jurnal kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana

29
  KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK JURNAL   Diajukan Untuk Memenu hi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : MAYA NOVIRA 090200022 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Upload: dwi-iman-muthaqin

Post on 03-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 1/29

 

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

JURNAL 

 Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi

Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

O l e h :

M AYA NOVIRA

0 9 0 2 0 0 0 2 2

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 2/29

 

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

JURNAL 

 Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

M AYA NOVIRA  NIM : 0 9 0 2 0 0 0 2 2

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan., SH,M.H. NIP : 195703261986011001

Dosen Editor

Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.

NIP : 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 3/29

 

ABSTRAKSI

*) Maya Novira

**) Marlina 

***) Rafiqoh Lubis

Sistem Peradilan Pidanan Anak di Indonesia selama ini dilaksanakan

 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang

mana dalam pelaksanannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang masih menempatkan

Anak sebagai objek demi tercapainya tujuan Pidana. Pelaksanaan Sistem PeradilanPidana Anak selama ini hampir tidak memperhatikan perlindungan terhadap anak

 pelaku tindak pidana sehingga lebih merugikan Anak Pelaku. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang tidak mengedepankan perlindungan terhadap

Anak dan juga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di dalam masyarakatsehingga melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak.Adapun rumusan permasalahanyang akan dibahas didalam tulisan ini adalah

apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana dan

 bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak

 pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak.

Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian yang

dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa

terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu

 pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan,

dimana pengumpulan data dilakukan dengan  Library research (penelitian

Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagaisumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku dan internet yang

di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah sesuai dengan prinsip

 perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana baik menurut instrumenhukum nasional maupun internasional, hal ini dapat diketahui dengan dianutnya

 beberapa asas yang harus dikedepankan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidanaanak. Kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan sarana penal dannon penal. Sarana penal dilakukan dengan penerapan sistem peradilan pidana yang

dimulai dengan proses penyidikan, penuntutan, persidangan, pembinaan lembaga.

Sarana non penal dilakukan dengan penerapan upaya Diversi dan Restorative Justice, 

namun dalam penerapannya sarana non penal juga dilakukan dalam sarana penal.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 4/29

 

A. PENDAHULUAN

Krisis nilai moral yang diakibatkan dari berkembangnya arus globalisasi dapat

terlihat jelas dengan berkembangnya kejahatan yang diberitakan pada berbagai

media, baik media cetak maupun media elektronik.Hal ini tentu sangatlah

memperihatinkan, terlebih lagi diantara pelaku-pelaku tindak kejahatan tersebut

adalah seorang anak, bahkan anak yang masih di bawah umur.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak, memberikan istilah terhadap anak

 pelaku tindak pidana, yaitu “ juvenile delinquency” atau yang lebih dikenal dengan

anak delikuen. Juvenile Delinquency sebenarnya memiliki berbagai istilah, ada yang

menyebutnya dengan kenakalan remaja atau sering juga diistilahkan sebagai

kejahatan anak, namun istilah kejahatan anak sangat tajam (kasar) bila dilabelkan

 pada anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

menyebutkan bahwa yang dikatakan Anak Nakal adalah anak sebagai pelaku tindak

 pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang tidak lazim dilakukan oleh anak.1 

Anak yang melakukan tindak pidana (anak nakal/anak delikuen) seharusnya

dilindungi segala haknya dan tetap diberikan pengayoman dan pembekalan

 pembinaan oleh keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, bukanlah dijauhkan dan

diberi label yang akan memberi dampak yang buruk pada psikis anak tersebut.

Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan

oleh anak tentunya sangatlah memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan

konsep perlindungan anak, karena pemidanaan terhadap anak benar-benar hanya

sebagai ultimum remidium  (pilihan terakhir) hal ini sesuai dengan konsep

 perlindungan anak baik yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia maupun instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan

 perlindungan anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Peraturan perundang-

undangan yang mengandung unsur pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana

tetap memperhatikan konvensi-konvensi internasional mengenai perlindungan anakdimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak, meskipun anak tersebut telah

disangkakan, didakwa, bahkan telah dipidana, namun mereka harus tetap diberikan

1 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 5/29

 

 perlindungan karena masih dikatakan sebagai “Anak” yang harusnya mendapat

 perlindungan sebagai tunas bangsa.

Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang bertujuan menanggulangi

kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia sering mengalami

 permasalahan, diantaranya dalam hal penahanan terhadap anak, proses peradilan

yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, yang pada akhirnya

menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang

menimbulkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak. Bukti yang terlihat dalam

 pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang memberikan dampak negatif pada

anak, yaitu dengan berkembangnya kasus kejahatan anak yang penerapannya

mendapat berbagai kontroversi dari pihak-pihak yang berperan dalam perlindungan

anak. Kasus-kasus tersebut diantaranya:

1. 

Kasus Raju (8 tahun) yang harus menjalani proses peradilan yang cukup panjang

hingga putusan pengadilan. Permasalahan yang dialami Raju adalah perkelahian

di usia anak, namun akibat perkelahian tersebut Raju harus menjalani proses

 peradilan anak yang menuai kontroversi karena pelaksanaan proses peradilan yang

tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.2 

2. 

Kasus 10 orang anak SD yang ditahan karena tuduhan perjudian koin Rp 500,- di

Bandara Soekarno-Hatta (29 Mei 2009). Kesepuluh anak tersebut menjalani masa

 penahanan selama 29 (dua puluh sembilan) hari, dan pada akhirnya juga

menjalani proses persidangan di pengadilan.3 

3.  Kasus pencurian sandal jepit oleh siswa SMK berusia 15 tahun yang diadili di

Pengadilan Negeri Palu, Selasa 20 Desember 2011 karena didakwa mencuri

sandal jepit milik Brigadir Satu Polisi Ahmad Rusdi Harahap. Siswa kelas 1 SMK

2  D. Andriyanto, “Analisis Kasus Raju (Dimanakah keadilan itu)”, (lihat:

http://greatandre.blogspot.com/2011/06/analisis-kasus-raju-dimanakah-keadilan.html.Diakses tanggal

19 Maret 2013, 20.00.3Hadi Supeno, “Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan”,

(lihat:http://books.google.co.id/books?id=IHn7cUJU0nsC&pg=PA72&lpg=PA72&dq=anak+yang+dituduh+bermain+judi&source=bl&ots=zxc0Vtc3P&sig=NOV24lVThna3M8wUwFojQO_Zjck&hl=id 

&sa=X&ei=JWVIUb3bBMmqrAfN9YDIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=anak%20yang%20dituduh

%20bermain%20judi&f=false), terakhir dikunjungi 19 Maret 2013, 20.45.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 6/29

 

ini didakwa dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun

 penjara. Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah.4 

4. 

Kasus penjambretan tas berisi uang senilai Rp 1.000,- oleh DW (15 tahun). DW

harus menjalani masa penahanan selam 3 (tiga bulan) di Kepolisian dan

Kejaksaan, dan menjalani proses persidangan di pengadilan, dengan tuntutan 7

(tujuh) bulan penjara oleh Jaksa.5 

Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak yang terjadi selama ini masih

mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang menitikberatkan pada

 pencapaian dari tujuan pidana. Hal tersebut dapat dilihat bahwa sanksi pidana yang

diberikan terhadap Anak Nakal tidak jauh berbeda dengan sanksi yang diatur dalam

KUHP, yang menjadikan penjara sebagai Pidana Pokok namun bukan sebagai upaya

terakhir (ultimum remidium) melainkan sebagai pidana pokok yang utama.6 Pidana

 penjara yang ditetapkan sebagai pidana pokok yang diterapkan terhadap Anak Nakal

mencerminkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 belum

sepenuhnya mengutamakan perlindungan terhadap anak sebagaimana yang telah

diatur dalam instrumen hukum nasional maupun hukum internasional. Peletakan

 pidana penjara pada pidana pokok tersebut mengakibatkan begitu mudahnya aparat

 penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, dan hakim)

untuk menentukan hukuman terhadap Anak Nakal sama seperti hukuman orang

dewasa tanpa memperhatikan kepentingan anak, keadaan anak baik sosial,

 psikologis, pendidikan dan hal lain guna melindungi anak tersebut meskipun ia telah

melakukan tindak pidana, seperti yang dipaparkan pada 4 (empat) contoh kasus di

atas.

Penerapan sistem peradilan pidana anak ini sudah selayaknya menjadi

 perhatian bagi kita semua, terutama bagi para penegak hukum agar dapat mencari

solusi demi mengurangi serta menyelesaikan permasalahan yang timbul, misalnya

4Damang, “Menyoal Revisi Peradilan Pidana Anak (Catatan Singkat Undang-undang

 Nomor 11 Tahun 2012), dalam http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilan-

 pidana-anak-catatan-singkat-undang-undang-nomor-11-tahun-2012.html, 13 maret 2013, 21.00.

5 Luh De Suriyani, “Koin Rp 1000 untuk Anak yang Terancam Penjara di Bali”, dalam

http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/01/17/koin-rp-1000-untuk-anak-yang-terancam-

 penjara-di-bali.html, 19 Maret 2013, 21.15.6Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 7/29

 

dengan melakukan pembaharuan hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana

anak.

Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Negara Republik Indonesia

mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang dalam 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkannya akan

menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka tulisan ini diberi judul “KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK

PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”.

B. 

PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. 

Apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak

 pidana?

2. 

Bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku

tindak pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

C. 

METODE PENELITIAN

1. 

Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif,

yakni penellitian yang dilakukan dengan melakukan pendekatan terhadap peraturan

 perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi, yang mana peraturan

 perundang-undangan yang menjadi objek pokok penelitian dalam tulisan ini adalah

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2.  Sumber / Bahan Hukum

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data

sekunder.Adapun data sekunder yang diperoleh dari Bahan Hukum Primer, Bahan

Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 8/29

 

3. 

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Kepustakaan ( Library Research). Penelitian ini dirumuskan untuk mencari

 bahan-bahan atau data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan

cara membaca, menafsirkan buku-buku atau literatur, baik berupa undang-undang,

 peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan perundang-undangan

lainnya, yang dianggap sebagai pendukung.

4. 

Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian

dianalisis secara kualitatif.Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab

 permasalahan yang ada di dalam tulisan ini.

D. 

HASIL PENELITIAN

1.  Prinsip Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

AnakKaitannya dengan Instrumen Hukum Internasional dan HukumNasional

Perlindungan Anak sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tidak terlepas dari prinsip perlindungan hukum baik yang diatur

dalam instrumen hukum internasional maupun dalam hukum nasional sebelum

adanya undang-undang ini. Perlindungan anak dalam intrumen hukum iinternasional

terlihat dalam Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Convention on the Rights of the Child) 

dimana konvensi ini merupakan akar dari perlindungan anak secara umum dalam

hukum internasional, namun Pasal 40 dalam konvensi ini yang khusus mengatur

tentang perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yang berisi:7 

1.  Negara-negara Anggota mengakui hak setiap anak yang dinyatakaansebagai terdakwa atau diketahui telah melanggar hukum pidana, untuk

diperlakukan sedemikian rupa, sesuai dengan kemajuan pengertian anak

tentang harkat dan martabatnya, sambil mengusahakan agar anakmempunyai rasa hormat pada hak-hak asasi dan kebebasan pihak lain,

dengan tetap mempertimbangkan usia dan keinginan anak dalam rangka

mengintegrasikannya kembali sesuai dengan peran konstruktifnya di

masyarakat.

7Dikutip dalam Paulus Hadisuprapto,  Juvenile Delinquency Pemahaman dan

Penanggulangannya, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 1997, hal.94-96.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 9/29

 

2. 

Pada akhirnya, berkaitan dengan ketentuan instrumen internasional yang

relevan, negara-negara anggota harus secara khusus menjamin bahwa:

(a) Tidak boleh anak didakwa, dituntut, atau dinyatakan telah melanggarhukum pidana dengan alasan perbuatan atau kelalaiannya itu tidak

dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat perbuatan pelanggaran itu dilakukannya.

(b) Setiap anak yang didakwa atau dituntut sebagai pelaku pelanggaranhukum pidana harus paling tidak dijamin hak-haknya berikut ini:

(i)  anak dianggap tak bersalah sampai ada pembuktian kesalahannyasecara hukum;

(ii) 

anak berhak diberitahu dengan jelas dan langsung tuduhan yang

ditujukan terhadapnya, apabila perlu, dilakukan melalui orang tuanyaatau kuasa hukumnya dan kepada mereka diberikan bantuan hukum

dalam rangka persiapan pembelaannya;(iii)

 

demi kepastian hukum dan mencegah terjadinya penundaan

 penanganan, oleh lembaga yang berkompeten, bebas dan tak

memihak atau lembaga yudisial dalam kerangka pemeriksaan yangfair sesuai hukum yang berlaku, anak harus didampingi penasihathukumnya, kecuali adanya alas an-alasan demi kepentingan terbaik

anak, namun dengan tetap memperhatikan usia dan situasi anak,orang tua atau kuasa hukumnya;

(iv) 

agar tidak ada paksaan dalam memberikan kesaksian atau pengakuan

 bersalah; pengujian terhadap kesaksian yang merugikan anak dan

untuk memperoleh kepastian bahwa peran serta saksi dan pengujian

kesaksiannya betul-betul atas kehendak anak, pengujian itu harus

dilandaskan atas dasar persamaan hak;

(v)   bila dipertimbangkan adanya pelanggaran hukum pidana, keputusan

dan setiap tindakan yang dijatuhkan harus di bawah pengawasan

 pihak yang lebih berkompeten, bebas dan tak memihak atau badan

yudisial sesuai ketentuan hukum yang berlaku;

(vi) anak yang tidak memahami atau tidak bisa berbicara bahasa yang

digunakan, harus dibantu seorang penerjemah yang bebas.(vii) anak berhak menikmati privacynya di semua tingkatan pemeriksaan.

3. 

 Negara anggota dalam mendukung Konvensi ini harus menetapkan Hukum, prosedur, pihak-pihak yang diberi wewenang, lembaga khusus untuk

menanngani anak yang didakwa, dituntut, atau dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana, secara khusus:

(a) 

 penetapan batas usia minimal terendah bagi seorang anak yangdinyatakan belum layak dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum

 pidana;(b) 

apabila diperlukan dan dikehendaki, tindakan terhadap anak yang

dilakukan tanpa melibatkan proses peradilan, persyaratan hak asasi

manusia dan kuasa hukum harus dipenuhi.

4. 

Berbagai disposisi seperti perhatian, bimbingan, perintah pengawasan,

konseling, probation, bimbingan untuk membantu perkembangan,

 pendidikan, program training vokasional dan alternatif lain ke dalam

lembaga, harus memungkinkan untuk menjamin bahwa anak diperlakukan

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 10/29

 

dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraan manusia dan

 proporsional baik dengan keadaan lingkungan dan perbuatannya.

Prinsip perlindungan hukum dalam intstrumen hukum internasional khusus

terhadap anak pelaku tindak pidana diatur dalam United Nations Standard Minimum

 Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules).Beijing Rules 

disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan menjadi Resolusi PBB pada tanggal 29

 November 1985 dalam Resolusi 40/33. Beijing Rules membahas tentang perlindungan

terhadap anak dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, untuk penggambaran isi

dari  Beijing Rules  ini akan dibahas secara singkat oleh penulis dalam pembahasan

 berikut.

Bagian I :General Principles (Asas Umum) Bagian ini secara umum berisi tentang perlunya  Kebijakan Sosial yang

 Komprehensif yang bertujuan untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin

kesejahteraan anak, yang pada gilirannya akan  mengurangi campur tangan sistem

 peradilan anak.8 Artinya kebijakan sosial yang diatur dalam bagian ini benar-benar

 bertujuan untuk memberikan kesejahteraan terhadap anak, hal tersebut dapat

tercapai apabila dilakukan dengan tidak mendekatkan atau melibatkan anak dengan

sistem peradilan pidana anak terhadap anak pelaku tindak pidana.

Bagian II Penyelidikan dan Penuntutan

Penanganan anak di tingkat penyelidikan dan penuntutan harus dihindari dari

sikap yang mengarah pada penekanan terhadap anak seperti pertanyaan yang bersifat

gertakan bernada keras maupun tindakan kekerasan (kontak fisik), agar tidak

menimbulkan ketakutan dari dalam diri anak. Diversi(pengalihan), suatu mekanisme

yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan

sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan sebetulnya

telah mengalami proses stigmatisasi.9 

Bagian III Ajudikasi dan Disposisi

Proses adjudikasi dan disposisi, memberikan syarat penting yang wajib untuk

diperhatikan ialah menjadikan laporan penyelidikan sosial anak, prinsip dan

8 Ibid ., hal.109.9 Ibid. 

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 11/29

 

pedoman penyelesaian perkara dan penempatan anak, sebagai bahan

 pertimbangan dalam pemberian dan penetapan sanksi. Satu asas penting yang harus

diingat dengan kaitan ini, ialah  penempatan anak di dalam lembaga koreksi

(penjara) hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir, itupun hanya untuk

 jangka pendek.Penahan anak semata-mata karena alasan penundaan sidang

dihindarkan. (Rule 19-20).10

 

Bagian IV dan V Pembinaan Luar dan Dalam Lembaga

Penempatan anak di luar lembaga dan di dalam lembaga harus tetap pada

konteks untuk pembinaan. Pembinaan di luar lembaga tetap harus disiapkan secara

matang dan tersistematis dengan melibatkan peran lembaga-lembaga kesejahteraan

anak dengan petugas yang berkualitas.Prinsip perlindungan anak dalam intrumen hukum nasional juga terlihat di

dalam beberapa undang-undang di Indonesia, diantaranya diatur dalam Undang-

Undang Nomr 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

Prinsip perlindungan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 terlihat dalam Pasal 2 undang-undang tersebut yang mengandung

 beberapa asas yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak yangmemiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, dan telah sesuai dengan prinsip

 perlindungan anak baik dalam intrumen hukum internasional maupun intrumen

hukum nasional. Prinsip-prinsip perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana

yang telah terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ialah sebagai

 berikut :

a. 

Batasan Usia Anak

Usia anak yang berkonflik dengan hukum ialah anak yang berusia 12 (dua

 belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Usia yang dapat dilakukan penahanan

ialah usia 14 (empat belas) tahun atau lebih atau dengan memperhatikan tindak

 pidana yang dilakukan. Anak yang usianya belum mencapai 12 (dua belas tahun)

hanya dapat dilakukan pembimbingan dan pembinaan terhadap anak.

10 Ibid., hal.112

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 12/29

 

Ketentuan batas usia Anak ini telah sesuai dengan  Beijing Rules  yang

menentukan bahwa dalam menentukan batas usia anak harus memperhatikan

keadaan Anak dan tidak ditentukan terlalu rendah. Konvensi Hak-Hak Anak juga

menyebutkan bahwa setiap negara anggota herus menentukan batas usia minimum

yang belum dapat diterapkan sistem peradilan pidana, dimana dalam undang-undang

ini sudah menetukan tersebut.

 b. 

Ketentuan Sanksi

Undang-Undang ini telah menentukan sanksi yang jauh berbeda dari ketentuan

KUHP dan Undang-Undang Pengadilan Anak, yang tidak mencerminkan

 perlindungan, pemulihan, dan pembinaan terhadap Anak.Undang-undang ini

meletakkan sanksi penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir, sedangkan sanksi pidana pokok sebelumnya mengarah kepada perlindungan, pemulihan, dan

 pembinaan anak.

Ketentuan sanksi ini telah sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang

 Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyatakan bahwa pidana

 penjara dapat diterapkan terhadap anak apabila tidak ada upaya terahkir lagi, dan

dilakukan terpisah dari penjara dewasa. Instrumen hukum internasional juga

mengatur mengenai asas proporsionalitas yang membatasi pemberian sanksi yang

 bersifat memberikan tekanan terhadap anak, tetapi membatasi pemberian tanggapanmasyarakat yang menimbulkan perbuatan antisosial pada Anak.

c. 

Diversi dan Keadilan Retoratif

Diversi dan Keadilan Restoratif menjadi dasar dari pembaharuan hukum dalam

 pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, yang dapat dilihat di dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang

 bertujuan untuk menghindari anak pelaku tindak pidana dari jerat hukuman atau

 pemidanaan, kedua konsep tersebut merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia.

Konsep diversi dan restorative justice dalam pelaksanaannya melibatkan pihak

ketiga di dalam penyelesaian masalah antara anak yang melakukan dan anak yang

menjadi korban dalam tindak pidana tersebut, dengan melibatkan masing-masing

keluarga mereka, serta pihak-pihak lain, dengan tujuan proses penyelesaian perkara

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 13/29

 

diusahakan agar anak pelaku tindak pidana jauh dari proses pemidanaan terhadap

anak pelaku tindak pidana.

Ketentuan baru ini telah sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan  Beijing

 Rules  yang menekankan bahwa upaya Diversi harus diprioritaskan dalam

 penanganan Anak, hal ini berguna untuk menjauhkan anak dari penyelesaian dengan

sistem peradilan pidana yang cenderung memberikan dampak negatif bagi anak.

d. 

Acara Peradilan Pidana Anak

Penanganan perkara Anak dilakukan oleh unit khusus yang menangani Anak,

dan mengupayakan diversi sebelum melanjutkan pemeriksaan perkara Anak, hal ini

sesuai dengan  Rule 6 Beijing Rules bahwa setiap aparat penegak hukum diberikan

kewenangan yang luas untuk melakukan diskresi pada perkara anak.Masa penahanan anak yang jauh berbeda dan lebih singkat dibandingkan dengan Undang-

Undang Pengadilan anak menunjukkan bahwa penahanan tidaklah semata-mata

dilakukan untuk menanti keputusan dalam jalannya persidangan. Penahanan terhadap

Anak dilakukan di Lembaga khusus Anak yang bertujuan memberikan pembinaan

terhadap Anak.

2. 

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak

Pidana Di Indonesia Dari Perspektifundang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentangsistem Peradilan Pidana Anak

Lingkup kajian kebijakan penanggulangan kejahatan anak menempatkan posisi

anak dalam 2 (dua) posisi, yakni sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan. Anak

yang berada pada posisi sebagai pelaku kejahatan maka hal itu berarti bahwa ada

 permasalahan dalam perilaku anak tersebut, maka untuk mengatasinya dapat

dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni melalui Sarana Penal atau dengan Sarana Non

Penal. Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberlakukan hukum positif dan

tidak menutup kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa

mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila

diselesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara

kriminologi terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan

sekitarnya.Pendekatan kriminologi terhadap anak pelaku kejahatan juga berfungsi

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 14/29

 

dalam konteks sarana penal, karena melalui pendekatan kriminologi maka akan

mempengaruhi hukum pidana anak dalam arti ius constitutum dan ius constituendum 

Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut dapat digambarkan dengan

skema berikut :

Skema 2

Lingkup Kajian tentang Perilaku Delinkuensi Anak11 

a. 

Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dalam Penanggulangan Kejahatan

yang dilakukan Anak

Kebijakan hukum pidana (penal) merupakan pelaksanaan atau penerapanhukum acara pidana berdasarkan undang-undang oleh alat-alat kelengkapan negara,

yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan balai pemasyarakatan, atau yang lebih

dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana. Menurut A. Mulder,

“Strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan :12

 

a.  seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui; b.  apa yangdapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c.  cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.

11 Paulus Hadisuprapto, op.cit ., hal.79.

12  Dikutip dalam Barda Nawawi Arief,  Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Kencana Prenada

Media group, Jakarta, 2008, hal.23.

ANAK

KORBAN

PELAKUANAK BERMASALAH

DALAM PERILAKUNYA 

SARANA PENAL SARANA NONPENAL

IUS

CONSTITUTUM 

IUS

CONSTITUENDUM

PENDEKATAN

KRIMINOLOGIK

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 15/29

 

Sistem Peradilan Pidana pada Anak (disingkat dengan SPPA), berkaitan

dengan perumusan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana serta penerapan

dari sistem peradilan pidana anak pelaku tindak pidana

1) 

Perumusan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan jenis-

 jenis sanksi (pidana), yang terdiri dari:

a. 

Hukuman Pokok:

1) hukuman mati;

2) hukuman penjara;

3) hukuman kurungan;

4) 

hukuman denda;

 b.  Hukuman Tambahan:

1)  pencabutan beberapa hak yang tertentu;

2)  perampasan barang yang tertentu;

3) 

 pengumuman keputusan hakim.

Pasal 10 KUHP tersebut tidak menyebutkan adanya sanksi tindakan yang

dimasukkan jenis sanksi dalam hukum pidana, namun menurut Satochid Kertanegara

menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan terdapat dalam pasal 45

KUHP.13

 Meskipun sebenarnya Pasal 45 KUHP tersebut termasuk ke dalam hal-hal

yang mengurangi atau pengecualian pidana terhadap anak yang belum dewasa

(belum mencapai umur 16 tahun) yang melakukan tindak pidana, namun apabila

Satochid Kertanegara menyebutkan Pasal 45 KUHP tersebut sebagai sanksi tindakan,

maka sanksi tindakan di dalam KUHP tersebut hanya berlaku jika pelaku belum

 berusia 16 tahun, yang terdiri dari :

a) 

 pengembalian kepada orangtua, wali, atau pemeliharanya;

 b)   penyerahan tersangka kepada pemerintah.

Perkembangan hukum yang pada akhirnya menghapus ketentuan Pasal 45

KUHP dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan anak, kemudian perkembangan sosial yang juga berpengaruh pada

 berkembangnya peraturan perundang-undangan, akhirnya melahirkan Undang-

 

13M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System

dan Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 54.  

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 16/29

 

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang saat ini

masih dalam tahap sosialisasi, namun pada tanggal 30 Juli 2014 akan menggantikan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Sanksi

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilihat dan dibandingkan pada tabel berikut :

Tabel 1

Perumusan Sanksi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

UNDANG-UNDANG

NOMOR 3 TAHUN 1997

UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2012

Sanksi Pidana

1.  Pidana Pokok

a. 

 pidana penjara;

 b.   pidana kurungan;

c. 

 pidana denda; atau

d.   pidana pengawasan

2.  Pidana Tambahan 

a. 

 perampasan barang- barang

tertentu; dan/atau

 b. 

 pembayaran ganti rugi.

Sanksi Pidana

1. 

Pidana Pokok

a. 

 pidana peringatan;

 b.   pidana dengan syarat:

(1) 

 pembinaan di luar lembaga;

(2)   pelayanan masyarakat; atau

(3) 

 pengawasan

c.   pelatihan kerja;

d. 

 pembinaan dalam lembaga;

e.   penjara.

2. 

Pidana Tambahan

a.   perampasan keuntungan yang

diperoleh dari tindak pidana; atau b.   pemenuhan kewajiban adat.

Sanksi Tindakan

1. 

mengembalikan kepada orangtua,

wali, orangtua asuh;

2.  menyerahkan kepada negara untuk

mengikuti pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja, atau

3.  menyerahkan kepada Departemen

Sosial, atau Organisasi SosialKemasyarakatan yang bergerak di

 bidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

Sanksi Tindakan

1. 

 pengembalian kepada orang tua/Wali;

2.   penyerahan kepada seseorang;

3. 

 perawatan di rumah sakit jiwa;

4.   perawatan di Lembaga

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

(LPKS);

5. 

kewajiban mengikuti pendidikan formal

dan/atau pelatihan yang diadakan oleh

 pemerintah atau badan swasta;6.   pencabutan surat izin mengemudi;

dan/atau

7.   perbaikan akibat tindak pidana. 

Sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak sebenarnya tidak

 jauh berbeda dengan yang diatur dalam KUHP, hanya saja di dalam Undang-Undang

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 17/29

 

Pengadilan Anak Pidana Mati dan Pidana Penjara (seumur hidup) tidak dapat

diberlakukan terhadap anak (menurut Undang-Undang Pengadilan Anak belum

mencapai usia 18 tahun dan belum kawin), melainkan pidana tersebut diganti dengan

 pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun.14 

Pemberian sanksi pidana maupun tindakan menurut Undang-Undang

Pengadilan Anak, ditentukan berdasarkan subjek anak yang melakukan, jika anak

yang melakukan itu adalah Anak Nakal yang kategorinya adalah anak yang

melakukan tindak pidana maka dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Namun

apabila yang melakukan adalah Anak Nakal yang kategorinya adalah anak yang

melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, maka terhadapnya hanya dapat

diterapkan sanksi tindakan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meletakkan pidana penjara sebagai

 pidana pokok yang paling akhir sebagai (ultimum remidium), sebagai wujud

 pelaksanaan perbaikan, pembinaan, dan mendidik Anak pelaku tindak pidana, serta

memberikan sanksi tindakan yang jauh lebih banyak sebagai hal yang lebih

mendukung tujuan pembinaan dalam undang-undang ini. Pasal 69 ayat (2)

menyebutkan bahwa Pemberian sanksi pidana maupun sanksi tindakan ditentukan

 berdasarkan usia anak pelaku, Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat

dikenai tindakan.

Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur ketentuan

khusus dalam perumusan sanksi, yakni apabila dalam hukum materiil diancam

 pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan

kerja. Artinya, bahwa perumusan sanksi dalam Undang-Undang ini tergantung

kepada hukum materiil yang telah dilanggar oleh Anak, apabila misalnya hukum

materiil yang dilanggar oleh anak itu mengandung sistem sanksi alternatif, maka

sanksi tersebutlah yang diberikan kepada anak, demikian pula pada perumusan

sanksi secara tunggal, hal ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuanyang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

14 Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 18/29

 

2) 

Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Anak Pelaku Tindak

Pidana

Sistem Peradilan Pidana Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 berbeda dengan Sistem Peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahunn 1997, dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem

Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui

upaya Diversi. 

a) 

Penyidikan 

Penyidikan terhadap perkara Anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 dilakukan oleh Penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan syarat yang ditentukan.15 

Penyidikan dalam perkara Anak melibatkan peran serta dari Pembimbing

Kemasyarakatan, yakni dengan diwajibkannya Penyidik untuk meminta

 pertimbangan saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana

dilaporkan atau diadukan, Penyidik juga wajib meminta laporan Hasil Penelitian

Kemasyarakatan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi dari Pekerja Sosial

Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosiall sejak tindak pidana diajukan. Masing-

masing hasil laporan tersebut wajib diserahkan oleh Balai Pemasyarakatan kepada

Penyidik dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam. Penangkapan terhadap Anak

dilakukan guna penyidikan paling lama 24 jam. Anak yang ditangkap wajib

ditempatkan di ruang khusus unit pelayanan Anak, dan Penyidik harus berkoordinasi

dengan Penuntut Umum guna memenuhi kelengkapan berkas baik secara materiil

maupun formil dalam waktu 1 x 24 jam.

 b) 

Penahanan

Penahanan di dalam Pasal 32 ayat (2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut :

(1) 

Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

(2) diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)

tahun atau lebih.

15 Lihat Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 19/29

 

Penahanan tersebut juga baru dapat dilakukan apabila orangtua/Wali dan/atau

lembaga tidak dapat menjamin bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak

menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau akan mengulangi tindak pidana.

Jika Penahanan Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tanahan Negara,

Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu, maka penahanan dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Anak ditempatkan di Lembaga Penempatan

Anak Sementara (LPAS), dalam hal tidak terdapat LPAS penahanan dapat dilakukan

di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Hal ini menandakan bahwa

adanya lembaga khusus yang dibentuk oleh Pemerintah dalam proses peradilan anak

yang belum diatur sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak.

Jangka waktu penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2

Jangka Waktu Penahanan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

PROSESUndang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012

Penahanan Perpanjangan Jumlah Penahanan Perpanjangan Jumlah

Penyidikan 20 hari 10 hari 30 hari 7 hari 8 hari 15 hari

Penuntutan 10 hari 15 hari 25 hari 5 hari 5 hari 10 hari

Pengadilan 15 hari 30 hari 45 hari 10 hari 15 hari 25 hari

Pengadilan

Tinggi15 hari 30 hari 45 hari 10 hari 15 hari 25 hari

Mahkamah

Agung25 hari 30 hari 55 hari 15 hari 20 hari 35 hari

JUMLAH 200 hari JUMLAH 110 hari

Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana yang telah ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah berakhir, maka petugas tempat Anak

ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi Hukum. Hal ini berbeda dengan

ketentuan jangka waktu penahanan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 20/29

 

 bahwa apabila jangka waktu penahanan yang telah ditentukan berakhir, maka

 penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang

 patut dan tidak dapat dihindarkan, yakni paling lama 15 (lima belas) hari, jika masih

diperlukan perpanjangan penahanan dapat dilakukan perpanjangan lagi untuk waktu

 paling lama 15 (lima belas) hari.

c) Penuntutan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa sebelum proses

 penuntutan dilaksanakan, Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi selama

 paling lama 7 (tujuh) hari setelah berkas perkara dilimpahkan, dan mengupayakan

 proses diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi akan memberikan 2

(dua) kemungkinan, apabila proses diversi berhasil mencapai kata sepakat, maka

Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepaatan Diversi

kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat surat Penetapan, namun apabila

Diversi gagal maka Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan

melimpahkan perrkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian

kemasyarakatan.

d) 

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk

menangani perkara Anak dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Sebelum tahap persidangan dilanjutkan, Hakim

wajib mengupayakan Diversi dengan ketentuan waktu yang sama seperti proses

Diversi pada proses penyidikan dan penuntutan.Pemeriksaan ke tahap persidangan

akan dilanjutkan apabila upaya Diversi dinyatakan gagal.

Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang dewasa, dengan ketentuan

tertutup untuk umum kecuali pada saat pembacaan putusan, harus dilakukan dengan

terbuka untuk umum. Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping,

Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatanuntuk mendampingi Anak, sidang akan tetap dilanjutkan apabila orangtua/Wali

dan/atau pembimbing tidak hadir.

Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa

Sidang dimulai dengan pembacaan Dakwaan, setelah pembacaan surat dakwaan,

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 21/29

 

Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil

 penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak,

kecuali Hakim berpendapat lain. Pembacaan laporan hasil penelitian ini berbeda

dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan

 bahwa sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing

Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai

anak yang bersangkutan.

e) Pelaksanaan Hukuman

Pelaksanaan hukuman terhadap Anak (pelaku tindak pidana) menurut Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh beberapa lembaga terkait yang

nantinya akan memberikan pelayanan, perawatan, pendidikan, pembinaan anak, dan

 pembimbinga klien anak . Lembaga-lembaga terkait tersebut yaitu:

(1) Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)

Lembaga ini merupakan tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan

 berlangsung. Jadi selama proses peradilan pidana anak berlangsung, (penyidikan,

 penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan), maka selama itu Anak akan menjalani

masa penahanan di LPAS sampai dengan proses peradilan pidana yang dijalani Anak

selesai.

(2) 

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)Lembaga ini merupakan lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.

Jadi, lembaga inilah yang akan menangani Anak yang telah dijatuhkan hukuman

 pidana yaitu pidana penjara.

Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA, namun telah mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda,

sedangkan yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dipindahkan ke

lembaga pemasyarakatan dewasa.

(3) 

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)

Lembaga Penyelengggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) adalah lembaga atautempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial

 bagi Anak.Apabila dilihat dari pengertiannya, maka tidak terlihat bahwa LPKS

 berperan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak, namun LPKS tetap

memiliki peran dalam pelaksanaan sistem peradilan pidanan Anak.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 22/29

 

LPKS berperan dalam sistem peradilan pidana Anak, khusus dalam hal

terhadap anak yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, namun Anak

tersebut masih berusia dibawah 12 (dua belas tahun). Anak dapat menjalani hari-

harinya di dalam LPKS sesuai dengan keputusan Penyidik, Pembimbing

Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional yang diajukan ke pengadilan dalam

waktu 3 (tiga) hari untuk penetapan waktu kapan Anak tersebut mulai ditempatkan di

LPKS.

Anak menjalani program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di LPKS

dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pelaksanaan program tersebut akan

dievaluasi oleh Balai Pemasyarakatan, apabila menurut hasil evaluasi Anak masih

memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, maka masa dapat

diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Selama program pendidikan, pembinaan,

dan pembimbingan berlangsung, LPKS wajib memberikan laporan perkembangan

Anak kepada Balai Pemasyarakatan setiap bulan secara berkala.

b. Kebijakan Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan yang

dilakukan Anak

Kebijakan non-penal dalam penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku

tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tampak dengan

adanya penerapan Diversi dan Keadilan Restoratif yang dimasukkan dalam proses

sistem peradilan pidana anak.

1) Proses Penyelesaian Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Melalui Diversi

dan Keadilan Restoratif

Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 harus selalu diupayakan

 pada setiap proses pemeriksaan perkara Anak, atau dengan kata lain proses diversi

merupakan bahagian yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana. Diversi

tersebut dilaksanakan jika perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana penjara

di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan pengulangan tidak pidana (Lihat Pasal 7).

Tujuan dari dilakukannya Proses Diversi dalam Pasal 6 Undang-Undang

 Nomor 11 Tahun 2012 ialah:

a) 

mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

 b) 

menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 23/29

 

c) 

menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d) 

mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e) 

menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Sehingga dalam pelaksanannya, Proses Diversi wajib memperhatikan:

a) kepentingan korban;

 b) 

kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

c) 

 penghindaran stigma negarif;

d)  penghindaran pembalasan;

e) 

keharmonisan masyarakat; dan

f) 

kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Penerapan atau pelaksanaan proses Diversi tidak dapat terhadap semua Anak

yang melakukan atau semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, sehingga

dalam Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus

mempertimbangkan: (lihat Pasal 9 ayat (1))

a) 

kategori tindak pidana

Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana

semakin tinggi prioritas Diversi.Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan

terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan,

 pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.

 b) 

umur Anak

Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas

 pemberian Diversi dan semakin muda umur anak, semakin tinggi prioritas Diversi.

Hal ini terlihat dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

mengatur bahwa Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga

melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja

Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:

(1) 

menyerahkan kembali kepada orangtua/Wali;atau

(2) 

mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaa, dan

 pembimbingan di instansi pemerintah atau LKPS di instansi lain yang

menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun

daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

(3) 

hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 24/29

 

(4) 

dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dasar dari pelaksanaan Diversi adalah kesepakatan, sehingga Diversi tidak

dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan dari korban dan/atau keluarga Anak

Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Walaupun demikian, Diversi dapat

dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan tersebut terhadap:

(1) 

tindak pidana yang berupa pelanggaran;

(2) 

tindak pidana ringan;

(3)  tindak pidana tanpa korban; atau

(4) 

nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

setempat.

Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau tindak pidana

yang nilai kerugiannya tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat

tersebut dapat berbentuk:

(1)   pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

(2) 

rehabilitasi medis dan psikologi;

(3) 

 penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

(4) 

keikutsertaan dalam pendidikan di lembaga pendidikan atau LPKS paling

lama 3 (tiga) bulan; atau(5)

 

 pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa apabila

upaya diversi berhasil, maka para pihak dapat membuat kesepakatan berupa:

(1)   perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

(2) 

 penyerahan kembali kepada orang tua/Wali

(3) 

keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau

LPKS paling lama 3(tiga) bulan; atau

(4) 

 pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan Diversi akan dibuat penetapannya dan akan mempengaruhi

 pada pemberhentian pemeriksaan perkara baik di tingkat penyidikan maupun di

tingkat penuntutan, namun apabila proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan

maka proses peradilan pidana Anak akan dilanjutkan.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 25/29

 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sayangnya tidak mengatur tatacara

 penyelesaian atau penerapan sistem Keadilan Restoratif ( Restorative Justice) secara

rinci seperti penerapan diversi, hal ini mungkin akan dijabarkan pada peraturan

 pelaksana daripada undang-undang itu sendiri.

2) 

Peranan Lembaga Penegak Hukum Negara Republik Indonesia dalam

Pelaksanaan Proses Diversi dan Keadilan Restoratif

Pelaksanaan proses Diversi dan Keadilan Restoratif tidak terlepas dari

keterlibatan beberapa lembaga penegak hukum negara Republik Indonesia. Hal ini

disebabkan karena meskipun proses Diversi dan Keadilan Restoratif merupakan

kebijakan penanggulangan non-penal, namun memiliki kaitannya yang erat dalam

 pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak yang merupakan bahagian dari penerapan

kebijakan penal. Salah satu yang terlihat jelas adalah bahwa “setiap proses

 pemeriksaan sistem peradilan pidana Anak wajib mengupayakan Diversi”. Artinya

 bahwa kebijakan penal dan non-penal menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 dapat dilakukan secara bersamaan, hanya saja lebih mengutamakan upaya non-

 penal dengan menerapkan sistem Diversi dengan cara melalui pendekatan Keadilan

Restoratif.

a) 

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan

Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan memiliki peran yang sama dalam

 pelaksanaan proses diversi. Proses Diversi wajib diupayakan dalam waktu paling

lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai/ berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan

 pengadilan, dan upaya Diversi dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari.

Apabila Diversi berhasil, maka penyidik, penuntut, dan hakim membuat berita

acara Diversi disertai dengan kesepakatan Diversi dan diberikan kepada ketua

 pengadilan untuk dibuat penetapan.

 b) Balai Pemasyarakatan

Balai pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan

yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,

 pengawasan, dan pendampingan. Balai Pemasyarakatan memiliki peran yang

dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dengan melakukan penelitian

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 26/29

 

kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di

luar proses peradilan pidana, serta membuat laporan atas penelitian kemasyarakatan

untuk kepentingan Diversi, melakukan pembimbingan, dan pengawasan terhadap

Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya

kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan.

Balai Pemasyarakatan juga berfungsi untuk mengawasi jalannya proses

 penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan yang

dilakukan oleh Lembaga-Lembaga terkait yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga

Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial (LPKS). Berkaitan dengan Diversi dan Keadilan Restoratif, maka Lembaga

yang diawasi oleh Balai Pemasyarakatan adalah LPKS, sebab dalam pelaksanaan

 proses dan kesepakatan Diversi anak dapat diikutsertakan dalam pendidikan atau

 pelatihan di Lembaga Pendidikan atau LPKS dalam jangka waktu yang ditentukan.

Artinya, anak yang dalam masa Diversi ataupun dalam kesepakatan Diversi

ditempatkan di Lembaga Pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial (LPKS) dengan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas).

E. 

PENUTUP

1. 

KesimpulanSetelah melakukan analisis terhadap permasalahan yang berkenaan dengan

kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana dari

 perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a.  Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak pelaku tindak pidana dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak mengacu kepada Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The

 Rights of The Child), dan juga apabila diperhatikan telah mencakup sebagian

 besar prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana baik dalam instrumen

hukum nasional maupun instrumen hukum internasional. Prinsip perlindungan

Anak dalam undang-undang ini dapat dilihat dari dianutnya beberapa asas yang

harus diterapkan dalam pelaksanaan Sistem Peradilam Pidana Anak.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 27/29

 

 b. 

Kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di

Indonesia dalam perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dilakukan dengan sarana Penal

atau Non-Penal.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Penal dalam Undang-Undang

 Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan menerapkan upaya hukum pidana, yaitu

melalui proses penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan, serta

 pembinaan di Lembaga. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana

 penal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 hanya dapat diterapkan

terhadap Anak Pelaku yang telah berusia 12 (dua belas) tahun namun belum

mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, akan tetapi Anak yang dapat dilakukan

 penahanan karena perbuatannya ialah anak yang berusia 14 (empat belas) tahun

dan perbuatannya itu merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana penjara

7 tahun atau lebih.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Non-Penal dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan menerapkan sistem Diversi dan

dengan Keadilan Restoratif. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara

Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, namun

dalam pelaksanaannya tetap melibatkan aparat penegak hukum. Sedangkan

Keadilan Restoratif merupakan cara penyelesaian yang digunakan dalam proses

diversi, yaitu dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan

 pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

 pembalasan.

Meskipun ada sarana Penal dan Non-Penal, dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 ini sarana Non-Penal lebih diutamakan, tetapi dalam penerapannya

kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Non-Penal juga dilakukandalam penerapan sarana Penal. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam setiap proses

 peradilan pidana berlangsung, yakni dalam penyidikan, penuntutan, dan

 pemeriksaan di pengadilan, harus mengupayakan Diversi sebelum melanjutkan

 pemeriksaan perkaranya.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 28/29

 

2.  Saran

Berdasarkan pembahasan dan pemaparan yang menjawab permasalahan dalam

tulisan ini, maka ada beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis, yaitu:

a. 

Asas-asas yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak telah memenuhi prinsip perlindungan Anak pelaku

tindak pidana haruslah benar-benar diterapkan dalam pelaksanaannya, karena

apabila tidak diterapkan hal ini berarti bahwa tidak ada gunanya dilakukan

 pembaharuan hukum dalam peradilan anak, sebab asas perlindungan terhadap

anak yang demikian banyak itu hanya dijadikan sebagai bingkai indah belaka

tanpa aplikasi yang sesuai. Maka dari itu sebaiknya dalam demi terlaksananya

asas-asas tersebut sebaiknya dibuat peraturan mengenai pengawasan terhadap

 pelaksanaan asas-asas tersebut dan memberikan ketentuan sanksi pidana yang

 benar-benar ditegakkan apabila undang-undang ini tidak dilaksanakan

 berdasarkan asas-asas tersebut.

 b.  Kebijakan penanggulangan baik melalui sarana penal maupun non-penal

merupakan upaya yang sama baiknya dalam menanggulangi kejahatan terhadap

Anak, namun dalam pelaksanaannya guna menentukan apakah akan diterapkan

sarana penal atau non-penal, sebaiknya aparat penegak hukum serta lembaga yang

terkait tetap melakukan hubungan yang integral dan professional satu sama

lainnya dengan mempertimbangkan keadaan anak dan perbuatan pidana yang

telah dilakukan oleh anak.

Pelaksanaan kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap Anak haruslah

dilakukan oleh aparat yang professional dengan pengetahuan yang benar-benar

dikuasai dalam hal perkara Anak, sehingga tidak terjadi keburukan yang akhirnya

menimbulkan kerugian pada Anak.

Lembaga-lembaga sebagaimana yang telah disebutkan dalam undang-undang ini

harus benar-benar segera dibuat oleh pemerintah dan dijalankan sesuai dengan

fungsinya sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang ini.

7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 29/29

 

DAFTAR PUSTAKA

A. 

Buku

Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi Pertama, CetakanKe-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hadisuprapto, Paulus, 1997, Juvenille Delinquency Pemahaman dan

Penanggulangannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Sholehuddin, Muhammad, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar

 Double Track System  dan Implementasinya, Jakarta: PT. JasagrafindoPersada.

B. 

Peraturan Perundang-Undangan 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

C. 

Internet

http://books.google.co.id/books?id=IHn7cUJU0nsC&pg=PA72&lpg=PA72&dq=ana

k+yang+dituduh+bermain+judi&source=bl&ots=zxc0Vtc3P&sig=NOV24l

VThna3M8wUwFojQO_Zjck&hl=id&sa=X&ei=JWVIUb3bBMmqrAfN9YDIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=anak%20yang%20dituduh%20bermain

%20judi&f=false)

http://greatandre.blogspot.com/2011/06/analisis-kasus-raju-dimanakah-

keadilan.html.

http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/01/17/koin-rp-1000-untuk-anak-

yang-terancam-penjara-di-bali.html.

http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilan-pidana-anak-

catatan-singkat-undang-undang-nomor-11-tahun-2012.html.