangatlah penting, terutama dalam kultur masyarakat

    bangsa ini. Bahkan untuk memperoleh sebuah nama saja, banyak orang berani bayar

    berapapun untuk itu. Artinya, dalam masyarakat kita, nama selain memiliki nilai kultural,

    juga membawa nilai ekonomi dan politik sekaligus di dalamnya! Baiklah, kita kembali

    pada bahasan soal pahlawan di awal tadi. Kekeliruan mendasar tersebut akan bertambah

  • 7/25/2019 Pahlawan Hampa Makna

    4/5

    4

    lebih akut lagi jika kita memiliki anggapan bahwa yang memiliki wewenang dalam

    memberi gelar kepahlawanan adalah negara/penguasa/yayasaan/dsb. Karena yang umum

    terjadi, kewenangan terhadap pemberian nama pahlawan hampir selalu dilokalisir oleh

    beragam lembaga yang diikuti selebrasi berlebihan sehingga membuat subtansi dari

    pemberian gelar penghormatan itu sendiri pun semakin ambivalen, dan bahkan membuka

    celah untuk dipolitisir.

    Pemimpin yang muncul dalam diri masyarakat kita hari ini dalam prosesnya masih dan

    mungkin akan selalu dibangun dari tradisi ketololan *eh ketokohan, kharisma, politik

    dinasti dan bukan kerja konkret, sehingga pencitraan pun menjadi syarat utama bagi

    siapapun yang ingin mengajukan diri sebagai pemimpin - apalagi bila tiba waktunya

    memasuki bulan-bulan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) - yang tidak lama lagi segera

    akan kita lihat pertunjukannya. Padahal bila mau mencoba melihat tipologi perjuangan

    Manusia Indonesia, tidak bisa tidak usaha pembebasan dari segala bentuk penjajahan

    selalu digerakkan oleh peran utama anak-anak muda, dimana hal itu berkali-kali juga

    telah dicatat rekam-jejaknya oleh para sejarawan. Namun pada kenyataanya, pemahaman

    kolektif masyarakat kita masih saja gagal atau enggan memahami realitas kepahlawanan

    yang dibangun dari kerja-kerja konkret, kerja yang tidak didasarkan dari pertimbangan

    seberapa besar serapan anggaran yang dilakukan dari kerja-kerja sosial. Contohnya saja,

    hingga kini kita masih kesulitan mengapresiasi aktivisme dan voluntarisme di Indonesia

    sebagai bentuk dari penerjemahan konsep kepahlawanan yang dibutuhkan oleh zaman ini.

    Kita belum memiliki rumus yang tepat untuk menjelaskan mengapa para aktivis yang

    tewas dalam setiap rezim di negeri ini pantas disebut pahlawan. Marsinah, Udin, Widji

    Thukul, Munir, Jopi, Salim Kancil dan deretan panjang aktivis yang tewas tak terliput

    media. Yang lebih banyak terjadi justru sebaliknya, seringkali kita memandang sinis,

    meringis terhadap tindakan-tindakan sosial kongkret semacam itu. Kita gagal membuat

    pemahaman dekonstruktif bahwa pahlawan ada dimana-mana. Pahlawan tidak dilahirkan

    dari pemberian gelar oleh pemimpin negara di gedung istana, melainkan justru sebaliknya,

    pahlawan itu sendirilah yang dari tindakannya, aktivismenya, volutarismenya, melahirkan

    negara, menjaga keutuhan dan kelangsungannya.

    ***

  • 7/25/2019 Pahlawan Hampa Makna

    5/5

    5

    Dalam cerita film Rama Superman Indonesia yang disutradari Frans Totok Ars

    diceritakan, si loper koran bernama Andi, karena kebaikannya menolong seorang kakek,

    mendapatkan kekuatan dari kalung ajaib pemberian sang kakek. Kalung itu bila ia cium,

    dapat merubahnya menjadi Rama berkekuatan Gatutkaca, punya kekuatan super dan

    terbang kemana-mana. Si kakek tua itu, bila lamat-lamat kita perhatikan, mungkin saja

    melambangkan afirmasi atas kehadirannya sebagai tokoh muda yang datang dari generasi

    sebelumnya, mewakili tradisi yang terdapat dalam rezim-rezim sebelumnya. Sementara

    Andi yang seorang loper koran, menjelma Hermes kalau dalam mitologi Yunani, atau

    media dalam istilah masa kini, yang atas tindakan sosialnya menolong sang kakek, ia

    diberkati memiliki kemampuan untuk menggenggam realitas dan membentuk kesadaran

    palsu. Sayangnya, film itu tidak mungkin Go International lantaran masalah hak cipta

    Superman di AS sana.