kehutanan _peronema_ vol_ 2 no_ 2 sept_ 2006
TRANSCRIPT
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 1/41
Peronema
Forest Science Journal
Alamat Penyunting dan Tata Usaha
Departemen Kehutanan - Fakultas Pertanian - Universitas Sumatera Utara Jl. Tri Dharma Ujung No.1 Kampus USU Medan 20155Telp. 061-8220605 Fax. 061-8201920 E-mail: [email protected]
Vol. 2, No. 2, 2006 ISSN: 1829-6343
Penanggung Jawab:
Ketua Departemen Kehutanan
Wakil Penanggung Jawab:
Sekretaris Departemen Kehutanan
Ketua Penyunting:
Onrizal, S.Hut., M.Si.
Wakil Ketua Penyunting:
Nurdin Sulistiyono, S.Hut., M.Si.
Penyunting Pelaksana:
Dr. Ir. Edy Batara M. Siregar, MSDr. Delvian, SP, MP
Oding Affandi, S.Hut, MPRidwanti Batubara, S.Hut, MP
Pindi Patana, S.Hut, M.Sc.
Pelaksana Tata Usaha:
Muhammad Teguh, SE
Peronema
Forest Science Journal
Diterbitkan olehDepartemen Kehutanan
Fakultas PertanianUniversitas Sumatera Utara
Terbit dua kali setahun(April dan September)
Jurnal Kehutanan
Volume 2 No. 2 September 2006
ISSN: 1829 6343
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 2/41
ii
DAFTAR ISI
Vol. 2, No. 2, September 2006 ISSN: 1829-6343
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang, dan Kelerengan
terhadap Efisiensi Pemanfaatan Kayu Mangium ( Acacia mangium Wild )
(The Effect of Felling Technique, Feller Postures, and Slope to Timber Utilization
Efficiency of Acacia mangium Wild) - Sona Suhartana dan Yuniawati -
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan Hutan
Tanaman Industri
(Technical Efficiency of Planting Succesful in Industrial Timber Plantation)
- Nur Arifatul Ulya -
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran Gambutdi Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau
(Application of Remote Sensing on Peat Fire Detectionin Bengkalis District Riau Province)
- Achmad Siddik Thoha -
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1
di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu
(Gama 1 Synthetic Unit Hydrograph Modificationon Upper Ciliwung Watershed)
- Bejo Slamet, Lailan Syaufina, dan Hendrayanto -
Sifat Dasar Perekat Likuida Kayu dari Beberapa Jenis Kayu
(Characteristic of Wood Liquid Adhesives from Several Wood Species)- Iwan Risnasari dan Surdiding Ruhendi -
37
45
53
59
66
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 3/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
37
PENGARUH TEKNIK PENEBANGAN, SIKAP TUBUH PENEBANG, DAN KELERENGAN
TERHADAP EFISIENSI PEMANFAATAN KAYU MANGIUM ( Acacia mangium Wild)
(THE EFFECT OF FELLING TECHNIQUE, FELLER POSTURES, AND SLOPE TO TIMBER
UTILIZATION EFFICIENCY OF Acacia mangium Wild )
Sona Suhartana dan Yuniawati
Pusat Litbang Hasil Hutan-Badan Litbang Kehutanan-Departemen Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5, PO. BOX. 182 BOGOR 16001
Telp. 0251-633378; Fax: 0251-633413
Abstract
Productivity and timber utilization efficiency (TUE) could increase and production cost could decrease
by implementing the appropriate felling technique and feller postures.The study was carried out at PT.Finnantara Intiga, West Kalimantan on August 2007. The aim of the study was to find out the effects ofslopes ≤ (15% and > 15%), feller postures (squatted, bowed, and stand), and felling techniques(conventional/CLT and lowest possible felling techniques/LPFT) to increasing TUE of mangium. Torecommend a better technique, the two felling techniques have been compared based on productivity,efficiency and production cost by using split plot factorial 2x2x3.The results showed: (1)The highestproductivity and TUE,, the lowest cost production and stump height were reached by implementingLPFT on slope of ≤ 15% with bowed, which each of 18,992 m 3 /hour; 99,4%; Rp 2.691,2/m3; and 9,4 cmrespectively; and (2) Implementing LPFT on slopes of ≤ 15% with bowed can increase TUE about 18,5%equal to benefit of Rp 10.097.528.320/year. This is a chance for a forest company to apply the LPFT.
Keywords: Timber utility efficiency, productivity, production cost, feller posture
Abstrak
Produktivitas, efisiensi pemanfaatan kayu dapat meningkat dan biaya produksi dapat menurun denganmenerapkan teknik penebangan dan sikap tubuh yang tepat pada kondisi kelerengan tertentu.Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 di PT Finnantara Intiga Kalimantan Barat dengantujuan untuk mengetahui produktivitas, efisiensi pemanfaatan kayu dan biaya produksi denganmenerapkan teknik penebangan (konvensional, serendah mungkin), sikap tubuh (jongkok,membungkuk, dan berdiri) dan kelerengan (≤ 15%, > 15%). Untuk menetapkan teknik yang disarankandilakukan analisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial Petak Terbagi ( split plot ) 2x2x3. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa: (1) Produktivitas penebangan tertinggi, biaya produksi terendah danefisiensi pemanfaatan kayu tertinggi serta tinggi tunggak terendah dicapai oleh teknik penebanganserendah mungkin dengan sikap tubuh membungkuk pada kelerengan ≤ 15%, yaitu masing-masing
18,992 m3
/jam, Rp 2.691,2/m3
, 99,4%, dan 9,4 cm; (2) Dengan menerapkan teknik penebangan serendahmungkin pada kelerengan ≤ 15% dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu sebesar 18,1% yangsetara dengan tambahan keuntungan Rp 10.097.528.320/tahun. Dengan demikian terbuka peluang bagiperusahaan untuk menerapkan teknik penebangan serendah mungkin.
Kata kunci: Efisiensi pemanfaatan kayu, produktivitas, biaya produksi, sikap tubuh
PENDAHULUAN
Kegiatan penebangan pohonmerupakan langkah awal dari serangkaiankegiatan pemanenan kayu. Hal tersebut dapat
memberikan nilai ekonomi dan perubahankondisi areal bekas tebangan. Salah satu tujuan
penebangan pohon adalah untuk memperoleh
bahan baku bagi industri perkayuan. Dalampelaksanaannya perlu memperhatikan beberapahal, yaitu: (1) teknik penebangan; (2) sikap tubuhpenebang; (3) kondisi kemiringan lapangan; dan
(4) peralatan yang digunakan (Suhartana, et al.,2007).
Selama ini kegiatan penebangan lebih
sering menggunakan teknik penebangan
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 4/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
38
konvensional. Penebangan konvensional
menghasilkan efisiensi pemanfaatan kayu yangrendah, sedangkan jika diterapkan teknikpenebangan serendah mungkin dapatmenghasilkan pemanfaatan kayu yang tinggi
[Suhartana dan Yuniawati, (2006; 2005); Suhartana,
et al., 2005].Hasil penelitian Suhartana et al. (2007) di
Kalimantan Selatan menyimpulkan bahwa dilihatdari aspek efisiensi pemanfaatan kayu mangium,
teknik penebangan serendah mungkin dengansikap tubuh membungkuk dan jongkok padakelerengan ≤ 15% dan > 15% dapat meningkatkanefisiensi sebesar 14,5% yang setara dengan Rp
5.140.642.080/tahun. Hal ini merupakan tambahankeuntungan bagi perusahaan apabila menerapkanteknik tersebut.
Dalam pelaksanaan penebangan sering
melupakan sikap tubuh penebang yang tepat.Sikap tubuh sebaiknya disesuaikan dengan kondisikemiringan lapangan tempat penebangan. Sikaptubuh penebang yang salah dapat menimbulkankecelakaan kerja sehingga produktivitas menurun,
dan kerusakan kayu karena adanya beban kerja yang berlebihan sehingga penebang mudah lelah yang pada akhirnya hasil tebangan menjadi tidakefisien (Suhartana, et al., 2005).
Acacia mangium (Leguminosae) sebagian
berupa pohon atau perdu dengan tegakannya bisamencapai tinggi 30 m dan diameter 90 cm denganbatang bebas cabang antara 0-15 m. Tanaman ini
tumbuh baik pada tanah yang telah mengalamierosi, bekas perladangan, pada tanah yang lapisanmineralnya tipis dan tanah miskin hara. Mutu kayumangium cukup tinggi sebagai papan kayu, kayulapis, kayu bakar, perabotan rumah tangga, pulp
dan kertas (Bastoni, 2002).Kondisi areal hutan di Indonesia memiliki
kemiringan yang berbeda, sehingga dapatmempengaruhi kualitas kayu yang ditebang.Penebangan di areal dengan kemiringan curamberisiko terhadap terjadinya kerusakan kayu yanglebih besar seperti kayu pecah, kayu belah dan jatuh ke dalam jurang. Penebangan padakemiringan datar dan curam menggunakan teknik yang berbeda sehingga risiko kerusakan kayudapat berkurang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuipengaruh teknik penebangan, sikap tubuh dankelerengan terhadap produktivitas, biaya produksidan efisiensi pemanfaatan kayu mangium.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Agustus 2007 di areal kerja HPHTI PT. Finnantara
Intiga, Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan
Barat. Dalam RKT tahun 2007, perusahaan
memungut kayu dari areal seluas 9.849 ha
dengan target produksi kayu 1.222.013 m3
terdiri dari jenis kayu mangium. AAC maksimum
sebesar 1.933.575 m3. Sedangkan rata-rata
produksi kayu per tahun adalah 1.082.802 m3.
Harga kayu ini di pasaran lokal adalah Rp
280.000/m3 (Anonim, 2007).
Bahan yang digunakan adalah cat, kuas,
tambang plastik, pita phi, meteran, pengukur
waktu ( stopwatch). Sedangkan alat yang
digunakan adalah alat tulis, komputer dan
chainsaw Stihl tipe MS 270 (alat yang
dioperasikan di lapangan).
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan melalui tahap kegiatan
sebagai berikut:
1. Menetapkan secara purposif satu petak
tebang yang segara akan dilakukan
penebangan.
2. Melaksanakan penebangan dengan teknik
penebangan serendah mungkin (15 cm di
atas permukaan tanah) dan pemanfaatan
batang sampai Ø 5 cm serta penebangan
dengan penebangan konvensional (sesuai
kebiasaan setempat) dengan menerapkan
tiga sikap tubuh penebang (jongkok,
bungkuk, dan berdiri) pada kondisi
kemiringan lapangan ≤ 15% dan >15%
dengan jumlah ulangan 60 pohon.
3. Pengukuran produktivitas, biaya produksi
dan efisiensi pemanfaatan kayu adalah
sebagai berikut:
a). Produktivitas penebangan dihitung
dengan cara mencatat waktu tebang
dengan metode nul-stop dan volume
kayu yang ditebang.
b). Biaya produksi penebangan dengan cara
mencatat semua pengeluaran seperti
pemakaian bahan bakar, oli/pelumas,
upah, produktivitas, biaya penyusutan,
biaya pemeliharaan/perbaikan, bunga,
asuransi dan pajak serta biaya upah.
c). Efisiensi pemanfaatan kayu dengan
mencatat diameter pangkal, diameter
ujung, tinggi pohon, panjang batang
dan tinggi tunggak serta data yang
menunjang.
4. Mencatat data umum sebagai berikut:
keadaan umum lapangan, keadaan umum
perusahaan, dan data penunjang lainnya yang
dikutip dari perusahaan dan wawancara
dengan karyawan.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 5/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang …
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
39
Pengolahan DataData lapangan berupa produktivitas
penebangan dan efisiensi pemanfaatan kayudiolah ke dalam bentuk tabulasi.1. Produktivitas penebangan dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Pt = (Vt/Wt)
di mana: Pt = produktivitas penebangan(m3 /jam); Wt = waktu tebang yang efektif (jam); Vt = volumekayu yang ditebang (m3)diperoleh dari:
Vt = 0,25 π D2 L
di mana: π = bilangan bernilai 3,1416; L =panjang batang (m); D =diameter rata-rata (m) diperolehdari: D = 0,5 (Dp+Du) di manaDp = diameter pangkal dan Du= diameter ujung.
2. Efisiensi pemanfaatan kayu dihitung denganmenggunakan rumus berikut:
Ef = (Vp/Vm) x 100%
di mana: Ef = efisiensi pemanfaatan (%); Vp= volume kayu yang dipungut(m3); Vm = volume kayu yangseharusnya dapat dimanfaatkan(m3).
3. Biaya penebangan, penyaradan, muat-
bongkar dan pengangkutan dihitung denganmenggunakan rumus dari FAO (Anonim,1992) sebagai berikut:BT = (BP + BA + BB + Pj + BBB + BO +
BPr + UP)/Pt;BP = (H x 0,9)/UPA; BA = (H x 0,6 x 3%)/JT;
BB = (H x 0,6 x 18%)/JT; Pj = (H x 0,6x 2%)/JT; BBB =0,20 x HP x 0,54 xHBB;
BPr = 1,0 x BP; BO = 0,1 x BBBdi mana: BT = Biaya penebangan (Rp/m3);
BO = Biaya oli/pelumas (Rp/jam); H = Harga alat
(Rp); Bp = Biaya penyusutan (Rp/jam); PT =produktivitas penebangan (m3 /jam); BA = Biayaasuransi (Rp/jam); Up = Upah pekerja (Rp/jam); BB= Biaya bunga (Rp/jam); Pj = Biaya pajak (Rp/jam);BBB = Biaya bahan bakar (Rp/jam); Bpr = Biayapemeliharaan (Rp/jam); HBB = Harga bahan
bakar (Rp/liter); UPA = Umur pakai alat (jam); JT= Jam kerja alat per tahun (jam); BBB =Biayabahan bakar; HP = Besar daya.
Analisis DataKedua teknik penebangan dibandingkan,
dengan mempertimbangkan aspek produktivitas danefisiensi pemanfaatan kayu serta biaya dilakukandengan RAL Faktorial Petak Terbagi 2 x 2 x 3(Steel dan Torrie, 1980).
A 1 A 2 B1 B2 B1 B2
C
1
C
2
C
3
C
1
C
2
C
3
C
1
C
2
C
3
C
1
C
2
C
3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 23 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 34 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 45 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Di mana: A = teknik penebangan, A 1 = serendahmungkin, A 2 = konvensional, B = kelerengan,B1= ≤ 15%, B2 = > 15%, C = sikap tubuh, C1 = jongkok, C2 = membungkuk dan C3 = berdiri;Ulangan masing-masing 5 pohon; Jumlah pohoncontoh = 2 x 2 x 3 x 5 = 60 pohon
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produktivitas PenebanganProduktivitas penebangan konvensional
pada kelerengan ≤ 15% dan >15% dengan sikaptubuh jongkok, membungkuk, dan berdiri dapatdilihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 dan 2menunjukkan bahwa produktivitas penebanganpada kelerengan ≤ 15% dan > 15% denganpenebangan konvensional sangat beragam.
Tabel 1. Rata-rata produktivitas dan efisiensi penebangan konvensional pada kelerengan≤ 15% Aspek V8 cm
(m3)Waktu tebang
(Jam)Produktivitas,
m3 /jamEfisiensi
(%)Tinggi
tunggak(cm)
Δ V8-V5cm(m3)
I. Jongkok (N = 5)
Kisaran 0,265-0,413 0,018-0,032 11,813-17,813 72,8-86,9 18,0-20,2 0,049-0,093
Rata-rata 0,352 0,024 14,678 81,3 19,2 0,073
II. Membungkuk (N = 5)
Kisaran 0,249-0,424 0,021-0,025 14,619-18,952 81,8-84,1 19,2-21,2 0,042-0,075
Rata-rata 0,347 0,021 16,513 83,1 20,1 0,065
III. Berdiri (N = 5)
Kisaran 0,283-0,414 0,021-0,032 12,438-14,786 78,9-90,0 18,2-22,1 0,045-0,069
Rata-rata 0,351 0,026 13,314 85,2 20,2 0,061
Keterangan: V 8 cm = Volume kayu sampai batas diameter 8 cm;Δ
V8-V5 cm = Selisih volume antara volume panjang batangdiameter 8 cm dengan 5 cm; N = Banyak ulangan; Sebaran diameter=14,6-21,3
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 6/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
40
Pada kelerengan ≤ 15% dengan sikap
tubuh membungkuk menghasilkan rata-rataproduktivitas yang lebih tinggi daripada duasikap tubuh lainnya yaitu 16,513 m3 /jamsedangkan pada kelerengan >15% dengan sikap
tubuh membungkuk menghasilkan rata-rata
produktivitas 15,363 m3 /jam. Produktivitas yangtinggi terjadi karena pada teknik penebangankonvensional pada umumnya operator tidakmemperhatikan tinggi tunggak minimal tapidisesuaikan dengan kebiasaan tinggi tunggak yang mereka hasilkan atau ditetapkanperusahaan, sikap tubuh membungkuk dapatmenghasilkan tinggi tunggak yang merekainginkan dan kondisi kelerengan yang sedangmemungkinkan menggunakan sikap tubuhmembungkuk bagi operator chainsaw. Operatormerasa nyaman dan aman bekerja dengan sikap
tersebut sehingga pekerjaan dapat diselesaikandengan waktu yang cepat yaitu rata-rata 0,021 jamper pohon. Jika dilihat dari penggunaan sikap tubuh jongkok dan berdiri maka waktu yang dapatdiselesaikan dengan sikap membungkuk paling cepat.
Pada kelerengan > 15% dengan sikaptubuh membungkuk menghasilkan rata-rataproduktivitas yang lebih tinggi daripadamenggunakan sikap tubuh jongkok dan berdiri
yaitu 15,363 m3 /jam. Padahal kelerengan > 15%merupakan topografi agak curam. Tetapi nilairata-rata tersebut lebih rendah daripada nilai rata-ratapada kelerengan ≤ 15%. Dapat dikatakan bahwa
terjadi penurunan produktivitas penebangan. Hal inidisebabkan volume kayu yang dapat ditebanglebih rendah yaitu rata-rata 0,342 m3 dibanding
0,347 m3. Walaupun operator chainsaw merasanyaman dan aman dengan sikap tubuhmembungkuk tetapi dengan kondisi kelerengan> 15% (agak curam) menjadi kesulitan tersendiribagi operator sehingga volume kayu yang dapat
ditebang lebih rendah daripada penebangan
pada kelerengan ≤ 15%. Dilihat dari rata-rataproduktivitas penebangan teknik penebangankonvensional pada kelerengan ≤ 15% dan > 15%dengan sikap tubuh membungkuk maka dapat
dikatakan bahwa kegiatan penebangan pada
kelerengan > 15% memiliki kesulitan yangberarti bagi operator chainsaw karena semakintinggi kelerengan maka tingkat kesulitan yangdihadapi akan semakin besar. Hal ini dapatdipahami karena energi yang dikeluarkansemakin besar sehingga ada rasa tidak nyamandan kurang aman akibatnya bekerja dengankondisi penuh kekhawatiran sehinggaproduktivitas menurun.
Hasil pengukuran produktivitas kerjadan efisiensi pemanfaatan kayu dengan teknikpenebangan serendah mungkin pada kelerengan
≤ 15% dan > 15% dengan sikap tubuh jongkok,membungkuk dan berdiri disajikan pada Tabel 3dan 4. Namun pada kelerengan ≤ 15% denganteknik penebangan serendah mungkin sangatberagam. Pada kelerengan ≤ 15% dengan sikaptubuh membungkuk menghasilkan rata-rataproduktivitas yang lebih tinggi daripada duasikap tubuh lainnya yaitu 18,991 m3 /jamsedangkan pada kelerengan >15% dengan sikap
tubuh membungkuk menghasilkan rata-rataproduktivitas 18,021 m3 /jam. Penebangan padakelerengan ≤ 15% dihasilkan rata-rataproduktivitas dengan sikap tubuh membungkuk
lebih tinggi, hal ini dikarenakan kondisikelerengan yang sedang, yang memungkinkanmenggunakan sikap tubuh membungkuk bagi
operator chainsaw. Operator merasa nyaman danaman bekerja dengan sikap tersebut sehinggapekerjaan dapat diselesaikan dengan waktu yangcepat yaitu rata-rata 0,023 jam per pohon.
Tabel 2. Rata-rata produktivitas dan efisiensi penebangan konvensional pada kelerengan > 15%
Aspek V8 cm(m3)
Waktu tebang (Jam)
Produktivitas,m3 /jam
Efisiensi (%)
Tinggitunggak
(Cm)
Δ V8-V5cm
(m)
I. Jongkok (N = 5)
Kisaran 0,338-0,449 0,026-0,032 12,519-14,520 83,1-87,3 18,2-22,1 0,045-0,069
Rata-rata 0,381 0,028 13,518 85,2 20,2 0,061
II. Membungkuk (N = 5)
Kisaran 0,296-0,377 0,019-0,025 14,227-16,579 82,0-87,2 19,4-22,3 0,040-0,064
Rata-rata 0,331 0,022 15,363 85,0 21,2 0,053
III. Berdiri (N = 5)
Kisaran 0,313-0,382 0,022-0,029 12,074-14,227 81,5-85,8 29,1-33,2 0,052-0,068
Rata-rata 0,342 0,026 13,124 83,3 31,2 0,060
Keterangan: V 8 cm = Volume kayu sampai batas diameter 8 cm; Δ V8-V5cm = Selisih volume antara volume panjang batang
diiameter 8 cm dengan 5 cm; N = Banyak ulangan; Sebaran diameter = 15,9-20,0 cm
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 7/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang …
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
41
Jika dilihat dari penggunaan sikap tubuh
jongkok dan berdiri maka waktu yang dapatdiselesaikan dengan sikap membungkuk palingcepat.
Pada kelerengan > 15% dengan sikap
tubuh membungkuk menghasilkan rata-rata
produktivitas yang lebih tinggi daripadamenggunakan sikap tubuh jongkok dan berdiri yaitu 18,021 m3 /jam. Padahal kelerengan > 15%merupakan topografi agak curam. Tetapi nilaitersebut lebih rendah daripada nilai padakelerengan ≤ 15%. Walaupun operator chainsawmerasa nyaman dan aman dengan sikap tubuhmembungkuk tetapi dengan kondisi kelerengan> 15% menjadi kesulitan tersendiri bagioperator sehingga waktu tebang lebih lamadaripada penebangan pada kelerengan ≤ 15%.Kesulitan yang terjadi disebabkan operator
chainsaw belum terbiasa untuk melakukanpenebangan. Hal ini dapat memicu kondisiemosi pekerja menjadi meningkat. Kondisi inidapat mempengaruhi laju denyut jantungberdetak lebih cepat. Akibatnya energi yang
dikeluarkan pekerja bertambah besar. Sistemkerja jantung mempengaruhi emosi manusia.Kondisi emosi yang meningkat menyebabkan
energi yang dikeluarkan semakin bertambahbesar. Dilihat dari rata-rata produktivitas teknikpenebangan serendah mungkin pada kelerengan≤ 15% dan > 15% dengan sikap tubuhmembungkuk maka dapat dikatakan bahwakegiatan penebangan pada kelerengan > 15%
membuat operator chainsaw merasa tidaknyaman dan kurang aman sehingga bekerjadengan kondisi penuh kekhawatiran dan kecemasan yang memungkinkan produktivitas menjadi menurun.
Hasil uji rancang acak lengkap faktorialdengan pola petak terbagi yang membandingkanproduktivitas penebangan pada kelerengan ≤ 15% dan > 15% dengan sikap tubuh jongkok,membungkuk dan berdiri serta penebangankonvensional dan teknik penebangan serendahmungkin disajikan pada Tabel 5 di mana Fhitung (111,67) atau P (0,0001) artinya bahwa
pada kelerengan ≤ 15% dan > 15%, teknikpenebangan serendah mungkin sikap tubuhmembungkuk berpengaruh sangat nyataterhadap produktivitas penebangan.
Produktivitas tertinggi dalam penelitianini dicapai oleh teknik penebangan serendahmungkin pada kelerengan ≤ 15% dan sikaptubuh membungkuk yaitu 18,992 m3 /jam.
Tabel 3. Rata-rata produktivitas dan efisiensi teknik penebangan serendah mungkin pada kelerengan≤ 15%
Aspek V5 cm
(m3
)
Waktu tebang
(Jam )
Produktivitas,
m3
/jam
Efisiensi
(%)
Tinggi tunggak
(cm)I. Jongkok (N = 5)
Kisaran 0,360-0,475 0,023-0,032 16,839-18,913 99,1-99,4 9,2-11,0
Rata-rata 0,415 0,028 17,659 99,3 10,5
II. Membungkuk (N = 5)
Kisaran 0,361-0,408 0,022-0,025 18,160-19,773 99,3-99,6 8,4-11,0
Rata-rata 0,382 0,023 18,991 99,4 9,4
III. Berdiri (N = 5)
Kisaran 0,316-0,427 0,024-0,032 15,269-18,333 98,9-99,2 13,1-16,2
Rata-rata 0,382 0,027 16,852 99,1 14,5
Keterangan: V 5 cm = Volume kayu sampai batas diameter 5 cm; N = Banyak ulangan; Sebaran diameter = 17,0-21,4 cm.
Tabel 4. Rata-rata produktivitas dan efisiensi teknik penebangan serendah mungkin pada kelerengan > 15%
Aspek V5 cm(m3)
Waktu tebang (Jam )
Produktivitas,m3 /jam
Efisiensi (%)
Tinggi tunggak(cm)
I. Jongkok (N = 5)
Kisaran 0,397-0,425 0,027-0,030 15,063-17,481 99,0-99,4 10,1-15,1
Rata-rata 0,407 0,029 16,489 99,2 12,6
II. Membungkuk (N = 5)
Kisaran 0,384-0,420 0,025-0,028 17,179-19,269 99,0-99,2 11,3-14,0
Rata-rata 0,401 0,026 18,021 99,1 12,5
III. Berdiri (N = 5)
Kisaran 0,397-0,454 0,027-0,030 15,807-17,333 99,0-99,2 10,0-13,1
Rata-rata 0,415 0,029 16,896 99,1 11,5
Keterangan: V 5 cm = Volume kayu sampai batas diameter 5 cm; N = Banyak ulangan; Sebaran diameter= 19,1-21,1 cm
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 8/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
42
Tabel 5. Analisis keragaman terhadap produktivitas penebangan, biaya, dan efisiensi pemanfaatan kayu
Sumber keragaman db Rincian
Produktivitas tebang Biaya produksi Efisiensi pemanfaatan kayu
F hit P F hit P F hit P
Petak utama
Teknik tebang, A
Sisa-I
19
40
111,67 0,0001 130,36 0,0001 849,48 0,0001
Petak sekunder
Kelerengan, B
Interaksi/, AxB
Sisa-II
1
1
8
6,97
0,05
0,0117
0,8169
98,60
4,93
0,0001
0,321
1,39
1,84
0,2452
0,1827
Petak sekunder
Sikap tubuh, C
Interaksi, AxBxC
Sisa-III
2
2
8
20,32
0,02
0,0001
0,9840
17,64
0,00
0,0001
0,9973
0,27
2,80
0,7652
0,0729
Rata-rata
- Satuan
- CV
- D 0,05
15,951
m3 /jam
7,045
2,858
3.261,495
Rp/m3
7,819
2,858
91,498
%
2,237
2,858
Total 59
Keterangan: P = Peluang; D 0,05 = Nilai kritis uji jarak beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5%; CV = Koefisien keragaman
Sedangkan pada penelitian Suhartana & Yuniawati (2006) di Kalimantan Timur produktivitastertinggi dicapai oleh pemanenan konvensionaldengan sikap tubuh membungkuk yaitu 14,275
m3 /jam. Hal ini dapat terjadi karena dalam penelitianini operatornya cepat tanggap dalam menerapkanteknik penebangan serendah mungkin. Dengandemikian hasil penelitian ini ternyata lebih baik.
Biaya Produksi Penebangan
Biaya penebangan per m3 dapat dihitungmelalui biaya kepemilikan dan pengoperasian alat
sebagai berikut: (1) Harga 1 alat = Rp 5.500.000/unit;(2) umur pakai alat = 1 tahun = 1.000 jam; (3) Asuransi = 3%/tahun; (4) Bunga bank = 18%/tahun; (5)Pajak = 2%/tahun; (6) Harga bensin = Rp 7.000/liter;(7) Upah operator dan pembantu = Rp 300.000//hari;(8) Jam kerja/hari = 8 jam; (9) Besar daya 3,5 HP.
Dari data biaya tersebut kemudian dapatdihitung komponen biaya yang disajikan pada Tabel6. Besarnya masing-masing biaya produksipenebangan dengan cara membagi total biaya usahadengan produktivitas masing-masing dan disajikanpada Tabel 7.
Tabel 6. Komponen biaya penebangan (Rp/jam)
Komponen biaya Jumlah (Rp/jam)Biaya penyusutan Biaya asuransiBiaya bungaBiaya pajakBiaya bahan bakar Biaya Oli/pelumas Biaya perbaikan/pemeliharaan Biaya upah
4.95099
59466
2.646264
4.95037.500
Total biaya usaha 51.069
Tabel 7. Biaya penebangan kayu
Sikap tubuh Produktivitas,
m3 /jam
Biaya tebang
( Rp/m3) I. Kelerengan ≤ 15% Penebangan konvensional
Jongkok Membungkuk Berdiri
14,67816,51313,314
3.531,23.116,83.849,6
II. Kelerengan ≤ 15% Teknik penebangan serendahmungkin
JongkokMembungkuk Berdiri
17,65918,99116,852
2.898,32.691,23.043,1
III. Kelerengan > 15% Penebangan konvensional JongkokMembungkukBerdiri
13,51815,36313,124
3.790,53.332,43.910,4
IV. Kelerengan > 15% Teknik penebangan serendahmungkin
Jongkok
MembungkukBerdiri
16,489
18,02116,896
3.106,3
2.839,03.029,4
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 9/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang …
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
43
Tabel 7 menunjukkan bahwa teknik
penebangan serendah mungkin pada kelerengan≤ 15% dan >15% dengan sikap tubuhmembungkuk menghasilkan biaya produksiterendah, yaitu sebesar masing-masing Rp
2.691,2/m3 dan Rp 2.839,0/m3. Rendahnya biaya
produksi penebangan teknik penebanganserendah mungkin pada dua kelerengan tersebutkarena tingginya produktivitas yang dihasilkanmasing-masing yaitu 18,991 m3 /jam dan 18,021m3 /jam. Produktivitas yang tinggi dapat menekanpengeluaran biaya produksi. Dengan demikiandapat dikatakan bahwa pemilihan teknikpenebangan dan sikap tubuh yang tepatdisesuaikan dengan kondisi kelerengan dapatmenekan biaya produksi penebangan. Haltersebut dikarenakan produksi yang dihasilkantinggi terutama waktu penebangan yang
dibutuhkan cepat dan volume kayu yangditebang tinggi.Hasil uji rancangan acak lengkap
faktorial dengan pola petak terbagi pada Tabel 5menunjukkan bahwa F hitung (17,64) atau P(0,0001) yang diartikan bahwa kelerengan ≤ 15%dan > 15%, teknik penebangan serendahmungkin serta sikap tubuh membungkukmemberikan pengaruh sangat nyata terhadapbiaya produksi tebang.
Efisiensi Pemanfaatan Kayu
Rata-rata efisiensi pemanfaatan kayu
pada kelerengan ≤ 15% dengan penebangankonvensional dan teknik penebangan serendahmungkin masing-masing adalah 81,3% (jongkok)dan 99,4% (bungkuk) selisih 18,1%. Sedang padakelerengan >15% dengan penebangankonvensional dan teknik penebangan serendahmungkin masing-masing sebesar 83,3% (berdiri)dan 99,2% (jongkok) dengan selisih 15,9%.
Adanya perbedaan tersebut berasal dari volume panjang batang yang dimanfaatkan sertatinggi tunggak yang ditinggalkan, yaitu padakelerengan ≤ 15% berasal dari selisih panjangbatang yang dimanfaatkan 0,073 m3 (17,4%) dan9,8 cm (0,003 m3 = 0,7%) berasal dari selisihtinggi tunggak. Sedangkan pada kelerengan>15% besaran tersebut masing-masing adalah0,061 m3 (14,5%) dari panjang batang dan 18,6cm (0,006 m3 = 1,4%) berasal dari tunggak.
Dengan menerapkan teknikpenebangan serendah mungkin pada kelerengan
≤ 15% dan sikap tubuh bungkuk dapatmeningkatkan efisiensi pemanfaatan kayusebasar 18,1% dan pada kelerengan >15%
dengan sikap tubuh jongkok peningkatantersebut sebesar 15,9%. Dengan demikian dari
aspek efisiensi pemanfaatan kayu ternyatateknik penebangan serendah mungkin lebih baik
daripada penebangan konvensional. Hal ini
diperkuat dari hasil perhitungan analisis ujirancangan acak lengkap faktorial dengan polapetak terbagi yang menghasilkan F hitung(849,48) atau P (0,0001) merupakan perbedaan
yang sangat nyata.
Dari hasil perhitungan efisiensipemanfaatan kayu di atas dapat dikatakanbahwa dengan teknik penebangan serendahmungkin pada kelerengan ≤ 15% dengan sikaptubuh membungkuk dapat meningkatkanefisiensi pemanfaatan kayu sebesar 18,1%.Berdasarkan data lapangan dan kutipan darikantor perusahaan, rata-rata produksi kayu pertahun adalah 1.082.802 m3 dengan luas petaktebang 9.849 ha. Atas dasar teknik penebangan yang biasa dilakukan perusahaan dengan sikaptubuh membungkuk dan jongkok dan adanya
peningkatan pemanfaaatan kayu 18,1% makapihak perusahaan akan mendapatkankeuntungan tambahan berupa kenaikan produksiper tahun sebesar 18,1% x 1.082.802 m3 =195.987,2 m3 /tahun dengan harga kayu Rp280.000/m3. Apabila keuntungan yang layak bagiperusahaan 20% (Rp 56.000/m3), makaperusahaan akan mendapatkan tambahankeuntungan sebesar 195.987,2 m3 /tahun x Rp56.000/m3 = Rp 10.097.528.320/tahun. Melihatkeuntungan yang akan diperoleh pihakperusahaan jika menggunakan teknikpenebangan serendah mungkin dengan sikap
tubuh membungkuk maka terbuka peluang bagiperusahaan untuk menerapkan teknik tersebut.
Apabila dibandingkan dengan hasilpenelitian Suhartana & Yuniawati (2006) yangmenunjukkan bahwa dengan menerapkan teknikpenebangan serendah mungkin, sikap tubuh jongkok dapat meningkatkan efisiensipemanfaatan kayu sebesar 15,2%, maka hasilpenelitian ini ternyata lebih baik.
KESIMPULAN
1. Produktivitas penebangan tertinggi, biayaproduksi terendah dan efisiensi pemanfaatankayu tertinggi serta tunggak terendahdicapai oleh teknik penebangan serendahmungkin dengan sikap tubuh membungkukpada kelerengan ≤ 15%, yaitu masing-masing
18,992 m3 /jam, Rp 2.691,2/m3, 99,4%, dan 9,4cm.
2. Dengan menerapkan teknik penebanganserendah mungkin pada kelerengan ≤ 15%dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan
kayu sebesar 18,1% yang setara dengantambahan keuntungan Rp 10.097.528.320/tahun.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 10/41
Pengaruh Teknik Penebangan, Sikap Tubuh Penebang…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
44
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1992. Cost Control in Forest Harvesting
and Road Construction. FAO ForestryPaper No. 99, FAO of the UN. Rome.
______, 2007. Rencana Kerja Tahunan tahun2007. PT Finnantara Intiga. Pontianak.
Bastoni, B. 2002. Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Alami Serasah Daun Acacia Mangium. PT Pradya Muda. Jakarta.
Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. McGraw-HillBook Co., Inc. New York. 633 pp.
Suhartana, S., Yuniawati & D. Tinambunan.
2005. Peningkatan Pemanfaatan Kayu Rasamala dengan Perbaikan Teknik
Penebangan dan Sikap Tubuh Penebang:Studi Kasus di KPH Cianjur, Perhutani Unit
III, Jawa Barat . Jurnal Penelitian Hasil
Hutan 23(5):349-361, Oktober 2005.Pusat Penelitian dan PengembanganHasil Hutan. Bogor.
Suhartana, S dan Yuniawati. 2005. Meningkatkan Produksi Kayu Pinus Melalui Penebangan
Serendah Mungkin: Studi Kasus di KPHSumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat. Info Hasil Hutan 11(2):87-96.Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan Bogor. Bogor.
Suhartana, S dan Yuniawati. 2006. PengaruhTeknik Penebangan dan Sikap Tubuh
Penebang terhadap Peningkatan Pemanfaatan Kayu Gmelina Arborea: Studi Kasus di HPHTI PT Surya Hutani Jaya
Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan11(2):99-104. Fakultas Kehutanan,Universitas Mulawarman. Samarinda.
Suhartana, S., Sukanda, Yuniawati & Dulsalam.
2007. Peningkatan Produksi Penebangandan Kajian Peralatan Pemanenan padahutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitiantahun 2007. Pusat Penelitian danPengambangan Hasil Hutan. Bogor.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 11/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
45
EFISIENSI TEKNIS KEBERHASILAN PENANAMAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN
TANAMAN INDUSTRI
(TECHNICAL EFFICIENCY OF PLANTING SUCCESSFUL IN INDUSTRIAL TIMBER
PLANTATION)
Nur Arifatul Ulya
Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu, Palembang
Abstract
The continuously decreasing share of forestry sector in national economics needs to follow byincreasing of forest production and productivity. The limited forest production area forces the use of
efficient management to guarantee sustained yield without endangering forest conservation area.Existence of efficiency principle in forest management will drive to a sustainable production in such alimited concessionaire of production forest. The research was conducted to identify some factors thataffect the production level of industrial timber plantation and identify the level of technical efficiencyof industrial timber plantation’s management. An econometric approach based on Cobb-Douglasproduction function used to identify the aim of the research. The size of planting realization thatbecome output of production activity estimated affected by the size of planting target, seedling,fertilizer, herbicide and labor both employee and daily worker. The results show that productionfactors that statistically significant affect the production are the size of plantation area, herbicide andlabor (employee). Seedling, labor (daily worker) and fertilizer become production factors thatstatistically not significant to affect the production of plantation forest. The production factors (inputs)combination to produce production (output) have not meet technically efficient category, because thiscombination have decreasing returns to scale.
Keywords: Cobb-Douglas, industrial timber plantation, technical efficiency
Abstrak
Penurunan peranan sektor kehutanan dalam perekonomian nasional secara terus menerus perluditindaklanjuti dengan peningkatan produksi dan produktivitas. Terbatasnya kawasan hutan produksimendorong perlunya pengelolaan yang efisien agar kelestarian hasil tercapai tanpa harus mengancamkawasan konservasi. Diharapkan dengan adanya efisiensi dalam pengelolaan HTI maka luas arealkonsesi yang terbatas HTI dapat berproduksi secara lestari. Tujuan penelitian ini adalah mengetahuifaktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi dan tingkat efisiensi teknis HTI. Pendekatanekonometrika yang berangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan sebagai kerangka analisis.Output (luas realisasi penanaman) diduga dipengaruhi oleh luas target penanaman, bibit, pupuk,herbisida dan tenaga kerja baik yang karyawan maupun buruh. Hasil estimasi menunjukkan faktorproduksi yang secara statistik berpengaruh terhadap produksi HTI PT. Musi Hutan Persada adalah luasareal yang harus ditanami, herbisida dan tenaga kerja yang berupa karyawan. Faktor produksi yangberupa jumlah bibit, tenaga kerja yang berupa buruh dan pupuk tidak signifikan mempengaruhiproduksi. Kombinasi penggunaan input (faktor produksi) dalam berproduksi berada pada kondisibelum efisien secara teknis karena berada pada posisi decreasing returns to scale.
Kata kunci: Cobb-Douglas, efisiensi teknis, hutan tanaman industri
PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999tentang Kehutanan menyatakan bahwa hutanproduksi merupakan salah satu fungsi hutan
yang ditetapkan oleh pemerintah dalam tata
guna hutan di Indonesia. Salah satu hasil hutan yang masih merupakan produk utama dari hutanadalah kayu. Kayu merupakan bahan baku bagi
industri kehutanan yang sampai saat ini masihmampu menghasilkan devisa bagi Indonesia,
meskipun peranannya semakin menurun jika
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 12/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
46
dibandingkan tahun 1970-an. Bersamaan dengan
itu, kemampuan hutan alam produksi yangdikelola dalam bentuk konsesi HPH untukmemasok bahan baku bagi industri kehutanansemakin menurun. Hal ini mendorong
pemerintah untuk menggalakkan pembangunan
Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI dibangundalam rangka meningkatkan potensi dan kualitashutan produksi dengan menerapkan sistemsilvikultur intensif. Sasaran utama pembangunanhutan tanaman industri adalah merehabilitasikawasan hutan produksi yang rusak dan tidakproduktif, dan kayu hasil rehabilitasi harusdiproses oleh pabrik (proses nilai tambah) danbarang akhir hasil proses produksi pabrik harusdapat menghasilkan devisa.
Dari kegiatan pembangunan HTI, dari standing stock yang ada kemampuan HTI
menghasilkan kayu adalah hanya 1/3 darikebutuhan industri (Hartono, 2002). Disisi lain, jika diamati kondisi saat ini, HTI yang masihmampu bertahan adalah HTI “besar” yangdidukung oleh pemodal kuat dan luas arealnyamencapai ratusan ribu hektar yang masih terusberusaha melakukan ekspansi luas. Ekspansi luasareal konsesi secara terus menerus pada suatusaat akan dihadapkan pada kendala berupa
terbatasnya luas kawasan hutan produksi. Hal iniakhirnya bisa berdampak pada terjadinyakonversi kawasan hutan konservasi menjadikawasan hutan produksi yang bisa merupakan
ancaman bagi kelestarian hutan.Kondisi ini menuntut suatu pengelolaan
HTI yang mempertimbangkan efisiensi. Denganterbatasnya kawasan hutan produksi maka
diperlukan pengelolaan yang efisien agar dalam jangka panjang kelestarian hasil tercapai tanpaharus mengancam kawasan konservasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruhterhadap tingkat produksi yang telah dicapai HTIdan tingkat efisiensi teknis dari HTI. Pembatasanpenelitian pada efisiensi teknis dilakukan karenaoutput yang digunakan dalam penelitian inimerupakan luas realisasi penanaman yang tidakdapat dirupiahkan.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Kegiatan penelitian dilakukan di PT.Musi Hutan Persada (MHP) yang berlokasi diKabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera
Selatan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni tahun 2005.
Data yang digunakan untuk keperluan
analisis dalam penelitian ini adalah datasekunder yang bersumber dari Rencana
Operasional, Rencana Kerja AnggaranPerusahaan (RKAP), Standar Prosedur Operasidan data sekunder yang bersumber darimanajemen PT. MHP. Data yang diperlukanuntuk melakukan analisis terdiri dari data luastarget dan realisasi dari kegiatan penanaman,
jumlah tenaga kerja, penggunaan bibit, pupukdan herbisida.
Analisis Data
Secara umum dalam penelitianpertanian yang menggunakan fungsi produksiCobb-Douglas membagi Peubah bebas yangdianggap berpengaruh terhadap tingkatproduksi dalam tiga kelompok utama, yaitutanah, modal dan tenaga kerja (Soekartawi,2002). Schmidt (1986) dan Wu (1994) sepertidikutip Hartono (2002) menyatakan bahwa skala
usaha, jenis perusahaan (seperti swasta vspemerintah, lokal vs asing) lokasi, dan lain-lainmerupakan Peubah-Peubah yang secara luasdiketahui mempunyai efek signifikan terhadaptingkatan efisiensi di sektor pertanian.
Dalam penelitian ini, Peubah yangdiduga berpengaruh terhadap produksi adalahtanah, tenaga kerja (karyawan dan buruh), bibit, jumlah pupuk dan herbisida. Alasan pemilihanPeubah adalah sebagai berikut:
1)
ProduksiUntuk tanaman tahunan seperti
tanaman perkebunan, produksi dapat jugadinyatakan dalam luas penanaman (Mukani,
1986). Battese dan Coelli (1995), Battese et al. (1996) dan Ngweya et al. seperti yang dikutipHartono (2002) menyatakan bahwa salah satuukuran output yang dapat digunakan untukmengukur efisiensi teknis adalah luaspenanaman. Dalam penelitian ini produksidiwakili oleh luas areal yang dapat ditanami ataudengan kata lain adalah luas realisasi penanaman yang dinyatakan dalam hektar.
2) TanahFaktor produksi tanah dapat dinyatakan
dalam luas areal tanam dan ada pula yangmenggunakan luas areal panen dengan satuanhektar (Bungi, 2003). Tanah atau lahan dalampenelitian ini diwakili oleh luas areal tanamdalam satuan hektar, atau dengan kata lainadalah target penanaman yang dinyatakan dalamhektar. Target penanaman dalam hal ini
merupakan total luas penanaman yang harusditanami berdasarkan rencana jangka panjangperusahaan yang disetujui oleh pemerintah,dalam hal ini Departemen Kehutanan (Hartono,
2002).
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 13/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
47
Peubah ini dipilih karena berkaitan erat
dengan output yang digunakan dalam penelitianini, yaitu luas realisasi penanaman. Selain itu,luas areal yang harus ditanami erat kaitannyadengan skala usaha HTI (luas areal konsesi HTI)
dan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu
usaha pertanian.
3) Tenaga KerjaTenaga kerja yang dimaksud dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu buruhharian dan karyawan perusahaan. Pembagiantenaga kerja ini dilakukan karena rangkaianpekerjaan dalam kegiatan penanaman mulai daripembibitan sampai penanaman sebagian besardiborongkan kepada buruh harian dandiasumsikan terdapat perbedaan keterampilandan jenis pekerjaan di lapangan antara tenaga
kerja yang berupa buruh harian dan karyawanperusahaan. Karena berbagai keterbatasan,dalam penelitian ini satuan yang digunakanadalah jumlah orang.
4) ModalUntuk pertanian, modal yang digunakan
dalam berproduksi adalah pupuk, bibit,peralatan pertanian (bajak, cangkul, traktor) danlain-lain, baik dalam bentuk unit maupunkonversinya dalam bentuk uang (Soekartawi,2002). Dalam penelitian ini, modal yangdigunakan dalam berproduksi adalah jumlah
bibit, jumlah pupuk dan herbisida. Sedangkanperalatan yang digunakan tidak diperhitungkankarena untuk kasus PT. MHP, pekerjaanpenanaman diborongkan pada tenaga buruhdengan alat sederhana berupa cangkul, parangdan alat angkut bibit seperti kendaraan bakterbuka.
Faktor Produksi yang Berpengaruh terhadap
Produksi HTI
Penentuan faktor yang berpengaruhterhadap produksi HTI dilakukan denganmenggunakan analisis regresi, tepatnyamenggunakan regresi linier sederhana (ordinary
least square/ OLS). Kriteria yang digunakan untukmenganalisis meliputi:1) Kriteria ekonomi
Menganalisis kesesuaian koefisien regresidalam hal tanda dan besaran dengan teori
ekonomi2) Kriteria statistika
Dalam kriteria statistika, yang dilakukanadalah melihat daya menjelaskan darikriteria ekonomi. Meliputi pengujianpengaruh koefisien regresi secara parsial,
pengujian pengaruh koefisien regresisecara bersamaan atau pengujuan model
secara keseluruhan (uji F) dan kemampuanmodel menjelaskan variabilitas dari Peubahterikat (R 2 adjusted).
3) Kriteria ekonometriUntuk kriteria ekonometrika, evaluasi yang
dilakukan meliputi estimasi hubungan
ekonomi dari data sampel, pengujianhipotesis tentang bagaimana Peubah-Peubah ekonomi berhubungan, danbesaran (magnitude) hubungan antarPeubah terikat dengan Peubah bebas. Uji yang dilakukan meliputi pelepasan darimasalah-masalah penyimpangan asumsiregresi yaitu masalah heteroskedastisitas,multikolinearitas dan autokorelasi(Gujarati, 2003).
Penyusunan model dalam rangka
menentukan faktor yang berpengaruh terhadapproduksi HTI dilakukan berdasarkan fungsiproduksi Cobb-Douglas, di mana hubungan fisikantara realisasi penanaman dengan beberapaPeubah penting yang diduga mempengaruhiadalah sebagai berikut:
PROD = β0 AREA β1 BBTβ2 PPK β3 HERBβ4 TKBβ5
TKK β6 eε
Di mana:PROD = Peubah terikat, berupa luas realisasi
penanaman (ha) AREA = Peubah bebas luas areal yang harus
ditanami (ha)
BBT = Peubah bebas jumlah bibit yangdigunakan (batang)
PPK = Peubah bebas jumlah pupuk yangdigunakan (kg)
HERB = Peubah bebas jumlah herbisida yang
digunakan (liter)TKB = Peubah bebas tenaga kerja/buruh
(orang)TKK = Peubah bebas tenaga kerja/karyawan
perusahaan (orang)
Perhitungan Tingkatan Efisiensi Teknis
Pada kajian dengan pendekatanprobabilistik, efisiensi teknis penggunaan input
(returns-to-scale) diperoleh dengan menjumlahkansemua koefisien elastisitas produksi dari Peubahbebas yang signifikan kecuali Peubah dummy. Adapun Returns-to-scale merupakan gambaranperbandingan antara faktor produksi (input ) yang
digunakan dalam berproduksi dengan output yang dihasilkan. Jika penjumlahan koefisienregresi yang merupakan elastisitas sama dengansatu, maka penambahan input produksi akan
proporsional dengan penambahan output(Soekartawi, 2002; Salvatore, 2001; Gasperz
(2003). Sementara itu, Salvatore (2001) juga
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 14/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
48
menyatakan bahwa pada fungsi produksi Cobb-
Douglas yang dilinierkan dengan double log, jikapenjumlahan koefisien regresi sama dengansatu, maka terjadi constant returns to scale yangmenunjukkan kondisi efisien secara teknisdicapai.
Efisiensi teknis merupakan gambarandari kapasitas suatu satuan ekonomi untukmenghasilkan output sebesar mungkin denganinput yang ada. Dengan diketahuinya tingkatan
efisiensi teknis, maka perusahaan dapatmengetahui kapasitas penggunaan masing-masing input dalam menghasilkan output,sehingga apabila belum optimal dapat
ditentukan strategi untuk mencapai kondisioptimal (Siahaan, 2000). Selain itu, dengandiketahuinya tingkatan efisiensi teknis dapatditentukan perencanaan penggunaan input
dalam menghadapi perubahan permintaanterhadap output (Gaspersz, 2003).Untuk mengetahui tingkat efisiensi
teknis, fungsi (1) dilinierkan dengan double logsehingga koefisen regresi merupakan elastisitas
masing-masing faktor produksi. Sehinggadihasilkan model sebagai berikut:
ln PROD = β0 + β1 ln AREA + β2 ln BBT+ β3 ln
PPK + β4 ln HERB + β5 ln TKB + β6ln TKK + ε
di mana: PROD= Peubah terikat, berupa luasrealisasi penanaman (ha); AREA = Peubahbebas luas areal yang harus ditanami (ha); BBT
= Peubah bebas jumlah bibit yang digunakan(batang); PPK = Peubah bebas jumlah pupuk yang digunakan (kg); HERB = Peubah bebas jumlah herbisida yang digunakan (liter); TKB =Peubah bebas tenaga kerja/buruh(orang); TKK =Peubah bebas tenaga kerja/karyawanperusahaan (orang)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Faktor Produksi yang Berpengaruh
terhadap Produksi
Konstruksi model
Berdasarkan pertimbangan ekonomi
dan teknis, maka untuk konstruksi model awaldigunakan fungsi (2), yaitu:
ln PROD = β0 + β1 ln AREA + β2 ln BBT+ β3 ln
PPK + β4 ln HERB + β5 ln TKB + β6 ln TKK + ε
Dimana hipotesis tanda dari setiap
koefisien parameter adalah: β1>0; β2>0; β3>0;
β3>0; β5>0; β6>0. Artinya adalah jika faktorproduksi(AREA, BBT, PPK, HERB, TKB, dan TKK)
naik/turun 1 persen maka luas realisasipenanaman (PROD) naik/turun sebesar
persentase koefisien regresi.
Penentuan Faktor Produksi yang Berpengaruh
terhadap Produksi
Model yang efisien dan mempunyaiketepatan tinggi diperoleh dengan melakukanestimasi yang mengkombinasikan penggunaanfaktor produksi (Peubah bebas). Hasil estimasiterbaik dengan menggunakan Peubah-Peubahbebas selanjutnya disebut Model 1 yangdisajikan pada Tabel 1.
Dari hasil estimasi Model 1 diketahuibahwa tanda koefisien regresi untuk Peubah
jumlah areal yang harus ditanami (ln AREA) tidaksesuai dengan hipotesis (teori ekonomi). Hasilpengujian koefisien regresi secara parsialmenunjukkan bahwa Peubah ln BBT dan ln PPK
signifikan mempengaruhi luas realisasipenanaman pada taraf nyata 5%. Secarakeseluruhan, Model signifikan menjelaskanperilaku luas realisasi penanaman dengan nilai
R 2 adjusted 80.60%.
Tabel 1. Hasil estimasi model 1
Peubah Bebas Koefisien Regresi p-value
Konstanta -0,077999 0,9392ln (AREA) -0,305425 0,1374ln (BBT) 0,633539 ** 0,0073ln (PPK) 0,208690 ** 0,0019R 2 adjusted 0,805953F-statistic 49,45628 *** 0,0000
Keterangan:PROD = Peubah terikat, berupa luas realisasi penanaman (ha)
AREA = Peubah bebas luas areal yang harus ditanami (ha)BBT = Peubah bebas jumlah bibit yang digunakan (batang)PPK = Peubah bebas jumlah pupuk yang digunakan (kg)*** = signifikan pada α=1%**
= signifikan pada α=5%
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 15/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
49
Masalah multikolinearitas terjadi dalam
Model 1 dengan adanya tanda koefisien regresi yang tidak sesuai hipotesis, hasil uji koefisienregresi secara parsial yang tidak signifikansementara uji F signifikan dan nilai R 2 adjusted
yang cukup tinggi. Masalah heteroskedastisitas
tidak terjadi di dalam Model 1 sedangkanautokorelasi terjadi dalam Model 1 karena nilaiDurbin-Watson statistic berada di daerah di manatidak dapat diambil kesimpulan.
Pada Model 1, Peubah AREA mempunyaitanda koefisien regresi yang tidak sesuai denganhipotesis tanda. Hal ini bertentangan denganteori ekonomi, karena seharusnya semakin luasareal yang harus ditanami, maka produksi akansemakin meningkat. Sesungguhnya hasil regresiantara produksi (PROD) dengan luas areal yangharus ditanami (AREA) mempunyai tanda
koefisien regresi yang positif, sesuai prediksiteori ekonomi. Selain itu, matriks korelasi darikeseluruhan Peubah menunjukkan bahwaPeubah BBT dan AREA mempunyai korelasi yangtinggi, yaitu 0.97. Dengan demikian didugabahwa sebenarnya terdapat gejalamultikolinearitas yang cukup kuat yang tidaktertangkap dalam estimasi yang dilakukandengan menggunakan ln AREA (luas areal yang
harus ditanami) sebagai Peubah bebas. Selainitu, Peubah BBT juga mempunyai korelasi yangtinggi dengan TKK yaitu sebesar 0.97.
Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, dalam estimasi selanjutnya, Peubah jumlah bibit yang digunakan adalah BBT2 yangmerupakan jumlah bibit yang digunakan (BBT) yang sudah ”dibersihkan” dari pengaruh Peubah
luas areal yang harus ditanami (AREA) dan jumlah tenaga kerja yang berupa karyawan(TKK). Peubah baru ini adalah residu dari regresiBBT terhadap AREA dan TKK. Secara teknis, hal
ini juga sesuai dengan kenyataan bahwa
pengadaan bibit untuk kegiatan penanamanakan berkaitan erat dengan luas areal yang harusditanami (target penanaman) dan tenaga kerja yang digunakan.
Selain itu, Peubah TKK juga mempunyaikorelasi yang cukup tinggi dengan AREA dimana
korelasinya sebesar 0.89. Hal ini kemungkinanterjadi karena jumlah tenaga kerja akanberhubungan erat dengan ukuran konsesiperusahaan yang dalam hal ini dicerminkan olehfaktor produksi tanah atau Peubah AREA.Sehingga dalam estimasi selanjutnya Peubah TKK yang digunakan adalah TKK2 yang merupakanTKK yang sudah ”dibersihkan” dari pengaruh AREA.
Hasil estimasi terbaik denganmenggunakan Peubah bebas berupa luas areal yang harus ditanami (ln AREA), jumlah bibit yang
digunakan (ln BBT2), jumlah pupuk yangdigunakan (ln PPK), jumlah herbisida yangdigunakan (ln HERB) dan jumlah tenaga kerja yang berupa karyawan (ln TKK2) selanjutnyadisebut Model 2 disajikan pada Tabel 2.
Pada Model 2 semua Peubah bebas (ln AREA, ln HERB dan ln TKK2) mempunyai tandakoefisien regresi yang sesuai dengan hipotesistanda, yaitu positif atau lebih besar dari nol.Selain itu, hasil pengujian koefisien regresisecara parsial menunjukkan bahwa Peubah ln AREA, ln HERB dan ln TKK2 signifikanmempengaruhi luas realisasi penanaman (ln
PROD) berturut-turut pada taraf nyata 1%, 5% dan1%. Secara keseluruhan model signifikanmempengaruhi perilaku luas realisasipenanaman pada taraf nyata 1% dengan nilai R 2 adjusted yang cukup tinggi (85.06%). Pada Model 2tidak terjadi masalah multikolinearitas. Demikian jugadengan masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Tabel 2. Hasil estimasi model 2
Peubah Bebas Koefisien Regresi p-value
Konstanta 0,571601 0,4294ln (AREA) 0,570297
***0,0000
ln (HERB) 0,120470**
0,0235ln (TKK2) 0,130473
***0,0001
R 2 adjusted 0,850603F-statistic 40,85509
***0,0000
Keterangan:PROD = Peubah terikat, berupa luas realisasi penanaman (ha)
AREA = Peubah bebas luas areal yang harus ditanami (ha)HERB = Peubah bebas jumlah herbisida yang digunakan (liter)TKK2 = Peubah bebas tenaga kerja, dalam hal ini karyawan perusahaan (orang)*** = signifikan pada α=1%** = signifikan pada α=5%* = signifikan pada α=10%
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 16/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
50
Dengan demikian, maka Model 2
digunakan sebagai dasar untuk menentukanfaktor-faktor yang berpengaruh terhadap luasrealisasi penanaman. Dasar yang digunakanadalah: (1) kriteria ekonomi yaitu kesesuaian
tanda koefisien regresi dengan teori ekonomi;
(2)kriteria statistik yang meliputi pengujiankoefisien regresi secara parsial, pengujiankoefisien regresi secara bersama-sama dankebaikan suai model; serta (3) kriteria ekonometri(pelanggaran asumsi multikolinearitas,heteroskedastisitas dan autokorelasi). Selain itu,secara teknis Peubah luas areal yang harusditanami atau luas target penanaman (ln AREA), jumlah herbisida yang digunakan (ln HERB) dan jumlah tenaga kerja yang berupa karyawan (lnTKK) lebih sesuai digunakan dalam menentukanluas realisasi penanaman, karena realisasi
penanaman tidak dapat dilepaskan dari luastarget penanaman, persiapan lahan yang dalamhal ini diwakili oleh jumlah herbisida yangdigunakan dan tenaga kerja yang digunakankarena kegiatan penanaman lebih padat karyadaripada padat modal.
Faktor Produksi yang Mempengaruhi Luas
Realisasi Penanaman
Pertimbangan dalam menentukan faktor
produksi yang berpengaruh terhadap perilakuluas realisasi penanaman tidak hanya didasarkanpada kriteria statistik saja, melainkan juga harus
mempertimbangkan kriteria ekonomi danekonometri. Selain itu, faktor teknis harus jugadijadikan pertimbangan dalam menentukanfaktor-faktor yang berpengaruh terhadapproduksi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangantersebut, dapat diketahui hanya faktor luas areal yang harus ditanami (ln AREA), bibit (ln BBT) danherbisida (ln HERB) yang secara signifikanberpengaruh terhadap luas realisasi penanaman.Sedangkan Peubah pupuk, tenaga kerja (buruh)dan tenaga kerja (karyawan) tidak signifikanmempengaruhi luas realisasi penanaman.
1) Luas areal yang harus ditanamiBerdasarkan Model 2, luas areal yang
harus ditanami mempunyai tanda koefisienregresi yang sesuai dengan hipotesis tanda. Nilaikoefisien regresi yang sekaligus merupakan nilaielastisitas dari Peubah ln AREA adalah 0.57. Artinya, jika jumlah areal yang harus ditanamibertambah 1 persen, maka akan meningkatkanluas realisasi penanaman sebesar 0.57 persen(faktor lain dianggap tetap). Sehingga bisadikatakan bahwa peningkatan luas areal yang
harus ditanami masih akan mampumeningkatkan luas realisasi penanaman.
Implikasi dari kondisi ini adalahperusahaan harus mempunyai perencanaankegiatan yang matang berdasarkan data historismaupun hasil penelitian, karena ternyata luasareal yang harus ditanami (target penanaman)turut memberikan sumbangan dalam
peningkatan output yang berupa luas realisasipenanaman. Bagi pemerintah, hal inimengindikasikan bahwa luas areal konsesi HTIturut menentukan kemampuan luas realisasipenanaman. Sehingga sebaiknya pertimbangan-pertimbangan ekonomi untuk masa yang akandatang semakin menjadi pertimbangan dalampenentuan luas areal konsesi HTI tanpamengesampingkan pertimbangan ekologis.
2) Herbisida Jumlah herbisida yang digunakan
mempunyai tanda koefisien regresi positif. Artinya jika jumlah herbisida yang digunakanbertambah 1 persen akan meningkatkan luasrealisasi penanaman sebesar 0.12 persen (faktorlain dianggap tetap).
Penggunaan herbisida dalam kegiatanpenanaman erat kaitannya dengan kegiatan
penyiapan lahan (land preparation) yangmerupakan salah satu rangkaian kegiatanpenanaman. Herbisida terutama untukpembersihan areal yang akan ditanami (landclearing) secara kimiawi pada areal dengan
kerapatan tumbuhan bawah yang sangat tinggi.
Sehingga dengan meningkatnya penggunaanherbisida yang dalam hal ini mewakili kegiatanpersiapan lahan, maka juga akan terjadi
peningkatan luas realisasi penanaman.Besaran (magnitude) koefisien regresi ln
HERB yang tidak begitu besar diduga terjadikarena penggunaan herbisida tidak mutlakdalam kegiatan land clearing. Herbisida hanyadigunakan pada areal dengan kerapatantumbuhan bawah yang tinggi. Untuk kasus PT.MHP, persiapan lahan secara kimiawi rata-ratamencapai 30% dari keseluruhan cara persiapanlahan. Pada areal yang kerapatan tumbuhanbawahnya rendah, persiapan lahan dilakukandengan membuat jalur penanaman dengan alatsederhana berupa parang yang dikenal secaramanual.
Dengan demikian perusahaan harusmeningkatkan kemampuan persiapan lahan yangdalam hal ini dicerminkan oleh jumlah herbisida yang digunakan, agar luas realisasi penanaman
semakin dapat ditingkatkan.
3) Tenaga Kerja (karyawan) Jumlah tenaga kerja berupa karyawan
yang digunakan mempunyai tanda koefisienregresi positif. Berarti jika jumlah tenaga kerja
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 17/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
51
berupa karyawan yang digunakan bertambah 1
persen akan meningkatkan luas realisasipenanaman sebesar 0.13 persen (faktor laindianggap tetap).
Hal ini diduga berkaitan erat dengan
kegiatan penanaman di PT. MHP yang
merupakan kegiatan yang lebih padat karyadaripada modal. Sehingga peran karyawanperusahaan yang merupakan tenaga kerjadengan keterampilan tinggi (jika dibandingkandengan buruh harian) memegang perananpenting dalam keberhasilan kegiatan produksi yang dicerminkan oleh luas realisasi penanaman.Bahkan pada kasus ini bisa dinyatakan bahwafaktor produksi yang berupa tenaga kerjamemiliki peran yang krusial melebihi faktor lain yang juga penting dalam kegiatan penanaman,seperti jumlah bibit yang digunakan. Dengan
demikian bagi perusahaan adalah krusialmemiliki manajemen tenaga kerja yang dapatmendukung kinerja. Selain itu perlu adanyausaha-usaha peningkatan kemampuan tenagakerja berupa karyawan dalam rangkapeningkatan output.
Hasil uji statistik terhadap Peubah jumlah bibit yang digunakan (ln BBT2), jumlahtenaga kerja yang berupa buruh harian (ln TKB)dan jumlah pupuk yang digunakan (ln PPK)menunjukkan bahwa ketiganya tidak signifikanmempengaruhi luas realisasi penanaman. Adapau hal ini diduga terjadi karena:
1) BibitTidak terpilihnya Peubah jumlah bibit
yang digunakan diduga terjadi karena dalam
kajian fungsi produksi akan terjadi trade-off antara faktor-faktor yang diduga berpengaruhterhadap output dalam menentukan variasioutput. Peubah yang digunakan adalah yang
mampu berperan dalam memberikanpenambahan output secara signifikan dan lebihtinggi.
Diduga telah terjadi trade-off antaraPeubah bibit dan tenaga kerja yang berupakaryawan. Karena kegiatan penanaman di PT.MHP merupakan kegiatan yang padat karya
sehingga tenaga kerja berupa karyawanmemegang peran yang lebih krusial jikadibandingkan bibit. Hal ini antara lain dapatdilihat dari korelasi antara ln TKK2 dengan lnPROD yang lebih tinggi jika dibandingkankorelasi antara ln BBT2 dengan ln PROD.
2). Tenaga Kerja (Buruh)Peubah tenaga kerja yang berupa
karyawan (ln TKK) berkorelasi sempurna denganPeubah jumlah tenaga kerja yang berupa buruh(ln TKB). Sehingga ln TKK dipilih untuk mewakilikarena dianggap lebih tepat digunakan untukmengukur efisiensi perusahaan. Sehingga ln TKBtidak digunakan untuk melakukan estimasi.
3). PupukPupuk diduga tidak signifikan
mempengaruhi produksi yang dicerminkan olehluas realisasi penanaman karena pupuk mewakilikegiatan persiapan lahan yang di dalamnya jugaterdapat herbisida. Jika dilihat pada matrikskorelasi seluruh Peubah, maka pupuk hanyamempunyai korelasi -0.02 dengan produksi,sedangkan herbisida mempunyai korelasidengan produksi sebesar 0.98. Dengan demikianherbisida lebih dapat mewakili kegiatanpersiapan lahan bila dibandingkan denganpupuk.
Analisis Tingkat Efisiensi Teknis Faktor
ProduksiTingkat efisiensi teknis dari
penggunaan faktor produksi secara bersama-sama merupakan gambaran skala produksi jangka panjang dari pengelolaan hutan tanamanindustri. Tingkat efisiensi dapat diketahui darinilai returns-to-scale, yang diperoleh denganmenjumlahkan semua nilai koefisien regresi(elastisitas faktor produksi) dari faktor yangmempengaruhi produksi. Penjumlahan dari nilaielastisitas faktor produksi dalam kegiatanproduksi yang diwakili oleh kegiatan penanamandi PT. MHP disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai elastisitas faktor produksi dalam pengelolaan HTI PT. Musi Hutan Persada
No. Faktor Produksi Elastisitas Faktor Produksi
1. Tanah (luas areal yang harus ditanami) 0,57
2. Herbisida 0,12
3. Tenaga kerja (karyawan) 0,13
Jumlah 0,82
Sumber: Hasil pengolahan data (Model 2)
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 18/41
Efisiensi Teknis Keberhasilan Penanaman dalam Pembangunan…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
52
Hasil penjumlahan elastisitas faktorproduksi yang mempengaruhi luas realisasipenanaman adalah 0,82. Dengan demikian,dalam skala produksi dari pengelolaan HTIdengan output berupa luas realisasi penanamandi PT. Musi Hutan Persada berada dalam kondisi
decreasing returns to scale. Berarti penggunaanfaktor produksi dalam kegiatan penanaman HTIdi PT. Musi Hutan Persada secara teknis dalamkondisi belum efisien karena persentasepertambahan produksi (luas realisasipenanaman) yang diperoleh lebih kecil daripersentase pertambahan faktor produksi yangdigunakan (tanah, herbisida dan tenaga kerjaberupa karyawan).
Pyndick dan Rubinfeld (2005)menyatakan bahwa kerumitan organisasi danmengelola operasional skala besar dapatmenyebabkan penurunan produktivitas darifaktor produksi yang berakibat pada terjadinyadecreasing returns to scale. Kondisi inikemungkinan juga terjadi pada PT. MHPmerupakan salah suatu perusahaan yangberoperasi dengan skala besar. Besarnya skalaoperasional PT. MHP ditunjukkan oleh luas arealkonsesi yang melebihi 100.000 hektar (Hartono,2002).
KESIMPULAN
Faktor produksi yang secara statistikberpengaruh terhadap produksi hutan tanamanindustri PT. MHP yang diwakili oleh luas realisasi
penanaman sebagai cerminan dari kelestarianhasil adalah luas areal yang harus ditanami,herbisida yang digunakan dalam kegiatanpenanaman dan tenaga kerja yang berupakaryawan.
Tingkat kombinasi penggunaan input(faktor produksi) dalam kegiatan produksiberada pada kondisi belum efisien secara tekniskarena berada pada posisi decreasing returns to
scale yang berarti persentase pertambahanproduksi yang diperoleh lebih kecil daripersentase pertambahan faktor produksi yangdigunakan, sedangkan proses produksi masih
berada pada berada pada daerah yang rasionaluntuk berproduksi.
DAFTAR PUSTAKA
Bungi, S. 2003. Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi dalam Usahatani Padi di Kabupaten Sidenreng Rappang(Pendekatan Ekonometri). Tesis ProgramMagister Perencanaan dan KebijakanPublik, Fakultas Ekonomi, UniversitasIndonesia. (Tidak diterbitkan).
Gaspersz. V. 2003. Ekonomi Manajerial Pembuatan
Keputusan Bisnis. Jakarta: GramediaPustaka Utama.
Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. 4th Edition.New York: McGraw-Hill Companies.
Hartono, B.T. 2002. Can Forest Plantations
Alleviate Pressure on Natural Forests?: An Efficiency Analysis in Indonesia. EEPSEAResearch Reports ASSN 1608-5434; 220-RR1). Singapore: Economy andEnvironment Program for South East Asia.
Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980.
Microeconomic Theory: A Mathematical Approach. 3rd Edition. Singapore:
McGraw-Hill Book Company.
Mukani. 1986. Luas Usaha dan Efisiensi Ekonomi
Relatif (Studi Kasus Usahatani Tembakau Pipa di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang). TesisFakultas Pasca Sarjana Institut PertanianBogor. (Tidak diterbitkan).
Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 2005. Microeconomics. 6th Edition. New Jersey:Pearson Education Inc.
PT. Musi Hutan Persada. 2003. Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RPAK) Tahun 2003. Jakarta: PT. Musi Hutan Persada.
Salvatore, D. 2001. Managerial Economics dalam Perekonomian Global Jilid I. (terjemahan).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Siahaan, O.P. 2000. Efisiensi Teknik Unit Usaha BUMN: Analisa Data Panel Usaha Industri Indonesia 1981 – 1991. Disertasi
Program Pasca Sarjana FakultasEkonomi Universitas Indonesia. Tidakditerbitkan.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi
Pertanian, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 19/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
53
PENGGUNAAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK DETEKSI KEBAKARAN GAMBUT DI
KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU
(APPLICATION OF REMOTE SENSING ON PEAT FIRE DETECTION
IN BENGKALIS DISTRICT RIAU PROVINCE)
Achmad Siddik Thoha
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utaraemail: [email protected]
Abstract
District of Bengkalis Riau Province has been known as one of the most frequently fire prone areasoccurrence in Indonesia. According to Ministry of Environment Indonesia, Forest conversion into
plantation caused risk to pea and land fire.Fire occurrences mostly found on peat land as result of landclearing activities. To decrease damage and environment impact from peat fire, it is important toidentify and predict peat fire occurrence. The objectives of research were to compare accuracy ofhotspot from data supply source and to detect fire location and land use change. Methods used in thestudy were descriptive statistical and spatial analysis of hotspot data. Image analysis of Landsat TMimagery was applied to detect land use change. The result of research showed that number of hotspotfrom JICA is greater than ASMC and LAPAN. Accuracy of hotspot distribution from ASMC is greater thanthat of JICA and LAPAN namely 60% whereas JICA 47% and LAPAN 40% respectively. Accuracy of hotspotlocation from JICA is greater than of LAPAN and ASMC namely1.75 km, whereas ASMC 4.46 km andLAPAN 3.70 km respectively.
Keywords: detection, peatland fire, hotspot
Abstrak
Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu daerah rawan kebakaran di Propinsi Riau. Sebagian besarlahan di kabupaten ini merupakan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi areal budidaya sepertiperkebunan, hutan tanaman, dan perladangan. Kebakaran sebagian besar ditemukan pada lahangambut sebagai akibat aktivitas pembukaan lahan. Pembukaan kawasan gambut sangat beresiko karenadapat mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan seperti kebakaran dan kabut asap. Oleh karenaitu, identifikasi dan prediksi kejadian kebakaran gambut sangat penting untuk mengurangi kerusakandan dampak lingkungan akibat kebakaran gambut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkankeakuratan data titik panas (hotspot) data beberapa sumber penyedia data, menjelaskan dampakkondisi biofisik dan aktifitas manusia pada lokasi terindikasi kebakaran. Dalam penelitian inidipergunakan analisa deskriptif dan analisis spasial dari data hotspot. Analisa citra satelit Landsat TMdigunakan untuk identifikasi lahan terbakar dan perubahan penutupan lahan. Hotspot merupakanindikasi kebakaran hutan yang dibuktikan dengan hasil interpretasi dan analisa citra dengan warnamerah muda hingga merah muda tua untuk kombinasi Band 543 dan hijau muda hingga hijau muda tuauntuk kombinasi Band 453. Jumlah hotspot yang dikeluarkan sumber penyedia hotspot dari terbesar keterkecil yaitu JICA, ASMC dan LAPAN. Hotspot dari ASMC mempunyai akurasi sebaran yang lebih tinggi yaitu 60%, JICA 47% dan LAPAN 40%. Adapun JICA memiliki akurasi lokasi yang lebih tinggi yaitu 1,75km, ASMC 4,46 km,dan LAPAN 3,70 km.
Kata kunci: deteksi, kebakaran gambut, titik panas (hotspot)
PENDAHULUAN
Kegiatan deteksi dini dalampenanggulangan kebakaran lahan gambutmemegang peranan sangat penting. Deteksi dini
adalah upaya untuk mendapatkan keterangan
secara dini adanya kebakaran hutan melaluipenerapan teknologi sederhana seperti adanya
asap dan kondisi kekeringan hingga teknologicanggih seperti aplikasi penginderaan jauh danpemataan digital (Direktorat Penanggulangan
Kebakaran Hutan 2001). Penggunaan teknologi
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 20/41
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
54
sederhana dalam deteksi dini kebakaran lahan
bisa berupa kondisi kekeringan sedangkanteknologi canggih yaitu aplikasi penginderaan jauh dan pemataan digital. Deteksi dini dapatmenentukan pengambilan keputusan untuk
menentukan kesiapsiagaan penanggulangan
kebakaran hutan. Deteksi yang akurat akandapat membantu tahap pemadaman kebakarandan tahap penanganan pasca kebakaran yangtepat. Disamping itu, pada pelaksanaan dilapangan, keakuratan proses deteksi akanmenentukan alokasi dana, kelancaran operasipemadaman, dan kebutuhan investigasi dalamkasus pelanggaran hukum lingkungan.
Kementrian Lingkungan HidupIndonesia telah menetapkan KabupatenBengkalis sebagai salah satu daerah yang palingrawan terjadi kebakaran (KLH 2002). Konversi
hutan menjadi perkebunan menjadikan daerahini rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.Sebagian besar wilayah perkebunan ini tidakcocok untuk budidaya kelapa sawit karenaberada pada kawasan gambut. Pembukaankawasan gambut sangat beresiko karena daribeberapa laporan didapatkan bahwa kebakaranhutan/lahan yang terjadi di Bengkalis sebagianbesar terjadi di lahan gambut. Oleh karena itu,identifikasi dan prediksi kejadian kebakarangambut sangat penting untuk mengurangikerusakan dan dampak lingkungan akibatkebakaran gambut.
Tujuan penelitian ini adalah:Membandingkan keakuratan data hotspot dariberbagai sumber penyedia data hotspot sertamendeteksi areal kebakaran dan perubahanpenutupan lahan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di KabupatenBengkalis, Propinsi Riau sebagai salah satudaerah yang rawan terjadi kebakaran. Analisisdata dilakukan di Laboratorium KebakaranHutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB padabulan Juni 2005 – Januari 2006. Verifikasilapangan dilakukan Bulan Mei 2005.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian berupa: peta digitalsistem lahan, penutupan lahan, batasadministrasi (PPLH-IPB), Areal HPH/HTI (BAPLAN-Dephut), peta Rencana Tata Ruang WilayahKabupaten Bengkalis (Bappeda-Bengkalis), Data
Hotspot Satelit NOAA ( National Oceanic and
Atmospheric Administration) dari FFPMP2 (Dephut-
JICA), ASMC (KLH-ASEAN) dan LAPAN, Citra
Satelit Landsat TM Path 126-127 Row 059 Tahun2002-2004 dari ICSEA-BIOTROP dan LAPAN sertadata penunjang dari Badan Pusat Statistik, DinasKehutanan dan Badan Pengendali DampakLingkungan Daerah di Kabupaten Bengkalis.
Alat yang digunakan yakni: GPS, Kamera
Personal Computer dengan pengolah citraERDAS IMAGINE, pengolah peta Arc View 3.2dan R2V, serta MS Word dan MS Excell.
Metode
Verifikasi Hotspot
Data Hotspot dari 3 sumber yaituLAPAN, JICA, dan ASMC menunjukkan gambaransebaran dan lokasi hotspot. Data dari ketigasumber tersebut dianalisis secara deskriptifuntuk mengetahui jumlah, prosentase dankecenderungan peningkatan dan penurunan
menurut waktu (bulan dan tahun). Dengananalisis spasial menggunakan perangkat lunak Arcview 3.2. pada Tool View, Geoprocessing
Wizard, Join Table, dapat diketahui jumlah dansebaran hotspot per kecamatan.
Verifikasi dilakukan denganmembandingkan ketepatan antara lokasi hotspot yang terdeteksi dari satelit NOAA dengan hasilcek lapangan. Data cek lapangan diambil padaareal bekas terbakar dan sedang terbakar yangterjadi tidak berselang lama (Januari – Mei 2005)dari kegiatan observasi lapangan. Data hasil verifikasi lokasi kebakaran dan sebaran hotspot
kemudian dilakukan analisis spasial untukmengetahui jarak terdekat antara data verifikasidan data hotspot satelit. Satuan analisis jarakterdekat adalah batas desa pada petaadministrasi. Rata-rata jarak terdekat terkecilmenunjukkan bahwa data hotspot paling akuratmenunjukkan lokasi daerah kebakaran lahan.
Pengolahan Citra Landsat TM
Pengolahan citra mencakup tahapaninterpretasi visual citra (pemilihan kombinasiband terbaik, pra pengolahan (koreksi
geometrik, radiometrik, filtering, mosaiking danclipping), pengecekan lapangan ( ground truth), Analisis Digital (unsupervised dan supervised
classification).
Analisis Perubahan Lahan
Metode perubahan penutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalahteknik perbandingan klasifikasi (comparison
classification). Perbandingan hasil klasifikasiadalah metode deteksi perubahan lahan denganmembandingkan citra-citra yang telahdiklasifikasikan piksel demi piksel untuk
mengidentifikasi perubahan yang terjadi
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 21/41
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Hotspot terbanyak dijumpaipada sumber JICA kemudian ASMC dan terendahLAPAN. Jumlah hotspot tertinggi terjadi padatahun 2002 dimana sumber JICA mencapai
jumlah 4040, ASMC 836 dan LAPAN 467 sepertiditunjukkkan oleh Gambar 1 (A). Hotspotmeningkat mulai bulan Februari dan mencapaipuncaknya pada bulan Maret kemudian menurunpada bulan April-Mei dan meningkat kembalipada bulan Juni - Juli. Hotspot mencapai jumlahterendah atau hampir tidak dijumpai hotspotpada bulan November dan Desember dari tahun1999-2004 dari ketiga sumber.
Peningkatan dan penurunan jumlahhotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitandengan peningkatan dan penurunan jumlah
curah hujan seperti yang ditunjukkan olehGambar 1 (B). Pada saat curah hujan mengalamipeningkatan maka jumlah hotspot berkurangbahkan tidak dijumpai sama sekali yaitu mulaibulan Agustus-Desember. Sebaliknya, pada saatcurah hujan rendah jumlah hotspot tercatatdalam jumlah yang tinggi seperti pada bulan Januari – Maret dan Juni –Juli. Hal ini jugaditunjukkan oleh penelitian Soewarno (2003) yang menyebutkan bahwa rendahnya curahhujan mempengaruhi terjadinya kebakaranhutan karena menyebabkan bahan bakar dihutan relatif mudah terbakar.
Perbandingan Hotspot dari Berbagai Sumber
Perbedaan jumlah hotspot antar sumberantara lain disebabkan: Pertama, sumber JICAmemiliki jumlah hotspot relatif lebih banyakkarena memiliki threshold paling rendah yaitu
315oK (siang) dan 310oK (malam) dibandingkan
ASMC yaitu 320oK (siang) dan 314oK (malam).Sedangkan jumlah terendah diperoleh padasumber LAPAN yang memiliki threshold palingtinggi dibandingkan JICA dan ASMC yaitusebesar 322oK.
Kedua, waktu pengamatan yang
berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat et.al. (2003) lebih lanjut menjelaskan, salah satukemungkinan penyebab terjadinya perbedaan ituadalah tidak dilakukannya pengamatan padamalam hari. Sehingga banyak kejadiankebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN.Terdapat perbedaan waktu pengamatan antaraLAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanyamelakukan pengamatan (perekaman data) setiaphari dari pukul 06.00 hingga 19.00 WIB,
sementara ASMC dan JICA melakukannya selama
24 jam setiap hari.Menurut Solichin (2004), waktu lintasan
satelit sangat berpengaruh terhadappendeteksian kebakaran karena terkait dengan
adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa
tempat di Indonesia atau dengan adanyaperubahan penyebaran awan yang bergerakdalam hitungan beberapa menit, sehinggamempengaruhi kemampuan satelit dalampemantauan hotspot.
Ketiga, Menurut Hidayat et. al. (2003)kemungkinan lain adalah, sistem pengolahanhotspot LAPAN (Sea Scan) yang operasional saat
ini tidak bisa mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hotspot yangseharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan16, menjadi tidak terpantau oleh LAPAN.
Verifikasi Hotspot
Hasil verifikasi lapangan terhadap datahotspot menunjukkan adanya perbedaaansebaran dan akurasi lokasi areal kebakaran yangterjadi di lapangan. Hasil verifikasi hotspotseperti ditampilkan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, data ASMCmemiliki karakteristik data yang memilikisebaran yang luas dalam menangkap sinyal suhupermukaan bumi yang kemudian menjadiinformasi titik panas (hotspot). Hal iniditunjukkan oleh tercatatnya hotspot pada
hampir setiap desa yang telah terjadikebakaran. Bila memakai jumlah desa sebagaisatuan keakuratan hotspot maka data ASMCmempunyai tingkat keakuratan sebesar 60%, JICA; 47% dan LAPAN hanya 40%. Sedangkan bila jarak lokasi kebakaran (cek lapangan) dengancatatan lokasi hotspot dari sumber penyediadata maka sumber JICA memiliki akurasi terbaik yaitu rata-rata 1.75 km dibandingkan ASMCsebesar 4.46 km dan LAPAN sebesar 3.70 km.
Bila diterapkan dalam upayapemadaman dan investigasi kebakaran lahan,maka data ASMC sangat baik dalam skala desauntuk memberikan informasi pada tingkatorganisasi terkecil yaitu perangkat desa danmasyarakatnya. Sedangkan data JICA akan sangatmembantu mencari lokasi yang paling tepatterutama bila kebakaran terjadi pada areal yangberbatasan dalam hal kepemilikan danpengelolaan.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 22/41
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
56
(A) (B)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
J a n u
a r i
F e b r
u a r i
M a r e t
A p r i l M e
i J u n i J u
l i
A g u s t u s
S e p t e m
b e r
O k t o b
e r
N o v e
m b e
r
D e s e
m b e
r
Bulan
J u m l a h H o t
s p o t
ASMC
JICA
LAPAN
0
50
100
150
200
250
300
J an ua ri Feb ru ar i Mar et Apr il Mei J un i J ul i Agu stus Sep te mb er Oktob er No ve mb er D es embe r
Curah Hujan
Jumlah Hotspot
Gambar 1. (A) Perbandingan Jumlah Hotspot Tahunan di Kabupaten Bengkalis dari Sumber JICA, ASMC dan LAPAN,
(B) Rata-rata Curah Hujan Bulanan dan Jumlah Hotspot Bulanan di Kabupaten Bengkalis Tahun 1999 – 2000.
Tabel 1. Lokasi Verifikasi, Jumlah dan Jarak Hotspot antara Lokasi Cek Lapangan dengan Lokasi dari Penyedia Data(JICA, ASMC dan LAPAN)
No. Desa Verifikasi ASMC JH JT JVer JICA JH JT JVer LAPAN JH JT JVer
1 Petani V 1 0.44 1
2 Pematang Pudu V 2 1.9 7
3 Duri Barat V 1 2.84 3
4 Batang Serosa
5 Muara Basung
6 Tasik Serai V 17 2.19 5
7 Beringin V 6 1.83 3 V 16 2.14 3 V 37 4.53 5
8 Titian Antui V 1 17.68 1 V 3 3.03 2
9 Semunai V 2 4.43 1
10 Kuala Penaso V 3 5.62 1 V 1 7.25 1
11RimbaSekampung V 4 1.21 1
12 Senggoro V 2 4.71 1 V 16 0.27 1
13 Air Putih V 6 0.25 3 V 18 0.25 3
14 Penampi V 10 1.76 1 V 4 0.1 1 V 2 5.46 1
15 Tanjung Kapal V 8 5.67 V 25 1 1
Jumlah 9 54 16 7 84 11 6 47 19
Rata-rata 4.46 1.75 3.70
Keterangan: V : Terdapat Hotspot JH : Jumlah Hotspot JT : Jarak Hotspot Terdekat (km) antara titik cek lapangan (lokasi kebakaran) dengan sumber penyedia
data Jver : Jumlah Titik Verifikasi/Cek Lapangan
Identifikasi Lahan Terbakar dengan Citra
Landsat TM
Berdasarkan pengolahan citra dan ceklapangan diperoleh karakteristik obyek dan arealterbakar seperti disajikan pada Tabel 2.Identifikasi pada Tabel 2 tidak termasuk awan,
bayangan awan, sungai dan badan air/perairan.
Hasil identifikasi dari citra satelit dan verifikasi
dengan data hotspot menunjukkan bahwa lahanterbakar dicirikan dengan penampakan warna yang terang atau cerah. Menurut Sunuprapto(2000) kombinasi band 543 dan 453 memiliki
keunggulan dalam mendeteksi areal kebakaran.
Kombinasi 543 merupakan kombinasi yang
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 23/41
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
57
dapat menghasilkan tampilan obyek yang serupa
dengan pandangan manusia (natural color ). Band543 dapat membedakan antara obyek vegetasihidup dan vegetasi mati (terbakar). Band 453selain dapat membedakan antara vegetasi hidupdan vegetasi mati (terbakar), juga menunjukkan
tingkat intensitas kerusakan dari vegetasiterbakar.
Pemantauan Perubahan Penutupan Lahan
Telah terjadi perubahan luas penutupanlahan antara tahun 2002 dan tahun 2004.Perubahan luas penutupan lahan diperoleh dariperbandingan citra klasifikasi tahun 2002 dan
tahun 2004. Perubahan luas pada masing-masing
kelas penutupan lahan disajikan pada Gambar 2.Terjadi penurunan luas areal terbakar
antara tahun 2002 dan tahun 2004 denganpersentase penurunan sebesar 5% atau seluas
63.298,00 Ha. Disamping itu terjadi pula
peningkatan luas yang cukup besar pada tahun2004 di areal perkebunan, hutan bekas tebangan( Logged Over Area /LOA) dan tanah terbukadengan persentase masing-masing 4.63% atauseluas 58.529,34 Ha, 9.37% atau seluas118.451,10 Ha dan 13.70% atau seluas173.096,20 seperti ditunjukkan oleh Gambar 2
Tabel 2. Hasil identifikasi obyek dan areal terbakar dengan citra landsat TM di Kabupaten Bengkalis
Obyek Kombinasi Band 543 Kombinasi Band 453 Keterangan
Hutan Primer Terbakar Merah muda terang Hijau muda terang Lokasi berada di pinggiran huran,pinggir sungai dan perkebunan
Lahan Terbakar di HTI Merah muda lebihterang
Hujau muda lebihterang (bersih)
Berada di pinggir jalan, pinggir sungaidan areal pembukaan lahan.
Hutan Sekunder/HutanBekas TebanganTerbakar (LOA)
Merah muda agakkeruh
Hijau muda agakkeruh,
Berada di pinggir jalan, pinggir sungai,dekat HTI dan pembukaan lahanuntuk perkebunan
Lahan Terbakar diPerkebunan
Merah keruh Hijau keruh Berada di pinggir jalan, pinggir sungai,dekat HTI dan Logged Over Area (LOA)
Semak Belukar/LahanPertanian Terbakar
Merah mudasemakin mendekatiputih
Hijau semakinmendekati putih
Dekat jalan sungai, LOA danperkebunan.
Hutan Primer Hijau tua Coklat tua Lokasi memiliki aksesibilitas rendah,sebagian dekat sungai dan rawa
Hutan Bekas Tebangan Hijau terang Coklat terang Terdapat di pinggiran Hutan Primeratau membentuk gap di tengah hutan
HTI Hijau agak gelap Coklat agak gelap Areal terlihat teratur seperti terbagidalam petak
Perkebunan Hijau muda Coklat oranye Lokasi dekat jalan dan pinggiran hutanSemakBelukar/Pertanian
Kuning kehijauan Coklat kekuningan Lokasi dekat jalan, sungai danpemukiman
Sumber: Pengolahan Citra Landsat TM Path 059 Row 129 Tahun 2002 dan 2004
0,00
100000,00
200000,00
300000,00
400000,00
500000,00
600000,00
700000,00
Bad an A ir H ut an Per ke bu na n L OA Pem uk im an R aw a Sema k d an
Lahan
Pertanian
Lahan
Terbakar
Tanah
Terbuka
Penutupan Lahan
L u a s ( H a )
2002
2004
Gambar 2. Perubahan Luas Penutupan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2002 - 2004
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 24/41
Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
58
Di samping itu terjadi peningkatan luas
pemukiman, rawa dan badan air dengan
persentase masing-masing 1.62%, 2.71% dan
0.09%. Penurunan luas areal tebakar pada tahun
2004 diduga terjadi karena makin menurunnya
jumlah kejadian kebakaran yang dapat
diindikasikan oleh menurunnya jumlah hotspot
dari tahun 2002 – 2004.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan data hotspot
antara JICA, ASMC dan LAPAN. Akurasi
berdasarkan jumlah desa yang terpantau hotspot
untuk sumber JICA, ASMC dan LAPAN masing-
masing adalah 47%, 60% dan 40%. Sedangkan
bila jarak lokasi kebakaran (cek lapangan)
dengan catatan lokasi hotspot dari sumber
penyedia data maka sumber JICA memiliki
akurasi terbaik yaitu rata-rata 1.75 km
dibandingkan ASMC sebesar 4.46 km dan LAPAN
sebesar 3.70 km.
Berdasarkan analisis citra Landsat TM
dan data hotspot lahan terbakar dapat
diidentifikasi dengan karakteristik warna merah
muda hingga merah muda tua pada kombinasi
Band 543 dan warna hijau muda hingga hijau
muda tua pada Kombinasi Band 453. Penurunan
luas areal tebakar pada tahun 2004 diduga
terjadi karena makin menurunnya jumlah
hotspot dari tahun 2002 – 2004.
SARAN
Data hotspot ASMC dan JICA disarankan
untuk digunakan sebagai input data dalam
menunjang pengambilan keputusan
penanggulangan kebakaran gambut. Untuk itu
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mendeteksi areal kebakaran menggunakan data
citra satelit dengan resolusi spasial dan temporal
yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan2001. Perangkat Organisasi
Penanggulanagn Kebakaran Hutan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah
dalam Pelatihan Kebakaran HutanTingkat Manajemen Medan, 26 – 27 Juni 2001. Medan: Unit ManajemenLeuser
Forest Fire Prevention Management Project 2.2004. Sistem Deteksi dan PeringatanDini. http://ffpmp2.hp.infoseek.co.jp/earlypageindo.htm [23 April 2004]
Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W,Zubaedah A dan Efendy, I. 2003.Laporan Verifikasi dan Validasi MetodePemantauan Mitigasi Bencana
Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat PengembanganPemanfaatan dan TeknologiPenginderaan Jauh-LAPAN.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Status Lingkungan Hidup Daerah 2002: Kabupaten Bengkalis. www.menlh.go.id/terbaru/soe/artikel.php?article?_id=821 [12 Maret 2005]
Soewarso 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan Menggunakan Model Prediksi. [Disertasi]
Bogor: Sekolah Pascasarjana InstitutPertanian Bogor (tidak dipublikasi)
Solichin 2004. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang: South Sumatera Forest FireManagement Project (SSFFMP)Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1:2-3.
Sunuprapto H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical InformationSystems (A Case Study in South Sumatera
Indonesia). [Thesis]. Enschede TheNetherlands: Internastional Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences(ITC) (tidak dipublikasi).
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 25/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
59
MODIFIKASI MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK GAMA 1
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG HULU
(GAMA 1 SYNTHETIC UNIT HYDROGRAPH MODIFICATION
ON UPPER CILIWUNG WATERSHED)
Bejo Slamet 1), Lailan Syaufina 2), dan Hendrayanto 2)
1) Departeman Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara-Medan2) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor-Bogor
Abstract
Synthetic unit hydrograph (SUH) has been widely used to estimate unit hydrograph in ungauged watershed. Synthetic Unit Hydrograph using watershed morphometric is one of the important
method. The Gama 1 model is one of the synthetic unit hydrograph model which is developed in
Indonesia. This model is an empirical model that usually need to be validated when applied in othersdifferent watersheds. The aim of this research is to find out the best model of synthetic unithydrograph for Upper Ciliwung Watershed base on GAMA 1 SUH. The results show that to increased
the model accuration, GAMA 1 SUH need to readjust their constants of model variables.Keywords: synthetic unit hydrograph, ungauged watershed, upper Ciliwung, watershed morphometric
Abstrak
Hidrograf satuan sintetik (HSS) telah digunakan secara luas untuk menduga bentuk hidrograf satuandari suatu daerah aliran sungai yang tidak memiliki stasiun hidrometri. Hidrograf satuan yangdikembangkan dengan memanfaatkan data morfometri daerah aliran sungai (DAS) adalah salah satumetode yang penting. Gama 1 adalah salah satu model pendugaan hidrograf satuan yangdikembangkan dengan data empirik dari wilayah indonesia. Model ini merupakan model empirik yangmembutuhkan pengujian manakala digunakan pada suatu DAS yang memiliki karakteristik berbedadengan yang digunakan untuk membangun model. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmendapatkan model HSS terbaik bagi DAS Ciliwung Hulu melalui modifikasi persamaan dari model HSSGama 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memodifikasi persamaan model HSS Gama 1maka terjadi peningkatan keakuratan dalam pendugaan hidrograf satuan DAS Ciliwung Hulu.
Kata kunci: Ciliwung Hulu, daerah aliran sungai, hidrograf satuan sintetik (HSS), modifikasi
PENDAHULUAN
Daerah aliran sungai (DAS) secara umum
didefinisikan sebagai suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas
topografi (punggung bukit) yang menerima,mengunpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara
serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai
dan keluar pada satu titik (outlet). DAS
merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya
terjadi interaksi antara faktor-faktor biotik
(vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan iklim)
serta manusia dengan segala aktifitasnya.
Interaksi tersebut dinyatakan dalam bentuk
kesinambungan masukan dan keluaran yang
mencirikan keadaan hidrologis DAS tersebut.
Kualitas ekosistem suatu DAS dapat dilihat dari
output ekosistem tersebut dan secara fisik antara
lain dapat diukur dari fluktuasi debit, besarnya
erosi, sedimentasi, aliran permukaan, dan
produktifitas lahan.
Debit sungai merupakan indikator fungsi
DAS dalam pengaturan proses, khususnya dalam
transformasi (alih ragam) hujan menjadi aliran.Debit umumnya disajikan dalam bentuk hidrograf.
Hidrograf debit merupakan penyajian grafis
hubungan debit aliran dengan waktu yang
menggambarkan perilaku debit dalam kurun
waktu tertentu (Harto, 1993).
Data pengukuran tinggi muka air, debit,
hujan harian dan hujan yang lebih pendek, yang
memiliki kuantitas, kualitas, dan kontinuitas yang
baik tidak selalu tersedia di setiap DAS.
Ketiadaan data tersebut mengakibatkan
terkendalanya berbagai kegiatan yang
memerlukan data debit. Kendala tersebut dapat
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 26/41
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
60
diatasi dengan dikembangkannya bebagai model
untuk mendapatkan hidrograf dari sutau DAS
yang tidak memiliki alat ukur (stasiun hidrometri).
Salah satu metode yang umum digunakan adalah
mencari hubungan antara parameter fisik DAS
dengan bentuk hidrograf.
Seyhan (1977) mengemukakan bahwa di
dalam sistem DAS terdapat sifat khas yang
menunjukkan sifat tanggapan (respon) DAS
terhadap suatu masukan (hujan) tertentu.
Tanggapan ini diandaikan tetap untuk masukan
hujan dengan besaran dan penyebaran tertentu.
Tanggapan ini dikenal dengan hidrograf satuan
(unit hydrograph). Hidrograf satuan merupakan
hidrograf limpasan langsung (direct runoff
hydrograph) yang dihasilkan oleh hujan efektif
yang terjadi secara merata di seluruh DAS dan
dengan intensitas tetap dalam satuan waktu yang
ditetapkan. Harto (1993) mengemukakan suatu
metode untuk mendapatkan hidrograf satuan
sintetik dari suatu DAS yang tidak mempunyai
alat ukur hidrometri, metode ini dikenal dengan
Model Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama 1.
Model HSS Gama 1 dikembangkan
berdasarkan pendekatan empiris. Pendekatan
empiris seringkali bersifat setempat, sehingga
untuk digunakan di tempat lain memerlukan
pengujian keberlakuannya. Tujuan dari penelitian
ini adalah (1) mendapatkan informasi keberlakuan
model hidrograf satuan sintetik Gama 1 pada DAS
Ciliwung Hulu, dan (2) mendapatkan model
hidrograf satuan sintetik yang lebih sesuai untuk
menduga hidrograf satuan DAS Ciliwung Hulu.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung
Hulu. Penelitian dilakukan selama 7 bulan dimulai
pada bulan September 2005 hingga bulan Maret
2006. Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: Peta Rupa Bumi Digital
skala 1 : 25.000, Lembar 1209-124 Salabintana,
Lembar 1209-141 Ciawi, Lembar 1209-142
Cisarua, data tinggi muka air (TMA) jam-jaman,
data hujan jam-jaman, curvimeter, planimeter,
seperangkat PC, perangkat lunak Microsoft Excel.
Data tinggi muka air (TMA) dan curah hujan yang
dipergunakan adalah data hasil pengukuran
periode tahun 2003-2005. Model HSS Gama 1
digunakan dalam pendugaan HSS DAS Ciliwung
Hulu berikut modifikasinya.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Penentuan Hidrograf Satuan Pengukuran
Hidrograf satuan hasil pengukuranditentukan dengan cara:
1.
Pemilihan hujan tunggal yang menyebabkandirect runoff (DRO) beserta pasangan hidrogafdebitnya. Selanjutnya memisahkan aliran
dasar (base flow) dari hidrograf total sehinggadiperoleh hidrograf aliran langsung saja.Pemisahan aliran dasar dari hidrograf total
dilakukan dengan metode straight line
method.2. Menentukan besaran hujan efektif yang
membentuk hidrograf DRO denganmenggunakan persamaan yang dikemukakan
oleh Viessman et al. (1989), seperti berikut:
Hujan efektif =
( )t DROx∑ ∆
Di mana:
DRO : Aliran langsung yang terukur(m3 /s),
t ∆ : Interval waktu pengukuran (jam) A : Luas DAS (m2)
3.
Menentukan hidrograf satuan hasil
pengukuran dari DAS Ciliwung Hulu dengancara membagi setiap ordinat dari hidrografDRO yang terukur dengan hujan efektif yangmembentuk DRO.
Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama 1Parameter morfometri DAS diperoleh
dari pengukuran peta topografi skala 1 : 25.000dan perhitungan dari hasil pengukuran tersebut.Pengukuran untuk masing-masing parameter
dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali untukmendapatkan hasil pengukuran yang baik.Komponen hidrograf satuan sintetik Gama 1 yangdicari terdiri dari 4 (empat) variabel pokok yaitu: waktu naik/ time to rise (TR), debit puncak/ peak
discharge (QP), waktu dasar/ time to base (TB) dankoefisien tampungan (K), dengan persamaan-
persamaan (Harto, 1993) sebagai berikut:
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 27/41
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
61
TR = 0,43 (L/100 SF)3 + 1,0665 SIM +
1,2775
QP = 0,1836 A 0,5886 TR -0,4008 JN0,2381 ..........................................(3)
TB = 27,4132 TR 0,1457 S -0,0986 SN0,7344 RUA 0,2574
Koefisien tampungan yang dipergunakan
untuk menetapkan kurva resesi hidrograf satuandidekati dengan persamaan eksponensial sepertiberikut:K = 0,5617 A 0,1798 S-0,1446 SF -1,0897 D0,0452
Sisi resesi dinyatakan dalam bentukpersamaan eksponensial sebagai berikut:
Qt = Qp e-t/k di mana:Qt = debit dihitung pada waktu t jam setelah
Qp, dalam m3 /detikQp = debit puncak (dengan waktu pada
debit puncak dianggap t = 0), dalamm3 /detikL = Panjang maksimum sungai utama (km)SIM = WF x RUAWF = W U /W L W U = lebar DAS yang diukur di titik di sungai
yang berjarak 0,75 L dan tegak lurusdengan stasiun hidrometri
W L = lebar DAS yang diukur di titik di sungai yang berjarak 0,25 L dan tegak lurusdengan stasiun hidrometri
RUA = A U /A A U = lluas DAS yang diukur di hulu garis yang
ditarik tegak lurus garis hubung antarastasiun hidrometri dengan titik yangpaling dekat dengan titik berat DAS disungai, melewati titik tersebut.
S = perbandingan antara selisih titik
tertinggi dengan titik luaran (outlet ) diSungai utama, dengan panjang sungai
utama yang terletak pada kedua titiktersebut.
A = Luas total DAS (Km2) JN = (∑sungai orde 1) – 1SN = perbandingan antara jumlah orde sungai
tingkat satu dengan jumlah orde sungaisemua tingkat
SF = (Jumlah panjang sungai orde 1)/(Jumlahpanjang sungai semua orde)
D = Kerapatan Drainase DAS (Km/Km2)
Uji Kuantitatif HSS dengan Hidrograf Satuan
Pengukuran
Perbandingan kuantitatif antara hidrografsatuan sintetik dan hidrograf satuan pengukuranmenggunakan ukuran-ukuran yang dikemukakanoleh (Chou & Wang 2002) yaitu:
1. Coefficient of efficiency (CE):
$2
1
2
1
1
( ) ( )
( )
N
t
N
t
CE
q t q t
q t q
=
=
= −
⎡ ⎤−∑⎣ ⎦
⎡ ⎤−∑⎣ ⎦
2.
Relative error dari volume total (EV)
$
1
1
( ) ( )
( )
N
t
N
t
q t q t
EV
q t
=
=
⎡ ⎤−⎣ ⎦
=∑
∑ x 100%
3. Relative error dari debit Puncak (EQp)
$
100%q p qp
EQp xqp
−=
4. Absolute error dari Debit Puncak (ETp)^
ETp TP TP = −
Di mana $q (t) merupakan estimasi hasil simulasi
dari q(t), sedangkan q (t) merupakan nilai rata-
rata dari q(t).
Modifikasi Model
Modifikasi model dilakukan untukmendapatkan model HSS Gama 1 yang sesuaidengan hidrograf satuan pengukuran DASCiliwung Hulu. Modifikasi dilakukan denganmeminimalkan selisih antara hasil pengukurandengan hasil model melalui perubahankonstanta model HSS Gama 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran dan perhitungan
parameter morfometri DAS Ciliwung Hulu yangdipergunakan dalam memodifikasi hidrografsatuan sintetik (HSS) Gama 1 disajikan dalamTabel 1.
Komponen hidrograf satuan DASCiliwung Hulu disajikan dalam Tabel 2. Hidrograf
satuan sintetik (HSS) Gama 1 dibandingkandengan Hidrograf Satuan pengukuran di DASCiliwung Hulu periode tahun 2003 sampai 2005disajikan dalam Gambar 2. Selanjutnya hasilpengujian kuantitatif HSS Gama 1 terhadap HSpengukuran DAS Ciliwung Hulu disajikan dalamTabel 3.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 28/41
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
62
Tabel 1. Parameter Morfometri DAS Ciliwung Hulu
No. Parameter Morfometri Besaran
1 Faktor Sumber/ Source Factor (SF) 0,52872 Frekuensi Sumber/ Source frequency (SN) 0,50483 Panjang Sungai Maksimum (L) 24,46 km
4 Faktor Lebar/W idth Factor (WF) 1,9135 Luas Total DAS (A) 149,230 km2
6 Luas Relatif DAS Bagian Hulu/R elative Upstream Area (RUA) = A U /A 0,54287 Faktor simetri/ Symmetry Factor (SIM) = WF x RUA 1,03848 Jumlah Pertemuan Sungai/ Joint Frequency (JN) 2639 Kerapatan Drainase/ drainage density (D) 2,93610 Kemiringan DAS/ Slope (S) 0,1112
Tabel 2. Komponen HSS Gama 1 dan HS Pengukuran di DAS Ciliwung Hulu
Parameter HS
Pengukuran
HSS
Gama 1
Waktu Puncak (TP) 2 Jam 2,43 JamDebit Puncak (QP) 6,01 m3 /det 9,23 m3 /det
Waktu Dasar (TB) 36 Jam 20,04 Jam
Tabel 3. Hasil Uji Kuantitatif HSS Gama 1 Terhadap HS Pengukuran DAS Ciliwung Hulu.
NO. Parameter Nilai
1 Coefficient of efficiency (CE) 0,812 Relative error dari volume total (EV) 17%3 Absolute Error dari debit puncak (AEQp) 3,22 m3 /det4 Relative error dari debit puncak (EQp) 53,58%5 Absolute error dari waktu puncak (ETp) 0,43 Jam
0,00
1,002,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
0 2 3 5 7 9 1 1 1 3 1 5 1 7 1 9 2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 3 1 3 3 3 5
Waktu (Jam)
D e b i t ( m 3 / d e t )
HSS GAMA1
HS Periode 2003-2005
Gambar 2. Hidrograf satuan hasil pengukuran dan HSS Gama 1 hasil pemodelan
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil darimodel HSS Gama 1 mempunyai nilai coefficient ofefficiency (CE) sebesar 0,81. Nilai coefficient of
efficiency (CE) menunjukkan seberapa dekatbentuk hidrograf satuan sintetik menyerupai
bentuk hidrograf satuan hasil pengukurannya.Nilai CE semakin mendekati 1 (satu) makahidrograf satuan sintetik mempunyai bentuk yangsama dengan hidrograf satuan hasil pengukuran
(Chou & Wang 2002). Nilai ini memperlihatkan
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 29/41
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
63
bahwa pemodelan HSS Gama 1 di DAS Ciliwung
Hulu masih menunjukkan perbedaan yang cukupsignifikan dengan hidrograf satuanpengukurannya. Selain itu ditinjau dari besarnyanilai relative error volume total (EV) masih cukupbesar yaitu sebesar 17%. Nilai EV semakin
mendekati 0 (nol) maka model akan semakin baiktingkat keakuratannya. Nilai EV 0 (nol) berarti volume hidrograf satuan sintetik hasil modeldengan hidrograf satuan pengukuran tidakberbeda (Chou & Wang 2002).
Parameter uji lain yang menunjukkanbahwa HSS Gama 1 masih belum baik dalammenduga hidrograf satuan di DAS Ciliwung Hulu
adalah nilai relative error debit puncak (EQp) yangmasih tinggi yaitu sebesar 53,58%. Hal ini berartiperbedaan antara besarnya debit puncak antaraHSS Gama 1 dengan hidrograf satuan
pengukuran masih tinggi. Besaran debit puncakdalam analisis hidrologi merupakan parameter yang sangat penting, sehingga model hidrografsatuan sintetik Gama 1 perlu disesuaikan agarpendugaannya mempunyai tingkat keakuratan
yang tinggi.Besarnya absolute error waktu puncak
(ETp) juga masih cukup tinggi. Hasil pemodelandengan HSS Gama 1 diperoleh hasil besarnyaperbedaan antara waktu puncak hidrograf satuansintetik dengan waktu puncak hidrograf satuanpengukuran masih berada diatas 25 menit (0,43 jam). Nilai ETp yang cukup tinggi dapat
diakibatkan oleh karena pembuatan selang waktupengamatan debit pengukuran yang cukup lama yaitu setiap 1 jam. Selang pengamatan jam-jamanini yang menyebabkan perbedaan waktu puncakhidrograf dengan waktu puncak hasil pengukuran
menjadi cukup lama. Pengamatan dengan selang waktu yang lebih pendek diharapkan dapatmemperbaiki nilai ETp.
Gambar 2 dan Tabel 3 menunjukkanbahwa model HSS Gama 1 masih menunjukkan
adanya penyimpangan dari HS pengukuran.
Penyimpangan terutama untuk parameter debitpuncak dan waktu puncak. Untuk mendapatkanmodel pendugaan hidrograf satuan yang lebihsesuai di DAS Ciliwung Hulu, dilakukanpenyesuaian model HSS Gama 1 denganhidrograf satuan pengukuran dengan merubahkonstanta model
Hasil modifikasi dari model HSS Gama1 dengan cara merubah konstanta masing-masing persamaan didapatkan model barudengan masing-masing persamaan sebagaiberikut:
HSS Gama 1 Modifikasi
0,4296
3,0004
0,8737 1, 0918
100
TR L
SIM
SF
= + +⎛ ⎞⎜ ⎟⎝ ⎠
0,22490,5768 0,40240,1264QP A TR JN
−=
0,1697 1,09700,2371 0,05750,5820 K S SF D
− −=
/5,9247.
t Qt Qp
e
−=
0,3898 0,6438 0,17640,237627,4180TB S SN RUATR
−=
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
0 3 6 9 1 2 1 5 1 8 2 1 2 4 2 7 3 0 3 3 3 6 3 9 4 2
Waktu (Jam)
D e b i t ( m 3 / d e t )
HS Pengukuran
HSS Gama 1
HSS Modifikasi
Gambar 3. Bentuk Hidrograf satuan sintetik setelah dilakukan modifikasi dan hidrograf satuan hasil pengukuran
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 30/41
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
64
Tabel 4. Perubahan nilai parameter uji kuantitatif model HSS Gama 1 yang telah dimodifikasi terhadap HSrata-rata pengukuran
Model
NO. ParameterHSS Gama 1
HSS
Modifikasi
1 Coefficient of efficiency (CE) 0,81 0,992 Relative error dari volume total (EV) 17% -1%3 Absolute error dari debit puncak (AEQp) 3,22 m3 /det 0 m3 /det4 Relative error dari debit Puncak (EQp) 53,58% 0,00%5 Absolute error dari waktu Puncak (ETp) 0,43 Jam 0 jam
Bentuk hidrograf satuan sintetik untukDAS Ciliwung Hulu setelah dilakukan modifikasiterhadap model HSS Gama 1 disajikan dalamGambar 3. Selanjutnya analisis uji kuantitatifbagi kedua set model tersebut dapat dilihatpada Tabel 4.
Modifikasi terhadap model HSS Gama 1
memberikan hasil pendugaan bentuk hidrografsatuan DAS Ciliwung Hulu dengan sangatmemuaskan. Nilai Coefficient of efficiency (CE)semakin mendekati 1 (satu) yang berarti hidrografhasil simulasi mempunyai bentuk yang hampirsama dengan hidrograf satuan pengukuran.Penyesuaian konstanta model semakinmeningkatkan tingkat keakuratan pendugaan
yang dapat dilihat dari perbaikan nilai relativeerror volume total (EV) yang semula sebesar 17%menjadi -1%. Hal ini menunjukkan bahwa antarahidrograf satuan hasil pengukuran dengan HSSModifikasi tidak terjadi perbedaan volume.
Penyesuaian konstanta model jugameningkatkan ketelitian dalam mendugabesarnya debit puncak yaitu terjadi perubahannilai EQp dari 53,58% menjadi 0,00% atau yangtadinya terjadi perbedaan absolut debit puncaksebesar 3,22 m3 /det menjadi tidak terjadiperbedaan debit puncak. Dengan kata lain debitpuncak HS pengukuran dengan HSS Modifikasitidak berbeda. Modifikasi model terhadap HSSGama 1 juga meningkatkan keakuratanpendugaan waktu puncak yang ditunjukkan olehperubahan nilai ETp dari 0,43 jam menjadi 0 jam, yang berarti setelah penyesuaian konstanta model
tidak terjadi perbedaan antara waktu puncak HSSdengan waktu puncak hidrograf satuanpengukuran. Berdasarkan nilai-nilai parameter ujikuantitatif tersebut maka model HSS Gama 1Modifikasi dapat diterapkan di DAS Ciliwung Huludengan tingkat keakuratan yang tinggi.
Hasil pendugaan dari model modifikasi yang lebih baik ini dimungkinkan oleh adanyakondisi-kondisi tertentu dari parameter DASCiliwung Hulu yang belum tercakup pada saatModel HSS Gama 1 dikembangkan. Singh (1981)mengemukakan bahwa informasi tambahanberikut data fisik dan data lainnya memungkinkan
untuk dilakukannya modifikasi terhadap suatu
model hidrograf satuan jika memang dianggapdiperlukan. Hidrograf satuan sintetik akan dapatdipergunakan untuk menduga hidrograf satuandari suatu DAS jika menggunakan data yangrepresentatif/mewakili kondisi DAS tersebut(Hoffmeister dan Weisman (1977). Dengan katalain penyesuaian terhadap suatu model dengan
menggunakan data dari DAS yang bersangkutanakan meningkatkan keakuratan model. Halsenada juga sesuai dengan apa yang diungkapkanoleh Harto (2000) di mana model yangdikembangkan dari DAS dengan karakteristik yang berbeda akan menyebabkan penyimpangan yang cukup besar dalam menduga hidrografsatuan dibandingkan dengan model yangdikembangkan dari data DAS-DAS yangmempunyai karakteristik hampir serupa denganDAS yang mau diduga hidrograf satuannya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Penerapan Model HSS Gama 1 di DAS
Ciliwung Hulu masih memberikan hasil yangcukup berbeda dengan HS pengukuran yang ditunjukkan oleh nilai c oefficient ofefficiency (CE) sebesar 0,81 dan nilai relativeerror dari debit puncak (EQp) sebesar 53,58%.
2.
Modifikasi terhadap Model HSS Gama 1mampu meningkatkan keakuratanpendugaan yang ditunjukkan oleh nilaic oefficient of efficiency (CE) sebesar 0,99 dannilai relative error dari debit puncak (EQp)
sebesar 0,00%.
Saran
1. Perlu penelitian lanjutan denganmemanfaatkan hidrograf debit denganselang waktu yang lebih pendek untukmeminimalkan perbedaan antara waktupuncak HSS dengan waktu puncak hasilpengukuran.
2.
Perlu pengujian lagi terhadap model HSSGama 1 dengan menggunakan DAS yanglainnya terutama DAS-DAS di luar Pulau Jawa.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 31/41
Modifikasi Model Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1…
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
65
DAFTAR PUSTAKA
Chou CM, Wang RY. 2002. On-line Estimation of
Unit Hydrograph Using The Wavelet-Based LMS Algorithm. Hydrol Sci. 47 (5): 721-738.
Harto, S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama.
Harto. S. 2000. Hidrologi: Teori, Masalah, Penyelesaian. Yogyakarta: Nafiri Offset.
Hoffmeister, G and R. M. Weisman. 1977. Accuracy of Synthetic Hydrographs Derived
From Representative Basins. Hydrol Sci. XXII, 2 6/1977
Seyhan E. 1977. Dasar- Dasar Hidrologi. SubagyoS, penerjemah; Prawirohatmodjo S,editor. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity. Terjemahan dari:
Fundamentals of Hydrology.
Singh, K. P. 1981. Derivation and Regionalizationof Unit Hydrograph Parameters for Illinois
(Dam Safety Program). SWS ContractReport 258. Illinois Institute of NaturalResources. USA.
Viessman W, Lewis GL, Knapp JW. 1989. Introduction to Hydrology. Ed Ke-3. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 32/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
66
SIFAT DASAR PEREKAT LIKUIDA KAYU DARI BEBERAPA JENIS KAYU
(CHARACTERISTIC OF WOOD LIQUID ADHESIVES FROM SEVERAL WOOD SPECIES)
Iwan Risnasari1) dan Surdiding Ruhendi 2)
1) Departeman Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara-Medan,Email: [email protected]
2)Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor-Bogor
Abstract
Sawdust wood wastes could be converted into adhesives through liquefaction by phenol. Wood liquidsmade of Jati (Tectona grandis), Damar (Agathis spp) and Keruing (Dypterocarpus spp) sawdust wasinvestigated. The quality of wood liquids in terms of specific gravity, viscocity, pH, resin solid content,gelating time and colour was compared to Phenol Resorsinol Formaldehyde (PRF) as a standard. These
three species of wood were chosen based on the extractive content representation which was high for Jati, medium for Keruing and low for Damar. Wood in the form of sawdust (40 mesh) was liquefied inphenol (wood: phenol = 1 : 5 (w/w)) at 100oC for 30 minute, adding NaOH and finally addingformaldehyde with F/P ratio of 2.1. The aim of this research is to find out the effect of extractive of wood waste to quality of wood liquids. Research resulst indicated, that specific gravity, viscocity andresin solid content of wood liquids were very close to those of PRF, except gelating time was shorterand the colour which was darker. Between species of wood shown that the higher the extractivecontent the longer the gelating time and the higher the solid content. Meanwhile the average value ofspecific gravity, color and pH were almost the same. The extractive content implies the quality of wood liquids.
Keywords: adhesive, extractive, liquefaction, wood liquids
Abstrak
Limbah kayu berupa serbuk kayu (sawdust) berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku perekatmelalui metode liquifikasi kayu dengan fenol. Likuida kayu dibuat dari jenis kayu jati, keruing dan
agatis. Kualitas kayu berupa berat jenis, viskositas, pH, kadar padatan, waktu gelatinasi, dan warnadibandingkan dengan Phenol Resorsinol Formaldehyde (PRF) sebagai standar. Ketiga jenis kayu inidipilih berdasarkan kadar zat ekstraktif yang dikandungnya, yaitu tinggi untuk jati, sedang untukkeruing dan rendah untuk agatis. Kayu dalam bentuk serbuk (40 mesh) diliquifikasi dengan fenol (kayu:
fenol = 1 : 5 (w/w) pada temperatur 100oC selama 30 menit. Kemudian dilakukan penambahan sodiumhidroxida dan formalin dengan molar rasio F/P = 2,1. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahuipengaruh kandungan zat ekstraktif pada limbah kayu terhadap kualitas likuida kayu yang dihasilkan.Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa berat jenis, viskositas dan kadar likuida kayu mendekati PRF,kecuali waktu gelatinasi yang pendek dan warna yang gelap. Tingginya kadar ekstraktif menunjukkan
tingginya waktu gelatinasi dan kadar padatan. Sementara nilai rata-rata berat jenis, warna, dan pHhampir sama. Kadar zat ekstraktif mempengaruhi kualitas dari likuida kayu yang dihasilkan. Senyawalain yang juga berperan penting dalam mempengaruhi kualitas perekat tersebut adalah terpena dandamar.Kata kunci: perekat, ekstraktif, liquifikasi, likuida kayu
PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia terhadap kayu
sebagai bahan bangunan hingga peralatan rumah
tangga akan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan
berkembangnya teknologi. Namun peningkatan
kebutuhan ini tidak diimbangi oleh ketersediaan
bahan kayu tersebut. Marimin et a.l (2000)
mengungkapkan bahwa kebutuhan kayu pada
tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 51 juta
m3, sementara data dari Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan (2004) menunjukkan bahwa
produksi kayu bulat pada tahun 2004 hanya
sebesar 13.548.938 m3. Berdasarkan data hasil
perhitungan tersebut maka dapat dilihat bahwa
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 33/41
Sifat Dasar Perekat Likuida Kayu dari Beberapa Jenis Kayu...
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
67
kesenjangan antara demand dan supply kayu bulat
Indonesia cukup besar dan ada kecenderungan
semakin lama semakin besar.
Di lain pihak, pemanfaatan kayu solid
yang ada hingga saat ini masih belum efisien.
Hal ini ditunjukkan oleh tingginya volume
limbah yang dihasilkan, baik limbah yang
dihasilkan dari kegiatan penebangan maupun
limbah dari industri pengolahan kayu. Melihat
fenomena tersebut, maka jalan keluar yang
dapat dilakukan adalah dengan mengurangi
ketergantungan terhadap penggunaan kayu solid
dengan cara mensubstitusi penggunaan kayu
solid tersebut dengan bahan lain yang
mempunyai potensi besar. Bahan lain yang
mempunyai potensi cukup besar tersebut adalah
limbah kayu dan limbah yang berbahan
lignoselulosa lain seperti limbah hasil pertanian
dan perkebunan yang juga menimbulkan masalah
cukup serius dalam hal penanggulangannya. Bahan-
bahan berlignoselulosa tersebut dapat diolah
menjadi suatu produk yang dapat menggantikan
kedudukan kayu solid, yaitu produk papan
komposit. Istilah papan komposit adalah produk
kayu yang terbuat dari potongan yang lebih kecil
dan direkat bersama-sama (Bodig dan Jayne,
1982; Maloney, 1996). Penggunaan istilah
komposit kayu saat ini meliputi produk panel-
panel kayu, molded products, in-organic-bonded
products, dan produk kayu lainnya (Bao dan
Eckelman, 1995).Untuk menghasilkan produk-produk
tersebut, maka mutlak diperlukan adanya
perekat (adhesive), yaitu suatu substansi yang
dapat menyatukan dua buah benda atau lebih
melalui ikatan permukaan. Sehingga di masa
mendatang kebutuhan perekat akan semakin
meningkat. Namun industri perekatan di
Indonesia saat ini belum mampu memenuhi
kebutuhan pasar. Dengan demikian perlu
dilakukan upaya-upaya untuk dapat
menghasilkan perekat alternatif yang dapat
menggantikan perekat sintetis yang ada saat ini.Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu
dengan mengkonversi serbuk kayu dengan
proses kimia sederhana, di mana produk perekat
yang dihasilkannya dikenal dengan likuida kayu.
Likuida kayu merupakan hasil reaksi antara
lignin yang ada dalam serbuk kayu dan senyawa
aromatik alkohol pada suhu tinggi, sehingga
didapatkan suatu larutan yang dapat digunakan
sebagai perekat (Ruhendi et al, 2000). Teknologi
ini akan sangat bermanfaat, karena selain dapat
menghasilkan produk perekat alternatif yang
dapat mensubstitusi penggunaan perekat sintetis
tetapi juga dapat mengatasi permasalahan limbah
yang melimpah saat ini. Limbah yang mengandung
lignoselulosa yang tersedia tentunya sangat
beragam dari segi jenis kayu yang merupakan
sumber limbah tersebut. Kondisi yang demikian
akan menghasilkan kualitas perekat yang
dihasilkan berbeda-beda sesuai dengan jenis
limbah kayu yang digunakan.
Dengan demikian perlu untuk
mengetahui pengaruh zat ekstraktif yang ada
didalam limbah kayu terhadap kualitas perekat
yang dihasilkan. Pengaruh zat ekstraktif ini
dapat diketahui jika limbah-limbah kayu yang
digunakan memiliki kandungan zat ekstraktif
yang berbeda nyata, yaitu sesuai dengan
klasifikasi zat ekstraktif (rendah, sedang dan
tinggi).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan bahan baku
berupa serbuk kayu berukuran 40 mesh yang
memiliki kandungan zat ekstraktif berbeda dari
jenis kayu jati, keruing dan agatis. Bahan lainnya
adalah larutan fenol teknis, formalin NaOH 40%,
H2SO4 98% dan aquades.
Proses pembuatan likuida kayu dimulai
dengan persiapan bahan baku berupa serbuk
kayu berukuran 40 mesh dan penentuan kadar
air setiap jenisnya. Serbuk kayu tersebut siap
digunakan setelah kadar airnya mencapai ± 5%.Selain itu juga ditentukan kadar ekstraktif
masing-masing jenis dengan menggunakan
metode kelarutan dalam air dingin.
Serbuk kayu berukuran 40 mesh dengan
kadar air ± 5% dari masing-masing jenis
disiapkan untuk dimodifikasi dengan cara
mencampurkan serbuk kayu dengan larutan
fenol teknis dengan perbandingan 1 : 5
berdasarkan berat. Kemudian dilakukan
penambahan H2SO4 98% sebanyak 5% dari jumlah
larutan fenol. Campuran diaduk hingga merata
dan dipanaskan pada suhu 1000C selama ± 30menit atau sampai larutan menjadi homogen.
Larutan yang sudah homogen tersebut
didinginkan dan siap digunakan sebagai likuida
kayu.
Perekat utama hasil liquifikasi dicampur
dengan NaOH 40% sampai pH-nya menjadi 11,
kemudian ditambahkan formalin pada molar
rasio F/P : 2.1. Selanjutnya perekat yang telah
jadi siap diaplikasikan pada produk.
Analisis kualitas perekat berupa berat
jenis, viskositas, kadar padatan, waktu gelatinasi
dan derajat keasaman (pH) dilakukan
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 34/41
Sifat Dasar Perekat Likuida Kayu dari Beberapa Jenis Kayu...
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
68
berdasarkan standar SNI 06-0121-1987
mengenai kualitas perekat fenol formaldehid.
Berat Jenis ditentukan dengan
memasukkan aquades ke dalam piknometer 50
ml yang telah dikeringkan dan diketahui
beratnya. Kemudian ditimbang. Setelah air
dibuang dan piknometer dikeringkan, maka
sampel perekat dimasukkan ke dalam
piknometer dan ditimbang.
Viskositas perekat ditentukan dengan
memasukkan perekat ke dalam gelas piala 100
ml dan diaduk hingga tidak ada udara di dalam
perekat tersebut. Bandul atau rotor dari alat
viskotester dimasukkan ke dalam perekat hingga
alat menunjukkan nilai yang konstan.
Derajat Keasaman (pH) diketahui dengan
memasukkan perekat ke dalam gelas piala 100
ml, kemudian dicelupkan ujung kertas lakmus
pada perekat tersebut. Setelah itu dilihat
perubahan warna yang terjadi pada kertas
lakmus yang menunjukkan nilai pH tertentu.
Kadar Padatan ditentukan dengan
menimbang masing-masing sampel perekat ke
dalam wadah yang sudah diketahui beratnya dan
dioven pada suhu (103 ± 2) 0C selama 24 jam.
Setelah dikeluarkan dari oven, sampel perekat
segera dimasukkan ke dalam eksikator sampai
dingin kemudian ditimbang.
Waktu Gelatinasi ditentukan dengan cara
contoh uji perekat dimasukkan ke dalam tabung
reaksi 100 ml dengan catatan waktu saat ini (To).
Tabung reaksi dan perekat dimasukkan ke dalam
water bath dengan suhu 900C. Sampel
diperhatikan dengan seksama sampai terjadi
suatu ketidaknormalan yang dapat berupa
perubahan viskositas, pengerasan atau
perubahan warna.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ekstraksi terhadap ketiga jenis
serbuk kayu dengan metode kelarutan air dingin
menunjukkan nilai 4,29% untuk jati, 2,12% untukkeruing dan 0,6 untuk agatis. Perekat yang
dibuat dari ketiga jenis serbuk dengan
kandungan zat ekstraktif yang berbeda tersebut
mempunyai sifat-sifat seperti pada Tabel 1.
Berat Jenis
Berat jenis dari likuida kayu yang
dihasilkan berkisar antara 1,23 – 1,25, di mana
nilai tersebut lebih besar dari nilai standar berat
jenis untuk perekat fenol formaldehida yaitu
sebesar 1,194. Berat jenis yang paling tinggi
dihasilkan dari perekat likuida kayu agatis. Hal
tersebut diasumsikan karena serbuk agatis lebih
bersifat volumenous dibandingkan serbuk kayu
lainnya, sehingga dapat menambah berat
perekat.
Viskositas
Tabel 1 memperlihatkan nilai viskositas
perekat likuida kayu jati dan keruing termasuk
ke dalam kisaran viskositas yang dipersyaratkan
berdasarkan SNI 06-0121-1987 untuk perekat
fenol formaldehid, sedangkan perekat likuida
kayu agatis tidak memenuhi persyaratan. Nilai
viskositas dari perekat likuida kayu jati dan
keruing tidak jauh berbeda meskipun keduanya
memiliki kandungan zat ekstraktif yang berbeda.
Namun untuk perekat dari serbuk agatis yang
memiliki kandungan zat ekstraktif lebih rendah
mempunyai nilai viskositas yang lebih tinggi
dibandingkan perekat lainnya. Hal tersebut
diasumsikan, meskipun serbuk kayu agatis
memiliki kandungan zat ekstraktif yang lebih
rendah, namun disisi lain agatis yang termasuk
jenis conifer memiliki kandungan senyawa-
senyawa lain seperti terpena dan damar.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Lee
(2000) di China, bahwa perekat yang dihasilkan
dari liquifikasi terhadap serbuk kayu China fir
(Cunninghamia lanceolata) dengan menggunakan
katalis H2SO4 mempunyai nilai viskositas yang
tinggi serta waktu gelatinasi yang lebih pendek.
Disamping faktor kandungan senyawaterpena dan damar, faktor berat jenis kayu juga
berpengaruh. Dengan berat yang sama antara
serbuk kayu agatis dengan serbuk kayu jati dan
keruing, namun karena berat jenis kayu agatis
lebih rendah daripada berat jenis kayu jati dan
keruing, maka volume serbuk kayu agatis lebih
besar daripada serbuk kayu lainnya (hampir dua
kalinya). Viskositas yang tinggi juga disebabkan
oleh residu serat kayu agatis setelah liquifikasi
lebih tinggi.
Viskositas tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan penetrasi perekat dan pembasahan olehperekat. Penetrasi dan pembasahan berlangsung
bersama-sama antara kayu dengan perekat yang
dipakai. Semakin kecil viskositas perekat, maka
semakin besar kemampuan perekat untuk
mengalir, berpindah dan mengadakan penetrasi
dan pembasahan. Dengan demikian maka
kualitas perekatan akan meningkat sampai pada
batas keenceran tertentu, karena perekat yang
terlalu encer akan menurunkan nilai keteguhan
reka
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 35/41
Sifat Dasar Perekat Likuida Kayu dari Beberapa Jenis Kayu...
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
69
Tabel 1. Sifat-sifat dasar perekat likuida kayu
Jenis Serbuk KayuNo. Pengujian
Jati Keruing Agatis
SNI 06-0121-1987
1.2.
3.4.5.6.
Berat Jenis Viskositas (Poise)
Derajat Keasaman (pH)Kadar Padatan (%)Waktu Gelatinasi (menit)Warna
1,234,7
11,059,7415:20Cairanhitam
1,224,2
11,063,0413:25Cairanhitam
1,256,4
11,062,797:10
Cairanhitam
1,1940,5 – 5 poise
Minimal 7Minimal 42%3 – 30 menit
Cairan coklat kehitaman
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman perekat dari ketigaserbuk kayu seragam karena sebelum ditambahkanformalin, pH sudah diatur dengan menambahkanNaOH 40% sampai mencapai pH 11.
Dalam proses pembuatannya likuida
kayu di atur ber-pH tinggi karena menurutKollman et al (1975) dalam Ruhendi (2000), pH yang sangat rendah dapat menyebabkankerusakan pada kayu. Selain itu derajatkeasaman tinggi pada perekat mempunyai duafungsi, yaitu untuk membersihkan permukaan kayu yang akan direkat dengan cara melarutkankontaminan yang ada dan untuk mengembangkan zatkayu serta membuka struktur dinding sel sehinggaakan memperbaiki penetrasi dari perekat.
Kadar Padatan
Kadar padatan dari semua jenis perekat
likuida kayu memenuhi standar SNI 06-0121-1987 untuk perekat fenol formaldehida yaituminimal 42%. Kadar padatan paling tinggi adalahdari jenis serbuk kayu keruing, karenadibandingkan serbuk kayu jati yang memilikikandungan zat ekstraktif lebih tinggi dan kayuagatis dengan senyawa damarnya, maka lebihbanyak zat yang tidak dapat menguap pada kayukeruing.
Ikatan rekat maksimum dapat terjadi jika perekat dapat membasahi semua permukaankayu sehingga terjadi kontak antara molekulperekat dan molekul kayu yang pada akhirnyaakan mempunyai daya tarik intermolekul lebihbaik.
Waktu Gelatinasi
Waktu gelatinasi adalah waktu yangdibutuhkan perekat untuk mengental ataumembentuk gel, sehingga tidak dapat digunakanlagi setelah dicampur atau ditambah bahan lainseperti katalis. Waktu gelatinasi dari ketigalikuida kayu memenuhi standar yangdipersyaratkan oleh SNI 06-0121-1987 untukperekat fenol formaldehida yaitu 3 – 30 menit.
Waktu gelatinasi yang paling singkat
adalah perekat dari serbuk kayu agatis, yaitu 7menit 10 detik. Hal ini diakibatkan oleh volumeserbuk kayu agatis yang lebih besardibandingkan dengan volume serbuk kayu agatisdan keruing untuk berat yang sama. Sehinggadengan bertambahnya volume serbuk akan
mengurangi jumlah pelarut di dalam perekat,dengan demikian perekat likuida kayu agatis
membutuhkan waktu yang lebih cepat untukmengental atau membentuk gel sehingga tidakdapat digunakan lagi.
Warna
Warna dari ketiga likuida kayumempunyai penampakan yang relatif sama, yaituberwarna hitam. Sedangkan perekat fenolformaldehida berwarna coklat kehitaman.Warna hitam pada likuida kayu disebabkan olehlignin pada kayu dan bahan kimia lain yang
merupakan hasil konversi komponenholoselulosa pada kayu akibat kombinasiperlakuan panas dan kimia. Pada likuida kayudari serbuk kayu agatis warnanya agak mengkilatsetelah perekat tersebut mengering. Tidakdemikian halnya dengan perekat dari serbukkayu jati dan keruing yang cenderung agakkusam setelah mengering. Diduga karena adanyasenyawa damar pada serbuk kayu agatis yangmembuatnya berwarna hitam mengkilat.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil darihasil penelitian ini antara lain:1. Untuk berat jenis, derajat keasaman, kadar
padatan, dan waktu gelatinasi dari ketigaperekat likuida kayu memenuhi standar yangdipersyaratkan oleh SNI 06-0121-1987 untukperekat fenol formaldehida.
2. viskositas pada perekat likuida kayu agatistidak memenuhi persyaratan SNI 06-0121-1987 untuk perekat fenol formaldehida.
Dari rata-rata nilai parameter penentu
kualitas perekat likuida kayu, kandungan zat
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 36/41
Sifat Dasar Perekat Likuida Kayu dari Beberapa Jenis Kayu...
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
70
ekstraktif pada masing-masing jenis kayu tidak
menunjukkan perbedaan di dalam sifat-sifatdasar perekat.
DAFTAR PUSTAKA
Bao Z and CA Eckelman. 1995. Fatique Life and Design Stresses for Wood Composites Usedin Furniture. Forest Product Journal. 45(7/8). 59-63.
Bodig J. and BA Jayne. 1982. Mechanics of Wood
and Wood Composites. Van NostrandReinhold Company. New York.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
2004.http://www.dephut.go.id/informasi/stati
stik/2004/BPK/IV_2_1.pdf
Lee W. 2000. Liquefaction of Wood Residue and Its
Utilization.Http://www.qcc.ntu.edu.tw/NSC2000/webdata/G1/A-EP204.doc (18-03-2003)
Maloney TM. 1996. The Family of Wood
Composites Material. Forest Product Journal. 46. 2. 19-26.
Marimin, MY Massijaya, A Hermawan, Kusnanto,
Muslich, Mudjijanto. 2000. Analisis
Supply Demand Hasil Hutan Kayu. LembagaPenelitian IPB Bekerjasama denganDirektorat Jenderal Pengusahaan HutanProduksi Departemen Kehutanan dan
Perkebunan.
Ruhendi S, F Febrianto dan N Sahriawati. 2000.
Likuida Kayu untuk Perekat Kayu Lapis Eksterior . Jurnal Ilmu Pertanian Industri.9(1).
Sahriawati N. 2000. Liquifikasi Serbuk Tiga Jenis Kayu dan Pemanfaatannya dengan FillerTepung Sekam untuk Perekat Kayu Lapis
Meranti Merah (Shorea sp). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan.
Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Standar Nasional Indonesia. 1987. Kualitas
Perekat Fenol Formaldehida. SNI 06-0121-1987. Indonesia.
Vick CB. 1999. Adhesive Bonding of Wood Material.Chapter: IX. Wood Handbook, Wood as an
Engineering Material. Forest ProductSociety. USA
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 37/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
71
PERONEMAForestry Science Journal
Volume 2, No. 2, September 2006 ISSN: 1829-6343
Indeks Penulis
Authors-Co Authors Index
Hendrayanto 59Risnasari, I. 66Ruhendi, S. 66
Slamet, B. 59Suhartana, S. 37
Syaufina, L. 59Thoha, A.S. 53Ulya, N.A. 45 Yuniawati 37
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 38/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
72
PERONEMAForestry Science Journal
Volume 2, No. 2, September 2006 ISSN: 1829-6343
Subject Index
adhesive 66
Cobb-Duoglas 45detection 53extractive 66feller posture 37
hotspot 53industrial timber plantation 45
liquefaction 66peatland fire 53
production cost 37
productivity 37systhetic unit hydrograph 59technical efficiency 45timber utility efficiency 37
ungauged watershet 59upper Ciliwung 59
watershed morphometric 59 wood liquids 66
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 39/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
73
Peronema
Forest Science Journal
Mengucapkan terima kasih atas kesediaan Mitra Bestari berikut dalam mengoreksi
naskah yang diterbitkan pada
Vol.2, No.2, 2006
Very grateful to reviewers below for the participating to review this articles
that published in this edition
Prof. Dr. Ir. Elias
(Pemanenan Hutan – IPB Bogor)
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr(Kebakaran Hutan dan Lahan – IPB Bogor)
Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS
(Ekonomi Sumberdaya Hutan – IPB Bogor)
Dr. Ir. Muh.Yusram Massijaya, MS
(Biokomposit – IPB Bogor)
Muhdi, S.Hut., MSi
(Pemanenan Hutan – USU Medan)
Onrizal, S.Hut., MSi
(Ekologi Hutan – USU Medan)
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 40/41
Peronema Forestry Science Journal Vol.2, No.2, September 2006, ISSN 1829 6343
74
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
Umum
a. Artikel harus tulisan asli yang merupakan hasil penelitian di bidang kehutanan yang belum pernahdimuat di dalam jurnal ilmiah manapun, bisa menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris.b. Penulis adalah siapa saja yang berlatar belakang, berkecimpung, atau berminat dalam bidang
kehutanan.c. Semua artikel yang masuk akan ditelaah oleh penyunting dan mitra bestari (reviewer ) sebelum
dimuat. Penyunting berhak mengubah kalimat, ejaan, tata letak, dan perwajahan tanpa mengubah
isi sebenarnya. Mitra bestari (reviewer ) berhak menolak artikel yang dianggap tidak layakdipublikasikan.
d. Setiap artikel yang dimuat akan dikenakan biaya pengganti biaya cetak yang akan ditentukankemudian.
e. Tanggung jawab atas isi tulisan yang dimuat tetap berada pada penulis.
Teknisa. Artikel diketik rapi dengan pengolah kata MS Word huruf Times New Roman 11 berjarak 1,5 spasi
pada kertas A4, maksimal 10 halaman termasuk tabel dan gambar, tidak ada catatan kaki, judul
dan subjudul diketik tebal (bold ) dan diserahkan kepada redaksi dalam bentuk hardcopy atau file elektronik melalui:
Alamat redaksi Peronema Forest Science Journal Jurusan Kehutanan - Universitas Sumatera Utara
Jl. Tri Dharma Ujung No.1 Kampus USU Medan 20155
Telp. 061-8220605 Fax. 061-8201920atau
E-mail: [email protected]
b. Artikel meliputi urutan sebagai berikut: Judul (dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia), nama,
pekerjaan, dan alamat penulis (termasuk email jika ada), Abstract dalam bahasa Inggris dengan
maksimal 5 (lima) keywords, Abstrak dalam bahasa Indonesia dengan maksimal 5 (lima) kata kunci,Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila
perlu), Daftar Pustaka, dan tidak ada lampiran. c. Pustaka yang ditulis pada daftar pustaka hanya pustaka yang dikutip dalam teks. Penulisan sumber
tulisan dalam teks yang ditulis oleh satu atau dua orang dinyatakan dengan penulis dan tahun—misalnya, Jones (1997) atau (Jones, 1997), (Husaeni dan Suparman, 1999) atau Husaeni danSuparman (1999) tergantung pada susunan kalimat. Komunikasi pribadi ( personal communication)
dan data yang tidak diterbitkan, tidak dicantumkan dalam daftar pustaka, tetapi dicantumkandalam teks, contoh (Susanto, data tidak dipublikasikan, 1999)
d. Daftar pustaka harus memuat semua pustaka yang ada dalam teks artikel. Daftar pustaka disusunberdasarkan sistem nama dan tahun. Format seperti contoh:
Buku:Pizzi, A.1994. Advance Wood Adhesive Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.Hunt, G.M. & G.A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Akademika Pressindo. Jakarta. (Terjemahan).
Artikel Jurnal:
Saayman, H.M & J.A.Oatley. 1976. Wood Adhesive from Wattle Bark Extract. For.Prod.J .26 (12): 27-33.
Situs web:
FAO.2001. Deforestation continues at high rate in tropical areas; FAO calls uppon countries tofight forest crime and corruption.
http://www.fao.org/WAICENT/OIS/PRESS_NE/PRESENG/2001/pren0161.htm [ 10 Juli 2003].
7/23/2019 Kehutanan _Peronema_ Vol_ 2 No_ 2 Sept_ 2006
http://slidepdf.com/reader/full/kehutanan-peronema-vol-2-no-2-sept-2006 41/41
75
Bab dalam Buku
Hartini, K.S. 2004. Pengenalan ekosistem, klasifikasi vegetasi hutan, dan ciri khas yangmembedakannya. Dalam A.Nuryawan, T.M.Aka, dan Rahmawaty (ed). Buku Panduan PraktikUmum Kehutanan (PUK). Jurusan Kehutanan USU. Medan.
Prosiding
Nasution, Z. 2004. The forest ecology in the Lake Toba catchment area. In Proceedings of the 5th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in the Field ofWood Science.Kyoto, September 17-19.hal 287-293.
Skripsi/Tesis/Desertasi
Achmadi, S.S. 1980. Organosolv Pulping of Aspen Chips. [MS Thesis].University of Wisconsin.Madison.
Tabel Tabel diberi nomor secara berurutan sebagaimana muncul dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang informatif. Tabel yang memiliki sedikit kolom, dapat diletakkan di tengah dan tanpa garis
vertikal.
Gambar
Seluruh gambar atau foto harus dirujuk di dalam teks dan diberi nomor secara berurutan. Gambargrafik tidak perlu dibingkai.