laporan akhir tim investigasi independen tambang sape-lambu

26
LAPORAN TIM INVESTIGASI INDEPENDEN KASUS SAPE LAMBU KABUPATEN BIMA-NTB ANGGOTA TIM: 1. MUJAHID A.LATIEF, S.H.,M.H. 2. ISKANDAR, S.E. 3. FIRDAUS DJUWAID, S.H.,M.H. 4. SIDRATAHTA MUKHTAR, M.Si 5. RAIHAN ANWAR, M.Si 6. Dr. HERMAWAN SAPUTRA 7. HUSNI MALIK, S.H.,M.M. 8. THAMRIN, S.H. 9. SUHARDIN, S.H. 10. SAMUDRA PUTRA, S.E. 11. ARIFUDDIN HAMID Alamat: Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat Tlp/Fax (021) 3100779

Upload: arifuddinhamid

Post on 19-Oct-2015

196 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Tulisan ini merupakan laporan akhir investigasi independen yang dilakukan oleh sekelompok intelektual Bima yang berada di Jakarta. Investigasi dimaksudkan sebagai suatu penelitian guna pe ngungkapan data dan fakta tentang Pertambangan di Kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu Kabupaten Bima. Tim investigasi ini bertujuan untuk: (a) mengetahui proses lahirnya SK 188; (b) mengetahui tuntutan masyarakat dan alasan-alasannya; (c) mengetahui peristiwa kekerasan terhadap demonstran pada tanggal 24 desember 2011.

TRANSCRIPT

  • LAPORAN

    TIM INVESTIGASI INDEPENDEN

    KASUS SAPE LAMBU KABUPATEN BIMA-NTB

    ANGGOTA TIM:

    1. MUJAHID A.LATIEF, S.H.,M.H.

    2. ISKANDAR, S.E.

    3. FIRDAUS DJUWAID, S.H.,M.H.

    4. SIDRATAHTA MUKHTAR, M.Si

    5. RAIHAN ANWAR, M.Si

    6. Dr. HERMAWAN SAPUTRA

    7. HUSNI MALIK, S.H.,M.M.

    8. THAMRIN, S.H.

    9. SUHARDIN, S.H.

    10. SAMUDRA PUTRA, S.E.

    11. ARIFUDDIN HAMID

    Alamat: Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat Tlp/Fax (021) 3100779

  • DAFTAR ISI

    1. LATAR BELAKANG 1

    2. MAKSUD DAN TUJUAN 2

    3. RUANG LINGKUP INVESTIGASI 2

    4. METODE INVESTIGASI 2

    5. TIM INVESTIGASI 2

    6. PROSES INVESTIGASI 3

    7. TERKAIT IZIN USAHA PERTAMBANGAN 3

    8. PENCABUTAN SK BUPATI BIMA NO. 188.45/357/004/2010 11

    9. KLAUSULA-KLAUSULA DALAM SK 188 13

    10. KETIADAAN PARTISIPASI MASYARAKAT 14

    11. PENDUKUNG DAN PENOLAK TAMBANG 15

    12. PERISTIWA DAN DAMPAK KEKERASAN 24 DESEMBER 2011

    DI PELABUHAN SAPE BIMA-NTB 17

    13. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 22

  • 1

    LAPORAN TIM INVESTIGASI INDEPENDEN

    KASUS SAPE LAMBU KABUPATEN BIMA - NTB

    I. Latar Belakang

    Investigasi ini dilakukan berawal dari peristiwa 24 Desember 2011 di Pelabuhan Sape

    Bima NTB. Peristiwa tersebut menimbulkan beragam reaksi masyarakat yang pada pokoknya

    menyesalkan dan mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian

    terhadap masa demonstran. Masyarakat Bima di Jakarta juga melakukan beragam reaksi

    dalam bentuk aksi demonstrasi, diskusi, konferensi pers, dan lainnya untuk mengecam

    penembakan tersebut. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah seminar dan konferensi

    pers yang diinisiasi Persatuan Mahasiswa NTB di Jakarta, sebagai pembicara dan peserta

    umumnya adalah masyarakat Bima yang tinggal di Jakarta. Selain mengutuk keras tindakan

    aparat kepolisian yang melakukan penembakan terhadap massa demonstran, forum tersebut

    juga merekomendasikan pembentukan tim investigasi independen yang keanggotaannya

    berasal dari masyarakat Bima Jakarta. Tim ini selanjutnya dinamakan Tim Investigasi

    Independen Kasus Sape Lambu Bima - NTB. Tim memfokuskan investigasinya pada dua

    hal, yakni; pertama terkait Keputusan Bupati Bima Nomor 188.45/357/004/2010 Tentang

    Persetujuan Penyesuaian Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Sumber Mineral

    Nusantara (selanjutnya disebut SK 188) dan kedua, peristiwa kekerasan tanggal 24

    Desember di Pelabuhan Sape Bima NTB.

    Dalam melakukan investigasi, tim memfokuskan pada keabsahan prosedural dan

    teknis pembuatan SK 188 dan penembakan di pelabuhan Sape dan sekitarnya. Terkait SK

    188, investigasi dilakukan dengan mengkaji Peraturan Perundang-undangan yang

    berhubungan dengan pertanyaan pokok apakah SK tersebut telah melewati serangkaian

    prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan?. Apakah Proses pembuatan

    SK tersebut telah melibatkan masyarakat? Apakah PT. Sumber Mineral Nusantara telah

    memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku?

    Selanjutnya terkait penembakan oleh Kepolisian terhadap demonstran pada tanggal 24

    Desember 2011, Tim memfokuskan dugaan pelanggaran prosedur tetap, peraturan disiplin

    dan peraturan terakit lainnya. Laporan ini sebagai pertanggungjawaban tim kepada publik,

    baik terkait persoalan hulu (proses lahirnya SK 188) dan persoalan hilir (penembakan tanggal

    24 desember 2011).

  • 2

    II. Maksud dan Tujuan

    Investigasi dimaksudkan sebagai suatu penelitian guna pengungkapan data dan fakta tentang

    Pertambangan di Kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu Kabupaten Bima. Tim investigasi

    ini bertujuan untuk: (a) mengetahui proses lahirnya SK 188; (b) mengetahui tuntutan

    masyarakat dan alasan-alasannya; (c) mengetahui peristiwa kekerasan terhadap demonstran

    pada tanggal 24 desember 2011.

    III. Ruang Lingkup Investigasi

    Investigasi meliputi dua hal, yakni: (1). Terkait proses lahirnya SK 188; dan (2). Terkait

    peristiwa kekerasan pada tanggal 24 Desember 2011 di Pelabuhan Sape Bima NTB.

    IV. Metode Investigasi

    Sebagai langkah awal, tim terlebih dahulu mengkaji dan menganalisis berbagai peraturan

    perundang-undangan antara lain peraturan tentang pertambangan, kehutanan dan

    Pemerintahan Daerah. Untuk mendapatkan informasi langsung dari narasumber, tim

    melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap berbagai pihak, yakni a)

    masyarakat (baik yang menolak maupun yang mendukung tambang), b) pelaku aksi

    demonstrasi, c) Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima, d) Pimpinan

    DPRD Kabupaten Bima, e) Front Rakyat Anti Tambang (FRAT). Laporan ini tidak akan

    menyajikan secara detail perincian kegiatan, namun dapat dikatakan bahwa seluruh proses

    investigasi menggunakan pendekatan ilmiah.

    V. Tim Investigasi

    Penasehat:

    1. Drs. Harul Al Rasyid, M.Si.

    2. dr HM. Sanusi

    3. Drs. H.M. Hatta Taliwang.

    4. Dr. Lukman Malanuang

  • 3

    Tim investigasi terdiri dari:

    Ketua : Mujahid A. Latief, S.H., M.H.

    Sekretaris : Iskandar, S.E.

    Anggota :

    1. Sidratahta Mukhtar, SS., M.Si

    2. Raihan Anwar, SE., M.Si

    3. DR. Hermawan Saputra

    4. Firdaus Djuwaid, S.H., M.H.

    5. Husni Malik, S.H., M.M.

    6. Thamrin, S.H.

    7. Suhardin S.H.

    8. Arifuddin Hamid

    9. Samudera Putra, S.E.

    VI. Proses Investigasi

    Dalam proses investigasi, tim melakukan pengumpulan data selama sembilan hari,

    terhitung sejak tanggal 7 Januari 2012 sampai dengan 16 Januari 2012. Selama di Bima, tim

    melakukan wawancara dan pengamatan mendalam terhadap responden, meliputi;

    a) masyarakat (menolak dan mendukung),

    b) pelaku aksi demonstrasi,

    c) Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima,

    d) Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, dan

    e) Front Rakyat Anti Tambang.

    VII. Terkait Izin Usaha Pertambangan

    a. Kilas Balik Lahirnya SK 188, dasar konstitusi dan filosofis hak menguasai negara

    terhadap sumber daya mineral

    Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur hak penguasaan negara

    atas tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 33 ayat (3)

  • 4

    menentukan Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

    negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna yang

    terkandung dalam Pasal 33 mengandung dua aspek utama yaitu : Pertama, Hak

    Penguasaan Negara atas Bumi Air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

    Menurut Boedi Harsono1 makna hak penguasaan negara yang terkandung dalam Pasal 33

    mengandung tiga makna, yaitu;

    a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan objek

    kepemilikan;

    b) menentukan dan mengatur hubungan antara orang dengan objek kepemilikan;

    dan

    c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan

    perbuatan hukum atas objek kepemilikan.

    Abrar Saleng dalam Bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan mengatakan bahwa Hak

    Penguasaan Negara atas Bumi dan Kekayaaan yang terkandung didalamnya harus dimaknai

    dalam konteks pemahaman hubungan hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domain)

    yang bersifat publikrecht dalam artian bahwa negara sebagai pemilik sumber daya alam yang

    dimiliki masyarakat keseluruhan bukan dalam konteks hak milik eigenaar yang bersifat

    privaterechlijk.2 Hal ini berarti bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur,

    merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan

    sumber daya alam nasional.

    Negara dalam konteks hak penguasaan negara kemudian diwujudkan oleh penguasaan

    pemerintah dalam mengatur pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam

    nasional. Negaralah yang kemudian memiliki kewenangan untuk memberikan ijin kepada

    perusahaan swasta untuk mengelola sumber daya mineral yang dimilikinya. Ijin pengelolaan

    negara kemudian dilimpahkan kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi sampai

    pemerintah kabupaten dan Kota.

    Kedua, Sumber daya alam tersebut dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

    rakyat. Walaupun negara diberikan hak untuk menguasai sumber daya alam, namun hak

    1 Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria (cet.3) Djambatan, Djakarta, 1973, hlm. 28

    2 Abrar saleng, Hukum Pertambangan, UII Press,Jogjakarta, hlm. 33

  • 5

    penguasaan negara itu dihajatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak

    penguasaan negara merupakan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Menurut

    Bagir manan Hak penguaasaan Negara yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

    merupakan instrument, sedangkan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat merupakan

    tujuan dari penguasaan negara.3

    Dalam perspektif hukum makna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

    merupakan jaminan konstitusional atas hak masyarakat untuk menikmati dan mendapatkan

    manfaat atas sumber daya alam yang mereka miliki, sehingga masyarakat dapat hidup layak

    dan makmur. Dalam Konteks Hak Penguasaan Negara atas sumber daya pertambangan

    makna penguasaan negara diartikan sebagai keterlibatan rakyat secara hukum dalam

    pengusahaan dan menikmati pemanfaatan segala potensi pertambangan yang ada di

    wilayahnya.4

    Di sisi lain pemaknaan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus juga ditafsirkan bahwa masyarakat

    sebagai pemilik sumber daya alam dapat menolak hak menguasai negara untuk mengelola

    sumber daya alam di wilayahnya jika menurut masyarakat bahwa pengelolaan oleh negara

    melalui perusahaan swasta yang mendapatkan ijin dari pemerintah, pengelolaan tersebut

    akan merusak lingkungan dan ekosistemnya, apalagi jika berakibat pada hilangnya eksistensi

    dan keberlangsungan hidup masyarakat di areal atau sekitar lokasi tambang tersebut.

    Masyarakat berhak menolak hak menguasai negara dengan alasan-alasan lingkungan hidup,

    ekologi dan sosial lainnya. Dalam tafsiran yang modern Pasal 33 ayat (3) tidak saja dimaknai

    bahwa pengelolaan sumber daya alam itu merupakan hak negara yang harus dilaksanakan

    dan diterima secara taken for granted oleh masyarakat, namun harus dimaknai bahwa rakyat

    sebagai pemilik sah sumber daya alam dapat menolak pengelolaan sumber daya alam jika

    pengelolaan itu mendatangkan atau berakibat buruk bagi kehidupan rakyat.

    3 Bagir Manan, Bagir Manan, Beberapa catatan atas RUU tentang Minyak dan gas Bumi, FH-UNPAD, Bandung,

    1999. Hlm,.2 4 Abrar saleng, op.cit

  • 6

    b. Perjalanan Pengaturan Pertambangan Di Indonesia

    Era Penjajahan Belanda dan Jepang

    Secara historis pengaturan pertambangan di Indonesia telah dilakukan sejak zaman

    penjajahan Belanda. Pada era kolonial (Belanda), masalah pertambangan diatur dalam

    sebuah Peraturan Pertambangan (mijnreglement). Peraturan ini memberikan hak konsesi

    penambangan kepada warga negara Belanda. Pada masa Belanda pertambangan dilakukan

    oleh dua entitas yaitu negara ataupun swasta. Berdasarkan pasal 5a Indishe Mijnwet tahun

    1910 memberikan kewenangan kepada pemerintah Belanda untuk melakukan penyelidikan

    dan eksploitasi pertambanngan sepanjang tidak bertentangan dengan konsesi yang diberikan

    kepada perusahaan swasta yang telah mendapatkan konsesi. Pada masa penjajahan Jepang

    dapat dikatakan bahwa pertambangan dikuasai oleh pemerintah Jepang.

    Era Kemerdekaan (Periode 1950-1966)

    Pengaturan pertambangan pada periode 1950-1966 ditandai dengan DPRS yang dipelopori

    Teuku Moh.Hassan dkk yang mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan

    pertambangan terkait pembentukan komisi negara urusan pertambangan dan menunda

    segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah

    habis waktunya selama menunggu hasil pekerjaan panitia urusan pertambangan negara.

    Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No.10 tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-hak

    pertambangan. Berdasarkan UU ini semua hak pertambangan yang terbit sebelum tahun

    1949 semuanya dibatalkan.

    Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan kembali Perpu yang kemudian menjadi UU

    Pertambangan tahun 1960. Pemerintah kemudian kembali mengeluarkan UU No.44 Prp

    Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Pertambangan

    tersebut memberikan ijin kepada pemerintah untuk menarik modal asing untuk

    mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan berdasarkan pola

    production sharing contract (PSC) dimana peminjaman modal dari investor asing oleh

    pemerintah yang akan dibayar dengan hasil produksi.

  • 7

    Periode 1967-2009

    Pada tahun 1967 pemerintah mengeluarkan UU No.11 tahun 1967 tentang ketentuan-

    ketentuan pokok pertambangan (UUPP) 1967. UU ini mengatur tentang hak penguasaan

    negara atas sumber daya alam berdasarkan pasal 33, penggolongan bahan-bahan

    galian,perusahaan pertambangan dapat dilakukan oleh negara atau daerah sedangkan

    perusahaan asing bertindak sebagai kontraktor dari negara, konsesi ditiadakan digantikan

    dengan kuasa pertambangan (KP) karena konsesi memberikan hak dan kewenangan yang

    kuat kepada pemegang konsesi karena dapat menjadi hak kebendaan.

    Periode 2009- sekarang

    Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba pengaturan

    tentang pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia diatur secara komprehensif.

    Berlakunya UU ini mencabut keberlakuan UU No.11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan

    pokok pertambangan. Hal terbaru dari UU ini adalah adanya pembagian kewenangan

    pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada tiga jenjang pemerintahan yaitu

    pemerintah pusat, Pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/Kota. Pembagian

    kewenangan tersebut didasarkan pada wilayah pertambangan yang menjadi kewenangan

    masaing-masing otoritas pemerintahan. Disamping itu, UU ini membuka kran liberalisasi

    sektor pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia. Bahkan UU ini memberikan

    kepemilikan saham mayoritas kepada Perusahaan asing.

    c. Surat Keputusan Bupati Bima No.188.45/357/004/2010 Tentang Pemberian Izin

    Usaha Pertambangan Kepada PTSumber Mineral Nusantara (SMN)

    Dasar Kewenangan Bupati

    1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam (termasuk tambang) kewenangan

    daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada pasal 17 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 yaitu

    kewenangan untuk :

    1) kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian

    dampak, budidaya, dan pelestarian;

  • 8

    2) bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya;

    dan

    3) penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.

    2. Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

    Batubara

    Pasca berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

    Mineral dan Batubara kewenangan untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan

    sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota. Wujud dari

    kewenangan kepada Bupati itu diformalkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati

    (beschiking) yang berkaitan dengan Ijin Usaha Pertambangan.

    Pasal 8 UU MInerba menyatakan bahwa, kewenangan pemerintah kabupaten/kota

    meliputi :

    a) pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

    b) pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

    pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah

    laut sampai dengan 4 (empat) mil;

    c) pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan

    pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada

    di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

    d) penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka

    memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;

    e) pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta

    informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;

    f) penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah

    kabupaten/kota;

    g) pengembangan dan pemberdayan masyarakat setempat dalam usaha

    pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; pengembangan

  • 9

    dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan

    secara optimal;

    h) penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian,

    serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;

    i) penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor

    kepada Menteri dan gubernur;

    j) pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan

    k) peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam

    penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

    Dalam kaitan SK NO.188.45/357/004/2010 yang didasarkan pada kewenangan yang

    diberikan oleh Pasal 8 UU Minerba. Namun Pemerintah Kabupaten Bima tidak mampu

    menjalankan kewenangannya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat

    dengan cara damai dan persuasif sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 8 huruf a dan

    b. Seharusnya pemerintah kabupaten Bima menggunakan kewenangan itu untuk

    menyelesaikan masalah yang terjadi di masayarakat Sape Lambu sebagai bentuk penolakan

    terhadap kegiatan ekslplorasi yang dilakukan oleh PT SMN. Dalam kasus ini, Bupati lebih

    mengedepankan kewenangan untuk memberikan ijin tanpa memperhatikan penolakan

    masyarakat. Sehingga SK NO.188.45/357/004/2010 memiliki dasar yang kuat untuk dicabut

    karena Bupati lalai dalam menjalankan kewenanganya yang diberikan Undang-undang.

    UU No. 22 tahun 1999 sebagaimana telah diamandemen dengan UU No. 32

    Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah

    Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mengelola sumber daya alam. UU No. 4 tahun 2009

    menganut rezim izin dan memberikan kewenangan kepada bupati/walikota, gubernur dan

    Menteri, tergantung dari wilayahnya.

    PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan

    Batubara, Pasal 112 mengamanatkan bahwa Kuasa Pertambangan harus disesuaikan

    menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) selambatnya tanggal 1 Mei 2010. Bupati Bima telah

    mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bima No. 188.45/357/004/2010 tentang

    Persetujuan Penyesuaian Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Sumber Mineral

    Nusantara (SMN) tanggal 28 April 2010, dari segi waktu dikeluarkan telah memenuhi syarat

    sesuai PP No. 32/2010. SK ini memberikan izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT

  • 10

    SMN untuk melakukan eksplorasi di Kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu dengan total

    luas 24.980 Ha. IUP sejatinya baru bisa dilaksanakan eksplorasi kalau sudah dinyatakan

    clean and clear (CNC), indikatornya adalah bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak

    bermasalah secara administrasi dan tidak ada tumpang tindih.

    Suatu IUP dinyatakan non CNC jika memenuhi hal-hal sebagai berikut (1) IUP terbit

    setelah 30 April 2010; (2) tumpang tindih sama komoditi; (3) tumpang tindih beda komoditi; (4)

    tumpang tindih lintas kewenangan (5) dokumen pendukung tidak lengkap; (6) koordinat tidak

    sesuai dengan SK; (7) KP yang belum menyesuaikan menjadi IUP (T. Riefky Harsa:2011).

    Bagaimana halnya dengan SK 188? Saat terjadinya peristiwa kekerasan pada 24

    Desember 2012 di Pelabuhan Sape Bima NTB, status perusahaan pemegang Izin Usaha

    Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) merujuk Dirjen Minerba

    Kementerian Sumberdaya Mineral adalah non clear and clean artinya masih terdapat

    tumpang tindih wilayah eksplorasi perusahaan tersebut dengan komoditi yang sama dan atau

    komoditi lainya, koordinat tidak sesuai dengan SK, administrasi tidak lengkap dan belum

    mempunyai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

    Selain itu, pihak Pemerintah Daerah dan Perusahaan tidak melakukan sosialisasi yang

    cukup kepada masyarakat sebagaimana dipersyaratkan dalam regulasi AMDAL tentang

    aktifitas perusahaan pada masa eksplorasi mencakup berbagai rencana perusahaan

    sehingga muncul kekuatiran dari masyarakat tentang dampak buruk pertambangan

    dikemudian hari baik dari sisi lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat

    berkeyakinan bahwa ketika perusahaan pertambangan mulai beroperasi mereka akan

    kehilangan mata pencaharian tradisionalnya yang telah mereka usahakan puluhan tahun

    termasuk akan dipindahlan secara paksa oleh pihak perusahaan.

    Bupati Kabupaten Bima lambat merespon tuntutan masyarakat untuk mencabut SK

    188.45/357/004/2010 meskipun telah jatuh korban nyawa dan harta, patut diduga didalam

    tubuh Pemkab Bima telah tumbuh dengan subur perilaku pejabat pemburu rente (rent seeker

    behavior) baik di eksekutif maupun legislatif sehingga pemerintah yang semula diharapkan

    sebagai institusi yang dapat memberikan keuntungan (benevolent institution) berubah

    menjadi institusi pemangsa (predatory institution). Pemkab Kabupaten Bima tidak

    mempunyai cukup kapasitas dan kapabilitas untuk mengelola sumberdaya mineral karena

    belum mempunyai inspektur tambang, Komisi Penilai AMDAL Kabupaten yang kredibel,

  • 11

    Perda Penataan Ruang yang baik serta sumberdaya manusia yang mumpuni. Hal ini sejalan

    dengan yang dikatakan Stiglitzh jika pemerintah belum mempunyai manageman yang baik

    untuk mengelola pertambangan maka perut bumi adalah tempat yang paling aman untuk

    menyimpan sumberdaya mineral.

    3. UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan

    Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

    menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum atau

    eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.

    Pelanggaran terhadap Pasal ini menurut Pasal 78 ayat (2) diancam dengan pidana penjara

    paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar

    rupiah).

    Dalam Ijin Usaha Pertambangan yang diberikan Bupati Bima seluas 24.890 Ha meliputi pula

    kawasan Hutan Doromasa, kawasan Hutan Maria dan Kawasan Hutan Pamali. Ketiga

    kawasan Hutan tersebut menurut Dinas Pertambangan NTB masuk dalam Kawasa hutan

    Lindung.

    Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT SMN sudah pada tahap eksplorasi. Sesuai

    UU Pasal 50 ayat (3) di atas PT SMN wajib memiliki ijin dari menteri Kehutanan berupa Ijin

    Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Namun hingga saat ini PT SMN belum memiliki ijin dari

    Menteri Kehutanan. Dengan demikian jika mengikuti konstruksi ketentuan pidana yang

    terdapat dalam pasal 78 ayat (2) Undang-undang Kehutanan di atas, maka PT SMN dapat

    diminta pertanggungjawaban pidana baik kepada pengurus perusahaan maupun kepada PT

    SMN sebagai Badan Hukum.

    VIII. Pencabutan SK Bupati Bima NO.188.45/357/004/2010

    Undang-undang Minerba menentukan bahwa sistem penghentian kegiatan usaha tambang

    dalam dua macam yaitu : pencabutan ijin sementara dan pencabutan ijin permanen.

    1. Pencabutan usaha sementara jika memenuhi persyaratan :

  • 12

    a) keadaan kahar, yaitu Yang dimaksud keadaan kahar (force majeur) dalam ayat

    ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi,

    banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia.

    b) keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau

    seluruh kegiatan usaha pertambangan.

    Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat ini, antara lain,

    blockade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar kesalahan

    pemegang IUP atau IUPK dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan

    oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang

    sedang berjalan.

    c) apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat

    menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau

    batubara yang dilakukan di wilayahnya.

    2. Pencabutan IUP Permanen

    SK 188 adalah izin penyesuaian yang dikeluarkan Bupati Bima kepada pemegang izin

    usaha pertambangan atas izin eksplorasi pada tahun 2008. SK 188 diberikan kepada PT.

    SMN guna melakukan eksplorasi di wilayah pertambangan yang meliputi areal sebesar

    24.980 Ha, yang tersebar di wilayah kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu. Disebabkan

    adanya perubahan undang-undang dengan disyahkannya UU NO. 4 Tahun 2009 tentang

    Mineral dan Batubara, Kuasa Pertambangan yang diberikan kepada PT SMN selanjutnya

    dilakukan penyesuaian izin.

    Dalam UU No. 4/ 2009, izin usaha pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap, yakni IUP

    eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan, dan

    IUP operasi produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan

    pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

    Pasal 119 UU Minerba memberikan kewenangan Kepada Bupati untuk mencabut SK

    Pemberian Ijin Usaha Pertambangan yang telah dikeluarkannya dengan alasan sebagai

    berikut secara permanen, jika :

  • 13

    1) pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam

    IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan;

    2) pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

    dalam Undang-Undang ini;

    3) pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

    Menurut pernyataan Bupati Bima yang telah diberitakan di berbagai media massa bahwa ia

    tidak berani mencabut SK No.188.45/357/004/2010 karena ada kekhawatiran Bupati

    melanggar hukum jika Ijin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh Bupati dicabut.

    Padahal jika merujuk ketentuan Pasal 119 UU Minerba Bupati memiliki dasar hukum yang

    kuat untuk mencabut SK NO.188.45/357/004/2010 tersebut. Pertama, PT.SMN tidak

    memenuhi kewajiban dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.

    Sebagaimana disampaikan di atas bahwa sampai saat ini PT.SMN belum mendapatkan ijin

    Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagaimana yang diwajibkan UU Kehutanan. Dugaan

    pelanggaran hukum pidana sebagaimana yang diancam dalam Pasal 78 UU Kehutanan

    cukup dijadikan dasar bagi Bupati Bima untuk mencabut SK NO.188.45/357/004/2010.

    Alasan lain yang cukup kuat adalah penolakan masyarakat yang begitu besar dan jika

    dipaksakan akan menimbulkan konflik sosial dan politik, baik vertikal maupun horizontal yang

    kian rumit dan berkepanjangan.

    Dari perspektif hukum tuntutan masyarakat Sape, Lambu, dan Langgudu yang menuntut

    pencabutan SK NO.188.45/357/004/2010 memiliki landasan hukum yang kuat. Pasal 119 UU

    Minerba membuka peluang hukum bagi Bupati untuk mencabut SK NO.188.45/357/004/2010

    dengan dasar ada dugaan tindak pidana yang dilakukan PT.SMN karena melakukan

    eksplorasi hutan lindung tanpa mendapatkan ijin Menteri kehutanan.

    IX) Klausula-klausula dalam SK 188

    Keputusan Bupati Bima Nomor: 188.45/357/004/2010 tanggal 28 April 2010 tentang

    penyesuaian Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi kepada PT. Sumber Mineral

    Nusantara bukan pemberian ijin baru melainkan penyesuaian terhadap ijin yang lama yaitu

    Kuasa Pertambangan Nomor: 621 Tahun 2008, tanggal 22 Mei 2008 sebagaimana yang

  • 14

    diamanatkan peraturan pemerintah No. 23 Tahun 2010. Ijin Usaha Pertambangan (IUP)

    adalah ijin untuk melakukan eksplorasi dengan jenis kegiatan: Penyelidikan Umum, Kegiatan

    Ekplorasi yang meliputi: Pengambilan sampel, Pengambilan contoh air dan membuat

    pemetaan geologi. Dalam SK 188, terdapat beberapa klausul yang perlu ditilik secara cermat,

    yakni:

    1. SK 188 berisi ketentuan persetujuan penyesuaian izin usaha pertambangan eksplorasi

    kepada PT. SMN.

    2. Dalam judul SK, tidak tercantum SK sebelumnya yang kemudian mendapat

    penyesuaian izin.

    3. Dalam poin mengingat, tidak terdapat ketentuan Perda Kabupaten Bima tentang

    pertambangan, dan atau Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

    4. Komoditas pertambangan berupa emas dan mineral pengikut, dengan luas areal

    eksplorasi sebesar 24. 980 Ha meliputi kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu.

    5. PT. SMN selaku pemegang IUP eksplorasi mempunyai hak untuk melakukan kegiatan

    eksplorasi, dan studi kelayakan dalam WIUP untuk jangka waktu lima tahun, terhitung

    mulai tanggal ditetapkannya keputusan sampai tanggal 1 Mei 2015.

    6. Jangka waktu IUP eksplorasi meliputi tahap eksplorasi selama empat tahun, dan studi

    kelayakan selama satu tahun.

    X. Ketiadaan Partisipasi Masyarakat

    Kebijakan yang baik yang memenuhi prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan

    bersih (good governance and clean government) adalah kebijakan yang memenuhi prinsip

    transparansi, keadilan, partisipatif, dan akuntabel. SKK 188.45/357/004/2010 dibuat tidak

    berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, masyarakat tidak mengetahui proses kelahiran SK

    tersebut, setelah SK lahir baru disosialisasikan dan itupun hanya untuk kalangan terbatas.,

    Peserta sosialisasi yang diundang adalah aparat desa dan tokoh masyarakat, tokoh

    masyarakat yang diundang adalah tokoh pilihan aparat desa, dalam sosialisasi tersebut

    dihadiri oleh semua kepala desa dan hanya dua desa yang mengatakan penolakan terhadap

    IUP sementara 10 lainnya menrima kebijakan pemerintah berupa SK 188.

    Berdasarkan keterangan Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, mereka baru mengetahui

    adanya SK 188 tiga hari sebelum kejadian pembakaran kantor camat Lambu 10 Pebruari

  • 15

    2011.5 Sedangkan SK 188 dikeluarkan tanggal 28 April 2010. DPRD baru mengetahui tiga

    hari sebelum terjadinya peristiwa pembakaran kantor Camat Lambu 10 Pebruari 2011, artinya

    DPRD selaku lembaga yang bertugas menyuarakan aspirasi masyarakat baru mengetahui

    adanya SK yang kontroversial tersebut hampir satu tahun sejak dikeluarkan. Masyarakat juga

    mengalami hal yang hampir serupa, masyarakat sama sekali tidak diajak membicarakan

    tentang rencana pemberian izin usaha pertambangan kepada PT SMN. Namun, sejak

    dilakukan sosialisasi yang dinilai masyarakat tidak representatif tersebut, Masyarakat telah

    melakukan berbagai upaya pendekatan kepada Pemerintah daerah agar mencabut SK 188

    tetapi tidak membuahkan hasil, hingga terjadi aksi protes warga yang berakhir dengan

    pembakaran Kantor Camat Lambu 10 Pebruari 2011.

    Selain masalah ketiadaan partisipasi dan sosialisasi yang tidak memadai, izin usaha

    yang diberikan juga cacat secara administratif. Pemerintah Kabupaten Bima belum memiliki

    kapasitas memberikan izin usaha pertambangan disebabkan beberapa hal, yakni; ( a) belum

    memiliki inspektur tambang; (b) belum memeliki tim penilai AMDAL yang terstandardisasi dan

    kompeten; (c) belum memiliki SDM (di lingkungan dinas pertambangan dan energi) yang

    kredibel dalam hal tambang.

    XI. Pendukung dan Penolak Tambang

    Kehadiran PT. SMN yang mendapat IUP dari Bupati Bima di wilayah Kecamatan Lambu,

    Sape dan Langgudu menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat, reaksi ini

    diimplementasikan dalam pelbagai bentuk, pendukung tambang walau jumlahnya sedikit

    memandang perlu mendukung kebijakan Pemerintah, sementara disisi lain tegas menolak.

    Berikut adalah sekilas alasan dibalik sikap masing-masing pihak:

    a. Alasan Mendukung Tambang6

    Meskipun tidak dilakukan survey atau jajak pendapat terhadap seluruh masyarakat,

    Sape, Lambu dan Langgudu namun dengan menggunakan tolok ukur aksi massa

    demonstrasi dan menanyakan langsung secara acak kepada masyarakat dapat disimpulkan

    bahwa Jumlah masyarakat pendukung tambang tidak banyak bahkan dapat dikatakan

    5 Wawancara dengan Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, 10 Januari 2011

    6 Wawancara dilakukan dengan masyarakat pendukung tambang di Bima, 16 Januari 2011.

  • 16

    sangat sedikit. Pendukung tambang yang jumlahnya sangat sedikit mengatakan pada

    awalnya mereka tidak paham proses tambang, mereka hanya mengetahui adanya SK

    188.45/357/004/2010. Dukungan mereka hanya sebatas pada SK 188 yang memberikan izin

    eksplorasi dan tidak untuk tahap selanjutnya yaitu eksploitasi. Penerimaan atau dukungan

    untuk melaksanakan penelitian dan penyelidikan umum, mereka berpendapat kalau ada

    kelanjutan akan dibahas lagi. Sebagian dari kelompok ini adalah adalah jasa konsultan

    Humas yang tidak terikat perusahaan, kapasitasnya memediasi apa yang dinginkan oleh

    masyarakat dan apa yang diinginkan oleh perusahaan.

    Bagi mereka pendukung tambang melihat permasalahan Lambu bukan hanya

    persoalan tambang tapi juga persoalan politik. Tokoh-tokoh yang saat ini tampak kelihatannya

    menolak tambang pada dasarnya bukan sepenuhnya menolak tambang akan tetapi mereka

    punya agenda lain, misalnya ada yang menawarkan perusahaan tambang yang lebih

    bonafit.ada juga yang mengusulkan tambang koperasi, ada juga dugaan penolak tambang

    karena kalah tender. Dasar mereka mendukung kebijakan Pemerintah khususnya SK Bupati

    Bima karena hidup di NKRI jadi tidak mau berbeda. Selain memandang bahwa SKK 188

    tidak melihat kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat. Hanya itulah pikiran yang

    menjadi dasar dukungan kepada SK 188. Sementara sebagian pihak yang diindikasikan

    pendukung tambang pada dasarnya tidak demikian, kelompok ini pada posisi yang tidak

    memungkinkan untuk menolak secara tegas dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan

    protes oleh masyarakat, dan pada saat yang sama tidak menunjukkan sikap yang menolak.

    Kelompok ini secara formal bersikap netral namun pada dasarnya juga menolak tambang.

    b. Alasan Menolak Tambang7

    Masyarakat menolak tambang memiliki beragam argumentasi dan alasan. Alasan dan

    argumentasi yang dikemukakan sangat terkait dengan tingkat pemahaman, pengetahuan,

    strata pendidikan masyarakat. Ada sebagian yang menjelaskan secara sangat rinci

    penolakan terhadap tambang, antara lain alasan yang dikemukakan adalah tambang akan

    mendatangkan malapetaka bagi masyarakat karena akan menghancurkan lingkungan,

    menghilangkan mata air, dan relokasi pemukiman penduduk, alasan lain yang dikemukakan

    adalah lokasi tambang sesui IUP 24.980 ha tersebut termasuk pemukiman dan areal

    persawahan/pertanian penduduk, dll. Tetapi ada juga yang memberikan alasan yang

    7 Wawancara dilakukan diberbagai kesempatan dengan masyarakat khususnya masyarakat Sumi dan

    Rato antara tanggal 7-15 Januari 2011.

  • 17

    sederhana, kelompok ini mengatakan kehadiran tambang akan menghancurkan kehidupan

    mereka yang sudah turun temurun selama ribuan tahun.

    Pada awalnya mereka tidak begitu mengetahui dampak adanya pertambangan.

    Namun setelah adanya advokasi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang

    teroganisir baik melalui aksi demonstrasi kecil-kecil maupun dalam bentuk penyebaran

    informasi dan disiarkan melalui TV Kabel yang kemudian menjadi tontonan menarik bagi

    masyarakat khususnya masyarakat Lambu. Singkatnya melalui media itulah kesadaran

    massif itu muncul pada masyarakat. Kesadaran yang massif itulah yang memunculkan protes

    yang massif pula. Aksi demontrasi berupa pendudukan pelabuhan Sape dan sekitarnya tidak

    muncul secara tiba-tiba akan tetapi dilatarbelakngi oleh frustasi masyarakat karena aspirasi

    dan tuntutan mereka tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan DPRD.

    Sebagian masyarakat yang diwawancara mengaku mereka kerapkali didatangi orang

    yang mengaku mewakili PT SMN yang membujuk agar memberikan dukungan kepada PT

    SMN untuk melakukan eksplorasi. Sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan sesuatu

    baik dalam bentuk uang maupun janji-janji jika dikemudian hari PT tersebut sudah melakukan

    kegiatan eksploitasi. Alasan penolakan Masyarakat dapat disimpulkan homogen (seragam)

    yaitu menyangkut keselamatan hidup masyarakat dan pencabutan SK 188 adalah harga mati

    yang tidak dapat ditawar lagi.

    XII. Peristiwa dan Dampak Kekerasan 24 Desember 2011 di Pelabuhan Sape Bima

    NTB.

    Sejak 19 Desember 2011 warga telah melakukan aksi unjuk rasa di depan pelabuhan

    Sape Bima NTB menuntut pencabutan SK 188.45/357/004/2010 dan menuntut pembebasan

    salah satu warga yang bernama Adi Supriadi yang sudah menjadi terdakwa dalam kasus

    pembakaran kantor Kecamatan Lambu 10 Pebruari 2011. Warga yang melakukan aksi ini

    terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, Petani, Pelajar dan mahasiswa, Ibu-ibu dan

    anak-anak. Mereka secara sadar, mengorganisir dirinya dalam sebuah gerakan yang di sebut

    Front Rakyati Anti Tambang (FRAT).

    Pelabuhan Sape Bima NTB merupakan penghubung lalu lintas barang, jasa dan

    masyarakat dari/ ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat terpaksa melakukan aksi

  • 18

    pemblokiran di Pelabuhan karena cara-cara yang mereka tempuh sebelumnya nyaris tidak

    mendapatkan perhatian Pemerintah. Masyarakat pada dasarnya tidak bermaksud

    menghambat kepentingan publik. Selama aksi berlangsung, tidak ada tindakan anarkis, yang

    terjadi justru masyarakat melakukan bakti sosial membersihkan sampah/ kotoran di

    pelabuhan. Pendudukan pelabuhan tidak pernah bertujuan melakukan hal-hal yang negatif,

    apalagi di kaitkan dengan isu Sara. Mereka hanya menduduki fasilitas publik tersebut agar

    pemerintah cepat menanggapi tuntutannya. Masyarakat telah menggunakan pelbagai cara

    dalam menyampaikan tuntutannya, antara lain menyampaikan ke DPRD, Pemda, dan aksi

    demonstrasi di tempat -tempat lain, tapi tidak membuahkan hasil. Masyarakat frustrasi

    menghadapi situasi ini.

    Dengan kata lain pemblokiran pelabuhan sungguh merupakan pilihan terakhir ditengah

    kebuntuan saluran aspirasi yang ada. Selama aksi berlangsung telah dilakukan negosiasi,

    namun tidak membuahkan hasil. Pada kedua aksi pemblokiran (20/12) telah dilakukan

    pertemuan dan dialog di ruangan Camat Sape antara 8 (delapan) orang perwakilan

    masyarakat Lambu dengan Bupati Bima dan difasilitasi Wakil Kepala Kepolisian Daerah

    (Wakapolda) NTB dan rombongan, Kepala Dinas Perhubungan Kominfo Propinsi NTB,

    Kapolresta Bima, Dandim 1608 Bima, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten

    Bima, Kabag Hukum Setda Bima, Camat Sape, Camat Lambu dan Kapolsek Sape dengan

    tuntutan sebagai berikut:

    Tuntutan Pendemo: Pertama, pencabutan SK Bupati Bima nomor: 188.45/357/004/2010

    tanggal 28 April 2010 tentang penyesuaian Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi kepada

    PT. Sumber Mineral Nusantara, Kedua, pembebasan Saudara Adi Supriadi dari tahanan.

    Negosiasai ini berakhir dengan adanya pernyataan tertulis dan ditandatangani oleh Bupati

    Bima, yang isinya: Pertama, Bupati Bima akan melakukan Penghentian sementara atas ijin

    ekplorasi PT. Sumber Mineral Nusantara. Kedua, terkait dengan tuntutan pembebasan

    saudara Adi Supriadi tidak dapat dipenuhi karena hal tersebut telah masuk ke ranah

    Penegakan Hukum dalam hal ini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Raba Bima (P 21).

    Menanggapi pernyataan tertulis Bupati tersebut, Pihak massa yang diwakili 8 orang

    yang dipimpin Saudara Hasanuddin tidak mau menerima dan tetap pada tuntutannya yaitu

    pencabutan SK Bupati dan pembebasan saudara Adi Supriadi tersangka aksi pembakaran

    Kantor Camat Lambu pada tanggal 10 Pebruari 2011. Upaya negosiasi tidak mebuahkan

    hasil.

  • 19

    Tanggal 23 Desember 2011 Bupati Bima mengeluarkan Keputusan Bupati Bima Nomor:

    188.45/743/004/2011 tanggal 23 Desember 2011 tentang Penghentian Sementara Ijin

    Eksplorasi Emas oleh PT. Sumber Mineral Nusantara di Kecamatan Lambu, Sape dan

    Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima.

    Sekitar Jam 6.30 WITA, aparat kepolisian mengajak perwakilan massa aksi untuk

    melakukan negosiasi. Dalam pertemuan ini Kapolresta Bima mendesak; untuk membuka

    pintu pelabuhan, mengumpulkan senjata tajam (tombak, parang, dan panah), dan

    membubarkan massa aksi. Kapolresta menyampaikan, Kapolda akan membantu masyarakat

    untuk proses hukum pencabutan SK. Desakkan kapolresta Bima ini disetujui, tetapi mereka

    tidak bersedia membubarkan diri sebelum ada bukti pencabutan SK. Jam 08.00 WITA, salah

    satu tokohnya berinisial S bermaksud menghadap Kapolresta Bima untuk menyampaikan

    tuntutan massa aksi. Tidak jauh dari lokasi massa aksi, Barisan yang berseragam polisi

    bersenjata lengkap dan water cannon sudah siap siaga.

    Komnas Ham menyimpulkan aparat kepolisian diduga telah melakukan kesalahan

    prosedur dan menggunakan kekerasan secara berlebihan yang mengakibatkan 3 orang8

    warga meninggal dunia, 30 orang warga mengalami luka tembak, 9 orang mengalami

    kekerasan, 10 orang merupakan korban anak-anak, 1 orang korban yang belum kembali, 12

    kantor pemerintah dan 56 rumah pejabat dan penduduk yang rusak atau terbakar.

    Pada akhirnya sekitar pukul 05.30 WITA, aparat kepolisian dan Brimob sudah

    melakukan pengepungan di wilayah pelabuhan Sape. Pukul 06.00 WITA, aparat kepolisian

    meminta dan memperingatkan warga untuk membubarkan diri dari pelabuhan. Tapi oleh

    warga tidak di indahkan. Mereka diam saja dan hanya melakukan pendudukan dipelabuhan

    tanpa melakukan perlawanan.

    a) Dampak Sosial

    Gerakan perlawanan rakyat Bima, khususnya di Kec. Lambu Bima terhadap

    kebijakan pertambangan di Bima. Pemerintah daerah merencanakan dan mengembangkan

    program pertambangan tidak didasarkan kepada kebutuhan dan tuntutan masyarakat Bima,

    yang ingin mengembangkan beberapa sektor pembangunan yang sudah dipandang

    memberikan harapan bagi masyarakat. Yakni pembangunan pertanian, kehutanan,

    perkebunan dan kelautan. Penolakan tambang didasarkan pada pemahaman masyarakat

    8 Paparan Ketua Komisi nasional Hak Asasi Manusia pada Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI

    dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta 16 Januari 2012.

  • 20

    tentang dampak dan akibat tambang yang merusak lingkungan hidup, menghilangkan hak-

    hak tanah adat dan kepemilihan public tentang pertanian dan lainnya.

    Aksi perlawanan dan penolakan yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa dari

    masyarakat Lambu itu, telah mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat (social distrust)

    terhadap para penyelenggara pemerintah, Bapati, Camat, Lurah dan aparatur negara lainnya

    di Bima. Indikatornya telah terjadi amuk massa untuk membakar dan menghancurkan sarana

    dan prasarana publik yang ada di daerah, khususnya rakyat lambu. Sebenarnya konflik itu

    muncul secara alamiah akibat produk dari relasi sosial dengan pemerintah, dan relasi antar

    masyarakat. Konflik mestinya dapat diredam dengan membangun dialog dan consensus..

    Dalam proses ini, pemerintah harus membuka dialog dan respek dari negara dan

    masyarakat.

    Oleh karena itu konflik dan kekerasan di Lambu Bima terjadi karena ketidakpercayaan

    publik atas proses regulasi daerah yang tidak adil, dan tidak didasarkan pada partisipasi

    publik. Rakyat hanya dijadikan sebagai obyek semata dari pembangunan daerah. Sementara

    itu, masyarakat Lambu dan Bima secara umum telah mengalami ideologisasi dan proses

    pencerahan baik karena iklim kebebasan dan praktek demokratisasi yang dialami

    masyarakat, tetapi juga faktor jaringan organisasi dan aktifis Bima yang pulang kampung.

    Gerakan sosial dan aksi-aksi keprihatinan masyarakat Lambu telah mengalami

    eksklasi setelah kematian 2 (dua) aktivis demonstran anti tambang yang memblokade

    Pelabuhan Sape. Didukung dengan berbagai aksi solidaritas dan kritik yang tajam atas

    kinerja aparat keamanan yang menggunakan senjata untuk membunuh warga Lambu.

    Dukungan publik Indonesia itu menambah semangat dan melegitimasi tindakan demonstran

    anti tambang sebagai gerakan yang berpihak pada kebenaran. Platform perjuangan warga

    Lambu hanya satu singkirkan niat untuk mengubah Lambu sebagai arena pertambangan

    emas dan dengan demikian, masyarakat menolak SK 188 tentang kebijakan pertambangan

    daerah Bima.

    Sikap penolakan warga Lambu bertentangan dengan sikap keras Bupati Bima Ferry

    Zulkarnaen yang masih mempertahankan SK 188 itu. Alasannya kebijakan itu sudah

    dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan yang sudah mulai dilakukan setahunan

    lalu, dan telah mengeluarkan biaya awal yang tidak sedikit. Dugaan pelanggaran jabatan dan

    wewenang tidak terelakkan dalam kasus konflik Bupati dan warga Lambu ini.

    Peristiwa penembakan terhadap massa pendemo oleh aparat kepolisian 24 Desember

  • 21

    2011 menyisakan persoalan sosial mendalam. Pasca kejadian, massa pendemo melakukan

    reaksi dengan melakukan pengrusakan rumah warga yang disinyalir mendukung tambang.

    Padahal kalau ditilik secara sosio-ekonomi, masyarakat Lambu seperti layaknya masyarakat

    di daerah lain yang bercorak agraris memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, serta hubungan

    kekerabatan yang intim.

    Dari investigasi yang dilakukan, masih banyak warga yang belum berani kembali ke

    rumah.9 Bahkan ada yang mengungsi sampai ke seberang Pulau. Trauma psikologis ini

    dialami oleh, baik yang menolak maupun yang diduga mendukung tambang. Bagi yang

    menolak tambang, ingatan tragis akan peristiwa 24 Desember 2011 belum sepenuhnya dapat

    dihilangkan, sehingga warga terus berjaga-jaga takut ada intimidasi, penculikan, atau

    penangkapan oleh pihak luar. Sementara bagi yang diduga mendukung tambang, takut

    menghadapi reaksi horisontal masyarakat yang menolak tambang.

    Situasi yang terjadi di Kecamatan Lambu cukup mencekam, bahkan dapat dikatakan

    terjadi kerapuhan sosial (social disorder) akibat rendahnya modal sosial pasca insiden

    Pelabuhan Sape. Situasi ini, apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah persuasif, rawan

    menjurus pada konflik horizontal.

    b) Dampak Ekonomi

    Aksi blokade jalan pasca insiden Pelabuhan Sape menyebabkan aktivitas distribusi barang

    dan jasa dari dan ke Kecamatan Lambu terhambat. Terhitung blokade telah beberapa kali

    dilakukan, sehingga kemungkinan pasokan kebutuhan masyarakat Lambu juga mengalami

    hambatan. Dari pantauan langsung dan laporan dari beberapa informan di Bima, blokade

    dilakukan beberapa kali. Seperti diketahui, sebagian besar kebutuhan barang masyarakat

    Lambu dipasok dari Kecamatan Sape. Hal ini karena pasar dan pertokoan yang menyajikan

    aneka kebutuhan pokok terdapat di Pasar Baru dan Pasar lama Sape. Artinya, aksi blokade

    yang dilakukan membuat pasokan barang di Kecamatan Lambu berkurang. Kondisi ini

    diperparah oleh phobia masyarakat luar Lambu untuk berkunjung ke Kecamatan Lambu.

    Blokade jalan ini adalah sistem pertahanan masyarakat dalam mengantisipasi segala

    kemungkinan termasuk kemungkinan adanya upaya paksa yang dilakukan oleh kepolisian.

    Bahwa ada efek ekonomi yang muncul tidak dapat dihindari akan tetapi masyarakat tidak

    9 Termasuk masyarakat pro eksplorasi yang diwawancarai tim belum berani kembali ke rumah. Untuk data

    selengkapnya, dapat dilihat di lampiran.

  • 22

    terlalu memperdulikan hal tersebut.

    c) Dampak Administrasi Pemerintahan

    Dalam hal administrasi pemerintahan dan akses pelayanan publik. Reaksi masyarakat

    dengan melakukan pengrusakan dan pembakaran beberapa perkantoran, fasilitas dan rumah

    warga, dan blokade jalan masuk ke kecamatan Lambu yang kerap terjadi membuat kegiatan

    pemerintahan tidak bisa berjalan optimal, bahkan di beberapa wilayah mengalami

    kelumpuhan. Selain kerusakan infrastruktur, aparat pemerintahan juga tidak berani masuk ke

    wilayah kecamatan Lambu. Hampir semua PNS non guru tidak melakukan aktifitasnya

    disebabkan kantor pemerintahan mengalami kerusakan akibat reaksi spontan masyarakat

    pada peristiwa kekerasan tanggal 24 Desember 2011 yang berujung pada adanya korban

    jiwa dan luka-luka.

    XIII. Kesimpulan dan Rekomendasi:

    1. Saat terjadinya peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape Bima NTB pada 24 Desember

    2012 status perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral

    Nusantara (SMN) merujuk Dirjen Minerba Kementerina Sumberdaya Mineral adalah non

    clear and clean artinya masih terdapat tumpang tindih wilayah eksplorasi perusahaan

    tersebut dengan komoditi yang sama dan atau komoditi lainya, koordinat tidak sesuai

    dengan SK, administrasi tidak lengkap dan belum mempunyai dokumen Analisis

    Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

    2. Pihak Pemerintah Daerah tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses

    pengambilan kebijakan berupa penerbitan 188.45/357/004/2010.

    3. Pihak Pemerintah Daerah dan Perusahaan tidak melakukan sosialisasi yang cukup

    kepada masyarakat sebagaimana dipersyaratkan dalam regulasi AMDAL tentang aktifitas

    perusahaan pada masa eksplorasi mencakup berbagai rencana perusahaan sehingga

    muncul kekuatiran dari masyarakat tentang dampak buruk pertambangan dikemudian hari

    baik dari sisi lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya.

    4. Masyarakat berkeyakinan bahwa ketika perusahaan pertambangan mulai beroperasi

    mereka akan kehilangan mata pencaharian tradisionalnya yang telah mereka usahakan

    puluhan tahun termasuk akan dipindahlan secara paksa oleh pihak perusahaan.

  • 23

    5. Bupati Kabupaten Bima lambat merespon tuntutan masyarakat untuk mencabut SK

    188.45/357/004/2010 meskipun telah jatuh banyak korban nyawa dan harta karena

    didalam tubuh Pemkab Bima diduga telah tumbuh dengan subur perilaku pejabat

    pemburu rente (rent seeker behavior) baik di eksekutif maupun legislatif sehingga

    pemerintah yang semula diharapkan sebagai institusi yang dapat memberikan

    keuntungan (benevolent institution) merubah menjadi institusi pemangsa (predatory

    institution).

    6. Ringkasnya adalah Pemkab Kabupaten Bima tidak mempunyai cukup kapasitas dan

    kapabilitas untuk mengelola sumberdaya mineral karena belum mempunyai inspektur

    tambang, Komisi Penilai AMDAL Kabupaten yang kredibel, Perda Penataan Ruang yang

    baik serta sumberdaya manusia yang mumpuni.

    7. Untuk itu Tim Investigasi Independen Kasus Sape Lambu Bima NTB mendesak

    Bupati Bima untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk segera mencabut SK 188 yang

    menjadi tuntutan masyarakat

    8. Aksi demontrasi yang dilakukan oleh masyarakat di pelabuhan Sape dan sekitarnya

    adalah pilihan terkahir masyarakat karena berbagai cara yang telah dilakukan

    sebelumnya, namun tidak mendapatkan tanggapan dari Pemerintah.

    9. Masyarakat yang membawa senjata tajam pada saat aksi demonstrasi sama sekali tidak

    dimaksudkan untuk melawan aparat, tetapi semata-mata kebiasaan masyarakat yang

    secara turun temurun membawa senjata tajam seperti parang, tombak jika bepergian,

    senjata taja itu juga dimaksudkan untuk memproteksi jika ada gangguan dari kelompok

    masyarakat lain.

    10. Pembubaran paksa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kepolisian pada tanggal 24

    Desember 2011 telah dilakukan dengan cara brutal sehingga menyebabkan adanya

    korban jiwa dan korban luka.

    11. Terhadap peristiwa 24 Desember 2011, Tim merekomendasikan kepada kepolisian agar

    melakukan investigasi secara komprehensif, bagi yang melakukan pelnaggaran prosedur

    dan disiplin dikenakan sanksi dispilin dan bagi yang melakukan tindak pidana harus

    duiproses secara pidana pada semua tingkatan.

    Jakarta, 24 Januari 2012

  • 24

    Tertanda

    Mujahid A.Latief, S.H.,M.H. Iskandar, S.E.

    Ketua Sekretaris

    Anggota :

    Firdaus Dzuwaid, S.H.,M.H. Sidratahta Mukhtar, M.Si Raihan Anwar, M.Si

    Dr. Hermawan Saputra Husni Malik, S.H.,M.M. Thamrin, S.H.

    Suhardin, S.H. Arifudidin Hamid Samudra Putra, S.E.