warisan perspektif filsafat komunikasi martin heidegger: karya dan pemikiran
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
1/9
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
2/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 189
WARISAN PERSPEKTIF FILSAFAT KOMUNIKASI
MARTIN HEIDEGGER : Karya dan Pemikiran
Oleh:Nanang Haroni dan Sari Monik Agustin
ABSTRACT
This writing aims to introduce Martin Heideggers thought in Philosophy of Communication
Field. This writing shows Heideggers life, his thought of existence and its relation tolanguage and communication studies.
Keywords: dasein, dasman, rede, being,bahasa, ada
PENDAHULUAN
Man acts as though he were the shaper and master of language, while in fact language
remains the master of man. "Building Dwelling Thinking," lecture, 5 August 1951
(published in Poetry, Language, Thought, 1971)
Diskusi1 mengenai2 Heidegger
tidak dapat dilepaskan dari kenyataan
atas dukungannya terhadap PartaiNasional Sosialis Jerman (Nazi) dalam
kepemimpinan Hitler. Walaupun
dikenal dekat dengan beberapa pemikir-
pemikir Yahudi, Heidegger tetap
memberikan dukungan besar pada
gerakan Nazi. Hal ini memberikan
pengaruh dalam kehidupannya di
kemudian hari. Namun terlepas dari hal
itu, dibawah ini sedikit dibahasmengenai riwayat hidup Heidegger.
Heidegger dilahirkan di
Messkirch, 26 September 1889. Ia
adalah mahasiswa dan asisten dari
Husserl. Pada 1909, ia menuntut ilmu di
1Penulis adalah Manager Program Yayasan
PARAS, alumni Program Pasca Sarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia2
Penulis adalah Dosen Tetap di Prodi Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Al Azhar Indonesia
University of Freiburg mempelajari
teologi dan filsafat dan ditunjuk untuk
mengajar filsafat di University ofMarburg tiga belas tahun kemudian. Di
sini, ia mendapatkan reputasi sebagai
dosen inspiratif dn hasratnya untuk
berpikir memancar sedemikian
sehingga dapat memberi harapan dan
berkomunikasi sendiri dengan
pendengarnya. Karya besarnya yang
pertama dan sangat berpengaruh, Sein
un Zeit (Being and Time) diterbitkanpada 1927. Karya ini membuatnya
ditunjuk menjadi dekan filsafat di
University of Freiburg pada 1928 dan
mengangkat popularitasnya ke
panggung internasional. Setelah
terputus selama perang dunia II dan
beberapa waktu sesudahnya (sebagai
akibat dukungannya pada Nazi), ia
kembali memberikan kuliah sampai
1967 dan menulis sampai ia meninggal
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
3/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 190
dunia pada 26 Mei 1976. Ia
dimakamkan di tempat kelahirannya,
Messkirch.3
Pengantar PemikiranHeidegger dikenal dengan
penelitiannya mengenai eksistensi dari
manusia dan juga kesadaran akan
eksistensinya tersebut. Bagi Heidegger
kesadaran eksistensi manusia adalah
kesadaran yang berkenaan dengan the
way of Being (cara berada) individu di
dunia ini. Sebagai the way of Being,
eksistensi sebagai cara "berada"
seseorang atau individu yang
menempatkan dirinya sebagai diri
eksistensial (Dasein) yang benar-benar
terlibat (self involvement) dalam dunia
sosial. Sebagai diri yang sungguh-
sungguh terlibat, seseorang -dalam
memahami dan memutuskan sesuatu-
selalu merujuk pada dirinya sebagai
rujukan utama. Selain itu, diri yang
benar-benar terlibat adalah diri yangselalu cemas dan berpikir kritis,
sehingga selalu bertanya pada diri
eksistensialnya sebelum melakukan
tindakan tertentu dalam dunia sosial.4
Heidegger berupaya menjelaskan
keberadaan tersebut dengan
mengajukan pertanyaan terhadap
seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari
Yunani klasik sampai modern. Bagi
Heidegger, semua pertanyaan itu harus
dipertanyakan ulang karena tidak
bertanya tentang Ada yang
sesungguhnya, yaitu Ada yang
menopang segala Adaan. Para filsuf
terlalu asyik bertanya sehingga
3Joy E. Palmer (ed),Fifty Modern Thinkers on
Education, terj., Farid Asifa, IRCiSoD,
Yogyakarta, 2006, h. 454 Wildan Pramudya,Koran Tempo, 23 Agustus2004
melupakan perbedaan kentara antara
Ada dan Pengada.5
Pertanyaan-pertanyaan filsafat
yang berlontaran dalam sejarah tak
mampu menampung kebenaran yanghakiki dari sang Ada. Ketidakmampuan
filsafat ini, menurut Heidegger,
disebabkan karena filsafat yang masih
berkutat dengan nalar epistemologis,
nalar yang mengejar keakuratan
representasi antara benar dan
kenyataan, nalar yang mewakili bukan
menyingkap. 6
Heidegger berpendapat, sejarah
filsafat adalah sejarah nalar
epistemologis. Mulai dari filsuf
Milesian, sampai Descartes bahkan juga
Nietzsche. Yang kemudian menjadikan
filsafat kehilangan kepekaannya pada
yang transenden dengan lahirnya sains
pada abad ke-17 sebagai wujud
sempurna filsafat alam. Sains
membekukan geliat nalar pada
pandangan dunia mekanisme yang telahmenghilangkan dunia dari
kemisteriusan dan membuat nalar
kehilangan kemampuannya sehingga
hanya sekadar kalkulasi, bukan
eksplorasi. Ini yang dimaksud
Heidegger saat mengejek fisika sebagai
semata-mata kalkulasi, bukan
pemikiran. Filsafat yang seharusnya
bertumpu pada kebenaran kemudian
hanya memiliki nalar yang identik
dengan universalisme.7
Pada akhirnya Heidegger
menawarkan apa yang dinamakan
dengan nalar puitis. Baginya nalar
puitis bukan puisi. Puisi sekadar
5Ibid.
6Donny Gahral Adian, Nalar Puitis sebagai
Metafilsafat dalam www.kompas.com/kompas-
cetak/0405/05/Bentara/998332.htm7Ibid.
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
4/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 191
metafora bagi kemampuan nalar
membuka modus-modus pengucapan
baru tentang jagat raya. Kemampuan
yang lenyap saat ilmu pengetahuan,
filsafat, dan teologi mengejar kebenaranbukan kelainan. Pengejaran yang sadar
atau tidak disadari menggendong
sebuah pandangan dunia tertentu. Tidak
seperti fisika, misalnya, yang
dipandang sebagai semata-mata
kalkulasi bukan pemikiran karena fisika
tak bisa melepaskan diri dari pandangan
dunia mekanistik dan hanya berfokus
menghitung-hitung gerak-gerik semesta
tanpa menghasilkan sebuah modus
pengucapan alternatif.8Nalar puitis juga
bukan sekadar keisengan yang
antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang
selalu terjaga pada "kelainan".
"Kelainan" berbeda dengan yang
transenden. Transendensi adalah modus
epistemologis, sementara "kelainan"
adalah modus puitis. Modus
epistemologis bekerja dengan kategoribenar-salah. Sementara "kelainan",
sebaliknya, tidak berurusan dengan
kategori benar-salah. Ia semata-mata
sebuah kemungkinan baru dalam
berbincang-bincang tentang semesta.
Semesta selalu sudah menampilkan
dirinya secara kebahasaan karena bagi
Heidegger bahasa adalah sebagai rumah
Ada. Lebih lanjut menurut Heidegger
tujuan puitis, bukan kebenaran baru,
melainkan sebuah kosakata baru tanpa
klaim epistemologis apa pun.
Namun, ketika itu semua
diletakkan dalam proyek pencarian
Ada, maka ia terjebak dalam
epistemologi. Berpikir seharusnya
bukan mencari Ada, melainkan
membangun rumah-rumah Ada yang
8Wildan Pramudya,op.cit.
baru. Aroma epistemologis semakin
jelas tercium saat Heidegger berbicara
tentangDasein otentik yang mengambil
jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman).
Pengambilan jarakDasein, yakniBeingin the world, adalah sebuah momen
kebenaran setelah ia tenggelam dalam
kepalsuan publik. Ini semua menjadi
kesulitan pokok Heidegger.9
Pencarian Heidegger berkisar
dalam pencarian jawaban atas
pertanyaan: Apakah yang dimaksud
dengan Makna, Kebenaran dari Ada
(Being)? Kebenaran Being muncul
dalam eksistensi setiap entitas. Dengan
eksistensi manusia (human being)
dalam pikiran, jawaban Heidegger atas
pertanyaan tersebut memperlihatkan
hubungan antara Being dan Bahasa
(language).10
Bahasa bukanlah sebuah alat
yang dimiliki atau dikuasai manusia,
Bahasa merupakan sebuah keterbukaan
eksisten (kehadiran sang Ada). Karenabahasa Ada, maka dunia Ada; dalam
proses memutuskan dan berproduksi,
dalam tindakan dan tanggung-jawab,
termasuk juga dalam pergolakan dan
pertentangan atas kesia-siaan dan
kebingungan.
Dunia manusia hanya
dimungkinkan melalui penggunaan
bahasa, yang menghadirkan sang Ada
(Being).11
Esensi bahasa berkaitan dengan
keterbukaan Being untuk menjawabnya.
9Donny Gahrial Adian, op.cit.
10Michael J, Hyde, Searching for Perfection:
Martin Heidegger (with some help from
Kenneth Burke) on Language, Truth, and the
Practice of Rhetoric, Perspective on
Philosophy of Communication, West Lafayette:
Purdue University Press, 2007, h. 2311
Ibid
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
5/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 192
Kaitan ini memunculkan isu
Kebenaran. Pemikiran Heidegger
yang sering dikutip adalah soal
kebenaran yang dimengerti sebagai
keterbukaan. Jadi bagi Heideggerkebenaran adalah terbuka tidak tertutup.
Dalam paradigma komunikasi sering
diartikan bahwa komunikasi yang jujur
dan terbuka mewahyukan sebuah
kebenaran. Kebenaran identik dengan
keterbukaan tidak ada ketertutupan atau
yang disembunyikan.
Dasar Pemikiran
Penjelajahan Heidegger (yang belum
selesai) dalam Being and Time adalah
memahami hakikat Ada (Being)
yang melaluinya segala sesuatu ada.
Untuk mencapai pemahaman ini, ia
memulai analisis mendalam mengenai
tempat, di mana Ada (Being)
mewujudkan diri -- kehidupan dan
pemahaman manusia (Dasein).
Inti dari karakterisasi Heideggeratas manusia dalam Being and Time
adalah bahwa manusia merupakan
entitas yang Mengada -nya
dipersoalkan. Kita hidup dalam
memahami, memiliki konsepsi tentang
diri kita dalam situasi-situasi yang di
dalamnya terdapat pelbagai pilihan.
Akan tetapi, dalam sebagian besar masa
hidupnya, kekuatan personal
pemahaman ini (personal cogency of
this understanding) melemah karena
tenggelam dalam pembicaraan tanpa
arti dan desas-desus tentang apa
yang disebut Heidegger sebagai diri
mereka (they-self). Inilah kerangka
berpikir di mana kita terhanyut oleh
kesibukan akan masalah praktis yang
langsung terasa dan pengetahuan
umum (common sense) tentang
mereka apa yang dipikirkan dan
dikatakan setiap orang. Inilah
pemahaman orang awam yang pada
dasarnya tidak bertanggungjawab
tentang kehidupan, di mana kita tidakmemikirkan segala sesuatu dalam
pengertian maknanya bagi eksistensi
khas kita sendiri eksistensi yang
pada akhirnya dibatasi, dan didesak
oleh fakta kematian kita yang tak
terelakan namun hanya
memahaminya dalam pengertian apa
yang menjadi kecenderungan dan
desas-desus terbaru, asumsi-asumsinya
dalam pengertian yang sangat personal.
Dengan demikian, hidup adalah hidup
secara tidak otentik hidup yang
tidak sejati bagi diri kita sendiri.12
Perjalanan intelektual Heidegger
sampai pada titik saat ia merasa harus
melepaskan diri dai tradisi filsafat
Barat. Filsafat Barat, menurutnya,
menerima begitu saja pemahaman yang
miskin tentang Ada (Being). Adadipandang sebagai kenyataan yang
hadir terlepas dari sujek manusia.
Rumah, jalan, kursi dan trotoar Ada
sebagai kenyataan yang berdiri sendiri.
Konsepsi ini bertahan mulai dari Plato
sampai Descartes.
Tradisi Filsafat Barat lalai
membedakan antara Ada (Being)
dengan a besar dan adaan
(beings). Ada ditafsirkan sama
dengan adaan. Rumah, jalan, dan
pohon, misalnya, semuanya Ada.
Namun Ada sendiri bukanlah rumah,
jalan atau pohon itu sendiri. Ada
adalah sesuatu yang melampaui
sekaligus menyelubungi adaan.13
12Palmer, op.cit, h. 46
13 Donny Gahral Adrian,Martin Heidegger,Teraju, Jakarta, 2003, hal: 16
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
6/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 193
Jadi bagi Heidegger, Ada
tidak bisa direduksi menjadi benda-
benda. Ia menuntut perubahan pola
pertanyaan filosofis. Dan manusia bagi
Heidegger, adalah Ada yang unik.Keunikan yang membedakannya benda-
benda dan membuatnya mampu
mempersoalkan Ada. Karena
manusia bukan benda, maka Heidegger
memilih istilah dasein. Dalam bahasa
Jerman Daberarti di sana (ruang-
waktu) sedang Seinberarti Ada.
Sehingga dasein berarti ada di sana
(ruang-waktu). Manusia sealu
merupakan Ada yang menemukan
dirinya terjebak dalam ruang-waktu
tertentu. Keterjebakan yang bukannya
mengisolasi, tapi justru membuka
manusia pada persoalan seputar
Ada. Keterjebakan yang justru
membuat manusia bertanya-tanya dan
mempersoalkan.14
BahasaBerbeda dari humanisme yang
memahami manusia sebagai makhluk
yang menentukan Ada, Heidegger
berpendapat bahwa Ada itu sendirilah
yang menyingkapkan diri kepada
manusia melalui bahasa. Bahasa,
menurutnya, adalah Rumah Ada (das
Haus des Seins), dan manusia
bermukim di dalam bahasa. Penyair dan
pemikir adalah penjaga Rumah Ada ini.
Di hadapan Ada, manusia mengambil
sikap yang disebutnya pasivitas bijak,
yakni membuka diri. Dengan cara ini,
Heidegger mau meninggalkan cara
berpikir argumentatif yang
mendominasi pemikiran Barat sejak
Aristoteles. Berpikir fundamental
menurutnya bukan menganalisis,
14Ibid, h. 18
melainkan mengingat Ada agar Ada itu
terwahyukan.15
Heidegger memperkenalkan
istilah mitdasein untuk menjelaskan
cara meng ada Dasein dalamkeseharian.16 Kata mit dipahami
Heidegger secara eksistensial, yaitu
menyangkut Ada. Maksudnya,
keberadaan kita bersama orang-orang
lain tidak bersifat kebetulan atau
ditempelken begitu saja, melainkan
termasuk cara mengada kita di dunia
ini. Kita mengenal Ada kita tidak hanya
melalui diri kita sendiri, melainkan juga
melalui Ada orang-orang lain. Menurut
Heidegger, atas dasar Ada-di-dalam-
dunia secara bersama ini, dunia sudah
selalu merupakan dunia yang kumukimi
(ditempati) bersama dengan orang-
orang lain. Dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt). Ada-di-dalam
adalah ada-bersama (Mitsein) orang-
orang lain.17
Dasein dalam kesehariannyaselalu merupakan Dasman yang dalam
bahasa Indonesia bisa diartikan manusia
massa. Dalam kesibukan sehari-harinya,
dasein kehilangan pengertian tentang
siapa dirinya sesunguhnya karena
tenggelam dalam suatu kemassaan. Di
sini, Heidegger membedakan antara
modus eksistensi: otentik dan inotentik.
Modus eksistensi otentik adalah
kesadaran bahwa akulah yang harus
menentukan pilihanku sendiri
sementara modus eksistensi inotentik
15 Franky Budi Hardiman,Heidegger dan Mistik
Keseharian, KPG, Jakarta, 2002, h. 4116
Kata mit berarti bersama atau dengan.
Mitdasein berarti bersama-ada-di-sana, istilah
yang elegan untuk menegaskan bahwa manusia
adalah makhluk sosial. (dalam Hardiman, ibid,
h. 58)17
Ibid, h. 59
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
7/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 194
adalah hilangnya kesadaran akan aku
yang otentik. Modus eksistensi ketika
dasein bertindak, berpikir, berbicara
seperti layaknya orang lain.
Perbincangan tentang inotentisitasmembawa kita pada tiga karakterdasein
yang cukup dominan: faktisitas (state
of mind), pemahaman (understanding)
dan kejatuhan (fallness).18
Faktisitas menyingkap suatu
keterlemparan (throwness). Dasein
menemukan dirinya telah berada dalam
dunia yang bukan dunianya sendiri,
melainkan dunia bersama bermakna
yang terwariskan secara historis.Dasein
mendapati dirinya terlempar ke suatu
dunia yang menentukan kebermaknaan
benda-benda bagi dirinya.
Pemahaman bagi Heidegger
bukan aktivitas kognitif. Ia lebih asli
dari sekadar pengetahuan teoritis-sadar
tentang dunia otentik. Pemahaman
ditekankan padapemahaman praktis.
Pemahaman dasein memiliki suatustruktur presuposisi (fore-structure).
Struktur presuposisi ini terdiri atas pra-
pemahaman (fore-having), pra-
penglihatan (fore-sight), dan pra-
konsepsi (fore conception). Sebutlah
martil. Pra-pemahaman: dasein
memiliki pemahaman sejak awal bahwa
martil bersama dengan paku, gergaji,
dan tang merupakan benda-benda siap
pakai untuk pertukangan. Pra
penglihatan: memahami martil berarti
memiliki penglihatan sejak awal wujud
sebuah rumah. Dasein memahami
martil sebagai alat untuk mewujudkan
rumah. Pra-konsepsi: memahami martil
berarti mengkonseptualisasikan sedari
awal bahwa maksud pemakaiannya
dalam pembangunan rumah adalah
18Adian, op.cit, h. 36
demi keberadaan dasein sebagai tukang
bangunan.19
Karakter ketiga adalah
kejatuhan atau fallness. Ini merupakan
karakter dasein yang dalamkesehariannya selalu bepaling dari
dirnya sendiri dan hidup seperti
manusia massa (dasman). Kejatuhan
merupakan modus eksistensi dasein
yang tidak otentik. Dalam contoh
tukang bangunan, ia memahami martil
sebagaimana massa memahami bentuk
dan mengerti fungsinya. Ia
mengucapkan sesuatu tentang martil,
sebagaimana orang lain
mengucapkannya ketika merasakan
sesuatu tentang martil itu. Misalnya,
terlalu berat, patah dan seterusnya. Dari
sinilah, filsafat bahasa Heidegger
berkembang. Bahwa bahasa, bukan
sekadar alat untuk merepresentasikan
Ada. Bahasa adalah apa yang
diistilahkan Heidegger: sangkar ada
(Rumah Ada).20
Bagaimanapun rumitnya
menjelaskan bahasa yang digunakan
dasein untuk menemukan Ada-nya,
bahasa dan komunikasi bagi
Heidegger juga merupakan sistem
acuan. Bahasa adalah alat. Namun bila
kita berhubungan dengan orang lain,
tentu kita tidak memperlakukannya
seperti benda-benda atau alat-alat.21
Hanya saja, komunikasi dalam
pengertian Heidegger tidak merujuk
pada model verbal sehari-hari yang
gampang dipahami, melainkan
komunikasi eksistensial. Dalam konteks
inilah ia memperkenalkan istilah
memahami yang terkait dengan
19Adian, ibid, h. 35-37
20Ibid, h. 4021
Hardiman, op.cit, h. 59
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
8/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 195
menafsirkan (Auslegung) dan
percakapan (Rede). Sebagaimana
digambarkan Hardiman22, ketika
seorang lelaki duduk di taman
memikirkan nasibnya sebagai karyawanyang dipecat perusahaan, ia kemudian
menafsirkan situasi. Ia mencoba keluar
dari keterpurukan dengan menafsirkan
peristiwa yang dia alami. Ia mungkin
kemudian melihat pemecatan itu
sebagai peluang untuk berkembang
lebih baik. Rumusan penafsiran ini
berakar pada suatu sikap prareflektif
dan praverbal, yaitu kontaknya dengan
Ada-nya. Kata sebagai dalam pada
rumusan itulah penafsirannya, yang
berarti tak lain mengorientasikan diri ke
masa depan.
Demikian juga dengan
percakapan (Rede) bukanlah
komunikasi verbal, melainkan suatu
penyampaian makna yang mendahului
artikulasinya dalam bahasa (Sprache).
Karena itu dalam kebungkaman(Schweigen), manusia juga bisa
bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan
menujukkan bahwa percakapan bukan
pengucapan makna secara verbal,
melainkan penyampaian makna
(Mitteilung) tanpa artikulasi apapun.
Contoh: dua kawan yang lama tak
bertemu, hanya terpaku dan saling
menatap, tanpa bicara sepatah katapun.
Moment itu sarat dengan makna yang
tak diartukulasikan, namun
disampaikan lewat disposisi dasar
eksistensial mereka masing-masing.
Itulah percakapan. Jadi ketika seseorang
diam, sesungguhnya ia bicara dalam arti
eksistensial.
KESIMPULAN
22Ibid, h. 75
Sederhananya, dalam perspektif
Heidegger, bahasa bukanlah semacam
kendaraan yang membawa pesan dari
dalam diri seseorang untuk disampaikan
kepada orang lain. Esensi bahasa,adalah eksplisitasi, menghadirkan
(presentasi) dunia-bersama secara
eksplisit, jadi bukan menghadirkan
kembali (re-presentasi). Atau, seperti
diterjemahkan Donny Gahral di muka,
bahasa bukan sekadar alat untuk
merepresentasikan Ada. Bahasa
adalah apa yang diistilahkan Heidegger:
sangkar / rumah Ada.
Rede itu sendiri tampaknya
dipahami sebagai bentuk komunikasi
yang sangat otentik. Karena ia bahkan
tidak tergantung pada bahasa dalam
pengertian mengeksplisitkan dunia-
bersama itu tadi. Bahasa dinilai
memiliki keterbatasan untuk
menghadirkan dunia-bersama. Maka
dalam hal ini, ada komunikasi yang
tidak otentik. Inilah yang kemudiandisebut Gerede atau obrolan. Makin
banyak kata dimuntahkan, makin besar
ketidakmengertian muncul.
Rede itu sesuatu yang otentik.
Itu disposisi eksistensial, sikap dalam
ruang eksistensial kita yang membuka
diri keluar untuk coba
mengartikulasikan sesuatu. Seperti juga
kalau memahami (Verstehen)
merupakan suatu keterbukaan untuk
menangkap dan memahami sesuatu dari
luar. Rede adalah Mitteilung, yakni
usaha untuk menyampaikan atau
memberitakan sesuatu dari Ada-nya.23
Komunikasi lewat berbagai
media modern seperti surat kabar,
televisi dan radio tampaknyadalam
perspektif inidipenuhi dengan
23Ibid, h. 176
-
7/23/2019 Warisan Perspektif Filsafat Komunikasi Martin Heidegger: Karya dan Pemikiran
9/9
Wawasan Perspektif Filsafat Komunikasi Nanang Haroni
Martin Heidegger : Karya dan Pemikiran Sari Monik Agustin
Jurnal CommLine Vol 1 No. 2 Juli Desember 2010 196
Gerede, dan berpotensi menumpulkan
otentisitas manusia, yakni pada saat
manusia larut di dalamnya dan tidak
sanggup mengambil jarak sama sekali.
Ketika tak sanggup mengambil jarakitulah, Hardiman melihatnya sebagai
situasi yang disebut Heidegger
mengalami kejatuhan (fallness). Hal
inilah sebenarnya yang ingin
ditekankan oleh Heidegger, yaitu
menyangkut otensitas dari eksistensi
manusia, melalui proses intensitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral.Martin Heidegger. Jakarta: Teraju, 2003.
Adian, Donny Gahral. Nalar Puitis sebagai Metafilsafat. www.kompas.com/kompas-
cetak/0405/05/Bentara/998332.htm
Hardiman, Franky Budi.Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG, 2002.
Hyde, Michael J. Searching for Perfection: Martin Heidegger (with some help from Kenneth Burke)
on Language, Truth, and the Practice of Rhetoric, dalam Perspective on Philosophy ofCommunication, West Lafayette: Purdue University Press, 2007.
Palmer, Joy E [ed]. Fifty Modern Thinkers on Education, terj. Farid Asifa. Yogyakarta: IRCiSoD,
2006.
Pramudya, Wildan.Koran Tempo, 23 Agustus 2004.