hukum waris patrilineal

Upload: carangki

Post on 19-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    1/12

    MAKALAH HUKUM WARIS ADAT

    SISTEM KEKERABATAN PATRILINEAL

    NAMA KELOMPOK:

    SELLA SEPTYA NURLAILI 114704222

    AULIA AYU ANGGIANTI 114704225

    SEPTIAN YOGY P 114704067

    AYU NUR FATIMAH 114704230

    IRNA RACHMAWATI 114704235

    NUR JANNATUN NAVIZ 114704244

    GHASSANI S 114704205

    HUKUM 2011-FIS

    UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    2/12

    PENDAHULUAN

    Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal

    pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris

    menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki

    karakter yang berbeda dengan yang lain.

    Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum

    pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat

    berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus

    dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan

    pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam

    hukum islam bias disebut sebagai hibah.

    Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan

    akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan

    kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem

    kewarisan tersebut.

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    3/12

    RUMUSAN MASALAH

    o Apa yang mendasari hukum waris adat dari system patrilineal?

    o Apa pengertian secara umum mengenai hukum waris adat?

    o Pemahaman tentang sifat hukum waris adat?

    o Bagaimana system keturunan pada hukum waris adat?

    o Apa yang di maksut dengan system keturunan?

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    4/12

    PEMBAHASAN

    A.

    Pengertian Hukum Waris Adat

    Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang

    bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan

    materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya

    atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:

    1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan

    membatasi pewarisan tanah.

    2. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap

    berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.

    3. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.

    4.

    Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan

    turut bentuk dan isi perkawinan.

    5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak,

    pemberian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila

    dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti

    luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan

    kepada generasi berikutnya.

    Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam

    hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris

    islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum

    waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa

    disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    5/12

    Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari

    bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum

    waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya

    dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

    Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat

    yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta

    warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan

    dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah

    hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini

    dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum

    waris adat.

    Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:

    1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang

    menjadi ahli waris.

    2. Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan

    dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.

    3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang

    dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.

    Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat

    dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

    a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,

    dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam

    pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    6/12

    b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,

    dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam

    pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).

    c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut

    garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita

    tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,

    Sulawesi dan lain-lain).

    Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak,

    maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal

    ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal

    mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT

    dan lain-lain.

    Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari

    jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang

    paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum

    warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada

    masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang

    menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal,

    tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.

    Menurut Sopemo hukum waris tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang

    mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari

    pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat

    berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

    Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah

    yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    7/12

    dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat

    sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris.

    Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris

    wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau

    penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.

    Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas

    Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya

    terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan

    masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan

    bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan

    kedamaian didalam hidup.

    Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan

    masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: Hukum

    waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan

    bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral,

    walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang

    sama.

    B. Sifat Hukum Waris Adat

    Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau

    hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak

    perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.

    Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang

    dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi

    menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh

    dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    8/12

    menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris

    barat.

    Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan

    penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang

    tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan,

    tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata

    alinea pertama yang berbunyi:

    Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan

    menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi

    Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak

    berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan

    untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan atau dijual oleh waris kepada orang

    lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak

    ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.

    Hukum waris adat tidak mengenal azas legitieme portie atau bagian mutlak

    sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas

    bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di

    dalam Al-Quran Surah An-Nisa.

    Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu

    menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea

    kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris

    mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat

    saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara

    bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    9/12

    C. Sistem Kewarisan

    Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia

    terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan

    kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang

    bersifat campuran.

    a. Sistem Kolektif

    Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif

    (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian

    disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh

    memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai,

    mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: ganggam bauntui).

    Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut

    harta pusaka, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah

    pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan

    digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang

    diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah kalakeran yang dikuasai oleh Tua

    Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan

    atas persetujuan anggota kerabat bersama.

    b. Sistem Mayorat

    Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua,

    yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak

    tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan

    wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut

    kewarisan mayorat. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    10/12

    dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut anak punyimbang sebagai mayorat pria.

    Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura.

    Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh

    anak wanita yang disebut tunggu tubing (penunggu harta) yang didampingi paying jurai,

    sebagai mayorat wanita.

    c. Sistem Individual

    Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan

    hak milik, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya

    atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian

    disebut kewarisan individual. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan

    masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur

    dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.

    Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris

    kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diprbolehkan

    untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada

    musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki

    oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang

    muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya

    saendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli

    waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    11/12

    PENUTUP

    Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa

    Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris

    adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan

    ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

    Dengan demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta

    peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya

    ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima

    bagiannya.

    Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat

    dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut

    jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual

    sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut

    ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.

  • 7/23/2019 Hukum Waris Patrilineal

    12/12

    DAFTAR PUSAKA

    Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981

    Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993

    Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar

    Maju, 2003

    Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983