demokrasi dan perang pencitraan iklan

Upload: carangki

Post on 19-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    1/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    DEMOKRASI DAN POLITIK PENCITRAANPERANG IKLAN POLITIK MENUJU DEMOKRATISASI DI INDONESIA

    Grendi Hendrastomo1

    Abstract

    Democracy has become one of the best governmental systems adopted by

    countries all over the world. Democracy has considered able to respond more intentionsparticularly publics in fighting for peoples right. There must be at least under thesethree conditions for a country to be considered as democratic country. First, it must run

    general election, empowered civilians and freedom of the press. General election is oneway a citizen can contribute in politic. General election is held every five years and is

    used as a media to distribute their voices by voting the representative who will becomethe spokeperson in the parliament.

    To be a representative is not an easy job. Resources (social resources) are neededto win the popular vote. This is then why the representative democracy requiresimaging. It is a common knowledge that the candidate of representative does notnecessarily know the people he represent. Democracy raises the euphoria of creatingimage. In the end, war of image-making where character, quality, and individualsquality can be imaged and sell to public will happen.

    Political commercials war has spreaded which force people to enjoy. Democracythen is identical with politic of imaging. Voters then are similar as the decision makers

    of the economy. Political party or individual is voted based on its marketing, nodifferent with the marketing of groceries. Economic capital has become political basis tosomeone hence finally creating the democratical chain which costs a big amount.Eventhoungh in one side, the politic of imaging lowers the quality of democracy; on theother hand, it gives political study to people so the public will gain more politicknowledge from the politic ads.

    Key words: democracy, politic, imaging

    1

    PengajardiProgramStudiPendidikanSosiologi,FISE,UNY

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 1

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    2/14

    Grendi Hendrastomo

    A. PendahuluanPemilihan umum (pemilu)

    menjadi salah satu syarat negarademokrasi. Ajang 5 tahunan ini

    menjadi peneguhan demokratisasi.Berbeda dari era orde baru dan ordelama, pemilu pada era reformasipenuh dengan gegap gempitaeuphoria rakyat untukberpartisipasi dalam bidang politik.Partai-partai politik muncul seperticendawan, partai-partai yang tidaklolos electoral threshold pemilusebelumnya dan pecahan partai-

    partai besar bermetamorfosismenjadi partai-partai baru yangmengusung ideologi danperubahan. Pemilihan umum yangada di Indonesia baik untukmemilih wakil rakyat di DPR,presiden maupun pemilihan umumkepala daerah dijadikan sebagaiajang pendewasaan warga negarauntuk melek politik. Kenyataannya

    keinginan untuk pendewasakanrakyat dijadikan alasan untukmenempatkan rakyat sebagaikonsumen. Jualan partai selalumeninabobokkan rakyat dengan

    janji-janji kesejahteraan sekaligusutopia untuk menikmati kekuasaan.Berbagai macam cara untuk menjualpartai dimata pemilih dilakukandengan berbagai macam cara.Partai-partai baru dan kecil menjualpartainya dengan sistem door todoor dan lebih memanfaatkan

    jaringan kekeluargaan. Lain halnyadengan partai baru, besar danmemiliki banyak sumber dana,mereka dengan fleksibel bisamenggunakan berbagai macam alatpemasaran untuk menjual partai.Partai-partai besar yang mayoritasmemiliki kursi di legislatif pun

    melancarkan berbagai upaya untuk

    berusaha menyakinkan konstituenpartai dan warga negara untuktetap memilih partainya pada

    pemilu mendatang.Demokrasi yang idealnya

    merupakan sistem pemerintahanyang terbaik diantara sistem-sistemlain, memunculkan berbagai macampenafsiran di benak warga negarayang notabene awam akan duniapolitik. Demokrasi bagi kebanyakanwarga negara identik denganpemilihan umum, bagi mereka

    pemilu inilah ajang demokrasi,ajang untuk memilih wakil-wakilmereka yang katanya akanmemperjuangkan aspirasi rakyat dipemerintahan, memperjuangkankesejahteraan mereka,memperjuangkan kehidupan yanglebih baik, aman, nyaman, tertib,dan damai.

    Suatu negara dikatakanmenganut sistem pemerintahandemokrasi ketika memenuhi palingtidak 3 prasyarat (Mallarangeng,2008), pertama negara memilikisistem aturan yang mengatur hakwarga negara untuk menyampaikanpendapatnya, dan kebebasanberbicara, kedua kebebasan persdan ketiga adanya pemilihan umumdengan motor penggerak demokrasiberada pada partai politik. MenurutSchumpeter (Huntington, 1997)prosedur utama demokrasi adalahpemilihan para pemimpin secarakompetitif oleh rakyat yang merekapimpin. Dalam tataran sederhanaini bolehlah kita masukkan negaraini dalam negara demokrasi. Negaraini menjamin kebebasan berbicaradan berpendapat, pers kita bebasmenyuarakan kebobrokan, kritis

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 2

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    3/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    dan tajam, kita punya pemilu lima

    tahunan yang artinya kita memang

    menganut sistem pemerintahandemokratis. Tetapi kenyataannyademokratisasi di negara ini masingsering diperdebatkan karenaperpektif dan cara memahamidemokrasi yang berbeda-beda.

    Bagi masyarakat, demokrasimereka pahami denganpeningkatan kesejahteraan,sehingga ketika kesejahteraannya

    tidak kunjung membaik, mulailahmereka meragukan demokrasi.Pikiran-pikiran skeptis dan apatistentang demokrasi kemudian mulaiterbentuk. Keragu-raguan munculdan romantisme otoritarian (ordelama dan orde baru) mulaiberkembang. Masyarakat mulaimembanding-bandingkan antaraera orde baru dengan sekarang,

    munculah keinginan-keinginanuntuk kembali ke masa itu yangbagi mereka merupakan masa yangbebas konflik, hidup aman, penuhdengan keteraturan, walaupundibungkus dengan kediktatoran.Keragu-raguan akan demokrasimemunculkan ketidaktertarikanmasyarakat terhadap prosesdemokrasi, pemilu salah satunya,

    maka mulai muncullah ancamangolput, konflik intra dan antarpartai, hingga gerakan-gerakanyang ingin mengagalkan pemilihanumum. Kondisi ini diperparahdengan perilaku wakil-wakil rakyatyang berwatak penguasa, lupa padakonstituennya, dan baru ingatmenjelang pemilihan umum tiba.

    Pemilu dalam aras demokrasi

    merupakan prosedur kelembagaan

    untuk mencapai keputusan politik

    yang di dalamnya individu

    memperoleh kekuasaan untukmembuat keputusan melaluiperjuangan kompetitif dalamrangka memperoleh suara rakyat(Huntington, 1997). Dengan katalain, pemilu memang merupakanproses untuk menemukan wakilrakyat dengan kompetisimemperebutkan suara rakyat. Padatataran ini, tidak heran kiranya,

    menjelang pemilu selalu ramaidengan hiruk pikuk calon wakilrakyat yang menggalang dukungandengan mengunakan berbagai cara,melalui media, baik iklan, baliho,poster hingga mengadakanpertemuan setiap hari denganharapan mendapatkan dukunganrakyat yang sebanyak-banyaknya.Pemilu menjadi ladang untuk

    membeli suara rakyat, politisi calonwakil rakyat kemudian berlomba-lomba untuk mempopulerkanpartai, nama dan nomor urut.Kampanye menjadi langkah awalpolitisi untuk berlari dan menjalasuara yang mungkin bisadidapatkan dengan caramenyakinkan, memberi pengaruhhingga perang iklan politik. Bagi

    mereka, kampanye politik wajibdilakukan, karena inilah start awalperjuangan mereka meraihdukungan suara demimelanggengkan dan mendudukanmereka ditangga kekuasaan.Kemudian dalam perspektif ini,politik pencitraan menjadi sesuatuyang tidak bisa dipisahkan dariproses demokratisasi di Indonesia,

    terutama ketika dikaitkan dengan

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 3

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    4/14

    Grendi Hendrastomo

    kampanye politik menjelang

    pemilihan, baik pemilihan calonlegislatif, pemilihan kepala daerah,maupun pemilihan presiden.

    Pencitraan identik denganmenonjolkan diri, membentukpersepsi masyarakat baik itutentang partai maupun orang-orangberkepentingan di belakang partai.Pencitraan diperlukan sebagaisarana menjual komoditaspartaidan cara efektif mengubah stigmanegatif yang ada dalam masyarakat.Kampanye jelang pemilu kemudian

    menjadi ajang lomba untukmembentuk citra diri dan citrapartai demi mengejar ambisi dudukdi kursi panas wakil rakyat.Mengapa pencitraan penting?Pencitraan merupakan salah satubentuk penanaman ideologi,perpektif ke dalam benak oranglain, dalam kontek politikpencitraan kemudian lebih melihatpada bagaimana menampilkan citradiri yang baik bagi masyarakat.Politik pencitraan kemudian banyakdigunakan dalam berbagaikampanye politik. Kehadirannyaboleh jadi bersamaan dengankemunculan dunia politik itusendiri. Bahkan, sejarah politikRoma mencatat tentang pengaruhpencitraan politik dengan modalrangkaian kata yang terusdiucapkan saat kampanye mampumenggiring opini masyarakat dalammemilih. (http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233). Representasi citradiri dalam iklan-iklan politikmencerminkan keinginan kandidatuntuk menampakkan diri merekasebagai representasi masyarakatumum yang memiliki sesuatu yang

    wajib dan harus diberi apresiasi

    untuk mewakili masyarakat.Istilah representasi sosial

    mengacu pada produk dan proses

    yang menandai pemikiran padamasyarakat awam (diambil darikata common sense dan untukselanjutnya akan disebut sebagaipikiran awam), suatu bentukpemikiran praktis, secara sosialdielaborasi, ditandai oleh suatugaya dan logika khas, dan dianutoleh para anggota sebuah kelompoksosial atau budaya (Jodelet, 2006).

    Iklan politik yang merupakanbagian dari representasi sosial,diproduksi untuk menciptakanimage yang mendorong orangmemunculkan ketertarikan.Pencitraan kemudian dimaknaisebagai alat untuk mengapaikekuasaan.

    Pencitraan yang ditampilkanmelalui iklan politik menabiskanbahwa selama ini adakecenderungan calon legislative elitpartai tidak dekat dengankonstituennya. Elit politik malahsibuk dengan kepentingan pribadidan kepentingan partainya masing-masing. Pada kenyataannya, Parpolmasih melihat rakyat sebagaisupporterbukan sebagai votersyang sesungguhnya. Celakanya lagi,orientasi partai untuk merebutvoters tidak denganmemperjuangkan kepentingan-kepentingan vital mereka, tetapilebih dengan memanipulasisentimen-sentimen primordialseperti etnisitas dan agama,penggunaan politik uang, hinggamemanage psikologi masyarakatdengan penampakan citra diri(Nababan,

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 4

    http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233
  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    5/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    http://www.demosindonesia.org/

    pdf/Reformasi%20Kepartaian%20u

    ntuk%20Perbaikan%20Representasi.pdf).

    Sebagian besar masyarakatmasih memandang partai politikbelum sepenuhnya mampumengemban aspirasi rakyat atauberpihak kepada kepentinganrakyat yang diwakilinya (Kompas,12 Januari 2009). Untuk itulahpencitraan menjadi salah satu

    modal kampanye yang harusdilakukan.

    Jajak pendapat kompas(Januari 2009) beberapa waktu yanglalu citra partai politik masihdianggap buruk, hanya 39,6 %responden yang menganggap citrapartai sudah baik. Hal inilah yangmenjadi salah satu alasan partaiberlomba-lomba untuk

    mengkampanyekan partainyadengan berbagai media komunikasi,baik iklan dimedia, poster balihomaupun pamlet dan poster.Munculnya mahkamah konstitusiatas uji materi UU No 10 tahun 2008tetang pemilihan umum, semakinmemunculkan pertarunganpencitraan diantara calon anggotalegislatif. Mahkamah konstitusilah

    yang mengubah calon legislatifterpilih tidak lagi berdasarkannomor urut tetapi dengan suaraterbanyak semakin membuat hingarbingar panggung politik di negaraini. Disatu sisi, keputusan MK inimentahbiskan demokratisasi dinegara ini, siapa yang terpilihmemang benar-benar pilihanmayoritas rakyat, tetapi disisi lain

    keputusan MK ini bisa menjadi

    blunder demokrasi dimana peran

    parpol dikerdilkan oleh peran

    individu, membengkakkan biayakampanye, hingga konflik yangmungkin terjadi diantara partai.Politik pencitraan kemudianmenjadi sangat penting bagi calonlegislatif dan kampanye politik akansemakin mewarnai dinamikamasyarakat kita. Artikel inikemudian akan banyak membahastentang politik pencitraan dalam

    demokrasi, apa dan bagaimanapolitik pencitraan membawaperubahan atau justru kemundurandalam proses demokratisasi, danperan kampanye politik menjelangpemilu tahun ini.

    B. Politik Pencitraan Sisi Lain

    DemokrasiDalam politik (pemilu),

    pencitraan selalu identik denganshow offpamer, menonjolkan dirimaupun partai denganmengedepankan ideologi, visi,berbagai macam perubahan hinggasimbol-simbol tertentu yang akanmemudahkan massa pemilih dalammengingat partai maupun calonlegislatifnya. Politik pencitraanintinya ingin membuat orang lain

    (pemilih) terpesona, kagum,memunculkan rasa ingin tahu,memunculkan kedekatan yangmemang sengaja dibangun demipopularitas. Selama ini apabilaberbicara tentang pencitraan mautidak mau selalu kita identikandengan media, iklan televisi, radio.Pencitraan juga identik denganselebriti, pejabat yang

    menginginkan penampilan terbaik

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 5

    http://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdfhttp://www.demosindonesia.org/pdf/Reformasi%20Kepartaian%20untuk%20Perbaikan%20Representasi.pdf
  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    6/14

    Grendi Hendrastomo

    (positif) yang akan selalu diingat

    dan mengubah citra negatifnya.Dalam demokrasi, pencitraan

    menjadi penting karena adanya

    representasi suara yang disematkanketika seseorang berlomba-lombamenjadi wakil rakyat. Seseorangyang ingin menjadi wakil rakyatpaling tidak harus dikenal olehmassa pemilih dan kepentinganuntuk menampilkan sosok dirinyadengan harapan massa pemilihakan memilih dirinya. Kontekswakil rakyat sendiri bisa

    diperdebatkan. Idealnya, semuaorang memiliki kans yang samauntuk menjadi wakil rakyat.Masyarakat sebagai warga negarabiasa mempunyai akses sama kepolitik. Dalam kenyataanya, aksesini dibagi secara tidak merata.Pembagian itu ditentukanberdasarkan tingkat pendidikan,kepemilikan pada kelompok/agamadan posisi geografis. Ketiga faktoritu mencerminkan besarnya kapitalyang dimiliki (kapital budaya,sosial, ekonomi, dan simbolik).Kepemilikan kapital menentukanhubungan kekuasaan yaitu dayatahan terhadap hak-hak mereka(Haryatmoko, 2008)

    Model pendelegasian inimenjadi salah satu sebab lemahnyapengawasan terhadap pelaksanaankekuasaan. Maraknya korupsi, tidakpeduli terhadap kepentingan rakyat,diabaikannya kesejahteraanbersama dan hanya peduli padapolitik pencitraan. Kepedulian akanmuncul ketika pencitraandiperlukan, ketika kepentinganuntuk melanggengkan ataumencapai kekuasaan memerlukan

    retorika demi mencapai hasil yang

    diinginkan.Bagi calon wakil rakyat,

    pencitraan akan membantu mereka

    menampakkan sisi baik danmempopulerkan diri mereka padacalon pemilih. Bagi politisi yangsekarang menikmati empuknyakekuasaan, pencitraan pentinguntuk menyebarkan capaian hasildan perubahan, janji-janji yang akandilakukan, mengubah citra negatifmenjadi positif demi untukmelanggengkan kekuasaannya,

    karena obsesi politisi adalahkekuasaan (dipilih kembali) bukandalam rangka mengupayakankesejahteraan bangsa melainkansebagai akses ke fasilitas dankenikmatan social. Disinilah calonpolitisi baru berusaha untukmencitrakan diri mereka, demimeraih suara konstituen denganmengobral janji-janji, berjualanperubahan, menyakinkan massaakan memperjuangkan aspirasimereka hingga pemberian danapembangunan apabila kelak benar-benar terpilih.

    Pemilu menjadi proyek besaruntuk mulai perjuangan salingmengalahkan demi kursikepresidenan, legislative maupunkepala daerah. Politisi berlomba-lomba membentuk citra diri yangbaik dengan menggunakan berbagaimacam cara. Iklan di berbagaimedia baik televisi, radio maupunmedia cetak menjadi salah satu carayang dirasa paling efektif untukmensosialisasikan danmemperkenalkan diri mereka kemassa pemilih. Di sepanjangpinggiran jalan, di dalam bus kota,papan pengumuman, iklan politik

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 6

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    7/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    telah memenuhi ruang publik kita.

    Politik tidak lagi hanya berdagang

    ide melalui diskusi, seminar, kuliah,wawancara dan debat kusir.Bahkan, politik mulai masuk keteknik merayu, memamerkangagasan politik, meniru iklan-iklankonsumtif yang selalu menawarkanproduk yang terbaik denganbumbu-bumbu yang unik yangmembedakan dengan produk lain.

    Sifat dari iklan politik sebagai

    media yang mampu merengkuhsimpati calon pemilih,menyebabkan media ini palingcocok untuk menjual citra diri. Adadua alasan mengenai pentingnyapencitraan. Pertama, secaraekonomi bisa dilihat bahwa warganegara/masyarakat/konstituenbukan hanya sekedar konsumenyang tidak puas, warga negara

    dihadapkan pada tekanan untukmembeli atau memilih. Keputusanmemilih produk kemudiantergantung dari pencitraan danpemasarannya. Disitulah kampanye,iklan politik diharapkan mampumemikat pemilih. Kampanye/iklanpolitik layaknya iklan produk yangmempermainkan imajinasi danmenumbuhkan rasa tertarik pada

    individu untuk mencoba,merasakan dan akhirnya memilihproduk yang ditawarkan.Walaupun mungkin dari bobot isidan substansi politik banyakdikesampingkan tetapi yangpenting mampu merangsangimajinasi perubahan, sehingga tidakheran apabila yang dikedepankanadalah foto diri, nama, nomor urut,

    cara memilih dan sedikit retorika

    politik (eg, kreatif, produktif

    konstruktif, jujur dan peduli).

    Pencitraan bukan lagi sekedarmemoles sisi negatif politisi yangsecara manusiawi memilikikekurangan, melainkan sudahmenjadi lampu aladin yangdiharapkan dapat mengubah hitammenjadi putih (Kristiadi, 2008).

    Kedua, secara politik, titiktolaknya adalah tantangan bahwapada dasarnya demokrasi

    memperkenalkan suatu derajatketidakpastian dalam proses politik.Dalam sebuah demokrasi, tidak adasatu kelompokpun yang yakinbahwa kepentingannya akanmenang, bahkan kelompok yangpaling kuat, semua harus siapmenghadapi kemungkinan bahwamereka bisa saja kalah dalampertarungan dengan kelompok lain

    yang berarti keinginannya tidakterpenuhi (Sorensen, 2003). Dengankata lain, karena ketidakapastianmenang atau kalah itulah yangmenyebabkan calon legislatifberusaha memenangkan pencitraannya demi mendekatkan padakemenangan. Hal inilah yangkemudian dikemukakan oleh BoniHagens (Kompas, 7 Januari 2009)

    sebagai salah satu tirani demokrasiyaitu tirani popularitas yangmengacu pada penekananberlebihan pada aspek citrasehingga kinerja dinomorsekiankan. Popularitas diutamakansedemikian rupa sehinggaimplementasi politik hanyalahsebuah aksi tebar pesona. Politikyang sesungguhnya menyangkut

    siapa yang paling banyak menyebar

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 7

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    8/14

    Grendi Hendrastomo

    stiker, membagi kaos dan

    membagikan pin. Politik adalahurusan siapa yang paling popular.

    Kekhawatiran bahwa wakil

    rakyat yang terpilih bukan benar-benar mampu dan bermutumengemuka ketika popularitas danpencitraan justru membuat pemilihsalah pilihan, mereka yang popular

    justru dengan mudah melenggangmasuk ke lembaga legislatifdaripada mereka yang benar-benarmampu dan bermutu. Bahkan saatinipun komposisi anggota DPR RI

    menurut Idrus Marham (Kompas,18 Januari 2009) hanya 40 % yangkonseptual dan bermutu, sedangkansisanya ditengarai tidak bermutudan hanya mengejar kekuasaan.

    Pencitraan dalam demokrasimenjadi sesuatu hal yang wajar danlogis, dimana semua memilikikemungkinan yang sama untukdipilih. Citra seseorang akanmenambah maraknya demokrasidan membantu tercapainyademokrasi masyarakat sipil ketika

    janji-janji yang dicitrakan danditampilkan benar-benar mampumembawa perubahan dankesejahteraan masyarakat.

    C. Iklan Politik MencederaiDemokrasi?

    Iklan politik mulai merebakpada pemilihan umum 1999 ketikaIndonesia kembali mengadopsisistem multipartai. Partai-partaibaru, termasuk partai lama perlumengiklankan agar dikenal parapemilih. Dalam pemilu 2009, iklanpolitik bukan lagi barang baru,bahkan sudah menjadi prasyaratumum bagi partai politik supaya

    dikenal oleh masyarakat maka

    harus beriklan. Iklan politik

    merupakan bagian dari kampanyepolitik yang selalu mendapatkanporsi berlebih karena efektifitasnya

    dalam memperkenalkan nama,ideologi, dan visi parpol.

    Kampanye politik menjadiinstrumen yang memegang peranpenting dalam memandu kesadaranpublik pada sosok dan citra diricalon. Kampanye menjadi ajangbagi para kandidat presiden,anggota legislatif maupun partaipolitik untuk secara bebas

    memasuki relung kesadaran publikmelalui pemasaran politik yangterkonsep. Namun, kampanye jugabisa menjadi alat ampuh manipulasikesadaran politik danmensubordinasikan publik dalamsituasi tuna kuasa tanpapemahaman politik yang memadai.

    Iklan politik sebagai salahsatu kampanye politik mulaiberkembang ketika kontestanpemilu mulai menyadari bahwametode kampanye konvensionaldengan mengelar rapat akbar, arak-arakan tidak lagi memadai untukmenggaet suara pemilih. Iklanpolitik dianggap mampu mengisikekosongan kampanyekonvensional. Merebaknya iklanpolitik menyebabkan partai-partaipolitik mulai menggunakan jasaprofessional perusahaan periklananuntuk membuat iklan yang dapatmembujuk pemilih. Survei-surveiyang dilakukan lembagaindependen yang dipublikasikanhampir setiap bulan yangmenampilkan kondisi teraktualsimulasi pemilih turutmempengaruhi jumlah iklan politik.Partai-partai yang dalam survei

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 8

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    9/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    tersebut berada di posisi bawah

    berusaha menambah iklan politik

    dengan harapan akan menaikkanhasil survei berikutnya. Bahkanditengarai ada beberapa parpolyang justru melakukan surveidengan hasil yang menguntungkanparpolnya demi meraih simpati dandukungan dari massa pemilih.

    Data AC Nielsen mencatatbahwa biaya iklan pemerintahandan politik pada tahun 2008 telah

    mencapai 2,2 triliun atau naiksebesar 66% dibandingkan dengantahun 2007 yang hanya 1,3 triliun(Kompas, Januari 2009) atau jauhdari iklan politik pemilu 1999 yanghanya 35,6 miliar (Setiyono, 2008).Angka ini diprediksi akan melonjakmendekati pemilu 2009. Biaya iklanpolitik yang membengkak terjadikarena iklan politik merupakan alat

    yang efektif mendokrak popularitasparpol, yang telah dibuktikan padapemilu 2004. Efektivitas iklan politikterjadi karena belum selesainyahysteria media, khususnya televisi.Televisi hampir selalu ditemukanbaik itu dipemukiman kumuh ataupelosok Indonesia. Hampir semuayang disiarkan media dilahapmasyarakat (Kompas, 12 Januari

    2009).Sebegitu mahalkan

    demokrasi? Demokrasi memangmahal namun tidak seperti oligarki,aristorkrasi atau kediktatoran,demokrasi menyediakan ruangbebas bagi para politikus untukbersaing secara kreatif. Maraknyaiklan di media massa barangkalidiakibatkan oleh rendahnya

    keterikatan antara parpol dan

    masyarakat. Menurut Robert Dahl,

    suatu negara dapat dikatakan

    demokratis apabila ada sinergiantara parlemen (elit politik)dengancivil society, yang terjadi diIndonesia parlemen sudah semakinmembaik tetapicivil societytidakdigarap secara maksimal, dan barudigarap menjelang pemilihanumum. Inilah yang menumbuhkaniklan politik sebagai cara untukmemperkenalkan partai pada

    masyarakat. Iklan menjadi saranamenutup kelemahan parpol selamaini, khususnya dalammenumbuhkan keterkaitan denganmasyarakat. Itupun dengan syaratiklan yang dibuat benar-benarmampu menjadi pendidikan politikbagi masyarakat, iklan politik yangtidak mendidik dan jauh dari pesanpendidikan politik justru telah

    mencederai demokrasi. Jangansampai kemudian justru terjadiperubahan dari demokrasi menjadimediakrasi. Iklan tidak diperlukanketika partai politik benar-benarmembangun jaringan dimasyarakat, berusaha untukmemberikan pendidikan politik danbenar-benar menyuarakan aspirasimasyarakat.

    Kekhawatiran lainmenyangkut iklan politik adalahbahwasannya iklan politik yangmuncul di tengah kesadaran danpengetahuan sebagian besarmasyarakat yang rendah terhadappolitik mengakibatkan iklancenderung langsung diterima tanpapengkritisan sebelumnya. Kondisiseperti ini akhirnya hanya

    menampilkan politik ikon/simbol

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 9

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    10/14

    Grendi Hendrastomo

    yaitu politik yang berdasarkan ikon

    yang dibentuk dengan citra tertentudi media massa. Resiko salah pilihkemudian menjadi sebuah

    pertaruhan yang mahal (Kompas, 21Januari 2009).

    Booming iklan politikdiperkirakan justru akan meningkatmenjelang detik-detik terakhirpemilihan, hal ini semakindiperjelas dengan keputusan MKtentang keterwakilan berdasarkansuara terbanyak. Keputusan MKtersebut akan memperbanyak iklan

    politik karena calon legislatif yangtadinya berada di nomor urutbawah mulai menemukanmomentumnya untuk mewujudkanmimpi duduk di kursi wakil rakyat.Situasi ini kemudian memunculkandilema, pertama, putusan MK iniakan disikapi dengan membanjirnyapermintaan iklan politik, baik dalambentuk poster, stiker, pamlet, kaosdan alat peraga lainnya, akanmemunculkan perang iklan politikyang apabila tidak diperhatikan dandiatur justru akan menyebabkanmasyarakat bosan dan justruenggan memilih, kedua, berbagaimacam obral janji dan retorika yangdivisualisasikan lewat iklan justruberlawanan dengan representasi riiltentang wakil rakyat. Wakil rakyatyang banyak diberitakan korupsi disatu sisi dan perang iklan di sisi lain

    justru akan memunculkanperlawanan dan ketidakpercayaanmasyarakat pada demokrasi yang

    justru akan melemahkanmomentum demokratisasi danmemperkuat pihak-pihak yangmenginginkan pemerintahanotoritarianisme.

    Ketiga, pemilihan

    berdasarkan suara terbanyak akanmembuat ekonomi kecil tumbuh,hal ini sementara terbukti dengan

    mengeliatnya usaha sablon,pemasangan iklan dan usahakonveksi yang mengalamipeningkatan lebih dari 2 kali lipat(Kompas, 21 Januari 2009) dariorder yang diberikan calon legislatifyang semakin bertambah. Keempat,biaya kampanye politik secarakeseluruhan akan membengkakyang akan memunculkan pendapat

    miring tentang pesta demokrasiyang hanya mengambur-hamburkan dana, padahal justrutidak ada peningkatan kesejahteraanyang dirasakan rakyat kecil. Kelima,kemungkinan besar wakil rakyatyang terpilih berdasarkan kekayaanyang dimiliki, semakin banyakmodal yang dikeluarkan makapeluang terpilihnya semakin besar,sehingga muncul kekhawatiranwakil rakyat yang berkuasa justrumereka-mereka yang terpilih karenakekayaannya bukan karenakapasitasnya atau justru merekayang terpilih akan berusaha segeramengembalikan modal awal denganmenghalalkan segala cara.

    Keputusan MK disatu sisisangat disikapii positif sebagaioutput demokrasi dimana suararakyat memiliki nilai, tetapi disatusisi ini juga bisa menjadi boomerangbagi partai dimana citra individulahyang akan ditonjolkandibandingkan citra partai. Padaakhirnya nantinya partai justrutersandera untuk mencari ikon atautokoh yang terkenal untuk merauksuara. Kondisi yang demikian justruakan membahayakan demokrasi

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 10

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    11/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    dikarenakan popularitas menjadi

    prasyarat mutlak untuk menjadi

    wakil rakyat. Padahal dalamdemokrasi popularitas saja tidakcukup, justru yang sangatdiperlukan adalah individu yangkompeten dalam dunia perpolitikanterutama karena wakil rakyatcenderung akan menjadi ujungtombak pembuatan undang-undangyang menjadi pengejawantahanhak-hak rakyat.

    Iklan politik menjadi mediauntuk jualan calon wakil rakyat danpartainya sekaligus juga adaharapan dengan iklan politik rakyatmenjadi melek politik sehinggapartisipasi politiknya menjadi lebihbaik. Perlu digarisbawahi bahwakeberadaan iklan politik menjadiajang untuk mengaktualisasikankerangka pikir yang akan diberikan,

    walaupun tentu saja keberadaaniklan politik perlu diatur terutamakarena ongkos pencitraan yangmahal. Pencitraan yang mahal akanmembuat biaya politik menjaditinggi, ujung-ujungnya politisi yangduduk di kekuasaan akantersandera dengan pembiayaan,yang berakibat munculnya korupsidan kongkalikong proyek-proyek

    pemerintah.Mau tidak mau, suka tidak

    suka, iklan politik telah memasukiruang publik kita, sisi positifnyainilah salah satu bentuk demokrasikita dimana masing-masingpihak/parpol secara terbukaberkompetisi secara kreatif untukmendulang sebanyak-banyaknyasuara. Walaupun kemungkinan

    yang terjadi bisa sebaliknya, justru

    akan mencederai demokrasi. Tetapi

    inilah tantangan yang harus

    dihadapi ketika kita menginginkandemokrasi yang sebenarnya.

    D. KesimpulanPolitik pencitraan yang

    terbungkus dalam iklan politik telahmenjadi bumbu yang diharapkandapat memperkuat rasa demokrasidi negara ini. Politik pencitraan

    telah menjadi sesuatu hal yangpenting dalam demokrasi abadinformasi, karena melaluinya anekakepentingan, ideologi, dan pesanpolitik dapat dikomunikasikan.Iklan politik yang semakin massifterutama setelah mendapatkanmomentum dari keputusan MKtentang perwakilan berdasarkansuara terbanyak, perlu disikapi

    secara kritis.Pertama, kemungkinan

    keputusan ini akan mengkerdilkanperan parpol yang selama iniidentik dengan motor pengerakdemokrasi. Pendulum demokrasisekarang mulai bergerak keindividu dan memunculkan dugaanbahwa partai hanya dipergunakansebagai alat untuk memenuhi

    kepentingan individu, peran parpolakan dilemahkan oleh peranindividu karena mereka mengklaimsuara yang dihasilkan adalah suarayang mereka usahakan bukan usahaparpol. Kedua, kemungkinanmuncul konflik internal parpolsemakin besar, lawan politik tidakhanya beda parpol, justru konflikakan dipicu perebutan konstituen

    partai demi memperebutkan suara

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 11

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    12/14

    Grendi Hendrastomo

    terbanyak. Situasi ini akan serba

    menyulitkan parpol karena calonanggota legislatifnya justrubertarung secara tidak sehat, yang

    akhirnya justru akan melemahkanparpol. Ketiga, perang modalmenjadi hal yang jamak dilakukan,kebanyakan digunakan untukmendongkrak citra yang jugamemunculkan kekhawatiranmunculnya money politics.Ketergantungan pada modal jugamemunculkan kekhawatiran politisididanai oleh perusahaan,

    komprador yang meminta balasjasaketika berhasil memenangkanpemilu. Keempat, kemungkinanketerwakilan perempuan menjadisemakin kecil. Budaya patrilinealyang mengakar kuat dalam budayakita akan menyulitkan perempuanuntuk terpilih berdasarkan suaraterbanyak.

    Sisi positifnya adalah, adanyaharapan bahwa dari perwakilanberdasarkan suara terbanyak,merupakan wakil yangsesungguhnya dari rakyat yangmengemban amanat rakyat dandiharapkan benar-benar mampumenyuarakan aspirasi mereka.Kedepannya, calon legislatif jugaakan berusaha mendekatkan diri,mengarap konstituennya dari awal,tidak perlu menunggu hingga detik-detik akhir jelang pemilu, karenainilah modal awal mereka untukkampanye pemilu lima tahunmendatang. Disamping itu, perlupula menekankan pada landasanetika politik, karena tugas politiktidak hanya menghimpunkonstituen sebanyak mungkin,tetapi yang lebih penting adalahmembangun masyarakat politik

    yang sehat, cerdas dan

    berkelanjutan.

    Daftar Pustaka

    Haryatmoko, 2008.,Demokrasi

    Dikoreksi[online] tersedia padaURL:[diakses pada 28 Januari 2009]

    Huntington, Samuel, 1995.,

    Gelombang Demokratisasi Ketiga,Jakarta: Grafiti

    Kristiadi, 2008.,Kampanye dan

    Demokrasi Prosedural[online]tersedia pada URL: [diakses pada 28

    Januari 2009]

    Mallarangeng, Rizal, 2008.DariLangit, Kumpulan Esai tentang

    Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan,Jakarta: Kepustakaan PopulerGramedia

    Muchtar, Tenriangke, 2008.,IklanPolitik: Simbol Ketidakpekaan Elite[online] tersedia pada URL:

    [diakses pada 11 Januari2009]

    Nababan, Asmara, ReformasiKepartaian untuk PerbaikanRepresentasi[online] tersedia padaURL:

  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    13/14

    Demokrasi dan Politik Pencitraan

    /pdf/Reformasi%20Kepartaian%20

    untuk%20Perbaikan%20Representas

    i.pdf> [diakses pada 7 Maret 2009]

    Prasetya, Dani, 2009.Baliho Kandidat

    Legislator Marak di Mana-manaPencitraan atau "Penampakan"?[online] tersedia pada URL: [diakses pada 9Maret 2009]

    Kemakmuran Rakyat, Popularitas dan

    Realisasi Janji, Kompas 7 Januari

    2009 hal 4Sesama Caleg Satu Partai Saling

    Melaporkan, Kompas, 30 Januari 2009hal 4Survei Jadi Bisnis Besar, Kompas 16

    Januari 2009 hal 3

    Robet, Robertus,Merehabilitasi

    Konsep Politik[online] tersedia padaURL:[diakses pada 25 Januari 2009]

    Setiyono, Budi, 2008.,Iklan danPolitik, Menjaring Suara DalamPemilihan Umum,Yogyakarta:Galang Press

    Sorensen, Georg, 2003.,Demokrasi

    dan Demokratisasi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar

    Artikel Koran

    Alfian, Alfan,Demokrasi Pilihlah Aku,Kompas, 12 Januari 2009 hal 6Amir Piliang,Narsisisme Politik,Kompas, 17 Januari 2009 hal 6Buah Manis Kampanye Pemilu2009,Kompas 21 Januari 2009 halYogyakartaDemokrasi Terancam, Kompas 18

    Januari 2009 hal 2Hargens, Boni,Tirani GandaDemokrasi, Kompas 7 Januari 2009hal 6Iklan Politik dan Politik Ikon, Kompas21 Januari 2009 hal 5

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 13

    http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37233
  • 7/23/2019 Demokrasi Dan Perang Pencitraan Iklan

    14/14

    Grendi Hendrastomo

    DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009 | 14