10 rahmat efendy alamin siregar kebijakan formulasi sanksi pidana sebagai pencegahan dan law...
Post on 11-Feb-2018
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
1/14
315
KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA SEBAGAI
PENCEGAHAN DAN LAW ENFORCEMENT DALAM
PEMBERANTASAN KEJAHATAN NARKOTIKA
Rahmat Efendy Alamin Siregar
Dosen Pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Salah satu tujuan perubahan undang-undang adalah agar pencegahan dan lawenforcement yang dirumuskan sebagai kebijakan formulasi dalam undang-undangyang baru lebih efektif dibanding perundang-undangan sebelumnya. Dalammenanggulangi tindak kejahatan khususnya kejahatan narkotika, perubahanperundang-undangan yang telah dilakukan merupakan bagian dari kebijakan
formulasi, yang dititikberatkan pada efektivitas sanksi pidana dalam memberantaskejahatan narkotika. Sebagai langkah dalam mewujudkan tujuan tersebut, makapendekatan studi hukum kritis dapat dijadikan sarana untuk mengawalpemberantasan tindak kejahatan narkotika dengan mengkaji kebijakan-kebijakanformulasi yang terkait dengan pemberantasan kejahatan narkotika
Kata Kunci: Kebijakan formulasi, sanksi pidana, narkotika
PENDAHULUAN
Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaatdalam bidang medis, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Bagi penderita kanker stadium IV yang tidak lagi mempunyai
harapan sembuh, penggunaan morfin berdasarkan syarat dan ketentuan medis
merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk dapat mengurangi rasa sakit
yang diderita pasien tersebut. Namun di sisi yang lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila terjadi penyalahgunaan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Pengaturan dalam hal penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan
pengobatan dan ilmu pengetahuan ditentukan dalam undang-undang. Pada
tahun 2013 terdapat 32.400 kasus narkoba (merupakan derivasi dari berbagai
jenis narkotika, psikotropika dan obat-obat terlarang) yang ditangani dan sudah
diperiksa oleh polisi. Padahal banyak anggapan kasus yang terungkap ini
laksana puncak gunung es. 1 Penyalahgunaan narkoba yang sesungguhnya
berkali lipat dari laporan yang didapat dari kepolisian.
*Rahmat Efendy Alamin Siregar S.Ag.,MH. adalah dosen pada Jurusan SPM Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dalam mata kuliah Hukum Pidana1Koran Sindo. Senin 4 November 2013
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
2/14
316Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
Realitas dengan semakin banyaknya penyalahgunaan narkoba
dikalangan masyarakat menjadi sebab urgensinya upaya peningkatan dalam
pengendalian dan pengawasan peredaran narkoba dengan tujuan untuk
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
tersebut, dan menjadi catatan bahwa dalam hal beredarnya narkoba ditengah-
tengah masyarakat umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri
sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dalam beberapa
kasus dilakukan oleh sindikasi yang tersusun rapi dan rahasia.Disamping itu,
kejahatan narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan berbagai
modus operandi. Dari laporan media, beberapa kasus yang sudah diperiksa
pihak kepolisian, dapat diketahui bahwa kurir yang membawa masuk narkoba
ke wilayah teritorial Indonesia dengan berbagai cara salah satunya dengan
menelan narkoba yang sudah dimasukkan ke dalam kapsul-kapsul khusus,menyembunyikannya dalam sol sepatu dan berbagai upaya lainnya.
Pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) atau
biasa disingkat narkoba, seiring waktu meningkat dengan pesat di masyarakat
Indonesia. Tidak lagi didominasi kota besar, kota kecil dan terpencil sekalipun
saat ini sudah dijamah oleh beredarnya narkoba. Perkembangan kwalitas
kejahatan narkoba sekarang ini menjadi wabah dan ancaman yang serius bagi
kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir ini, masalah
meningkatnya kejahatan narkoba semakin banyak menarik perhatian dan
banyak diperbincangkan lewat media, baik dalam surat kabar, televisi danlainnya. Terjadinya penyalahgunaan narkoba dalam segala aspeknya telah
berkembang menjadi semakin pelik dan kompleks, menyangkut berbagai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara meliputi aspek ekonomi, budaya, politik
sosial dan keamanan. Selain merusak badan, akal dan jiwa sipemakai,
penyalahgunaan narkoba juga memberi pengaruh yang luas kepada masyarakat
dan masa depan bangsa. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bukti yang
didapat menyebutkan bahwa sebagian besar pelaku penyalahgunaan narkoba
adalah remaja dan anak-anak, mulai dari dari tingkat sekolah dasar sampai
mahasiswa.
Menghadapi persoalan di atas, perlu segera dilakukan langkah dan
upaya pengawasan dan pengamanan terhadap ruang gerak pengadaan dan
pendistribusian narkoba mulai dari peruntukannya untuk kesehatan/medis dan
ilmu pengetahuan, terlebih dalam pencegahan masuknya narkoba lewat jalur
perdagangan gelap. Karena Indonesia adalah negara hukum, maka menjadi
jelas bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah sarana penal/aturan
hukum yang digunakan sebagai landasan pokok bagi pengawasan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Untuk memenuhi kebutuhan akan
adanya payung hukum sebagaimana dimaksud, pemerintah telah mengeluarkan
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
3/14
Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
317
Undang-undang No.7 Tahun 1997 Tentang pengesahan United Nation
Convension Against Illicit Traffic in Narcotica Drugs and Psychotropic
Substances, 1988 ( Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika, 1998). Setelah mencabut UU No.9 Tahun 1976
Tentang Narkotika, Konvensi internasional di atas diratifikasi menjadi
Undang-undang yakni UU No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-
undang No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Dalam perkembangannya
pemerintah Indonesia pada tahun 2009 kembali merevisi Undang-undang
tentang narkotika. Saat ini landasan hukum yang digunakan adalah UU No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Dalam memberantas kejahatan narkotika yang telah menjelma menjadi
satu bentuk kejahatan yang terorganisasi dan lintas batas diperlukan langkah
preventif yang efektiv dan mampu menjerakan pelaku kejahatan ini, maupunmasyarakat yang rentan penyalahgunaan narkoba ini secara umum.
Sehubungan dengan itu sarana penal dianggap merupakan pilihan yang
mumpuni untuk digunakan sebagai upaya pencegahan penanggulangan
kejahatan narkoba, meski harus diakui tekhnik penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan pendekatan hukum pidana merupakan cara yang paling
tua, setua peradaban itu sendiri, namun dianggap sebagai suatu kebijakan yang
dapat menanggulangi, mencegah dan mengendalikan kejahatan.2Paulus Hadi
Suprapto menyatakan bahwa dalam menghadapi gejala-gejala penyalahgunaan
zat psikoaktif ini, hukum pidana tentunya sangat diharapkan fungsi danperannya sebagai senjata pamungkas. Dengan diterapkannya pendekatan penal
diharapkan gejala penyalahgunaan zat psikoaktif dapat diatasi.3
Dalam penanggulangan kejahatan, dihadapkan kepada masalah
penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif, hal ini merupakan
suatu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, oleh
karena itu masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi
juga merupakan masalah kebijakan.4
Berkaitan dengan usaha penanggulangan kejahatan narkoba, maka
pemerintah menilai bahwa masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan
narkoba merupakan salah satu masalah nasional yang harus cepat
ditanggulangi. Sejauh ini sanksi pidana yang telah terumuskan dalam peraturan
perundang-undangan belum mampu menghambat laju peningkatan
penyalahgunaan narkoba. Berdasar hal di atas perlu dilakukan pengkajian
2Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1998,
hlm. 1493 Paulus Hadi Suprapto, Penyalahgunaan Zat psikoaktif dan Hukum Pidana. Makalah dalam
seminar tentang Mabuk, Dampak Sosial dan Penanggulangannya (Semarang: Unika Sugiyopranoto)4Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori, hlm. 149
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
4/14
318Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
seputar masalah efektivitas sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan
narkoba. Pokok pemikiran ini didasari pada pertimbangan bahwa:
1. Perwujudan sanksi pidana itu dapat dilihat sebagai suatu proses dengan
melalui tiga tahap:
a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (tahap
formulasi)
b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan (tahap
aplikasi)
c. Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana.
Pengkajian terhadap ketiga tahapan ini mutlak diperlukan sehubungan
dengan persoalan yang dihadapi berupa maraknya kejahatan narkoba dan
penyalahgunaannya di Indonesia. Pengkajian terhadap kebijakan sanksi pidanasehubungan dengan penyalahgunaan narkoba menjadi semakin diperlukan,
karena terdapat indikator peningkatan suplai masuk dan peredaran narkotika
yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Tahapan-tahapan di atas merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena berkaitan erat dengan tujuan untuk
menutup ruang gerak, memberantas dan menanggulangi kejahatan narkoba di
Indonesia.
Kebijakan Hukum (Sanksi) Pidana dalam Ketentuan yang Berkaitan
dengan Penanggulangan Kejahatan Narkoba.
Kebijakan penetapan hukum (sanksi) pidana dan kebijakan formulasi
merupakan salah satu dari 3 (tiga) tahap kebijakan penegakan hukum pidana.
masalah pokok dalam kebijakan formulasi terdiri dari tiga materi, yaitu (1)
masalah tindak pidana; (2) masalah kesalahan dan pertanggungjawaban pidana;
dan (3) masalah pidana dan pemidanaan.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih jelas dari permasalahan
pertama, maka langkah awal adalah dengan menjelaskan mengenai ketentuan
hukum positif yang mengatur masalah narkoba, yaitu:
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur dalam pasal 204
dan 205. Hal pokok disini adalah memberikan arti yang jelas apa yangdimaksud dengan membahayakan nyawa dan kesehatan orang. Sudah
barang tentu dengan bantuan ahli lain misalnya ahli di bidang
kesehatan/medik akan sangat membantu usaha penanggulangan peredaran
extasy dan obat terlarang lainnya.5
b.
Pasal 102 UU No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan menyatakan,
bahwa yang intinya mengimpor dan mengekspor atau mencoba menyimpan
5Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Undip, 2001,hlm.121
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
5/14
Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
319
tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ancaman pidananya berupa
pidana paling lama 8 (delapan) tahun penjara dan denda paling banyak lima
ratus juta rupiah.6
c.
Undang-undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal 80,81,82
dapat dijadikan dasar penanggulangan pembuatan, peredaran extasy dan
obat-obatan narkoba lainnya. Sedangkan bagi pengguna atau pemakainya
tidak dapat dikenakan Undang-undang No 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan ini.
d. Konvensi tentang Zat Psikotropika Tahun 1971 (Convention on
Psychotropic Substances). Beberapa pasal dari Konvensi Psikotropika yang
perlu mendapat perhatian pemerintah Indonesia, yaitu pasal 20, 21, dan 22.
Dalam pasal 20 mengatur tentang penyalahgunaan obat-obat psikotropika;
pasal 21 mengatur tentang tindakan-tindakan terhadap lalulintasperdagangan ilegal psiotropika; dan pada pasal 22 diatur tentang ketentuan-
ketentuan pidana (Penal Provision). Pasal ini merupakan pasal penentu
keberhasilan pemberantasan penyalahgunaan psikotropika dan lalulintas
perdagangan ilegal psikotropika.
e. Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang pengesahan United Nations
Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psyvotropic
Substances. 1998 (Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika, 1998). Dalam konvensi PBB ini merupakan
ketentuan internasional pertama yang secara tegas dan langsungmenetapkan perbuatan yang dapat dipidana. Bagian-bagian penting dari
Konvensi ini yang berkaitan dengan usaha legislasi adalah : 1. Ketentuan-
ketentuan tentang kejahatan dan sanksi (pasal 3); 2. Ketentuan tentang
yurisdiksi (pasal 4); 3. Ketentuan tentang perampasan (pasal 5); 4.
Ketentuan tentang ekstradisi (pasal 6); 5. Ketentuan tentang bantuan hukum
secara timbal balik (pasal 7); 6. Ketentuan tentang pengiriman yang
terkontrol (pasal 11); 7. Ketentuan tentang perdagangan melalui laut (pasal
17);
f. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Peraturan itu antara lain berupa:
1)
Penetapan Menteri Kesehatan RI No. 983/A/SK 1971 tentang obat
keras yang dilarang; (2) Permenkes RI No. 213/Menkes/Per/V/1985
dan Permenkes 484/Menkes/Per/II/1993 MDMA dinyatakan dilarang.
(3) Permenkes RI No. 782/Menkes/Per/VII/1996 yang intinya bahwa
pengguna bisa dikenai hukuman pidana; (4) Permenkes RI No.
124/Menkes/Per/II/1993 yang berisi larangan mengimpor,
memproduksi, menyimpan dan menggunakan obat keras tertentu.
Kecuali mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan untuk kegiatan
6Ibid, 116
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
6/14
320Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
tertentu. (5) Permenkes RI No. 688/Menkes/Per/1997 tentang peredaran
psikotropika, yang intinya bahwa peredaran psikotropika harus dengan
ijin dari Menkes melalui Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan dan
obat tersebut dapat diedarkan terbatas untuk kepentingan kesehatan
karena itu peredarannya sangat dibatasi. (6) Keputusan Menkes RI No.
323/Menkes/SK/V/1997 tentang pemberian ijin penyimpanan
psikotropika berupa obat bagi dokter di daerah terpencil; (7) Intruksi
bersama Menkes RI dan Kapolri No. Pol 75/Menkes/Inst/B/III/1984,
No. Pol Inst/03/III/1984 tentang peningkatan hubungan kerjasama
dalam rangka pengawasan dan penyidikan tindak pidana di bidang
obat-obatan tradisional, makanan, minuman, kosmetika, alat kesehatan,
narkotika dan bahan berbahaya bagi kesehatan.
Kebijakan Hukum (Sanksi) Pidana dalam Undang-undang Narkotika
Sebelum disahkannya Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, masalah narkotika dan psikotropika ditemukan dalam undang-
undang yang berbeda, yakni, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika dan Undang-undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sudah tercakup
penyalahgunaan psikotropika, yang terdiri dari 18 bab dan 155 pasal. Mengatur
narkotika, prekursor narkotika, produksi, impor, peredaran gelap, ekspor,
pedagang farmasi besar, industri farmasi, transito narkoba, pecandu,
rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan lainnya. Mengenai ketentuan pidana
diatur dalam pasal 111 sampai dengan pasal 147. Dengan rumusan tindakan-
tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana antara lain sebagai
berikut :
a.
Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai dan menyediakan
Narkotika golongan I
b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika
golongan I
c. Menawarkan/mengedarkan Narkotika golongan I
d.
Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai dan menyediakanNarkotika golongan II
e. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika
golongan II
f.
Menawarkan/mengedarkan Narkotika golongan II
g.
Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai dan menyediakan
Narkotika golongan III
h.
Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika
golongan III
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
7/14
Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
321
i. Menawarkan/mengedarkan Narkotika golongan III
j. Tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang
bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor
k.
Orang tua/wali pecandu narkoba yang belum cukup umur yang sengaja
tidak melapor
l. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajibannya
m. Petugas laboran yang memalsukan hasil pengujian
n. Saksi yang tidak memberikan keterangan yang benar dalam pemeriksaan
tindak pidana Narkotika
o. Warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika
Mengutip apa yang dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief, 7 bahwa
masalah kebijakan rumusan tindak pidana dalam undang-undang Narkotikanampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, yaitu :
a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
b. Memberantas adanya peredaran gelap.
Oleh karena itu, semua perumusan delik yang terdapat dalam Undang-
Undang Narkotika di atas terfokus pada penyalahgunaan dan peredarannya.
Mulai dari penanaman,produksi, penyaluran, lalu lintas peredaran sampai
kepada pemakaiannya.
Kebijakan rumusan Pertanggung-jawaban Pidana Korporasi dalam
Undang-undang Narkotika
Dalam Undang-undang No. 22 Tahun1997 tidak ditemukan aturan
umum pertanggungjawaban pidana korporasi, hal ini merupakan satu
kemunduran apabila dilihat dari segi kebijakan formulasi dari undang-undang
Narkotika sebelumnya, yakni Undang-undang No. 9 Tahun 1976 yang telah
mencantumkan dalam pasal 49 bahwa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana
ialah :
a.
Badan Hukum, perseroan dan perserikatan atau yayasan;
b.
Mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagaipemimpin/yang bertanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian
Rumusan yang sama juga ditemukan dalam Undang-undang No. 35
Tahun 2009, tidak ditemukan formulasi yang jelas menyangkut kejahatan
penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh korporasi. Akan tetapi meski
7Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
(Bandung:PT. Citra Aditya, 2001), hlm. 198
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
8/14
322Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
tidak terdapat aturan yang bersifat umum, dalam Undang-undang No. 35 Tahun
2009 ada beberapa aturan khusus, yaitu :
a. Pasal 135 mengatur pertanggungjawaban Pengurus industri farmasi yang
melanggar Pasal 45. Dalam hal ini muncul pertanyaan siapa yang dimaksud
dengan Pengurus industri farmasi? di dalam Pasal 1 sub 11, Industri
farmasi adalah perusahan yang berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan
obat, termasuk Narkotika. Kapan pengurus dikatakan telah melakukan delik
omissi dalam Pasal 135 (yaitu tidak melaksanakan kewajiban dalam pasal
45 dan kapan dipertanggungjawabkan? Apakah berlaku strict liability,
vicarious liability, atau berdasarkan asas culpabilitas?
b. Aturan khusus di dalam Pasal 147 mengancam pidana secara kumulatif,
kepada:1. Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotik
yang mengedarkan Narkotika Gol. II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan.
2. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan atau menguasai tanaman Narkotika untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Gol. I
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau4. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Gol. I
yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau
mengedarkan Narkotika Gol II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan.
Beberapa permasalahan yang muncul dari rumusan di atas, antara lain :
siapakah pimpinan lembaga/badan dimaksud? (misalnya dalam lembaga
ilmu pengetahuan, pimpinan dapat terdiri dari Rektor/wakil rektor,
Dekan/wakil dekan, kepala bagian, ketua jurusan, ketua lemlit, ketua
laboratorium; kapan/dalam hal apa pimpinan itu dikatakan telah melakukan
tindak pidana (misal kapan dikatakan telah mengedarkan, membeli, menanam,
menyimpan dan memproduksi); dan kapan pimpinan itu dapat
dipertanggungjawabkan? Apakah berlaku asas culpabilitas, strict liability.
Permasalahan yang dikemukakan di atas menjadi objek studi dan perdebatan
yang belum mendapatkan penjelasan atau rumusan yang jelas.
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
9/14
Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
323
Kebijakan Rumusan Ancaman Pidana dalam Undang-undang Narkotika
Menurut konsep KUHP yang baru, syarat pemidanaan bertolak dari
pokok pemikiran keseimbangan monodualistikantara kepentingan masyarakat
dan kepentingan individu; antara faktor objektif dan faktor subjektif. Oleh
karena itu syarat pemidanaan juga bertolak dari dua pilar yang sangat
fundamental di dalam hukum pidana asas legalitas yang merupakan asas
kemasyarakatan dan asas culpabilitas/asas kesalahan yang merupakan asas
individu. Dengan perkataan lain bahwa pokok pemikiran mengenai
pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana.8
Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
perumusan sistem ancaman pidananya yaitu sistem pidana minimum khusus
hanya dicantumkan dalam Pasal-pasal tertentu, misalnya : Pasal 111 ayat (1)dan (2), 112 ayat (1) dan (2), 113 ayat (1) dan (2), 114 ayat (1) dan (2), 115
ayat (1) dan (2), 135, 141, 147. Kebijakan perumusan ancaman pidana minimal
khusus merupakan salah satu bentuk penyimpangan Undang-undang Narkotika
dari sistem maksimal yang diatur dalam KUHP, sehingga untuk sistem pidana
minimum khusus ini belum ada pedoman pelaksanaannya. Pada prinsipnya
penyimpangan Undang-undang dari KUHP dapat dilakukan. Akan tetapi
Undang-undang di luar KUHP itu sendiri seharusnya juga dilengkapi dengan
pedoman pelaksanaan sistem pidana minimum yang bersifat khusus. Apabila
pihak legislatif tidak melengkapinya dengan pedoman penerapannya, makaakan menimbulkan masalah bagi yudikatif dalam penegakan hukum. Terutama
bila tindak pidana yang dilakukan diikuti dengan masalah penyertaan,
percobaan, concursus, recidive dan lain-lain alasan peringanan ataupun
pemberatan pidana maka kemungkinan besar akan menjadi suatu permasalahan
baru yaitu dijatuhkannya pidana di bawah ancaman minimum oleh hakim.
Mengenai permufakatan jahat terlihat adanya perbedaan antara
perbuatan yang didahului dengan permufakatan jahat yang diperberat ancaman
pidananya dan dendanya dengan menambah 1/3 dengan perbuatan yang berdiri
sendiri, masalah permufakatan jahat diatur dalam Pasal 132. Sistem ini berbeda
dengan rumusan yang terdapat dalam KUHP, perbedaan ini akan mempersulit
dalam praktek penegakan hukum serta dapat menimbulkan diskriminasi rasa
keadilan. Kejanggalan yang menonjol dari ketentuan di atas adalah,
diperberatnya pidana untuk pemufakatan jahat bila dilihat secara logika-
doktriner maupun dari kenyataan/realita objektif, perbuatan berupa
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana jelas berbeda
kualitasnya/bobotnya dengan perbuatan melakukan perbuatan pidana itu
8Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, (Semarang : BP Undip, 1996), hlm.21
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
10/14
324Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
sendiri. Kalau permufakatan jahat disamakan/diasumsikan dengan melakukan
tindak pidana masih dapat diterima, tetapi kalau diperberat (dipandang lebih
berat) maka asumsi demikian bertentangan dengan logika dan fakta objektif.
Dalam Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika Tahun 1988 yang sudah diratifikasi dalam perundang-undangan
nasional, Undang-undang N0.7 Tahun1997 tidak ditemukan adanya ketentuan
yang menegaskan bahwa permufakatan jahat/conspiracy harus diperberat
pidananya. Dalam Konvensi ini, permufakatan jahat dipidana sama dengan
tindak pidana yang bersangkutan, bukannya diperberat. Bahkan ketentuan
dalam Pasal 132 yang terdapat dalam Undang-undang ini tidak sesuai dengan
sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia, baik di dalam maupun di luar
KUHP.
Dalam hal ancaman sanksi pidana mati masih dipertahankan dalamrancangan KUHP yang baru. Pidana mati/capital punishmenttetap
dipertahankan, namun diatur dalam pasal tersendiri sebagai pidana yang
bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati
dijatuhkan sebagai ultimum remedium- upaya terakhir untuk mengayomi
masyarakat.
Ditinjau dari perkembangan internasional mengenai hak asasi manusia
yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam international
Covenant On Civil and Political Right (ICCR). Yang mengatur hak untuk
hidup (right to life) Pasal 6 ayat 1 berbunyi setiap manusia berhak atas hakuntuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat
mencabut hak itu. Pada ayat 2 dinyatakan bagi negara yang belum menghapus
pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk
kategori yang serius sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan ICCR. Dalam Undang-undang N0. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
memuat ketentuan pidana yang mencantumkan ancaman pidana mati. Hal ini
sebagai bukti pemerintah sebagai perumus undang-undang menganggap
penyalahgunaan narkotika sebagai kejahatan serius
Kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009Tentang Narkotika dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika serta
Upaya untuk mengatasinya
Perkembangan kejahatan narkoba di Indonesia menunjukkan angka
peningkatan yang sangat tajam. Grafik meningkat terlihat dari tahun ketahun.
Pada tahun 1999 terdata 1.883 kasus, tahun 2009 tercatat ada 22.000 kasus, dan
pada tahun 2013 ditemukan 32.400 kasus penyalahgunaan Narkotika9
9http://www.solusihukum.com/artikel45.php
http://www.solusihukum.com/artikelhttp://www.solusihukum.com/artikelhttp://www.solusihukum.com/artikelhttp://www.solusihukum.com/artikel -
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
11/14
Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
325
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mempunyai
kelebihan maupun kelemahan dalam pelaksanaannya dalam menanggulangi
kejahatan yang terjadi. Adapun kelebihan dari Undang-undang ini adalah:
a.
Secara rinci mengurai tentang Narkotika gol I, II dan III;
b. Semua pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dijerat;
c. Hukumannya cukup berat, memiliki efek jera, sehingga diharapkan mampu
mengurangi kejahatan Narkotika
d. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika
dibentuk Badan Narkotika Nasional
Adapun kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang ini adalah:
a. Sanksi pidana minimum khusus 4 Tahun penjara selain bertentangan
dengan asas hukum pidana (minimum satu hari) juga tidak mewujudkanrasa keadilan bagi masyarakat, jika pelakunya hanya terbukti memiliki
sebutir pil ectasy yang termasuk Narkotika gol I;
b.
Mengenai sanksi pidana denda bagi korporasi yang melakukan kejahatan
penyalahgunaan Narkotika sangat dimungkinkan tidak efektif ditinjau dari
sudut tujuan pemidanaan, serta pidana denda banyak mengadung
kelemahan;
c.
Dari segi penjeraan terhadap terpidana, pidana denda menjadi kurang
efektif apabila dibandingkan dengan pidana penjara. Hal ini disebabkan
pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan dalam hal
pidana penjara tidak dimungkinkan bagi orang lain untuk mewakilkannya.
Di samping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dari sumber
kejahatannya untuk melunasi/membayar denda tersebut;
d.
Menurut sistem yang diatur dalam KUHP, alternatif yang dimungkinkan
dalam hal terpidana tidak membayar denda tersebut hanyalah dengan
mengenakan kurungan pengganti. Betapapun tinggi pidana denda yang
dijatuhkan oleh hakim apabila terpidana membayar denda, konsekwensinya
hanyalah akan dikenakan pidana kurungan yang maksimalnya hanya 6
(enam) bulan atau 8 (delapan) bulan.
Untuk mengatasi kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kebijakan formulasi dalam penanggulangan
kejahatan narkoba baiknya dilakukan perbaikan. Langkah yang dapat
ditempuh.
a.
Formulasi umum : Perlu adanya kosistensi kebijakan umum pidana yang
diformulasikan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
b. Formulasi kebijakan kriminalisasi :
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
12/14
326Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
Untuk menjembatani berlakunya aturan umum KUHP yang tidak
diatur secara khusus dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika perlu diadakan penegasan kualifikasi yuridis (sebagai
kejahatan atau pelanggaran) terhadap tindak pidana yang dirumuskan
dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika seperti
yang dirumuskan dalam Undang-undang lama (No. 9 Tahun 1976)
Perlu penegasan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, bahwa pembantuan (medeplichtige) dipidana sama denga
pelaku tindak pidana, seperti pernah diatur dalam Undaang-undang No.
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Mengungkap identitas pelapor sebaiknya juga dijadikan tindak pidana
dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagaimana pernah dilakukan dalam Pasal 66 Undang-undangPsikotropika.
c. Formulasi sistem pidana dan pemidanaan/pertanggungjawaban pidana :
Ancaman pidana sebaiknya dirumuskan secara lebih fleksibel (sistem
alternatif atau kumulatif alternatif)
Untuk mengefektifkan pidana denda, perlu diadakan ketentuan khusus
yang menyimpang dari Pasal 30 KUHP (mengenai pelaksanaan pidana
denda yang tidak dibayar atau mengenai pidana pengganti denda)
Perlu adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda
yang tidak dibayar oleh korporasi Untuk mengefektifkan pelaksanaan pidana minimal khusus, harus ada
aturan/pedoman pemidanaan yang khusus.
Perlu dibuat aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi dengan melakukan modifikasi perumusan Pasal 49 Undang-
undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Perlu penegasan secara eksplisit dalam Undang-undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan ijin usaha atau jenis sanksi lainnya yang
lebih bersifat spesifik untuk korporasi.
KESIMPULAN
1. Kebijakan kriminalisasi pada Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dan peredaran narkobanya (mulai
dari penanaman, produksi, penyaluran dan lalu lintas peredaran sampai
kepada pemakainya, tidak ada kekayaan/aset sah yang diperoleh dari tindak
pidana narkoba.
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
13/14
Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
327
2. Dalam masalah kualifikasi tindak pidana. Undang-undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika tidak menyebutkan kualifikasi tindak pidana.
3. Dalam masalah perumusan sanksi pidana. Dalam Undang-undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan secara kumulatif. Perumusan
kumulatif yang paling banyak adalah pidana penjara dan denda yang cukup
besar
4. Dalam masalah ancaman pidana. Undang-undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika ini ada delik yang diberi ancaman pidana minimal
khusus. Akan tetapi tidak ditemukan rumusan formulasi dalam hal
penerapan atau pelaksanaannya. Dalam hal perbuatan selesai memang tidak
ada masalah, tetapi dalam hal terjadinya kejahatan penyertaan, percobaan,
concursus, recidive dan lain-lain alasan peringanan ataupun pemberatan
pidana maka kemungkinan besar akan menjadi suatu permasalahan baruyaitu dijatuhkannya pidana di bawah ancaman minimum oleh hakim.
Kebijakan formulasi ini merupakan penyimpangan dari sistem yang
terdapat dalam KUHP
-
7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement
14/14
328Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya, 2001
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatandengan Pidana Penjara, Semarang : BP Undip, 1996
Koran Sindo. Senin 4 November 2013
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,
Alumni,1998
Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, BP
Undip, 2001
Paulus Hadi Suprapto, Penyalahgunaan Zat psikoaktif dan Hukum Pidana.
Makalah dalam seminar tentang Mabuk, Dampak Sosial dan
Penanggulangannya. Semarang : Unika Sugiyopranoto. 2008
KUHP dan Penjelasannya
Undang-undang No. 9 tahun 1976 Tentang Narkotika
Undang-undang No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika
Undang-undang No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika
Undang-undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika
.
top related