warisan perspektif filsafat komunikasi martin heidegger: karya dan pemikiran

Upload: ibeng

Post on 19-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    1/9

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    2/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 189

    WARISAN PERSPEKTIF FILSAFAT KOMUNIKASI

    MARTIN HEIDEGGER : Karya dan Pemikiran

    Oleh:Nanang Haroni dan Sari Monik Agustin

    ABSTRACT

    This writing aims to introduce Martin Heideggers thought in Philosophy of Communication

    Field. This writing shows Heideggers life, his thought of existence and its relation tolanguage and communication studies.

    Keywords: dasein, dasman, rede, being,bahasa, ada

    PENDAHULUAN

    Man acts as though he were the shaper and master of language, while in fact language

    remains the master of man. "Building Dwelling Thinking," lecture, 5 August 1951

    (published in Poetry, Language, Thought, 1971)

    Diskusi1 mengenai2 Heidegger

    tidak dapat dilepaskan dari kenyataan

    atas dukungannya terhadap PartaiNasional Sosialis Jerman (Nazi) dalam

    kepemimpinan Hitler. Walaupun

    dikenal dekat dengan beberapa pemikir-

    pemikir Yahudi, Heidegger tetap

    memberikan dukungan besar pada

    gerakan Nazi. Hal ini memberikan

    pengaruh dalam kehidupannya di

    kemudian hari. Namun terlepas dari hal

    itu, dibawah ini sedikit dibahasmengenai riwayat hidup Heidegger.

    Heidegger dilahirkan di

    Messkirch, 26 September 1889. Ia

    adalah mahasiswa dan asisten dari

    Husserl. Pada 1909, ia menuntut ilmu di

    1Penulis adalah Manager Program Yayasan

    PARAS, alumni Program Pasca Sarjana Ilmu

    Komunikasi Universitas Indonesia2

    Penulis adalah Dosen Tetap di Prodi Ilmu

    Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Al Azhar Indonesia

    University of Freiburg mempelajari

    teologi dan filsafat dan ditunjuk untuk

    mengajar filsafat di University ofMarburg tiga belas tahun kemudian. Di

    sini, ia mendapatkan reputasi sebagai

    dosen inspiratif dn hasratnya untuk

    berpikir memancar sedemikian

    sehingga dapat memberi harapan dan

    berkomunikasi sendiri dengan

    pendengarnya. Karya besarnya yang

    pertama dan sangat berpengaruh, Sein

    un Zeit (Being and Time) diterbitkanpada 1927. Karya ini membuatnya

    ditunjuk menjadi dekan filsafat di

    University of Freiburg pada 1928 dan

    mengangkat popularitasnya ke

    panggung internasional. Setelah

    terputus selama perang dunia II dan

    beberapa waktu sesudahnya (sebagai

    akibat dukungannya pada Nazi), ia

    kembali memberikan kuliah sampai

    1967 dan menulis sampai ia meninggal

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    3/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 190

    dunia pada 26 Mei 1976. Ia

    dimakamkan di tempat kelahirannya,

    Messkirch.3

    Pengantar PemikiranHeidegger dikenal dengan

    penelitiannya mengenai eksistensi dari

    manusia dan juga kesadaran akan

    eksistensinya tersebut. Bagi Heidegger

    kesadaran eksistensi manusia adalah

    kesadaran yang berkenaan dengan the

    way of Being (cara berada) individu di

    dunia ini. Sebagai the way of Being,

    eksistensi sebagai cara "berada"

    seseorang atau individu yang

    menempatkan dirinya sebagai diri

    eksistensial (Dasein) yang benar-benar

    terlibat (self involvement) dalam dunia

    sosial. Sebagai diri yang sungguh-

    sungguh terlibat, seseorang -dalam

    memahami dan memutuskan sesuatu-

    selalu merujuk pada dirinya sebagai

    rujukan utama. Selain itu, diri yang

    benar-benar terlibat adalah diri yangselalu cemas dan berpikir kritis,

    sehingga selalu bertanya pada diri

    eksistensialnya sebelum melakukan

    tindakan tertentu dalam dunia sosial.4

    Heidegger berupaya menjelaskan

    keberadaan tersebut dengan

    mengajukan pertanyaan terhadap

    seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari

    Yunani klasik sampai modern. Bagi

    Heidegger, semua pertanyaan itu harus

    dipertanyakan ulang karena tidak

    bertanya tentang Ada yang

    sesungguhnya, yaitu Ada yang

    menopang segala Adaan. Para filsuf

    terlalu asyik bertanya sehingga

    3Joy E. Palmer (ed),Fifty Modern Thinkers on

    Education, terj., Farid Asifa, IRCiSoD,

    Yogyakarta, 2006, h. 454 Wildan Pramudya,Koran Tempo, 23 Agustus2004

    melupakan perbedaan kentara antara

    Ada dan Pengada.5

    Pertanyaan-pertanyaan filsafat

    yang berlontaran dalam sejarah tak

    mampu menampung kebenaran yanghakiki dari sang Ada. Ketidakmampuan

    filsafat ini, menurut Heidegger,

    disebabkan karena filsafat yang masih

    berkutat dengan nalar epistemologis,

    nalar yang mengejar keakuratan

    representasi antara benar dan

    kenyataan, nalar yang mewakili bukan

    menyingkap. 6

    Heidegger berpendapat, sejarah

    filsafat adalah sejarah nalar

    epistemologis. Mulai dari filsuf

    Milesian, sampai Descartes bahkan juga

    Nietzsche. Yang kemudian menjadikan

    filsafat kehilangan kepekaannya pada

    yang transenden dengan lahirnya sains

    pada abad ke-17 sebagai wujud

    sempurna filsafat alam. Sains

    membekukan geliat nalar pada

    pandangan dunia mekanisme yang telahmenghilangkan dunia dari

    kemisteriusan dan membuat nalar

    kehilangan kemampuannya sehingga

    hanya sekadar kalkulasi, bukan

    eksplorasi. Ini yang dimaksud

    Heidegger saat mengejek fisika sebagai

    semata-mata kalkulasi, bukan

    pemikiran. Filsafat yang seharusnya

    bertumpu pada kebenaran kemudian

    hanya memiliki nalar yang identik

    dengan universalisme.7

    Pada akhirnya Heidegger

    menawarkan apa yang dinamakan

    dengan nalar puitis. Baginya nalar

    puitis bukan puisi. Puisi sekadar

    5Ibid.

    6Donny Gahral Adian, Nalar Puitis sebagai

    Metafilsafat dalam www.kompas.com/kompas-

    cetak/0405/05/Bentara/998332.htm7Ibid.

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    4/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 191

    metafora bagi kemampuan nalar

    membuka modus-modus pengucapan

    baru tentang jagat raya. Kemampuan

    yang lenyap saat ilmu pengetahuan,

    filsafat, dan teologi mengejar kebenaranbukan kelainan. Pengejaran yang sadar

    atau tidak disadari menggendong

    sebuah pandangan dunia tertentu. Tidak

    seperti fisika, misalnya, yang

    dipandang sebagai semata-mata

    kalkulasi bukan pemikiran karena fisika

    tak bisa melepaskan diri dari pandangan

    dunia mekanistik dan hanya berfokus

    menghitung-hitung gerak-gerik semesta

    tanpa menghasilkan sebuah modus

    pengucapan alternatif.8Nalar puitis juga

    bukan sekadar keisengan yang

    antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang

    selalu terjaga pada "kelainan".

    "Kelainan" berbeda dengan yang

    transenden. Transendensi adalah modus

    epistemologis, sementara "kelainan"

    adalah modus puitis. Modus

    epistemologis bekerja dengan kategoribenar-salah. Sementara "kelainan",

    sebaliknya, tidak berurusan dengan

    kategori benar-salah. Ia semata-mata

    sebuah kemungkinan baru dalam

    berbincang-bincang tentang semesta.

    Semesta selalu sudah menampilkan

    dirinya secara kebahasaan karena bagi

    Heidegger bahasa adalah sebagai rumah

    Ada. Lebih lanjut menurut Heidegger

    tujuan puitis, bukan kebenaran baru,

    melainkan sebuah kosakata baru tanpa

    klaim epistemologis apa pun.

    Namun, ketika itu semua

    diletakkan dalam proyek pencarian

    Ada, maka ia terjebak dalam

    epistemologi. Berpikir seharusnya

    bukan mencari Ada, melainkan

    membangun rumah-rumah Ada yang

    8Wildan Pramudya,op.cit.

    baru. Aroma epistemologis semakin

    jelas tercium saat Heidegger berbicara

    tentangDasein otentik yang mengambil

    jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman).

    Pengambilan jarakDasein, yakniBeingin the world, adalah sebuah momen

    kebenaran setelah ia tenggelam dalam

    kepalsuan publik. Ini semua menjadi

    kesulitan pokok Heidegger.9

    Pencarian Heidegger berkisar

    dalam pencarian jawaban atas

    pertanyaan: Apakah yang dimaksud

    dengan Makna, Kebenaran dari Ada

    (Being)? Kebenaran Being muncul

    dalam eksistensi setiap entitas. Dengan

    eksistensi manusia (human being)

    dalam pikiran, jawaban Heidegger atas

    pertanyaan tersebut memperlihatkan

    hubungan antara Being dan Bahasa

    (language).10

    Bahasa bukanlah sebuah alat

    yang dimiliki atau dikuasai manusia,

    Bahasa merupakan sebuah keterbukaan

    eksisten (kehadiran sang Ada). Karenabahasa Ada, maka dunia Ada; dalam

    proses memutuskan dan berproduksi,

    dalam tindakan dan tanggung-jawab,

    termasuk juga dalam pergolakan dan

    pertentangan atas kesia-siaan dan

    kebingungan.

    Dunia manusia hanya

    dimungkinkan melalui penggunaan

    bahasa, yang menghadirkan sang Ada

    (Being).11

    Esensi bahasa berkaitan dengan

    keterbukaan Being untuk menjawabnya.

    9Donny Gahrial Adian, op.cit.

    10Michael J, Hyde, Searching for Perfection:

    Martin Heidegger (with some help from

    Kenneth Burke) on Language, Truth, and the

    Practice of Rhetoric, Perspective on

    Philosophy of Communication, West Lafayette:

    Purdue University Press, 2007, h. 2311

    Ibid

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    5/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 192

    Kaitan ini memunculkan isu

    Kebenaran. Pemikiran Heidegger

    yang sering dikutip adalah soal

    kebenaran yang dimengerti sebagai

    keterbukaan. Jadi bagi Heideggerkebenaran adalah terbuka tidak tertutup.

    Dalam paradigma komunikasi sering

    diartikan bahwa komunikasi yang jujur

    dan terbuka mewahyukan sebuah

    kebenaran. Kebenaran identik dengan

    keterbukaan tidak ada ketertutupan atau

    yang disembunyikan.

    Dasar Pemikiran

    Penjelajahan Heidegger (yang belum

    selesai) dalam Being and Time adalah

    memahami hakikat Ada (Being)

    yang melaluinya segala sesuatu ada.

    Untuk mencapai pemahaman ini, ia

    memulai analisis mendalam mengenai

    tempat, di mana Ada (Being)

    mewujudkan diri -- kehidupan dan

    pemahaman manusia (Dasein).

    Inti dari karakterisasi Heideggeratas manusia dalam Being and Time

    adalah bahwa manusia merupakan

    entitas yang Mengada -nya

    dipersoalkan. Kita hidup dalam

    memahami, memiliki konsepsi tentang

    diri kita dalam situasi-situasi yang di

    dalamnya terdapat pelbagai pilihan.

    Akan tetapi, dalam sebagian besar masa

    hidupnya, kekuatan personal

    pemahaman ini (personal cogency of

    this understanding) melemah karena

    tenggelam dalam pembicaraan tanpa

    arti dan desas-desus tentang apa

    yang disebut Heidegger sebagai diri

    mereka (they-self). Inilah kerangka

    berpikir di mana kita terhanyut oleh

    kesibukan akan masalah praktis yang

    langsung terasa dan pengetahuan

    umum (common sense) tentang

    mereka apa yang dipikirkan dan

    dikatakan setiap orang. Inilah

    pemahaman orang awam yang pada

    dasarnya tidak bertanggungjawab

    tentang kehidupan, di mana kita tidakmemikirkan segala sesuatu dalam

    pengertian maknanya bagi eksistensi

    khas kita sendiri eksistensi yang

    pada akhirnya dibatasi, dan didesak

    oleh fakta kematian kita yang tak

    terelakan namun hanya

    memahaminya dalam pengertian apa

    yang menjadi kecenderungan dan

    desas-desus terbaru, asumsi-asumsinya

    dalam pengertian yang sangat personal.

    Dengan demikian, hidup adalah hidup

    secara tidak otentik hidup yang

    tidak sejati bagi diri kita sendiri.12

    Perjalanan intelektual Heidegger

    sampai pada titik saat ia merasa harus

    melepaskan diri dai tradisi filsafat

    Barat. Filsafat Barat, menurutnya,

    menerima begitu saja pemahaman yang

    miskin tentang Ada (Being). Adadipandang sebagai kenyataan yang

    hadir terlepas dari sujek manusia.

    Rumah, jalan, kursi dan trotoar Ada

    sebagai kenyataan yang berdiri sendiri.

    Konsepsi ini bertahan mulai dari Plato

    sampai Descartes.

    Tradisi Filsafat Barat lalai

    membedakan antara Ada (Being)

    dengan a besar dan adaan

    (beings). Ada ditafsirkan sama

    dengan adaan. Rumah, jalan, dan

    pohon, misalnya, semuanya Ada.

    Namun Ada sendiri bukanlah rumah,

    jalan atau pohon itu sendiri. Ada

    adalah sesuatu yang melampaui

    sekaligus menyelubungi adaan.13

    12Palmer, op.cit, h. 46

    13 Donny Gahral Adrian,Martin Heidegger,Teraju, Jakarta, 2003, hal: 16

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    6/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 193

    Jadi bagi Heidegger, Ada

    tidak bisa direduksi menjadi benda-

    benda. Ia menuntut perubahan pola

    pertanyaan filosofis. Dan manusia bagi

    Heidegger, adalah Ada yang unik.Keunikan yang membedakannya benda-

    benda dan membuatnya mampu

    mempersoalkan Ada. Karena

    manusia bukan benda, maka Heidegger

    memilih istilah dasein. Dalam bahasa

    Jerman Daberarti di sana (ruang-

    waktu) sedang Seinberarti Ada.

    Sehingga dasein berarti ada di sana

    (ruang-waktu). Manusia sealu

    merupakan Ada yang menemukan

    dirinya terjebak dalam ruang-waktu

    tertentu. Keterjebakan yang bukannya

    mengisolasi, tapi justru membuka

    manusia pada persoalan seputar

    Ada. Keterjebakan yang justru

    membuat manusia bertanya-tanya dan

    mempersoalkan.14

    BahasaBerbeda dari humanisme yang

    memahami manusia sebagai makhluk

    yang menentukan Ada, Heidegger

    berpendapat bahwa Ada itu sendirilah

    yang menyingkapkan diri kepada

    manusia melalui bahasa. Bahasa,

    menurutnya, adalah Rumah Ada (das

    Haus des Seins), dan manusia

    bermukim di dalam bahasa. Penyair dan

    pemikir adalah penjaga Rumah Ada ini.

    Di hadapan Ada, manusia mengambil

    sikap yang disebutnya pasivitas bijak,

    yakni membuka diri. Dengan cara ini,

    Heidegger mau meninggalkan cara

    berpikir argumentatif yang

    mendominasi pemikiran Barat sejak

    Aristoteles. Berpikir fundamental

    menurutnya bukan menganalisis,

    14Ibid, h. 18

    melainkan mengingat Ada agar Ada itu

    terwahyukan.15

    Heidegger memperkenalkan

    istilah mitdasein untuk menjelaskan

    cara meng ada Dasein dalamkeseharian.16 Kata mit dipahami

    Heidegger secara eksistensial, yaitu

    menyangkut Ada. Maksudnya,

    keberadaan kita bersama orang-orang

    lain tidak bersifat kebetulan atau

    ditempelken begitu saja, melainkan

    termasuk cara mengada kita di dunia

    ini. Kita mengenal Ada kita tidak hanya

    melalui diri kita sendiri, melainkan juga

    melalui Ada orang-orang lain. Menurut

    Heidegger, atas dasar Ada-di-dalam-

    dunia secara bersama ini, dunia sudah

    selalu merupakan dunia yang kumukimi

    (ditempati) bersama dengan orang-

    orang lain. Dunia Dasein adalah

    dunia-bersama (Mitwelt). Ada-di-dalam

    adalah ada-bersama (Mitsein) orang-

    orang lain.17

    Dasein dalam kesehariannyaselalu merupakan Dasman yang dalam

    bahasa Indonesia bisa diartikan manusia

    massa. Dalam kesibukan sehari-harinya,

    dasein kehilangan pengertian tentang

    siapa dirinya sesunguhnya karena

    tenggelam dalam suatu kemassaan. Di

    sini, Heidegger membedakan antara

    modus eksistensi: otentik dan inotentik.

    Modus eksistensi otentik adalah

    kesadaran bahwa akulah yang harus

    menentukan pilihanku sendiri

    sementara modus eksistensi inotentik

    15 Franky Budi Hardiman,Heidegger dan Mistik

    Keseharian, KPG, Jakarta, 2002, h. 4116

    Kata mit berarti bersama atau dengan.

    Mitdasein berarti bersama-ada-di-sana, istilah

    yang elegan untuk menegaskan bahwa manusia

    adalah makhluk sosial. (dalam Hardiman, ibid,

    h. 58)17

    Ibid, h. 59

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    7/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 194

    adalah hilangnya kesadaran akan aku

    yang otentik. Modus eksistensi ketika

    dasein bertindak, berpikir, berbicara

    seperti layaknya orang lain.

    Perbincangan tentang inotentisitasmembawa kita pada tiga karakterdasein

    yang cukup dominan: faktisitas (state

    of mind), pemahaman (understanding)

    dan kejatuhan (fallness).18

    Faktisitas menyingkap suatu

    keterlemparan (throwness). Dasein

    menemukan dirinya telah berada dalam

    dunia yang bukan dunianya sendiri,

    melainkan dunia bersama bermakna

    yang terwariskan secara historis.Dasein

    mendapati dirinya terlempar ke suatu

    dunia yang menentukan kebermaknaan

    benda-benda bagi dirinya.

    Pemahaman bagi Heidegger

    bukan aktivitas kognitif. Ia lebih asli

    dari sekadar pengetahuan teoritis-sadar

    tentang dunia otentik. Pemahaman

    ditekankan padapemahaman praktis.

    Pemahaman dasein memiliki suatustruktur presuposisi (fore-structure).

    Struktur presuposisi ini terdiri atas pra-

    pemahaman (fore-having), pra-

    penglihatan (fore-sight), dan pra-

    konsepsi (fore conception). Sebutlah

    martil. Pra-pemahaman: dasein

    memiliki pemahaman sejak awal bahwa

    martil bersama dengan paku, gergaji,

    dan tang merupakan benda-benda siap

    pakai untuk pertukangan. Pra

    penglihatan: memahami martil berarti

    memiliki penglihatan sejak awal wujud

    sebuah rumah. Dasein memahami

    martil sebagai alat untuk mewujudkan

    rumah. Pra-konsepsi: memahami martil

    berarti mengkonseptualisasikan sedari

    awal bahwa maksud pemakaiannya

    dalam pembangunan rumah adalah

    18Adian, op.cit, h. 36

    demi keberadaan dasein sebagai tukang

    bangunan.19

    Karakter ketiga adalah

    kejatuhan atau fallness. Ini merupakan

    karakter dasein yang dalamkesehariannya selalu bepaling dari

    dirnya sendiri dan hidup seperti

    manusia massa (dasman). Kejatuhan

    merupakan modus eksistensi dasein

    yang tidak otentik. Dalam contoh

    tukang bangunan, ia memahami martil

    sebagaimana massa memahami bentuk

    dan mengerti fungsinya. Ia

    mengucapkan sesuatu tentang martil,

    sebagaimana orang lain

    mengucapkannya ketika merasakan

    sesuatu tentang martil itu. Misalnya,

    terlalu berat, patah dan seterusnya. Dari

    sinilah, filsafat bahasa Heidegger

    berkembang. Bahwa bahasa, bukan

    sekadar alat untuk merepresentasikan

    Ada. Bahasa adalah apa yang

    diistilahkan Heidegger: sangkar ada

    (Rumah Ada).20

    Bagaimanapun rumitnya

    menjelaskan bahasa yang digunakan

    dasein untuk menemukan Ada-nya,

    bahasa dan komunikasi bagi

    Heidegger juga merupakan sistem

    acuan. Bahasa adalah alat. Namun bila

    kita berhubungan dengan orang lain,

    tentu kita tidak memperlakukannya

    seperti benda-benda atau alat-alat.21

    Hanya saja, komunikasi dalam

    pengertian Heidegger tidak merujuk

    pada model verbal sehari-hari yang

    gampang dipahami, melainkan

    komunikasi eksistensial. Dalam konteks

    inilah ia memperkenalkan istilah

    memahami yang terkait dengan

    19Adian, ibid, h. 35-37

    20Ibid, h. 4021

    Hardiman, op.cit, h. 59

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    8/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 195

    menafsirkan (Auslegung) dan

    percakapan (Rede). Sebagaimana

    digambarkan Hardiman22, ketika

    seorang lelaki duduk di taman

    memikirkan nasibnya sebagai karyawanyang dipecat perusahaan, ia kemudian

    menafsirkan situasi. Ia mencoba keluar

    dari keterpurukan dengan menafsirkan

    peristiwa yang dia alami. Ia mungkin

    kemudian melihat pemecatan itu

    sebagai peluang untuk berkembang

    lebih baik. Rumusan penafsiran ini

    berakar pada suatu sikap prareflektif

    dan praverbal, yaitu kontaknya dengan

    Ada-nya. Kata sebagai dalam pada

    rumusan itulah penafsirannya, yang

    berarti tak lain mengorientasikan diri ke

    masa depan.

    Demikian juga dengan

    percakapan (Rede) bukanlah

    komunikasi verbal, melainkan suatu

    penyampaian makna yang mendahului

    artikulasinya dalam bahasa (Sprache).

    Karena itu dalam kebungkaman(Schweigen), manusia juga bisa

    bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan

    menujukkan bahwa percakapan bukan

    pengucapan makna secara verbal,

    melainkan penyampaian makna

    (Mitteilung) tanpa artikulasi apapun.

    Contoh: dua kawan yang lama tak

    bertemu, hanya terpaku dan saling

    menatap, tanpa bicara sepatah katapun.

    Moment itu sarat dengan makna yang

    tak diartukulasikan, namun

    disampaikan lewat disposisi dasar

    eksistensial mereka masing-masing.

    Itulah percakapan. Jadi ketika seseorang

    diam, sesungguhnya ia bicara dalam arti

    eksistensial.

    KESIMPULAN

    22Ibid, h. 75

    Sederhananya, dalam perspektif

    Heidegger, bahasa bukanlah semacam

    kendaraan yang membawa pesan dari

    dalam diri seseorang untuk disampaikan

    kepada orang lain. Esensi bahasa,adalah eksplisitasi, menghadirkan

    (presentasi) dunia-bersama secara

    eksplisit, jadi bukan menghadirkan

    kembali (re-presentasi). Atau, seperti

    diterjemahkan Donny Gahral di muka,

    bahasa bukan sekadar alat untuk

    merepresentasikan Ada. Bahasa

    adalah apa yang diistilahkan Heidegger:

    sangkar / rumah Ada.

    Rede itu sendiri tampaknya

    dipahami sebagai bentuk komunikasi

    yang sangat otentik. Karena ia bahkan

    tidak tergantung pada bahasa dalam

    pengertian mengeksplisitkan dunia-

    bersama itu tadi. Bahasa dinilai

    memiliki keterbatasan untuk

    menghadirkan dunia-bersama. Maka

    dalam hal ini, ada komunikasi yang

    tidak otentik. Inilah yang kemudiandisebut Gerede atau obrolan. Makin

    banyak kata dimuntahkan, makin besar

    ketidakmengertian muncul.

    Rede itu sesuatu yang otentik.

    Itu disposisi eksistensial, sikap dalam

    ruang eksistensial kita yang membuka

    diri keluar untuk coba

    mengartikulasikan sesuatu. Seperti juga

    kalau memahami (Verstehen)

    merupakan suatu keterbukaan untuk

    menangkap dan memahami sesuatu dari

    luar. Rede adalah Mitteilung, yakni

    usaha untuk menyampaikan atau

    memberitakan sesuatu dari Ada-nya.23

    Komunikasi lewat berbagai

    media modern seperti surat kabar,

    televisi dan radio tampaknyadalam

    perspektif inidipenuhi dengan

    23Ibid, h. 176

  • 7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran

    9/9

    Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni

    Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin

    Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 196

    Gerede, dan berpotensi menumpulkan

    otentisitas manusia, yakni pada saat

    manusia larut di dalamnya dan tidak

    sanggup mengambil jarak sama sekali.

    Ketika tak sanggup mengambil jarakitulah, Hardiman melihatnya sebagai

    situasi yang disebut Heidegger

    mengalami kejatuhan (fallness). Hal

    inilah sebenarnya yang ingin

    ditekankan oleh Heidegger, yaitu

    menyangkut otensitas dari eksistensi

    manusia, melalui proses intensitasnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adian, Donny Gahral.Martin Heidegger. Jakarta: Teraju, 2003.

    Adian, Donny Gahral. Nalar Puitis sebagai Metafilsafat. www.kompas.com/kompas-

    cetak/0405/05/Bentara/998332.htm

    Hardiman, Franky Budi.Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG, 2002.

    Hyde, Michael J. Searching for Perfection: Martin Heidegger (with some help from Kenneth Burke)

    on Language, Truth, and the Practice of Rhetoric, dalam Perspective on Philosophy ofCommunication, West Lafayette: Purdue University Press, 2007.

    Palmer, Joy E [ed]. Fifty Modern Thinkers on Education, terj. Farid Asifa. Yogyakarta: IRCiSoD,

    2006.

    Pramudya, Wildan.Koran Tempo, 23 Agustus 2004.