etika terapan 1
Post on 17-Feb-2018
288 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
1/57
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
2/57
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
3/57
1
ETIKA TERAPANOleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUANSecara umum etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.Etika
umum membicarakan mengenai norma dan nilai-nilai moral, kondisi dasar bagi
manusia untuk bertindak secara etis, bagaiman manusia mengambil keputusan etis,
teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (suara hati manusia) dan lainnya. Etika
umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoretis, kendati
istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan
dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupan
sehari-hari dan tidak hanya bersifat teoretis.1
Sementara itu etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma
dan prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia
yang lebih khusus. Etika khusus di sini memberi pegangan, pedoman dan orientasi
praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang
dijalaninya. Etika khusus juga merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan
kegiatan khusus tertentu yang mempersoalkan praktik, kebiasaan dan perilaku
tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum
tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan tersebut dipihak lain.2
Etika khusus dibagi menjadi etika individual memuat kewajiban manusiaterhadap diri sendiri dan etika sosial, yang merupakan bagian terbesar dari etika
khusus. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota
umat manusia. Diagram di bawah ini menunjukkan pembagian etika, sebagai
berikut di bawah ini: 3
1Dr. A. Sonny Keraf,Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penebit
Kanisus, 1998), hlm. 322Ibid, hlm. 32-33
3Frans Magnis Suseno,ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 7-8
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
4/57
2
Diagram
Sistematika ETIKA
PENDAKATAN ETIKA TERAPAN
Ada dua pendekatan Etika khusus atau Etika Terapan, yaitu: pendekatan
multidisipliner dan kasuistikyang akan dijelaskan di bawah ini.
Pendekatan MultidisiplinerPada perkembangannyannya etika sebagai etika terapan atau applied ethics
ini memberikan kontribusi penting yang dapat diberika etika sebagai bagian dari
filsafat kepada bidang lintas disiplin ilmu lainnya. Bukan hanya pada Fakultas
Filsafat berkembang mata kuliah-mata kuliah seperti etika biomedis, etika bisnis,
etika lingkungan hidup, etika media massa dan lain sebagainya. Perkembangan
yang sama terjadi juga di fakultas-fakultas lainnya, misalnya etika biomedis
diberikan di Fakultas Kedokteran, etika bisnis di Fakultas Ekonomi dan seterusnya.
Dengan demikian etika bagaikan magnet yang menghimpun ilmu-ilmu atau bidang
kajian lainnya.4
Kerja sama etika dengan disiplin ilmu lain tersebut diperlukan, sehubungan
dengan etika harus melakukan pertimbangan-pertimbangan sesuatu yang di luar
bidangnya. Seorang Etikawan tentunya akan mengalami kesulitan untuk
memberikan pertimbangan dengan baik, bila tidak mendapatkan penjelasan-
penjelasan yang memadai dan lengkap yang hanya diperoleh dari disiplin ilmu yang
membidanginya.5
Misalnya, seorang etikawan tidak akan mendapatkan penjelasan
4K Bertens, Panorama Filsafat Modern,(Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan Publika,
2005), hlm. 24-255Antonius Atosokhi Gea,Relasi Dengan DuniaAlam, Iptek dan Kerja, (Jakarta: Penerbit
PT Elex Media Komputindo, 2005), hlm 24
ETIKA
UMUM
Prinsip
Moral dasar
KHUSUS
terapan
ETIKA INDIVIDUAL
ETIKA SOSIAL
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
5/57
3
yang memadai, ketika memberi pertimbangkan mengenai masalah bayi tabung,
apabila etikawan tersebut tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari dunia
kedokteran. Demikian juga para profesional seperti halnya Ikatan dokter Indonesia
pun menuliskan dampak teknologi kedokteran bagi etika.6
Kasuistik
Sehubungan dengan etika terapan menggeluti masalah-masalah yang sangat
konkret, tidak mengherankan bahwa di sini telah berkembang kebiasaan untuk
mempelajari kasus, seperti yang telah dilakukan oleh ilmu kedokteran dengan etika
biomedisnya dan ilmu manajemen dengan etika bisnisnya kasus-kasus banyak
dibicarakan. Bahkan saat ini sudah ada buku-buku yang memuat kasus-kasus dan
pembahasan dari kasus tersebut, baik di bidang etika biomedis maupun etika bisnis,
misalnya kasus-kasus yang membahas Susu Bayi Nestle, kasus mobil Ford Pinto dan
kasus-kasus lainnya di bidang etika bisnis.
7
Kasuistik itu sendiri merupakan usaha memacahkan kasus-kasus konkret di
bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Jadi, Kasuistik
ini sejalan dengan maksud umum dari etika terapan. Tidak mengherankan bila
dalam suasana etis yang menandai jaman kita saat ini, timbul minat baru untuk
kasusistik ini. Kasuistik itu sendiri memiliki sejarah panjang dan kaya yang
sebenarnya sudah ada sejak Aristoteles menyatakan etika sebagai ilmu praktis.8
Pertimbangan moral yang praktis selalu bersifat kasuistik. Dalam hal ini
kasuistik secara khusus dapat membantu menjembatani kesenjangan antara
relativisme9
dan absolutisme. Pada satu sisi adanya kasuistik mengandaikan secara
tidak langsung bahwa relativisme moral tidak bisa dipertahankan. Dalam hal inimengandaikan, bahwa setiap kasus memiliki kebenaran-kebenaranannya masing-
masing, maka dalam pandangan ini kasuistik sebenarnya tidak diperlukan lagi. Di
satu sisi norma-norma etis juga tidak juga bersifat absolut begitu saja, sehingga sulit
diterapkan tanpa mempertimbangkan situasi konkret. Jadi faktor situasi konkret
yang disebut dengan circumstantiae merupakan faktor yang penting yang menjadi
pertimbangan, faktor inilah yang merupakan faktor khas yang menandai situasi
tersebut atau dalam bahasa Indonesia kita kenal sebagai sikon. Sebuah rumusan
klasik yang tetap berlaku hingga saat ini untuk memahami kasuistik ini berupa
rumusan: quis, quid, ubi, quibus auxiliis, cur, quomodo, quando atau dalam
6Kartono Mohamad di dalam K. Bertens,ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007), hlm. 2747K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2003), hlm. 268K. Bertens,ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 275-276
9Relativisme moral merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa moralitas
didasarkan terutama pada budaya, dan bahwa pada kenyataannya tidak ada kebenaran dan kealahanmutlak.
Patricia J. Parsons,Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm. 37
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
6/57
4
bahasa Indonesia yang sudah sangat populer dengan siapa, apa, di mana, dengan
sarana mana, mengapa, bagaimana, kapan kasuistik ini dirumuskan.10
METODE ETIKA TERAPAN
Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak seragam. Etikasebagai ilmu yang praktis tidak ada metode yang siap pakai yang dapat begitu saja
digunakan oleh orang yang berkecimpung dalam bidang ini. Pada etika terapan,
variasi metode dan variasi pendekatan berbeda-beda. Dalam hal ini paling tidak ada
empat unsur yang melalui salah satu cara selalu berperan dalam etika terapan.
Empat unsur tersebut mewarnai setiap pemikiran etis, jadi metode etika terapan
dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada
umumnya. Empat unsur yang dimaksud disini adalah: Sikap awal, informasi,norma-norma moral, logika. Berikut di bawah ini dipaparkan empat unsur tersebut,
sebagai berikut:
11
1. Sikap Awal
Selalu ada sikap awal dan tidak pernah bertolak dari titik nol dalam
membentuk suatu pandangan mengenai masalah etis apa pun. Sikap moral
ini dapat berupa pro atau kontra atau juga netral, atau malah tidak peduli
sama sekali, namun sikap-sikap awal ini belum direfleksikan. Sikap awal ini
terbentuk karena berbagai faktor misalnya pendidikan, kebudayaan, agama,
pengalaman pribadi dll. Sikap awal akan bertahan sampai suatu saat
berhadapan dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah reflesinya.
Bisa jadi sikap awal tersebut menjadi masalah ketika berjumpa dengan orang
yang memiliki sikap yang berbeda dengan dirinya. Pada awalnya mungkinkita belum berpikir mengapa kita bersikap demikian, misalnya dalam
masyarakat yang sudah biasa menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber
energinya, tanpa keberatan apa pun mereka menerima begitu saja
penggunaan energi nuklir tersebut. Akan tetapi seiring dengan sikap negara
yang menggunakan nuklir sebagai alat persenjataannya, seperti Korea Utara
yang sering kali melakukan uji coba nukir ditambah dengan peristiwa gempa
besar di Jepang yang merusak reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir yang
efeknya begitu besar bagi manusia, peristiwa tersebut seperti membuka mata
masyarakat akan bahaya energi nuklir bagi kehidupan manusia. Dariperistiwa ini sikap awal orang akan tergugah dan menjadi problema etis.
2. Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang diperlukan adalah
informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis yang terkait dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, seperti masalah di atas. Bisa saja sikap
awal yang diambil pro, karena energi nuklir energi yang sangat murah
namun menghasilkan energi listrik yang besar. Sikap awal seringkali bersifat
subjektif yang tidak sesuai dengan kondisi objektifnya. Melalui informasi
10K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika,hlm. 33-35
11K. Bertens,ETIKA, hlm. 295-303
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
7/57
5
dapat diperoleh, bahwa bahan sisa-sisa energi nuklir ternyata tidak mudah
musnah. Sampah nuklir mengandung radioaktif yang membutuhkan 6000
tahun untuk tidak aktif. Hal ini tentu sangat mencemari lingkungan, air,
tanah dan udara melalui radioaktif yang dilepaskan ke udara. Tentu
informasi-informasi ini diperoleh melalui data ilmiah yang dapatdipertanggungjawabkan, informasi tersebut diperoleh dari para ahli di
bidangnya. Dengan demikian etika terapan memerlukan informasi-informasi
yang berkaitan dengan masalah etis tersebut, hal ini sesuai dengan konteks
yang sudah dijelaskan di atas etika terapan mengadakan pendekatan
multidisipliner.
3. Norma-norma Moral
Metede etika terapan berikutnya adalah norma-norma moral yang relevan
untuk topik atau bidang bersangkutan. Penerapan norma-norma moral ini
merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan. Penerapan norma-norma ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, tidak seperti mata kuliah
teknik yang dapat menerapkan prinsip teori teknik secara langsung dalam
mengaplikasikannya ke dalam praktik, misalnya dalam membangun sebuah
bangunan. Hal ini lebih dikarenakan norma-norma tersebut tidak dalam
kondisi siap sedia dan tinggal diterapkan begitu saja, akan tetapi norma-
norma tersbut perlu diuji dan dibuktikan terlebih dahulu, sebagai norma yang
dapat diterima dan digunakan untuk kasus tersebut, serta dapat diterima
secara umum. Misalnya mengenai masalah perbudakan, tidak serta merta
semua orang menyadari bahwa hal itu tidak sesuai norma. Hal ini melalui
penerapan pada sekelompok kecil yang akhirnya mempengaruhi orang secarakeseluruhan, bahwa perbudakan bukan hal yang baik untuk kemanusiaan.
4. Logika
Etika terapan harus bersifat logis, dalam hal ini menuntut uraian yang logis
dan rasional dalam pemaparannya. Melalui bantuan logika dapat
memperlihatkan bagaimana suatu argumentasi mengenai masalah moral,
kaitan antara kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan apakah
penyimpulannya tersebut tahan uji, jika diperiksa secara kritis menurut
aturan-aturan logika. Melalui logika dapat menunjukkan kesalahan-
kesalahan penalaran dan inkonsistensi yang terjadi dalam argumentasi yangdipaparkan. Logika juga dapat menilai definisi yang tepat tentang konsep
yang dibicarakan dalam etika terapan. Diskusi akan menjadi tidak terarah
apabila penyaji tidak berhasil mendefinisikan topik-topik yang dibahas itu
secara jelas. Misalnya penyaji harus terlebih dahulu mendefinisikan
mengenai topik perjudian, korupsi, suap dan sebagainya secara jelas menurut
aturan logika. Melalui pendefinisian yang dibantu dengan logika tersebut
perdebatan moral menjadi lebih terarah dan menarik.
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
8/57
6
PENUTUP
Demikianlah etika terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip atau norma-
norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma
dan prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia
yang lebih khusus. Etika terapan juga bersifat multidisipliner, dalam hal inimemerlukan ilmu-ilmu lain selain etika untuk menjelaskan masalah yang disoroti,
agar dalam penyimpulan etis dapat dilakukan dengan tepat. Metode etika terapan
terdapat empat unsur yang terdiri dari: sikap awal, informasi, norma-norma moral,
logika
DAFTAR PUSTAKA
Dr. A. Sonny Keraf,Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: PenebitKanisus, 1998)
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia Alam, Iptek dan Kerja, (Jakarta:Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005)
Frans Magnis Suseno,ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989)
K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan Publika,
2005)
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: PenerbitKanisius, 2003)
K. Bertens,ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Patricia J. Parsons,Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004)
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
9/57
7
ETIKA SOSIALoleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Pembagian lain dari Etika Terapan adalah pembedaan antara etika individual
dan etika sosial. Bidang kajian etika individual membahas berbagai kewajibanmanusia terhadap dirinya sendiri, sementara itu etika sosial lebih menekankan
kepada pembahasan kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat. Pembagian
etika kedalam etika individual dan etika sosial ini pun sebenarnya diragukan
relevansinya, mengingat manusia secara individu merupakan bagian dari
masyarakat, dengan demikian agak sulit membedakan etika yang semata-mata untuk
individu manusia tertentu dan etika yang semata-mata sosial. Sebut saja masalah
yang berkaitan dengan kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya bunuh
diri yang sama sekali tidak melibatkan orang lain diprosesnya, tetap saja pada
akhirnya merepotkan orang lain yang menemukan dirinya yang sudah didapatitidak bernyawa, karena orang yang bersangkutan memiliki famili, teman-teman,
tetangga dan lain sebagainya.12
Dengan demikian tidak ada suatu masalah pun yang dapat dilepaskan begitu
saja dari konteks sosial, sehingga pembagian etika ke dalam etika individual
kehilangan relevansinya, mengingat manusia sebagai mahluk sosial.
PEMBAGIAN ETIKA SOSIAL
Secara khusus etika sosial membahas menyangkut hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya, etika sosial memiliki ruang lingkup yang sangat luas.
Etika sosial menyangkut hubungan individu yang satu dengan individu yang
lainnya, serta menyangkut juga interaksi sosial secara bersama-sama, termasuk
dalam bentuk-bentuk kelembagaan (Keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis
terhadap paham yang dianut, serta pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-
masing.13
Selanjutnya Sonny Keraf membagi etika tersebut sebagai berikut di bawah
ini:14
12Kees Bertens,ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 27213
A. Sonny Keraf,ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 3414
Ibid, hlm. 34
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
10/57
8
Etika Umum
Etika Etika Individual
- Sikap terhadap sesama
- Etika Keluarga
Etika Khusus Etika Sosial
- Etika gender -Biomedis
-Bisnis
- Etika Profesi --Hukum
Etika Lingkungan -Ilmu
- Etika Politik Pengetahuan
- Pendidikan- Kritik Ideologi -dll
Dengan demikian, melihat sistematika pembagian etika khusus di atas,
hampir seluruh materi etika terapan yang diberikan dalam Mata Kuliah Etika di
Universitas Kristen Maranatha pada setengah semester ini sebagian bersar
merupakan bidang kajian dari Etika Sosial yang terdiri atas: Etika Bisnis, Etika
Politik dan Etika Seksual.
TEMA-TEMA ETIKA SOSIAL
Berikut dipaparkan tema-tema yang terdapat dalam kajian Etika Sosial,
sebagai berikut di bawah ini:
Menurut buku Manual of Social Etics15 terdiri atas: The Natural Law, TheDignity of Man, Mans Natural Rights, The Rights to Life, The Right toBodily Integrity, The Family, The State, Lesser Associations in the State,Vocational Organization, Trade Unionism, Education, Property, Capitalism,Communism, Strikes, Wages, Profit-Sharing and Co-Partnership.
15Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon),Manual of Social Ethics,
(Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956)
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
11/57
9
Sedangkan menurut buku ETIKA Sosial karya Jenny Teichman16
, Bagian
Pertama: Dasar Etika terdiri dari (Moralitas dan Humanitas; Egoisme,
Relativisme dan Konsekuensialisme); Bagian Kedua: Pembelaan
Humanisme (Manusia dan Pribadi, Manusia dan Binatang, Manusia dan
Mesin), Bagian Ketiga: Kematian dan Kehidupan (Eutanasia- Pro danKontra, Eutanasia Logika dan Praktek, Aborsi, Etika Profesional), Bagian
Keempat: Ideologi dan Nilai (Feminisme dan Maskulisme, Kebebasan
Berpikir dan Berekspresi dan Kelompok Kiri, Kanan dan Hijau)
DASAR ETIKA
Tindakan atau cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh keyakinannya
mengenai apa yang baik dan yang jahat, ada anggapan bahwa teori-teori etika tidak
mempengaruhi tindak-tanduk seseorang. Akan tetapi anggapan ini nampaknya
keliru, teori yang berbeda akan membuat tindakannya pun berbeda pula. Kelompokkonsekuensialis dalam hal ini utilitarian dan teman-temannya akan melihat sisi
manfaat atau keuntungannya ketimbang sisi benar dan salah apa yangdilakukannya.17
Demikian juga dengan Egoisme,dalam hal ini egoisme teoritis merupakan
teori yang menempatkan moralitas pada kepentingan dirinya sendiri. Secara kodrati
menurut faham ini segala tindakan manusia didorong oleh motivasi cinta diri dan
tindakan-tindakan yang nampak sepertinya tidak menunjukan cinta diri, namun
ternyata ada motivasi lain dibalik tindakannya tersebut. Misalnya hasrat menolong
orang menurut faham ini didasari oleh rasa cinta diri itu sendiri. Sementara itu
Friedrich Nietzsche menekankan bahwa pandangan egoisme itu harus dianut,manusia unggul harus menganut egoisme agar dapat memajukan bangsanya (ber-mensch).
18
Adapun Relativismemoral merupakan aliran etika yang menyatakan benar
dan salahnya bergantung pada masyarakat tempat dimana manusia itu hidup.
Seperti kita maklumi bahwa masing-masing kelompok masyarakat memiliki kode
perilaku yang berbeda-beda. Dengan demikian terdapat standar moralitas yangberbeda-beda, seseorang tidak dapat menghakimi orang lain dari komunitas lain
yang berbeda standar moralnya, bila ini terjadi maka ini berarti terjadi imperialisme
kultur. Apabila berpegang pada sudut pandang relativisme moral, kegiatan para KuKlux Klan dipandang sebagai tindakan yang jahat dan tidak adil dari sudut pandang
orang kulit hitam saja atau rasisme harus selalu dikutuk, kecuali ditempat dimana
masyarakat dapat menerima pandangan membeda-bedakan menurut dasar ras. Maka
dengan demikian, jika semua nilai bersifat relatif bagi suatu masyarakat, maka tidak
ada alasan untuk mengatakan bahwa konsistensi yang logis sebagaimana adanya
16Jenny Teichman,ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)17
Ibid, hlm. 318
Ibid,hlm. 5-10
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
12/57
10
lebih baik daripada rasisme atau tirani, semuanya bergantung pada sudut pandang
masyarakat bersangkutan.19
Menempatkan manusia pada sisi harkat dan martabatnya diperlukan dalam
mempelajari berbagai teori-teori etika yang ada, agar kita dapat memiliki prinsip
dalam mengambil sebuah tindakan. Dan prinsip tindakan itu adalah terletak padapenghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang menjadi dasar yang utama
dalam tindakan seseorang.
Jenny Teichman dengan tegas mengemukakan prinsip dasar yang harus
dipegang dalam etika sosial, prinsip pertama adalah bahwa manusia secara intrinsik
berharga, yakni kudus, dalam arti religius ataupun sekuler dan kedua bahwa manusia
mempunyai hak-hak kodrati.20
KEHIDUPAN MANUSIA DAN NILAI INTRINSIK
Lebih lanjut Jenny Teichman dalam bukunya ETIKA SOSIALmengemukakan mengenai nilai intrinsik dalam kehidupan manusia. Kehidupan
manusia dan nilai intrinsiknya dapat kita ketahui melalui pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:21
1. Hampir setiap orang ingin hidup, apakah mereka bahagia atau pun tidak
dengan caranya masing-masing, menunjukkan kepada kita bahwa hidup itu
memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar keberadaan jiwa maupun
raganya. Selain itu orang-orang di mana pun menilai kehidupan mereka
sendiri dan kehidupan orang-orang yang mereka cintai lebih tinggi daripada
apa pun yang lain di dunia ini.
2.
Kehidupan manusia hanya mempunyai nilai intrinsik jika layak dihidupi.Kehidupan yang bagaimana yang layak dihidupi itu? Apakah hidup yang
tidak layak dijalani ada dalam penderitaan seperti dalam keadaan sakit yangberkepanjangan atau bahkan keadaan koma. Namun kehidupan dalam
tahanan, kesedihan, ataupun kesakitan bahkan dalam kekurangan makanan
pun ternyata dinilai layak dijalani.
3. Kaum utilitaris berpendapat bahwa hanya keadaan jiwa seperti dalam
keadaan senang dan bahagia yang memiliki nilai intrinsik, pendapat ini
digambarkan seperti menaruh kereta di depan kuda. Sementara itu apabila
kita menilai sebilah pisau, kita menilainya hanya sebagai alat saja, lainhalnya kita menilai sebuah Lukisan Leonardo da Vinci, maka kita
mengatakan lukisan tersebut memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian
penilaian memiliki nilai intrinsik tersebut dinilai dari kualitasnya bukan
dilihat dari sisi instrument yang memiliki kegunaan saja. Demikian juga
halnya dengan menilai manusia jika dilihat dari sisi kebergunaan sebagai
19Ibid, hlm 10-15
20Jenny Teichman, hlm 2021
Ibid, hlm. 22-24
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
13/57
11
instrumen tadi, maka manusia yang ada dalam keadaan yang tidak berdayamungkin dinilai tidak ada gunanya.
4. Kalau begitu jika kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik,
bagaimana manusia dapat memberikan nilai kepada hal-hal lain? Bagaimana
suatu yang bernilai sekunder dapat memahami dan menciptakan sesuatu yangbernilai primer?
5. Bila masyarakat yang moral dan politiknya didasarkan atas teori bahwa
kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik akan bertindak
memperlakukan orang lain sebagai cecunguk yang layak diinjak dan
ditendang, misalnya perlakuan terhadap orang Yahudi.
6. Jika ada tataran nilai di dunia ini dan manusia tidak berada pada puncak
tataran ini, lalu apakah yang ada di puncak?
Dalam poin-poin tersebut di atas dapatlah kita simpulkan bahwa setiap manusiabernilai pada dirinya sendiri, dan sama sekali tidak mengurangi nilainya manakala
manusia ada dalam kehidupan tidak bahagia sekali pun. Sehingga tidak ada alasa
bagi kita memandang rendah sesama kita, betapa pun secara kedudukan misalnya
dia adalah rakyat jelata dan miskin sekali pun, tetaplah kita harus menghormati diasebagai manusia.
Karena manusia bernilai pada dirinya sendiri, maka manusia pun
merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini dapat diartikan, bahwa tidak ada
alasan sedikit pun bagi kita menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai
suatu tujuan. Tidak selayaknya mengorbankan orang-orang atau golongan yang
lemah demi kemajuan masyarakat, hal ini jelas menyangkal manusiawinya sendiri.22
HAK-HAK ASASI UNIVERSAL
Gagasan mengenai hak-hak manusia yang universal atau hak-hak kodrati,
merupakan konsep pokok yang mendasari dan menginspirasi revolusi Amerika
maupun Prancis. Ada beberapa jenis hak yang berbeda, diantaranya: hak-hak
warisan, hak-hak legal, hak-hak sipil, dan hak-hak kodrati atau hak-hak asasi
manusia.23
Hak-hak warisan dalam hal ini tidak memerlukan negara dalam
pembelaannya, hak ini terbahas secara implisit dalam saling pemahaman dankepercayaan. Hak-hak legal mengandaikan adanya sistem hukum. Adapun Hak-hak sipil dimiliki oleh semua warga (dewasa) meliputi, hak-hak yang berkaitandengan hak legal, dan hak-hak yang berkaitan dengan pemerintah demokrasi seperti
hak memilih. Sementara itu Hak-hak kodrati meliputi hak-hak mutlak danuniversal. Hak-hak itu diakui sebagai dimiliki oleh semua manusia tanpa kecuali.
24
22Frans Magnis Suseno,ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982). Hlm.
90-9123
Jenny Teichman, hlm. 24-2524
Ibid, hlm 26-27
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
14/57
12
Mengenai hak kodrati ini, Thomas Hobbes (1588-1679) mengemukakan
dalam bukunya yang terkenal Leviathan, bahwa manusia memiliki hak asasi yangmasing-masing setiap individu miliki, namun rangka pemenuhan haknya itu antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain terjadi yang namanya bellum omnes
contra omnia (perang semua melawan semua) dan homo homini lupus (manusiaadalah serigala bagi sesamanya). Untuk itulah, Hobbes membayangkan sebuah
keadaan asali atau the state of nature dimana saat semua manusia mengadakankontrak sosial, setiap manusia dalam kontrak sosial itu menyerahkan kekuasaan dan
hak-hak kodratinya kepada sebuah lembaga yang disebut negara, agar ada lembaga
yang memiliki kekuatan mengamankan kepentingan manusia itu dan memaksakan
norma-norma dan ketertibannya.25
Berbeda dengan Hobbes yang menggambarkan keadaan manusia yang saling
bertentangan, karena masing-masing memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. John
Locke (1632-1704) dalam bukunya The Second Treatise of Government,menggambarkan keadaan asali manusia yang hidup bermasyarakat diatur olehhukum-hukum kodrat dan masing-masing individu memiliki hak-hak yang tak boleh
dirampas darinya. Jadi dalam masyarakat asali itu ada kebebasan dan kesamaan.26
Dalam pemaparan di atas kita sudah melihat sekilas ide mengenai hak-hak
asasi manusia yang universal ini dikemukakan oleh para filsuf, dan di dalam
pemaparan mengenai kehidupan manusia dan nilai intrinsiknya telah dipaparkan
bahwa manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri atau dengan kata lain berharga
dan memiliki martabat. Martabat manusia di hormati, apabila segenap anggota
masyarakat dihormati hak-hak asasinya.
Hak Asasi Manusia
Apa itu hak asasi manusia? Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak itu dimiliki manusia karena ia
manusia. Sejak seseorang berada dalam kandungan ibunya sampai dengan ia
dilahirkan, ia sudah memiliki hak-hak asasi tersebut. Dalam pemandangan hak asasi
manusia, bahwa hak-hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku
oleh masyarakat atau negara.27
Hak asasi manusia tersebut dapat dibedakan dalam tiga kelompok, sebagaiberikut:28
(1)Hak-hak kebebasan, hak-hak ini bersifat melindungi kebebasan dan otonomi
manusia dalam kehidupan pribadi. Hak-hak ini meliputi diantaranya: (a) hak
atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak (pada dasarnya hak di
dalam kebebasan fisik manusia); (b) kebebasan dalam memilih jodoh,
kebebasan beragama (dan hak-hak lainnya yang meliputi kebebasan secara
25F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI NIETZSCHE,
(jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 65-7226Ibid, hlm 80-8127
Frans Magnis Suseno,ETIKA SOSIAL, hlm. 98-9928
Ibid, hlm. 99-101
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
15/57
13
psikis); (c) perlindungan terhadap hak milik, hak untuk tidak ditahan secarasewenang-wenang dan hak atas perlindungan hukum lainnya (dan hak-hak
lain yang berkaitan dengan kebebasan normatif).
(2)Hak-hak demokratis, hak-hak ini berdasarkan keyakinan akan kedaulatan
rakyat, dimana rakyat berhak untuk mengurus diri sendiri di dalamnyatermasuk hak untuk memilih dengan bebas siapa yang akan mewakili dalam
lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang, hak untuk
menyatakan pendapat, kebebasan pers, hak untuk berkumpul dan
membentuk serikat (perkumpulan).
(3)Hak-hak sosial, hak-hak ini berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan
negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya. Dalam hal ini meliputi hak atas jaminan sosial dasar seperti hak
atas pekerjaan, mendapatkan upah yang wajar, perlindungan terhadap
pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita atas perlakuan yang sama,dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan kultur masyarakat.
Jelaslah hak-hak asasi manusia tersebut dapat dijabarkan dalam pembagian di atas
dan hak-hak tersebut perlu dirumuskan secara konkrit, agar nilai-nilai dan filosofi
hidup luhur yang menghargai martabat manusia tersebut memiliki arti dan
dikongkritkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian menghormati hak-hak
asasi manusia beserta harkat dan martabatnya dapat diukur. Hak-hak asasi manusia
merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politi, sosial, ekonomi,
kultural dan ideologis yang melindasnya. Maka sebaiknya pembangunan yang
berperikemanusiaan dan bermartabat itu jelas ukurannya adalah tidak melanggar hakasasi manusia.
KEMATIAN DAN KEHIDUPAN
Dalam bagian ini, bagaiman kita memandang mengenai kematian, apakah
manusia memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, sehubungan dengan berbagai hal
dalam kehidupannya, misalnya penyakit yang sulit disembuhkan yang menyebabkan
penderitaan yang sedemikian hebatnya.
Eutanasia dalam Oxford English Disctionary dirumuskan the painless killing
of a patient suffering from an incurable and painful disease or in an irreversiblecoma
29atau sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam
kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.
Ada tujuh alasan yang dapat diberikan untuk mendukung pembunuhan belas
kasih ini, meliputi: (1) tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyak hak
yang tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya
sendiri; (2) anggapan mengenai kepemilikan, bahwa kehidupan seseorang
merupakan miliknya sendiri; (3) fakta bahwa sejumlah penyakit dirasakan membuat
sangat menderita; (4) keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan
kendatipun bukan karena rasa sakit, namun dirasa tidak memiliki arti atau hidupnya
29http://oxforddictionaries.com/definition/english/euthanasiadiakses 10 Maret 2013
http://oxforddictionaries.com/definition/english/euthanasia -
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
16/57
14
sudah tidak berarti lagi (kualitas hidup); (5) pendapat bahwa ketergantungan kepada
perhatian orang lain yang merendahkan dan tidak pantas (martabat dan penghinaan);
(6) gagasan bahwa teknik medis modern memaksa kita untuk menerima
pembunuhan belas kasih dalam banyak kasus dan (7) teori filosofis mengenai
tindakan dan kelalaian.30
Berdasarkan ketujuh alasan yang mendukung adanya eutanasia ini, marilah
kita membahas satu-persatu sanggahan atas dukungan terhadap eutanasia di atas.
Pertama, salah satu pendukung yang mengajak untuk menghormati
Otonomi,merumuskan prinsip bahwa kepada kita membiarkan para pelaku rasional
untuk menghayati hidupnya sendiri menurut keputusan otonomnya sendiri, bebas
dari paksaan atau campur tangan. Jika pelaku itu memilih secara otonom untuk
mati, maka hormat pada otonomi itu membawa kita untuk memantu mereka
melakukan apa yang mereka pilih. Dalam pemikiran ini jelaslah ada sesuatu yang
salah, prinsip otonomi seperti yang dilukiskan di atas akan membawa pada doktermematikan siapa pun, termasuk orang sehat, demi permintaannya.31
Pendapat di atas tentu tidak dapat diterima oleh Kant (sebagai Bapa
Deontologis, bagi Kant otonomi tidak sama dengan hak supaya keinginannya yang
sepertinya rasional, diperlakukan sebagai suatu keharusan yang mutlak. Menurut
Kant dalam Kritik der praktischen Vernunft, mengemukakan pengetahuan moral,misalnya dalam putusan orang harus jujur, tidak menyangkut dengan kenyataan
yang ada, melainkan sebagai suatu kenyataan yang seharusnya atau das sollen.Pengetahuan semacam ini bersifat a priori, karena tidak perlu hal yang empiris,namun merupakan suatu asas-asas dari tindakan. Asas tindakan ini dihasilkan oleh
rasio praktis, dimana rasio praktis membuat suaru objek menjadi nyata melaluitindakan.32 Dengan demikian tindakan ingin mengakhiri hidup ini merupakan
pelanggaran hukum moral dan karenanya secara hakiki merupakan suatu yangirasional.
Memang benarlah adanya tindakan seperti bunuh diri atau merusak diri
sendiri sebagai sesuatu yang irasional. Hal ini nampak dari tindakan orang yang
kecanduan obat bius tindakannya sudah bukan lagi sebagai suatu tindakan yang
otonom, dirinya sudah bukan lagi mahluk yang benar-benar otonom sehubungan
dirinya dikuasi dengan keinginan terus-menerus menikmati obat bius. Tindakan
semacam ini adalah menunjukkan orang yang lemah atau cupet yang tidakmemiliki pandangan yang lebih jauh.
Kedua, anggapan sebgai kepemilikan, Milik siapa hidup ini? nampaknya
memang setiap pribadi memiliki hidupnya sendiri-sendiri, seakan kehidupan inisemacam harta milik.
Mari kita lihat alasan, kalau hidup ini milik saya sendiri, apakah ini berarti
saya harus dibiarkan merusak diri saya? Kalau pun saya memiliki benda apa pun
dan saya berhak atas benda itu dan berhak juga untuk memusnahkannya, tetapi tidak
30Jenny Teichman, hlm. 75-7631
Ibid, hlm 7632
F. Budi Hardiman, hlm. 144-145
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
17/57
15
berarti bahwa orang dibenarkan untuk merusak apa pun yang dimilikinya itu.
Bagaimana dengan koleksi barang-barang berharga yang kita miliki? Atau
bagaimana dengan karya-karya seni yang indah? Apakah saya atau anda pecinta
karya seni setuju atas tindakan saya merusak koleksi karya seni yang berharga itu?
Pengertian memiliki hidup seseorang dalam arti apa pun sifatnya agakkhusus. Kita berbicara mengenai hidup saya dan hidup anda, tetapi tidak harus
berarti memiliki sungguh-sungguh. Dengan lain perkataan, tidak semua penggunaan
kata sifat milik-ku, mu, nya dan sebagainya mengartikan pemilik hak.33
Ketiga, rasa sakit, barangkali ketakutan akan rasa sakit tak tersembuhkan
merupakan alasan utama orang mengakhiri hidupnya, dengan alasan kasihan, tidak
tega melihat hidupnya dan lain sebagainya. Alasan rasa sakit ini sebenarnya seiring
dengan berkembang pesatnya kedokteran, maka alasan eutanasia karena alasan rasa
sakit itu bukan lagi menjadi alasan. Dr. James Gilbert MRCP menuliskan sebagai
berikut: Perawatan untuk meringankan rasa sakit memperteguh kehidupan danmemandang kematian sebagai proses normal tidak mempercepat ataupun
memperlambat kematian menyumbngkan sistem bantuan untuk menolong pasien
menghayati hidupnya seaktif mungkin hingga kematian menyumbangkan sistem
bantuan untuk menolong mereka yang dekat dengan pasien baik selama
menanggulangi penyakit si pasien maupun dalam menghadapi kesulitan mereka
sendiri.34
Keempat, Kualitas hidup. Kondisi yang memaksa eutanasia berkaitan
dengan rendahnya kualitas hidup, misalnya kehidupan bayu yang dilahirkan
dengan cacat, atau orang dalam keadaan koma. Dalam kondisi ini orang tidak dapat
menggunakan otonominya sama sekali, sehingga apakah kehidupannya dapatdihakimi oleh pihak luar dan apakah hidup semacam ini tidak berharga sama sekali?
Seperti halnya dikemukan dalam bagian sebelumnya, bahwa keputusan
kehidupan itu tidak berharga tidak bisa muncul dari luar, setiap kehidupan manusia
menjadi layak untuk dihayati oleh banyak atau kebanyakan yang menghayatinya.
Dengan demikian selalu ada alasan untuk meyakini bahwa suatu keputusan yang
berakibat hidup orang lain tidak pantas dilanjutkan tidak saja tidak konsisten denganotonomi tetapi sering kali justru merupakan pelanggaran otonomi itu sendiri.
Kelima, Martabaat dan penghinaan. Apakah amat memalukan bergantung
kepada orang lain dalam perawatan? Apakah merawat merupakan penghinaan bagipara perawat? Memberi perhatian kepada orang lain merupakan sifat manusia yang
penting, yang dapat memberi arti kepada kehidupan individu. Misalnya anak-anak
muda yang kecewa di dunia Barat yang kaya menemukan arti dalam menolongorang-orang sakit di Afrika dan India atau orang-orang miskin dalam kota mereka
sendiri. Jadi pandangan bahwa menaruh perhatian kepada orang lain adalah
merendahkan merupakan gagasan yang merendahkan seluruh profesi medis.35
33Jenny Teichman, hlm. 7934
Ibid, hlm. 8135
Ibid, hlm. 84
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
18/57
16
Keenam, Teknik Medis Modern. Kadang dipersoalkan teknik medis
modern telah menciptakan situasi yang menuntut moralitas baru. Hal ini dilihat
adanya fakta bahwa teknik modern dapat mempertahankan kehidupan pasien untuk
waktu lama. Karena itu, dapat terjadi ada orang yang bertahan hidup sampai waktu
yang tidak terbatas, tetapi tidak pernah akan pulih . Dalam hal ini para dokter harusmengambil keputusan yang dahulu mungkin belum pernah diambil, yaitu keputusan
menyangkut siapa yang harus menggunakan sarana penunjang hidup lebih dahuludan kemudian keputusan mengenai kapan mesin bantuanitu harus dimatikan.
Dalam kondisi ini, tidak penting kita merumuskan kembali kematian, juga
tidak masuk akal juga berbicara mengenai etika baru. Sebab kepada kita
diberitahu bahwa menyembuhkan pasien itu tidak sama dengan memperpanjang
proses kematian.36
Keenam, tindakan dan pengabaian. Eutanasia yang pasif dikatakan terjadi
ketika penangan medis tidak dilakukan atau dihentikan inilah yang disebutpengabaian. Seperti halnya kasus di atas, penggunaan mesin alat bantu hanya
memperpanjang proses kematian, tetapi tidak melakukan apa-apa pun juga menjadi
sesuatu yang sepertinya salah (eutanasia pasif), dalam kondisi inilah terjadi suatu
dilema.
Untuk menjawab persoalan di atas, sejumlah pengajar filsafat mencoba
mencari jawaban dengan logika. Menurut ahli logika, dalam kasus ini ada logika
yang tidak dapat diterima. Tidak ada yang tidak konsisten dalam mengatakan
bahwa (i) jikalau seorang dokter mempunyai kewajiban melanjutkan penanganan itu
berarti (ii) bahwa ia harus juga tidak membunuh pasiennya. Dari pernyataan ini,
mari kita lihat pernyataan berikut, pertama menyelamatkan dan membunuh bukanlawan, kedua tidak berlawanan tetapi hanya berseberangan. Maka tidak
menyelamatkan tidak ekuivalen dengan membunuh. Kedua, membunuh dan
menangani bahkan bukan berseberangan; secara logis keduanya saling mandiri.
Maka dengan demikian disimpulkan, tidak menangani tidak sama nilainya dengan
membunuh, karena membunuh dan tidak menangani secara logis tidak tergantung
satu sama lain.
Penutup
Sedemikian panjang dan luasnya bidang kajian Etika sosial ini, suatu halyang tidak mungkin seluruh kajian ini dituangkan dalam tulisan yang sederhana ini.
Namun kajian-kajian Etika Sosial lainnya dapat didalamai dalam bagian kuliah
masing-masing bagian terpisah secara khusus, seperti bagian ideologi dan nilai dapat
juga dibahas dalam kajian ETIKA POLITIK, bahasan ETIKA SEKSUAL tidak
melulu membahas persoalan seputar seksual tetapi masalah nilai-nilai Feminisme
yang sedemikian berkembang dewasa ini. Demikian juga dengan ETIKA BISNIS
dapat dipertajam lagi, sehingga bagian kuliah ETIKA SOSIAL ini menjadi
pengantar bagi kajian ETIKA SEKSUAL, POLITIK, BISNIS, PROFESI (baik
bisnis, engenering dan lainnya).
36Ibid, hlm. 85-86
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
19/57
17
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf,ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI NIETZSCHE,(jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Frans Magnis Suseno,ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982)
Jenny Teichman,ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Kees Bertens,ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon),Manual of Social Ethics, (Dublin:
M.H. Gill and Son LTD, 1956)
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
20/57
18
ETIKA BISNISoleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Bisnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai suatu profesi
pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang profesional. Profesionalitas di sini
tidak hanya diartikan dalam kaitannya dengan keahlian dan keterampilan yang
terkait dengan bisnis seperti halnya dalam bidang manajemen operasi, pemasaran,
keuangan, sumber daya manusia dan lainnya, terutama dikaitkan dalam prinsip
efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.37
Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa Etika Bisnis
merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial. Hal ini dilihat lebih jauh olehKees Bertens yang menegaskan, bahwa kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan
langsung dengan kompleksitas masyarakat modern dan bisnis juga dipandang
sebagai suatu kegiatan sosial dalam pengertian aspek hubungan antar manusia.38
Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat dari aspek
bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi perusahaan yang mendatangkan
keuntungan serta melakukan efisiensi, akan tetapi kegiatan bisnis juga melibatkan
hubungan antara pengusahaan dengan karyawannya, pelanggan, masyarakat pada
umumnya hingga pemerintah (hubungan antar manusia). Sehingga, diperlukan
komitmen pribadi pengusaha yang tinggi, serius dalam menjalankan pekerjaannya,bertanggung jawab agar tidak sampai merugikan pihal lain. Dengan demikian sikap
pengusaha yang diharapkan disini adalah orang yang menjalankan pekerjaannya
secara tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik dan tanggung jawab moralpribadinya.
Tiga Aspek Pokok dari Bisnis
Kegiatan bisnis menurut K. Bertens dapat disorot dalam tiga sudut pandang
yang berbeda yang tidak selalu dapat dipisahkan, yaitu: (1) sudut pandang ekonomi,
37A. Sonny Keraf,ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 46-47
38Kees Bertens,ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 13
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
21/57
19
(2) sudut pandang hukum, dan (3) sudut pandang etika, sebagai berikut di bawah
ini:39
(1)Sudut pandang ekonomis. Dalam sudut pandang ekonomis ini, bisnisdipandang sebagai suatu kegiatan tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-
memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia lainnya, dengantujuan untuk memperoleh keuntungan. Pencarian keuntungan dalam bisnis
disini tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi, komunikasisosial yang menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan
bisnis tersebut. Dalam konteks seorang yang bekerja pada suatu perusahaan,
motivasi utama untuk bekerja di perusahaan tersebut adalah untuk
mendapatkan gaji. Walaupun seseorang bekerja pada perusahaan
saudaranya, motivasi saudaranya tersebut bukan dalam rangka membantu
usahanya, akan tetapi motivasi terbesar bekerja di sana adalah mendapatkan
gaji.Good Businessatau bisnis yang baik dalam pandangan ekonomis ini sedapatmungkin bisnis membawa paling besar keuntungan bagi perusahaannya.
Dengan demikian kita dapat memaklumi bila seorang manajer operasi
mempertahankan produktivitas perusahaannya menghasilkan barang pada
suatu titik tertentu yang dianggap optimal agar biaya produksi dan biaya
variabel lainnya menjadi bertambah besar yang ujung-ujungnya akan
menaikan harga.
(2) Sudut pandang moral. Dengan tidak meninggalkan motivasi ekonomisdalam berbisnis, perlu ditambahkan adanya sudut pandang lain yang tidak
boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut pandang dari aspek moral.Pertimbangannya adalah selalu ada masalah etis dari perilaku kita yang
terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut. Tidak semua yang dapat kita lakukan
dalam rangka mencapai keuntungan tersebut bolehkita lakukan. Kita harus
menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan pertimbangan kita pun
tidak mau kepentingan dan hak kita dilanggar yang berakibat kerugian bagi
diri kita. Dengan demikian menghormati kepentingan dan hak orang lain
harus dilakukan dalam menjaga kepentingan bisnis kita.
Good Business dalam sudut pandan moral ini, bukan saja bisnis yang
menguntungkan. Namun bisnis yang juga baik secara moral. Malah harusditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata
baik. Perilaku yang baik di sini merupakan perilaku yang sesuai dengan
norma-norma moral (berperilaku etis).
(3)Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat juga oleh hukum.Hukum dagang atau Hukum bisnis merupakan cabang penting dari ilmu
hukum modern. Ada banyak masalah hukum dalam praktik hubungan bisnis,
baik dalam tataran nasional maupun internasional. Seperti halnya etika,
hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentunya antara hukum dan
39Ibid, hlm. 13-32
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
22/57
20
etika, jelas sangat terkait. Quid leges sine moribus?, apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas? Dengan demikian etika selalu harus
menjiwai hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus menaati
hukum dan peraturan yang berlaku. Bisnis yang baik antara lain berartijuga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut pandngan hukum itu
tidaklah cukup, perlu juga sudut pandang moral. Tidak semua hal yang
pantas dan tidak pantas dilakukan diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi
perlu juga pandangan moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum
merupakan suatu syarat yang minimum, patuh pada hukum dan tidak juga
melanggar moral itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pebisnis. If
its morally wrong, its probably also illegal.
Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita dapatdengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu dengan melihat
kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu juga dengan apakah
perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi hukum, dapat dilihat dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bahkan dapat menanyakan langsung kepada
pengadilan dan meminta putusan hakim. Namun, dari aspek moral sulit
mengukurnya apakah baik atau buruk secara moral dari bisnis yang dijalankan
tersebut. Sehingga untuk membantu mengukurnya ada tiga tolok ukur, yaitu: hati
nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum.
Ukurang pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini mengikat diri
kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati nurani dan bilamengabaikannya itu berarti kita sedang menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi
dalam berbagai kasus bisnis yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga
tingkat produktivitas yang diinginkan supervisor melangggar standar keamanan.
Yang pertama menilai dari masalah ini adalah hati nurani, apakah hati nurani
mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat subjektif hanya ada pada seorang
supervisor tersebut. Tentunya ini sangat subjektif, dan bila hati nurani orang
tersebut tidak dibina atau terdidik, maka akan membentuk hati nurani yang tidak
semestinya, menjadi terlalu longgar atau bahkan tumpul sama sekali.
Kaidah emas, Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Andamemperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan. Atau
dalam rumusan yang negatif berbunyi,Janganlah melakukan terhadap orang lain,
apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda. Melalui
prinsip kaidah emas ini, masing-masing kita akan mengukur apa yang akan kita
lakukan terhadap orang lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak ingin rugi,
maka kita pun tidak boleh merugikan orang lain pula.
Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan baik buruknya
suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk
dinilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Kualitas etis suatu perbuatanditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
23/57
21
ETIKA BISNIS
Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan menyelidiki
dan menjernihkan kata seperti etika dan etis yang dibedakan antara etika
sebagai praksis dan etika sebagai refleksi. Berikut ini dijelaskan etika sebagaipraksis dan refleksi tersebut, di bawah ini:40
Etika sebagai praksis41
adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak
sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat kita lihat dari tema-tema
pemberitaan di media, misalnya Ada unsur tidak etis dalam proses akuisisi,
Tegakkan etika bisnis dengan Undang-undang Anti Korupsi, contoh
kalimat tersebut menunjuk kepada etika sebagai praksis, misalnya orang
yang memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-undang itu
harus secara konsisten dan ketat dijalankan sedemikian rupa sehingga nilai
dan norma dalam bisnis bisa ditegakkan. Dengan demikian Etika sebagaipraksis sama artinya dengan moral (apa yang boleh dan tidak untuk
dilakukan).
Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral. Etika sebagai
refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis
sebagai obyeknya. Dalam surat kabar, majalah maupun media lainnya dapat
kita baca komentar atau analis-analis dari berbagai peristiwa yang
berkonotasi etis, misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir
ini. Baik berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain berikut
analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang membicarakan kasus etis
tersebut merupakan wujud dari etika sebagai refleksi pada taraf popular.
Etika sebagai refleksi dalam taraf ilmiah, dijalankan dan secara kritis,
metodis dan sistematis menjadikan refleksi ini mencapai taraf ilmiah.
Etika merupakan cabang filsafat yang mempalajari baik buruknya perilaku
manusia, karena itu etika sering disebut juga sebagai filsafat praktis. Secara
keseluruh etika membicarakan berbagai hal mengenai pemikiran moral yang lebih
terarah kepada masalah-masalah konkret dan membuka diri pada topik-topik konkret
dan aktual sebagai objek penyelidikannya. Dalam hal etika yang membuka diri
dalam topikkonkret inilah sering kita sebut sebagai etika terapanEtika bisnis sebagai etika terapan karena memfokuskan diri pada masalah-
masalah moral aktual dibidang bisnis. Sebagaimana etika terapan etika bisnis dapat
dijalankan dalam taraf makro, meso dan mikro. Dalam taraf makro, etika bisnis
membicarakan masalah moral skala besar, misalnya keadilan dalm suatu masyarakat
40Ibid, hlm. 32 -35
41Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi
yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan praktik, dengan demikian
praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti
oleh pekerjaan.Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit BPK
Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
24/57
22
terutama berkaitan dengan kaum buruh. Sementara dalam taraf meso (menengah),
etika bisnis meneliti masalah etis di bidang organisasi misalnya perusahaan, lembaga
dan lainnya. Sementara dalam tataran mikro, memfokuskan diri pada masalah-
masalah moral dalam bisnis di kalangan manajer, karyawan, produsen, konsumen
dll.42
Bisnis dan Etika
Telah dijelaskan di atas secara panjang lebar mengenai etika sebagai filsafat
praktis yang mengkaji masalah-masalah moral, sampai dengan pembahasan etika
bisnis sebagai etika terapan yang mengkhususkan dirinya mengkaji masalah-
masalah moral di bidang bisnis. Dalam bagian ini penekanan tulisannya lebih
kepada bagaimana bisnis tersebut dijalankan secara etis? Dan apakah memang benar
bisnis memerlukan etika? Dan bagaimana hubungan antara bisnis dan etika?
Mitos Bisnis Amoral
Business is business, sering kita dengar ungkapan ini yang intinyamenekankan bahwa urusan bisnis tidak ingin dicampuri dengan berbagai hal yang
tidak berhubungan dengan bisnis. Ungakan ini menurut De George dalam buku
Etika Bisnis Sonny Keraf disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan ini
menggambarkan, bahwa orang berbisnis adalah semata-mata berbisnis dan bukan
sedang beretika. Singkat kata, mitos bisnis amoral ini menyatakan bahwa kegiatan
bisnis tidak ada hubungannya dengan masalah etika atau moralitas. Keduanya
adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak boleh
dicampuradukkan, bisnis hanya dapat dinilai dengan kategori dan norma-normabisnis dan bukan dengan kategori dan norma-norma etika.
43
Dalam pandangan bisnis adalah bisnis tidak berkaitan dengan etika, maka
yang menjadi fokus dari bisnis itu sendiri tidak lain dari memperoleh keuntungan.
Maka kegiatan operasi perusahaan berfokus pada menekankan biaya serendah
mungkin, mengejar output produksi yang optimal, bisa saja untuk mengejar produksi
yang optimal pebisnis memaksa kerja mesin dan termasuk orang di dalamnya tanpa
memperhatikan kepentingan tenaga kerja tersebut. Sementara itu di bidang
pemasaran, tim pemasaran ditekan sedemikian rupa dengan target-target
penjualannya, tidak peduli bagaimana cara mencapai target tersebut yang pentingtarget terpenuhi. Demikian pun dengan bagian sumber daya manusia, bisa saja
mengabaikan aturan-aturan normatif dibidang ketenagakerjaan demi
mempertahankan tingkat efisiensi produksi. Dapat kita bayangkan bagaimana
jadinya bisnis tersebut dijalankan dengan menghalalkan berbagai cara ini, pasti
pebisnis tersebut akan menemui berbagai persoalan di dalamnya.
Dengan demikian pandangan mitos bisnis amoral, kita tidak dapat terima
sepenuhnya. Walau pun bagaimana bisnis tetap memiliki kaitan dengan masalah
moral.
42K. Bertens,ETIKA BISNIS, hlm. 35-37
43A. Sonny Keraf,ETIKA BISNIS, hlm. 55-56
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
25/57
23
KEADILAN
Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun memanfaatkan
sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan
bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar abad ke 19, di Eropa Barat telah
berkembang pemikiran di bidang kegiatan ekonomi yang cenderung mengadopsi
cara berpikir utilitarianisme. Seperti halnya sudah dipahami bersama, bahwa caraberpikir utilitarianisme ini didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility)yang palingbesar bagi kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu dianggap baik dan
memadai ukurannya adalah manfaat yang mendatangkan kebahagiaan yang terbesar
yang menjadi pilihan tindakannya.44Sumbangan pemikiran seperti di atas cukup menolong para pebisnis,
mengingat kompleksitas bisnis saat ini. Melalui prinsip utilitarianisme tersebuttampaknya merupakan cara sederhana dalam memecahkan permasalahan yang
kompleks dalam dunia bisnis, artinya cukup berprinsip dari segi kemanfaatan
pebisnis dapat mengambil pilihannya. Pada kenyataannya prinsip pemikiran ini
kurang memadai, mengingat ukuran manfaat, kebaikan atau kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin orang yang berbeda-beda pemahamannya yang ujung-ujunganya
dapat menjadi perbedaan bagi satu sama lain.
Dengan demikian sumbangan utilitarianisme ini kurang memadai dalammengatasi kompleksitas di bidang bisnis tersebut. Apalagi kegiatan bisnis ini
berkaitan dengan masalah kelangkaan (scarcity), sehingga perlu ada pemikiran lain
yang membantu mengatasi masalah ini, diantaranya adalah teori keadilan.
Teori Keadilan John Rawls45
John Rawls mengemukakan teorinya, ia meminta untuk membayangkan
sebuah keadaan, di mana sekelompok orang sedang memperbincangkan mengenai
isi dan bentuk suatu masyarakat yang adil dengan kondisi belum ada apa-apa. Jadimasyarakat yang adil tersebut diciptakan dari nol.
Selanjutnya menurut Rawls, dalam situasi yang memiliki tingkat objektivitas
yang maksimal, setiap orang akan memikirkan suatu masyarakat yang mampu
memberikan manfaat dan berkat bagi dirinya sendiri. Dalam situasi demikian
menurut Rawls akhirnya, bila orang-orang itu berakal sehat maka, masyarakat itu
harus bertindak fairkepada setiap anggotanya siapa pun dia. Dengan kata lain,
dalam masyarakat tersebut tidak ada anggotanya diperlakukan secara tidak fair.
Rawls menyimpulkan bahwa bersikap adil adalah bersifat fair. Justice asfairness.
44Dr. Phil. Eka Darmaputera,Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, danpenatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36
45Ibid, hlm. 37-40
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
26/57
24
Kemudian apakah fairness itu? Rawls menjelaskan dua prinsip. Pertama,
Equality atau kesamaan. Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama.
Fair berarti setiap orang harus tunduk pada peraturan main yang sama dan
peraturan main itu tidak dirumuskan hanya untuk menguntungkan sebagian orang.
Kedua, Kesamaan tidaklah sama dengan persamaan. Karena, memang orang tidaksama. Memperlakukan semua orang secara mutlak sama, justru tidak
menguntungkan semua orang, khususnya mereka yang berada dalam keadaan tidakmenguntungkan.
Dengan demikian, maka pembedaan adalah tidak adil, sedangkan perbedaan
itu diperlukan demi keadilan. Kemudian, perbedaan manakah yang dikatakan adil
atau fair tersebut? Rawls menyatakan, perbedaan dapat dikatakan fairapabila
hasilnya mendatangkan keuntungan bagi semua orang, khususnya anggota-anggota masyarakat yang paling lemah kedudukannya. Dengan demikian
perbedaan diharamkan bila ia hanya menguntungkan sekelompok kecil orang yangkedudukannya kuat. Jadi, perbedaan dapat diterima, bila mereka yang berada di
tingkat paling bawah menganggap perbedaan itu menguntungan mereka. Rawl
mengatakan, Bukanlah suatu ketidakadilan bila keuntungan yang lebih besardinikmati oleh yang sedikit, dengan syarat bahwa melalui itu keadaan mereka yanglemah mengalami perbaikan. Selanjutnya Rawls berkeyakinan, bawah prinsip-prinsip fairini merupakan dasar yang adil dapat diterima oleh setiap orang yang
berakal sehat.
Apa yang disampaikan Rawls di atas merupakan apa yang seharusnya
merupakan nilai yang luhur dan berharga, sehingga orang dengan sukarela dan
sungguh-sungguh mau mengikatkan dirinya. Sehingga dalam keputusan etis yangdiambil dalam praktik berbisnis bukan saja dari segi manfaat yang paling besar
yang akan diperoleh, tetapi juga memenuhi unsur keadilan (fairness) di dalamnya.
KEUNTUNGAN
Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah: berapa besar
orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan bagaimana pula ukuran-ukuranetisnya? Pandangan umum mengatakan bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar bila
orang berusaha untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Pada jaman kejayaan liberalisme klasik, bahwa maksimalisasi keuntunganatauprofit maximizationmerupakan satu-satunya tujuan bagi perusahaan.
46 Hal ini
dapat kita lihat dalam teks buku-buku pegangan mahasiswa ekonomi, profit
maximization ini masih dipelajari sampai saat ini. Mari kita lihat sebagai misal
bagaimana maksimalisasi laba itu diperoleh dalam kondisi industri kompetitif
sempurna, yang mana produksi akan mencapai titik di mana harga outpunya tepat
sama dengan biaya marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus
46Kees Bertens, Keprihatinan MoralTelaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2003), hlm. 70
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
27/57
25
MR=MC, pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan mahasiswaEkonomi Akuntansi dan Manajemen sekarang.47
Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh mahasiswa ekonomi
sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini bukan menjadi satu-satunya pegangan
dalam menjalankan berbisnis dikemudian hari. Beberapa hal yang harus dikritisdalam memang prinsip maksimalisasi profit secara ketat dan merupakan satu-
satunya tujuan di dalam praktik berbisnis, diantaranya berimplikasi kepada
pengerahan semua sumber daya perusahaan agar mencapai profit yang maksimum.
Pengerahan sumber daya ini termasuk juga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya,
jangan-jangan demi profit maksimum ini perusahaan menjadikan karyawan hanya
sebagai alat semata. Tidak heran bila beberapa waktu yang lalu kita menemukan
sebuah perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan buruhnya dengansemena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang belum cukup umur (masih
usia anak-anak)
48
.Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka jelas sangat
ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18, yaitu Immanuel Kant. Kant
menuturkan dalam bukunya Foundations of the Metaphysics of Moral (1785),Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah
dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai
sarana.49 Dengan demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan
karyawannya sebagaimana manusia yang memiliki martabat dan tidak menganggap
karyawan mereka sebagai sarana atau alat untuk memperoleh keuntungan yang
menjadi tujuan utamanya.
Kalau begitu apakah salah perusahaan mengejar profit? Patut kita akuibahwa bisnis tanpa profit bukan bisnis lagi. Kegiatan bisnis agar dapat memiliki
etika yang baik tidak perlu merubah menjadi suatu karya amal, bisnis tetaplah bisnis
yang mencari keuntungan. Keuntungan merupakan unsur yang hakiki dalam
berbisnis, namun keuntungan pebisnis tidak boleh memutlakan keuntungan.
Maksimalisasi keuntungan sebagai suatu tujuan perusahaan akan berakibat
timbulnya keadaan yang tidak etis. Dengan demikian kita harus melihat ulang
mengenai keuntungan itu dengan memandang keuntungan sebagai suatu yang relatif.
Relativasi Keuntungan50
Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan membedakan
keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi (motive). Maksud atau
purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi bersifat subjektif. Hal ini dapat
dijelaskan, misalnya: kita memberikan sedekah kepada pengemis supaya ia bias
makan (merupakan maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan.
47Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa Indonesia)I,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 21248
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gugat.Mantan.B
osnyadiakses 30Oktober 2013 pk. 9:2449
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 235-23650
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gugat.Mantan.B -
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
28/57
26
Demikian juga dengan bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud
(purpose) dari bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa
yang ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan merupakan motivasi
dalam berbisnis.
Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit bukanlah satu-satunya tujuan berbisnis. Beberapa hal yang menggambarkan relativasi keuntungan
dalam bisnis diantaranya: keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai
kesehatan perusahaan, keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa
barang dan jasa dihargai oleh masyarakat, keuntungan adalah cambuk untuk
meningkatkan usaha, keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan dan
keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.
KONSUMEN
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksiekonomi yang hak-haknya sering terabaikan. Konsumen menurut UU Perlindungan
Konsumen pasal 1 angka 2, dapat didefinisikan sebagai berikut:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yangtersedia dalam masyarakat, baik bagi kepenting diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.51
Dengan demikian konsumen sebagai stakeholder yang dekat dengan produsen sudah
seharusnya mendapat perhatian.
Perhatian etika dalam hubungan dengan konsumen tersebut, harus dianggap
hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi-segi etis dari relasi
bisnis (dalam hal ini konsumen sudah mendesak), mengingat posisi konsumensering dalam posisi yang lemah. Walau pun konsumen memiliki gelas raja namun
pada kenyataannya kuasanya sangat terbatas karena berbagai sebab.52
Perumusan perhatian kepada konsumen itu dapat dirinci ke dalam empat hak
konsumen, sebagai berikut:53
1. Hak atas keamanan, banyak produk mengandung risiko tertentu untuk
konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan dan keselamatan. Konsumen
berhak atas produk yang aman, artinya produk tersebut tidak mempunyai
kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan dan
keamanan produsen.2. Hak atas informasi, konsumen berhak mengetahui segala informasi yang
relavan mengenai produk yang dibelinya, baik bahan baku apa saja yang
digunakan dalam membuat produk tersebut, cara memakainya, maupun
risiko yang menyertai pemakaian itu.
3. Hak untuk memilih, konsumen berhak untuk memilih antara pelbagai
produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga produk dapat
51Happy Susanto,Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008),
hlm. 22-2352
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-22853
Ibid, hlm. 228-230
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
29/57
27
berbeda, konsumen berhak untuk membandingkan sebelum memutuskan
membeli.
4. Hak untuk didengar, konsumen berhak atas keinginannya tentang produk
atau jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya.
5.
Hak lingkungan hidup, ia berhak produk dibuat sedemikian rupa,sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan
keberlanjutan proses alam. Konsumen boleh menuntut bahwa denganmemanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi
ini.
6. Hak konsumen atas pendidikan, konsumen diharapkan menjadi
konsumen yang kritis dan sadar akan haknya.
Tanggung jawab Menyediakan Produk yang Aman
Dalam bagian hak telah dijelaskan hak apa saja yang dimiliki konsumen,sebaliknya produsen sendiri dituntut tanggung jawab untuk menyediakan produk
yang dihasilkannya tersebut aman. Tiga pandangan tentang tanggung jawab
produsen dalam menyediakan produk yang ditawarkan kepada konsumen tersebut
aman dapat dipaparkan sebagai berikut:54
1. Teori kontrak,jika konsumen membeli sebuah produk atau jasa, konsumen
seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjual produk
tersebut, misal seseorang memarkir kendaraannya di sebuah tempat parkir
umum, ia mendapatkan struk tanda parkir dan dibelakang struk tersebut
tertera berbagai ketentuan-ketentuan mengenai parkir di tempat tersebut, atau
jika anda membuka rekening tabungan di bank anda akan disodori berbagaisyarat dan ketentuan tabungan yang harus anda ketahui.
2. Teori perhatian semestinya, atau disebut dengan the due care theory.Pandangan ini bertolak dari posisi konsumen yang lemah, maka produsen
mempunyai lebih banyak pengetahuan dan pengalaman pada produk
tersebut. Maka kewajiban produsen adalah menjaga agar konsumen tidak
merasa dirugikan, misalnya produsen mainan wajib mencantumkan dalam
kemasan akan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari mainan yang
dijualnya.
3.
Teori biaya sosial, produsen bertanggung jawab atas semua kekuranganproduk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk
tersebut.
Demikianlah tanggung jawab produsen ini, agar konsumen tidak mengalami
kerugian atas pemakain barang dan jasa yang ditawarkannya.
IKLAN
Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai bentuk
informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai kehidupan kita, dari mulai
bangun pagi kita menyalakan TV sudah ditawari berbagai iklan. Kemudian kita
54Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
30/57
28
pergi ke tempat pekerjaan di jalanan kita menemukan berbagai iklan media luar
ruangan yang memenuhi berbagai tempat. Setelah tiba di kantor kita buka
komputer kerja dan terhubung dengan internet, di internet pun kembali kita
menemukan iklan. Demikian seterusnya sampai kita terlelap tidur barulah kita
terbebas dari iklan tersebut.Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu
produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui suatu media. Iklan sebenarnya
merupakan bagian dari bauran promosi yang terdiri dari personal selling, salespromotion dan publicity. Sejatinya iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain:
memberikan informasi atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi
produk, menciptakan kesan (image) yang baik tentang produk, alat komunikasi dan
menjaring khalayak.55
Kemudian bila melihat pengertian di atas, apa yang menjadi masalah etis di
dalam periklanan ini? Dan mengapa iklan ini diangkat dalam topik etika bisnis?Sebenarnya tidak ada kegiatan bisnis lain yang begitu banyak kritik dan
menjadi tanda tanya besar seperti periklanan. Seperti dipahami secara umum, untuk
membuat sebuah iklan perusahaan tidak segan-segan membelanjakan dananya yang
besar, kemudian budget dana yang besar itu bila diamati tidak menambah suatu
produk dan tidak juga meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Iklan sepertinya
hanyalah penyedot biaya yang besar yang alih-alihnya dibebankan kepada konsumen
untuk membayarnya. Sebagai misal produk susu formula untuk bayi, konsumen
membayar mahal untuk satu kali susu formula. Kalau dihitung biaya produksi saja
sampai ke tangan konsumen dikurangi biaya iklan, konsumen mungkin tidak harus
membayar mahal untuk sekaleng susu formula tersebut. Harga menjadi mahalsetelah ditambahkan dengan komponen biaya promosi mulai dengan membiayai
para tenaga penjualan (Sales Promotion Girl) yang selalu stand-by dioutlet/supermarket, tenaga penjualan yang datang berkunjung ke rumah sakit
menemui dokter, bidan dan ibu-ibu yang baru melahirkan, iklan diberbagai media
(cetak, elektronik, media luar ruangan dll).
Masalah tidak berhenti sampai pada biaya besar yang dibebankan kepada
konsumen, tetapi masalah sosio kultural juga menjadi perhatian. Tidak jarang iklan
yang hilir mudik di media komunikasi menampilkan suatu suasana hedonis,
materialis, tidak mendidik, dan cenderung mendorong sikap konsumtif kepadamasyarakat.56 Demikianlah permasalahan etis yang dapat dikaji dalam periklanan
ini.
Periklanan dan Kebenaran
Tahun 2012 yang lalu seorang ibu yang bernama Milla tertarik dengan
iklan bermerek Nissan March. Milla pun membeli Nissan March matic pada 7
Maret 2011 seharga Rp159,8 juta. Nyatanya, mobil (Nissan March) saya kokboros
55Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata,Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori dan PraktekIklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2010), hlm. 2-4
56Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
31/57
29
banget. Saya sihnggak mengharapkan yang muluk-muluk seperti di iklan,yasekitar
1:14 atau 1:13, saya rasa sudah cukup bagus. Tetapi setelah melakukan pengujian
beberapa kali, hanya mampu 1:7 atau 1:8, kata Milla. Milla pun akhirnya
mengajukan gugatan secara resmi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah
keluhannya ini tidak didengar oleh Nissan.57
Apabila ibu Milla merasa tertipu dengan iklan yang ditawarkan oleh
produsen mobil tersebut, bagaimana dengan anda? Pernahkah anda membaca iklan
yang anda tahu, pernyataan dalam iklan tersebut tidak mengandung kebenaran,
bombastis dan cenderung dibesar-besarkan? Iklan memang memiliki stereotipe
(mendapatkan cap dari masyarakat) yang suka membohongi, menyesatkan, dan
bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori (dipastikan) disamakan dengan
tidak bisa dipercaya.58
Tentu saja berbohong merupakan suatu perbuatan yang tidak
etis.
Tetapi apakah benar iklan mengandung unsur kebohongan? Dalam konteksmoral harus dilihat maksud dalam perbuatan berbohong ini. Maksud disini
adalah ada unsur kesengajaan. Dapat saja sebuah iklan mengatakan sesuatu yang
tidak benar, misalnya iklan sebuah obat yang sangat efektif mengatasi rasa sakit,
ternyata ada efek samping yang tidak terduga sebelumnya. Iklan obat ini tidak
berbohong, karena tidak dengan sengaja menyimpang efek samping yang
ditimbulkan. Maksud berikutnya adalah agar orang lain percaya, dalam hal ini iklan
informatif dan iklan persuasif. Unsur informasi selalu benar, misalnya
menginformasikan kandungan makanan, zat pewarna, pengawet dan infomrasi
produknya halal.59
Iklan dalam penggunaan bahasa menggunakan retorika sendiri yangcenderung produknya adalah yang terbaik dibidangnya atau nomor satu di kelasnya.
Misalnya melezatkan setiap masakan, membersihkan paling bersih, bintang
segala bir, dll. Bahasa periklanan disini sarat dengan superlatif dan hiperbol.
Dalam hal ini si pemasang iklan tidak bermaksud sama sekali agar public percaya
begitu saja, dan tentunya publik pun tahun bahasa retorika tersebut tidak perlu
dimengerti secara harafiah. Maksudnya di sini bukan memberi informasi yang
belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya dapat memikat calon pembeli.
Setelah mengamati masalah periklanan di atas, ternyata cukup sulit memlihat
hal yang etis dan tidak etis di dalam periklanan. Sama halnya dengan sulit untukmembedakan antara melebih-lebihkan dan berbohong, sehingga masalah
kebenaran di dalam periklanan tidak dapat dipecahkan dengan cara membedakan
secara hitam dan putih. Banyak bergantung pada situasi konkret dan kesediaanpublik untuk menerimanya atautidak.60
Kembali ke kasus Ibu Milla di atas, pertanyaannya apakah Nissan
berbohong? Di dalam konten iklan itu dinyatakan kendaaran irit/hemat bahan bakar
57http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissan-berupaya-
kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:4258Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-26659
Ibid, hlm. 26660
Ibid, hlm. 269
http://localhost/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_1/kaburkan-substansi/http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissan-berupaya- -
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
32/57
30
dan di atas pernyataan irit itu ada tanda asteris (*) yang menerangkan kendaraan
tersebut telah diuji tingkat konsumsi bahan bakarnya di sebuah sirkuit oleh outo
bild. Akal sehat kita membandingkan sirkuit yang bebas hambatan dan jalanan di
Jakarta yang macet parah, kira-kira kendaraan macam apa yang dapat menghemat
bahan bakar sampai dengan 21 Km /liter atau minimal 14 km/liter? Jadi apakahNissan berbohong dalam iklannya?
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Tanggung jawab sosial diartikan sebagai menjalankan sebuah bisnis yang
memenuhi atau melampaui harapan etis dan legal yang dimiliki masyarakat terhadap
bisnis tersebut. Dalam hal ini memastikan keberhasilan komersial dalam cara-cara
yang menghormati nilai-nilai etis dan menghormati orang, masyarakat danlingkungannya.61
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat dibedakan dengan tanggung jawab
ekonomis perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan yang dimaksud di sini
merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial
dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara ekonomis. Perusahaan
dalam hal ini melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan ekonomis dan
semata-mata dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau salah satu
kelompok masyarakat, misalnya perusahaan menyelenggarakan pelatihan
keterampilan untuk para penganggur di lingkungannya.62
Tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat dilihat dari sisi negatif, dimana perusahan menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan tertentu, yang
sebenarnya menguntungkan secara ekonomis. Misalnya sebuah perusahaan kertas
membuang limbahnya langsung ke sungai, praktik ini menguntungkan secara
ekonomis, karena tidak perlu membuat pengolahan air limbah yang mahal. Dalam
hal menanggung kerugian masyarakat inilah perusahaan harus bertanggung jawab,
sehingga tanggung jawab sosial di sini diartikan dari sisi negatif.Demikianlah perusahaan seyogyanya selain melakukan kegiatan yang
menguntungkan bagi perusahaannya, juga memperhatikan berbagai kegiatan yang
memberikan sumbangan yang berarti untuk masyarakat secara luas.
PENUTUP
Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di atas
merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis yang ada dalam
kegiatan bisnis. Untuk pokok bahasan lingkungan hidup secara khusus akan dibahas
dalam topik Etika Lingkungan hidup.
61Patricia J. Parsons,Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm. 143
62Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
33/57
31
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf,ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit BPKGunung Mulia, 2004)
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata,Ayo Bikin Iklan!Memahami Teori dan
Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex MediaKomputindo, 2010)
Dr. Phil. Eka Darmaputera,Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan
penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001)
Happy Susanto,Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,2008)
Jacobus Tarigan, MA. (Penyunting),ETIKA BISNIS: Dasar dan Aplikasinya,
(Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994)
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004)
Kees Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000)
Kees Bertens, Keprihatinan MoralTelaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2003)
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasaIndonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006)
Patricia J. Parsons,Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004)
Sumber internet:http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gugat.Ma
ntan.Bosnyadiakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissan-berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42
http://localhost/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_1/berupaya-kaburkan-substansi/http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissan-http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gugat.Ma -
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
34/57
32
ETIKA KERJAOleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai etika kerja ini, ada baiknya
kita terlebih dahulu mendapatkan penjelasan mengenai kerja. Beberapa orang
beranggapan, bahwa pekerjaan itu merupakan suatu beban atau bahkan sebagai suatu
kutukan karena kita telah berdosa kepada Tuhan. Sebagian lagi berpendapat, kerja
merupakan kewajiban manusia agar dapat bertahan hidup dan terus melanjutkan
kehidupannya di dalam dunia ini.
Dalam sebuah artikelbagi orang Jawa berpandangan mengenai kerja. Bahwa
hidup di dunia merupakan ujian yang harus diselesaikan dengan berbagai cara.
Orang hidup menurut pengertian Jawa wajib bekerja keras, tanpa pamrih yangberlebihan seperti ungkapan bila seseorang ditanya tentang tujuan mereka bekerja,
adalah ngupoyo upo artinya mencari sebutir nasi. Ungkapan ini menggambarkanbetapa beratnya pekerjaan yang harus diupayakan sedemikian rupa.
63
Mengenai arti kerja itu, memang bergantung kepada bagaimana seseorang
tersebut memaknainya. Marilah kita melihat mengenai kerja ini dipandang dari
tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Ternyata, bekerja merupakan bagian dari
hakikat manusia itu sebagai manusia. Pada awal penciptaan, manusia ditempatkan
di sebuah taman, namun bukan sebagai penikmat taman itu, tetapi Tuhan
menempatkan manusia di sana untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.Singkatnya, Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja. Jadi salah bila mengatakan
kerja itu sebagai beban atau kutukan.64
Adapun bagi seorang seniman, hakekat kerja adalah penciptaan. Maka atas
dasar penicptaan inilah, seorang seniman mampu memandang bahan-bahan sebagai
sesuatu yang mampu mengoyakan gairannya untuk berkreasi, untuk mendapatkan
63Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm. 30764
Eka Darmaputera,Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT BPK
Gunung Mulia, 1990), hlm. 100-101
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
35/57
33
warna atau bentuk terbaik digali sedemikian rupa dalam proses penciptaannnya.65
Nah kalau begitu, menurut anda apa itu kerja?
ETHOS KERJA
Ethos merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang sering digunakandalam bahasa modern saat ini. Menurut kamus Concise Oxford Dictionary (1974)ethos dapat didefinisikan sebagai characteristic spirit of community, people orsystem, atau merupakan sebagai suasana yang khas menandai suatu kelompok,
bangsa atau sistem. Sehinggabila kita mendengar ethos kerja atau etika profesi
itu berarti menunjuk pada suasana khas yang menandai kerja atau profesi. Suasana
khas yang dimaksud ini berkaitan dengan suasana yang baik secara moral. Suasana
yang bernuansa etis tersebut dalam kelompok kerja atau profesi tersebut.66 Sehingga
dalam rangka menuangkan suasana yang etis tersebut, biasanya kelompok tersebut
menuangkannya dalam suatu kode etik atau dituangkan dalam peraturan perusahaan.Lebih lanjut mengenai ethos kerja ini, Jansen H. Sinamo yang dikenal
sebagai Bapak Ethos Indonesia merumuskan ada 8 Ethos Kerja yang
dikembangkannya, adalah: (1) kerja adalah rahmat: bekerja dengan tulus dan
penuh rasa syukur; (2) kerja adalah amanah: bekerja dengan penuh rasa tanggung
jawab; (3) kerja adalah panggilan: bekerja tuntas penuh integritas; (4) kerja
adalah aktualisasi diri: bekerja keras penuh semangat, (5) kerja adalah ibadah:
bekerja dengan serius penuh kecintaan; (6) kerja adalah seni: bekerja cerdas penuh
kreativitas; (7) kerja adalah kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan; (8)
kerja adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati.67
Delapan
rumusan ethos kerja di atas sangat menarik sarat dengan nilai-nilai religius dan etisyang memberikan makna terhadap pekerjaan yang ditekuni.
Melihat pemaparan pendahuluan kita mendapat penjelasan mengenai konsep-
konsep, nilai-nilai etis dan hakekat mengenai kerja itu sendiri. Sedangkan pada
bagian ethos kerja kita mendapatkan penjelasan tentang bagaimana sikap dan praktik
dari bekerja tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
ETIKA KERJA dan ETHOS KERJA adalah etika itu berada pada tataran ideal
(ingat bahan kuliah pertama), sedangkan ethos berada pada situasi yang faktual.
Atau secara singkat kita katakan etika kerja adalah teori dan ethos kerja adalah
praktiknya.
PEKERJAAN DAN PROFESI
Bila kita menanyakan mengenai profesi seseorang, sering kali kita
mendapatkan jawaban pekerjaan orang tersebut, misalnya: Profesi bapak sekarang
apa pak? Bapak tersebut menjawab, Saya memiliki profesi sebagai dokter.
65Alberthine Endah,Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie, (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 10566
Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2005), hlm.21967
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan Pemula, (Jakarta:PT. BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 23
-
7/23/2019 ETIKA TERAPAN 1
36/57
34
Sepintas dari jawaban bapak tersebut antara profesi dan pekerjaan yang digelutinya
adalah memang sama, profesi sebagai dokter ya bekerja juga sebagai dokter.
Dengan demikian pekerjaan seolah sama dengan profesi, dan profesi sama dengan
pekerjaan. Pemahaman ini tidaklah salah, karena profesi merupakan pekerjaan,
yang ditekuni oleh seseorang. Namun demikian, antara pekerjaan dan profesisebenarnya terdapat perbedaan, sehubungan dengan hal yang dikerjakan yang kita
golongkan sebagai profesi memiliki kekhususan.68
Berikut di bawah ini merupakan ciri dari profesi, sebagai berikut:69
a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah
hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan
dengan melibatkan komitmen pribadi dalam hal ini moral yang mendalam.
Dengan demikian seseorang yang layak disebut sebagai profesional adalah
orang yan
top related