psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

47
1 REFERAT STRESS, PTSD AND DEMENTIA SPIRITUALLY AND RELIGIOUSLY INTEGRATED GROUP PSYCHOTHERAPY: A SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW Oleh: Handayani Putri C G99122055 Calista Giovani G99122027 Devina Noviani Pramono G99122031 Ichsanul Amy Himawan G99122059 Della Kusumaning P G99122030 Diena Ashlihati G99122035 Anisa Febrina Damastuti G99122015 M. Abdul Basith G99122068 Syamsudduha G99122006 Qonita Sakinatul Janani G99122097 Pembimbing: I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ M.Kes KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2014

Upload: dienashlihati

Post on 12-Apr-2018

247 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 1/47

1

REFERAT

STRESS, PTSD AND DEMENTIA

SPIRITUALLY AND RELIGIOUSLY INTEGRATED GROUP

PSYCHOTHERAPY: A SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW

Oleh:

Handayani Putri C G99122055

Calista Giovani G99122027

Devina Noviani Pramono G99122031Ichsanul Amy Himawan G99122059

Della Kusumaning P G99122030

Diena Ashlihati G99122035

Anisa Febrina Damastuti G99122015

M. Abdul Basith G99122068Syamsudduha G99122006

Qonita Sakinatul Janani G99122097

Pembimbing:

I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ

Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 2/47

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat

dengan judul: “Stress, Ptsd And Dementia”  dan “Spiritually And Religiously

Integrated Group Psychotherapy: A Systematic Literature Review”. Penulis

menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan

 berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1.  Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K) 

2.  Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K) 

3.  Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) 

4.  Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K) 

5.  Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K) 

6.  Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ 

7.  Djoko Suwito, dr., Sp.KJ 

8.  I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ 

9.  Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ 

10. Makmuroch, Dra, MS 

11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes 

12. Istar Yuliadi, dr., M.Si 

13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes 

14. RH. Budhi M, dr., Sp.KJ (K) 

15. Maria Rini I. dr., Sp.KJ 

16. Adriesti H, dr., Sp.KJ 

17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ 

18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ 

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 3/47

3

Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu

 penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.  

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 4/47

4

DAFTAR ISI 

Kata Pengantar.............................................................................................. 2

Daftar Isi........................................................................................................4

STRES, PTSD DAN DEMENSIA

Abstrak.......................................................................................................... 5

Pengantar..................................................................................................... 6

Kajian Studi Epidemiologi ............................................................................ 7

Penyalahgunaan Zat……............................................................................ 16

Stress, PTSD, dan Demensia secara biologis ............................................. 16

Kesimpulan …………………............................................................... 24

LampiranJurnal

Spiritually and Religiously Integrated Group Psychotherapy: A Systematic

Literature Review

Pendahuluan.................................................................................................. 26

Perspektif Teori............................................................ ………………28 

Tujuan…………………………………………….......................................32Metode…………….……........................................................................... 32

Temuan …………………………....................................................... 34

Diskusi …………………………........................................................ 43

Kesimpulan……………......................................................................... 45

LampiranJurnal

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 5/47

5

STRES, PTSD DAN DEMENSIA

Mark S. Greenberg*, Kaloyan Tanev, Marie-France Marin, Roger K. PitmanDepartment of Psychiatry, Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School,

Boston, MA, USA

Abstrak

Efek stres akut dan kronik pada berbagai sistem organ telah lama

didokumentasikan semenjak adanya penelitian yang dilakukan oleh seorang pioner

dalam bidang psikiatri yaitu Hans Seyle lebih dari 70 tahun yang lalu. Kemudian dari

situ mulai banyak dikembangkan studi untuk melihat hubungan antara paparan stres

dalam kehidupan sehari-hari dengan berkembangnya gangguan disfungsi kognitif

 pada usia lanjut. Beberapa penemuan mengenai kemungkinan jalur neurohormonal

dan mekanisme genetik telah terbukti mendukung studi tersebut. Meskipun demikian,

masih banyak permasalahan logistik dan metodologi yang harus diatasi untuk dapat

menetapkan hubungan antara keduanya. Melalui studi ini, peneliti ingin mengkaji

 berbagai studi terkini mengenai perubahan kognitif yang ditimbulkan akibat paparan

stres jangka panjang dalam kehidupan sehari-hari dan juga kejadian traumatik yang

dapat menimbulkan munculnya suatu  posttraumatic stress disorder . Telah dilakukan

 pengamatan mengenai peran suatu stresor secara umum dan secara khusus pada

 posttraumatic stress disorder   termasuk perannya didalam proses penuaan, penyakit

Alzheimer dan demensia vaskular. Meskipun demikian penelitian-penelitian

mengenai hal ini masih sedikit jumlahnya dan efek-efek yang dikaji masi terlalu

sederhana dan tidak bisa diaplikasikan secara umum karena sampel yang digunakan

 pun masih terbatas. Oleh sebab itu masih diperlukan studi-studi lain untuk

menetepakan hubungan antara stres dan demensia, penyebabnya, pengembangan

 penanda antemortem yang valid dan pola faktor resiko pada tingkat individu.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 6/47

6

1.  Pengantar

Studi mengenai akibat fisiologis dari stress akut dan kronis pada berbagai

organ telah dilakukan lebih dari 70 tahun yang lalu oleh Hans, Seyle, yang

menggunakan istilah " stres" dari bidang fisika dan mengaplikasikannya pada bidang

fisiologi. Semenjak itu, telah banyak dilakukan penelitian yang mengupas mengenai

hubungan antara sistem saraf pusat dan autonom, sistem endokrin dan sistem

imunitas. Penelitian- penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara tubuh

dan pikiran apakah dapat mempengaruhi baik secara patologis maupun memberikan

efek terapi pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh gangguan mental , demikian

halnya dengan pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan pada organ tubuh

 pada sistem saraf. Telah dilakukan penelitian lain yang lebih baru, dengan fokus pada

kemungkinan jangka panjang efek neurotoksik dari hidup dengan tingkat paparan

stress yang tinggi. 

Akibat potensial dari stress pada perkembangan dari demensia dan berbagai

 bentuk lain dari disfungsi kognitif dapat ditinjau dari segi individu, stresor dan respon

stres. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda mengenai cara menghadapi

stresor. Faktor yang mempengaruhi ketahanan seseorang terhadap stres yaitu daya

kognitif, tahap perkembangan seseorang, penggunaan zat-zat tertentu, kesehatan

mental dan fisik dan ada tidaknya dukungan sosial dan juga gen-gen tertentu yang

dimiliki seseorang seperti alel apoe 4 dan juga pola sekresi kortisol. Stesor dapat

dikategorikan dalam berbagai dimensi, termasuk dari intensitas, durasi, dan tipenya.

Beberapa contoh dari stresor antara lain penyakit, kematian dari anggota keluarga,

 perpisahan, relokasi pekerjaan. Beragamnya respen seseorang dalam menghadapi

stresor dipengaruhi oleh penilaian sesorang terhadap suatu masalah, kemampuan

kontrol diri dan kecenderungan berkembangnya suatu psikopatalogi. 

Pada tahun 1980 , pemahaman mengenai efek psikopatologi pada kejadian

traumatik dalam hidup seperti misalnya peperangan dan pelecehan seksual

menghasilkan suatu cara diagnosis baru dalam nomenklatur psikiatri yaitu post

tarumatic disorder atau PTSD. Meskipun kondisi psikiatri ini masih menggunakan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 7/47

7

istilah "stres", melalui penelitian bertahun tahun yang dilakukan oleh Yehuda telah

menghasilkan suatu permasalahan yaitu apakah PTSD merupakan memang

merupakan suatu gangguan stress . Keraguan ini disebabkan karena pola hormonal

dalam suatu PTSD tidak mrngikuti model stress Selye, yang menekankan adanya

suatu hipereaktivitas dari axis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan produksi berlebih

dari hormon stres glukokortikoid yaitu kortisol. Penemuan ini memicu adadnya

 berbagai penelitian lain mengenai efek negatif dari stres dan kortisol pada sistem

saraf. 

Dalam review ini, peneliti membahas dan menyimpulkan dari dua skenario

yang berbeda mengenai perubahan kognitif yang ditimbulkan paparan stres jangka

 panjang berdasarkan literatur-literatur yang ada. Tahap pertama, peneliti menilai

kemungkinan peran dari penambahan secara kumulatif stresor dari kehidupan sehari-

hari pada disfungsi kognitif seiring bertambahnya usia. Peneliti menyimpulkan bahwa

stres berperan dalam timbulnya suatu disfungsi kognitif. Peneliti kemudian mengkaji

 penelitian-penelitian lain mengenai hubungan antara PTSD dengan Alzheimer yang

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keduanya.

Peneliti kenudian mengkaji dasar neurofisiologi dari stress antara lain sistem

hormonal, neuroimaging, neuroimunologik dan neuro patologis. Kemudian peneliti

 juga mengkaji lebih lanjut mengenai pentingnya studi dalam segi ilmiah dan bidang

kesehatan.

2.  Kajian Studi Epidemiologi

2.1 Stres kronis dan demensia

Studi cross-sectional yang membandingkan dan membahas subyek yang

dijadikan sampel dipandang lebih memungkinkan untuk dilakukan , tetapi pendekatan

ini tidak dapat digunakan untuk pengukuran yang berkelanjutan. Studi longitudinal

 jangka panjang memiliki keterbatasan akan pemilihan carapengukuran. Banyak studi

gagal melakukan analisa jaringan otak postmortem, padahal hal ini merupakan gold

standar diagnosis dari demensia terutama alzheimer. Wilson melakukan studi kohort

 pada lebih dari 800 suster katolik dan pendeta yang berusia rata-rata 75 tahun dengan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 8/47

8

menggunakan model studi longitudinal, dengan kisaran lama penilaian fungsi kognitif

selama 5 tahun. Peneliti berfokus pada subjek yang memiliki kecenderungan sifat

neurotik terutama kerentanan subjek terhadap stres yang dinilai menggunakan

 Neuroticism-Extroversion-Openness (NEO) Five-Factor Inventory yaitu suatu tes

 penilaian fungsi neurokognitif. Subjek yang didalam penialian berada di ambang

neurotik ( yang biasanya memiliki tingkat stres yang tinggi) memiliki faktor resiko

dua kali lipat untuk terkena alzheimer. Selain itu terjadi penurunan memori sebanyak

10 kali lipat pada subjek yang memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Namun, hal ini

tidak berlaku pada memori kerja, memori semantik, kecepatan berpikir, kemampuan

visuospasial atau kemampuan kognitif secara umum. Lebih lanjut, melalui hasil

otopsi, ditemukan bahwa kerentanan seseorang terhadap stres tidak memiliki

hubungan dengan neuropatologi alzeimer. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai

hasil temuan ini, mengapa hanya ada kemampuan kognitif tertentu yang terkena

efeknya.

Wilson kemudian meneliti, 650 subjek yang rata-rata berusia 80 tahun yang

telah diskrening dengan menggunakan  NEO Five-Factor Inventory  dan juga telah

dilakukan tes kognitif battery serta pemeriksaan kesehatan. Studi kohort ini dilakukan

selama 3 tahun. Terdapat 55 subjek terdiagnosis dengan alzeimer. Lebih jauh lagi,

 peningkatan stres memiliki korelasi dengan penurunan kognitif secara cepat.

Meskipun demikian, saat dilakukan otopsi kembali ditemukan bahwa stres tidak

memiliki hubungan denga nuropatologi terjadinya alzeimer. Pada akhirnya hubungan

antara stres dengan diagnosis demensia tetaplah ada bahkan setelah dilakukan

 pengendalian depresi, tingkat aktivitas sosial dan fisik dan gejala kognitif.

Berdasarkan hal inilah kemudian para peneliti menympulkan bahwa stres psikologi

 berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif, tapi tidak spesifik pada alzeimer.

Peavy melakukan studi longitudianl selama 3 tahun pada 52 individu yang

 baik mengalami gangguan kognitif maupun yang tidak. Subjek yang telah terdiagnosa

dengan demensia dieksklusikan dalam studi ini. Tingkat stres dinilai selama 6 bulan

dengan menggunakan 12 kategori. Dikatakan stres tingkat tinggi bila subjek

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 9/47

9

mengalami satu peristiwa dengan intensitas stres yang tinggi yang dinyatakan oleh

 peneliti dalam jangka waktu 6 bulan tersebut. Subjek juga menjalani penilaian

neurologis dan neuropsikologis, termasuk  Mattis Dementia Ratting Scale  dilakukan

 pada setiap individu dengan perubahan kognitif sebagai variabel terikatnya. Usia,

tingkat pendidikan, jenis kelamin dan status mood tidak dimasukkan sebagai variabel

dalam studi ini. Diantara subjek penelitian yang mengalami gangguan kognitif ringan,

tingkat stres yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan penurunan fungsi kognitif

yang dinilai dengan menggunakan skala demensia mattis ( Mattis Dementia Rating

Scale) tetapi hal ini tidak berlaku untuk fungsi memori yang lain. Berlawanan

dengan hal ini, tingkat sters yang tinggi pada individu normal tidak berkaitan dengan

terjanidnya penurunan fungsi kognitif. Studi ini dilakukan dengan fokus pada efek

sinergis antara tingkat stress yang tinggi dan terjadinya penurunan fungsi kognitif dan

menggarisbawahi pentingnya dilakukan tes secara mendasar untuk mencegah

terjadfinya bias. Sangat dimungkinkan bahwa pengukuran selama 3 tahun belumlah

cukup untuk melihat suatu stres bermanifestasi pada subjek. Model studi ini tidak

mengeksklusikan kemampuan koping suatu individu dan terjadinya penurunan fungsi

kognitif pada kelompok yang pengalami gangguan fungsi kognitif ringan sangat

 berkaitan dengan stresor yang dialami masing-masing subjek. Sebagai contoh,

 peningkatan penururan fungsi kognitif secara hipotesa dapat memicu terjadinya

gangguan finansial yang dapat dikategorikan sebagai stres berat.

Johansson melakukan penelitian pada 1462 wanita yang berasal dari

Swedia pada studi longitudinal jangka panjang yaitu selama 35 tahun. Tingkat stres

dinilai dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dikategorikan

menjadi tidak stres apabila skor yang didapat sebesar 0 dan stres berkepanjangan

apabiala total skor sebesar 5. Diagnosa demensia ditegakkan melalui anamnesa,

 pemeriksaan klinis, review dari rekam medis dan pengukuran neuropsikologis yang

kemudian dilakukan  follow up  pada 7, 13, 25 dan 35 tahun setelahnya. Selama

 pengukuran, 11% dari total sampel terdiagnosa dengan demensia. Hubungan antara

stres psikologis dan insidensi berbagai jenis demensia dianalisa dengan menggunakan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 10/47

10

model regresi Cox dengan variabel perancu antara lain faktor demografis, perilaku

dan berbagai faktor resiko lain seperti rasio lingkar panggul. Terdapat peningkatan

resiko terjadinya demensis seperti yang terlihat pada data penelitian dengan  Hazzard

 Ratio (HR) sebesar 1,6. Subjek yang mengalami stres berkepanjangan pada 2 dari 3

 penilaian awal memiliki pengikatan resiko untuk terkena alzeimer dibandingan

dengan kelompok yang tidak mengalami periode stres. Subjek yang mengalami stres

 berkepanjangan baika pada penilaian pertama, kedua maupun ketiga mengalami

 peningkatan resiko terkane demensia (HR= 1.1, 1.7 dan 2.7). Peneliti kemudian

menyimpulkan bahwa terdapaat asosiasi antara stres psikologis pada wanita tengah

 baya dan kecenderungan untuk berkembangnya demensia dan alzeimer secara

khusus. Peniliti menekankan bahwa karena perubahan otak pada individu yang

mengidap alzeimer telah terjadi sebelum munculnya tanda dan gejala, maka sangatlah

mungkin bahwa demensia dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap stres

dibandingkan dengan sebaliknya. Hasil ini dabat digeneralisasikan secara umun

dengan mengeksklusikan pasien laki-laki.

Johansson kemudian melakukan penelitian kohort pada 684 subjek untuk

dilakukan CT scan otak. Dari 684 partisipan ini, 344 diantaranya memiliki riwayat

stres psikologis pada tahun 1968. Setelah itu seorang neurologis menilai hasil CT

scan secara visual dan mengfkategorikan hasilnya sebagai ringan, sedang, berat untuk

lesi pada substansia alba, atrofi regio korteks dan ukuran ventrikel. Wanita yang

dilaporkan mengalami stres selama 5 tahun sebelum dilakukan pengukuran pada

tahun 1968, 1974 dan 1980 cenderung memiliki lesi sedang-berat pada substansia

alba bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami stres dengan odds rasio

(OR) sebesar 2.4 demikian halnya dengan terjadinya atrofi lobus temporalis dengan

OR sebesar 2.5. Peneliti menyimpulkan bahwa paparan stres psikologis jangka

 panjanng pada usia paruh baya akan meningkatkan resiko terjadinya atrofi serebral

dan substansia alba di usia lanjut. Namun peneliti menekankan bahwa hubungan

antara peningkatan stres dan perubahan otak tidak dapat begitu saja ditentukan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 11/47

11

saecara pasti. Sebagai contoh, wanita dengan kecenderungan mengalami perubahan

otak secara biologis akan juga mudah mengalami stres.

Comijs melakukan penelitian dengan menggunakan 1936 sampel individu

dari Belanda yang berasal dari kelompok Longitudinal Aging Study Amsterdam

dalma jangka waktu 3 tahun. Studi ini menggunakan tes kognitif The Folstein Mini-

 Mental State Examination  (MMSE). Tes ini merupakan versi Belanda dari tes  Rey

 Auditory Verbal Learning   dan The Alphabet Coding Test-15, Akumulasi paparan

stres selama 3 tahun pengukuran semuanya dinilai melalui wawancara terstruktur.

Akumulasi paparan stres tidak dikaitkan dengan kualitas pengukuran keampuan

kognitif yang dilakukan dalam studi ini. Subjek yang memiliki skor inisial rendah

 pada MMSE memiliki performa yang lebih baik dalam menghadapi peningkatan

 paparan stresor yang dihadapi. Dalam penilaian macam-macam stresor secara

spesifik, ditemukan hasil yang kontradiktif bahwa stresor-stresor tertentu ( misalnya

kematian dari anak atau cucu) berkaitan dengan penurunan skor MMSE sedangkan

stresor lainnya sebagai contoh sakitnya pasangan hidup memiliki kaitan dengan

 penurunan skor MMSE yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak

mengalami stesor tersebut. Terdapat hasil kontradiktif lainnya sebagai contoh pada

subjek yang mengalami konflik interpersonal biasanya memiliki perbaikan skor yang

terlihat pada saat follow up. Oleh sebab itu studi ini menghasilkan kesulitan didalam

menetapkan efek yang pasti dari stres sesuai dengan kondisi diatas.

Andel melakukan studi mengenai hubungan antara stres yang berkaitan

dengan pekerjaan dalam hubungannya dengan resiko demensia. Studi ini

menggunakan sampel 10.106 individu yang berasal dari Swedia yang merupakan

kembar baik mono maupun dizygot. Stres yang dikaitkan dengan pekerjaan dinilai

dengan menggunakan pendekatan  Karasek-Theorell , yaitu merupakan prosedur

tervalidasi yang menilai secara psikologis seberapa menuntutnya setiap pekerjaan dan

seberapa banyak kontrol yang dimiliki suatu pekerja atas pekerjaannya. Variabel

tekanan pekerjaan berasal dari rasio tuntutan pekerjaan dengan kontrol pekerjaan.

Permasalahan kognitif dinilai melalui skrining via telepon dan wawancara secara

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 12/47

12

langsung menggunakan konsensus kriteria diagnosis. Peneliti juga menilai dukungan

sosial sebagai variabel pendukung. Diagnosis demensia ditegakkan pada 167 subjwek

dan demensia vaskuler pada 46 subjek. Rata-rata usia munculnya demensia adalah

 pada 76.8 tahun. 9849 subjek yang lain dimasukkan dalam kelompok kontrol. Analisa

 pada seluruh kelompok sample menunjukkan bahwa tekanan pekerjaan tidak dapat

untuk memprediksi keseluruhan kejadian demensia. Walaupun terdapat asosiasi

lemah antara kontrol pekerjaan (OR=1,2) dengan demensia vaskuler (OR=1,4).

Kombinasi dari tingginya tekanan pekerjaan dengan lemahnya dukungan sosial juga

menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingginya resiko berkembangnya

demensia vaskuler (OR=1,4). Efek ini didapatkan setelah memperhitungkan usia,

tingkat pendidikan, jenis kelamin dan tingkat kesulitan pekerjaan. Studi ini

mendukung model studi  Karasek-Theorell terkait stress yang berhubungan dengan

 pekerjaan serta memberikan tambahan data yang menghubungkan stress terkait

 pekerjaan dengan resiko berkembangnya salah satu jennis demensia terutama

demensia vaskuler. Peneliti berpendapat bahawa stres berkaitan dengan demensia

vaskuler melalui jalur kardiovaskuler dimana percepatan penuaan sistem

kardiovaskuler merupakan hasil dari adanya stres kronis yang mempercepat

timbulnya demensia. Manfaat dari pendekatan untuk dapat mendefinisikan stres yang

 berkaitan dengan pekerjaan adalah bahwa pendekatan ini dapat mengeliminasi

subjektifitas dari penilaian secara retrospektif. Keterbatasan studi ini termasuk tidak

adanya pengukuran yang objektif dari data dan terbatasnya generalisasi yang dapat

dilakukan karena subjek penelitian merupakan pasangan kembar.

Deng melakukan studi dengan menggunakan sampel sebanyak 5262

individu yang berasal dari Cina yang berusia lebih dari 55 tahun. Subjek ini kemudian

menjalani skrining untuk gangguan neurologis, medis, psikiatri dan sensorik selama 5

tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan MMSE; bila didapatkan skor yang

rendah maka kemudian dilakukan tes neuropsikologis tambahan. Selain itu dilakukan

 juga analisa tambahan untuk mengeksklusikan kemungkinan adannya positif palsu

dan faktor resiko perancu yaitu gangguan vaskuler dan depresi. Follow up dilakukan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 13/47

13

tiap tahun dengan melakukan pengukuran MMSE ulang dan penilaian aktivitas

sehari-hari. Melalui studi ini maka dapat diketahui bahwa kematian pasangan hidup

ataupun krisis finansial dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan kognitif.

Hasil ini didapatkan setelah dilakukan pengendalian terhadap sejumlah variabel

 perancu dengan HR sebesar 1,5. Meskipun demikian tidak didapatkan adanya efek

yang signifikan untuk stresor lain seperti kematian sahabat, munculnya suatu

 penyakit, terjadinya suatu kecelakaan ataupun timbulnya suatu masalah hukum

Leng melakukan pengukuran terhadap stresor pada masa kanak-kanak,

akumulasi stresor selama masa kehidupan, dan timbulnya stresor baru demikian

halnya dengan mekanisme koping dan dukungan sosial dalam sebuah studi kohort

dengan menggunakan 5129 sampel individu yang berasal dari Inggris yang berusia

49-90 tahun. Studi ini merupakan studi epidemiologi secara prospektif untuk

memonitor faktor resiko terjadinya kanker. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan kuesioner  Health and Life Experiences. Kuesioner ini juga menilai

mengenai adanya kejadian-kejadian traumatis selama 5 tahun terakhir, kejadian-

kejadian ini meliputi diantaranya kematian/kehilangan, kondisi adaptasi, kondisi stres

secara subjektif dan dukungan sosial. Fungsi kognitif dinilai selama  follow up 

dengan menggunakan MMSE yang dimodifikasi. Setelah dilakukan penyesuaian

antara jenis kelamin dengan usia, didapatkan bahwa skor MMSE berkaitan dengan

kejadian kehilangan/kematian yang dialami subjek. Subjek dengan tingkat stres yang

tinggi cenderung memiliki skor MMSE yang rendah dengan peningkatan OR

sebanyak 1,1 untuk setiap kenaikan paparan stresor. Namun, hal ini hanya terbatas

 pada paparan stres secara subjektif dan pada subjek yang memiliki tingkat pendidikan

rendah. BErkebalikan dengan hasil ini, hasil pengukuran paparan stresor secara

objektik tidak berkaitan dengan skor MMSE karena setiap subjek memiliki

kemampuan adaptasi/koping terhadap stres yang berlainan. Studi ini mengggaris

 bawahi peran dari persepsi subjektif sesorang terhadap stres dan hal ini

menggambarkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan

adaptasi/koping seseorang dalam menghadapi stres.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 14/47

14

Secara singkat, walaupun banyak uji yang menemukan hasil yang positif

terkait meningkatnya stress hidup dengan outcome kognitif negatif, banyak keberatan

yang menyatakan kasus hidup yang tidak sesuai harapan menyebabkan penurunan

fungsi kognitif. Khususnya pengaruh ukuran, walaupun secara statistik signifikan,

memiliki pengaruh yang kecil,dengan sedikit peningkatan dari risiko relatif. Terlebih

lagi pengaruh ini sering ditemukan hanya pada subsampel dari suatu subjek dan/atau

hanya pada pengukuran kognitif tertentu. Penemuan yang berbeda, dengan beberapa

 penelitian yang mendukung hubungan antara stress dan VD bukan AD, dan beberapa

 penelitian yang mendukung hubungan antara stress dan penurunan fungsi kognitif

 bukan AD atau VD, dimasukan ke dalam penilaian pernyataan penyakit spesifik kami

kali ini. Penelitian lanjutan pada bidang ini, bagaimanapun, didukung dengan

 penemuan sugestif yang muncul pada literatur. Pendekatan yang menggunakan

kriteria konsensus dan menangkap multipel akses pada stress kehidupan, termasuk

contoh parameter pemaparan, reaktivitas individual, dan peran dari stress buffer akan

meningkatkan usaha ini. Ketika biomarker terpercaya dari sindrom penurunan fungsi

kognitif dapat ditetapkan lebih baik, penjelasan yang lebih baik akan tampak dari

 penelitian yang berlangsung lama terhadap risiko kumulatif stress psikologis.

2.2 PTSD dan Demensia

Qureshi dkk menganalisis database dari veteran berumur 65 tahun atau lebih

yang sedikitnya dilihat dua kali di fasilitas kesehatan U.S Department of Veteran

 Affairs (VA) antara bulan Oktober 1997 dan September 1999, baik yang didiagnosa

PTSD atau menerima  purple heart (PH). Status PH yang digunakan sebagai proxy

untuk kasus trauma terkait perkelahian. Pasien ini dibandingkan dengan umur dan

 jenis kelamin pasien VA non PTSD dan non PH. Pasien yang ditemui antara Oktober

1997 dan September 2008 dicari yang memiliki diagnose PTSD, Demensia, dan

komorbiditas fisik lainnya yang memiliki hubungan dengan demensia. Insidensi

diagnosis demensia 6.2% pada semua kelompok: 6.8% pada PTSD +/PH+ kelompok

9.5% PTSD +/PH-, 5.6% PTSD-/PH+, dan 4% PTSD-/PH-. Insidensi diagnosis

demensia 2 kali lebih tinggi pada PTSD +/PH- dibandingkan keduanya PTSD -.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 15/47

15

Penulis menggabungkan bahwa veteran dengan PTSD memiliki risiko insidensi

demensia lebih tinggi dibandingkan veteran tanpa PTSD. Bagaimanapun mereka

secara hati-hati menunjuk hubungan yang mengobservasi antara PTSD dan

 perkembangan subsequent demensia yang tidak perlu dihubungkan pada hubungan

manapun, Hal ini disebabkan oleh faktor risiko umum yang biasa mendasari baik

PTSD ataupun demensia. Faktor risiko umum ini salah satunya intelegensi rendah.

Hambatan yang terjadi adalah demensia tidak dipisahkan ke dalam beberapa subtipe,

meninggalkan kemungkinan hubungan antara PTSD dan kondisi patofisiologi tertentu

yang secara potensial berlanjut berkembang menjadi demensia. Insidensi penyakit

yang tinggi termasuk hipertensi dan diabetes pada PTSD dapat menjadi faktor

 predisposisi berkembangnya VD. Hal ini lebih sulit dijelaskan secara patofisiologi

antara PTSD dan penyakit neurodegeneratif seperti AD atau Pick‟s disease. 

Yaffe dan koleganya menganalisis VA national patient care database  pada

desain cohort retrospective. Peserta impresif berupa 181.093 berusia 55 tahun ke atas

tanpa diagnosis demensia antara tahun 1997-2000.53.155 dari 127.938 tidak memiliki

diagnosis PTSD. Hampir semua pasien 96.5% adalah laki-laki. Selama follow up

antara Oktober 2000 dan Desember 2007 31.107 (17.2%) ditemukan kasus baru

demensia sesuai dengan kriteria international classification of disease ninth version,

clinical modification codes. Pasien diklasifikasikan dengan demensia apabila

memiliki diagnosis: senile demensia (n=3450) VD (n=2698) AD (n=3882), fronto

temporal demensia (n=139), lewy body demensia (n=356) dan demensia yang tak

terspesifikasi (n=10,291). Pasien yang telah mengalami PTSD memiliki risiko 2 kali

lebih besar untuk terkena demensia dibandingkan tanpa PTSD, HR=2.3. Setelah

 penyesuaian faktor multiple, termasuk komorbiditas medikal dan neuropsikiatrik,

 pasien dengan PTSD lebih mungkin terkena demensia, HR=1.8. Hasil yang sama

didapatkan setelah mengekslusi pasien dengan riwayat trauma kepala,

 penyalahgunaan zat, atau depresi secara klinis. Menariknya, PTSD memiliki

hubungan dengan semua tipe demensia, dimana hubungan paling tinggi adalah

dengan demensia frontotemporal dan paling lemah yaitu VD. (Informasi yang

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 16/47

16

signifikan secara statistik mengenai perbedaan risiko relatif antara sub tipe demensia

tidak tersedia). Penulis menyimpulkan bahwa di dalam kelompok studi, yang

didiagnosis PTSD memiliki risiko 2 kali lebih besar dibandingkan tanpa PTSD. Data

dari penelitian sebelumnya mengilustrasikan poin penting yang umum pada semua

 penelitian mengenai stress atau PTSD dan demensia yang di review pada bagian ini,

hasil dari perkiraan statistik sendiri turun untuk menggambarkan keseluruhannya.

Pada penelitian sebelumnya, kurang lebih 90% dari pasien PTSD tidak berkembang

menjadi demensia, dan kurang lebih 7% dari non PTSD pasien mengalami demensia.

Persentase ini menggambarkan walaupun PTSD mungkin berhubungan dengan risiko

lebih besar, namun bukan kondisi utama untuk berkembangnya demensia.

3. Penyalahgunaan zat

Baik pemaparan stressor hidup kronik maupun PTSD diketahui memiliki

hubungan dengan peningkatan resiko penyalahgunaan zat. Hal ini sering diduga turut

 berperan pada cara yang salah terhadap pengobatan sendiri. Walaupun data genetik

 juga mendukung perkembangan menjadi PTSD dan ketergantungan zat.

Bagaimanapun, penggunaan zat kronik termasuk alkohol, marijuana, opioid, kokain,

dan methamphetamine berhubungan dengan perkembangan penurunan fungsi

kognitif. Proses ini memperlihatkan mekanisme indirek terhadap pengaruh stress dan

PTSD, pada integritas kognitif yang diperhitungkan pada model etiologis yang

mengarah kepada hubungan sederhana antara stress dan PTSD, dan risiko demensia.

4. Stress, PTSD, dan demensia secara biologis

4.1 Neuroimaging

Pada studi longitudinal terhadap proses penuaan normal ditemukan hubungan

antara stress kronik dan penurunan volume subtansia grasia orbitofrontal dan

hippocampus. Struktur neuroimaging telah memperlihatkan penurunan volume

hippocampus pada pasien PTSD. Pada penelitian lebih lanjut menggunakan MRI

resolusi tinggi telah ditemukan CA3 dan pendangkalan gyrus pada hippocampus.

Apakah volume hippocampus merupakan akibat dari PTSD, risiko dari PTSD atau

keduanya masih belum jelas. Area lain yang memiliki volume yang lebih rendah pada

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 17/47

17

PTSD telah ditemukan, dengan konsistensi lebih sedikit dari hippocampus adalah

amygdala dan kortex cingula. Pada penelitian baru-baru ini 42 orang yang telah

menjalani MRI sebelum gempa bumi difoto ulang setelah bencana tersebut. Volume

subtansi abu-abu pada korteks cingula di ventral anterior kanan yang rendah sebelum

gempa bumi memiliki hubungan dengan gejala PTSD setelah bencana tersebut, dan

 penurunan yang lebih hebat sesudah bencana tersebut di korteks orbitofrontal cortex

dihubungkan dengan gejala PTSD.

Pada AD, neuroimaging telah digunakan untuk melacak perkembangan penyakit dari

impresimptomatik hingga stadium akhir dengan cara yang spesifik ataupun non

spesifik. Pembesaran ventrikel, yang merupakan ciri khas radiologis AD yang paling

menonjol, adalah penemuan yang non spesifik. Pada orang tua dengan fungsi kognitif

 baik, volume CA1 yang lebih rendah dan region subiculum dari hippocampus, dan

 juga pembesaran ventrikel lateral yang diukur dengan MRI, memprediksi penurunan

fungsi kognitif pada MCI. Penurunan volume CA1, subiculum, dan (secara hipotesis

atrofi) pada area CA2-3 dari hippocampus pada pasien amnestic MCI

memprediksikan diagnosis AD. Sebagai tambahan, penurunan volume dari nucleus

caudatus sebelah kanan memprediksikan konversi dari MCI ke AD. Regio medial

temporal termasuk korteks enthorinal dan amygdala juga menurun pada pasien MCI

yang akan mengalami AD. Hal yang sama terjadi, atrofi dari lobus temporal dan

frontal, korteks temporoparietal, gyrus cingulate , precuneus, juga berhubungan

dengan progresi tiga tahun dari MCI ke AD. Di antara pasien AD, atrofi hippocampus

muncul terlebih dahulu diikuti dengan atrofi cingulum bundle dan uncinate fasiculus.

Atrofi lobus temporal, parietal, dan frontal dapat memburuk seiring progresi dari

 penyakit. Pentingnya, tidak ada progresi yang telah dilaporkan pada literatur PTSD

masa kini.

4.2 Respon endokrin

Saat mengalami rasa kecewa dan ancaman, sistem stres tubuh teraktivasi untuk

memberikan tubuh sumber yang penting untuk respon  fight or flight. Dua axis utama

stress terlibat dalam respon terhadap stressor. Pertama, aktivasi dari  sympathetic-

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 18/47

18

adrenal-medulary axis menghasilkan sekresi cepat epinefrin. Kedua, aktivasi HPA

axis melalui sistem hormon menghasilkan glukokortikoid, terutama kortikosteron

 pada hewan dan kortisol pada manusia. Glukokortikoid bersifat larut dalam lemak

dan dapat melewati sawar darah otak untuk berikatan dengan reseptor

mineralkortikoid (tipe I) dan glukokortikoid (tipe II). Reseptor tipe I sebagian

didistribusikan di sistem limbik, sedangkan tipe II dipresentasikan di struktur kortikal

termasuk korteks prefrontal. Aktivitas HPA axis diatur oleh  feedback negatif, dimana

 beberapa bagian disebabkan oleh pengikatan glukokortikoid ke reseptor tipe II yang

terletak di hippocampus dan kelenjar pituitari. Tiga struktur otak telah diidentifikasi

sebagai pengatur HPA axis : amygdala, yang memiliki pengaruh untuk merangsang

kerja HPA axis, hippocampus, dan korteks prefrontal yang menyebabkan inhibisi dari

HPA axis. Karena struktur otak ini memiliki reseptor glukokortikoid dengan densitas

yang tinggi, fungsi yang mereka kerjakan dapat dipengaruhi oleh stress. Saat respon

stress meningkat, hasil yang negatif dapat muncul, seperti desensitisasi reseptor dan

kerusakan jaringan. Dampak jangka panjang ini disebut “allostatic load ”. Tingginya

allostatic load  dihubungkan dengan penurunan fungsi kognitif pada orang tua.

Dampak stress terhadap fungsi kognitif telah dipelajari di berbagai paradigma

dan populasi. Pasien yang lebih tua menunjukkan variabilitas volume dan fungsi

hippocampus, sekresi kortisol, dan performa kognitif. Banyak penelitian yang

dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel ini dari normal hingga

 patologis. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa tikus yang lebih tua mengalami

 penurunan memori memiliki aktivitas HPA axis yang lebih tinggi dibandingkan

dengan tikus dengan performa memori yang normal. Pada tikus tua aktivitas HPA

axis memiliki hubungan negatif baik performa spasial dan neurogenesis hippocampal.

Injeksi tikus tua dengan kortisol dalam periode lama akan menyebabkan penurunan

fungsi yang sama. Penurunan kadar kortisol telah ditemukan untuk mempromosikan

neurogenesis dan menghambat gangguan memori spasial biasanya diobservasi pada

tikus tua. Manusia yang menunjukkan peningkatan kortisol 24 jam selama 3-6 tahun

hingga tingkat yang tinggi ditemukan mengalami gangguan memori dan volum

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 19/47

19

hippocampal yang lebih rendah. Penelitian pada hewan coba menghasilkan hipotesis

kaskade glukokortikoid , yang dikenal juga dengan istilah hipotesis neurotoksisitas.

Teori ini menduga bahwa peningkatan kadar kortisol yang terjadi secara kronik

mengganggu regulasi aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal), dan kemudian

mengganggu regulasi sistem stres yang menyebabkan penurunan volume hipokampus

dan kurangnya daya ingat. Peningkatan kadar glukokortikoid yang terjadi secara

kronik telah terbukti menyebabkan menurunnya percabangan dendritik pada

hipokampus, menghasilkan atrofi pada regio CA3, dan degenerasi neuron piramidal.

Penelitian lain juga menyatakan bahwa paparan kronis terhadap kadar glukokortikoid

yang tinggi setelah cedera otak, seperti trauma atau iskemia, dapat menyebabkan

 penurunan jumlah neuron lebih lanjut. AD (Alzheimer‟s Disease) juga dihubungkan

dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dan volume hipokampus yang lebih kecil.

Perlu diketahui bahwa belum ada penelitian yang menjelaskan apakah profil

hiperkortisolemia menyebabkan penurunan volume hipokampus, atau apakah volume

hipokampus yang kecil memberikan kecenderungan sekresi kortisol yang lebih tinggi.

4.3. Stres oksidati f  

Di luar stres aksis HPA, gagasan mengenai stres oksidatif telah diteliti dalam

usaha untuk menjelaskan mekanisme progresi dari proses penuaan normal menuju

 patologik. Mitokondria menghasilkan reactive oxygen species, yang dapat

memberikan efek merusakn pada jaringan tubuh. Stres oksidatif muncul ketika

aktivitas antioksidan tidak cukup kuat untuk menetralkan pro-oksidan tersebut.

Penelitian pada sekelompok spesies hewan dari hewan pengerat sampai primata

melaporkan terdapat hubungan antara stres hidup yang berat dan marker stres

oksidatif. Diduga stresor yang lebih berat dapat meningkatkan stres oksidatif, yang

dapat mengganggu integritas aksis HPA. Stres oksidatif yang tinggi dihubungkan

dengan gangguan kognitif dan AD. Stres oksidatif diketahui berhubungan dengan

 penurunan neurogenesis pada girus dentatus, meningkatkan permeabilitas sawar

darah otak, neuroinflamasi (dijelaskan pada bagian berikutnya), kematian neuron, dan

secara umum peningkatan kemungkinan kerusakan jaringan otak. Neuroinflamasi

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 20/47

20

dapat meningkatkan stres oksidatif lebih lanjut, berpotensi memunculkan lingkaran

setan. Penelitian menunjukkan bahwa amiloid-beta (A), suatu penanda

neuropatologis dari AD, dapat dihasilkan melalui interaksi antara stres oksidatif

dengan neuroinflamasi. Baik stres oksidatif maupun neuroinflamasi berhubungan

dengan aktivitas telomer yang menurun, yang kemudian dapat mempercepat

 pemendekan telomer. Pemendekan telomer adalah proses yang normal terjadi pada

 penuaan, namun pemendekan yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan

kognitif, peningkatan risiko mortalitas, dan kondisi patologik termasuk AD. Selain

itu, stres oksidatif meningkatkan aktivitas dari neurotransmiter eksitatorik, terutama

glutamat. Tingginya kadar stres oksidatif secara terus menerus dalam periode yang

lama dapat menyebabkan disregulasi proses  signalling   yang dapat menyebabkan

hilangnya neuron, suatu proses yang disebut eksitotoksisitas. Proses ini telah

dilaporkan pada penyakit degeneratif multipel, termasuk AD. Akhirnya, tetap penting

untuk diperhatikan bahwa stres kronis dapat meningkatkan asupan kalori, resistensi

insulin, dan risiko obesitas, dengan konsekuensi efek yang merusak pada gangguan

mental selain menyebabkan sindroma metabolik, yang berhubungan dengan

 peningkatan risiko inflamasi dan AD. Meskipun peran stres oksidatif telah diusulkandan model hewan coba pada PTSD, penanda peningkatan stres oksidatif belum

dianggap berhubungan dengan gangguan yang sebenarnya pada manusia.

4.4. Neuroinf lamasi dan sitokin

 Neuroinflamasi adalah proses yang diawali untuk memperbaiki cedera otak.

Proses ini dicirikan dengan aktivasi mikroglia dan astrosit, yang berhubungan dengan

 pelepasan mediator inflamasi, terutama sitokin. Sitokin memediasi komunikasi antara

sistem imun dan sistem neuroendokrin. Terdapat dua kelas sitokin: sitokin

 proinflamasi dan antiinflamasi. Stres meningkatkan produksi dari sitokin

 proinflamasi di sistem saraf sentral dan perifer. Individu dengan stres kronis sering

memiliki fungsi imun yang terganggu dan menunjukkan kadar sitokin proinflamasi

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 21/47

21

yang tinggi dalam serum. Peningkatan sitokin proinflamasi juga dilaporkan pada

PTSD.

Peran stres kronis dalam menginduksi neuroinflamasi dapat dimediasi melalui

 pelepasan glukokortikoid. Di otak, glukokortikoid meningkatkan stimulasi untuk

migrasi leukosit. Neuroinflamasi berkontribusi terhadap gangguan proses proliferasi

normal, migrasi, dan diferensiasi dari stem sel neural, menyebabkan penurunan

neurogenesis dengan gangguan ingatan dan mempelajari hal baru. Penemuan

mengenai mikroglia yang teraktivasi di sekitar plak amiloid mendukung peran

neuroinflamasi pada patofisiologi AD. Pada penelitian epidemiologi, terapi dengan

obat-obatan AINS diketahui menurunkan risiko AD. Obat-obatan AINS telah

diselidiki sebagai terapi potensial untuk menghambat onset AD.

Bertambahnya usia dihubungkan dengan perubahan respon imun, dengan

upregulation  mediator proinflamasi dan downregulation  mediator antiinflamasi.

Terdapat korelasi negatif antara derajat inflamasi dengan onset usia AD (semakin

tinggi derajat inflamasi, onset semakin cepat). Individu dengan derajat inflamasi yang

lebih tinggi diketahui kehilangan banyak poin dalam MMSE dalam periode 3 tahun.

4.5. Neuropatologi

Dalam mempertimbangkan efek akibat stres pada jaringan neural, perlu

ditekankan bahwa tidak setiap perubahan berefek pada proses degeneratif.

Sebagaimana organ lain dalam tubuh, otak mampu berubah secara morfologis sebagai

respon terhadap lingkungan. Perubahan ini dapat muncul pada tingkat molekuler,

seluler, sinaps, jaringan, dan bahkan pada tingkat anatomis yang lebih besar, tidak

hanya di neuron namun juga di neuroglia. Perubahan otak sebagai respon terhadap

stres sangat bervariasi tergantung pada regio otak yang terkena. Regio yang paling

sering dipelajari adalah hipokampus. Kesesuaian dengan hipotesis kaskade

glukokortikoid adalah peningkatan kadar kortisol yang kronis dapat menyebabkan

atrofi dendrit pada struktur tersebut. Perubahan seperti ini telah dilaporkan pada

hewan pengerat dan kera yang dipapar dengan situasi penuh tekanan secara kronis

serta diberikan kortikoid eksogen. Hal yang penting di sini, setidaknya pada suatu

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 22/47

22

tingkat, atrofi dendrit hipokampus bersifat reversibel dengan penghentian paparan

stres. Area otak lain, terutama amigdala, dapat memberikan respon terhadap stres ke

arah yang berlawanan (dengan peningkatan proliferasi dan hipertrofi dendrit). Semua

respon ini dapat bersifat adaptif. Di bawah kondisi lingkungan yang penuh tekanan

(munculnya bahaya secara terus-menerus), memiliki amigdala yang hiperfungsi dapat

 bermanfaat, memberikan peran sentral organ ini dalam mengenali ancaman dan

mengkoordinasikan respon takut. Sebaliknya, dalam kondisi bahaya, fungsi

hipokampus (mempelajari lingkungan di bawah kondisi aman dan fleksibilitas

 perilaku) bisa jadi tidak bermanfaat.

Pengamatan variasi neuron regional pada respon terhadap stres, dengan atrofi

 pada beberapa area dan hipertrofi di area lain, menghalangi kenyataan sederhana

 bahwa stres merusak otak. Bahkan, stres muncul untuk „memahat‟ otak sesuai

lingkungan darurat. Jika stres berlangsung lama, dapat muncul kematian neuron,

meskipun penelitian terbaru membantah efek ini. Sebaliknya, tinjauan penelitian MRI

volumetrik menunjukkan penurunan volume amigdala dan hipokampus yang

sebanding pada AD. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan kualitatif pada proses

neuropatologis yang mendasari stres dan AD, dengan klasifikasi yang lebih tepat

sebagai plastik untuk yang awal, dan degeneratif untuk yang akhir.

 Neuropatologi dari AD dicirikan dengan plak A  ekstraseluler dan ikatan

neurofibril intraseluler. A diproduksi dari protein prekursor amiloid (APP). Protein

tau adalah bahan penting dari ikatan neurofibril. Pada AD, protein tau mengalami

hiperfosforilasi, yang kemudian mengganggu fungsinya. Kelompok astrosit dan

mikroglia di sekitar neuron dan plak teraktivasi, berinteraksi dengan molekul

 proinflamasi dan mengacaukan keseimbangan antara molekul proinflamasi dan

antiinflamasi.

Bukti yang ditunjukkan pada hewan coba tidak mendukung bahwa stres dapat

mempercepat atau memperburuk proses neuropatologis yang berhubungan dengan

AD. Suatu pendekatan digunakan untuk hewan coba yang telah dimodifikasi secara

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 23/47

23

genetik untuk meningkatkan gambaran patofisiologis yang berhubungan dengan AD

dan kemudian untuk memeriksa efek dari stres dan hormon stres pada mereka. Mencit

transgenik yang mengalami overekspresi suatu mutasi pada APP menunjukkan

 penurunan kapasitas proliferasi sel pada girus dentatus. Stres yang terisolasi diketahui

dapat mempercepat proses yang mendasari deposisi plak A  pada mencit ini. Pada

model tikus transgenik AD yang lain, stres jangka panjang dihubungkan dengan

 peningkatan jumlah dan densitas dari deposit vaskuler dan ekstraseluler, terutama di

hipokampus, mengandung A dan fragmen carboxyl-terminal  dari APP. Pemberian

glukokortikoid eksogen dengan kadar stres terhadap mencit ransgenik juga diketahui

dapat meningkatkan pembentukan A  dengan meningkatkan kadar tetap dari APP

dan -APP cleaving enzyme dan untuk menambah akumulasi protein tau. Pada tikus

Wistar nontransgenic, baik stres maupun glukokortikoid diketahui dapat mencetuskan

gangguan proses APP pada hipokampus dan korteks prefontal tikus. Pada tikus

Wistar sehat usia pertengahan, stres kronis dan glukokortikoid diketahui dapat

menginduksi hiperfosforilasi yang abnormal dari protein tau pada hipokampus dan

korteks prefrontal, dengan gangguan yang sepadan pada perilaku tergantung

hipokampus dan korteks prefrontal. Untuk tinjauan terbaru dan lebih detail mengenai

neuropatologi dari stres, lihat [61].

Lompatan dari PTSD ke AD mungkin lebih lebar dibanding lompatan dari stres

ke AD. Sesuai dengan hipotesis kaskade glukokortikoid, pada AD, sebagaimana pada

depresi, kadar kortisol cenderung tinggi dan resisten terhadap umpan balik negatif.

Banyak penelitian menyebutkan bahwa bukan ini yang terjadi pada PTSD;

gambarannya cenderung berlawanan. Bukti bahwa stres terlibat dalam patogenesis

AD bergantung pada pean mediasi dari glukokortikoid yang berlebihan, sulit

menerapka suatu model pada suatu kondisi (PTSD) di mana glukokortikoid tidak

 berlebihan. Pada tingkat ini, mekanisme non-glucocorticoid-mediated  di mana PTSD

dapat mempengaruhi AD tidak digambarkan dengan baik.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 24/47

24

Penyusutan volume hipokampus adalah penemuan yang konstan pada PTSD.

Awalnya, penemuan ini digembar-gemborkan sebagai bukti yang dapat

dikembangkan bahwa stres dapat merusak struktur otak manusia. Interpretasi ini

mengalami keunduran pada penelitian kembar identik yang mendukung kesimpulan

 bahwa penyusutan hipokampus pada PTSD adalah abnormalitas konstitusional yang

dimiliki bersama oleh kembar yang merupakan veteran pejuang. Hasil meta-analisis

menunjukkan bahwa riwayat terpapar kejadian traumatik, bahkan tanpa adanya

PTSD, berhubungan dengan pengurangan volume hipokampus (walaupun tidak

seluas pada PTSD), menunjukkan peran kausatif untuk paparan trauma pada

 penyusutan hipokampus. Bahkan paparan yang sangat berisiko sekalipun memiliki

faktor genetik. Bukti bahwa terapi psikofarmakologis dapat meningkatkan volume

hipokampus pada PTSD diajukan namun tidak terbukti sumber penyusutannya.

Bahkan jika suatu bagian penyusutan volume yang ditemukan pada PTSD di

hipokampus, dan struktur otak lain yang mungkin, nantinya akan menunjukkan

gambaran didapat daripada konstitusional, tidak jelas hubungan apa yang bisa didapat

dengan AD dan demensia lain, dengan kenyataan bahwa PTSD dan demensia benar-

 benar berbeda secara psikiatris dan biologis. Pertanyaannya mungkin diperjelas

dengan pemeriksaan postmortem dari jaringan otak pada PTSD dalam pencarian

 perubahan seperti AD, namun hanya sedikit penelitian yang telah dilaporkan. Sampai

saat itu, hubungan neuropatologis antara PTSD dan AD masih spekulatif.

5.  Kesimpulan

Studi epidemiologi mengenai stres kronik dan PTSD telah menunjukkan

 bahwa keduanya berkaitan secara statistik terhadap berkembangnya berbagai bentuk

demensia. Meskipun demikian hubungan tersebut tidaklah kuat. Stres kronis dan

PTSD tidak secara langsung menimbulkan demensia. Stres kronik dan PTSD hanya

merupakan faktor tambahan yang terlibat dalam patogenesis suatu demensia,

termasuk alzeimer. Hubungan langsung antara stres kronik dan PTSD dapat

menimbulkan suatu demensia masih belum dapat diitegakkan. Dalam tingkat biologi,

 beberapa jalur dari stres ke demensia telah dapat digambarkan dalam berbagai studi,

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 25/47

25

dimana studi-studi tersebut berdasarkan percobaan dengan menggunakan binatang.

Sehingga studi-studi ini hanya berupa suatu analogi atau homologi bila diaplikasikan

 pada manusia. Penyakit alzeimer memiliki profil neuropatologi yang tidak ditemukan

 pada stres maupun PTSD. Meskipun belum ada anti stres maupun anti PTSD spesifik

yang telah terbukti manfaatnya, studi lebih lanjut masih perlu untuk dilakukan.

Sementara itu, intervensi kesehatan masyarakat yang bertujuan mengurangi stres

kronik dan PTSD terbukti memiliki efek yang menguntungkan terhadap pencegahan

munculnya suatu demensia.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 26/47

26

REVIEW ARTICLE

SPIRITUALLY AND RELIGIOUSLY INTEGRATED GROUP

PSYCHOTHERAPY: A SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW

Dorte Toudal Viftrup, Niels Christian Hvidt, and Niels Buus

1.  PENDAHULUAN

Masalah spiritual dan agama mendapat perhatian dalam penelitian kesehatan,

dan sepertinya kedua hal tersebut sangat berhubungan dengan kualitas hidup dan

 peningkatan kesehatan [1,2]. Peran spiritualitas dan agama dalam kesehatan jiwa dan

raga telah disebutkan dalam jurnal medis, psikiatri, psikologi, dan kedokteran

behavior , dan bukti menunjukkan hubungan antara peningkatan kesehatan,

spiritualitas dan keagamaan [3]. Contohnya, penelitian kohort dari Danish pada

10800 pembaptis dan adven menunjukkan penurunan resiko kanker, COLD, penyakit

 jantung koroner, dan beberapa gangguan psikiatri [4]. Terlebih, spiritualitas dan

agama telah dianggap sebagai komponen yang penting dalam hidup manusia yang

menyertai terapi kesehatan mental [5]. Beberapa penelitian menyatakan bahwa orang

dengan spiritual dan religius mendapat keuntungan dari intervensi spiritual dan

keagamaan yang terintegrasi [5], dan ada substansi dalam literatur mengenai

 bagaimana mengintegrasikan spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi [6,7].

Contohnya, Rye dkk [8] meneliti efektivitas intervensi pengampunan yang sekuler

dan religius. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan saat secara langsung

membandingkan partisipan sekuler dan religius pada outcome  primer dan sekunder.

Telah dikemukakan pendekatan terapi yang berbeda dengan integrasi spiritualitas dan

keagamaan [3,9] dan psikoterapi dengan kelompok agama tertentu [10]. Integrasi

faktor spiritual dan faktor religius tidak sepenuhnya dipahami. Sampai sekarang,

kebanyakan penelitian empirik pada psikoterapi spiritual dan religius yang

terintegrasi telah mengevaluasi efektivitas intervensi yang komplit, namun klarifikasi

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 27/47

27

faktor-faktor spiritual dan religius, memisahkan psikoterapi spiritual dan religius

terintegrasi dari tipe grup psikoterapi yang lain, masih belum terjawab.

Integrasi spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi grup merupakan area

yang masih kurang diteliti dibandingkan psikoterapi dengan individu [6,7,11].

Beberapa penelitian empiris tentang psikoterapi grup yang mengintegrasi spiritual

dan keagamaan berfokus pada efektivitas dari keseluruhan intervensi [5]. Namun,

carapenelitian-penelitian ini mengintegrasi faktor spiritual dan religius ke dalam

 psikoterapi grup dan yang mendasari hasilnya masih belum jelas.

Kurangnya penelitian pada grup intervensi dengan integrasi spiritual dan

agama cukup mengejutkan karena spiritualitas dan agama sering dikembangkan dan

dipraktekkan dalam komunitas-komunitas orang yang memiliki keyakinan dan

 pemahaman yang sama dan karena agama adalah fenomena kelompok, salah satu

 bentuk paling awal dari sebuah kelompok yang besar [12]. Intervensi grup secara

 psikologis, yang menyatukan spiritualitas dan agama, mungkin lebih bermanfaat dari

segi dinamika psikologi spiritualitas dan agama daripada intervensi individu.

Penelitian mengindikasikan bahwa intervensi psikoterapi dalam bentuk grup lebih

efisien dalam waktu, ekonomi, dan efektif meningkatankan kemampuan koping

(coping skill)dan kualitas hidup dan menurunkan distres psikologis dan fisik [13,14].

Pengetahuan berdasarkan penelitian mengenai faktor spiritual dan religius

dan efeknya pada psikoterapi grup yang mengintegrasikan spiritualitas dan

keagamaan dapat bermanfaat untuk kesehatan. Untuk itu kami melakukan penelitian

sistematik dari literatur untuk menyelidiki penelitian psikoterapi grup berintegrasi

spiritual dan keagamaan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi secara kritis dan

merangkum pengetahuan mengenai kompleksitas faktor spiritual dan faktor religius

diintegrasikan ke dalam psikoterapi grup dan kemudian menyoroti isu-isu penting

mengenai faktor spiritual dan religius yang masih belum dipecahkan dalam

 penelitian.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 28/47

28

2.  PERSPEKTIF TEORI

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas seseorang dan atau

keyakinan dan praktek agama akan meningkat saat mengalami krisis personal seperti

sakit atau masalah yang lain [15-17]. Penelitian juga telah mengungkapkan

 bagaimana spiritual dan agama sebagai suatu meaning-system, dibedakan dari

meaning-system yang lain, mempunyai peran penting bagi orang yang mempunyai

masalah [18-21]. Arti fungsi spiritual dan agama bagi orang dalam krisis mungkin

lebih penting dibandingkan sumber yang lain karena spritual dan agama membawa

kepercayaan ke prinsip atau kekuatan yang lebih tinggi yang melampaui kehidupan

manusia dan dapat memberikan pertolongan dan kenyamanan selama krisis. Arti-

fungsi spiritual dan agama menawarkan arti dalam semua aspek kehidupan manusia

dari lahir sampai mati dan terutama kehidupan setelah mati [18, 19]. Namun, bahkan

di antara orang-orang spiritual dan religius, terdapat variasi antara pentingnya

spiritual dan agama sebagai meaning-system. Bagi beberapa orang, spritualitas dan

agama adalah pusat kehidupan mereka, dan bagi sebagian yang lain, spiritual dan

agama memiliki peran kecil dalam kesejahteraan psikologisnya [3]. Untuk itu,

 pentingnya spiritual dan agama pada individu dapat mempengaruhi psikoterapi

spiritual dan religius terintegrasi sebagai motivasi klien untuk terapi dan kepercayaan

dalam terapi merupakan faktor penting untuk menentukan outcome terapi [22]. Kami

akan menguraikan hal ini dengan mempresentasikan model faktor-faktor yang umum

setelah mendefinisikan spiritualitas dan agama seperti yang diaplikasikan dalam

 jurnal.

Merupakan hal yang menantang untuk menjelaskan spiritualitas dan agama

dan untuk membedakan kedua konsep tersebut [23]. Definisi dan operasionalisasi

konsep ini dalam penelitian empirik akan mempengaruhi fokus dan outcome

 penelitian, dan konsep yang kurang jelas akan menjadi sumber error.

Terdapat perbedaan pendekatan untuk mempelajari spiritualitas dan agama,

dan Zinnbauer dkk [24] membaginya dalam pendekatan tradisional dan modern.

Pendekatan tradisional melihat agama sebagai konstruksi yang luas, dimana

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 29/47

29

spiritualitas tidak terlepas dari agama namun lebih terintegrasi padanya dan

dikarakteristikkan sebagai agama yang hidup atau ketakwaan [25]. Dalam pendekatan

tradisional, keimanan personal dipertegas, dan agama dapat bersifat positif dan

negatif. Sedangkan pendekatan modern melihat agama sebagai konstruksi yang

sempit, bertentangan dengan spiritualitas. Pendekatan modern menganggap agama

sebagai eksternal, instrumental, dan “buruk”, dimana spiritualitas dianggap personal,

relasional dan “baik” [26]. Zinnbauer dkk [24] dan Pargament [26] mengkritik

 pendekatan tradisional yang tidak membedakan antara spiritualitas dan agama, dan

mengkritik pendekatan modern karena mempertentangkan kedua konsep tersebut.

Pargament [26] membahas problem pertentangan spiritualitas dan agama ini.

Pargament mengkritik tiga hal. Pertama, mengenai tekanan antara kedua

konsep tersebut, dimana banyak teori mempertegasnya namun kebanyakan penganut

tidak mengalaminya. Survey di Amerika yang dilakukan oleh Zinnbauer dkk [27]

menunjukkan bahwa saat dipaksa untuk memilih, 74% menganggap diri mereka

sendiri sebagai orang religius dan spiritual, 19% merasa spiritual namun tidak

religius, 4% merasa religius namun bukan spiritual, dan 3% tidak keduanya.

Penelitian lintas budaya yang dilakukan Keller dkk [28] menunjukkan bahwa pola

yang sama juga terlihat di Eropa. Oleh karena itu, perbedaan ini sebagai tanda bahwa

 penurunan agama lebih lazim terjadi pada akademisi daripada penganut [29].

Kritik kedua Pargament mengenai dekontekstualisasi dari spiritualitas.

Menurut definisi spiritualitas, kebanyakan pembuat teori menganggap bahwa dimensi

spiritual dalam hidup masih hampa. Pargament berpendapat bahwa spiritualitas

individu meningkat, berkembang, dan terbuka dalam konteks religius yang lebih

 besar, bahkan bila konteksnya telah ditolak. Banyak peneliti yang menyetujuinya.

Sehingga, Moberg [30] mengkritisi kemungkinan evaluasi spiritualitas di dalam diri

dan meminta peneliti untuk sadar-konteks dan menerapkan instrumen pengukuran

yang bertarget pada kekhususan grup religius orang yang dibawah pengawasan.

Kritik ketiga Pargament berhubungan dengan spiritualitas romantisasi

sebagai hal positif, personal, dan berhubungan dengan perangai manusia. Menentang

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 30/47

30

gagasan tersebut, Pargament menekankan bahwa dimensi spiritual dalam kehidupan

dapat bersifat konstruktif dan destruktif [9]. Sependapat dengan hal itu, Koenig [31]

 berpendapat bahwa pemahaman positif dari spiritualitas ini mempengaruhi instrumen

yang digunakan untuk mengukur spiritualitas; ukuran spiritualitas mengandung sifat

 psikologis positif atau pengalaman manusia. Spiritualitas akan selalu berkorelasi

dengan kesehatan mental jika kesehatan mental positif dan nilai manusia menjadi

definisi dari spiritualitas. Spiritualitas, diukur dengan pengukuran kesehatan mental

yang baik, akan selalu berhubungan secara tautologi dengan kesehatan mental yang

 baik [31].

Pentingnya definisi yang jelas dan konsep tersebut juga terlihat dalam

 penelitian empirik dan praktek klinik. Definisi yang kabur membuat ketidakjelasan

tentang apa yang sebenarnya dipelajari dan diintegrasi dalam psikoterapi. Masalah

tautologi akan mempengaruhi outcome dan dapat menjadi sumber error dalam

 penelitian. Selanjutnya, tanpa definisi yang jelas, psikologis dan terapis dalam

 praktek klinik bekerja tanpa  guideline saat mereka berusaha menggabungkan

spiritualitas dan religiusitas.

Untuk penelitian ini, kami menerapkan definisi agama dan spiritual yang

dikemukakan Pargament. Dia mendefinisikan agama sebagai  pencarian signifikansi

melalui cara yang berhubungan dengan hal-hal suci, dan spiritualitas sebagai

 pencarian hal suci. Definisi ini bersifat dinamis karena mereka menyatukan kekuatan

motivasi dalam diri semua orang terhadap spiritualitas dan mereka memperhitungkan

aspek positif dan negatifnya. Pargament percaya bahwa fungsi yang paling penting

dari agama adalah spiritual di dalam alam. Terlepas dari banyaknya tujuan suatu

agama, fungsinya yang paling penting adalah keinginan untuk membentuk hubungan

dengan sesuatu atau seseorang yang dianggap suci.

Pada artikel ini, perbedaan antara pendekatan tradisional dan modern, tiga

 poin kritik Pargament terhadap pendekatan modern dan kritik Koenig terhadap

 pengukuran tautologi akan digunakan untuk mengevaluasi definisi yang digunakan

dalam penelitian dan outcome spiritual atau religius yang tersaji dalam penelitian.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 31/47

31

Untuk mengevaluasi secara kritis efek dari integrasi spiritualitas dan/atau

religiusitas dalam grup psikoterapi, kami merasa adanya kebutuhan untuk

memasukkan faktor psikologi yang lain, seperti faktor umum [22] psikoterapi, yang

dapat berefek kepada outcome dari intervensi.

Model medis telah mendominasi penelitian tentang psikoterapi. Model medis

menekankan bahwa tujuan utama penelitian psikoterapi adalah untuk memeriksa efek

terapi spesifik pada gangguan jiwa spesifik [32]. Model medis berasumsi bahwa ada

 penjelasan psikologis untuk gangguan mental pasien, dan ada mekanisme perubahan

konsisten dengan penjelasan teori ini. Mekanisme perubahan ini kemudian memicu

aksi terapi tertentu, dan aksi ini bertanggung jawab terhadap keuntungan psikoterapi.

[33]

Sebagai respon terhadap model medis, Duncan dkk [22] memperkenalkan

the common factors models. Model ini menekankan adanya kerja kolaboratif dari

terapis. Mereka berfokus pada terapis, klien, dan transaksi di antara mereka, dan

struktur dari pengobatan yang ditawarkan [33]. Hubble dkk [34] membagi faktor

umum ke dalam empat elemen. (1) Faktor klien dan ekstra terapetik, meliputi semua

yang mempengaruhi peningkatan pengobatan, contohnya, kesiapan klien terhadap

 perubahan, kekuatan, sumber daya, level fungsi sebelum pengobatan, dukungan sosial

network, status sosio-ekonomi, motivasi personal, dan peristiwa hidup. (2) Model dan

teknik, meliputi keyakinan klien dan terapis dalam kekuatan restorasi dan kredibilitas

terapi. (3) Faktor terapis, berhubungan dengan efektifitas orang yang menjadi terapis.

Bukti menunjukkan bahwa terapis yang efektif menggunakan faktor-faktor umum

untuk meraih outcome yang lebih baik. (4) Hubungan atau aliansi terapetik,

 berhubungan dengan kerjasama antara klien dan terapis untuk mencapai tujuan klien.

Aliansi yang positif adalah salah satu prediktor outcome terbaik [34]. Berkebalikan

dengan model medik, model faktor umum menganggap mekanisme perubahan adalah

kompleks, sehingga suatu aksi terapetik sendiri tidak dapat menghasilkan outcome

dari psikoterapi.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 32/47

32

Pada review ini, model medik dan model faktor umum dengan empat elemen

yang disajikan Hubble dkk [34] akan digunakan untuk mengevaluasi dan membahas

outcome, definisi, dan faktor spiritual atau religius pada psikoterapi grup.

3.  TUJUAN

Untuk secara sistematis meninjau literatur penelitian untuk menjawab

 pertanyan-pertanyaan berikut:

(1) Bagaimana spiritualitas dan religiusitas didefinisikan?

(2) Bagaimana faktor spiritual dan religius membentuk karakter dan berintegrasi

dalam psikoterapi grup?

(3) Bagaimana mengukur outcome dari psikoterapi grup dan apa hasilnya?

4.  METODE

Penelitian ini dirancang sebagai tinjauan literatur sistematis.

4.1. Strategi pencarian. Pada proses mencari literatur bertema spiritual dan

agama dalam kelompok psikoterapi, digunakan dua strategi pencarian menyeluruh,

yaitu : (1) kombinasi strategi pencarian "Singkat" dan "building block " (mencari

database) serta (2) "citation pearl growing strategy" (meninjau secara sistematis

daftar referensi untuk literatur yang lebih relevan) [35]. Penulis pertama telah

melakukan pencarian literatur, yang telah diselesaikan pada bulan April 2013.Dua

database dicermati, PsycINFO dan PubMed, karena di dalamnya terdapat jurnal-

 jurnal yang berpotensi relevan dengan psikologi dan kesehatan telah dibuat indeksnya

dalam database tersebut.

Perbedaan metode pencarian "singkat" dan "building blocks" telah

dieksplorasi dalam rangka untuk mendapatkan banyak referensi sebanyak mungkin

dan menciptakan pencarian sejenis dalam dua database. Judul yang diatur pada

PsycINFO (Index istilah) termasuk "Agama," "Religiusitas," "Keyakinan Agama,"

dan "Spiritualitas," dan pencarian singkat dari indeks keempat istilah ini dikombinasi

dengan istilah Index "kelompok psikoterapi "dan" Grup Intervensi "diidentifikasi oleh

95 referensi.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 33/47

33

Sementara judul yang diatur pada PubMed "Agama," "Keyakinan, agama,"

dan "spiritualitas" digabungkan dengan istilah MESH "kelompok psikoterapi," dan

dari pencarian terindentifikasi 221 referensi.Program perangkat lunak

“EndNote”digunakan untuk menangani referensi yang telah ditemukan. Tujuh

referensi tumpang tindih, dan total dari 309 referensi diambil dari database pencarian

diperiksa berdasarkan judul dan abstrak untuk melihat apakah mereka

memenuhikriteria inklusi.Sembilan puluh sembilan artikel dianggap memenuhi syarat

untuk pemeriksaan teks lengkap, yang menunjukkan tingkat yang relatif "presisi"

tinggi untuk pencarian database [35].selanjutnya, daftar referensi yang berisi 99

artikel teks diperiksa sebagai bagian dari "citation pearl growing strategy" [35].

Hanya tiga artikel tambahan ditemukan sebagai bagian dari "citation pearl growing

 strategy ", yang menunjukkan tingkat " recall " tinggi[35]. Sejumlah 102 artikel teks

lengkap telah diperiksa untuk memenuhi kriteria pengecualian untuk penelitian

4.2. Kriteria inklusi. Artikel mengenai penelitian empiris berbahasa inggris

dan skandinavia pada spiritual atau agama terintegrasi dengan kelompok intervensi

 psikologis.

4.3. Kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi untuk tinjauan adalah sebagai

 berikut.

1)  Penelitian pada intervensi di mana elemen spiritual atau agama hanya

 bagian kecil dari budaya atau pemahaman sosial.

2)  Penelitian pada integrasi spesifik teknik "spiritual" ke intervensi

(misalnya, yoga, meditasi, dan pengampunan) di mana intervensi

keseluruhan tidak didasari oleh pertimbangan spiritual atau agama.

3)  Penelitian di mana fokusnya adalah pada jenis intervensi tertentu

(misalnya, berbasis seni atau psikososial) dan elemen spiritual hanyalah

 pelengkap.

4)  Penelitian pada kelompok intervensi psikoedukasional.

5)  Penelitian pada intervensi pasangan dan keluarga.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 34/47

34

6)  Penelitian pada kelompok intervensi eksistensial dan kelompok meaning-

centered  yang tidak spesifik termasuk agama atau unsur-unsur spiritual.

4.4. Penilaian kualitas. Secara total, 10 artikel memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi untuk review.Penulis pertama mengevaluasi penelitian berdasarkan

checklist dari alat penilaian standar.Tujuan dari menggunakan daftar adalah untuk

menilai kualitas kekuatanmetodologis dari sepuluh penelitian dengan tujuan dari jenis

 penelitian yang dipresentasikan dan untuk menghilangkan bias metodologis.

Penelitian kualitatif (  = 2) ditujukan pada penilaian kualitas menggunakan

 pendekatan Critical Appraisal   [36]. Penelitian Kuantitatif (  = 8) ditujukan pada

checklist yang dikembangkan oleh Regan et al. [37]. Lihat Tabel 1 untuk daftar

 penilaian kualitas.

Dalam penilaian kualitas tiga jenis evaluasi yang digunakan: 0 untuk item

yang tidak dilaporkan, 1 untuk item dengan pelaporan seadanya (misalnya, informasi

tersirat), dan 2 untuk item dengan pelaporan yang cukup (mis., informasi eksplisit).

Penilaian Kualitas makalah menghasilkanpengecualian pada 2 penelitian[38, 39].

Lihat Gambar 1 untuk strategi pencarian dan pengecualian.

4.5. Evaluasi Intervensi. Dalam rangka untuk mengevaluasikelompokpsikoterapi terintegrasi rohani atauagama, tiga pertanyaan khusus

ditambahkan ke dalam proses pemeriksaan.

1)  Bagaimana spiritualitas atau agama digolongkan untuk grup psikoterapi?

2)  Bagaimana faktor spiritual atau agama diintegrasikan ke dalam kelompok

 psikoterapi?

3)  Apa hasil dari kelompok psikoterapi terintegrasi spiritual atau agama?

Evaluasi disajikan pada Tabel 2.

5.  TEMUAN

Delapan artikel dalam sampel dianggap transparan secara metodologis dan

karena itu memenuhi syarat untuk review.Terdapat beberapa kelemahan secara umum

dalam semua penelitian, termasuk kurangnya sebuah diskusi tentang isu-isu etika, dan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 35/47

35

sebagian besar penelitian kuantitatif hanya secara samar-samar menangani masalah-

masalah pada sampling probabilitas dan tingkat respons. Namun, delapan artikel lain

mencetak penilaian tinggi pada metode, langkah-langkah, analisis, temuan, dan nilai

 penemuan. Hal ini memberi dampak positif dalam penafsiran temuan mereka.Lihat

Tabel 2 untuk skor penilaian.

Pada bagian berikut, setelah dimasukkannya gambaran umum singkat

 penelitian, kita akan meninjau penelitian dalam hal (1) definisi spiritualitas dan

agama, (2) deskripsi faktor spiritual dan keagamaan dalam penelitian, dan (3) hasil

dari terapi kelompok.

5.1. Deskripsi Grup psikoterapi.Beberapa jenis psikoterapi kelompok yang

disajikan dalam delapan penelitian.Durasi sesi bervariasi dari 45 menit sampai dua

 jam.Empat kelompok psikoterapi yang dipresentasikan merupakan kelompok dengan

intervensi waktu terbatas dalam 6-14 sesi.Dua penelitian yang dilaporkan pada

kelompok psikoterapi memiliki jumlah sesi tanpa batas.Satu penelitian tidak

melaporkan durasi atau jumlah sesi [40].Satu penelitian melaporkan model

 pengobatan secara intensif dengan dua belas minggu pengobatan harian [41].

Tujuh dari kelompok psikoterapi ditujukan pada kelompok pasien spesifik:

orang dewasa dengan penyakit mental berat[42]; Pengguna narkoba dengan HIV

 positif [40]; Pasien HIV [43]; perfeksionisme di antara kalangan mahasiswamormon

[44]; Pasien diabetes Buddha dengan gejala depresi [45]; pasien skizofrenia yang

telah pulih [46]; wanita dengan kanker payudara primer [47]. Hanya Austad dan

Folleso [41] yang melaporkan pada pengobatan berdasarkan grup, pasien dengan

 pengalaman religius dan eksistensial berperan penting bagi penyakit mental mereka.

Tiga kelompok psikoterapi menargetkan intervensi mereka pada orang-orang

dengan minat dalam spiritualitas atau agama: Vita-prosjektet  [41] hanya untuk orang-

orang dengan ketertarikan dalam isu-isu agama; kelompok terapi Buddha[45] hanya

menerima yang beragama Buddha; kelompok perfeksionisme Mormon [44] secara

khusus dirancang untuk Mormon; grup intervensi berbasis spiritual untuk penderita

HIV-positif dewasa [43] hanya untuk pasien HIV dengan ketertarikan tertentu dalam

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 36/47

36

spiritualitas. Empat kelomopok intervensi lain yang ditujukan khusus kelompok

 pasien yang tidak selalu memiliki minat spiritualitas atau religiusitas.

5.2. Definisi Spiritualitas dan Agama.Definisi spiritualitas atau agama

sepenuhnya tidak ada pada tiga dari delapan penelitian [40, 41, 44], dan tidak adanya

konseptualisasi menimbulkan ketidakpastian tentang bagaimana faktor spiritual atau

agama yang diintegrasikan ke dalam kelompok psikoterapi disajikan.O'Rourke [42]

menggunakan pendekatan modern mendefinisikan kedua konsep ini (lihat perbedaan

Pargament di atas).Agama didefinisikan sebagai agama individu atau latar belakang

denominasi, sedangkan spiritualitas yang bersangkutan dengan nilai-nilai individu,

hubungan, dan persepsi dari suci; agama didefinisikan sebagai konstruk kelembagaan,

sedangkan spiritualitas fokus pada individu dan pengalaman spiritualnya.Namun,

terapi kelompok O'Rourke hanya menangani masalah-masalah spiritual.Dia

mendefinisikan spiritualitas sebagai konstruksi individual dan personal semata-mata

dan tidak menggunakan definisinya untuk agama dalam penelitian ini.

Penelitian oleh Rungreangkulkij et al. [45] menggunakan pendekatan

tradisional untuk mendefinisikan (lihat perbedaan yang Pargament di atas), di mana

agama adalah membangun suatu koneksi, dan spiritualitas tidak secara eksplisit

dibedakan dari agama [24].

Rungreangkulkij mendefinisikan Buddhisme merupakan ajaran di mana

spiritualitas secara bersamaan dan terpadu sebagai bagian dari agama Buddha.

Penelitian oleh Revheimet al. [46], Garlick et al. [47], dan Tarakeshwar et al.

[43] semua menggunakan pendekatan modern untuk mendefinisikan, dan mereka

menganggap spiritualitas hanya sebagai hal positif, pribadi, dan terkait dengan

lingkungan [26]. kerohanian didefinisikan sebagai keyakinan pribadi, praktik, dan

nilai-nilai dan ini berkaitan dengan makna, tujuan, dan kesempatan memulai

kehidupan baru. Spiritualitas juga bisa berasal dari denominasi tertentu biasanya

terkait dengan agama atau tujuan iman yang lebih tinggi atau kekuasaan.

Hanya penelitian oleh Tarakeshwar et al. [43] spiritualitas didefinisikan

mungkin juga menjadi hubungan dengan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, dan,

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 37/47

37

sebagai satu-satunya penelitian yang menggunakan pendekatan modern, mereka

mengerti spiritualitas sebagai konstruksi dengan dua aspek baik secara positif dan

negatif. Eksplisit teoritis dan empiris dasar untuk kelompok intervensi adalah konsep

Pargament dalam hal agama dan mendalami agama [15].Tarakeshwar et al. [43]

menekankan bahwa setiap pasien harus mendefinisikan spiritualitas mereka dalam

sesi kelompok pertama.Dengan demikian, spiritualitas adalah semata-mata

membangun individual dan personal.

Mereka juga menekankan bahwa penelitian telah menunjukkan bahwa

individu dengan HIV lebih mungkin untuk mendefinisikan diri mereka secara

spiritual daripada religius dan karena itu mereka fokus pada spiritualitas dan agama

dihilangkan dari fokus kelompok terapi.ini bertentangan [26] kritik pertama

Pargament tentang pasien tidak membuat perbedaan antara agama dan spiritualitas,

dan tidak koheren dengan definisi dan pemahaman “coping ” agama disajikan oleh

Pargament [15].

Menyimpulkan: Definisi spiritualitas dan agama di delapan penelitian yang

ditandai dengan penekanan kuat pada spiritualitas agama sementara sebagian besar

 penelitian dikesampingkan.Tiga penelitian tidak melaporkan setiap konseptualisasi

spiritualitas dan agama sama sekali. Spiritualitas diartikan secara individu dengan

konstruksi positif dan luas. Dalam nada yang sama, beberapa penelitian sengaja

menghindari definisi yang jelas, karena mereka ingin klien untuk mengisi konsep

dengan makna masing-masing.

5.3. Faktor Spiritual dan Religius.Tujuan dari “kelompok masalah spiritual

untuk dewasa dengan gangguan mental” [42] adalah untuk menawarkan klien suatu

tempat yang aman untuk menumpahkan masalah spiritual mereka. Faktor spiritual

dalam kelompok terapi ini akan menjadi tempat spiritual yang aman. Meskipun

demikian, karena pengertian individu yang berbeda mengenai spiritualitas sebagai

intervensi, suatu tempat spiritual yang aman dapat menjadi hampir segalanya yang

terasa “baik” untuk pasien dalam kelompok terapi. Dengan demikian, faktor spiritual

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 38/47

38

tidak lagi menjadi jelas, dan dapat dipertanyakan jika kelompok terapi terpisah dari

kelompok psikoterapi jenis lain yang tanpa disertai spiritualitas.

Margolin et al . [40] menyatakan bahwa tidak ada definisi spiritualitas atau

agama dalam terapi spiritual yang diatur sendiri ( spiritual self-schema).Setiap

individu harus menciptakan, menguatkan, dan mengaktifkan suatu spiritualitas

individu untuk dirinya sendiri.Spiritual self-schemadapat menjadi faktor spiritual

 pada kelompok terapi ini.Namun, faktor spiritual jadi digelapkan karena  spiritual

 self-schemaharus diciptakan oleh individu untuk memberikan arti individual.Dengan

demikian, faktor spiritual bisa saja merupakan segala hal personal dan berarti yang

ada pada kelompok terapi, dan hasil dari kelompok terapi tidak boleh dihubungkan

secara langsung pada faktor spiritual.

Richards dan Owen [44] telah mengimplementasikan suatu kelompok

intervensi yang dikembangkan oleh King [48] dan menambahkan komponen religius-

spiritual.Mereka tidak mendefinisikan spiritualitas atau agama.Meskipun tidak

disertai definisi, gambaran religius, diskusi dari artikel bibliotherapy religius,

hubungan antar kepercayaan religius, serta perfeksionisme telah diintegrasikan dalam

kelompok terapi.Namun, faktor spiritual/religius pada kelompok terapi sangat sulit

untuk dinilai, karena kelompok terapi menyebutkan kepercayaan Mormon tanpa

medefinisikan kepercayaan tersebut.Intervensi dipustakan pada penggunaan

 perangkat religius untuk mengenali kepercayaan religius yang memperburuk

 perfeksionisme.Namun, karena kepercayaan religius tidak didefinisikan, maka tetap

tidak jelas jika perangkat religius menyebut mereka. Lebih lanjut, dipertanyakan

apakah sikap pasrah mereka untuk Mormons dapat dipisahkan dari sikap pasrah

kelompok lain.

Rungreangkulkij et al . [45] mendefinisikan Budha untuk terapi sebagaimana

3 aturan utama dari Budha dan mengintegrasikan definisi tersebut; mereka

menunjukkan definisi religius dan menciptakan intervensi religius.Tujuan dari

kelompok terapi adalah sebagai pengikut untuk hidup sebagai penganut Budha yang

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 39/47

39

 baik.Faktor religius dapat dengan mudah diidentifikasi karena keseluruhan intervensi

 bersifat religius.Seluruh intervensi kelompok penganut Budha adalah faktor religius.

Penelitian oleh Revheim et al . [46] dan Garlick et al . [47] mendefinisikan

spiritualitas sebagai konstruksi personal yang positif.Fokusnya adalah pada

 pengertian personal masing-masing orang.Faktor spiritual yang bekerja pada

kelompok terapi mereka tidak jelas dan sulit dinilai.Tidak jelas apakah intervensinya

 bersifat spiritual atau positif karena spiritualitas itu sendiri adalah sesuatu yang positif

dalam definisi mereka. Dengan demikian, faktor spiritual pada kelompok terapi dapat

menjadi apa saja yang dialami pasien sebagai suatu hal yang positif dalam konteks

kelompok terapi. Perlu dipertanyakan apakah kelompok psikoterapi ini dipisahkan

dari kelompok psikoterapi jenis lain tanpa penggabungan spiritualitas.

“Vita- prosjektet” disampaikan oleh Austad dan Folleso [41] berdasarkan

teori obyek-relasional.Intinya adalah representasi pasien terhadap Tuhan dan

 bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan dan fungsi psikis dari

 pasien.Spiritualitas maupun agama tidak didefinisikan dalam penelitian ini.Meski

demikian, penggabungan spiritualitas dan religius melalui representasi Tuhan dapat

dimengerti dan didefinisikan secara teori dan empirik.Faktor spiritual/religius dalam

kelompok terapi ini adalah representasi Tuhan.Mereka menjelaskan pembatasan yang

 jelas tentang faktor spiritual/religius untuk kelompok terapi.

Tarakeshwar et al . [43] memaparkan deskripsi mendetail tentang kandungan

intervensi spiritual coping group untuk pasien HIV.Spiritual coping yang positif

adalah fokus dari kelompok terapi, dan pasien harus melakukan refleksi diri terhadap

 bagaimana spiritualitas membantu atau menghalangi coping dengan

HIV.Tarakeshwar et al . memfokuskan pada spiritualitas dan menghilangkan agama,

dan mengutamakan definisi individual terhadap spiritualitas.Namun demikian,

memeriksa intervensi kelompok tentang teori yang mendasari menjadi nyata.Dasar

teori dan empiris dari intervensi kelompok adalah konsep Pargament tentang agama

dan religius coping [15]. Di luar fakta bahwa teori Pargament adalah religius coping

dan Tarakeshwar et al . menyatukan teori mereka menjadi suatu intervensi spiritual

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 40/47

40

tersendiri bergantung pada definisi pribadi masing-masing klien terhadap

spiritualitas, tujuan dari kelompok terapi agar partisipan meningkatkan coping

spiritual mereka. Faktor spiritual lebih mudah diidentifikasi karena seluruh kelompok

terapi adalah spiritual.

Kesimpulannya, deskripsi faktor spiritual atau religius tidak jelas pada lima

 penelitian. Hasil dari intervensi kelompok mungkin dihubungkan secara langsung

 pada faktor spiritual atau religius pada kelompok terapi yang dibicarakan, dan tetap

tidak jelas apakah kelompok terapi ini dipisahkan dari jenis kelompok terapi lain

tanpa penggabungan spiritualitas atau religiusitas. Hanya penelitian oleh

Rungreangkulkij et al. [45], tarakeshwar et al. [43], dan Austad dan Folleso [41]

memiliki faktor spiritual atau religius yang terintegrasi dalam kelompok intervensi

yang dapat diharapkan berhubungan langsung dengan hasil intervensi. Berdasarkan

kejelasan dan pembatasan faktor spiritual/religius pada ketiga kelompok terapi ini,

maka mungkin untuk memisahkan mereka dari kelompok terapi jenis lain tapa

integrasi dari faktor spiritual atau religius.

5.4. Hasil dari Kelompok Terapi. O‟Rourke [42] melaporkan penemuan

kualitatif dari kelompok spiritual dengan 12 orang dewasa dengan gangguan

mental.Dia memaparkan tema yang berbeda yang muncul pada data. Data penelitian

menunjukkan bahwa menyebutkan masalah spiritual dalam kelompok psikoterapi

memfasilitasi integrasi dari spiritualitas individual dengan seluruh dimensi lain dari

kepribadian seseorang. Penelitian O‟Rourke‟s memiliki kelemahan yaitu tidak

menghitung bagaimana konsep awal peneliti mempengaruhi data dan penemuan

 penelitian.

Margolin et al. [40] menggunakan desain penelitian pretes-postest untuk

meneliti kelompok terapi yang fokus dalam spiritualitas selama 8 minggu. Empat

 puluh pengguna obat yang menderita HIV menerima terapi akupunktur dan 15 dari

mereka juga menerima terapi  spiritual self-schema.Pengukurannya meliputi depresi

(BDI), kecemasan (STAI), tes obat dalam urin, dan tingkatan umum mengenai efek

akupunktur.Kedua kelompok dilaporkan mengalami pengurangan depresi (BDI) dan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 41/47

41

kecemasan (STAI).Periode  follow-up  tidak dilaporkan.Kelompok  spiritual self-

 schema  melaporkan pengurangan yang lebih tinggi daripada kelompok yang hanya

diakupunktur, namun perbedaan antar kelompoknya tidak signifikan.Tes urin

mengindikasikan bahwa kelompok  spiritual self-schema  menahan diri dari

menggunakan heroin dan kokain dalam beberapa minggu lebih lama dibanding

kelompok yang hanya diakupunktur.

Richards dan Owen [44] menggunakan desain pretes-postest, di mana

mereka melengkapi pengukuran hasil pada 8 minggu setelah mengakhiri terapi

kelompok. Lima belas Mormons menerima intervensi kelompok untuk self-defeating

 perfectionism.Pengukurannya meliputi depresi (BDI), perfeksionisme (PS), harga diri

(CSE), dan skala religius dan eksistensial SWBS.Peserta memperoleh skor yang

cukup rendah untuk BDI, PS, lebih tinggi untuk CSE dan SWBS pada kesimpulan

kelompok.Tidak ditemukan peningkatan yang signifikan dari kesejahteraan religius

(SWBS), yang mengindikasikan bahwa efek depresi dan perfeksionisme tidak

disebabkan oleh perilaku religius yang baik. Terlebih, pengukuran yang melibatkan

 poin yang sama atau mirip akan menyebabkan pemaksaan terhadap diri sendiri, efek

tautologis.

Rungeangkulkij et al. [45] menjelaskan desain pretes-postest dengan

kelompok kontrol berpasangan dari 32 pasien dan 32 pasien menghadiri terapi

kelompok penganut Budha. Pengukuran yang digunakan dirubah dalam gejala depresi

(PHQ-9).Pengukuran ini dimasukkan sebelum intervensi dan 6 bulan setelah

intervensi. Skor PHQ-9 yang terus menerus (antara 0 sampai 27) mengindikasikan

 bahwa kedua kelompok mengalami pengurangan depresi: kelompok penganut Budha

mendapat nilai 11,8 (pretes) dan 1,0 (postest) dan kelompok kontrol 11,5 (pretes) dan

5,9 (postest), namun tidak ada tes signifikan yang dilakukan untuk membedakan

kedua kelompok ini. Selanjutnya untuk analisis terapi, PHQ-9 dikategorikan sebagai

normal (skor < 7) dan depresi (> 7) dan hal ini mengindikasikan bahwa peserta dalam

kelompok intervensi memiliki kesempatan yang lebih besar (6,6 kali) untuk kembali

normal dibandingkan dengan kelompok kontrol.

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 42/47

42

Revheim et al . [46] membuat suatu penelitian follow-up, di mana mereka

membandingkan kelompok yang hadir (n = 20) dengan kelompok kontrol

 berpasangan (n = 20) setelah intervensi berakhir. Pengukuran meliputi spiritual status 

(SSQ),  self-efficacy  (SES), quality of life  (QOL), hopefulness  (HHI),dan profil

religius/demografik. Mereka menemukan bahwa status spiritual kelompok yang hadir

 berkorelasi signifikan terhadap SES dan HHI, dan kelompok yang hadir memiliki

status spiritual serta HHI yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak hadir.

 Namun, mereka menggunakan instrumen di mana konstruksi diukur dengan poin

yang sama atau mirip (pengukuran SSQ memiliki poin yang sama atau mirip seperti

HHI), yang dapat menyebabkan efek tautologis, dan terdapat relatif sedikit hasil

signifikan dengan adanya penggunaan banyak pengukuran.

Garlick et al. [47] menggunakan desain penelitian pretes-postest, di mana

mereka memasukkan instrumen pengukuran dalam tiga periode waktu yang berbeda:

 penilaian awal, penilaian dalam satu minggu setelah menyelesaikan intervensi, dan

 penilaian follow-up empat minggu kemudian. Instrumen dipilih untuk mengukur

kualitas hidup (FACT-B), gangguan mood (POMS), posttraumatic growth (PTGI),

dan perilaku spiritual (FACIT-Sp-Ex).Mereka melaporkan 24 wanita dengan kanker

 payudara menyelesaikan terapi integratif psikospiritual dan 20 wanita menyelesaikan

follow-up.Peserta mengalami perbaikan pada perilaku psikologis dan fisik (POMS

dan FACT-B), perilaku spiritual (FACIT-Sp-Ex), dan posttraumatic growth (PTGI).

Efek yang signifikan dengan perkembangan yang signifikan ditemukan antara pretes

dan postest serta antra pretes dan follow-up. Namun periode follow-up lebih pendek

untuk menetukan perubahan di antara peserta, dan mereka juga memasukkan

instrumen penilaian tautologis.

Austad dan Folleso [41] menggunakan desain pretes dan postest. Penilaian

meliputi gejala umum (SCL-90), depresi (BDI), dan problem interpersonal (IIP).Dua

 puluh tiga pasien menyelesaikan intervensi, dan seluruhnya menunjukkan penurunan

gejala yang signifikan. Skor rata-rata untuk SCL-90 menurun menjadi 0,7 dari 1,2;

dan skor rata-rata untuk depresi (BDI) menurun menjadi 8,8 dari 19,8. Hanya dua

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 43/47

43

 pasien yang memenuhi kriteria preintervensi problem interpersonal (IIP), namun hal

ini juga menunjukkan perubahan positif yang signifikan. Jangka waktu antara pretes

dan postest tidak dilaporkan.

Tarakeshwar et al . [43] mengevaluasi efektivitas dari intervensi kelompok

spiritual coping untuk 13 orang dewasa yang hidup dengan HIV/AIDS menggunakan

desain pretes dan postest. Mereka memasukkan instrumen penilaian pada

kepercayaan dan praktik religius (skala dari BMMRS), distres psikologis (CES-D),

dan karakteristik demografik sebelum intervensi dan tiga minggu setelah

intervensi.Mereka menemukan bahwa setelah intervensi peserta mengalami

 peningkatan religiusitas (BMMRS), penggunaan spiritual coping negatif yang

semakin menurun (BMMRS), dan penurunan depresi (CES-D).Peserta juga

mengalami peningkatan penggunaan spiritual coping positif (BMMRS) meskipun

tidak signifikan.Namun periode follow-up relatif singkat, dan ada keterbatasan

 penemuan signifikan relatif terhadap jumlah variabel yang diukur.

Kedelapan penelitian melaporkan beberapa hasil positif dari kelompok

 psikoterapi dengan penggabungan unsur religius/spiritual. Namun, tidak satupun dari

 penelitian di atas menggunakan desain random, jumlah sampel relatif kecil, instrumen

yang digunakan untuk mengukur hasil pada setengah dari penelitian tersebut

memiliki konstruksi yang sama, dan tidak ada penelitian yang berusaha

meminimalisir efek Hawthorne. Di luar laporan tentang hasil yang positif, desain

 penelitian yang ditampilkan pada delapan penelitian ini tidak sehat, dan tidak ada

 bukti solid mengenai hasil positif atau langsung dari penggabungan faktor religius

dan spiritual dalam kelompok terapi.Namun, ketiadaan bukti bukan bukti dari

ketiadaan dan penelitian lebih lanjut dengan desain yang lebih sehat diperlukan dalam

 bidang penelitian yang belum berkembang ini.

6.  DISKUSI

Untuk sebagian orang, spiritualitas dan agama merupakan pusat dari

kehidupannya dan untuk sebagian orang lainnya, spiritualitas dan agama memiliki

 peran yang kecil di dalam kebahagiaan psikologis mereka [3].Perbedaan dan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 44/47

44

 pentingnya mengenai spiritualitas atau ketaatan beragama pada pasien dapat

diharapkan pengaruhnya oleh kedua faktor itu yaitu baik faktor spiritualitasnya dan

atau faktor ketaatannya beragama di dalam kaitannya dengan psikoterapi kelompok

sesuai dengan hasil yang diperoleh.Hanya pada intervensi kelompok yang dipaparkan

oleh Austad dan Folleso [41], Tarakeshwar et.al [43], Richards and Owen [44], dan

Rungreangkulkij et.al [45] mengusulkan sebuah terapi kelompok unutk pasien dengan

sebuah ketertarikan yang spesifik pada agama dan spiritualitas.Hal ini mengejutkan

ketika empat penelitian sisanya tidak membahas satu atau beberapa perhatian

eksplisit mengenai hal ini, sebagai motivasi klien sebelum memulai psikoterapi

menurut sebuah faktor ekstraterapetik yang dapat menjadi hal yang krusial dalam

 psikoterapi [34].

Seluruh delapan penelitian menggunakan model yang berhubungan dengan

medis untuk mengukur efek intervensi total, dan tidak ada satupun dari mereka

menunjukkan faktor yang biasa saat bekerja.Demikian juga hal ini mengejutkan,

sebagai penggabungan antara agama dan spiritualitas ke dalam psikoterapi kelompok

dapat dikatakan menjadi model atau faktor teknis yang menstimulasi harapan  –  

harapan positif dan bantuan guna partisipasi klien dalam terapi [34].Lagipula,

evaluasi menunjukkan bahwa untuk sebagian besar penelitian mengenai faktor

spiritual atau agama yang tergabung ke dalam terapi kelompok tidak dapat terhubung

langsung ke dalam hasil dari terapi kelompok tersebut. Jika penelitiannya

menggunakan sebuah model faktor yang biasa daripada model yang berkaitan dengan

medis untuk mengukur hasil dari terapi kelompok, ini dapat membuka batasan

 batasan yang jelas antara psikoterapi  –   psikoterapi kelompok yang menggabungkan

delapan spiritualitas dan ketaatan beragama dengan psikoterapi  –   psikoterapi yang

tidak menggabungkan faktor spiritualitas dan ketaatan beragama.

Hasil  –   hasil dari delapan terapi kelompok menyisakan keraguan karena

definisi  –   definisi dan penggabungan secara sadar dari faktor spiritual dan agama

dalam terapi  – terapi kelompok  –   untuk mayoritas penelitian  –   hal ini dipaparkan

dengan tidak jelas dan tidak seharusnya terhubung kepada hasil  –  hasil penelitian dan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 45/47

45

 juga dalam hal kegunaan mereka dalam desain studi yang klemah, sampel yang

terbatas, dan alat –  alat peniliaian yang berulang kali telah disebutkan.

Kekurangan identifikasi yang jelas dari faktor spiritualitas dan keagamaan

dan hubungannya terhadap hasil psikoterapi mungkin mengesankan bahwa hasil dari

 penelitian  –  penelitian tersebut disebabkan oleh commonfactors  [22]. Empat elemen

faktor yang biasa (common factors) ini dipaparkan oleh Hubble et al. [34], klien dan

faktor –  faktor ekstraterapetik, model –  model dan teknik –  teknik, faktor terapis, dan

hubungan terapetik atau aliansi, semuanya dapat ditunjukkan dalam semua terapi  –  

terapi kelompok, dan faktor  –   faktor ini dapat mencukupi langsung atau tidak

langsung untuk mempengaruhi hasil penelitian –  penelitian tersebut.

Akhirnya, beberapa penelitian menunjukkan definisi modern untuk

spiritualitas dan agama, di mana spiritualitas merupakan konstruksi atau bangunan

yang bersifat positif dan pribadi [26].Dengan demikian, faktor spiritual mungkin

menjadi pengalaman positif apapun juga pada klien dalam terapi kelompok.Untuk

 penelitian  –   penelitian ini, faktor spiritual menjadi diragukan karena konsep

spiritualitas sendiri yang kurang jelas.

Berdasarkan pembatasan review sistematis yang sekarang, hal ini menjadi

catatan yang hanya satu peneliti (penulis pertama) selenggarakan penelitian

literaturnya, mengingat ketiga penulis telah melakukan evaluasi yang komplit.

Bagaimanapun, strategi penelitian sudah dipaparkan dengan jelas, transparansi yang

sudah dipastikan, dan standarisasi evaluasi, dan berdasarkan instrumen evaluasi yang

dasar dan terstruktur.

7.  KESIMPULAN

Kejelasan dan batasan konsep dari faktor spiritualitas / ketaatan beragama

merupakan hal yang krusial untuk dapat menyimpulkan secara langsung pengaruh

dari faktor spiritual / ketaan beragama terhadap hasil penelitian. Penelitian yang

dilakukan oleh Rungreangkulkij et al. [45], Trakeshwar et al. [43], dan Austad dan

Folleso [41] sukses menggabungkan faktor spiritual / ketaatan beragama dalam

 psikoterapi kelompok dan dapat membatasi faktor spiritual / ketaatan beragama

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 46/47

46

dalam psikoterapi kelompok, jadi hal  –  hal ini menjadi jelas dan spesifik. Meskipun

keterbatasan desain penelitian dan kebutuhan metode penelitian yang lebih tepat,

faktor spiritualitas / ketaatan beragama, pada penelitian dipertimbangkan terhubung

langsung pada hasil terapi kelompok.Psikoterapi kelompok yang terintegrasi dengan

spiritualitas atau agama berbeda dari tipe lainpsikoterapi kelompok tanpa faktor

spiritualitas / agama. Ini berarti bahwa spiritualitas, sebagai bangunan yang positif

dan pribadi, akan mengaburkan faktor spiritual terapi kelompok. Bagaimanapun,

kekurangan definisi agama dan spiritualitas akan menjadi masalah jika faktor

ketaatan beragama dan spiritualitas juga tidak diterangkan dengan jelas. Lagipula,

 penelitian –  penelitian ini ditujukan pada kelompok pasien dengan ketertarikan yang

 biasa saja pada isu  –   isu agama dan spiritualitas dan ini nampak untuk menggugah

motivasi pasien dan commonfactors, yang mempengaruhi terapi kelompok dan hasil

yang positif.

Evaluasi di atas berimplikasi dengan psikoterapi kelompok yang terintegrasi

dengan spiritualitas dan ketaatan beragama. Berdasarkan review penelitian yang

sistematis, kejelasan dan batasan konsep faktor spiritual atau ketaatan

 beragamasebagai bentuk dasar untuk terapi kelompok yang terhubung dengan faktor

spiritualitas dan ketaatan beragama. Lagipula, tujuan pengintegrasian terapi

kelompok dengan faktor spiritualitas dan ketaatan beragama adalah untuk

meningkatkan motivasi pasien untuk diterapi.

Selanjutnya evaluasi memiliki implikasi untuk penelitian pada terapi

kelompok terintegrasi spiritualitas dan agama. Penelitian ini masih belum dilakukan

 penyelidikan yang mendalam dan artikel review ini memiliki desain penelitian yang

lemah. Penelitain selanjutnya di masa mendatang harus lebih baik dan dengan desain

 penelitaian yang acak dan kuat.Terkhusus penelitian perlu memiliki kelompok

kontrol yang tidak memiliki faktor spiritual. Hal ini akan membuat perbandingan

yang terbaik dan membolehkan satu sampel untuk diuji efek dari faktor

spiritualitasnya. Guna mendapatkan bukti yang kuat untuk efek penggabungan faktor

agama dan spiritualitas ke dalam terapi kelompok, konsensus dalam kehidupan

7/21/2019 psikoterapi dengan faktor spiritual dan religius

http://slidepdf.com/reader/full/psikoterapi-dengan-faktor-spiritual-dan-religius 47/47

 beragama, spiritualitas, dan kesehatan tentang tindakan spiritualitas dan keagamaan

yang tidak terkontaminasi dengan item untuk kesehatan jiwa dapat terjamin.