mal prak tek

Upload: meyke-liechandra

Post on 16-Oct-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HAM

    DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI

    Buku Pedoman Hak Asasi Manusia Dokter

    dan Pasien Dalam Mencegah Malpraktek Kedokteran ini disusun oleh tim dari Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia bersama Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, Sp.F, SH dari Departemen Kesehatan, Sriyana, SH, LLM, DFM dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Moch. Sentot dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan sebagai narasumber.

    Adapun tujuan dari buku ini adalah sebagai acuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi dokter dan pasien akan hak-hak dan kewajibannya sehingga dapat dihindari terjadinya malpraktek kedokteran.

    Kami menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan buku ini, oleh karena itu saran dan masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan dan penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.

    Selanjutnya tidak lupa kami mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi memberikan kontribusi sehingga terwujudnya buku pedoman ini.

    Demikian semoga bermanfaat dan menjadi pedoman bagi semua pihak khususnya dokter dan pasien dalam rangka penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

    Jakarta, 2008 Kepala Badan

    Penelitian dan Pengembangan HAM

    Prof. Dr. Hafid Abbas

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Dasar Hukum 1.3. Tujuan 1.4. Sasaran 1.5. Ruang Lingkup 1.6. Pengertian-Pengertian BAB II : MALPRAKTEK KEDOKTERAN DAN HAK ASASI MANUSIA

    2.1. Definisi Malpraktek Kedokteran

    2.2. Aspek Hukum Malpraktek Kedokteran di Indonesia

    2.3. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Kesehatan

    BAB III : PELAKSANAAN 3.1. Kewenangan, Kewajiban dan

    Hak Dokter Dalam Pelayanan Medis

    3.2. Kewajiban dan Hak Pasien Dalam Pelayanan Medis

    3.3. Persetujuan Tindakan Kedokteran Sebagai Pra Tindakan Medis

    3.4. Rekam Medis Sebagai Dokumen Hukum

    3.5. Perbedaan Antara Kecelakaan Medis, Resiko Medis, Kesalahan Medis dan Kelalaian Medis

    3.6. Malpraktek Kedokteran dan Penyelesaiannya

    BAB IV : PENUTUP SUSUNAN TIM PENYUSUN DAFTAR PUSTAKA

  • BAB I PENDAHULUAN

    1.1. LATAR BELAKANG

    Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Kesehatan sebagai hak asasi manusia (HAM) harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.

    Hak atas kesehatan merupakan kebutuhan yang penting bagi kehidupan manusia, karena dengan jiwa yang sehat, maka akan dapat berpikir secara sehat. Pentingnya hak atas kesehatan tersebut secara tegas dijamin di dalam Pasal 12 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, yang intinya mengakui hak setiap orang

    untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.

    Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu kesehatan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan kompetensi yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas, kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medik terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Walaupun demikian dokter tidak boleh melakukan tindakan medik selain untuk mengusahakan kesembuhan bagi pasien. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, menegaskan, ...pada khususnya, tidak seorangpun dapat dijadikan objek eskperimen medis atau

  • ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.

    Pada awal peradaban manusia, hubungan dokter dengan pasiennya bersifat peternalistik, dimana posisi dokter sangat dominan terhadap pasiennya. Pada hubungan ini apapun yang dilakukan oleh dokter selalu dipercaya oleh pasien. Bahkan segala hal yang dilakukan dokter, dianggap sebagai upaya terbaik bagi pasien sehingga pasien jarang mempertanyakan hasil pengobatan yang dilakukan oleh dokternya. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan keputusan sehingga mulai tahun 1970-an dikembangkan hubungan kontraktual.

    Hubungan kontraktual muncul akibat kebangkitan kesadaran akan HAM dalam bidang kesehatan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat serta semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan. Di negara-negara tersebut hak-hak pasien berkembang dengan baik. Hal ini terjadi akibat kesadaran akan HAM khususnya terkait hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya sebagaimana tertuang dalam Declaration of Lisbon (1981) dan Patiens Bill of Rights (American Hospital

    Association, 1972) yang pada intinya menyatakan pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan tindakan medik

    Namun ternyata, hak pasien masih merupakan sesuatu hal yang bagi sebagian negara masih sesuatu hal yang mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien. Pengaturan tentang hak pasien belumlah merata, ada sebagian negara yang telah lama sibuk dengan pengaturan tentang hak pasien dalam peraturan perundang-undangan dan ada juga negara yang belum mengatur hak pasien di dalam peraturan perundang-undangan.

    Di Indonesia hubungan antara dokter dan pasien dapat dilihat pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam mukadimah KODEKI dijelaskan bahwa, sejak permulaan sejarah mengenai umat manusia sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu sang pengobat dan penderita (pasien). Dalam zaman modern, hubungan itu disebut sebagai hubungan (transaksi) terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya

  • mempercayai serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani. Hubungan antara dokter dan pasien juga diatur dalam Bab II Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, kususnya Pasal 2 yang menegaskan Praktik kedokteran dilaksanakan berazaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan pasien

    Di Indonesia, kebutuhan akan perlindungan atas hak pasien terasa semakin meningkat, sehingga dalam salah satu pasal dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan di dalam Pasal 53, diatur tentang kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menghormati hak pasien. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, di dalam Pasal 52, diatur tentang Hak-Hak Pasien. Namun dalam tataran impementasi, terjadinya keseimbangan antara pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dokter dan pasien seringkali mengalami hambatan.

    Pemahaman terhadap hak dan kewajiban tersebut menjadi sangat penting karena pada kenyataannya perselisihan yang timbul sebenarnya disebabkan karena

    kurangnya pemahaman akan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Di satu sisi, pihak pasien seringkali seperti mencari-cari kesalahan atau kelemahan dokter untuk kemudian digunakan sebagai dasar menuntut dan di sisi lain pihak dokter terkesan berusaha menghindar dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul dan tidak jarang perselisihan itu semakin rumit akibat campur tangan pihak ketiga yang juga tidak memahami sama sekali tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien.

    Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-Hak Sipil dan Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI memandang perlu untuk menyusun Buku Pedoman Hak Asasi Manusia Bagi Dokter dan Pasien Untuk Mencegah Malpraktek Kedokteran, sehingga dokter dan pasien masing-masing dapat lebih memahami akan hak-hak dan kewajibannya.

    1.2. DASAR HUKUM

    1. Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen;

    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

  • Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 176);

    3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100);

    4. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165);

    5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116);

    6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118);

    7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119);

    8. Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan;

    9. Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 1995 Tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan;

    10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/ 2005 Tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi;

    11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran;

    12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;

    13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis;

    14. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

    15. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 16. Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Perdata.

    1.3. TUJUAN

    Tujuan dari buku pedoman ini adalah sebagai acuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi dokter dan pasien akan hak-hak dan kewajibannya

  • sehingga dapat dihindari terjadinya malpraktek kedokteran.

    1.4. SASARAN

    Sasaran buku pedoman ini adalah dokter dan pasien serta masyarakat yang melakukan konsultasi dan memperoleh pelayanan kesehatan.

    1.5. Ruang lingkup Buku pedoman hak asasi manusia bagi dokter dan pasien mempunyai ruang lingkup sebagai berikut : 1. Pedoman bagi dokter dan dokter gigi

    dalam melaksanakan tugas praktek kedokteraan ;

    2. Pedoman bagi pasien yang melakukan konsultasi dan pelayanan kesehatan.

    1.6. Pengertian pengertian 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

    hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta

    perlindungan harkat dan martabat manusia;

    2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia;

    3. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau kelalaiannya yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan hukum yang berlaku;

    4. Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan secara profesional.

    5. Dokter dan dokter gigi adalah, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri

  • yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    6. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi;

    7. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

    8. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

    9. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.

    10. Kode etik kedokteran Indonesia adalah norma yang berlaku bagi dokter dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya sebagaimana tercantum dalam kode etik masing-masing yang telah ditetapkan oleh Menteri kesehatan.

    11. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural dan bersifat independen yang terdiri atas konsil kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi;

    12. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menerapkan sanksi;

    13. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktek kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi;

    14. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya;

    15. Surat Tanda Registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi;

  • 16. Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan terhadap pasien;

    17. Keluarga terdekat adalah suami atau isteri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya;

    18. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien;

    19. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh;

    20. Tindakan kedokteran yang mengandung resiko tingi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan;

    21. Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

    22. Malpraktek kedokteran adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien.

    BAB II

    MALPRAKTEK KEDOKTERAN DAN HAK ASASI MANUSIA

    2.1. Definisi Malpraktek Kedokteran

    World Medical Association (WMA) pada tahun 1992 mendefiniskan malpraktik sebagai kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien. WMA juga mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis disebabkan oleh malpraktek kedokteran. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya dan terjadi di saat dilakukan tindakan medis yang sudah sesuai dengan standar tidak termasuk dalam pengertian malpraktek. Peristiwa lain yang tidak termasuk dalam

  • pengertian malpraktek adalah perjalanan penyakit yang semakin berat, reaksi tubuh yang tidak dapat diramalkan, komplikasi penyakit dan penyakit-penyakit yang terjadi secara bersamaan.

    Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4 D, yaitu : 1. Duty. Ada kewajiban medis untuk

    melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.

    2. Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut.

    3. Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan kedokteran yang diberikan.

    4. Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian.

    2.2. Aspek Hukum Malpraktek Kedokteran di Indonesia

    2.2.1. Peraturan Non Hukum Peraturan non hukum yang mengatur

    tentang kegiatan praktek kedokteran adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia

    (KODEKI). KODEKI semula merupakan peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang dokter dalam menjalankan profesinya.

    Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang di dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu :

    Pasal 10 KODEKI tertulis Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk insani.

    Pasal 11 KODEKI mengatakan bahwa setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut.

    Pasal 13 KODEKI, setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.

    Pasal 14 KODEKI menyebutkan bahwa setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang

  • lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena sasaran tuntutan malpraktek juga.

    2.2.2. Peraturan Hukum 1) Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana Pasal-pasal di dalam Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu : a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat

    Surat Keterangan Palsu); b. Pasal 290 KUHP (Melakukan

    Pelanggaran Kesopanan); c. Pasal 299 KUHP (Mengobati

    seorang wanita dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan);

    d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia);

    e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran/ Penelantaran);

    f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian);

    g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi);

    h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan seseorang);

    i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia); j. Pasal 347 KUHP (Sengaja

    melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang bersangkutan;

    k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan);

    l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan Abortus Provocatus Criminalis);

    m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang Menyebabkan Kematian);

    n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang Menyebabkan Luka/ Cacat);

    o. Pasal 361 KUHP (Kelalaian dalam menjalankan pekerjaannya);

    p. Pasal 386 KUHP (Memberi atau Menjual Obat Palsu);

    q. Pasal 531 KUHP (Tidak Memberi Pertolongan pada Orang yang Berada dalam Keadaan Bahaya.

    Pemberlakukan hukum pidana

    dalam kasus-kasus kelalaian medis yang

  • terjadi di dalam penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimum remidium artinya hukum pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain itu juga karena praktek kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak orang dan prakek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.

    2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    Pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu : a. Pasal 1239 KUH Perdata

    (Melakukan wanprestasi atau cidera janji);

    b. Pasal 1365 KUH Perdata (Melakukan perbuatan melawan hukum);

    c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan Kelalaian sehingga menimbulkan kerugian);

    d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh bawahannya).

    3) Undang-Undang Nomor 23 tahun

    1992 Tentang Kesehatan Terbentuknya Undang-Undang

    Nomor 23 tahun 1992 sebagai salah satu upaya pembangunan kesehatan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 merupakan suatu usaha pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan melalui tenaga medis kepada pasien. Di antara isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, mempunyai peraturan yang mengatur tentang sanksi yang diberikan terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tindakan medik, yaitu: a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang

    Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan);

    b. Pasal 80 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan

  • tindakan medis tidak sesuai dengan Standart Operational Prosedure pada ibu hamil);

    c. Pasal 80 (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja Melakukan Transplantasi Organ Tubuh untuk Tujuan Komersil);

    d. Pasal 81(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa Keahlian Sengaja Melakukan Transplantasi, Implan Alat kesehatan, Bedah Plastik);

    e. Pasal 81(2a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja Mengambil Organ Tanpa memperhatikan Kesehatan dan Persetujuan Pendonor/ Ahli Waris)

    4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

    Pembentukan UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dimaksudkan untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan dokter dan dokter gigi. Hal tersebut ditegaskan dalam konsideran menimbang point (d) undang-undang tersebut yang berbunyi

    bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter dan dokter gigi diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktek kedokteran.

    Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 menegaskan bahwa pengaturan praktek kedokteran bertujuan untuk, pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi dan ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

    Bahkan dalam Undang-Undang tersebut juga dibentuk suatu Konsil Kedokteran Indonesia yang mempunyai tanggung jawab untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi.

    Untuk lebih meningkatkan mutu dan pelayanan dokter kepada pasien, Undang-Undang Praktek Kedokeran mensyaratkan tentang standar pendidikan profesi kedokeran dan kedokteran gigi, pemberian pendidikan dan pelatihan kedokteran dan kedokteran

  • gigi serta mewajibkan setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.

    Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 mensyaratkan kepada setiap dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar pelayanan. Standar pelayanan di sini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.

    Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 juga mengatur tentang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang dibentuk dalam rangka terselenggaranya praktek kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat sesuai dengan ketentuan undang-undang. MKDKI berwenang menerima pengaduan dari orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran, selanjutnya berdasarkan pengaduan tersebut MKDKI berwenang melakukan pemeriksaan dan apabila ditemukan

    pelanggaran etika meneruskan pengaduan kepada organisasi profesi. Selain itu MKDKI juga berwenang mengeluarkan keputusan berupa pernyataan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin yang berupa pertama, pemberian peringatan, kedua rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik dan ketiga kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran dan dokter gigi.

    Pada UU No: 29 tahun 2004 pada Pasal 75 dan 76 juga mensyaratkan setiap dokter harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran. Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/ kota tempat praktek kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak mempunyai surat registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut, karena takut terjadi malpraktek.

  • 5) Peraturan Pemerintah Nomor 32

    Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

    Pasal-pasal di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yang terkait dengan malpraktek kedokteran, yaitu :

    Pasal 23

    (1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau kelalaian;

    Bila tenaga kesehatan tidak melakukan kewajibannya, maka pasien dapat menuntut ganti rugi. Hal itu disebabkan bahwa pasien yang datang ke rumah sakit atau ke dokter seharusnya mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya. Karena hubungan antara dokter dengan pasien termasuk ke dalam

    perjanjian sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1320 KHUPerdata. Menurut Pasal 1320 KHUPerdata untuk sahnya perjanjian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya kesepakatan dari mereka

    yang saling mengikatkan dirinya; 2. Adanya kecakapan untuk membuat

    suatu perikatan; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Untuk suatu sebab yang halal.

    Untuk keabsahan kesepakatan para

    pihak yang mengikatkan dirinya, maka kesepakatan ini harus memenuhi kriteria pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi : Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak mempunyai persesuaian kehendak. Dalam hubungan antara dokter dan pasien, persesuaian kehendak dapat ditemukan yaitu pasien setuju untuk diobati oleh dokter dan dokter setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan antara

  • dokter dan pasien tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak dan tidak ada penipuan di dalamnya. Untuk itu diperlukan adanya persetujuan tindakan medik (informed consent) .

    Untuk syarat kedua, adanya suatu kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dalam hubungan pasien dan dokter hal ini diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 520 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medis. Pasal 2 Peraturan Menteri kesehatan tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dewasa adalah mereka yang berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi bagi seorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian terapeutik harus ditanda tangani oleh orang tua atau walinya yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.

    Syarat ketiga dan keempat, objek yang diperjanjikan terdiri dari suatu hal tertentu dan harus suatu sebab yang halal untuk diperjanjikan. Dalam perjanjian terapeutik, mengenai hal tertentu yang diperjanjikan atau objek perjanjian adalah upaya penyembuhan terhadap penyakit yang tidak dilarang undang-undang.

    Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu : 1. Inspanningsverbintenis, yakni

    perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan;

    2. Resultaatbintennis, yakni perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan result, yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

    2.3. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Kesehatan

    Hak Asasi Manusia secara substansial telah diatur di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia. Salah satu hak asasi manusia yang diatur adalah hak atas kesehatan. Pasal 28 H butir 1 : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, Dengan masuknya hak kesehatan ke dalam konstitusi, maka hak atas kesehatan secara resmi merupakan hak hukum positif yang dilindungi oleh pemerintah dan pemerintah

  • wajib untuk memenuhi hak kesehatan warga negaranya melalui usaha-usaha yang nyata.

    Beberapa hak pasien sebelumnya telah juga masuk dalam Undang-Undang seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Disusul dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

    Hak Kesehatan juga dilindungi dan diatur di dalam berbagai instumen hak asasi manusia Internasional. Deklarasi Universal HAM pasal 25 ayat 1, menyatakan Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan. Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 juga mengatur tentang hak atas kesehatan. Pasal 12 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengatur, Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

    Pada Pembukaan Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO-1946) antara lain dinyatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang, untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Caranya dengan mengupayakan agar latar belakang penentu (underlying determinants) kesehatan diarahkan untuk membuat orang menjadi sehat. Teknisnya seperti pengurangan tingkat kelahiran, mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat, melalui perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan perumahan dan industri. Juga dengan melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular/endemik, dan penyakit lain terkait pekerjaan, gaya hidup atau tindakan sosial dan budaya kemasyarakatan.

  • BAB III PELAKSANAAN

    3.1 Kewenangan, Kewajiban, dan Hak

    Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan

    1). Kewenangan Dokter 1. Dokter dan dokter gigi yang telah

    memiliki Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia berwenang untuk mewawancarai pasien, memeriksa fisik dan mental, menentukan pemeriksaan penunjang serta menegakkan diagnosis tentang penyakit yang diderita si pasien ;

    2. Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia

    berwenang untuk menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien serta melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

    3. Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia berwenang untuk menulis resep obat dan alat kesehatan serta menulis surat keterangan dokter atau dokter gigi;

    4. Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia berwenang untuk menyimpan obat dan alat kesehatan dalam jumlah dan jenis yang diijinkan serta meracik dan menyerahkan obat kepada pasien bagi yang praktik di daerah terpencil dan tidak ada apotik;

    2). Kewajiban Dokter 1. Dokter dan Dokter Gigi dalam

    menjalankan pelayanan kesehatan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.

  • 2. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yg sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan;

    3. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

    4. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinanya;

    5. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien (menjaga kerahasiaan pasien)

    bahkan setelah pasien meninggal dunia;

    6. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bertugas & mampu melaksanakan;

    7. Dokter dan Dokter Gigi Dalam Menjalankan Pelayanan kesehatan wajib meminta persetujuan pasien atau keluarganya ketika hendak melakukan tindakan kedokteran/kedokteran gigi;

    8. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien;

    9. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi;

    10. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib memenuhi hal-hal yang telah

  • disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya;

    11. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien;

    12. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik dokter / dokter gigi;

    13. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi;

    14. Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti;

    15. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib menyelenggarakan kendali

    mutu dan kendali biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan;

    16. Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

    3) Hak Dokter

    1. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak pemperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan Tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

    2. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional serta berdasarkan hak otonomi dan kebutuhan medis pasien yg sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.

    3. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak untuk menolak keinginan pasien

  • yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.

    4. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak untuk mengakhiri/menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi dan wajib menyerahkan pasien kepada dokter lain, kecuali untuk pasien gawat darurat.

    5. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak atas 'privacy (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau memalukan).

    6. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak memperoleh informasi yang lengkap & jujur dari pasien atau keluarganya.

    7. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.

    8. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun oleh pasien.

    9. Dokter dan Dokter Gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan berhak mendapatkan imbalan jasa profesi yang diberikan berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/peraturan yang berlaku di rumah sakit.

    3.2. Kewajiban dan Hak Pasien Dalam Pelayanan Medis 1) Kewajiban Pasien

    1. Pasien dalam pelayanan medis berkewajiban untuk memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat;

    2. Pasien dalam pelayanan medis berkewajiban untuk mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya;

    3. Pasien dalam pelayanan medis berkewajiban untuk mematuhi

  • ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di sarana layanan kesehatan;

    4. Pasien dalam pelayanan medis berkewajiban untuk emberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima;

    5. Pasien dalam pelayanan medis berkewajiban untuk menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya.

    2) Hak Pasien 1. Pasien dalam pelayanan medis

    berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

    2. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi;

    3. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan.

    4. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

    5. Pasien dalam pelayanan medis berhak berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

    6. Pasien dalam pelayanan medis berhak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.

    7. Pasien dalam pelayanan medis berhak atas privacy dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku.

    8. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yg akan dilakukan thd dirinya.

    9. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk memberikan

  • persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.

    10. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.

    11. Pasien dalam pelayanan medis berhak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).

    12. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan umum/pasien lainya.

    13. Pasien dalam pelayanan medis berhak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit.

    14. Pasien dalam pelayanan medis berhak untuk mengajukan usul,

    saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya.

    15. Pasien dalam pelayanan medis berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.

    16. Pasien dalam pelayanan medis berhak atas transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).

    17. Pasien dalam pelayanan medis berhak atas akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya

    3.3. Persetujuan Tindakan Kedokteran

    Sebagai Pra Tindakan Medis 1) Apakah Persetujuan Tindakan

    Kedokteran Persetujuan Tindakan Kedokteran

    adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan terhadap pasien.

  • 2) Informasi apa saja yang harus diberikan dokter kepada pasien : a. Diagnosis dan tata cara tindakan

    kedokteran, meliputi : Temuan klinis dari hasil

    pemeriksaan medis ing saat tersebut;

    Diagnosis penyakit; atau dalam hal belum dapat ditegakan maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;

    Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;

    Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan

    b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, meliputi Tujuan tindakan kedokteran

    yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik ataupun rehabilitatif;

    Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan serta efek samping atau ketidak nyamanan yang mungkin terjadi;

    Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan;

    Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat resiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya

    c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;

    d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; Risiko dan komplikasi yang sudah

    menjadi pengetahuan umum; Risiko dan komplikasi yang sangat

    jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan;

    Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.

    e. Prognosis terhadap tindakan yang

    dilakukan, meliputi : Prognosis tentang hidup-matinya; Prognosis tentang fungsinya; Prognosis tentang kesembuhan.

    f. Perkiraan pembiayaan. 3) Kapan Persetujuan Tindakan Medis

    dilakukan:

  • Dalam setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien;

    Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi;

    Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya untuk menyelamatkan jiwa pasien;

    4) Siapa yang berhak memberikan persetujuan

    Pasien yang kompeten atau keluarga terdekat suami atau isteri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.

    5) Tata Cara Pemberian Persetujuan

    Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis atau lisan dan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran yang dilakukan;

    Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang tertuang dalam formulir khusus yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan;

    Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran;

    Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien setelah mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan;

    Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan secara tertulis sebelum dimulainya tindakan.

    6) Penolakan Tindakan Kedokteran

    Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan tindakan

  • kedokteran tersebut dilakukan secara tertulis;

    Akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien;

    Penolakan tindakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.

    7) Tanggung Jawab

    Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapatkan persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran;

    Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran;

    Skema Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis.

    Pasien Dokter

    Keterangan : 1. Pasien pergi ke dokter/ rumah sakit; 2. Dokter/ rumah sakit memeriksa pasien,

    menegakkan diagnosa untuk kemudian menetapkan terapinya (misalnya : pasien harus dibedah karena menderita appendicitis);

    3. Dokter memberikan informasi/ penjelasan tentang :

    - Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

    - Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

    - Alternatif tindakan lain dan resikonya;

    Informasi

    Mempertimbangkan/memutuskan

    SETUJU

    MENOLAK

    Penandatangan Form persetujuan

    Penandatangan Form penolakan

  • - Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

    - Prognosa 3. Pasien sesudah mendengar informasi

    dokter lalu mempertimbangkan dan memutuskan;

    4. Jika setuju, menandatangani formulir konsen murni

    5. Jika tidak setuju, diminta menandatangani surat penolakan, jika tidak mau menandatangani beri catatan medis bahwa pasien menolak walaupun sebelumnya sudah diberitahukan informasi.

    3.3. Rekam Medik sebagai Dokumen Hukum

    1) Apa itu Rekam Medis

    Rekam Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan. pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Permenkes. No. 269/ Menkes/Per/III/2008).

    2) Apa Saja Isi Rekam Medis

    a. Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan sekurang-kurangnya memuat : - Identitas pasien; - Tanggal dan waktu; - Hasil amnesis mencakup sekurang-

    kurangnya keluhan dan rieayat penyakit;

    - Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

    - Rencanan penatalaksanaan; - Pengobatan dan/atau tindakan; - Pelayanan lain yang telah diberikan

    kepada pasien; - Untuk pasien kasus gigi dilengkapi

    dengan odontogram klinik dan; - Persetujuan tindakan bila diperlukan.

    b. Isi rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat : - Identitas pasien; - Tanggal dan waktu; - Hasil amnesis mencakup sekurang-

    kurangnya keluhan dan rieayat penyakit;

    - Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

    - Diagnosis; - Rencanan penatalaksanaan; - Pengobatan dan/atau tindakan; - Persetujuan tindakan bila

    diperlukan;

  • - Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;

    - Ringkasan pulang; - Nama dan tanda tangan dokter,

    dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;

    - Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu;

    - Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik dan;

    c. Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat : - Identitas pasien; - Kondisi saat pasien tiba di sarana

    pelayanan kesehatan; - Identitas pengantar pasien; - Tanggal dan waktu; - Hasil amnesis mencakup sekurang-

    kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

    - Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

    - Diagnosis - Pengobatan dan/atau tindakan; - Ringkasan kondisi pasien sebelum

    meninggalkan pelayanan unit gawat daurat dan rencana tindak lanjut;

    - Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan

    tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;

    - Sarana transportasi yang digunakan pasien yang akan dipindahkkan ke sarana pelayanan kesehatan lain;

    - Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

    3. Tata Cara Penyelenggaraan Rekam

    Medis 1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam

    menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis dengan segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan;

    2. Pembuatan rekam medis dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien;

    3. Setiap pencatatan ke dalam rekam

    medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung.

    4. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan pembetulan dan

  • hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan yang bersangkutan.

    5. Dokter dan dokter gigi dan atau tenaga kesehatan tertentu bertanggung jawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis;

    6. Sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.

    4. Penyimpanan, Pemusnahan dan Kerahasiaan Rekam Medis 1. Rekam medis pasien rawat inap di

    rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan dan setelah batas waktu terlampaui rekam medis dapat dimusnahkan kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medis;

    2. Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medis harus disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh)

    tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut;

    3. Penyimpanan rekam medis dan ringkasan pulang dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

    4. Rekam medis pada sarana kesehatan non rumah sakit wajib disimpan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat dan setelah itu dapat dimusnahkan.

    5. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan;

    6. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dengan permintaan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan, dalam hal : a. untuk kepentingan kesehatan

    pasien;

  • b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas permintaan pengadilan;

    c. Permintaan dan atau persetujuan pasien sendiri;

    d. Permintaan institusi/ lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan audit medis sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien;

    7. Penjelasan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan;

    8. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    5. Kepemilikan, Pemanfaatan dan

    Tanggung Jawab dalam Pelaksanaan Rekam Medis.

    1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan;

    2. Isi rekam medis dalam bentuk ringkasan rekam medis merupakan milik pasien;

    Gambar :

    3. Ringkasan rekam medis dapat

    diberikan, dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu;

    Gambar :

    MILIK SAYA

  • 3.5. Perbedaan antara Kecelakaan Medis, Resiko Medis, Kesalahan Medis dan Kelalaian Medis 1) Kecelakaan Medis (Medical

    Misadventure) Kecelakaan Medis merupakan

    suatu keadaan yang tidak terduga, tindakan yang tidak disengaja (Oxford Illustrated Dictionary; 1975) sehingga mengakibatkan kerugian bagi pasien. Kecelakaan medis sangat berbeda dengan kelalaian medis, kalau kelalaian medis perbuatan yang dilakukan dapat dipersalahkan sedangkan kecelakaan medis tidak dapat dipersalahkan, asalkan kecelakaan medis tersebut merupakan kecelakaan murni dan dilakukan tidak dengan disengaja. Tegasnya dalam

    kecelakaan medis mengandung tiga unsur yaitu tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid), dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya (voorzienbaarheid).

    2) Resiko Medis (Medical Risk)

    Resiko Medis adalah resiko yang timbul sebagai akibat dari proses tindakan medis yang dilakukan kepada pasien. Apabila dalam praktek, dokter sudah melakukan tindakan medis secara hati-hati dan teliti menurut standart profesi medis maka dokter yang bersangkutan tidak dapat dipersalahkan. Resiko yang dapat diterima sebagai resiko medis adalah sebagai berikut : a. Risiko yang derajat probabilitas dan

    keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dan lain-lain.

    b. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way),

  • terutama dalam keadaan gawat darurat.

    3) Kesalahan Medis (Medical Mistake)

    Kesalahan Medis adalah Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Kesalahan termasuk gagal melaksanakan sepenuhnya suatu rencana atau menggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuannya. Dapat sebagai akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).

    4) Kelalaian Medis (Medical Negligence)

    Kelalaian adalah kegagalan seorang dokter untuk bersikap hati-hati yang umumnya seorang dokter lain pada keadaan wajar dan berhati-hati akan melakukan di dalam keadaan tersebut sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien.

    Untuk menentukan adanya kelalaian dokter harus terpenuhi unsur 4-D, yaitu : apakah dokter dan dokter gigi menjalankan sesuai tugasnya (duty), apakah ada penyimpangan terhadap

    tugasnya (dereliction of duty), apakah ada kerugian (damage), dan apakah ada hubungan sebab-akibat antara tindakan dan kerugian yang ditimbulkan (direct caution)

    3.6. Malpraktik Medis dan Penyelesaiaannya

    1) Apakah Malpraktik Medik

    Malpraktik medik adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien.

    2) Bagaimana Penyelesaian Kasus

    Malpraktik Medis Penyelesaian kasus malpraktik

    medik dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non litigasi (mediasi), dalam jalur litigasi pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum pidana maupun perdata, sedangkan dalam jalur non litigasi pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya konsiliasi, negosiasi, mediasi ataupun upaya penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih oleh pihak yang berperkara. UU

  • No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa penyelesaian sengketa medis antara pasien dan dokter diputuskan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) namun upaya tersebut tidak secara serta merta merelatifkan upaya dari pihak yang dirugikan untuk melakukan upaya hukum pidana atau perdata.

    Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

    Sedangkan dalam hal gugatan secara perdata, pihak yang dirugikan cukup mengajukan gugatan di wilayah pengadilan negeri tergugat. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan, hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).

    Apabila dipilih proses di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrase, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak

  • membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

    Adapun skema penyelesaian kasus malpraktek sebagai berikut :

    Pasien Rumah Sakit Perawatan

    BAB IV

    PENUTUP

    Cacat/ meninggal; diduga malpraktik medik

    Mediasi; bertemu dengan dokter atau Komite Hukum/ Medik RS

    Tidak Puas

    MKDKI Upaya Hukum

    ADR; Melalui BANI

    Pidana Perdata

    Bantuan Pihak Ketiga; Pengacara, LBH

    Puas

    Selesai

    Lapor ke Polisi

    Gugatan ke Pengadilan

  • Demikian buku pedoman Hak Asasi Manusia bagi Dokter dan Pasien Dalam Mencegah Malpraktek Kedokteran ini dibuat bagi dokter dan pasien dalam menjalankan hak dan kewajiban dalam pelayanan Medis serta dalam rangka perlindungan, pemajuan, penegakan dan penghormatan hak asasi manusia.

    Buku ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi Dokter dan Pasien dalam mencegah malpraktek kedokteran maupun dalam kerangka peningkatan pelayanan profesi medis dan perlindungan HAM Pasien.

    SUSUNAN TIM BUKU PEDOMAN HAK ASASI MANUSIA

    BAGI PASIEN DAN DOKTER UNTUK MENCEGAH MALPRAKTEK

    1. Prof. Dr. Hafid Abbas (Pengarah).

    2. L.S. Allagan (Penanggung Jawab)

    3. Yuri Parmiono, SH, MM (Ketua).

    4. Sujatmiko, SH, M.Si (Sekretaris).

    5. Prof. Dr. Agus Purwadianto, Sp.F,SH,MSi

    ( Nara Sumber )

    6. Sriyana,SH,LLM,DFM ( Nara Sumber )

    7. Moch Sentot, SH. ( Nara Sumber )

    8. Dr.Doris Simorangkir ( Anggota )

    9. Drg. Dessy Aries Santy, Msi ( Anggota )

    10.Dra. Yati Nurhayati Rusli, MSi ( Anggota )

    11. Erni Nurheyanti MT, SH. ( Anggota )

    12. Maryati, SPd. ( Anggota )

    13. Ellya Rebuani, SH. ( Anggota )

    14. Norma Doryana, SH. ( Anggota )

    DAFTAR PUSTAKA

  • BUKU-BUKU Achadiat, Crisdiono. Dinamika Etika dan Hukum

    Kedokteran Dalam Tantangan Jaman. Jakarta : EGC, 2006.

    Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran.

    Jakarta : Grafikatama Jaya, 1991. Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan.

    Jakarta : Widya Medika, 1997. Anonim. Himpunan Etika Profesi Berbagai Kode

    Etik Asosiasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Yudistira, 2006

    Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia Dalam

    Transisi Politik di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2003.

    Azwar, Bahar. Buku Pintar Sang Dokter. Bekasi :

    Kesaint Blanc, 2002. Donnelly, Jack. Konsep Mengenai Hak-Hak Asasi

    Manusia. Dalam Fransc Ceufin. Hak-Hak Asasi Manusia Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik. Penerbit Ledalero : Maumere, 2004.

    Feinberg, Joel. Hak Asasi Manusi. Dalam Fransc

    Ceufin. Hak-Hak Asasi Manusia Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik. Penerbit Ledalero : Maumere, 2004.

    Fuady, Munir. Sumpah Hipprocrates (Aspek

    Hukum Malpraktek Dokter). Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2005.

    Fleiner, Thomas. What Are Human Rights.

    Melbourne : The Federation Press, 1999. Gosita, Arief. Masalah Korban Kejahatan

    (Kumpulan Karangan). Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004.

    Guwandi. Hukum Medik (Medical Law). Jakarta :

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.

    ______. Medical Error dan Hukum Medis. Jakarta :

    Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.

    Haryanto, Ignatius dkk. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Panduan Bagi Jurnalis. Jakarta : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Asia Foundation, 2000.

  • Isfandyarie, Anny. Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta : Pustaka Publisher, 2005.

    _____________. Tanggung Jawab Hukum dan

    Sanksi Bagi Dokter (Buku I). Malang : Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

    ______________dan Afandi, Fachrizal. Tanggung

    Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter (Buku II). Malang : Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

    Johan Nasution, Bahder. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta : Rineka Cipta, 2005.

    Kaligis, OC. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi

    Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung : Alumni, 2006

    Kasim, Ifdhal dan Johanes da Masenus Arus (ed).

    Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Esei-Esei Pilihan (buku 2). Jakarta : Elsam, 2001.

    Koeswadji, Hermin Hadiati. Hukum Kedokteran

    (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam

    Mana Dokter Sebagai Salah satu Pihak. Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1998.

    Komalawati, D. Veronica. Hukum dan Etika Dalam

    Praktek Kedokteran. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989

    Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata

    Indonesia (Edisi ketujuh). Yogyakarta: Liberty, 2002

    _________________. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty, 2003.

    Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang

    Mempengaruhi Penegakan Hukum (Cet Kelima). Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2004.

    Soewono, Hendrojono. Perlindungan Hak-Hak

    Pasien Dalam Transaksi Terapeutik Suatu Tinjauan Yuridis Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Srikandi : Surabaya, 2006.

    Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum.

    Jakarta : PT. Grafindo, 1996. Suprapti, Ratna. Etika Kedokteran Indonesia.

    Yayasan Bina Pustaka : Jakarta, 2001

  • Supriadi, Wila Chandrawila. Hukum Kedokteran.

    Bandung : Mandar Maju, 2001. Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia.

    Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta : Balai Pustaka, 1989.

    Hasil Penelitian Adi Nugroho, Harimurti dan Aditya Poetry. Jalan

    Tengah Penyelesaian Kasus Dugaan Malpraktek Medis Antara MKDKI dan Peradilan Umum. Jakarta : LIPI, 2005.

    Meila, Witri Budi Utama. Perlindungan Saksi dan

    Korban di Indonesia ditinjau dari Perspektif HAM. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2006.

    Pardemean, Charlie. Pertanggung Jawaban Pidana

    Profesi Dokter Dalam Kasus Malpraktek Telaah Terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2006.

    Jurnal

    R, Soeharto. Hubungan Dokter-Pasien dan Informed Consent Suatu Kajian Menurut Hukum Perdata. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. No. 10. Fakultas Hukum Universitas Diponogoro. Semarang, 1993.

    Makalah Dedi Afandi dan Djaja Surya Admaja. Tata

    Laksana Persetujuan Tindakan Medis (PTM)/Informed Consent di Rumah Sakit dan Aspek Medikolegalnya. Makalah, Simposium Sehari Tentang Trilogi Rahasia Kedokteran, Malpraktek dan Peran Asuransi. Jakarta : Hotel Borobudur, 2004.

    Djaja Surya Admadja. Malpraktek Medis,

    Pembuktian dan Pencegahannya, Makalah, Simposium Sehari Tentang Trilogi Rahasia Kedokteran. Malpraktek dan Peran Asuransi, Jakarta : Hotel Borobudur, 2004.

    Internet

  • Anonim. Perkembangan Rumah sakit dan Komite Etik Dalam Upaya Mencegah Krisis Malpraktek. www.waspadaonline.com, 2006.

    ______. MKDKI berwenang Tangani Kasus Malpraktek. www.tempointeraktif.com, 2005. Ardianingtyas dan Tambubolon, M. Charles.

    Kesalahan Diagnosis Dokter Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-Kah. www.hukumonline.com

    Simanjuntak Josmar. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, Peringatan Bagi Dokter Agar Lebih Berhati-Hati. www.sibononline.com.

    Peraturan Perundang-Undangan

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya

    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

    Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Paktek Kedokteran

    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

    Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata