arg juni 2015, abd. rahman a. latif
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
1/18
110 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(PASCA AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945)
Abd. Rachman A. Latif
- Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana MalangJl. Danau Sentani No. 99 Malang
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan
bagian daripada penyelenggaraan pemerintahan negara
dan merupakan hal yang penting. Karena itu pembentukan
peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara
terencana, sistematis dan terpadu. Proses pembahasan
rancangan undang-undang dilakukan oleh lembaga negara
secara Tripartit yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Presiden secara penuh.
Kata Kunci : Pembentukan, Peraturan Perundang-Undang-
an, Pasca Amandemen UUD NRI Tahun 1945.
A. Latar Belakang
Proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan
secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang.
Sedangkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,dinyatakan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
adalah Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang
mencakup tahapan Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan,
Pengesahan atau Penetapan dan Pengundangan.
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 merumuskan Indonesia
adalah Negara hukum. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip
negara hukum adalah pembentukan peraturan perundang-
undangan dan penataan kelembagaan negara. Pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat
dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat
terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku,
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
2/18
111ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membuat peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan itu maka, perubahan UUD 1945 tidak semata-
mata karena otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai
pelaku, tetapi karena adanya kelembagaan dari sistem hukum dan
ketatanegaraan. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penye-
bab tidak demokratisnya negara Indonesia selama menggunakan
UUD 1945, yang menurut Moh. Mahfud MD. antara lain adalah :
1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy
dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan
presiden, tanpa adanya mekanisme check and balances yang
memadai.
2. UUD 1945 terlalu memberi atribusi dan delegasi kewenangan
kepada presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan
Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.
3.
UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir, sehingga bisa muncul banyak tafsir, tetapi tafsir yang
harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh presiden.
4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan
negara daripada sistemnya (Moh. Mahfud MD dan SF. Marbun,
2000: 71).
Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengenai
penyelenggaraan negara dilakukan dengan mempertegas
kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga negara, mempertegas
batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraannegara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem hubungan
yang berdasarkan check and balances (keseimbangan antar
lembaga negara), dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan
setiap lembaga negara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan perubahan UUD 1945.
Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang
dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah dengan
memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah. UUD NRI Tahun
1945 menempatkan kedudukan DPD yang setara dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden sebagaimana dinyatakan
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
3/18
112 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 1).
Maka peraturan yang memberikan pedoman tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut selama ini
selalu ditunggu dan diharapkan dapat memberikan suatu arahan
dan panduan, sehingga proses pembentukan peraturan
perundang-undangan menjadi lebih jelas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka
permasalahan pokok yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana proses dan tahap pembentukan peraturan
perundang-undangan?
2. Bagaimana penyusunan dan pengajuan rancangan undang-
undang baik oleh Presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bagaimanapembahasannya?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yaitu Penelitian Hukum
Normatif. Dalam konsep penelitian normatif menggunakan bahan
hukum primer dan hukum sekunder. Pendekatan yang dilakukan
dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approch).
(Amiruddin dan Jaenal Asikin, 2006: 118). Dengan pendekatan ini
penulis akan melakukan pendalaman terhadap studi kepustakaan
(Library Research) dari berbagai sumber perundang-undangan,buku, majalah, hasil penelitian, dan media yang berkaitan dengan
topik penelitian yang dilakukan. Kemudian analisis serta eksplanasi
hukum dipadukan dengan temuan dari hukum empiris tanpa
mengubah karakteristik penelitian hukum normatif (Jonny Ibrahim,
2010: 300).
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Proses dan Tahap Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
a. Tahap Perencanaan
Proses perencanaan pembentukan peraturan-perundang-undangan di Indonesia, dilaksanakan sesuai dengan program
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
4/18
113ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
legislasi nasional (Prolegnas) yang merupakan perencanaan
penyusunan undang-undang yang disusun secara terpadu antara
DPR dan Pemerintah. Penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh
alat kelengkapan DPR yang menangani legislasi (Badan Legislasi)
dan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi peraturan
perundang-undangan. Tata cara penyusunan dan pengelolaan
Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61
Tahun 2005 tentang Tata cara penyusunan dan pengelolaan
program legislasi nasional.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 27 Maret
2013 dengan Nomor Putusan 92/PUU-X/2012 dan dimuat dalam
Berita Negara RI Nomor 26 Tahun 2013 inti putusan diantaranya
bahwa, DPD terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS).
b. Tahap Penyusunan
Tahap ini adalah rancangan undang-undang disusun olehpihak yang mengajukan. RUU dapat diajukan oleh DPR, Presiden
maupun DPD yang disusun berdasarkan Prolegnas. Khusus untuk
DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelola sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah (Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004).
Penyusunan RUU yang berada dalam Prolegnas, diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata caramempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Perppu,
Rancangan PP, dan Rancangan Peraturan Presiden. Penyusunan
RUU yang didasarkan pada Prolegnastidak memerlukan ijin
prakarsa dari presiden. Sedangkan dalam keadaan tertentu,
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnassetelah terlebih
dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden.
Keadaan tertentu untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang
yang dimaksud adalah :
1) Menetapkan Perppu menjadi Undang-Undang
2) Merativikasi Konvensi atau Perjanjian Internasional
3)
Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
5/18
114 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
4)
Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan atau
bencana alam
5) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh
Baleg DPR dan Menteri. (Maria Farida Indrati S., 2007: 17)
Penyusunan RUU pemrakarsa dapat terlebih dahulu
menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur
dalam Rancangan Undang-Undang, yang merumuskan antara lain
tentang dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok, dan lingkup
materi yang diatur. Penyusunan tersebut dapat dilakukan
bersama-sama dengan Kementerian yang ruang lingkupnya dalam
Peraturan Perundang-Undangan dan pelaksanaanya dapat
diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang
memiliki keahlian untuk itu. Setelah selesai disusun, RUU
diserahkan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan bersama.
c.
Tahap PembahasanSetiap tingkat pembahasan RUU yang dilakukan di DPR, baik
yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun DPD dibahas dengan
cara yang ditentukan dalam keputusan DPR RI Nomor
08/DPRRI/I/2005-2006 tentang peraturan tata tertib DPR RI,
khususnya Pasal 136, 137 dan 138. Dalam Pasal 136 dijelaskan
bahwa pembahasan RUU dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan yaitu :
1) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat
gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran,
dan atau rapat panitia khusus.2) Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna
sebelum dilakukan pembicaraan tingkat I dan tingkat II,
diadakan rapat fraksi. Fraksi-fraksi juga dapat mengadakan
rapat dengar pendapat dengan pakar-pakar atau kelompok
masyarakat yang berkepentingan untuk mencari masukan
dalam membawa aspirasi rakyat atau fraksinya.
Setelah pembicaraan dalam tingkat II selesai RUU yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden maupun DPD akan
dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan.
Sedangkan apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama,
RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.d. Tahap Pengesahan atau Penetapan
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
6/18
115ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
Pelaksanaan pengesahan atau penetapan terhadap RUU yang
telah disetujui bersama oleh DPR, DPD dan Presiden, diserahkan
pada Presiden paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan
bersama. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dilakukan
tanda tangan oleh Presiden paling lambat 30 hari sejak RUU
tersebut disetujui bersama. Setelah Presiden mengesahkan RUU
yang telah disetujui bersama tersebut, maka RUU tersebut
diundangkan oleh Menteri yang tugasnya di bidang peraturan
perundang-undangan agar ketentuan tersebut dapat berlaku dan
mengikat untuk umum. Dalam hal RUU tersebut tidak ditanda
tangani Presiden dalam jangka waktu 30 hari maka RUU tersebut
menjadi sah dan wajib diundangkan dengan merumuskan kalimat
yang berbunyi, Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan
ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
e. Tahap Pengundangan
Pengundangan dilakukan oleh menteri yang tugas dantanggung jawabnya meliputi peraturan perundang-undangan. Pada
dasarnya Undang-Undang mulai berlaku untuk umum dan memiliki
kekuatan mengikat sejak pada tanggal diundangkan, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang tersebut. Agar setiap orang
mengetahui, peraturan perundang-undangan harus diundangkan
dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara RI. (Pasal 81
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Dengan maksud setiap
orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut.
2.
Penyusunan Rancangan Undang-Undanga. RUU dari Presiden
Sebelum RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan
yang harus dilalui, yang dalam Undang-Undang atau PP terdiri dari
tahapan persiapan, teknik penyusunan dan perumusan. Ketiga
tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum
digunakan yaitu Perancangan.
Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan
tahapan undang-undang tersebut diatur dalam Peraturan Presiden
(Prepres) No. 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan
rancangan undang-undang, rancangan Perppu, rancangan PP dan
rancangan Peraturan Presiden. Sebelumnya proses penyusunanRUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
7/18
116 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
tentang Tata cara mempersiapkan RUU. Namun dengan
berlakunya Perpres tersebut maka Keputusan Presiden di atas
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan
rancangan undang-undang dalam Peraturan Presiden ini terdiri
atas: (1) penyusunan RUU yang meliputi penyusun RUU
berdasarkan Prolegnasdan penyusunan RUU di luar Prolegnas,
(2)penyampaian RUU kepada DPR.
1)Penyusunan RUU
Menteri atau pimpinan lembaga non Departemen melakukan
penyusunan rancangan undang-undang, ini sebagai pemrakarsa
untuk pengajuan usul penyusunan rancangan undang-undang.
Penyusunannya dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas.
Khusus dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU
di luar Prolegnassetelah terlebih dahulu mengajukan permohonan
ijin kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin tersebut disertaidengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang
meliputi (1) urgensi dan tujuan penyusunan, (2) sasaran yang ingin
diwujudkan, (3) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan
diatur, (4) jangkauan serta arah pengaturan. (Maria Farida Indrati
S., 2007: 18)
Bila rancangan undang-undang yang akan disusun masuk
dalam Prolegnasmaka penyusunannya tidak memerlukan
persetujuan ijin dari presiden. Pemrakarsa dalam penyusunan RUU
dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai
materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukanoleh pemrakarsa bersama-sama dengan kementerian yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Saat ini kementerian yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
di bidang tersebut adalah Kementerian Hukum dan HAM. Adapun
pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan
kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga yang punya keahlian.
2)Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas
Proses penyusunan dimulai dengan pembentukan panitia
antar kementerian oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri
atas unsur kementerian dan lembaga pemerintahan non
kementerian yang terkait dengan substansi RUU. Panitia dipimpinoleh seorang Ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sekretaris
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
8/18
117ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
panitia antara kementerian dijabat oleh kepala biro hukum atau
kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang
peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
Setiap pantia antar kementerian diikutsertakan wakil dari
KemenkumHAM untuk melakukan pengharmonisan RUU dan
teknik perancangan perundang-undangan. Panitia antar
kementerian menitikberatkan pembahasan pada permasalahan
yang bersifat prinsipil mengenai obyek yang akan diatur, jangkauan
dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang
meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan
oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi
di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga
pemrakarsa. (Pasal 8 Perpres No. 68 Tahun 2005). Perancangan
hasilnya disampaikan kepada panitia antar kementerian untuk
diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati.
Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar kementerian,pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan
perguruan tinggi, atau organisasi di bidang sosial politik, profesi
dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam
penyusunan RUU.
Pelaksanaan penyusunan ketua panitia antar kementerian
melaporkan perkembangan penyusunan dan atau permasalahan
kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan
ketua panitia antar kementerian menyampaikan rumusan akhir
RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Kemudian
dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapatmenyebarluaskan RUU kepada masyarakat.
Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan
perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM) dan menteri atau
pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan
paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan tersebut
dari MenkumHAM diutamakan pada harmonisasi, konsepsi dan
teknik perancangan peraturan perundang-undangan. Pertimbang-
an tersebut diberikan paling lama 14 hari sejak RUU diterima.
Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan
yang telah diterima, maka pemrakarsa bersama denganMenKumHAM menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
9/18
118 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
terkait. Apabila upaya penyelesaian tidak berhasil, maka
MenkumHAM melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada
presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya perumusan
ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan
Menteri Hukum dan HAM. (Pasal 16 dan 17 Peraturan Presiden
Nomor 68 Tahun 2005)
Bila RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi
substansi maupun segi teknik perancangan, maka pemrakarsa
mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan
kepada DPR. Apabila presiden berpendapat RUU masih
mengandung permasalahan, maka presiden menugaskan Menteri
Hukum dan HAM dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan
kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30
hari kerja sejak diterima penugasan, maka pemrakarsa harus
menyampaikan kembali RUU kepada presiden.
3)
Penyusunan RUU di luar ProlegnasAsas proses penyusunan RUU di luar Prolegnassama dengan
penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja dalam
penyusunan RUU di luar Prolegnasada tahapan awal yang wajib
dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-
undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini
dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisan, pembulatan dan
pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa.
Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa
dengan Menteri Hukum dan HAM.
Untuk kelancaran pengharmonisan, pembulatan danpemantapan konsepsi RUU, Menteri Hukum dan HAM
mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan
pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan
atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga
pemrakarsa dan lembaga terkait. Proses ini juga dapat melibatkan
perguruan tinggi dan atau organisasi lain. Apabila koordinasi
tersebut tidak berhasil, maka Menteri Hukum dan HAM dan
pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan
penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang
muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk
mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
10/18
119ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
ijin pemrakarsa penyusunan RUU. (Pasal 21, 22 dan 23 Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005)
Koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisan,
pembulatan dan pemantapan konspsi RUU tersebut berhasil, maka
pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada
presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya apabila
presiden menyetujui, maka pemrakarsa membentuk panitia antar
kementerian. Tata cara pembentukan panitia antar kementerian
dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan
penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan
sebelumnya.
4)Penyampaian RUU
RUU yang telah disetujui oleh presiden disampaikan kepada
DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan
penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri
Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUUdisertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang
dimaksud.
b. RUU dari DPR
Sebelum dilakukan usul inisiatif DPR, ada beberapa badan
yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU yaitu Badan
Legislasi, Komisi, maupun gabungan Komisi. Kemudian ada
beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan
untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif
DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan
Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atassubstansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang
menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan
undang-undang.
Lembaga yang menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU,
baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-
sendiri. Baleg misalnya di samping melakukan sendiri penelitian
atas beberapa RUU, juga bekerja sama dengan berbagai universitas
di beberapa daerah di Indonesia. Untuk 1 (satu) RUU biasanya
Baleg akan meminta 3 universitas untuk melakukan penelitian dan
sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.
Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dariadanya amanat muktamar partai. Kemudian rancangan undang-
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
11/18
120 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
undang yang berasal dari fraksi dipersiapkan oleh partai dimana
partai membentuk tim pakar yang menyusun masukan masyarakat
melalui dewan pengurus pusat dan dewan pengurus daerah partai
guna dijadikan bahan dalam menyiapkan RUU yang akan diusulkan.
(Erni Setyowati, 2005: 27)
c.
RUU dari DPD
DPD sebagai lembaga legislatif baru sedang dalam masa
untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU
yang baik dan efektif. Diawal masa jabatan ini DPD banyak
mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang
sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia
yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringannya ada pada
rapat paripurna DPD yang mengesahkan apakah sebuah RUU bisa
atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.
Pengusulan RUU boleh dilakukan oleh panitia perancang
undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan usulpembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya
jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi
dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar
nama, nama propinsi dan tanda tangan pengusul. Baik usul RUU
maupun usul pembentukan RUU disampaikan kepada PPU (Maria
Farida Indrati S., 2007: 31).
Kemudian pimpinan panitia perancang undang-undang akan
menyampaikan usul RUU atau usul pembentukan RUU kepada
pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan
sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknyausul RUU atau usul pembentukan RUU, yang selanjutnya harus
dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang paripurna memutuskan
apakah usul RUU atau usul pembentukan RUU tersebut diterima,
ditolak, atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk
menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi
kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota
juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. (Maria
Farida Indrati S., 2007: 33)
Apabila usul RUU atau usul pembentukan RUU diterima
dengan perbaikan, maka DPD menugaskan panitia perancang
undang-undang untuk membahas dan menyempurnakan usul RUUatau usul pembentukan RUU tersebut. Adapun usulan RUU
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
12/18
121ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
tersebut yang telah disetujui menjadi usul DPD, selanjutnya
diajukan kepada pimpinan DPR.
3. Pengajuan Rancangan Undang-Undang
Sebuah rancangan undang-undang bisa datang dari 3 pintu
yaitu Presiden, DPR dan DPD. Dalam mengusulkan sebuah RUU
ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada program
legislasi nasional.
a. Pengajuan oleh Presiden
RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada
pimpinan DPR dengan mengirimkan Surat Presiden yang disiapkan
oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Pimpinan DPR disertai
dengan Keterangan Pemerintah mengenai RUU yang dimaksud.
Surat Presiden tersebut setidaknya memuat (1) Menteri yang
ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR,
(2) Sifat penyelesaiaan RUU yang dikehendaki, dan (3) carapenangangan atau pembahasan.
Keterangan pemerintah yang menyertai Surat Presiden
disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat materi : (1)
urgensi dan tujuan penyusunan, (2) sasaran yang ingin diwujudkan,
(3) pokok fikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur, (4)
jangkauan serta arah pengaturan. (Maria Farida Indrati S., 2007:
17). Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi
rancangan undang-undang.
b.
Pengajuan oleh DPD
DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan denganotonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan antar pusat dan daerah. Untuk
pengajuan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada
ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada
naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup
menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Setelah pimpinan
DPR menerima RUU usulan DPD kemudian memberitahukan
kepada anggota DPR pada rapat paripurna DPR berikutnya.
Kemudian DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepadapimpinan DPD yang isinya mengenai tanggal diumumkannya RUU
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
13/18
122 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
usulan DPD kepada anggota DPR dalam rapat paripurna (Pasal 132
Tatib DPR). Selanjutnya Bamus, Komisi atau Baleg untuk
membahas RUU usulan DPD tersebut. Badan yang ditunjuk (Komisi
atau Baleg) akan mengundang anggota alat kelengkapan DPD
untuk membahas RUU yang menjadi usulan DPD tersebut.
(Sirajudin dkk., 2007: 112)
c. Pengajuan oleh DPR
Pengajuan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu:
1) Badan Legislasi
2) Komisi
3) Gabungan Komisi
4) Sekurang-kurangnya 13 orang anggota DPR. (Maria Farida
Indrati S., 2007:24)
Usul RUU yang diajukan Baleg, Komisi, Gabungan Komisi
ataupun anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan
keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapatparipurna selanjutnya pimpinan sidang akan mengumumkan
kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU
tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan
memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima
sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diterima atau tidaknya
RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk
memberikan pendapat.
Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat
berupa : (1) persetujuan tanpa perubahan, (2) persetujuan dengan
perubahan, (3) penolakan. Apabila usul RUU disetujui denganperubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg
ataupun panitia khusus untuk menyempurnakan RUU tersebut.
Apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah
selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg maupun Panitia Khusus
maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan
DPD (RUU yang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD).
Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya
dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya
surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan
yang akan mewakili dalam proses pembahasan.
4. Pembahasan RUU
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
14/18
123ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
Perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 tersebut mengakibatkan adanya perubahan dalam
pembentukan undang-undang, oleh karena dari rumusan kedua
pasal tersebut presiden hanya berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR, sedangkan kekuasaan membentuk
undang-undang merupakan wewenang dari DPR.
Walaupun rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 menyiratkan bahwa kekuasaan membentuk
UU merupakan wewenang DPR, namun ketentuan dalam Pasal 20
ayat (2) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 memudarkan wewenang
tersebut. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 suatu
RUU harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden,
selain itu Pasal 20 ayat (4) merumuskan bahwa presiden
mempunyai wewenang untuk mengesahkan RUU yang telah
disetujui bersama menjadi UU (Maria Farida Indrati S., 2004: 3).
Pembahasan RUU terdiri atas 2 tingkat pembicaraan, tingkatI dalam rapat komisi, rapat baleg ataupun pansus. Sedangkan
pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan urutan sebagai
berikut: (1) pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi
dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini
bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU dari DPR
pembicaraan tingkat I didahului dengan pandangan dan pendapat
presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU
berhubungan dengan kewenangan DPD. (2) Tanggapan presiden
atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapanDPR atas pandangan presiden, (3) Pembahasan RUU oleh DPR dan
Presiden berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM).
Dalam pembicaraan tingkat I dapat juga dilakukan: (1) rapat
dengar pendapat umum, (2) mengundang pimpinan lembaga
negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan
lembaga negara lain, (3) diadakan rapat intern.
Pembicaraan tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam
rapat paripurna yang didahului oleh: (1) laporan hasil pembicaraan
tingkat I, (2) pendapat akhir fraksi, (3) pendapat akhir presiden
yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpres Nomor
68 Tahun 2005, mengatur bahwa pendapat akhir pemerintahdalam pembahasan RUU ke DPR disampaikan oleh menteri yang
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
15/18
124 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada
presiden (Maria Farida Indrati S., 2007: 40-41).
Selama pembahasan RUU di DPR menteri yang mewakili
presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang
dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan
arahan. Apabila teradapat masalah yang bersifat prinsipil arah
pembahasannya akan mengubah isi serta arahan RUU, maka
menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu
melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan
untuk memperoleh keputusan.
Menteri yang ditugasi membahas rancangan undang-undang
di DPR segera melaporkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui dalam rapat paripurna, maka rancangan undang-undang
akan dikirimkan kepada sekretaris negara untuk ditanda tangani
oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan. Tetapi bila
rancangan undang-undang tersebut tidak mendapatkanpersetujuan bersama presiden dan DPR maka rancangan undang-
undang tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang
yang sama (Maria Farida Indrati S., 2007: 42).
5. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Sistem Legislasi
antara DPR, DPD, dan Presiden
Dalam rangka mendudukkan fungsi legislasi DPD sesuai UUD
NRI Tahun 1945, pada tanggal 08 Oktober 2012 DPD telah
menyampaikan permohonan pengujian undang-undang atas UU
tentang MPR, DPD, DPR, DPRD dan UU tentang pembentukanperaturan perundang-undangan terhadap UUD NRI Tahun 1945
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang diregister dalam nomor
perkara: 92/PUU-X/2012. Permohonan uji materi dimaksud
dilakukan untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti
bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara Presiden,
DPR, dan DPD. Pada Rabu tanggal 27 Maret 2013, MK memutus
dengan nomor putusan: 92/PPU-X/2012 dan dimuat dalam Berita
Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013.
Inti putusan MK adalah sebagai berikut :
a. DPD terlibat dalam pembuatan PROLEGNAS
b.
DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22Dayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana halnya atau
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
16/18
125ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam
pembentukan RUU pencabutan Peraturan Pemerintah
pengganti undang-undang.
c. DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal
22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
d.
Pembahasan undang-undang dalam konteks Paaal 22D ayat (2)
tersebut bersifat tiga pihak (Tripartit), yaitu DPR, DPD dan
Presiden.
e. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang
tentang MPR, DPD, DPR, DPRD dan undang-undang tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak
sesuai dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas kewenangan
DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945, baik yang diminta maupun tidak.
6.
Pembahasan RUU secara TripartitDPD sebagai lembaga negara mempunyai kewenangan yang
sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 telah jelas mengatur mengenai keikutsertaan DPD
bersama DPR dan Presiden dalam tiap tahapan pembahasan RUU
yang berkaitan dengan daerah. Frasa ikut membahas harus
dimaknai bahwa keterlibatan DPD dalam proses pembahasan RUUadalah bersama-sama dengan DPR dan Presiden.
Dalam proses pembahasan sebuah RUU baik RUU dari DPD
harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.
Terhadap RUU dari Presiden, presiden diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan
pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan
kesempatan memberikan penjelasan. Sedangkan Presiden dan DPD
memberikan pandangan. Dengan demikian pembahasan RUU yang
terkait dengan bidang tugas DPD harus melibatkan DPR, DPD, dan
Presiden secara kelembagaan sejak memulai pembahasan pada
tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR sampai dengan DPDmenyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
17/18
126 ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
paripurna DPR sebelum tahap persetujuan (Sekretaris Jendral DPD
RI, 2014: 40).
Konsekuensi dari konstruksi UUD NRI Tahun 1945 mengenai
pembahasan RUU antara presiden dan DPR serta DPD (dalam hal
terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga
DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini
bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan
oleh fraksi. Walaupun demikian MK dapat memahami
sebagaimana dituangkan dalam putusannya bahwa mekanisme
pembahasan RUU dengan membahas DIM yang diajukan oleh
fraksi adalah praktek pembahasan RUU sebelum perubahan UUD
NRI Tahun 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat alat
kelengkapan DPR yang sudah mengundang presiden dan atau
sudah mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan DIM
hanya diwakili oleh alat kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan
kelembagaan (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 41).
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebelum diterbitkannya Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, telah diatur lebih dahulu oleh
beberapa peraturan yang berbeda-beda. Antara lain Keputusan
Presiden maupuan Peraturan Tata Tertib DPR untuk peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat. Sedangkan untuk peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah berlaku beberapa
Keputusan Menteri Dalam Negeri.Dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, maka mekanisme
atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini
telah dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu serta
lebih baik. Apalagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi
terkait dengan sistem Tripartit, proses pembahasan rancangan
undang-undang oleh 3 lembaga negara yaitu DPR, DPD dan
Presiden secara penuh. Khusus DPD berhak membahas RUU
sepenuhnya dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun
1945.
-----
-
7/23/2019 Arg Juni 2015, Abd. Rahman a. Latif
18/18
127ARGUMENTUM,VOL. 14 No. 2, Juni 2015
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan Jaenal Abidin, 2006, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Erni Setyowati dkk., 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses
Legislasi, Pusat Studi dan Kebijakan Indonesia,
Jakarta.
Jonny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Bayu Media Publishing, Malang
Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses
dan Teknik Penyusunan, Kanisius, Yogyakarta.
-----------------------, 2004, Proses Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Pasca Amandemen UUD
1945, Makalah Seminar Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukumdan HAM dengan Fakultas Hukum UNAIR,
Surabaya 910 Juni 2004.
Moh. Mahfud MD., SF. Marbun, 2000, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Kanisius, Yogyakarta.
Sekretaris Jendral DPD RI, 2014, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan
Daerah Pasca Pustusan Mahkamah Konstitusi,
Sekjen DPR RI, Jakarta.
Sirajudin dkk, 2007, Legislatif Drafting Pelembagaan Metode
Partisipasi Dalam Pembentukan Perundang-
Undangan , In-Trans Publishing, Malang.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.