arg juni 2015, abd. rahman a. latif

Upload: jurnalhukumargumentum

Post on 12-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    1/18

    110 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    (PASCA AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945)

    Abd. Rachman A. Latif

    - Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana MalangJl. Danau Sentani No. 99 Malang

    Email: [email protected]

    ABSTRAK

    Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan

    bagian daripada penyelenggaraan pemerintahan negara

    dan merupakan hal yang penting. Karena itu pembentukan

    peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara

    terencana, sistematis dan terpadu. Proses pembahasan

    rancangan undang-undang dilakukan oleh lembaga negara

    secara Tripartit yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

    Perwakilan Daerah dan Presiden secara penuh.

    Kata Kunci : Pembentukan, Peraturan Perundang-Undang-

    an, Pasca Amandemen UUD NRI Tahun 1945.

    A. Latar Belakang

    Proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-

    undangan merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan

    secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang.

    Sedangkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

    2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,dinyatakan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

    adalah Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang

    mencakup tahapan Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan,

    Pengesahan atau Penetapan dan Pengundangan.

    Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 merumuskan Indonesia

    adalah Negara hukum. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip

    negara hukum adalah pembentukan peraturan perundang-

    undangan dan penataan kelembagaan negara. Pembentukan

    peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat

    dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat

    terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku,

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    2/18

    111ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang

    membuat peraturan perundang-undangan.

    Terkait dengan itu maka, perubahan UUD 1945 tidak semata-

    mata karena otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai

    pelaku, tetapi karena adanya kelembagaan dari sistem hukum dan

    ketatanegaraan. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penye-

    bab tidak demokratisnya negara Indonesia selama menggunakan

    UUD 1945, yang menurut Moh. Mahfud MD. antara lain adalah :

    1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy

    dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan

    presiden, tanpa adanya mekanisme check and balances yang

    memadai.

    2. UUD 1945 terlalu memberi atribusi dan delegasi kewenangan

    kepada presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan

    Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.

    3.

    UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir, sehingga bisa muncul banyak tafsir, tetapi tafsir yang

    harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh presiden.

    4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan

    negara daripada sistemnya (Moh. Mahfud MD dan SF. Marbun,

    2000: 71).

    Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengenai

    penyelenggaraan negara dilakukan dengan mempertegas

    kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga negara, mempertegas

    batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan

    menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraannegara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem hubungan

    yang berdasarkan check and balances (keseimbangan antar

    lembaga negara), dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan

    setiap lembaga negara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

    Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga

    negara yang dibentuk berdasarkan perubahan UUD 1945.

    Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang

    dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah dengan

    memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah. UUD NRI Tahun

    1945 menempatkan kedudukan DPD yang setara dengan Dewan

    Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden sebagaimana dinyatakan

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    3/18

    112 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI

    Tahun 1945 (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 1).

    Maka peraturan yang memberikan pedoman tentang

    pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut selama ini

    selalu ditunggu dan diharapkan dapat memberikan suatu arahan

    dan panduan, sehingga proses pembentukan peraturan

    perundang-undangan menjadi lebih jelas.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka

    permasalahan pokok yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah

    sebagai berikut :

    1. Bagaimana proses dan tahap pembentukan peraturan

    perundang-undangan?

    2. Bagaimana penyusunan dan pengajuan rancangan undang-

    undang baik oleh Presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bagaimanapembahasannya?

    C. Metode Penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode yaitu Penelitian Hukum

    Normatif. Dalam konsep penelitian normatif menggunakan bahan

    hukum primer dan hukum sekunder. Pendekatan yang dilakukan

    dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approch).

    (Amiruddin dan Jaenal Asikin, 2006: 118). Dengan pendekatan ini

    penulis akan melakukan pendalaman terhadap studi kepustakaan

    (Library Research) dari berbagai sumber perundang-undangan,buku, majalah, hasil penelitian, dan media yang berkaitan dengan

    topik penelitian yang dilakukan. Kemudian analisis serta eksplanasi

    hukum dipadukan dengan temuan dari hukum empiris tanpa

    mengubah karakteristik penelitian hukum normatif (Jonny Ibrahim,

    2010: 300).

    D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

    1. Proses dan Tahap Pembentukan Peraturan Perundang-

    Undangan

    a. Tahap Perencanaan

    Proses perencanaan pembentukan peraturan-perundang-undangan di Indonesia, dilaksanakan sesuai dengan program

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    4/18

    113ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    legislasi nasional (Prolegnas) yang merupakan perencanaan

    penyusunan undang-undang yang disusun secara terpadu antara

    DPR dan Pemerintah. Penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh

    alat kelengkapan DPR yang menangani legislasi (Badan Legislasi)

    dan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi peraturan

    perundang-undangan. Tata cara penyusunan dan pengelolaan

    Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61

    Tahun 2005 tentang Tata cara penyusunan dan pengelolaan

    program legislasi nasional.

    Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 27 Maret

    2013 dengan Nomor Putusan 92/PUU-X/2012 dan dimuat dalam

    Berita Negara RI Nomor 26 Tahun 2013 inti putusan diantaranya

    bahwa, DPD terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional

    (PROLEGNAS).

    b. Tahap Penyusunan

    Tahap ini adalah rancangan undang-undang disusun olehpihak yang mengajukan. RUU dapat diajukan oleh DPR, Presiden

    maupun DPD yang disusun berdasarkan Prolegnas. Khusus untuk

    DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan

    otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah,

    pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

    pengelola sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya,

    serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan

    daerah (Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004).

    Penyusunan RUU yang berada dalam Prolegnas, diatur dalam

    Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata caramempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Perppu,

    Rancangan PP, dan Rancangan Peraturan Presiden. Penyusunan

    RUU yang didasarkan pada Prolegnastidak memerlukan ijin

    prakarsa dari presiden. Sedangkan dalam keadaan tertentu,

    pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnassetelah terlebih

    dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden.

    Keadaan tertentu untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang

    yang dimaksud adalah :

    1) Menetapkan Perppu menjadi Undang-Undang

    2) Merativikasi Konvensi atau Perjanjian Internasional

    3)

    Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    5/18

    114 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    4)

    Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan atau

    bencana alam

    5) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi

    nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh

    Baleg DPR dan Menteri. (Maria Farida Indrati S., 2007: 17)

    Penyusunan RUU pemrakarsa dapat terlebih dahulu

    menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur

    dalam Rancangan Undang-Undang, yang merumuskan antara lain

    tentang dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok, dan lingkup

    materi yang diatur. Penyusunan tersebut dapat dilakukan

    bersama-sama dengan Kementerian yang ruang lingkupnya dalam

    Peraturan Perundang-Undangan dan pelaksanaanya dapat

    diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang

    memiliki keahlian untuk itu. Setelah selesai disusun, RUU

    diserahkan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan bersama.

    c.

    Tahap PembahasanSetiap tingkat pembahasan RUU yang dilakukan di DPR, baik

    yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun DPD dibahas dengan

    cara yang ditentukan dalam keputusan DPR RI Nomor

    08/DPRRI/I/2005-2006 tentang peraturan tata tertib DPR RI,

    khususnya Pasal 136, 137 dan 138. Dalam Pasal 136 dijelaskan

    bahwa pembahasan RUU dilakukan melalui 2 (dua) tingkat

    pembicaraan yaitu :

    1) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat

    gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran,

    dan atau rapat panitia khusus.2) Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna

    sebelum dilakukan pembicaraan tingkat I dan tingkat II,

    diadakan rapat fraksi. Fraksi-fraksi juga dapat mengadakan

    rapat dengar pendapat dengan pakar-pakar atau kelompok

    masyarakat yang berkepentingan untuk mencari masukan

    dalam membawa aspirasi rakyat atau fraksinya.

    Setelah pembicaraan dalam tingkat II selesai RUU yang telah

    disetujui bersama oleh DPR dan Presiden maupun DPD akan

    dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan.

    Sedangkan apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama,

    RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.d. Tahap Pengesahan atau Penetapan

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    6/18

    115ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    Pelaksanaan pengesahan atau penetapan terhadap RUU yang

    telah disetujui bersama oleh DPR, DPD dan Presiden, diserahkan

    pada Presiden paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan

    bersama. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dilakukan

    tanda tangan oleh Presiden paling lambat 30 hari sejak RUU

    tersebut disetujui bersama. Setelah Presiden mengesahkan RUU

    yang telah disetujui bersama tersebut, maka RUU tersebut

    diundangkan oleh Menteri yang tugasnya di bidang peraturan

    perundang-undangan agar ketentuan tersebut dapat berlaku dan

    mengikat untuk umum. Dalam hal RUU tersebut tidak ditanda

    tangani Presiden dalam jangka waktu 30 hari maka RUU tersebut

    menjadi sah dan wajib diundangkan dengan merumuskan kalimat

    yang berbunyi, Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan

    ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.

    e. Tahap Pengundangan

    Pengundangan dilakukan oleh menteri yang tugas dantanggung jawabnya meliputi peraturan perundang-undangan. Pada

    dasarnya Undang-Undang mulai berlaku untuk umum dan memiliki

    kekuatan mengikat sejak pada tanggal diundangkan, kecuali

    ditentukan lain dalam Undang-Undang tersebut. Agar setiap orang

    mengetahui, peraturan perundang-undangan harus diundangkan

    dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara RI. (Pasal 81

    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Dengan maksud setiap

    orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut.

    2.

    Penyusunan Rancangan Undang-Undanga. RUU dari Presiden

    Sebelum RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan

    yang harus dilalui, yang dalam Undang-Undang atau PP terdiri dari

    tahapan persiapan, teknik penyusunan dan perumusan. Ketiga

    tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum

    digunakan yaitu Perancangan.

    Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan

    tahapan undang-undang tersebut diatur dalam Peraturan Presiden

    (Prepres) No. 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan

    rancangan undang-undang, rancangan Perppu, rancangan PP dan

    rancangan Peraturan Presiden. Sebelumnya proses penyusunanRUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    7/18

    116 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    tentang Tata cara mempersiapkan RUU. Namun dengan

    berlakunya Perpres tersebut maka Keputusan Presiden di atas

    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan

    rancangan undang-undang dalam Peraturan Presiden ini terdiri

    atas: (1) penyusunan RUU yang meliputi penyusun RUU

    berdasarkan Prolegnasdan penyusunan RUU di luar Prolegnas,

    (2)penyampaian RUU kepada DPR.

    1)Penyusunan RUU

    Menteri atau pimpinan lembaga non Departemen melakukan

    penyusunan rancangan undang-undang, ini sebagai pemrakarsa

    untuk pengajuan usul penyusunan rancangan undang-undang.

    Penyusunannya dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas.

    Khusus dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU

    di luar Prolegnassetelah terlebih dahulu mengajukan permohonan

    ijin kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin tersebut disertaidengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang

    meliputi (1) urgensi dan tujuan penyusunan, (2) sasaran yang ingin

    diwujudkan, (3) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan

    diatur, (4) jangkauan serta arah pengaturan. (Maria Farida Indrati

    S., 2007: 18)

    Bila rancangan undang-undang yang akan disusun masuk

    dalam Prolegnasmaka penyusunannya tidak memerlukan

    persetujuan ijin dari presiden. Pemrakarsa dalam penyusunan RUU

    dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai

    materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukanoleh pemrakarsa bersama-sama dengan kementerian yang tugas

    dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

    Saat ini kementerian yang mempunyai tugas dan tanggung jawab

    di bidang tersebut adalah Kementerian Hukum dan HAM. Adapun

    pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan

    kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga yang punya keahlian.

    2)Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas

    Proses penyusunan dimulai dengan pembentukan panitia

    antar kementerian oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri

    atas unsur kementerian dan lembaga pemerintahan non

    kementerian yang terkait dengan substansi RUU. Panitia dipimpinoleh seorang Ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sekretaris

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    8/18

    117ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    panitia antara kementerian dijabat oleh kepala biro hukum atau

    kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang

    peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.

    Setiap pantia antar kementerian diikutsertakan wakil dari

    KemenkumHAM untuk melakukan pengharmonisan RUU dan

    teknik perancangan perundang-undangan. Panitia antar

    kementerian menitikberatkan pembahasan pada permasalahan

    yang bersifat prinsipil mengenai obyek yang akan diatur, jangkauan

    dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang

    meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan

    oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi

    di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga

    pemrakarsa. (Pasal 8 Perpres No. 68 Tahun 2005). Perancangan

    hasilnya disampaikan kepada panitia antar kementerian untuk

    diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati.

    Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar kementerian,pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan

    perguruan tinggi, atau organisasi di bidang sosial politik, profesi

    dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam

    penyusunan RUU.

    Pelaksanaan penyusunan ketua panitia antar kementerian

    melaporkan perkembangan penyusunan dan atau permasalahan

    kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan

    ketua panitia antar kementerian menyampaikan rumusan akhir

    RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Kemudian

    dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapatmenyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

    Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang

    mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan

    perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM) dan menteri atau

    pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan

    paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan tersebut

    dari MenkumHAM diutamakan pada harmonisasi, konsepsi dan

    teknik perancangan peraturan perundang-undangan. Pertimbang-

    an tersebut diberikan paling lama 14 hari sejak RUU diterima.

    Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan

    yang telah diterima, maka pemrakarsa bersama denganMenKumHAM menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    9/18

    118 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    terkait. Apabila upaya penyelesaian tidak berhasil, maka

    MenkumHAM melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada

    presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya perumusan

    ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan

    Menteri Hukum dan HAM. (Pasal 16 dan 17 Peraturan Presiden

    Nomor 68 Tahun 2005)

    Bila RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi

    substansi maupun segi teknik perancangan, maka pemrakarsa

    mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan

    kepada DPR. Apabila presiden berpendapat RUU masih

    mengandung permasalahan, maka presiden menugaskan Menteri

    Hukum dan HAM dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan

    kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30

    hari kerja sejak diterima penugasan, maka pemrakarsa harus

    menyampaikan kembali RUU kepada presiden.

    3)

    Penyusunan RUU di luar ProlegnasAsas proses penyusunan RUU di luar Prolegnassama dengan

    penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja dalam

    penyusunan RUU di luar Prolegnasada tahapan awal yang wajib

    dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-

    undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini

    dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisan, pembulatan dan

    pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa.

    Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa

    dengan Menteri Hukum dan HAM.

    Untuk kelancaran pengharmonisan, pembulatan danpemantapan konsepsi RUU, Menteri Hukum dan HAM

    mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan

    pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan

    atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga

    pemrakarsa dan lembaga terkait. Proses ini juga dapat melibatkan

    perguruan tinggi dan atau organisasi lain. Apabila koordinasi

    tersebut tidak berhasil, maka Menteri Hukum dan HAM dan

    pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan

    penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang

    muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk

    mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    10/18

    119ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    ijin pemrakarsa penyusunan RUU. (Pasal 21, 22 dan 23 Peraturan

    Presiden Nomor 68 Tahun 2005)

    Koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisan,

    pembulatan dan pemantapan konspsi RUU tersebut berhasil, maka

    pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada

    presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya apabila

    presiden menyetujui, maka pemrakarsa membentuk panitia antar

    kementerian. Tata cara pembentukan panitia antar kementerian

    dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan

    penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan

    sebelumnya.

    4)Penyampaian RUU

    RUU yang telah disetujui oleh presiden disampaikan kepada

    DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan

    penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri

    Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUUdisertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang

    dimaksud.

    b. RUU dari DPR

    Sebelum dilakukan usul inisiatif DPR, ada beberapa badan

    yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU yaitu Badan

    Legislasi, Komisi, maupun gabungan Komisi. Kemudian ada

    beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan

    untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif

    DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan

    Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atassubstansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang

    menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan

    undang-undang.

    Lembaga yang menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU,

    baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-

    sendiri. Baleg misalnya di samping melakukan sendiri penelitian

    atas beberapa RUU, juga bekerja sama dengan berbagai universitas

    di beberapa daerah di Indonesia. Untuk 1 (satu) RUU biasanya

    Baleg akan meminta 3 universitas untuk melakukan penelitian dan

    sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.

    Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dariadanya amanat muktamar partai. Kemudian rancangan undang-

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    11/18

    120 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    undang yang berasal dari fraksi dipersiapkan oleh partai dimana

    partai membentuk tim pakar yang menyusun masukan masyarakat

    melalui dewan pengurus pusat dan dewan pengurus daerah partai

    guna dijadikan bahan dalam menyiapkan RUU yang akan diusulkan.

    (Erni Setyowati, 2005: 27)

    c.

    RUU dari DPD

    DPD sebagai lembaga legislatif baru sedang dalam masa

    untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU

    yang baik dan efektif. Diawal masa jabatan ini DPD banyak

    mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang

    sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia

    yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringannya ada pada

    rapat paripurna DPD yang mengesahkan apakah sebuah RUU bisa

    atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.

    Pengusulan RUU boleh dilakukan oleh panitia perancang

    undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan usulpembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya

    jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi

    dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar

    nama, nama propinsi dan tanda tangan pengusul. Baik usul RUU

    maupun usul pembentukan RUU disampaikan kepada PPU (Maria

    Farida Indrati S., 2007: 31).

    Kemudian pimpinan panitia perancang undang-undang akan

    menyampaikan usul RUU atau usul pembentukan RUU kepada

    pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan

    sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknyausul RUU atau usul pembentukan RUU, yang selanjutnya harus

    dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang paripurna memutuskan

    apakah usul RUU atau usul pembentukan RUU tersebut diterima,

    ditolak, atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk

    menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi

    kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota

    juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. (Maria

    Farida Indrati S., 2007: 33)

    Apabila usul RUU atau usul pembentukan RUU diterima

    dengan perbaikan, maka DPD menugaskan panitia perancang

    undang-undang untuk membahas dan menyempurnakan usul RUUatau usul pembentukan RUU tersebut. Adapun usulan RUU

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    12/18

    121ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    tersebut yang telah disetujui menjadi usul DPD, selanjutnya

    diajukan kepada pimpinan DPR.

    3. Pengajuan Rancangan Undang-Undang

    Sebuah rancangan undang-undang bisa datang dari 3 pintu

    yaitu Presiden, DPR dan DPD. Dalam mengusulkan sebuah RUU

    ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada program

    legislasi nasional.

    a. Pengajuan oleh Presiden

    RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada

    pimpinan DPR dengan mengirimkan Surat Presiden yang disiapkan

    oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Pimpinan DPR disertai

    dengan Keterangan Pemerintah mengenai RUU yang dimaksud.

    Surat Presiden tersebut setidaknya memuat (1) Menteri yang

    ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR,

    (2) Sifat penyelesaiaan RUU yang dikehendaki, dan (3) carapenangangan atau pembahasan.

    Keterangan pemerintah yang menyertai Surat Presiden

    disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat materi : (1)

    urgensi dan tujuan penyusunan, (2) sasaran yang ingin diwujudkan,

    (3) pokok fikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur, (4)

    jangkauan serta arah pengaturan. (Maria Farida Indrati S., 2007:

    17). Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi

    rancangan undang-undang.

    b.

    Pengajuan oleh DPD

    DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan denganotonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

    pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

    alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan

    dengan perimbangan keuangan antar pusat dan daerah. Untuk

    pengajuan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada

    ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada

    naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup

    menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Setelah pimpinan

    DPR menerima RUU usulan DPD kemudian memberitahukan

    kepada anggota DPR pada rapat paripurna DPR berikutnya.

    Kemudian DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepadapimpinan DPD yang isinya mengenai tanggal diumumkannya RUU

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    13/18

    122 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    usulan DPD kepada anggota DPR dalam rapat paripurna (Pasal 132

    Tatib DPR). Selanjutnya Bamus, Komisi atau Baleg untuk

    membahas RUU usulan DPD tersebut. Badan yang ditunjuk (Komisi

    atau Baleg) akan mengundang anggota alat kelengkapan DPD

    untuk membahas RUU yang menjadi usulan DPD tersebut.

    (Sirajudin dkk., 2007: 112)

    c. Pengajuan oleh DPR

    Pengajuan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu:

    1) Badan Legislasi

    2) Komisi

    3) Gabungan Komisi

    4) Sekurang-kurangnya 13 orang anggota DPR. (Maria Farida

    Indrati S., 2007:24)

    Usul RUU yang diajukan Baleg, Komisi, Gabungan Komisi

    ataupun anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan

    keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapatparipurna selanjutnya pimpinan sidang akan mengumumkan

    kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU

    tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan

    memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima

    sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diterima atau tidaknya

    RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk

    memberikan pendapat.

    Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat

    berupa : (1) persetujuan tanpa perubahan, (2) persetujuan dengan

    perubahan, (3) penolakan. Apabila usul RUU disetujui denganperubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg

    ataupun panitia khusus untuk menyempurnakan RUU tersebut.

    Apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah

    selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg maupun Panitia Khusus

    maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan

    DPD (RUU yang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD).

    Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya

    dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya

    surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan

    yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

    4. Pembahasan RUU

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    14/18

    123ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    Perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI

    Tahun 1945 tersebut mengakibatkan adanya perubahan dalam

    pembentukan undang-undang, oleh karena dari rumusan kedua

    pasal tersebut presiden hanya berhak mengajukan rancangan

    undang-undang kepada DPR, sedangkan kekuasaan membentuk

    undang-undang merupakan wewenang dari DPR.

    Walaupun rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)

    UUD NRI Tahun 1945 menyiratkan bahwa kekuasaan membentuk

    UU merupakan wewenang DPR, namun ketentuan dalam Pasal 20

    ayat (2) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 memudarkan wewenang

    tersebut. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 suatu

    RUU harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden,

    selain itu Pasal 20 ayat (4) merumuskan bahwa presiden

    mempunyai wewenang untuk mengesahkan RUU yang telah

    disetujui bersama menjadi UU (Maria Farida Indrati S., 2004: 3).

    Pembahasan RUU terdiri atas 2 tingkat pembicaraan, tingkatI dalam rapat komisi, rapat baleg ataupun pansus. Sedangkan

    pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.

    Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan urutan sebagai

    berikut: (1) pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi

    dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini

    bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU dari DPR

    pembicaraan tingkat I didahului dengan pandangan dan pendapat

    presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU

    berhubungan dengan kewenangan DPD. (2) Tanggapan presiden

    atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapanDPR atas pandangan presiden, (3) Pembahasan RUU oleh DPR dan

    Presiden berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM).

    Dalam pembicaraan tingkat I dapat juga dilakukan: (1) rapat

    dengar pendapat umum, (2) mengundang pimpinan lembaga

    negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan

    lembaga negara lain, (3) diadakan rapat intern.

    Pembicaraan tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam

    rapat paripurna yang didahului oleh: (1) laporan hasil pembicaraan

    tingkat I, (2) pendapat akhir fraksi, (3) pendapat akhir presiden

    yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpres Nomor

    68 Tahun 2005, mengatur bahwa pendapat akhir pemerintahdalam pembahasan RUU ke DPR disampaikan oleh menteri yang

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    15/18

    124 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada

    presiden (Maria Farida Indrati S., 2007: 40-41).

    Selama pembahasan RUU di DPR menteri yang mewakili

    presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang

    dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan

    arahan. Apabila teradapat masalah yang bersifat prinsipil arah

    pembahasannya akan mengubah isi serta arahan RUU, maka

    menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu

    melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan

    untuk memperoleh keputusan.

    Menteri yang ditugasi membahas rancangan undang-undang

    di DPR segera melaporkan rancangan undang-undang yang telah

    disetujui dalam rapat paripurna, maka rancangan undang-undang

    akan dikirimkan kepada sekretaris negara untuk ditanda tangani

    oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan. Tetapi bila

    rancangan undang-undang tersebut tidak mendapatkanpersetujuan bersama presiden dan DPR maka rancangan undang-

    undang tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang

    yang sama (Maria Farida Indrati S., 2007: 42).

    5. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Sistem Legislasi

    antara DPR, DPD, dan Presiden

    Dalam rangka mendudukkan fungsi legislasi DPD sesuai UUD

    NRI Tahun 1945, pada tanggal 08 Oktober 2012 DPD telah

    menyampaikan permohonan pengujian undang-undang atas UU

    tentang MPR, DPD, DPR, DPRD dan UU tentang pembentukanperaturan perundang-undangan terhadap UUD NRI Tahun 1945

    kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang diregister dalam nomor

    perkara: 92/PUU-X/2012. Permohonan uji materi dimaksud

    dilakukan untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti

    bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara Presiden,

    DPR, dan DPD. Pada Rabu tanggal 27 Maret 2013, MK memutus

    dengan nomor putusan: 92/PPU-X/2012 dan dimuat dalam Berita

    Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013.

    Inti putusan MK adalah sebagai berikut :

    a. DPD terlibat dalam pembuatan PROLEGNAS

    b.

    DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22Dayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana halnya atau

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    16/18

    125ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam

    pembentukan RUU pencabutan Peraturan Pemerintah

    pengganti undang-undang.

    c. DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal

    22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

    d.

    Pembahasan undang-undang dalam konteks Paaal 22D ayat (2)

    tersebut bersifat tiga pihak (Tripartit), yaitu DPR, DPD dan

    Presiden.

    e. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang

    tentang MPR, DPD, DPR, DPRD dan undang-undang tentang

    pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak

    sesuai dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas kewenangan

    DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI Tahun

    1945, baik yang diminta maupun tidak.

    6.

    Pembahasan RUU secara TripartitDPD sebagai lembaga negara mempunyai kewenangan yang

    sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang

    berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

    pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan

    sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta

    perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2) UUD

    NRI Tahun 1945 telah jelas mengatur mengenai keikutsertaan DPD

    bersama DPR dan Presiden dalam tiap tahapan pembahasan RUU

    yang berkaitan dengan daerah. Frasa ikut membahas harus

    dimaknai bahwa keterlibatan DPD dalam proses pembahasan RUUadalah bersama-sama dengan DPR dan Presiden.

    Dalam proses pembahasan sebuah RUU baik RUU dari DPD

    harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.

    Terhadap RUU dari Presiden, presiden diberikan kesempatan

    memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan

    pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan

    kesempatan memberikan penjelasan. Sedangkan Presiden dan DPD

    memberikan pandangan. Dengan demikian pembahasan RUU yang

    terkait dengan bidang tugas DPD harus melibatkan DPR, DPD, dan

    Presiden secara kelembagaan sejak memulai pembahasan pada

    tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR sampai dengan DPDmenyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    17/18

    126 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    paripurna DPR sebelum tahap persetujuan (Sekretaris Jendral DPD

    RI, 2014: 40).

    Konsekuensi dari konstruksi UUD NRI Tahun 1945 mengenai

    pembahasan RUU antara presiden dan DPR serta DPD (dalam hal

    terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga

    DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini

    bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan

    oleh fraksi. Walaupun demikian MK dapat memahami

    sebagaimana dituangkan dalam putusannya bahwa mekanisme

    pembahasan RUU dengan membahas DIM yang diajukan oleh

    fraksi adalah praktek pembahasan RUU sebelum perubahan UUD

    NRI Tahun 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat alat

    kelengkapan DPR yang sudah mengundang presiden dan atau

    sudah mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan DIM

    hanya diwakili oleh alat kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan

    kelembagaan (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 41).

    E. Kesimpulan

    Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

    sebelum diterbitkannya Undang-Undang tentang Pembentukan

    Peraturan Perundang-Undangan, telah diatur lebih dahulu oleh

    beberapa peraturan yang berbeda-beda. Antara lain Keputusan

    Presiden maupuan Peraturan Tata Tertib DPR untuk peraturan

    perundang-undangan di tingkat pusat. Sedangkan untuk peraturan

    perundang-undangan di tingkat daerah berlaku beberapa

    Keputusan Menteri Dalam Negeri.Dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

    pembentukan peraturan perundang-undangan, maka mekanisme

    atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini

    telah dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu serta

    lebih baik. Apalagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi

    terkait dengan sistem Tripartit, proses pembahasan rancangan

    undang-undang oleh 3 lembaga negara yaitu DPR, DPD dan

    Presiden secara penuh. Khusus DPD berhak membahas RUU

    sepenuhnya dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun

    1945.

    -----

  • 7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif

    18/18

    127ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015

    DAFTAR PUSTAKA

    Amirudin dan Jaenal Abidin, 2006, Pengantar Metode Penelitian

    Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

    Erni Setyowati dkk., 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses

    Legislasi, Pusat Studi dan Kebijakan Indonesia,

    Jakarta.

    Jonny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

    Normatif, Bayu Media Publishing, Malang

    Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses

    dan Teknik Penyusunan, Kanisius, Yogyakarta.

    -----------------------, 2004, Proses Pembentukan Peraturan

    Perundang-Undangan Pasca Amandemen UUD

    1945, Makalah Seminar Sistem Pemerintahan

    Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,

    diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukumdan HAM dengan Fakultas Hukum UNAIR,

    Surabaya 910 Juni 2004.

    Moh. Mahfud MD., SF. Marbun, 2000, Pokok-Pokok Hukum

    Administrasi Negara, Kanisius, Yogyakarta.

    Sekretaris Jendral DPD RI, 2014, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan

    Daerah Pasca Pustusan Mahkamah Konstitusi,

    Sekjen DPR RI, Jakarta.

    Sirajudin dkk, 2007, Legislatif Drafting Pelembagaan Metode

    Partisipasi Dalam Pembentukan Perundang-

    Undangan , In-Trans Publishing, Malang.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor

    12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-Undangan.