sejarah civil law dan common law system hubungannya dalam perkembangan hukum di indonesia(1)

Upload: achmad-qusyairi

Post on 09-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 0

    SEJARAH CIVIL LAW DAN COMMON LAW SYSTEM,

    HUBUNGANNYA DALAM PERKEMBANGAN

    HUKUM DI INDONESIA

    MATA KULIAH : SEJARAH DAN POLITIK HUKUM DOSEN : H. L. Syapruddin, SH., M.Hum.

    Disusun Oleh Kelompok V : Achmad Syauqi 12B 012 003 I Ketut Bayu Pawana 12B 012 043

    Achmad 12B 012 004 Riny Sufraeni Hendarti 12B 012 089

    Baiq Ika Febriyanti 12B 012 014

    Fania Eka Yulilestari 12B 012 025

    Feni Aryani 12B 012 028

    PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

    UNIVERSITAS MATARAM

    2012

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pada berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan

    digunakan dalam penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum

    dihadapkan pada pilihan-pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah berdasar

    norma-norma agama. Menjadi menarik karena semua cara penyelesaian tersebut

    tidak jarang digunakan antara satu dengan lainnya di wilayah dengan budaya yang

    berbeda, atau bahkan di wilayah yang sama untuk kasus sama dengan waktu dan

    penduduk yang berbeda generasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan

    beragam kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pengakuan

    hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain hukum negara.

    Beberapa orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak

    memiliki kejelasan arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki

    peraturan perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah

    terkodifikasi maupun parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan penganut

    civil law. Namun pada pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan

    eksistensinya tatkala dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat untuk

    menerapkan hukum mereka sendiri atas persoalan-persoalan kemasyarakatan yang

    dihadapi. Padahal perilaku hukum yang demikian merupakan ciri dari penerapan

    sistem Common Law. Belum lagi dalam beberapa persoalan pembagian harta,

    masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dihadapkan pada pilihan pembagian

    menurut peraturan negara ataukah secara agama yang penyelesaiannya tentu pada

    ruang peradilan yang berbeda pula.

    Barangkali beberapa orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas

    konkordasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda

    yang terkodifikasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata

    (Burgerlijk Wetboek), menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi

    oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut

    lantas menjadikan sistem hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum tentu!

    Karena pengaruh bukanlah identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.

  • 2

    Lantas dengan penerapan hukum-hukum adat di beberapa wilayah

    Indonesia, atau beberapa konsep hukum ekonomi yang mengadopsi konsep-konsep

    sistem hukum Anglo Saxon, seperti penjatuhan sanksi bangkrut dengan semua

    konsekuensi ekonominya sebagai hukuman bagi debitur nakal, atau mengedepankan

    penyelesaian sengketa melalui proses perdamaian di luar sidang berupa mediasi dan

    arbitrase, yang semuanya tidak dikenal dalam civil law system, apakah lantas

    membuat Indonesia dianggap menganut common law system? Tentu juga tidak!

    Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang unik. Beberapa sarjana

    hukum mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum

    Indonesia itu sendiri. Sebuah sistem yang dibangun dari proses penemuan,

    pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.

    Hingga kemudian lahirlah Teori Hukum Pembangunan yang dipelopori Prof. Dr.

    Mochtar Kusumaatmaja.

    Teori Mochtar tersebut dikenal juga sebagai Madzhab Unpad, karena

    profesinya sebagai guru besar hukum di Universitas Padjajaran. Menurut Mochtar,

    hukum adalah sarana pembaruan masyarakat. Pandangannya tentang konsep hukum

    tersebut sebenarnya merupakan modifikasi dari konsep hukum Roscoe Pound yang

    merupakan pelopor aliran sociological jurisprudence, yakni hukum ideal adalah

    hukum yang dibuat dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat

    (law as a tool of social engineering). Aliran ini memiliki pandangan nyaris sama

    dengan madzhab sejarah yang dipelopori Von Savigny, bahwa suatu hukum tidak

    dapat berlaku secara universal karena keberlakuannya sangat bergantung pada

    volkgeist atau jiwa rakyat yang mendiami suatu bangsa. Kedua pandangan dalam

    aliran tersebut yang menjiwai teori hukum pembangunan, sesungguhnya adalah yang

    melatari penerapan common law di negara Inggris, Amerika, dan beberapa negara

    jajahan Inggris lainnya.

    B. Permasalahan

    Dari uraian latar belakang di atas, tampak bahwa sistematika hukum di

    Indonesia sangat dipengaruhi oleh civil law system, namun dalam praktek di

    beberapa masyarakat adat Indonesia yang majemuk juga tidak lepas dari karakteristik

    common law system. Setidaknya ada lebih dari 23 sistem hukum adat di Indonesia,

    diantaranya; Aceh, Gayo dan Batak, Nias, Minangkabau, Mentawai, Sumatra

  • 3

    Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-

    Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara,

    Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali dan

    Lombok, Jawa dan Madura, Jawa Mataraman, serta Jawa Barat (Sunda).

    Hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan sebagai persoalan atas

    sistematika hukum yang ada di Indonesia, yaitu: Sistem hukum apakah

    sesungguhnya yang hidup dan berkembang di negara Indonesia?. Melalui makalah

    ini kami akan menguraikan sejarah tentang civil law system, common law system, dan

    hubungannya dalam perkembangan hukum di Indonesia.

  • 4

    BAB II

    PEMBAHASAN

    Sistem, secara terminologi adalah keseluruhan bagian atau komponen yang

    saling mempengaruhi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga

    sistem hukum dunia dapat dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan kaidah

    hukum yang berlaku di negara-negara atau daerah di dunia untuk mencapai tujuan

    hukum di masing-masing negara atau daerah tersebut. Pada masa kini, sistem hukum

    dunia terdiri dari; sistem hukum sipil (civil law), sistem hukum Anglo Saxon

    (common law), sistem hukum agama, sistem hukum adat, dan sistem hukum negara-

    negara blok timur (sosialis).

    Dari kelima sistem hukum yang ada, dua sistem hukum sangat mendominasi

    sistem-sistem hukum yang digunakan banyak negara di dunia, yaitu civil law system

    dengan istilah Rechtstaat dan common law system dengan istilah Rule of Law.

    Berbagai literatur hukum Indonesia yang ada nyaris tidak ada yang menerjemahkan

    keduanya, karena memang sulit mencari padanan langsungnya.

    Namun demikian, mengacu definisi terminologi asal kata keduanya,

    common law dimaknai sebagai hukum yang dibuat berdasarkan adat atau tradisi yang

    berlaku dalam masyarakat, juga keputusan-keputusan hakim. Sistem hukum ini

    dulunya kebanyakan tidaklah tertulis, tetapi kini banyak yang dikodifikasikan. Bukan

    sebagai undang-undang, melainkan jurisprudence atas keputusan-keputusan yang

    pernah dibuat. Meski sifatnya adalah hukum kebiasaan atau kasus per kasus, akan

    tetapi common law tidaklah sama dengan hukum adat (customary law) yang diakui

    keberadaannya di Indonesia maupun case law.

    Berbeda dengan common law, sejak awal civil law merupakan hukum yang

    dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh lembaga yang oleh negara

    diberikan otoritas untuk kepentingan tersebut, seperti lembaga legislatif. Selanjutnya

    secara rinci kedua sistem tersebut diuraikan dalam pembahasan berikut ini.

    A. SEJARAH CIVIL LAW SYSTEM

    Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran

    Eropa. Kekhasan sistem civil law terletak pada tekanannya dalam penggunaan

  • 5

    aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Awal

    perkembangannya di daratan Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa

    Kontinental. Sistem ini kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada

    daerah-daerah jajahannya.

    Civil law dikenal juga sebagai Romano-Germanic Legal System atau sistem

    hukum Romawi-Jerman. Hal ini karena sejarah kelahiran sistem civil law yang

    sangat dipengaruhi sistem hukum Kerajaan Romawi dan Negara Jerman kala itu.

    Sebagai sistem hukum yang mendapat pengaruh kerajan Romawi, Civil law

    merupakan sistem hukum tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.

    Berawal sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan

    peraturan tertulis pertama yang disebut sebagai Twelve Tables of Rome. Sistem

    hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia seiring meluasnya Kerajaan

    Romawi. Sepuluh abad kemudian, atau pada akhir abad V M oleh kaisar Romawi

    Justinianus kumpulan-kumpulan peraturan ini dikodifikasikan sebagai Corpus Juries

    Civilize (hukum yang terkodifikasi), yang penulisannya selesai pada tahun 534 M.

    Ada empat hal yang dimuat dalam Corpus Juries Civilize, yaitu:

    1. Caudex, yakni aturan-aturan dan putusan-putusan yang dibuat oleh para kaisar

    sebelum Justinianus,

    2. Novellae, yakni aturan-aturan hukum yang diundangkan pada masa kekaisaran

    Justinianus sendiri,

    3. Institutie, yakni suatu buku ajar kecil yang dimaksudkan sebagai pengantar bagi

    mereka yang baru belajar hukum,

    4. Digesta, yakni sekumpulan besar pendapat para yuris romawi ketika itu

    mengenai ribuan proposisi hukum yang berkaitan dengan semua hukum yang

    mengatur warga Negara Romawi.

    Menurut sistem ini, hukum haruslah dikodifikasi sebagai dasar berlakunya

    hukum dalam suatu negara. Ketika Eropa memiliki pemerintahan sendiri, hukum

    Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara.

    Penemuan Justinianus semakin mendapat tempat pada masa pencerahan dan

    rasionalisme (abad XV-XVII M). Pandangan-pandangan para filsuf masa itu, seperti

    Huge de Groot alias Grotius (1583-1645) yang menekankan pendekatan rasional

    dalam struktur hukum dan perlunya penyusunan materi hukum secara sistematis, atau

    Christoper Wolff (1679-1754) yang berkebangsaan Jerman dengan usahanya

  • 6

    membangun sebuah sistem hukum yang menyeluruh dan rasional berdasarkan

    metode ilmiah, menyadarkan dan memunculkan semangat kodifikasi di berbagai

    negara Eropa.

    Luasnya kekuasaan Romawi hingga ke Eropa Timur yang berpusat di

    Konstantinopel, menjadikan pengaruh sistem hukum romawi tidak terkikis kendati

    Kerajaan Romawi telah runtuh, bahkan menjadi sumber kodifikasi hukum Eropa

    Kontinental. Semangat rasionalisme yang menyebabkan revolusi Perancis, membawa

    negara tersebut sejak 21 Maret 1804 menjadi peletak tata hukum baru melalui

    diterbitkannya Code Civil yang merupakan bagian dari Codex Napoleon, yakni

    kaidah-kaidah hukum Napoleon Bonaparte yang terkodifikasi dalam 3 buku; code

    penal, code civil, dan code de commerce. Setengah abad kemudian di Jerman juga

    terbentuk code civil pada tahun 1896.

    Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan

    sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastian hukum. Sebagai bekas

    wilayah jajahan Perancis, oleh Belanda code civil Perancis diadopsi menjadi

    KUHPerdata pada tahun 1838. Begitupun Code de Commerce Perancis dijadikan

    sebagai KUHDagang Belanda. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan

    sebagai undang-undang keperdataan dan perdagangan di negara-negara jajahan

    Belanda, termasuk di Indonesia sejak tahun 1848 dan berlaku hingga sekarang.

    Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental adalah,

    bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Model sistem

    seperti ini dipelopori oleh diantaranya Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl.

    Menurut Stahl konsep sistem hukum ditandai oleh empat unsur pokok:

    1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

    2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara yang didasarkan pada teori trias

    politika,

    3. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur),

    dan

    4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

    melanggar hukum oleh penerintah.

    Prinsip hukum melalui keempat unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk

    peraturan perundang-undangan yang tersusun sistematis di dalam kodifikasi atau

    kompilasi tertentu. Tidak ada hukum selain undang-undang, yang tujuannya untuk

  • 7

    menciptakan kepastian hukum itu sendiri. Dan kepastian hukum hanya dapat

    diwujudkan jika pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan

    peraturan-peraturan hukum yang tertulis.

    Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk

    menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya

    boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang

    melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang

    berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata).

    Mengingat sifatnya yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty),

    termasuk dalam menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum dalam

    sistem Eropa Kontinental, meliputi:

    1. Peraturan perundang-undangan, sebagai sumber hukum formal utama yang

    dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif (Statutes), dan terbagi menjadi:

    a. Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku dan

    mengikat secara umum, bukan hanya ditujukan pada orang-orang tertentu.

    b. Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang

    hanya berlaku bagi orang atau peruntukan tertentu saja.

    c. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan hukum

    atas kasus konkret tertentu sebagai penyelesaian.

    2. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat

    selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Kebiasaan atau tradisi

    merupakan sumber hukum tertua, yang digali sebagian dari hukum di luar

    Undang-Undang.

    Kebiasaan adalah pengulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap

    kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama. Kebiasaan menjadi suatu hukum

    apabila kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum

    karena dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu

    kebiasaan juga dapat menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim

    dalam putusannya.

    Persyaratan untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, adalah:

    a. Syarat materiil berupa adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau

    diulang, yaitu harus dapat ditunjukkan adanya suatu rangkaian perbuatan

    yang sama dan berlangsung selama jangka waktu yang lama.

  • 8

    b. Syarat intelektual, yaitu kebiasaan itu harus menimbulkan keyakinan umum

    (necessitatis) bahwa suatu perbuatan merupakan kewajiban hukum.

    Keyakinan ini harus didukung bukan hanya dengan keberlangsungan terus

    menerus, juga adanya keyakinan bahwa memang seharusnya demikian.

    c. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu di langgar.

    3. Traktat, yaitu perjanjian antarnegara.

    Traktat dibedakan antara perjanjian antarnegara yang sifatnya penting (treaty)

    dan perjanjian antarnegara yang bersifat biasa atau tidak begitu penting

    (agreement). Berdasarkan jenisnya traktat dibedakan pula antara perjanjian

    bilateral (dilakukan hanya oleh dua negara) dan perjanjian multilateral

    (dilakukan oleh lebih dari dua negara). Perjanjian multilateral ada yang bersifat

    terbuka, yakni setelah traktat itu berlaku masih terbuka kemungkinan negara-

    negara lain yang tidak turut serta dalam pembentukannya untuk menjadi peserta

    dari traktat tersebut, dan ada yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak

    terlibat dalam pembentukannya tidak dapat menjadi peserta pada traktat

    termaksud.

    Traktat hanya dapat diselenggarakan oleh subjek-subjek hukum pada Hukum

    Internasional, yaitu; negara yang berdaulat, badan-badan internasional, dan tahta

    suci Vatikan (Sri Paus).

    4. Yurisprudensi, dalam konteks sistem civil law merupakan putusan hakim di

    semua tingkatan badan peradilan, yang kemudian dijadikan dasar untuk

    menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari. Dalam sistem kontinental,

    hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai

    perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan putusan dalam sistem

    kontinental, maka hakim diikat oleh undang-undang. Di sini Hakim berpikir

    secara deduktif, dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus.

    Perbedaan yurisprudensi dengan undang-undang adalah putusan pengadilan

    berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang-orang

    tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat

    abstrak karena mengikat setiap orang.

    Merunut sumber-sumber hukum yang digunakan tersebut, maka sistem

    hukum Eropa Kontinental terbagi ke dalam dua golongan hukum, yaitu:

    a. Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum,

  • 9

    disebut hukum publik, dan

    b. Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan

    orang, disebut hukum privat.

    Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur

    kekuasaan dan wewenang penguasa negara, serta hubungan-hubungan antara

    masyarakat dan negara. Termasuk di dalamnya adalah hukum tatanegara, hukum

    administrasi negara, hukum pidana dan lainnya. Pada sisi lain hukum privat

    mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara

    individu-individu dalam memenuhi kebutuhan individunya. Termasuk hukum privat

    adalah hukum sipil (perdata) dan hukum dagang.

    Namun demikian, perkembangan peradaban manusia saat sekarang

    menyebabkan batas-batas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit

    ditemukan, disebabkan:

    a. banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat menuntut intensifitas sosialisasi

    makna kepentingan umum di dalam hukum sebagai urusan yang perlu dilindungi

    dan dijamin. Misalnya, dalam hukum perburuhan dan hukum agraria;

    b. tingginya persoalan individu di dalam masyarakat yang semakin kompleks,

    mendorong keterlibatan negara semakin jauh ke dalam bidang kehidupan yang

    sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya, bidang

    perdagangan, bidang perjanjian, dan perlindungan hak-hak asasi manusia seperti

    tercermin dalam undang-undang perkawinan, KDRT dan perlindungan anak.

    Di samping pembagian dalam dua golongan hukum, sistem civil law yang

    berjiwa sistematika hukum Romawi-Jerman cenderung memiliki kesamaan ciri

    dalam strukturnya, meliputi:

    a. terbaginya hukum menjadi bidang-bidang hukum tertentu, seperti: Hukum Tata

    Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria, Hukum Perdata

    Internasional, dan sebagainya;

    b. adanya penyatuan atau unifikasi dalam hukum menjadi satu hukum negara yang

    diberlakukan untuk seluruh penduduk berdasarkan teritorial negara

    bersangkutan, dengan tidak membedakan golongan, tidak diskriminatif atau

    memandang setiap orang berkedudukan sama dimuka hukum;

    c. hukum-hukum tertulis yang ada disatukan dalam klasifikasi-klasifikasi sebagai

    sebuah kodifikasi hukum. Kansil memberikan pengertian kodifikasi sebagai

  • 10

    pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara

    sistematis dan lengkap. Tujuan kodifikasi adalah untuk memperoleh kepastian

    hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. Beberapa contoh

    kodifikasi hukum adalah:

    1) Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus Juries Civilize (mengenai Hukum

    Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari Kerajaan Romawi

    Timur dalam tahun 527-565 dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata)

    yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun 1604, juga

    2) Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)

    dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).

    Beberapa negara di dunia yang sistematika hukumnya banyak dipengaruhi

    civil law system, yaitu: Albania, Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Brasil, Chili,

    Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, Ekuador, Estonia, Finlandia,

    Guatemala, Haiti, Hongaria, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kolombia, Kroasia,

    Latvia, Lituania, Luxemburg, Makau, Malta (namun hukum publiknya juga

    mendapat pengaruh common law system), Meksiko, Norwegia, Panama, Perancis,

    Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Thailand,

    Taiwan, Vietnam, dan Yunani1.

    B. SEJARAH COMMON LAW SYSTEM

    Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui

    universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang melalui

    pengajaran turun temurun secara lisan dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.

    Common law system diterapkan dan mulai berkembang sejak abad XVI di Negara

    Inggris. Di dukung keadaan geografis serta perkembangan politik dan sosial yang

    terus menerus, sistem hukum ini dengan pesat berkembang hingga di luar wilayah

    Inggris, seperti di Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni Inggris (negara

    persemakmuran / commonwealth).

    Dalam sistem ini tidak dikenal sumber hukum baku. Sumber hukum

    tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan / telah

    menjadi keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah

    1 http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia

  • 11

    yang kemudian menjadikan sistem hukum ini disebut Common Law System atau Uri

    Written Law (hukum tidak tertulis).

    Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem

    pemerintahan di Inggris bersifat feodalistis, dengan melakukan pembagian wilayah-

    wilayah yang dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewanya kepada Lord

    tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia dapat membentuk

    pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court. Pengadilan ini

    menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan hukum yang

    ditetapkan oleh Lord sendiri. Akibatnya muncul kesewenangan dan berbagai

    penyelewengan yang juga melahirkan pemberontakan-pemberontakan hingga

    akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180).

    Kerajaan Inggris lantas berinisiatif mengambil beberapa kebijaksanaan,

    yaitu:

    a. Disusunnya suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. Agar

    mendapatkan kepastian hukum kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh

    Glanvild chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus Angliae;

    b. Diberlakukannya writ system, yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar

    membuktikan bahwa hak-hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian

    tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri;

    c. Diadakannya sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi mendasarkan

    pada hukum kebiasaan setempat melainkan pada Common Law, yang merupakan

    suatu unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh hakim (yurisprudensi).

    Hal ini menjadi langkah besar bagi kemajuan hukum di Inggris pada masa itu.

    Akibat banyaknya perkara dan keterbatasan Royal Court dan sistem Writ

    dalam mengadili, maka penduduk Inggris kemudian mencari keadilan kepada

    pimpinan gereja atau Lord of Chancellor.

    Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem hukum

    Inggris tidaklah bertentangan, karena pada saat itu pengadilan Royal Court

    didasarkan pada common law dan hakim-hakimnya bertindak atas nama raja (fons

    iustitiae atau raja selaku sumber keadilan dan kelayakan). Sedangkan pengadilan

    Court of Chancery didasarkan pada hukum gereja atau hukum kanonik dan hakimnya

    adalah seorang rohaniawan. Sistem penyelesaian perkara di pengadilan ini dikenal

    sebagai sistem equity, yakni sistem penyelesaian perkara yang didasarkan pada

  • 12

    hukum alam (ketuhanan) atau keadilan. Dengan semakin banyaknya minat dari

    masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord of Chancellor menyebabkan

    terbentuknya pengadilan tersendiri yaitu Court of Chancerry di samping Royal Court

    yang telah ada.

    Untuk keselarasan, maka pengadilan Inggris melakukan reorganisasi

    (judicature act) pada tahun 1873-1875, yaitu meletakkan satu atap pengadilan Royal

    Court dan Court of Chancerry. Penyelesaian-penyelesaian perkara tidak lagi

    berbeda, yakni perkara-perkara Common Law (cases at Common Law) maupun

    perkara-perkara Equity (cases at Equity) sama-sama diajukan ke salah satu

    pengadilan tersebut.

    Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara

    Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh

    peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan

    kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Undang-undang nyaris

    tidak memiliki pengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan tetapi common law

    dalam artian ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris, karena di samping

    peradilan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law,

    yakni hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang

    (legislatif).

    Meski dalam common law dikenal adanya statute law, tetapi secara

    fundamental berbeda dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum Eropa

    Kontinental. Berkembang di daratan Inggris yang sejak abad X dikenal dengan

    sebutan Anglo-Saxon (karena penduduknya yang berasal dari suku Angle, Saxon, dan

    Jute), sistem common law dikenal pula dengan istilah sistem hukum Anglo-Saxon.

    Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule

    of Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok ukur:

    1. Supremasi hukum (supremacy of law),

    2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law),dan

    3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on

    individual rights).

    Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan

    dan hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan dalam

    masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu menyesuaikan dengan

  • 13

    perkembangan masyarakat yang semakin maju. Sumber-sumber hukum dalam sistem

    Anglo-Saxon pun memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara

    sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental.

    Adapun sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi:

    1. Yurisprudensi (judicial decisions), yakni hakim mempunyai wewenang yang

    luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-

    prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakimhakim lain

    dalam memutuskan perkara sejenis (hukum hakim, rechterrecht, judge made

    law). Dalam hal ini hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan

    yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).

    Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang utama dan terpenting dalam

    sistem common law. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan

    terdahulu apabila dihadapkan pada suatu kasus. Oleh karenanya di sini hakim

    berpikir secara induktif. Asas keterikatan hakim pada precedent disebut stare

    decisis et quieta non movere (pengadilan yang tingkatannya lebih rendah harus

    mengikuti keputusan yang lebih tinggi), yang lazimnya disingkat stare decisis

    atau disebut juga the binding force of precedent (perkara yang sama harus

    diproses dengan cara yang mirip atau sama). Hakim hanya terikat pada isi

    putusan pengadilan yang esensial atau disebut ratio decidendi, yakni

    berhubungan langsung dengan pokok perkara. Sedangkan dalam hal yang tidak

    mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara, yakni sebatas merupakan

    tambahan dan ilustrasi atau disebut obiter dicto, maka hakim dapat menilai

    sebagai suasana yang meliputi pokok perkara menurut pandangan hakim itu

    sendiri. Putusan yang bersifat binding precedent berarti putusan tersebut

    memiliki kekuatan yang meyakinkan.

    2. Statute Law, yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya

    undang-undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber

    hukum kedua setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat

    perangkat peraturan pelaksanaan oleh instansi-instansi pemerintah yang

    bersangkutan.

    Fungsi Statute Law sebatas pelengkap common law yang terkadang memiliki

    celah-celah, dan tidak ditujukan untuk mengatur suatu permasalahan secara

    menyeluruh.

  • 14

    Pembentukan hukum melalui statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia

    II akibat desakan perubahan peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan

    dengan yurisprudensi yang dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh

    Parlemen sebenarnya merupakan bentuk penyimpangan sistem common law,

    yakni bentuknya yang berupa undang-undang (written law),dan dapat merubah

    putusan pengadilan (yurisprudensi) dengan suatu undang-undang baru. Namun

    tindakan parlemen untuk mengubah yurisprudensi ini dibatasi oleh pendapat

    umum serta pendapat para sarjana hukum. Sehingga meski memiliki hukum

    tertulis, masih dibatasi pendapat-pendapat umum maupun para sarjana hukum

    secara obyektif yang didasarkan pada pengetahuan atas kebiasaan atau common

    law yang telah ada.

    3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris

    sehingga menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta

    membentuk norma-norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam

    putusan pengadilan. Di Inggris dikenal dua macam custom, yaitu local custom

    (kebiasaan setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang menyangkut

    perdagangan).

    4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber

    hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap

    perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma

    hukum yang mampu memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang

    diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law

    ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma-norma

    hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim

    dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan keputusan.

    Beberapa negara yang sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh common

    law system, diantaranya: Amerika Serikat, Australia, Inggris (Britania), Hongkong,

    India, Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, dan Selandia Baru. Khusus di India dan

    Pakistan beberapa aspek hukum privat banyak dipengaruhi oleh Hukum Agama,

    seperti Islam, dan Hindu.

    Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo-Saxon di Amerika mengenal

    juga pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang diberikan kepada

    hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum

  • 15

    Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak menyimpang,

    yakni bukan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang, melainkan

    lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property),

    hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law oc contract), dan

    hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts,) yang kesemuanya tersebar

    di dalam peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan.

    C. PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA

    Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang

    didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk

    memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun

    sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, di

    Indonesia juga berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-

    ajaran hukum Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai konsekuensi

    penduduknya yang mayoritas muslim. Sehingga di beberapa daerah hukum adat turut

    pula dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam.

    Sifat keberlakuan hukum adat di Indonesia sendiri cukup kuat, karena

    tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari masyarakat adat dan

    telah dikonstituir oleh pengetua adat, yang jika dilanggar maka akan mendapat akibat

    hukum berupa kecaman atau dikucilkan dari kehidupan bersama, dibuang ke daerah

    lain, terputusnya komunikasi dengan sanak keluarga, hingga hukuman fisik berupa

    kerja berat atau denda berupa penggantian sejumlah harta miliknya.

    Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut

    Indonesia tidak lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama

    ratusan tahun lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum

    yang mengadopsi Codex Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena

    sistem ini yang berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur

    hubungan individu semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa

    Kontinental sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai

    civil law system.

    Berdasarkan asas konkordansi pula sejak tahun 1848 hukum di Nederland

    berlaku bagi seluruh penduduk di Hindia Belanda. Pada waktu itu penduduk Hindia

    Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putra. Golongan

  • 16

    penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara

    sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang

    (KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam

    perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah

    Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang

    tersendiri, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja,

    Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, atau Undang-undang

    Rahasia Dagang.

    Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami

    berkali-kali perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme

    pembentukan berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata,

    KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh

    karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran

    terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi.

    Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi

    asing pada tahun 1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke

    pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara-

    negara maju. Akibatnya lambat laun pengaruh common law secara disadari atau tidak

    menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.

    Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian

    atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai

    perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru, hingga

    pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common

    Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam

    sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi

    anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common law adalah

    dominan.

    Dalam hukum ekonomi, perjanjian GATT (General Agreement on Tarif and

    Trade), WTO (World Trade Organisation), TRIMs (Trade Related Investment

    Measures) atau peraturan di bidang investasi yang berhubungan dengan

    perdagangan, dan TRIPs (Trade Releted Intellectual Property Rights) atau peraturan

    yang berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang-

  • 17

    undang di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Begitupun datangnya modal

    asing yang dalam implementasinya melahirkan sistem seperti Joint Venture

    Agreement, Franchise Agreement, maupun pola pinjaman jangka pendek dalam

    sistem Commercial Paper (CP), semuanya merupakan bentuk-bentuk kontrak dalam

    sistem common law.

    Belum lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan

    organisasi-organisasi lingkungan hidup internasional secara tidak langsung pada

    ajaran Legal Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan masyarakat

    terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai cara

    dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris perseroan

    terbatas atas nama perusahaan. Semua penyelesaian hukum tersebut sama sekali

    tidak dikenal dalam sistem civil law.

    Tampak dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme

    hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang

    kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman sistem hukum yang ada

    menjadikan pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu

    unifikasi hukum yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidang-

    bidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana.

    Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan

    dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk

    menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis.

    Dalam dunia kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni

    civil law, common law, dan socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua

    model strategi pembangunan hukum, yaitu ortodoks (preventif) dan responsif.

    Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri keterlibatan sangat

    dominan lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan arah

    pembangunan bagi masyarakat. Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara

    dengan sistem hukum civil law dan socialist law. Sedangkan strategi pembangunan

    hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan

    partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam

    menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini memungkinkan dihasilkannya

    produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam

    masyarakat. Dalam pengertian demikian, maka tradisi hukum kebiasaan dan hukum

  • 18

    adat dalam sistem common law adalah penganut strategi pembangunan hukum

    responsif.

    Mengamati perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat

    dalam konstitusi negara UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika

    dihubungkan dengan arah pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung

    dogmatis dan pragmatis, maka sesungguhnya pada skala nasional di Indonesia yang

    menganut civil law system antara civil law maupun common law dapat dikatakan

    tidak ada lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang

    kekuasaan kehakiman, dinyatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk

    memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih

    bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

    mengadilinya.

    Dari rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan

    bersikap aktif dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding dan

    rechtsvorming). Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga merupakan unsur yang

    cukup penting dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat

    hukum baru. Kenyataan ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah

    masuk ke dalam alam sistem hukum common law.

    Sebagaimana dikemukakan dalam Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr.

    Mochtar Kusumaatmaja, bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang

    mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga

    dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di

    masyarakat. Kata asas menggambarkan bahwa penggagas memperhatikan

    pandangan aliran hukum alam, karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-nilai moral

    tertinggi, yaitu keadilan. Adapun kata kaidah menggambarkan bahwa Mochtar

    memperhatikan pengaruh aliran Positivisme Hukum, karena kata kaidah mempunyai

    sifat normatif. Kata lembaga menggambarkan bahwa teori tersebut memperhatikan

    pandangan Mazhab Sejarah, karena yang dimaksud disini adalah lembaga hukum

    adat. Sedangkan kata proses dimaksudkan pada proses disini adalah proses

    terbentuknya putusan hakim pengadilan.

    Kesimpulannya, perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh

    keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia

    itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.

  • 19

    BAB III

    KESIMPULAN

    Terdapat lima sistem hukum di dunia, yaitu; sistem hukum sipil (civil law),

    sistem hukum Anglo-Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum

    adat, dan sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis). Dari kelima sistem

    hukum tersebut, civil law system dan common law system merupakan dua sistem

    hukum yang mendominasi sistem-sistem hukum di negara-negara belahan dunia.

    Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran

    Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya

    tertulis dalam sistematika hukumnya. Karena awal perkembangannya di daratan

    Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental.

    Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan

    sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastiam hukum. Prinsip utama

    yang menjadi dasar sistem hukum Eropa kontinental adalah bahwa hukum

    memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Dalam sistem Eropa

    Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan hukum yang

    mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan peraturan-

    peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim dalam

    suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja. Sumber hukum dalam

    sistem civil law, meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan yang

    hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan

    dengan undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan yurisprudensi yakni

    putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan

    Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui

    universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang secara turun

    temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Sumber hukum tertinggi

    hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan telah menjadi

    keputusan pengadilan. Hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara

    Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh

    peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan

    kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim.

  • 20

    Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: yurisprudensi

    yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-

    peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai

    pegangan bagi hakimhakim lain dalam memutuskan perkara sejenis, statute law

    yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang

    dalam sistem kontinental, custom yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama

    berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat)

    yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak

    memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim

    Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang

    didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk

    memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun

    Indonesia juga memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya

    berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum

    Islam yang di beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat.

    Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun

    pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. Akibatnya

    di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil

    Law dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Sehingga

    perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama,

    adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law,

    common law, maupun hukum-hukum adat yang ada