2013_paradigma-karakter-data (1)

Upload: harri-yadi

Post on 28-Feb-2018

282 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    1/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    1 | P a g e

    PARADIGMAKARAKTER& DATA ARKEOLOGI

    J. SUSETYO EDY YUWONOARKEOLOGI UGM

    DEFINISI DAN PARADIGMA ARKEOLOGIArkeologi merupakan cabang ilmu pengetahuan tentang manusia (dan alam) yang berusahamempelajari kronologi, corak (bentuk), dan proses kehidupan manusia yang pernahberlangsung di suatu tempat, beserta gambaran lingkungan hidupnya, melalui sisa-sisakehidupan dan aktivitas yang ditinggalkannya. Sisa-sisa tersebut dipakai sebagai data

    primer untuk mengungkapkan berbagai aspek kehidupan yang pernah ada, termasukbentuk-bentuk keterkaitan antar masing-masing aspek tersebut.

    Pada kenyataannya, data arkeologis memiliki sifat fragmentaris (tidak utuh), tidak lengkap,dan sudah banyak diwarnai bias. Kondisi seperti itu menyebabkan perlunya interpretasimelalui berbagai perangkat metode dan teori untuk bisa sampai pada kesimpulan yangmendekati kebenaran. Bagi ilmu pengetahuan manapun, apalagi bagi arkeologi yangberurusan dengan fenomena yang sudah berlangsung ribuan bahkan jutaan tahun silam,kebenaran secara mutlak jelas tidak mungkin dapat dicapai. Pada dasarnya, kebenarantersebut terletak pada kemampuan dan kualitas data yang diperoleh, tata caraperolehannya, proses inferensi yang dilakukan setelah data terku mpul, serta kesepakatanpublik atau wacana sosial yang sedang berlangsung pada saat suatu hasil kajian arkeologidisosialisasikan.

    Butir terakhir di atas, pada kenyataannya menduduki tempat yang sangat penting dalampergulatan pemikiran para arkeolog pada khususnya dan ilmuwan lain pada umumnya.Bahkan masyarakat awam pun memiliki andil yang tidak kalah pentingnya dalam menilaikadar kebenaran berbagai kesimpulan yang pernah dihasilkan oleh para arkeolog.Kesimpulan yang pernah dianggap benar oleh suatu kelompok pada suatu kurun waktubelum tentu mendapatkan pengakuan oleh kelompok lain pada kurun waktu yang berbeda,begitu pula sebaliknya. Dari sini tampak jelas bahwa arkeologi sebenarnya bukan hanyamenjadi ilmu pengetahuan tentang masa lalu, melainkan juga menjadi fenomena sosialmasyarakat yang hidup pada masa kini.

    Bukti mengenai pluralitas kearkeologian dalam konteks sosial dan waktu sebagaimanadipaparkan di atas tampak jelas dari adanya evolusi (atau bahkan revolusi) keilmuan yangpernah dan sedang berlangsung pada saat ini. Arkeologi Tradisional ( Traditional Archaeology ), Arkeologi Pembaharuan atau Arkeologi Prosesual ( New Archaeology atauProcessual Archaeology ), Arkeologi Pascaprosesual ( Post-processual Archaeology ),Interpretive Archaeology , Behavioral Archaeology , Arkeologi Marxis, dan Arkeologi Feminis,barangkali hanya menjadi sedikit contoh dari banyaknya aliran arkeologi yang ada (Binford1989; Sharer and Ashmore 1979 dan 1992; Hodder 1982, 1986, 1991 dan 1995; Kelley andHanen 1988; Patrik 1985; Skibo 1995; Schiffer 1976; Shank 1992; Shank and Hodder 1995;

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    2/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    2 | P a g e

    Tilley 1993). Masing-masing aliran memiliki corak, sifat, pandangan, tuntutan, danparadigma berbeda-beda tentang arkeologi.

    Tulisan ini tidak untuk menguraikan perkembangan teori secara rinci dari masing-masingaliran di atas. Meskipun demikian, kesadaran akan adanya pluralitas pemikiran dan alirandalam arkeologi, terutama yang berkembang di luar Indonesia, perlu ditanamkan di

    kalangan mahasiswa, tanpa harus memaksakan diri untuk menganut salah satu aliransecara fanatik. Tanpa menyadari hal tersebut, arkeolog termasuk di dalamnya mahasiswa hanya akan terpaku pada persoalan rutinitas teknis pengumpulan data tanpa dilandasikerangka metodologis yang kuat, tidak ubahnya seorang tukang.

    Sebagai pengetahuan awal, dalam kaitannya dengan pengumpulan data untuk titik tolakberbagai proses inferensi, barangkali perlu dipahami terlebih dahulu tiga paradigma utamadalam arkeologi yang pernah ada. Paradigma merupakan .. a conceptual framework for ascientific discipline; a strategy for integrating research method, theory, and goals . Denganadanya paradigma, arkeologi memiliki khasanah tujuan, persoalan, dan pola pikir dengansegala perangkat dan tata caranya untuk mencapai tujuan dan memecahkan persoalan yangada. Di dalamnya termasuk dalil, teori, dan metodologi (Tanudirjo 1992). Melalui ketigaparadigma tersebut, arkeologi menampakkan sifatnya yang umum meskipun di dalamnyamuncul berbagai aliran. Arah penelitian secara umum yang tercermin dari ketiga paradigmadimaksud, meliputi ( Gambar 1.1 ):

    1. Rekonstruksi sejarah budaya ( culture history )yaitu upaya mengumpulkan dan menyusun data arkeologis dalam urutantemporal. Secara teoritis, seluruh aktivitas penelitian dan kajian arkeologistermasuk dalam upaya pencapaian paradigma ini. Pada awal perkembangannya,tujuan arkeologi pun lebih didasari paradigma ini. Jadi sifatnya paling umum,terutama jika dikaitkan dengan upaya untuk menjawab pertanyaan mengenaibentuk (what, when, where ).

    2. Rekonstruksi cara hidupyaitu upaya merekonstruksi aspek perilaku manusia di balik data artefaktual,sebagai tindak lanjut dari upaya rekonstruksi sejarah budaya. Paradigma iniberhubungan dengan masalah fungsi (how ). Sifatnya lebih khusus karena hanyamengupas aspek-aspek tertentu, misalnya cara pembuatan alat dan caraadaptasi melalui bentuk-bentuk subsistensi tertentu.

    3. Penggambaran proses budaya ( cultural process )yaitu upaya mengurutkan data arkeologis dan perilaku pendukungnya secaratemporal, serta mencoba menjelaskan faktor-faktor yang bertanggungjawabatas proses perubahan budaya antar masing-masing tahap kehidupan.Paradigma ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai proses (why ).

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    3/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    3 | P a g e

    Gambar 1.1. Tiga aspek dalam cakupan paradigma arkeologi(Sumber: Sharer and Ashmore 1992)

    Di samping ketiga paradigma di atas, David L. Clarke mengemukakan empat paradigma lainyang dilandasi oleh pemikiran New Archaeology . Keempat paradigma yang dimaksudmeliputi (Clarke 1972 dan Tanudirjo 1992):

    1. Paradigma morfologisMengkaji data arkeologis sebagai data itu sendiri. Bahan kajian utamanya

    berupa tingkat data beserta hubungannya masing-masing. Paradigma seperti iniantara lain menghasilkan klasifikasi, tipologi, dan seriasi data.

    2. Paradigma antropologisMengkaji hubungan antara data arkeologis, pola, dan atau keragamannyadengan pola keragaman aspek sosial-budaya yang melatarbelakangi keberadaandata tersebut.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    4/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    4 | P a g e

    3. Paradigma ekologisMengkaji hubungan antara data arkeologis, terutama yang berhubungan denganlingkungan seperti sisa flora dan fauna, dengan lingkungan pembentuknya.Paradigma ini lebih menekankan pada aspek-aspek adaptasi manusia ataumasyarakat terhadap lingkungan tempat hidupnya, baik lingkungan biotikmaupun abiotik.

    4. Paradigma geografisLebih memusatkan perhatiannya pada kajian keruangan dalam kaitannyadengan pola aktivitas di dalam atau di antara situs-situs dalam suatubentanglahan tertentu, seperti tercermin melalui pola distribusi data dan situs.

    Di dalam setiap paradigma, pengumpulan data melalui tata cara metodis dan sistematismerupakan tahapan paling penting yang tidak boleh diabaikan. Karena pada dasarnya,kesalahan dalam pengumpulan data akan berdampak negatif atau menimbulkan kesalahandalam interpretasi/eksplanasi. Lebih parah lagi, kesalahan yang terjadi dalam prosespengumpulan data, akan sulit bahkan tidak mungkin lagi diperbaiki atau dilakukanpengulangan. Karena apapun jenis data yang sudah diambil apalagi melalui ekskavasi tidak mungkin dapat dikembalikan ke keadaan semula. Dangan kata lain, ekskavasimerupakan unrepeatable experiment yang menuntut kehati-hatian dan kecermatan penuhdari para pelakunya.

    Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, arkeologi juga mengenal tiga landasankeilmuan, meliputi: 1) landasan ontologis ( apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan yangbersangkutan, dalam hal ini berhubungan dengan objek kajian ); 2) landasan epistemologis(bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut, yaitu berhubungan dengan persoalan- persoalan metodelogis ); dan 3) landasan aksiologis ( untuk apa pengetahuan tersebutdikembangkan, atau berhubungan dengan tujuan dari cabang ilmu yang bersangkutan ).Paradigma-paradigma yang disebutkan di atas secara implisit sudah mencakuppenggambaran atas ketiga landasan keilmuan ini.

    Secara ontologis, objek kajian arkeologi adalah budaya materi ( material culture ) hasilaktivitas manusia, termasuk di dalamnya materi-materi atau objek-objek atau berbagaibentuk informasi lain yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan yang pernah berlangsung di suatu tempat. Kesemuanya itu dijadikandata dalam arkeologi. Melalui data tersebut, para arkeolog berusaha mengungkapkantingkahlaku manusianya beserta gagasan/ide yang mendasari tingkahlaku tersebut. Hal inisemakin menguatkan kedudukan arkeologi sebagai salah satu bagian dari ilmu pengetahuantentang materi, budaya tingkahlaku, dan budaya ide/gagasan. Oleh karenanya, arkeologijuga dianggap sebagai Ilmu Perilaku ( Schiffer, 1976 ).

    Untuk mengungkapkan aspek tingkahlaku dan ide yang mendasari keberadaannya, budayamateri sedikitnya harus didudukkan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi bentuk (formal),dimensi waktu (temporal), dan dimensi ruang (spasial) ( Spaulding, 1971 ). Dari sini muncul

    tujuh variasi kajian dalam arkeologi, meliputi: kajian formal, kajian temporal, kajian spasial,kajian formal temporal, kajian formal spasial, kajian spasial temporal, dan kajianformal spasial temporal ( Mundardjito, 1995 ).

    Ketujuh variasi kajian arkeologi sebagaimana disebutkan di atas, ditambah paradigma-paradigma yang dimilikinya, menjadikan cabang ilmu ini tidak dapat bekerja sendirian.Pada kenyataannya, berbagai metode dan pendekatan dari berbagai cabang ilmu lain sangatberperan bagi arkeologi.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    5/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    5 | P a g e

    Diskusi:

    1. Apakah definisi arkeologi sebagaimana dipaparkan di atas masih saudara anggap relevan dengan perkembangan arkeologi yang terjadi dewasa ini?

    2. Menurut pendapat saudara, bentuk kesimpulan dan proses penyimpulan bagaimanakah yangdianggap paling benar dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan arkeologi pada khususnya?

    3.

    Di luar Indonesia, perkembangan teori arkeologi sudah demikian rumit dan kompleks, sepertitercermin dari munculnya berbagai aliran. Menurut saudara, bagaimanakah kondisi arkeologi diIndonesia?

    4. Arkeologi merupakan ilmu tentang perilaku. Komentar seperti apakah yang dapat saudaraberikan?

    5. Dapatkah saudara sebutkan contoh-contoh dari ketujuh macam kajian dalam arkeologisebagaimana dipaparkan di atas?

    6. Data arkeologi pada hakekatnya bersifat fragmentaris, tidak lengkap, dan banyak diwarnai bias.Sampai seberapa jauh kondisi data seperti itu mampu mewujudkan tujuan sebagaimana tercermindari paradigma yang ada?

    7. Mengapa pengumpulan data dianggap sebagai salah satu tahap yang harus dilakukan secarasistematis dan metodis?

    8. Landasan pemikiran seperti apakah yang seharusnya sudah ada di benak saudara pada saatmelakukan kegiatan pengumpulan data?

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    6/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    6 | P a g e

    KARAKTER ARKEOLOGISebagai sebuah disiplin ilmu, arkeologi memiliki karakteristik umum berupa penerapanalur penalaran yang secara berurutan terdiri atas : Bukti Metode dan TeoriInterpretasi. Alur semacam ini dilandasi oleh penalaran yang sifatnya induktif, yangberangkat dari data untuk kemudian disimpulkan dalam bentuk generalisasi melalui

    penerapan metode dan teori tertentu ( Gibbon, 1984 ). Bentuk penalaran induktif umumnyaditerapkan dalam rangka eksplorasi terhadap situs-situs baru atau kasus-kasus lain yangbukan bersifat problem solving oriented.

    A. BUKTI

    Bukti ( archaeological record ) dapat diartikan sebagai ..... the physical remains produced by past human activities, which are sought, recovered, studied, and interpreted by archaeologiststo reconstruct the past . Pengertian bukti di sini identik dengan apa yang disebut data, yangsecara umum terdiri atas artefak ( artifact ), ekofak ( ecofact ), dan fitur ( feature ). Dalamranah filsafat keilmuan, hal ini berada pada landasan ontologis. Masing-masing data yangditemukan selama observasi berlangsung pada kenyataannya tidak berdiri sendiri-sendiri,melainkan harus didudukkan dalam keterkaitannya satu sama lain, baik dalam skalakeruangan horisontal maupun vertikal. Dengan demikian, aspek bentuk (formal), lokasi(spasial), keterkaitan antar data (relasional), serta jumlah (kuantitas) dari data yangditemukan sangat penting untuk diperhatikan, bahkan menjadi penentu tinggi rendahnyakualitas data. Dengan kata lain. Kemampuan data untuk berbicara sangat ditentukan olehkeempat hal tersebut ( uraian khusus mengenai jenis-jenis data arkeologi dibahas pada babtersendiri ).

    B. METODE DAN TEORI

    Data yang sudah terkumpul, sebagai bukti pernah berlangsungnya aktivitas kehidupan disuatu tempat, pada proses selanjutnya harus diolah melalui metode dan teori yang relevandengan pokok permasalahan yang akan dipecahkan. Di dalam arkeologi, metode dapatdiartikan sebagai ...... the means used by archaeologist to find, recover, preserve, describe, andanalysis the remains of past human activity . Dengan kata lain, metode merupakankendaraan yang akan dinaiki untuk mencapai suatu kajian tertentu. Sedangkan teoriberperan sebagai .... information used to assess the meaning of the remains of past humanactivity and to guide its interpretation to reconstruct the past . Teori, dengan sendirinyamerupakan referensi atau rujukan bagi peneliti untuk dapat memecahkan suatu masalah.Tanpa menerapkan metode dan teori tertentu, ritus pengumpulan data baik melaluisurvei maupun ekskavasi tidak ubahnya seperti kegiatan para antiquariant (yang padaperkembangannya justru membidani munculnya arkeologi sebagai ilmu), atau bahkanseperti tindakan para penjarah harta karun ( looters ) yang banyak menimbulkan kerusakandi banyak situs.

    Perlunya menerapkan metode dan teori sebagai perwujudan landasan epistemologis dalamdisiplin arkeologi, karena pengumpulan data bukan merupakan tujuan akhir dari suatupenelitian. Apa yang dicari oleh para arkeolog sebenarnya bukan benda-benda atautemuan- temuan secara fisik, melainkan apa yang ada di balik benda -benda tersebut. Halini mengingatkan kembali kepada tiga perwujudan budaya yang menjadi kajian dalamarkeologi, yaitu budaya materi, budaya tingkahlaku, dan budaya ide.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    7/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    7 | P a g e

    Persoalan epistemologis biasanya merupakan persoalan yang paling dihindari, bukan sajaoleh para mahasiswa melainkan juga oleh para arkeolog pada umumnya. Padahal, kalauberbicara mengenai kebenaran suatu interpretasi, salah satu kuncinya terletak padapersoalan metodologis yang diterapkan dalam mengkaji suatu permasalahan. Itulahsebabnya, kesadaran akan pentingnya metodologi ilmu pengetahuan sangat diperlukan.Keengganan untuk menyentuh persoalan metodologis pada akhirnya banyak memberikanimplikasi negatif terhadap perkembangan keilmuan itu sendiri. Keengganan seperti ini, diantaranya tercermin dari sikap menerima mentah-mentah pendapat orang lain yangdiyakini sebagai suatu kebenaran, hanya karena orang tersebut dianggap senior, tanpamempertimbangkan metodologi yan g mendasari munculnya kebenaran tersebut.Persoalan takut, pekewuh, dan malas berpikir seperti itu, merupakan persoalan seriusdalam perkembangan ilmu pengetahuan, karena cenderung bersifat dogmatis daripadakritis. Sikap dogmatis yang dimaksud berhubungan dengan kecenderungan untuk selalumeneguhkan ( verify ) segala sesuatu dengan berusaha menerapkannya, bahkan sampai kebatas melalaikan penyangkalan ( falsifikasi ) (Taryadi, 1991 ).

    Perlu diingat bahwa pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial tidak pernah dapat dikatakanbenar atau salah secara absolut, apapun metodenya. Tingkat tertentu dari subjektivitas,

    relativitas, dan parsialitas selalu ada. Dengan kata lain, tidak pernah ada penelitian yangmenghasilkan keberhasilan secara mutlak atau kesalahan yang menyeluruh ( Melas, 1991 ).Hal demikian inilah yang seharusnya ditindaklanjuti dengan sikap untuk selalu meragukanhasil penelitian, sehingga pada suatu saat nanti tecipta suatu teori yang benar-benarmampu bertahan terhadap ujian yang keras sekalipun. Dengan kata lain, falsifikasi tidakseharusnya dilihat sebagai sesuatu yang tabu ( Yuwono, 1995a ).

    Hasil penelitian yang dilandasi oleh kesadaran metodologis secara tidak langsung jugamencerminkan sikap keterbukaan dari si ilmuwan, dalam arti siap menerima serangkaianpengujian, bahkan siap menerima falsifikasi atas kesimpulan yang sudah diajukan. Karl L.Popper, dalam Problem Solving Theory, menyebutkan bahwa pemahaman metodologi dapatmemberikan tingkat koroborasi yang tinggi terhadap suatu teori. Koroborasi diartikansebagai tingkat kemampuan suatu teori menghadapi tes, dan sama sekali bukan berartitingkat rasionalitas kepercayaan kita terhadap kebenaran ( Taryadi, 1991 ). Untukmencapai tingkatan tersebut suatu teori akan mengalami serangkaian pengujian, sehinggamenghasilkan dua kemungkinan, yaitu falsifikasi atau verifikasi. Dalam skema yangsederhana Popper menggambarkannya sebagai berikut:

    P1 TS EE P2Keterangan :

    P1 : diartikan sebagai Problem-1, yaitu permasalahan awal yang mendasari dilakukannya penelitian. Hasil kajianatas permasalahan tersebut merupakan suatu kesimpulan yang sifatnya sementara ( Tentative Solution = TS ).Sebagai suatu kesimpulan, maka kebenarannya bersifat sangat relatif, sehingga perlu dilakukan serangkaianpengujian. Pengujian dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai kesalahan yang muncul untuk diperbaiki ataudibuang ( Error Elimination = EE ). Setelah melewati tahap ini, kesimpulan yang dihasilkan tentunya lebih kuat

    dibandingkan dengan kesimpulan pertama. Meskipun demikian, kesimpulan tersebut masih perlu diuji kembalimelalui serangkaian penelitian, dan dianggap sebagai Problem-2 ( P2 ). Begitu seterusnya sampai akhirnyadiperoleh tingkat koroborasi yang tinggi dari kesimpulan tersebut.

    Skema Popper di atas pada hakekatnya sejalan dengan apa yang diajukan oleh Thomas Kuhn, bahwa ilmupengetahuan senantiasa mengalami krisis, sehingga memunculkan apa yang disebutnya dengan istilahRevolution of Knowledge . Proses revolusi tersebut terjadi berulang -ulang, dan dapat digambarkan dalamskema pentahapan sebagai berikut:

    PRAILMU - ILMU NORMAL - KRISIS - REVOLUSI - ILMU NORMAL BARU

    - REVOLUSI BARU - DST

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    8/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    8 | P a g e

    C. INTERPRETASI

    Interpretasi merupakan ..... a stage in archaeological research design involving the synthesisof the results of data analysis and the explanation of their meaning, allowing a reconstructionof the past. Dengan demikian, interpretasi mengisyaratkan adanya ketidaklengkapan. Dataarkeologi yang bersifat fragmentaris dan tidak lengkap pada akhirnya harus dipaksa

    berbicara banyak tentang kehidupan dan semua proses budaya dan non-budaya yangmelatarbelakangi kehadirannya. Sebagai tahap perwujudan landasan aksiologis dalamkeilmuan, interpretasi atas sejumlah data yang diperoleh merupakan visualisasi dari tujuanpenelitian itu sendiri, dengan berpedoman pada metodologi yang tepat. Tidak dapatdipungkiri, bahwa imajinasi dan intuisi kadang-kadang diperlukan sebagai perwujudanabduksi (perluasan pikir), sejauh tidak menyimpang dari logika keilmuan. Interpretasi yangterlalu menganut prosedur intuitif (kebalikan dari prosedur sistematis), apapun hasilnyatidak dapat diuji kembali dan cenderung bersifat statis.

    Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasikan data ialah perludihilangkannya kerangka pikir universalitas, bahwa suatu fenomena terjadi secara seragamdi manapun dan kapanpun. Pada dasarnya proses-proses budaya cenderung bersifatmultilinear, sehingga pemahaman atas fenomena tersebut dan proses budaya masa laluharus lebih bersifat locally determined (Yuwono, 1995a ). Berdasar uraian tersebut, istilahgeneralisasi yang sering dipakai untuk menyebut muara penalaran induktif pada dasarnyamasih perlu dipertegas lagi, mengingat pengertian generalisasi itu sendiri sebenarnyamemiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Bagi penganut paham Positivisme, generalisasi harusbersifat universal. Hubungan antar variabel yang benar harus berlaku untuk semua masa,wilayah, atau kebudayaan manapun. Tingkatan yang lain ialah bahwa hukum yang universalhanya terjadi dalam beberapa aspek saja, terutama pada masyarakat-masyarakat yang sifatproduksinya sama atau berdekatan. Jadi merupakan generalisasi terbatas. Tingkatan yanglain lagi menyebutkan bahwa generalisasi hanya berlaku bagi suatu kebudayaan yangsecara historis saling berkaitan.

    Dalam interpretasi arkeologis, penerapan prinsip universalitas seperti dianut oleh kaum

    Positivis pada dasarnya menyesatkan, mengingat fenomena budaya sangat berbeda denganfenomena alam yang antara lain menghasilkan Hukum Uniformitarianism. Dampak lain daripenerapan prinsip universalitas dalam arkeologi ialah munculnya kecenderungan untukmemaksakan hasil interpretasi ke arah keseragaman pendapat. Bahkan seringkali dalamalur pemikiran induktif sekalipun -- kesimpulan umum sudah dimiliki padahal data yang adasama sekali tidak mengarah ke bentuk kesimpulan tersebut. Kasus paling nyata dapatdilihat pada berbagai interpretasi tentang tradisi megalitik. Dogma umum bahwa budayamegalitik merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemujaan nenek moyang,akhirnya menjadikan nenek moyang sebagai tempat pelarian yang aman, yang sekaligusmampu melegitimasikan setiap bentuk penyimpulan. Asalkan sudah menyebut namaarwah nenek moyang, maka setiap kajian megalitik sudah disahkan kebenarannya ( Yuwono,1995b ). Munculnya persoalan ini pada prinsipnya berawal dari persoalan lain yang lebihmendasar, yaitu kerancuan dari definisi megalitik itu sendiri, yang secara metodologisdiperarah dengan pola pikir universal. Jadi sekali lagi, keberanian untuk melakukaninterpretasi secara locally determined, akan memberikan nafas dinamis yang benar-benarhidup bagi interpretasi arkeologis.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    9/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    9 | P a g e

    Diskusi:

    1. Alur kerja sebagaimana dijabarkan di atas merupakan alur penalaran induktif. Tahukah saudaratentang pengertian induktif? Apa bedanya dengan penalaran deduktif? Penalaran mana yangsaudara anggap lebih berbobot?

    2. Kondisi data arkeologi seperti apa yang saudara anggap berkualitas?

    3.

    Menurut saudara, hasil penelitian seperti apa yang memungkinkan dilakukannya pengujian ulang?Dapatkah saudara berikan beberapa contoh konkritnya?

    4. Sejauhmana kemungkinan-kemungkinan penerapan Skema Popper dan Kuhn dalam kasus arkeologidi Indonesia? Apa kendala yang sekiranya akan dihadapi?

    5. Pernahkah saudara membuat suatu interpretasi? Bagaimana penilaian saudara terhadap hasilinterpretasi yang saudara buat? Sebutkan kelebihan dan kekurangannya.

    6. Mengapa pemikiran secara dogmatis tumbuh subur di kalangan arkeolog Indonesia?

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    10/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    10 | P a g e

    DATA ARKEOLOGIKegiatan pengumpulan data dalam arkeologi, khususnya yang dilakukan melalui ekskavasi,semula hanya diarahkan untuk memperoleh jenis-jenis temuan berupa artefak, ekofak, danfitur. Pengertian data arkeologi pun seringkali dipahami secara terbatas hanya terdapatketiga bentuk objek tersebut. Tindak lanjut dari kegiatan pengumpulan data serta analisis

    yang dilakukan kemudian, dengan sendirinya cenderung bersifat lepas-lepas. Bahkan hanyadititik beratkan pada temuan artefak, misalnya dalam bentuk analisis morfologis danteknologis. Perhatian terhadap jenis temuan selain artefak tampaknya masih sangat kurang.Padahal yang termasuk kategori data arkeologi sebenarnya bukan hanya ketiga objektersebut. Menurut Thomas (1989), masih ada dua hal atau informasi lain yang perlu dikajipula sebagai data arkeologi, yaitu konteks ( context ) dan sebaran ( distribution ) ( Tanudirdjo,1992 ). Uraian masing-masing jenis data arkeologi tersebut adalah sebagai berikut:

    A. ARTEFAK

    Jenis data ini menunjuk pada .... a discrete and portable object whose characteristic resultwholly or in part from human activity . Objek -objek tersebut pernah diubah, dibentuk, dandigunakan oleh manusia atau sekelompok manusia dalam suatu sistem budaya, sebagaisarana untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Jenis data ini dapat dikelompokkanmenjadi dua, yaitu relic dan monument. Relic merupakan artefak-artefak yang mudahdipindah dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain ( movable objects ), misalnya jenis-jenisperalatan berburu, senjata, peralatan upacara, dan masih banyak lagi contoh lainnya;sedangkan monument adalah artefak-artefak yang tidak dapat dipindahkan ( unmoveableobjects ), misalnya bangunan candi, masjid, rumah, dan jenis-jenis struktur bangunanlainnya.

    Di dalam kebudayaan, dikenal tiga aspek pokok yang terdiri atas teknologi, sosial, danidiologi. Pembagian tersebut pada akhirnya dipakai sebagai dasar untuk membagi fungsiartefak ke dalam tiga fungsi, meliputi fungsi teknis, fungsi sosiologis, dan fungsi idiologis

    (Binford, 1962; Sharer and Ashmore, 1992 ). Artefak yang memiliki fungsi teknis, dalam artisebagai peralatan hidup sehari-hari, disebut sebagai benda teknomik ( technofact atautechno-artifact ), diantaranya peralatan berburu, peralatan pertanian, peralatan memasak,peralatan makan, pakaian, rumah, alat-alat transportasi, peralatan perbengkelan, danperalatan kerja lainnya. Dengan kata lain, artefak-artefak teknomik termasuk ke dalamutilitarian objects (Hodder, 1989 ).

    Artefak yang mempunyai fungsi sosiologis, yaitu yang dapat menggambarkan kedudukansosial seseorang atau sekelompok orang, atau dapat menimbulkan perasaan bangga, ataumemiliki nilai ekskluisivitas tertentu yang dapat meningkatkan derajat seseorang atausekelompok orang, disebut benda-benda sosioteknik ( sosiofact ). Contoh jenis artefak inidiantaranya mahkota raja, kereta kerajaan, benda-benda mas kawin, benda-benda milikkesatuan adat, tongkat komando, hadiah dari seorang tokoh atau pembesar, rumahkebesaran, dan pakaian seragam kesatuan. Sedangkan artefak yang memiliki fungsiidiologis tertentu disebut sebagai benda-benda idioteknik ( idiofact ), misalnya peralatanupacara keagamaan, berbagai bentuk jimat, kuburan, dan benda-benda pusaka yangdikeramatkan.

    Sebuah benda dapat memiliki lebih dari satu fungsi pada saat yang sama, dan pada saatberbeda sebuah benda juga dapat mengalami perubahan dari satu fungsi ke fungsi lainnya.Transformasi fungsi tersebut sangat mungkin terjadi di dalam suatu sistem budaya, bahkan

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    11/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    11 | P a g e

    antar sistem budaya yang diselingi tentang waktu sangat panjang, dan masing-masing tidakmempunyai hubungan sama sekali.

    Pada kenyataannya, kemampuan masing-masing artefak untuk menyumbangkan informasitentang perilaku manusia atau sekelompok manusia pendukungnya berbeda-beda,tergantung tingkat kualitas yang dimilikinya. Satu artefak barangkali memiliki kemampuan

    analisis yang lebih terbatas dibandingkan dengan sekumpulan artefak. Sehubungan denganhal ini, beberapa ahli ( Deetz, 1967; Clarke, 1968; Sharer and Ashmore, 1979 ) membuat suatuperjenjangan data arkeologi dengan kemampuan analisisnya masing-masing. Jenjang datayang dimaksud adalah sebagai berikut ( Periksa ilustrasi ):

    1. Laksana ( attribute ): .....The minimal characteristic used as a criterion for grouping artifacts into classes... ,atau dapat juga diartikan sebagai bagian terkecil dari data (artefak) yang dapatdiamati dan diukur secara langsung. Secara umum atribut dapat dibedakan atas: a).Atribut gaya ( stylistic attribute ), yaitu atribut yang ditentukan berdasarkankarakteristik permukaan objek (misalnya warna, tekstur, dan dekorasi); b). Atributbentuk ( form attribute ), yaitu atribut yang ditentukan berdasarkan karakteristikfisik objek (misalnya untuk keseluruhan, bentuk per-bagian, dan dimensi lain yangdapat diukur); c). Atribut teknologi ( technological attribute ), yaitu atribut yangberhubungan dengan bahan dan proses pembuatan objek (meliputi bahan, ciriteknologis, serta ciri pemakaian atau use-wear ).

    Menurut David L. Clarke, atribut dapat dibagi menjadi dua, yaitu atribut kontekstualdan atribut spesifik. Atribut kontekstual merupakan atribut yang mudah diamatisecara langsung, misalnya atribut-atribut yang termasuk dalam gaya ( style ).Sedangkan atribut teknologi yang hanya dapat diamati melalui analisis khususdisebut dengan atribut spesifik.

    2. Artefak ( artifact ): Merupakan semua benda buatan manusia, dan atau benda-benda alam yang sudahpernah diubah dan atau digunakan oleh manusia, yang memuat sejumlah besaratribut. Benda-benda alam yang diduga pernah digunakan oleh manusia tanpabanyak mengalami perubahan bentuk, sehingga ciri artifisialnya meragukan,seringkali disebut dengan pseudoartifacts. Artefak mempunyai kemampuan analisispada tingkat individu, yaitu untuk mewakili ciri atau tindakan individu (meskipundapat saja menggambarkan perilaku sekelompok individu, terutama untuk artefak-artefak tertentu yang dibuat dan difungsikan oleh sekelompok individu).

    3. Tipe ( type )..... A class of data defined by a consistent clustering of attributes.... , atau sekumpulanartefak yang mempunyai sejumlah ciri atribut yang sama pada batas-batas tertentu(politetik). Penentuan tipe artefak pada dasarnya bersifat relatif sesuai dengandasar dan alasan yang digunakan oleh peneliti. Dengan demikian, tipe artefak lebih

    banyak dihasilkan melalui pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya etic.4. Bagian Himpunan/Subhimpunan (subassemblage): ...... A grouping of artifact classes, based on form and functional criteria, that isassumed to represent a single occupational group within an ancient community.... ,atau sekumpulan artefak dari satu situs yang memiliki kesamaan fungsi. Contohnyaadalah mata panah, busur, belati, dan tali yang merupakan subhimpunan alat-alatperburuan. Tingkat analisis dari data pada jenjang ini adalah untuk mengujihipotesis tentang tindakan sekelompok individu, misalnya kelompok pemburu.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    12/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    12 | P a g e

    5. Himpunan ( assemblage ) ....... A gross grouping of all subassemblages assumed to represent the sum of humanactivities carried out within an ancient community.........., atau kumpulan darisejumlah subhimpunan yang berbeda fungsi pada suatu situs. Analisis data padajenjang ini berada pada tingkat komunitas, atau dapat dipakai untukmenggambarkan aktivitas komunitas manusia yang mendiami satu tempat. Ditempat tersebut banyak aktivitas kelompok yang dapat tergambar melaluihimpunan temuannya, baik aktivitas yang bersifat profan maupun sakral.

    6. Budaya Arkeologis.......The maximum grouping of all assemblages assumed to represent the sum ofhuman activities carried out within an ancient culture..... , atau seku mpulanhimpunan artefak dari beberapa situs yang berada dalam satu kawasan geografis,jenjang data ini dapat menganalisis kegiatan atau tindakan suatu masyarakat(misalnya kota, negara, dan suku bangsa tertentu).

    Di samping jenjang data yang sudah disebutkan di atas, dikenal pula apa yang disebutdengan teknokompleks ( technocomplex ), yaitu beberapa budaya arkeologis yangmempunyai himpunan sama dalam batas-batas tertentu (politetik), yang ditunjukkanmelalui kesamaan secara umum pada tipe-tipe artefak tertentu. Teknokompleksmencerminkan kesamaan pola adaptasi beberapa masyarakat pada lingkungan yang relatifsama, dengan tingkat teknologi dan ekonomi yang kurang lebih sama pula ( Tanudirdjo,1992 ).

    Pemahaman akan jenjang data sebagaimana dipaparkan di atas penting sekali dalam kajianarkeologi. Dengan memahami penjenjangan ini kita dapat lebih berhati-hati dalam mencobamengungkapkan kehidupan manusia pendukungnya di masa lampau. Tidak jarang terjadi,satu artefak yang memiliki kualitas sangat rendah, dipaksa untuk merekonstruksi tindakanmanusia di masa lampau yang begitu kompleks, sehingga interpretasinya pun cenderungtanpa dasar yang kuat ( Tanudirdjo, 1992 ). Di samping itu, dalam memahami penjenjangandi atas, peranan bentuk data selain artefak tidak dapat dikesampingkan, karena pada

    dasarnya kualitas artefak juga ditentukan oleh keterkaitannya dengan bentuk-bentuk datayang lain, baik itu ekofak, fitur, konteks, dan sebaran, maupun gambaran prosestransformasi yang pernah dan sedang terjadi beserta kondisi lingkungannya. Perhatianyang hanya tertuju pada artefak semata dengan mengesampingkan informasi-informasilainnya hanya akan menghasilkan kesimpulan yang keliru dan sangat banyak diwarnai bias.

    B. EKOFAK

    Ekofak merupakan .... nonartifactual evidence from the past that has cultural relevance.... .Jenis data ini tidak dibuat oleh tangan manusia dan kemungkinan juga tidak dimanfaatkansecara langsung dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mempunyai hubungan erat dengankehidupan manusia, dan dapat memberikan informasi penting mengenai kehidupan masa

    lalu. Jadi ekofak juga memiliki nilai kultural dan nilai analisis yang tinggi sebagaimanadimiliki oleh jenis data lainnya.

    Secara garis besar, ekofak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekofak anorganik danekofak organik. Ekofak anorganik merupakan ekofak yang berasal dari sisa-sisanonbiologis, termasuk tanah dan mineral; sedangkan ekofak organik merupakan ekofakyang berasal dari makhluk hidup, baik berupa fauna ecofact, floral ecofact, maupun humanremain . Sisa-sisa tersebut memberikan kepada kita pemahaman akan masa lalu melalui

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    13/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    13 | P a g e

    gambaran kondisi lingkungan serta jenis-jenis makanan dan sumberdaya lain yang pernahdimanfaatkan oleh manusia pada masa itu ( Sharer and Ashmore, 1992 ).

    Berbeda halnya dengan artefak, ekofak merupakan data arkeologi yang tidak langsungmenggambarkan tingkahlaku manusia. Kebanyakan dari ekofak ini berupa sisa-sisa dariaktivitas manusia dan alam. Di samping aktivitas-aktivitas yang bersifat ekonomis, misalnya

    aktivitas yang berhubungan dengan strategi perburuan binatang, polapenanganan/pengolahan hasil buruan, strategi pengolahan lahan untuk pertanian, strategipenambangan sumber-sumber alam, dan pola diet, ekofak juga dapat mengambarkanaktivitas non-ekonomis, seperti aktivitas ritual. Analisis mengenai hal ini misalnyadilakukan terhadap sekumpulan pollen yang ditemukan pada sisa-sisa kubur. Di sampingitu, ekofak juga dapat memberikan informasi tentang kondisi paleoenvironment yangpernah dihuni dan dieksploitasi oleh manusia pada masa lampau.

    C. FITUR (FEATURE)

    Ada beberapa pengertian mengenai fitur sebagai salah satu jenis data arkeologi. Pertama,fitur diartikan sebagai semua gejala di permukaan ataupun di dalam tanah yang tidak dapat

    dan tidak mungkin diambil dalam dan atau dipindahkan tanpa mengalami perubahan,termasuk di dalamnya lapisan tanah itu sendiri. Kedua, fitur diartikan sebagai nonportableartifacts, yaitu artefak-artefak yang tidak dapat dikeluarkan dari matriksnya, dalam artitidak dapat diambil dan atau dipindahkan tanpa merubah ataupun merusak bentuk (posisidan pola susunan) aslinya ( Sharer dan Ashmore, 1992 ). Beberapa contoh umum dari fitur iniadalah bekas perapian, kuburan, lubang sampah, dan jalan. Pengertian fitur yang pertamasifatnya sangat umum, meliputi semua gejala baik yang dihasilkan melalui aktivitas manusiamaupun alam, sedangkan pengertian fitur yang kedua lebih mengkhususkan pada gejala-gejala yang bersifat artifisial.

    Fitur dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan atas position/location dan arrangement-nya, yaitu: fitur sederhana ( simple feature ), misalnya bekas lubang sampah, bekas kuburan,atau bekas jalan; dan fitur bersusun ( composite feature ). Jenis terakhir ini merupakanasosiasi dari beberapa fitur sederhana yang membentuk pola-pola susunan tertentu.Misalnya temuan bekas lubang tiang yang jumlah dan pola susunannya dapatmenggambarkan denah suatu bangunan beserta ukurannya.

    Sebagai salah satu jenis data arkeologi, fitur juga dapat dianalisis seperti halnya artefak.Perbedaan di antara keduanya terletak pada dapat tidaknya objek-objek tersebut dianalisissecara terpisah-pisah. Analisis terhadap artefak dapat dilakukan per-atribut, sedangkananalisis fitur harus dilakukan secara menyeluruh dan serentak. Mengingat sifatnya yangunmovable, maka lokasi keberadaan suatu fitur secara langsung dapat menggambarkanlokasi berlangsungnya suatu aktivitas beserta peristiwa-peristiwa alam dan budaya yangikut berperan serta dalam proses pembentukannya. Sedangkan lokasi temuan artefak hanyadapat mengambarkan lokasi pengendapannya yang terakhir. Untuk menggambarkan fungsi

    suatu artefak, analisis lebih lanjut harus mempertimbangkan proses-proses transformasiyang pernah berlangsung hingga artefak tersebut terendapkan di lokasi temuan. Jadi, lokasitemuan artefak tidak langsung menunjukkan lokasi berlangsungnya suatu kegiatan yangberhubungan dengan artefak tersebut ( Sharer and Ashmore, 1992 ).

    Fitur juga dapat terbentuk melalui susunan beberapa artefak dan ekofak. Susunan yangdemikian ini lebih dapat memberikan gambaran tentang lokasi dan bentuk-bentuk aktivitasyang pernah berlangsung, dibandingkan dengan temuan-temuan artefak dan ekofak lepas.Sejumlah informasi penting memang sudah dapat diperoleh melalui studi individual

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    14/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    14 | P a g e

    terhadap artefak ataupun ekofak. Namun demikian, studi kontekstual terhadap artefak danekofak beserta matriksnya, yang membentuk suatu fitur, jelas mampu memberikan bahaninterpretasi yang jauh lebih lengkap mengenai tingkahlaku manusia pendukungnya di masalalu, yang berlangsung di lokasi bersangkutan.

    Pengenalan terhadap fitur-fitur arkeologis, seperti bekas perapian, bekas jalan, lubang

    kubur, lokasi bekas penambangan, lokasi bekas perbengkelan, bekas rumah, serta bekaslubang pembuangan sampah, tergantung pada kemampuan mengidentifikasi hal-hal yangpernah dilakukan manusia pada masa lampau. Fitur-fitur yang ditemukan dalam keadaanutuh dan lengkap mengandung informasi yang lengkap pula mengenai konteks temuan danasosiasinya. Oleh karenanya, fitur merupakan data yang sangat penting bagi arkeologi.

    Selain dapat dibedakan menjadi simple feature dan composite feature sebagaimanadipaparkan di atas, Sharer dan Ashmore (1992) juga membedakan fitur menjadi duakategori yang lebih bisa memberikan gambaran tentang aspek tingkahlaku pendukungnya.Kedua kategori tersebut ialah constructed feature dan cumulative feature (Sharer and Ashmore, 1992 ).

    Constructed feature merupakan kategori fitur yang dibentuk secara sengaja oleh

    manusia untuk memenuhi kebutuhan akan sebuah ruang atau fasilitas bagikelangsungan aktivitas/sekelompok aktivitas tertentu. Contohnya ialah aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pendirian rumah. Upaya tersebut sangatmemungkinkan dilakukannya proses-proses pengerasan, perataan lahan, cut and fill ,dan pembuatan fondasi, yang semuanya menghasilkan jenis fitur ini. Contohnyalainnya berupa pembuatan pematang sawah, talud, batas-batas antar lahan, kuburan,saluran-saluran irigasi (kanal), jalan, dinding-dinding pertahanan. Kriteria terpentingdari jenis fitur ini ialah adanya konstruksi yang secara formal berhubungan denganupaya pemakaian/pemanfaatan ruang. Adapun atribut-atribut yang dapat dianalisisdari constructed feature, terdiri atas:

    1. Atribut material dan teknologi:Data yang dihubungkan tidak hanya berupa data fisik dari konstruksi yangbersangkutan, tetapi juga aspek-aspek sosial yang berhubungan dengan prosespembentukannya.

    2. Atribut bentuk dan lokasi:Meliputi ukuran, bentuk, dan pengaturan bagian-bagian beserta keletakannya.

    3. Atribut gaya:Meliputi langgam dekorasi.

    4. Atribut gabungan

    Cumulative feature ialah jenis fitur yang tidak sengaja dibuat untuk aktivitas tertentudan proses pembentukannya cenderung tidak terencana. Dengan kata lain,cumulative feature terbentuk sebagai hasil/akibat sampingan dari aktivitas pokoklainnya. Fitur ini dapat terjadi melalui proses penambahan ( accreation ), misalterbentuknya tumpukan sampah dan terjadinya akumulasi limbah perbengkelan,maupun proses pengurangan ( substraction ), misalnya fitur sisa/bekas penambangan.Atribut-atribut yang dapat dianalisis terdiri atas:

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    15/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    15 | P a g e

    1. Atribut lokasi:Meliputi distribusi aktivitas dan jarak.

    2. Atribut bentukMeliputi ukuran dan materialnya, yang masing-masing dapat menunjukkan durasi(rentang waktu pembentukan), intensitas kegiatan, serta jenis kegiatan yang

    pernah berlangsung.3. Atribut teknologi:

    Tidak selalu diperlukan (misal pada fitur penambangan, dengan mengamati bekas-bekas luka dan peralatan yang terdeposit).

    D. KONTEKS

    Konteks merupakan data arkeologi yang penting karena dapat menjadi penentu tinggi-rendahnya kualitas masing-masing jenis temuan, di samping dapat digunakan sebagai salahsatu pedoman untuk mengetahui fungsi dan kedudukan suatu artefak. Di dalam disiplinarkeologi, konteks diartikan sebagai interpretasi terhadap suatu deposisi data di dalammatriks ( matrix ), provenience , dan asosiasinya ( assosiation ) dengan data lain di sekitarnya,terutama untuk menjawab pertanyaan di mana dan bagaimana data tersebut terendapkan(Sharer and Ashmore, 1992 ).

    Pengertian lebih luas dari konteks berhubungan dengan karakteristik data arkeologi yangdihasilkan melalui gabungan dua macam proses, yaitu proses tingkahlaku parapendukungnya ( behavioral process ) dan proses transformasi ( transformation process ) yangterjadi setelah suatu data terdeposisi. Konteks suatu temuan dievaluasi melalui observasidan pencatatan secara cermat dan hati-hati terhadap matriks, provenience, dan asosiasinya.Dari uraian tersebut, sedikitnya ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dari suatukonteks, yaitu:

    1. Matriks:Matriks memiliki pengertian kondisi fisik yang melingkupi, menampung, danberada di sekeliling data arkeologi, baik data artefak, ekofak, maupun fitur.Dengan demikian, matriks hanya berhubungan dengan tanah atau lapisanbatuan. Tanah tidak hanya merupakan fitur tetapi juga ekofak, dan matriksuntuk beberapa artefak terkandung di dalamnya.

    2. Provenience: Merujuk pada keletakan suatu situs atau temuan baik secara horisontal, vertikal,maupun di dalam matriksnya masing-masing ( three-dimensional location ).Keletakan secara horisontal berhubungan dengan kedudukan suatu situs atautemuan di dalam bentang geografisnya (dengan sistem grid tertentu),sedangkan secara vertikal mengacu pada ketinggiannya dari permukaan laut(sea level ). Informasi tentang provenience memungkinkan para arkeolog untuk

    mencatat (dan selanjutnya merekonstruksi) asosiasi dan konteks temuan.3. Asosiasi

    .....Occurrence of an item of archaeological data adjacent to another and in or onthe same matrix.... . Jadi pengertian asosiasi berkaitan d engan aspek keruanganantara masing-masing data. Setiap artefak berasosiasi dengan artefak lain,bahkan dengan bentuk-bentuk data lain di sekitarnya.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    16/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    16 | P a g e

    Konteks arkeologi secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konteks primer( primary context ) dan konteks sekunder ( secondary context ). Konteks primer merupakankondisi di mana provenience, asosiasi, dan matriks belum pernah teraduk sejak dataarkeologi terdeposisi sampai ketika ditemukan kembali oleh arkeolog. Deposisi di sinidiartikan sebagai .... the last stage of behavioral processes, in which artifacts are discarded . Di dalam konteks yang demikian ini, fitur arkeologis berada dalam keadaan yang masihutuh ( intact ). Sedangkan konteks sekunder merupakan kondisi di mana provenience ,asosiasi, dan matriks sudah mengalami perubahan, baik sebagian maupun secarakeseluruhan, akibat proses-proses transformasi yang terjadi setelah data arkeologiterdeposisi di suatu tempat. Secara lebih rinci, masing-masing konteks tersebut dapatdibedakan lagi menjadi dua kategori, sehingga secara keseluruhan terdapat empat jeniskonteks ( Sharer and Ashmore, 1992 ). Keempat jenis konteks yang dimaksud adalah ( periksailustrasi ):

    1. Use-related primary context: ...... A primary context resulting from abandonment of materials during eithermanufacturing or use activities.... . Konteks ini dihasilkan melalui deposisi dilokasi-lokasi di mana artefak-artefak dibuat dan digunakan oleh para

    pendukungnya. Asosiasi temuan di dalam jenis konteks ini dapat menunjukkanbahwa artefak-artefak tersebut pernah digunakan dan terdeposit di tempat yangsama, sehingga memudahkan upaya rekonstruksi tingkahlaku manusia ataumasyarakat pendukungnya di masa lampau.

    2. Transposed primary context:..... A primary context resulting from depositional activities leading to midden formation..... . dengan demikian, konteks ini dihasilkan melalui tingkahlaku yangtidak berhubungan dengan pembuatan dan atau penggunaan suatu artefak,tetapi melalui tingkahlaku yang berhubungan dengan pembuangan ataupenimbunan deposit-deposit tertentu, misalnya sampah. Asosiasi antara duaatau lebih artefak di dalam konteks ini tidak dapat membantu arkeolog untukmerekonstruksikan proses pembuatan dan penggunaannya.

    3. Use-related secondary context..... A secondary context resulting from disturbance by human activities afteroriginal deposition of materials..... . Aktivitas pengadukan (gangguan) yangdimaksud dilakukan oleh manusia berikutnya (sesudahnya), baik sengajamaupun tidak sengaja, untuk tujuan-tujuan tertentu. Beberapa peristiwa yangdimaksud antara lain peristiwa peperangan, pembangunan gedung-gedung, atauaktivitas penjarahan ( looting ). Jenis-jenis peristiwa atau aktivitas tersebutbeserta posisi kronologisnya kadang-kadang masih dapat dikenali oleh paraarkeolog.

    4. Natural secondary context

    ..... A secondary context resulting from natural transformational processes ......dengan demikian, yang berpengaruh adalah agen-agen non-budaya, diantaranyaoleh binatang, tumbuhan, dan peristiwa-peristiwa alam tertentu.

    Beberapa jenis artefak kemungkinan digunakan dalam periode waktu yang lama. Selamakurun waktu tersebut, berbagai proses perbaikan, modifikasi, serta perubahan dan variasifungsi sangat mungkin terjadi. Sebagai contoh, sebuah wadah dari gerabah digunakan untukmengangkut air, menyimpan makanan, memasak, atau dijadikan pola dalam pembuatanwadah lainnya di lokasi perbengkelan. Pada saat wadah tersebut terdeposit selama atau

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    17/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    17 | P a g e

    sesudah masa pemakaiannya, dan kemudian tersimpan di dalam matriks yang belumteraduk serta berasosiasi dengan temuan lainnya (artefak, ekofak, dan fitur), maka kontekstemuannya termasuk dalam kategori primer yang dapat mengambarkan pola tingkahlakupendukungnya ( use-related primary context ). Pada beberapa situs perbengkelan, use-related primary context tidak hanya mampu menggambarkan tingkahlaku pembuatan alatmelainkan juga detil spesifik dari proses pembuatan yang pernah dilakukan. Determinasibahwa suatu konteks termasuk dalam kategori primary dan use-related tergantung padamampu tidaknya konteks tersebut menggambarkan secara langsung tingkahlaku manusiapendukungnya.

    Kemampuan suatu konteks untuk tetap bertahan dalam kondisi primer tergantung padaproses-proses transformasi yang mampu mengawetkannya. Beberapa aktivitas manusiamemang dapat merusak dan dapat menghilangkan use-related and transposed primarycontext. Tetapi pada beberapa kasus lainnya, aktivitas-aktivitas tertentu justru mampumempertahankan keawetan konteks yang sudah terbentuk sebelumnya. Misalpembangunan struktur lantai di atas bekas lokasi perbengkelan masa lalu. Proses-prosesdeposisi tertentu juga memiliki kecenderungan untuk melindungi konteks primer darikerusakan. Salah satu contoh paling nyata deposisi ini ialah dalam kasus penguburan.

    Beberapa peristiwa alam seperti sedimentasi tanah dan peristiwa vulkanik seringkali jugadapat melindungi keaslian dan keawetan suatu konteks primer, misalnya tertutupnya kotaPompeii oleh hasil erupsi Gunung Vesuvius.

    Pada kenyataannya, tidak semua konteks primer termasuk kategori use-related. Orangseringkali membuang barang-barang yang sudah rusak, pecah, atau tidak dipakai lagi kedalam lubang-lubang sampah. Selama tidak terjadi pengadukan, lubang-lubang sampahyang berisi berbagai jenis artefak dan ekofak buangan dapat membentuk strata-strata ataulayer-layer, yang masing-masing dapat menggambarkan periode deposisinya. Dengandemikian, lubang sampah juga termasuk konteks primer. Namun karena sifat deposisinyahanya berhubungan dengan proses pembuangan (tidak dapat menggambarkan prosespembuatan dan penggunaan benda), maka dimasukkan ke dalam kategori transposed primary context. Apabila sampah tersebut terangkut ke suatu tempat (misal sebagai tanahuruk) dan selanjutnya bercampur dengan hasil aktivitas manusia di tempat yangbersangkutan, maka yang terjadi adalah kombinasi antara use-related primary context,transposed primary context, dan bahkan secondary context.

    Kegunaan atau fungsi suatu artefak tidak dapat diketahui secara langsung melaluiasosiasinya di dalam transposed primary context. Asosiasi di dalam jenis konteks ini hanyamembantu untuk mengetahui kronologi pengendapannya saja. Selama tidak terjadigangguan, benda-benda yang paling berasosiasi di dalam provenience dan matriks yangsama adalah sejaman. Apabila suatu lubang sampah difungsikan dalam kurun waktu yanglama, maka posisi relatif benda-benda dalam keseluruhan deposit (atau dalam masing-masing layer ) dapat diakses untuk penentuan penanggalan relatif ( relatives dating ).

    Di dalam use-related secondary context, upaya identifikasi harus dilakukan dengan baik dancermat untuk mengetahui bagaimana artefak atau sekumpulan data sampai terdeposit disuatu tempat. Apabila diturbed context tersebut tidak dapat dikenali dengan baik, makainterpretasi yang dihasilkan akan banyak mengandung kesalahan dan bias. Sebagai contoh,temuan-temuan di dalam kuburan yang sudah teraduk tidak selalu merupakan sisa-sisa dariaktivitas penguburan asli, melainkan juga material yang dibawa oleh para looters yangkemudian tertinggal di sana. Temuan kancing baju di dalam salah satu peti kubur batu diSitus Gunungbang, Gunungkidul ( Yuwono, 1999a ), merupakan salah satu contoh mengenai

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    18/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    18 | P a g e

    hal itu. Contoh lainnya banyak diperoleh dari upaya pengurukan tanah dalam rangkapenyiapan suatu bangunan. Apabila tanah uruk tersebut diambil dari lubang-lubangsampah kuno yang banyak mengandung temuan, maka temuan yang berusia tua justru akanterdeposit di lapisan atas. Tanpa mengetahui sejarah pengendapan seperti di atas makainterpretasi kronologis akan banyak menghasilkan kesalahan.

    Jenis konteks terakhir, yaitu natural secondary context, salah satunya diakibatkan olehperilaku binatang. Pembuatan liang-liang persembunyian oleh jenis-jenis binatang tertentudapat memindahkan artefak dari lapisan atas ke lapisan di bawahnya dan kemudianberasosiasi dengan fitur yang lebih tua. Jenis-jenis binatang pengerat ( Rodentia ) juga seringmengumpulkan tulang-tulang kecil di liang persembunyiannya. Demikian juga halnyakerusakan-kerusakan yang sering disebabkan oleh cacing dan rayap. Tanpa mempelajariperilaku binatang-binatang tersebut para arkeolog akan banyak mengalami kesulitan,bakan terjebak dalam kesalahan interpretasi. Selain perilaku binatang, pertumbuhan akarpohon dan peristiwa-peristiwa alam tertentu juga dapat menjadi agen penyebab terjadinyanatural secondary context.

    Kegiatan pengumpulan data, karenanya bukan hanya perlu mencatat secara cermatasosisasi, matriks, dan prevenience temuan, tetapi juga harus menggunakan informasi yangdiperoleh untuk menentukan jenis konteks data yang dihadapi. Kurangnya perhatian danpenanganan serius terhadap konteks temuan dapat mengakibatkan rusaknya data besertainformasi yang dikandungnya. Di sini konteks memegang peranan yang sangat penting,karena identifikasi tingkahlaku yang pernah berlangsung di suatu situs sangat didasaripemahaman atas konteks temuan. Melalui pemahaman tersebut arti masing-masing objekbeserta asosiasinya dapat diketahui. Menurut Hodder, arti simbolik suatu artefak tidaksepenuhnya bersifat arbitrer, sebab mereka dikelilingi oleh konteksnya. Konteksmerupakan totalitas dari lingkungan yang relevan. The totality of the relevant dimensions ofvariation around any one object can be identified as the context of that object . Jadi terdapathubungan dialektik yang dinamis antara sebuah objek dengan konteksnya. Denganmemasukkan sebuah objek ke dalam sebuah konteks, arti konteks tersebut dengansendirinya berubah. Dengan demikian, konteks dapat memperoleh arti dari danmemberikan arti kepada sebuah objek ( Hodder, 1991 dan; Yuwono, 1999b ).

    E. SEBARAN

    Sebaran ( distribution ) temuan merupakan bentuk data yang terkait erat dengan dimensiruang ( spatial ). Dari yang paling mikro, sebaran temuan dapat terjadi di dalam satu spit, satu kotak ekskavasi ( grid ), sampai akhirnya di dalam satu situs ( site ). Tingkat keluasansuatu ruang arkeologi yang lebih besar daripada situs berturut-turut adalah locality,wilayah ( region ), dan yang paling luas adalah area ( Mundardjito, 1995; Sharer and Ashmore,1992; Renfrew and Bahn, 1991 ). Menurut Sharer and Ashmore, satuan (unit) analisis dataarkeologi di dalam sebaran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu satuan secara arbitrer dan

    non-arbitrer.Satuan arbitrer ditentukan oleh peneliti, misalnya wilayah administratif, jalur ( transect ),kotak-kotak ekskavasi, dan spit. Sedangkan satuan analisis distribusi secara non-arbitrermengikuti batas- batas yang lebih alamiah atau apa adanya, misalnya satu kesatuanmatriks atau fitur, satu ruang candi, satu relung ekologi, atau satu lingkungan budaya.Satuan non-arbitrer tentunya lebih bermanfaat bagi analisis kontekstual maupun sebaran,dan validitas hasilnya pun lebih tinggi. Namun pada kenyataannya, dalam pengumpulandata arkeologi di Indonesia, strategi yang dipakai lebih cenderung mengacu pada satuan

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    19/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    19 | P a g e

    yang sifatnya arbitrer. Contohnya, teknik ekskavasi grid-spit dan survei secara administratiflebih digemari ketimbang teknik lot, layer, ataupun survei menurut relung ekologi.Seharusnya strategi penelitian disesuaikan dengan sasaran penelitian dan keadaan yangdihadapi di lapangan ( Tanudirdjo, 1992 ).

    Mengingat pentingnya pemahaman akan batasan sebaran, maka sebaran dianggap sebagai

    salah satu data arkeologi yang penting. Apalagi, keberadaan suatu temuan tidak akanbanyak memberikan arti secara analitis tanpa ada informasi mengenai aspek keruangannya.Sebuah temuan lepas, nilai analisis dan kualitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengantemuan lain yang memiliki kejelasan konteks keruangan, baik secara vertikal maupunhorisontal. Dengan demikian, data sebaran memiliki pengertian yang hampir sama dengandata konteks secara luas. Bedanya, kalau konteks berhubungan dengan tiga variabel pokok(matriks, provenience, dan asosiasi) secara seimbang, maka sebaran lebih banyak menyorotivariabel provenience. Informasi mengenai konteks biasanya mendukung upaya interpretasimengenai fungsi dan proses transformasi dari suatu objek (artefak), sedangkan informasimengenai sebaran sangat diperlukan untuk mengungkapkan proses budaya secara lebihluas. Beberapa hal yang terkait dengan proses budaya dimaksud, diantaranya tentangactivity area suatu kelompok atau komunitas, konsep pembagian serta hierarki ruang yang

    dianut suatu masyarakat, proses difusi, aktivitas perdagangan, dan hubungan antar situsatau kawasan.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    20/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    20 | P a g e

    Diskusi:

    1. Berikan pengertian data arkeologi secara komprehensif!

    2. Meskipun jenis data arkeologi ada bermacam-macam, namun pada kenyataannya artefak mendapat perhatian paling besar dibandingkan jenis data lainnya. Menurut saudara, mengapa hal tersebutterjadi dan bagaimanakah seharusnya?

    3.

    Berikan penilaian terhadap penjenjangan data arkeologi di atas, sebutkan pula kelebihan (manfaat)dan kekurangannya secara umum!

    4. Menurut anda apa yang menyebabkan terjadinya perubahan (transformasi) fungsi suatu benda, baikdi dalam satu maupun antar sistem budaya? Jelaskan pula implikasinya bagi proses penyimpulanterhadap suatu artefak yang sudah t idak diketahui pendukung budayanya!

    5. Beragamnya jenis ekofak semakin menguatkan perlunya ilmu bantu bagi arkeologi. Mengapademikian?

    6. Apa persamaan dan pebedaan antara dua pengertian fitur sebagaimana dijelaskan di atas?Pengertian mana yang saudara anggap paling tepat?

    7. Kriteria apa saja yang digunakan untuk membedakan antara constructed feature dengan cumulative feature, dan bagaimana cara membedakan keduanya?

    8. Matriks, provenience, dan asosiasi merupakan tiga variabel pokok yang terkait erat dengan konteks

    temuan, dan masing-masing harus mendapatkan porsi perhatian yang seimbang pada saatmelakukan analisis kontekstual. Berikan alasannya!

    9. Mengapa konteks harus dibedakan menjadi beberapa jenis, dan apa saja yang harus diperhatikanuntuk dapat mengenali masing-masing jenis tersebut?

    10. Sebutkan persamaan dan perbedaan secara prinsip antara konteks dengan sebaran!

    11. Satuan (unit) analisis temuan secara non-arbitrer lebih bermanfaat dan validitas hasilnya pun lebihtinggi dibandingkan dengan satuan secara arbitrer. Mengapa demikian? Berikan pula contohkasusnya!

    12. Di samping satuan (unit) analisis yang diterapkan, aspek apa saja yang juga berperan dalam penentuan tinggi-rendahnya kualitas data arkeologi?

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    21/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    21 | P a g e

    DAFTAR PUSTAKA

    Binford, Lewis R., 1962, Archaeolog y as Anthropology, dalam American Antiquity: Journal of the society for American archaeology vol. 28, 217-155.

    ___________, 1989,Debating Archaeology, Academic Press, San Diego.

    Bintaro, R., 1995, Keterkaitan Manusia, Ruang, dan Kebudayaan, Berkala Arkeologi, Th. XV-Edisi Khusus, Balai

    Arkeologi, Yogyakarta, 1-3.Clarke, David L., 1968, Analytical Archaeology , Colombia University Press, New York.

    ___________(ed.), 1972,Models and Paradigms in Contemporary Archaeology , Methuen and Co., London, 1-60

    Deetz, James, 1967, Invitation to Archaeology , The Natural Historic Press, New York.

    Gibbon, Guy, 1984, Anthropological Archaeology , Colombia University Press, New York.

    Hodder, Ian, 1982, Symbols in Action: Ethnoarchaeological studies of material culture, Cambridge UniversityPress, Cambridge.

    ___________, 1986,Reading the Past, Cambridge University Press, Cambridge.

    ___________, 1991, Post -Modernism, Post-Structuralism, and Post- Processual Archaeology, dalam Ian Hodder(ed), The Meaning of Things , Harper Collins Academic, Cambridge, 64-78.

    ___________, 1995,Theory and Practice in Archaeology, Routledge, London.Kelley, Jane H. Dan Marsha P Hanen, 1988, Archaeology and the Methodology of Science, University of New

    Mexico Press, Albuquerque.

    Melas, E.M., 1991, Etics, Emics and Emphaty in Archaeological Theory, dalam Ian Hodder (ed.), The Meaning ofThings: Material culture and symbolic expression, Harper Collins Academic, Cambridge. 137-155

    Mundardjito, 1995, Kajian K awasan: pendekatan strategis dalam penelitian arkeologi di Indonesia dewasa ini,Berkala Arkeologi, Th. XV-Edisi Khusus, Balai Arkeologi, Yogyakarta, 24-28.

    Patrik, Linda E., 1985, Is there an Archaeological Record, dalam Michael B. Schiffer (ed.), Advances in Archaeological Method and Theory, vol.8 , Academic Press New York, 27-62.

    Renfrew, Colin dan Paul Bahn, 1991, Archaeology: theories, methods and practice , Thames and Hudson, London.

    Schiffer, Michael B., 1976, Behavioral Archaeology , Academic Press, New York.

    Shank, Michael, 1992, Trees and Gardens A Topography of Archaeological Interpretations, dalam Experiencingthe Past, Routledge, London, 15-64.

    Shank, Michael and Ian Hodder, 1995, Processual, Postprocessual and Interpretive Archaeologies dalam IanHodder et.al (ed.), Interpreting Archaeology. Finding meaning in the past, Routledge, London, 3-29.

    Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore, 1979, Fundamentals of Archaeology , The Benjamin/Cummings.

    ___________, 1992, Archaeology: discovering our past, second edition, Mayfield Publishing Co., California.

    Skibo, James M., William H. Walker, dan Axel E. Nielsen (ed.), 1995, Expanding Archaeology , University of UtahPress, Salt Lake City.

    Spaulding, Albert C., 1971, Archaeological Dimension, dalam Gertrude E. Dole and Robert L. Carneiro (ed.),Essays in the Science of Culture: in honor of Leslie A. White, Thomas Y. Crowell, New York.

    Tanudirdjo, Daud Aris, 1992, Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia, dalam PIA VI, IAAI, Malang, 156-174.

    Taryadi, Alfons, 1991, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl L. Popper , P.T. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

    Thomas, David Hurst, 1989, Archaeology, Holt, Rinehart and Winston, Chicago.

    Tilley, Christopher, 1993, Introducion: Interpretation and a Poetics of the Past, dalam Christopher Tilley (ed.),Interpretative Archaeology, Providence/Oxford, Berg, 1-27.

  • 7/25/2019 2013_Paradigma-Karakter-Data (1)

    22/22

    | paradigma. karakter, dan data arkeologi | jse yuwono | arkeologi ugm | revisi 2013 |

    22 | P a g e

    Yuwo no, J. Susetyo Edy, 1995a, Rekontemplasi Periodisasi Prasejarah di Indonesia, Berkala Arkeologi, Th. XV-Edisi Khusus, Balai Arkeologi, Yogyakarta, 144-149.

    ___________,1995b, Megalitik Indonesia dan Ambiguitas Pemaknaannya, Buletin Artefak, no.15 , HIMA Fak. SastraUGM, Yogyakarta, 26-30

    ___________, 1999a,Laporan Penelitian Situs Gunungbang 1998 , PTKA Gunungkidul Jurusan Arkeologi Ugm,Yogyakarta, 26-30.

    ___________,1999b, Situs Gunungbang dalam Perspektif Transformasi, Seminar Sehari Penelitian TerpaduKawasan Arkeologis (PTKA) Gunungkidul Tahap I: Gunungbang , PTKA Gunungkidul JurusanArkeologi UGM, Yogyakarta.