parangtritis riset

Upload: erik-satria-prabowo

Post on 15-Feb-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    1/33

    1 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    PENGEMBANGAN INDUSTRI PARAWISATA

    PARANGTRITIS :

    Studi Dampak Sosial, Ekonomi, Dan Budaya

    Aryan Torrido

    Abstract

    Development of tourism in an area is sectoral abroad activity because

    related to many aspects of human life, so it will impact to the local

    community. The case of the study focus on 3 things, they are (1) what the

    shape of the community participation, (2) social, economy and culture effect

    especially on occupation and tradition on cooperate alteration, and (3) the

    policy of the government on tourism programs.

    Participation of Parangtitiss community are on economically activity

    and participate on support to governments tourism policy directly or not.

    On the other hand, development of tourism was impact to social and

    economy especially alteration on occupation that lead changing on economy

    structure from agriculture to trade and service structure. It is specially

    happened in orchard of Mancingan as the center of tourism activity, involve

    all the orchards in village of Parangtitis yet. The impact on the other

    orchards became smaller if the location is far from orchard of Mancingan In

    social and culture, the alteration is on cooperate that is on the

    implementation model and difference articulation in orchard ofMancingans community especially Depok. The other impact is the

    appearance of culture innovation in orchard of Mancingan that could be

    viewed as awareness of the community about how important of tourism in

    their life. In the bad side, development of tourism was also increase the

    prostitute that had negative effect on children and teenagers of the villages

    moral. The tourism policy of the government was support the community on

    trade, service and implementation on Sapta Pesona Programs. However,

    policy of the government on using and preservation the tourism object in

    Parangtitis is normatively, it means the implementation is not really real.

    Key Words: development, occupation and participation

    A. Pengembangan Pariwisata

    Sampai tahun 1980-an Parangtritis sebagai suatu objek wisata belum

    berkembang maju, sehingga pengunjung yang datang pun masih terbatas. Hal ini

    antara lain karena kendala sarana transportasi, keterbatasan fasilitas penunjang di

    Parangtritis, serta publikasi yang masih terbatas. Untuk mencapai Desa

    Parangtritis, pengunjung harus menyeberangi Sungai Opak dengan menggunakan

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    2/33

    2 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    getek atau sampan yang dibuat secara sederhana dengan teknologi masyarakat

    setempat. Getekini dipergunakan saat-saat musim hujan sehingga permukaan air

    Sungai Opak naik yang menyebabkan sulit diseberangi tanpa sarana getek

    tersebut. Pada saat musim kemarau sungai ini dapat diseberangi tanpa

    menggunakan getek, sekalipun pengunjung harus membuka sepatu dan

    menyingsingkan celana sebelumnya. Jalan alternatif ke Parangtritis memang ada

    tetapi dengan jarak tempuh yang lebih lama, yaitu melalui Imogiri dan Desa Siluk

    dari arah timur Parangtritis. Sementara itu Desa Parangtritis masih merupakan

    desa yang belum diolah sebagai daerah tujuan wisata, sehingga belum memiliki

    fasilitas penunjang yang memadai seperti losmen dan warung makan atau

    restoran.

    Pada tahun 1989, sejalan dengan meningkatnya pembangunan di

    berbagai sektor oleh pemerintahan orde baru, pembangunan jalan raya dari

    Yogyakarta langsung ke Parangtritis telah diselesaikan sekaligus dengan

    pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Opak di Desa Kretek. Dengan

    demikian hambatan dari aspek sarana transportasi telah hilang, karena Parangtritis

    sudah dapat dicapai dengan mudah dan dalam waktu yang tidak lama. Sejak itu

    Desa Parangtritis mulai berkembang sebagai daerah tujuan wisata, yang

    berdampak pada semakin banyaknya pengunjung ke daerah wisata tersebut.

    Di samping pembangunan infrastruktur berupa pembangunan jalan dan

    jembatan, pemerintah juga membangun sarana-fasilitas penunjang di sekitar

    obyek wisata Parangtritis untuk meningkatkan daya tariknya sebagai obyek wisata

    disamping untuk maksud merangsang investor lebih banyak terlibat dalam

    pengembangan daerah wisata Parangtritis tersebut. Berbagai sarana fasilitas yang

    diwujudkan pemerintah dalam rangka menunjang program Visit Indonesia Year

    1991 adalah : (1) Gardu pandang 2 buah, yang terbuat dari konstruksi beton 7 x

    7 m, terletak di sisi jalan trap-trapan tangga menuju Goa Jepang. (2) Pendapa

    joglo 2 buah, yaitu Pendapa Joglo Parangtritis dan Pendapa Joglo Parangkusuma,

    yang disewakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan tertentu oleh warga masyarakat

    pengunjung. (3) Parkir bus atau disebut juga parkir trayek, yang berfungsi sebagai

    tempat parkir kendaraan-kendaraan trayek umum yang mengangkut penumpang

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    3/33

    3 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    umum. (4) Monumen Panglima Besar Sudirman sebagai monumen peringatan atas

    peristiwa gerilya yang dilakukan oleh Jendral Sudirman pada masa-masa perang

    kemerdekaan tahun 1945-1949, dimana pada tempat tersebut Jendral Sudirman

    dan pasukannya pernah menetap. Monumen ini mengisi plasa yang berada di

    pinggiran jalan raya menuju pantai Parangtritis, dan pelataran monumen kadang-

    kadang dipergunakan sebagai tempat panggung hiburan. (5) Arena pacuan kuda

    yang masih bersifat sederhana. (6) Pengembangan obyek-obyek wisata ziarah

    yang berupa perbaikan jalan tangga menuju makam Syekh Bela-Belu dan Syekh

    Maghribi, dan pengadaan pagar serta bangunan untuk para peziarah ke komplek

    Petilasan Cepuri Watu Gilang Parangkusumo. (7) Gapura sebagai pintu gerbang

    masuk ke kawasan wisata Parangtritis yang sekaligus berfungsi sebagai Tempat

    Pemungutan Retribusi (TPR) oleh petugas pemerintah.

    Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ini tidak hanya

    memperkuat daya tarik Parangtritis sebagai tempat tujuan wisata, tetapi sejalan

    dengan bertambah besarnya jumlah wisatawan yang datang telah mendorong para

    investor atau pemilik modal untuk ikut terlibat mengembangkan kegiatan

    pariwisata di Parangtritis. Jika sebelumnya hanya terdapat beberapa losmen dan

    warung makan sederhana di Parangtritis, maka secara perlahan telah muncul

    berbagai losmen atau hotel dan warung makan dengan kualitas yang lebih baik di

    sekitar obyek wisata tersebut. Data terakhir dari Monografi Desa Parangtritis

    tahun 2010, terdapat 8 hotel, 181 losmen, dan 178 rumah makan atau restoran di

    Desa Parangtritis. Di samping itu telah muncul kesempatan-kesempatan kerja

    yang baru yang mengundang keterlibatan masyarakat dalam berbagai bentuk

    kegiatan ekonomi, sehingga menumbuhkan bangunan-bangunan baru sebagai

    tempat usaha yang berupa kios atau warung souvenir, tempat mandi dan WC, dan

    area parkir.

    Di Depok, salah satu dusun yang terdapat di Desa Parangtritis, sejak lama

    dikenal sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI) atau tempat transaksi antara para

    nelayan dengan pembeli yang umumnya adalah pedagang-pedagang atau bakul

    ikan. Sejak tahun 2000 TPI ini berkembang menjadi lebih ramai seiring dengan

    dibangunnya jalan raya menuju pantai tempat TPI tersebut. Para wisatawan

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    4/33

    4 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    tertarik mendatangi TPI tersebut karena di samping untuk melihat keindahan laut

    dan pantai, mereka juga bisa menyaksikan kegiatan para nelayan saat turun dari

    laut, serta bisa membeli dan memasak untuk makan di sana. Perkembangan wisata

    di Dusun Depok telah mengundang munculnya beberapa warung makan di sekitar

    TPI tersebut, di mana para wisatawan setelah membeli dengan memilih sendiri

    ikan yang disukai dapat memanfaatkan jasa dari warung makan untuk memasak

    dan menghidangkannya.

    Pengembangan kawasan pariwisata Parangtritis ini telah berhasil menarik

    wisatawan yang lebih besar sehingga pada tahun 1995 tercatat 1.477.044

    wisatawan yang datang ke Parangtritis. Jumlah wisatawan yang datang ini selalu

    berubah dari tahun ke tahun, karena arus wisatawan yang masuk sangat

    dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor keamanan, sosial politik dan

    ekonomi. Krisis moneter tahun 1997 dan krisis politik nasional tahun 1998 telah

    menurunkan jumlah wisatawan masuk ke Parangtritis menjadi 1.282.700 dan

    1.024.017 wisatawan. Data terakhir tahun 2009, wisatawan yang masuk ke

    Parangtritis naik lagi menjadi 1.436.984 wisatawan. Apabila dilihat dari arus

    wisatawan masuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Desa Parangtritis dapat

    disebut sebagai primadona tujuan wisata ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini

    dapat dilihat pada Tabel 1 berikut yang menggambarkan jumlah wisatawan ke

    berbagai obyek wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010.

    Tabel 1

    Sepuluh Obyek Wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta

    Berdasarkan Jumlah Wisatawan yang Datang, Tahun 2010

    Obyek Wisata Jumlah Wisatawan

    Pantai Parangtritis

    Taman Wisata Candi Prambanan

    Wana Wisata Kaliurang

    KRKB Gembira Loka

    Kraton Yogyakarta

    Pantai Baron, Kukup dan sekitarnya

    1.367.882

    1.071.885

    911.624

    355.515

    299.966

    239.900

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    5/33

    5 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Purawisata

    Pantai Glagah

    Candi Sambisari

    Kaliadem

    174.790

    117.671

    92.652

    68.105

    Jumlah 4.699.990

    Sumber : Data Statistik Pariwisata DIY Tahun 2010.

    B. Dampak Pariwisata

    Dampak Sosial Ekonomi

    Perkembangan industri di Parangtritis bukan saja memperbesar arus

    wisatawan yang masuk ke sana, tetapi juga telah mengundang migran dari luar

    desa. Munculnya para pendatang ini karena terbukanya banyak kesempatan kerja

    baru sehubungan dengan berkembangnya industri pariwisata di kawasan

    Parangtritis. Berdasarkan data dokumentasi yang ada terdapat 130 KK pendatang

    di Desa Parangtritis, yang semuanya berada di Dusun Mancingan dan Depok,

    seperti terlihat pada Tabel 2.

    Tabel 2

    Jumlah Pendatang di Desa Parangtritis, 2010

    Lokasi Jumlah (KK)

    Dusun Mancingan

    Dusun Depok

    115

    15

    Jumlah 130

    Sumber : Monografi Dusun Mancingan dan Depok, 2010

    Mayoritas pendatang tersebut bersifat liar, dalam arti mereka tidak

    berstatus atau tidak terdaftar sebagai penduduk desa dan status kepemilikan

    bangunan serta tanah yang mereka tempati bersifat ilegal. Hanya 15 KK

    pendatang yang berstatus tidak liar, dalam arti bangunan dan tanah yang mereka

    miliki merupakan hak milik yang legal dan sebagian besar mereka telah terdaftar

    sebagai penduduk Desa Parangtritis. Mereka ini pendatang dari daerah

    Yogyakarta sendiri, khususnya dari daerah Bantul, yang berusaha di bidang jasa

    losmen atau rumah makan.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    6/33

    6 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    1. Komoditas tanah

    Dominannya proporsi pendatang liar di Parangtritis berkaitan dengan

    luasnya tanah milik kraton (Sultan Ground) di Desa Parangtritis. Daerah

    Kabupaten Bantul memang menyimpan banyak tanah kraton di berbagai wilayah

    kecamatan, bahkan seluruh kawasan pantai dari Kabupaten ini, yang terdapat di

    wilayah kecamatan Kretek, Sanden, dan Srandakan berstatus tanah kraton (lihat

    Gambar 4), khususnya di Dusun Mancingan sebagai pusat kegiatan wisata

    Parangtritis. Dari 967,2 Ha luas wilayah Desa Parangtritis, sebanyak 33,5%

    merupakan tanah milik kraton yang umumnya adalah pasir di sepanjang pantai.

    Sejak lama tanah keraton ini tidak menimbulkan masalah karena nilai ekonominya

    yang rendah. Berbeda setelah berkembangnya industri wisata yang menyebabkan

    tanah keraton di kawasan wisata tersebut bernilai ekonomi tinggi.

    Ketika arus wisata yang masuk ke kawasan Parangtritis bergerak naik di

    tahun 1990, pendatang pun mulai muncul memanfaatkan peluang dan sebagian

    tinggal menetap di sana. Mereka memanfaatkan tanah kraton dengan membayar

    sewa pada penduduk desa yang mengaku diri sebagai penjaga tanah keraton

    tersebut. Ketika nilai tanah tersebut semakin tinggi, sejalan dengan bertambah

    majunya kegiatan pariwisata, jumlah pendatang yang masuk pun semakin banyak

    dengan memanfaatkan tanah-tanah keraton dengan sistem sewa maupun dengan

    memberi ganti rugi pada penduduk desa. Praktek jual beli tanah keraton

    berlangsung tanpa diketahui oleh pemerintahan desa. Fenomena seperti ini mudah

    terjadi karena nilai ekonomi tanah kraton yang pada saat itu masih rendah, di

    samping karena lemahnya pengawasan terhadap pemakaian tanah-tanah keraton

    yang luas itu

    Jadi dapat disimpulkan bahwa salah satu dampak pengembangan

    pariwisata di Parangtritis adalah semakin tingginya nilai tanah, khususnya di

    tempat-tempat strategis yang berada di sekitar pusat kegiatan wisata. Tanah milik

    penduduk desa yang relatif jauh dari pusat kegiatan wisata juga semakin tinggi

    nilainya karena banyaknya orang yang mencari tanah untuk investasi masa depan.

    Tanah di atas bukit yang dulu belum dipertimbangkan, sekarang mulai diincar

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    7/33

    7 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    berbagai pihak. jual beli tanah milik warga desa di daerah perbukitan sudah terjadi

    pada 10 tahun belakangan ini.

    2.

    Pergeseran okupasi

    Dari data tersebut dapat pula disimpulkan bahwa naiknya nilai jual tanah

    dan terbukanya peluang-peluang kerja yang baru telah menyebabkan terjadinya

    pergeseran okupasi, yaitu dari sektor pertanian ke sektor jasa. Apabila dilihat

    struktur angkatan kerja pada tingkat Desa Parangtritis, pergeseran okupasi itu

    relatif kecil sebagaimana terlihat pada Tabel 3 berikut. Data tebel ini

    memperlihatkan adanya penurunan proporsi penduduk yang bekerja sebagai

    petani dari 60,8 persen di tahun 2000 menjadi 57,7 persen di tahun 2010,

    sementara proporsi penduduk yang bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta

    naik dari 16,8 persen menjadi 18,6 persen pada 4 tahun berikutnya di tahun 2010.

    Tabel 3.

    Penduduk Angkatan Kerja Desa Parangtritis

    Menurut Mata Pencaharian, Tahun 2006 dan 2010

    Mata Pencaharian

    Tahun 2006 Tahun 2010

    % %

    PNS

    TNI / POLRI

    Karyawan Swasta

    Pedagang/Wiraswasta

    Pertukangan

    Jasa

    Tani

    Buruh Tani

    Nelayan

    Pensiunan

    270

    56

    216

    800

    61

    132

    2.886

    233

    60

    33

    5.7

    1.2

    4.5

    16.8

    1.3

    2.8

    60.8

    4.9

    1.3

    0.7

    291

    67

    277

    969

    61

    145

    2.998

    251

    93

    44

    5.6

    1.3

    5.3

    18.6

    1.2

    2.8

    57.7

    4.8

    1.8

    0.9

    Jumlah 4.747 100 5.196 100

    Sumber: Monografi Desa Parangtritis, Tahun 2006 dan 2010

    Angka pergeseran okupasi angkatan kerja seperti yang diperlihatkan data

    tabel 3 relatif kecil karena beberapa faktor. Pertama karena pergeseran okupasi

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    8/33

    8 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    angkatan kerja yang diamati terbatas pada kurun waktu yang singkat, hanya 4

    tahun. Kedua karena masa puncak dari terjadinya pergeseran okupasi angkatan

    kerja itu telah lewat, yaitu terjadi pada tahun-tahun 1995-1997. Ketiga karena

    pergeseran okupasi angkatan kerja tersebut dominan terjadi di satu pedusunan

    saja, yaitu Dusun Mancingan, hal mana menunjukkan bahwa pergeseran okupasi

    yang terjadi memang karena faktor berkembangnya kegiatan pariwisata yang

    terfokus di Dusun Mancingan. Sepuluh dusun lainnya tidak memperlihatkan

    pergeseran okupasi angkatan kerja pendudukyang berarti, kecuali di Dusun Depok

    yang kawasan pantainya berbatasan langsung dengan kawasan pantai Dusun

    Mancingan. Sejak tahun 2000 kegiatan wisata yang terpusat di Dusun Mancingan

    mulai mengimbas ke Dusun Depok dengan mendayagunakan tempat pelelangan

    ikan yang ada di Pantai Depok sebagai media kegiatan wisata yang baru. Oleh

    karena itu pergeseran okupasi angkatan kerja mulai terasa di Dusun Depok,

    sekalipun pada tingkat yang masih jauh di bawah pergeseran okupasi yang terjadi

    di Dusun Mancingan.

    Data Tabel 4 menunjukkan lebih jelas bahwa pergeseran okupasi yang

    terjadi memang dari sektor pertanian ke sektor jasa, hal mana menunjukkan

    bahwa pergeseran okupasi itu betul-betul karena perkembangan pariwisata. Jika

    pada tahun 1995 mayoritas (79,1%) angkatan kerja penduduk Dusun Mancingan

    bekerja sebagai petani, maka pada tahun 2010 proporsi petani itu tinggal 1,5

    persen. Angkatan kerja pada kegiatan ekonomi buruh tani dan nelayan juga

    menunjukkan penurunan. Tetapi pada kegiatan ekonomi wiraswasta atau

    pedagang terjadi sebaliknya, yaitu naik dari 15,5 persen di tahun 1995 menjadi

    89,0 persen di tahun 2010. Dengan memperhatikan data tabel tersebut dapat

    disimpulkan terjadinya pergeseran okupasi angkatan kerja yang sangat signifikan

    sehingga merubah struktur perekonomian masyarakat Dusun Mancingan dari

    struktur perekonomian agraris ke perekonomian yang didominasi sektor jasa.

    Kegiatan-kegiatan ekonomi sektor jasa yang menonjol adalah penginapan, warung

    makan atau restoran, tempat mandi dan WC, warung grobogan, toko kelontong,

    bendi, perparkiran, seperti telah dipaparkan sebelumnya.

    Tabel 4.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    9/33

    9 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Penduduk Angkatan Kerja Dusun Mancingan, Parangtritis

    Menurut Mata Pencaharian, Tahun 1995 dan 2010

    Mata PencaharianTahun 1995 Tahun 2010

    % %

    PNS

    TNI / POLRI

    Petani

    Pedagang/Wiraswasta

    Buruh Tani

    Nelayan

    Pensiunan

    Karyawan Swasta

    8

    2

    683

    134

    24

    12

    -

    -

    0.9

    0.2

    79.1

    15.5

    2.8

    1.4

    -

    -

    34

    16

    15

    905

    7

    -

    4

    36

    3.3

    1.6

    1.5

    89.0

    0.7

    0.4

    3.5

    Jumlah 863 100 1.017 100

    Sumber: Monografi Dusun Mancingan, Tahun 1995 dan 2010

    Pergeseran okupasi angkatan kerja ini terjadi dalam suatu proses, yang

    melewati tahap-tahap transisi, di mana warga desa yang memasuki kegiatan-

    kegiatan sektor jasa tidak sekaligus meninggalkan kegiatan ekonominya di sektor

    pertanian. Kehadiran mereka di sektor jasa mula-mula bersifat kegiatan

    sampingan, tetapi sejalan dengan semakin besarnya arus wisatawan yang datang

    maka kegiatan ekonomi sektor jasa itu menjadi pekerjaan utama sementara

    kegiatan sektor pertanian berubah menjadi pekerjaan sampingan. Secara perlahan

    kegiatan-kegiatan sektor pertanian ini mulai banyak ditinggalkan, sekalipun masih

    ada yang tetap mempertahankan usaha pertanian tersebut sebagai kegiatan

    sampingan. Sekitar 30 persen dari angkatan kerja yang bergerak di sektor jasa itu

    tetap mempertahankan usaha pertanian sebagai usaha sampingan.

    Sifat transitif dari pergeseran okupasi angkatan kerja tersebut dapat

    disebut sebagai perwujudan dari respon penduduk desa yang hati-hati dalam

    mengambil kesempatan-kesempatan baru yang mereka belum begitu tahu. Oleh

    karena itu keterlibatan mereka pada sektor-sektor jasa yang muncul pun bersifat

    perlahan, setelah melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan banyak faktor.

    Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah perkembangan arus

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    10/33

    10 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    wisatawan yang datang, hari-hari kunjungan wisatawan yang terbatas, dan

    kemampuan mereka dalam mengelola kegiatan sektor jasa tersebut.

    Pengalaman dari Bagiyo Giyanto, warga Dusun Mancingan yang memiliki

    Losmen Hanoman sebagai salah satu losmen yang termasuk besar di Parangtritis,

    dapat menggambarkan respon kehati-hatian warga desa ketika beralih dari

    kegiatan ekonomi sektor pertaniann yang secara tradisional mereka kuasai ke

    sektor jasa yang baru mereka kenal. Pada awalnya ia adalah petani pemilik yang

    terpandang di desanya, kemudian mencoba memasuki sektor jasa dengan

    mendirikan penginapan sebanyak 6 kamar dengan memanfaatkan lahan kosong

    miliknya. Ketika arus wisatawan semakin besar sehingga persewaan kamarnya

    memberi keuntungan lebih besar, pengalaman managerial penginapan pun

    semakin dikuasai, maka kepercayaan diri untuk menekuni kegiatan ekonomi jasa

    penginapan itupun semakin besar sehingga pada tahun 1995 ia berani menjual

    sebagian besar lahan sawahnya untuk mengembangkan usaha penginapannya

    menjadi sebuah losmen dengan bangunan yang lebih bagus. Menurut dia

    keputusan untuk menjual tanah sawah itu diambil setelah cukup yakin bahwa

    usaha penginapan dapat lebih menjamin masa depan keluarga.

    3. Ketidakseimbangan ekonomi pedesaan

    Kegiatan pariwisata yang berkembang telah menimbulkan pergeseran

    okupasi angkatan kerja penduduk Desa Parangtritis. Karena faktor penyebab

    terjadinya pergeseran okupasi adalah kegiatan pariwisata, maka pergeseran

    okupasi angkatan kerja yang paling mencolok adalah di Dusun Mancingan

    sebagai pusat kegiatan wisata di kawasan wisata Parangtritis. Dusun lain yang

    jauh dari pusat kegiatan wisata itu tidak memperlihatkan pergeseran okupasi yang

    signifikan, sebagaimana yang terjadi di Dusun Sono yang merupakan dusun

    terjauh dari pusat kegiatan wisata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

    Dusun Mancingan telah mempunyai struktur dan kekuatan ekonomi yang berbeda

    dengan dusun-dusun lainnya.

    Tabel 5.

    Penduduk Angkatan Kerja Menurut Mata Mata Pencaharian

    Dusun Depok, Grogol VII, Sono, Tahun 2010

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    11/33

    11 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Mata Pencaharian

    Dusun Depok Dusun Grogol VIIDusun

    Sono

    % % %

    Tani

    Buruh Tani

    Nelayan

    PeternakAyam & Bebek

    Wiraswasta, Pedagang

    Tukang Kayu, Batu

    PNS

    TNI, Polri

    Pensiunan

    105

    -

    5

    -

    34

    -

    10

    4

    -

    66.5

    -

    3.2

    -

    21.5

    -

    6.3

    2.5

    -

    183

    11

    -

    -

    32

    25

    10

    2

    1

    69.3

    4.2

    -

    -

    12.1

    9.5

    3.8

    0.8

    0.3

    326

    -

    2

    4

    25

    -

    38

    4

    -

    81.7

    -

    0.5

    1.0

    6.3

    -

    9.5

    1.0

    -

    Jumlah 158 100 264 100 399 100

    Sumber: Monografi Dusun Depok, Grogol VII dan Sono, 2010

    Tabel 5 memperlihatkan perbandingan struktur penduduk menurut mata

    pencaharian di Dusun Depok, Grogol VII dan Sono. Ketiga dusun ini merupakan

    sampel untuk dibandingkan antara Depok sebagai dusun yang berbatasan

    langsung dengan Mancingan (pusat kegiatan wisata) dengan Grogol VII sebagai

    dusun yang tidak berbatasan langsung tapi tidak terlalu jauh dari Mancingan, dan

    dengan Sono sebagai dusun yang terjauh dari Mancingan. Data tabel ini secara

    jelas menunjukkan bahwa semakin jauh dari pusat kegiatan wisata yang berada di

    Mancingan maka struktur perekonomian penduduk semakin dominan agraris, di

    mana proporsi angkatan kerja yang berada di sektor pertanian semakin besar.

    Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih sangat dominan

    (83,2%) di Dusun Sono, sementara di Dusun Grogol VII dominasi sektor

    pertanian itu turun menjadi 71,5 persen, dan di Dusun Depok lebih kecil lagi

    menjadi 69,7 persen. Sebaliknya dengan mengamati proporsi penduduk yang

    bekerja di sektor jasa perdagangan atau wiraswasta, di Dusun Sono proporsinya

    sangat kecil (6,3%) dan semakin besar di Dusun Grogol VII (12,1%) dan Dusun

    Depok (21,5%). Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan sektor wiraswasta

    atau pedagang di Dusun Depok jauh lebih besar dibandingkan dengan Dusun

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    12/33

    12 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Grogol VII dan Dusun Sono. Ini berkaitan dengan adanya Tempat Pelelangan

    Ikan (TPI) di Depok yang semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, dan juga

    posisi Dusun Depok yang lebih dekat dengan Dusun Mancingan sebagai pusat

    kegiatan pariwisata.

    Karena pengembangan TPI di Depok relatif masih baru (8 tahun), maka

    struktur perekonomian yang ada di Dusun Depok masih dalam masa transisi,

    sehingga 80 persen penduduk Dusun Depok sekarang ini mempunyai pekerjaan

    sampingan di sektor pariwisata yang ada di TPI tersebut, dengan semakin

    ramainya TPI Depok sebagai salah satu tujuan wisatawan datang ke Parangtritis,

    mendorong penduduk Depok untuk melakukan kegiatan-kegiatan usaha di luar

    dari sektor pertanian yang biasa mereka lakukan. Kegiatan-kegiatan ini muncul

    sebagai dampak dari perkembangan TPI tersebut, walaupun sebagian besar

    penduduk masih melakukan kegiatan di TPI Depok hanya sebatas merupakan

    pekerjaan sampingan saja. Proses ini merupakan transisi yang sama dengan yang

    terjadi di Dusun Mancingan pada awal perkembangan pariwisata di pantai

    Parangtritis.

    Dampak Sosial Budaya

    Kegiatan pariwisata yang semakin berkembang, di samping mengundang

    masuknya wisatawan dan pencari kerja, telah mengundang masuknya norma dan

    nilai sosial yang tidak sama dengan nilai masyarakat setempat. Perubahan struktur

    perekonomian masyarakat dari yang semula bersifat agraris ke masyarakat yang

    lebih didominasi sektor jasa, seperti di Dusun Mancingan, telah menimbulkan

    terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Masyarakat

    agraris yang biasanya mempunyai kesetiakawanan yang kuat memperlihatkan

    pergeseran ketika berubah menjadi masyarakat jasa atau industri, karena pola

    hubungan antar-warga telah bergeser dari pola yang bersifat paguyuban ke pola

    hubungan yang bersifat patembayan. Dalam masyarakat agraris kesetiakawanan

    antar-warga itu kuat karena belum didominiasi pamrih-pamrih tertentu

    (paguyuban), sementara dalam masyarakat jasa/industri kesetiakawanan itu

    cenderung bersifat fungsional karena diliputi pamrih-pamrih tertentu

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    13/33

    13 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    (patembayan). Hal ini juga terlihat di kawasan wisata Parangtritis, khususnya di

    pusat kegiatan wisata yang berada di Dusun Mancingan.

    Tradisi gotong royong

    Sejalan dengan pergeseran okupasi angkatan kerja yang berlangsung

    evolutif seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka dampak kegiatan pariwisata

    pada kehidupan sosial budaya juga berlangsung dalam suatu proses yang bergerak

    secara pasti. Tradisi gotong royong misalnya, sekalipun tradisi ini tetap kelihatan

    ada namun telah mengalami perubahan dalam pola serta artikulasinya. Gotong

    royong untuk bersih lingkungan misalnya, kalau dulu bisa dilakukan sembarang

    hari sesuai dengan kebutuhan, sekarang tidak lagi karena di Dusun Mancingan

    mereka sangat mempertimbangkan hari-hari kesibukan yang dipengaruhi oleh

    kunjungan wisatawan. Di dusun-dusun lain tradisi gotong royong untuk bersih

    lingkungan itu masih berlangsung seperti di desa-desa Jawa umumnya, tetapi di

    Dusun Mancingan tradisi itu sudah jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabkan

    kebersihan lingkungan di Dusun Mancingan telah terpelihara secara mekanis,

    digerakkan dengan suatu sistem yang didukung berbagai sarana dan manusia.

    Pemeliharaan kebersihan tersebut masuk dalam program Sapta Pesona,

    melibatkan beberapa petugas kebersihan yang dibayar untuk itu.

    Pesta-pesta perkawinan, kelahiran, atau sunatan yang secara tradisi

    mengundang partisipasi warga lain tetap saja berlangsung normal, dalam arti

    warga desa masih mewajibkan dirinya untuk datang dengan memberi sumbangan

    berupa uang. Menurut Suryanta, Kepala dusun Grogol VII, besarnya sumbangan

    sesuai dengan kerelaan masing-masing, sekalipun kalau sekarang umumnya

    sekitar Rp. 30.000. Di samping itu, gotong royong dalam bentuk sumbangan

    tenaga juga masih ada, di mana kaum ibu dari tetangga yang punya hajat turut

    membantu (ewang) mempersiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan hajat atau

    pesta tersebut. Jadi sumbangan uang tersebut, menurut Suryanta, dimaksudkan

    agar kehadiran warga ke pesta itu tidak membebani orang yang punya hajat.

    Di Dusun Mancingan tradisi ini tetap ada, hanya saja waktu

    pelaksanaannya yang berbeda dengan dusun-dusun lainnya. Pesta-pesta

    perkawinan, kelahiran atau sunatan di Dusun Mancingan dilaksanakan pada hari -

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    14/33

    14 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    hari di mana kunjungan wisatawan sedikit supaya kegiatan pesta itu tidak

    mengganggu kegiatan ekonomi warga dusun. Apabila hari pelaksanaan terjadi

    pada saat wisatawan banyak yang datang, maka warga dusun yang datang

    cenderung berkurang. Hal ini yang menyebabkan mereka lebih selektif dalam

    memilih hari, yaitu pada hari-hari sepinya pengunjung wisatawan.

    Warga Dusun Mancingan tidak jarang mendapat undangan untuk satu

    hajat tertentu dari warga dusun lain, maka mereka pun biasanya tetap hadir.

    Hanya saja kalau undangan itu pada saat ramai wisatawan, maka kedatangan

    mereka hanya sekedar menyampaikan sumbangan uang. Secara umum, menurut

    Tri Waldiyana, warga Dusun Mancingan sudah mempunyai perilaku yang berbeda

    dalam menghadiri pesta atau hajatan di desa. Mereka biasanya sudah tidak turut

    wirunggan, yaitu kebiasaan ngobrol berlama-lama dengan warga lain yang

    ketemu bareng menghadiri hajatan tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagai dampak

    dari pola kerja di sektor jasa yang menuntut pemanfaatan waktu lebih intensif dan

    lebih disiplin.

    Gotong royong untuk mertidusunyang secara tradisional dilakukan sekali

    setahun di desa-desa masyarakat Jawa, juga tetap dilaksanakan di Desa

    Parangtritis. Pelaksanaannya dilakukan di masing-masing dusun dengan waktu

    yang tidak sama. Kegiatan merti dusun ini dilakukan warga dusun secara total,

    dalam arti seluruh warga (bahkan warga yang bekerja dan tinggal di tempat lain

    menyempatkan diri untuk hadir) terlibat gotong royong membersihkan dusun, dan

    pekerjaan yang dilakukan betul-betul membuat dusun tampil baru-bersih.

    Kegiatan ini juga menjadi media untuk pertemuan seluruh warga dusun,

    silaturahmi dengan memperbaharui kesetiakawanan antar-warga, yang biasanya

    diisi dengan beberapa kegiatan pendukung serta makan bersama. Tetapi di Dusun

    Mancingan motif pelaksanaan merti dusun tempil lebih atraktif dan komersial,

    dilakukan untuk mendukung kegiatan pariwisata dengan cara memadukannya

    dengan tradisi kegiatan labuhan sedekah laut. Penggabungan ini terjadi ketika

    esensi kegiatan merti dusun sudah kurang relevan, karena program Sapta Pesona

    telah membuat Dusun Mancingan selalu bersih sehingga merti dusun kehilangan

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    15/33

    15 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    makna fungsionalnya, sementara tuntutannya sebagai suatu tradisi tetap kuat maka

    masyarakat tetap mengadakannya.

    Komoditas lembaga-lembaga budaya

    Penggabungan antara kegiatan merti dusun dan labuhan sedekah laut

    disebut menjadiPisungsum JaladriBhekti Pertiwi yang dimulai sejak tahun 1995.

    Kegiatan penggabungan itu berlangsung selama 4 hari pada sekitar Bulan Mei,

    dimulai dari hari Minggu sampai Selasa Wage sebagai kegiatan merti dusun dan

    hari Rabu Kliwon untuk acara labuhan sedekah laut (pisungsun jaladri). Pada

    malam Rabunya, setelah acara merti dusun, diadakan pertunjukan wayang

    semalaman di pendopo joglo Dusun Mancingan. Pertunjukan kesenian wayang ini

    mampu menyedot pengunjung yang banyak dari daerah-daerah Kabupaten Bantul

    dan Gunung Kidul. Pengunjung yang datang ini umumnya warga Yogyakarta

    yang tertarik dengan kesenian wayang, bukan wisatawan dari luar Yogyakarta.

    Namun dengan banyaknya pengunjung yang datang telah mampu meningkatkan

    kegiatan ekonomi di Dusun Mancingan, di mana-mana pedagang asongan,

    warung grobogan dan jasa perparkiran mendapat kesempatan untuk mengambil

    keuntungan pada malam kesenian wayang tersebut.

    Pertunjukan wayang kulit pada malam Rabu Kliwon biasanya dengan

    menampilkan dalang terkenal dari luar, sehingga mampu mengundang

    pengunjung yang lebih banyak. Kehadiran dalang yang terkenal itu bisa

    merangsang kelompok kesenian wayang kulit yang ada di Parangtritis. Menurut

    Mirat, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Parangtritis, terdapat dua

    perkumpulan wayang kulit di Desa Parangtritis yang biasa latihan di Pendopo

    Joglo di Parangkusumo. Perkumpulan wayang kulit ini selalu terlibat pada

    kegiatan pertunjukan wayang kulit semalaman suntuk menjelang acara labuhan

    sedekah laut tersebut, sehingga penampilan dalang terkenal yang diundang telah

    mendinamisasi kegiatan perkumpulan wayang kulit tersebut. Apresiasi

    masyarakat terhadap kesenian tradisional wayang kulit tetap hidup, yang antara

    lain dapat dilihat dari frekuensi latihan perkumpulan wayang kulit yang ada

    semakin naik dengan jumlah penonton rata-rata sekitar 25 orang.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    16/33

    16 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Kegiatan labuhansedekah laut atau disebut juga dengan pisungsun jaladri

    adalah suatu upacara tradisional yang dimaksudkan sebagai pengungkapan rasa

    syukur penduduk desa atas keberhasilan panen mereka. Oleh karena itu kegiatan

    labuhanini selalu diadakan setelah penduduk memanen hasil pertaniannya, yang

    biasanya pada sekitar bulan Mei. Ungkapan rasa syukur itu diwujudkan dengan

    memberikan sebagian dari rejeki yang mereka dapatkan dalam bentuk-bentuk

    jadah, wajik, pisang raja, bunga rosulan, jajan pasar, jenang merah-putih, dan

    tumpeng mancanegara. Pemberian atau sesajen ini diwadahi ancak,1 kemudian

    disajikan dengan cara dilabuh ke laut dengan maksud agar makhluk-makhluk

    halus yang ada di sana tidak mengganggu penduduk. Tujuan upacara labuhan

    sekarang telah mengalami pergeseran makna, karena penduduk yang umumnya

    beragama Islam lebih melihatnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan

    Yang Maha Esa, disamping sebagai suatu atraksi budaya. Pergeseran makna ini

    dengan jelas terlihat pada acara kenduri yang dilakukan setelah Labuhan

    Pisungsun Jaladri di Pendopo Joglo Pariwisata Parangkusumo. Acara kenduri ini

    dihadiri pejabat-pejabat pemerintah dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten.

    Inti acara adalah ikrar tentang sesaji kenduri sebagai ungkapan rasa syukur

    terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta doa secara Islam.yang disampaikan oleh

    tokoh masyarakat Dusun Mancingan.

    Kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi beberapa tahun terakhir ini

    dilakukan lebih besar sebagai upaya mendukung kegiatan pariwisata di kawasan

    Parangtritis. Upaya ini dilakukan dengan swadaya masyarakat Dusun Mancingan,

    yaitu dengan mengambil sebagian dari kas dusun, sumbangan warga/pelaku bisnis

    di Mancingan, serta urunan dari semua warga di Dusun Mancingan. Keterlibatan

    warga RT secara langsung terlihat dalam pengadaan materi untuk persembahan

    (sesaji) dan kenduripada upacara labuhan dan kenduridi hari Rabu Kliwon, di

    mana masing-masing warga RT memberikan satu jandhang2 untuk kegiatan

    kenduritersebut.

    1Ancak: wadah yang terbuat dari batang pisang berbentuk segi empat dengan diberi alas

    belahan bambu digunakan sebagai tempat sesaji labuhan.2

    Jandhang: terbuat dari kayu dengan ukuran 1,5 m x 1 m dan tingginya kira-kira 15 cmdan digunakan sebagai tempat untuk sesaji kenduri.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    17/33

    17 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Dana yang besar diperlukan untuk acara labuhan, kesenian wayang kulit

    semalam suntuk, serta rangkaian kegiatan merdi dusun selama tiga hari, yaitu

    sejak hari Minggu sampai Selasa Wage. Keterbatasan dana dari swadaya

    masyarakat dusun menyebabkan kegiatanPisungsun Jaladri Bhekti Pertiwibelum

    mampu menarik kunjungan wisatawan dalam jumlah yang signifikan.

    Keterbatasan dana itu antara lain berdampak pada terbatasnya publikasi yang

    dilakukan, yaitu hanya dengan memasang spanduk-spanduk pada berbagai

    tempat-tempat strategis di wilayah Bantul serta membayar jasa iklan lewat

    beberapa radio amatir di Bantul.

    Namun bagaimanapun, kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi

    merupakan satu inovasi kultural yang dapat dilihat sebagai kreasi masyarakat

    Dusun Mancingan untuk menunjang industri wisata yang terkonsentrasi di dusun

    mereka. Hal ini timbul dari satu kesadaran kolektif bahwa kehidupan mereka

    sudah tergantung pada kunjungan wisatawan ke dusun mereka, di mana mayoritas

    penduduk Dusun Mancingan tidak lagi hidup dari sektor pertanian tetapi pada

    sektor-sektor jasa yang berkaitan dengan kehadiran wisatawan. Oleh karena itu

    timbul upaya-upaya inovatif untuk mendayagunakan potensi kultural yang mereka

    miliki sehingga menjadi suatu komoditi yang lebih menarik untuk dijual pada

    wisatawan.

    Di samping kendala dana dan kurang pengalaman karena relatif masih

    baru, kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi belum mampu menarik

    datangnya wisatawan dalam jumlah besar karena kalah pamor dengan upacara

    tradisional labuhan yang diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tiap

    tahun pada tanggal satu Suro. Upacara ini dilakukan di kawasan pantai di Dusun

    Mancingan juga, dan secara tradisional labuhan inilah yang dikenal masyarakat

    secara luas. Disamping upacara tradisional labuhan, menurut H. Prayikno yang

    dikenal sebagai sesepuh desa, upacara Peh Cun3merupakan dua kegiatan budaya

    tradisional yang sejak lama menarik perhatian masyarakat banyak untuk datang ke

    3 Peh Cun: upacara tradisional dari masyarakat Cina yang jatuh pada tanggal 5 bulan

    tahun kalender Cina. Upacara ini disebut dengan hari raya Wan Yang, yang dilakukan pada saat

    teriknya matahari sekitar pukul 11.00-13.00, yang konon pada saat itu gravitasi bumi dan bulan

    sangat kuat. Sehingga telor dapat didirikan tegak di permukaan bumi. Di Parangtritis, pesta inidimeriahkan dengan festival Barongsai dan Liong.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    18/33

    18 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Pantai Parangtritis. Jadi sampai sekarang upacara tradisional yang paling banyak

    mengundang wisatawan ke Parangtritis adalah upacara labuhan yang

    diselenggarakan oleh Keraton pada 1 Suro, dan upacara Peh Cun yang mampu

    mengundang wisatawan dari etnik Cina khususnya dari berbagai kota.

    Komoditas seks

    Arus wisatawan masuk yang semakin besar bukan hanya sebagai potensi

    pasar yang menggembirakan pelaku bisnis di Mancingan, tetapi juga memiliki

    potensi destruktif dari segi moral kemasyarakatan. Karakter wisatawan yang

    heterogen menyebabkan kehadiran mereka secara langsung atau tidak langsung

    telah mendemonstrasikan perilaku yang beraneka ragam dan sudah tentu banyak

    yang tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat setempat. Perilaku mereka

    dalam berpakaian, berkomunikasi dengan orang lain, hubungan antara laki-laki

    dan perempuan dengan sendirinya telah mempengaruhi perilaku masyarakat

    setempat. Pengaruh itu bisa dalam bentuk menerima adanya perbedaan norma

    dalam berpakaian atau berperilaku, tetapi ada juga dalam masyarakat Dusun

    Mancingan sudah terbiasa melihat pola berpakaian yang beraneka ragam tanpa

    mempersoalkannya, sementara dalam berkomunikasi mereka tidak canggung

    mempergunakan Bahasa Indonesia karena telah terbiasa berinteraksi dengan

    wisatawan yang bersifat heterogen. Pola hubungan laki-laki dan perempuan juga

    mengalami perubahan menjadi lebih longgar, dalam arti norma hubungan antara

    laki-laki dengan perempuan tidak lagi jauh berbeda dengan norma hubungan antar

    warga secara umum. Dalam hal ini kehadiran kalangan perempuan Pekerja Seks

    Komersial (PSK) memberikan dampak yang menjadi keprihatinan beberapa

    pemuka masyarakat desa.

    Sejalan dengan perkembangan industri wisata di Parangtritis, semakin

    besarnya jumlah pengunjung yang datang untuk bersenang-senang ternyata juga

    memperbesar potensi pasar dari para PSK. Data dari Dinas Kesehatan

    menunjukkan adanya 110 perempuan PSK yang tinggal di Parangtritis, di

    samping ratusan PSK kalong yang datang hanya pada malam Selasa Kliwon

    dan Jumat Kliwon. Para PSK yang menetap di Dusun Mancingan tinggal di

    rumah-rumah penduduk, yaitu 70 orang di Parangkusumo dan 40 orang di

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    19/33

    19 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Parangbolong.4Warga dusun yang menampung PSK sekaligus berperan sebagai

    mucikari, yang melindungi dan menjamin makanan mereka setiap hari. Imbalan

    atas jasa yang diberikan para mucikari adalah uang sekitar Rp. 15.000 (jumlah ini

    tergantung kesepakatan) untuk setiap tamu yang datang memanfaatkan jasa PSK

    tersebut.

    Ratusan PSK yang tinggal menetap di Dusun Mancingan sudah tentu

    punya dampak moral terhadap masyarakat setempat. Keterlibatan mereka secara

    penuh dalam interaksi sosial masyarakat dusun, di samping citra yang dibawa

    dengan status perempuan PSK, akan mempengaruhi perkembangan kejiwaan

    anak-anak dan remaja Dusun Mancingan. Hal ini menjadi keprihatinan para orang

    tua karena para PSK itu membaur dengan masyarakat, setiap hari perilaku mereka

    semua dilihat anak-anak.

    Dampak lain dari kehadiran banyak perempuan PSK yang menetap di

    dusun adalah timbulnya hubungan personal yang akrab antara mereka dengan

    kalangan remaja Dusun Mancingan. Sekalipun mereka membawa citra yang tidak

    baik, tetapi interaksi sosial yang terus berlangsung tidak menutup terjadinya

    hubungan-hubungan personal dengan warga Dusun Mancingan. Menurut Bagiyo

    Giyanto, pemilik Losmen Hanoman, tidak sedikit pemuda dusun yang menjalin

    hubungan cinta dengan perempuan PSK tersebut. Dia sendiri punya anak yang

    pernah terlibat affair dengan PSK itu, dan hal itu menjadi persoalan besar dalam

    keluarga yang sempat mengganggu kepekatan hubungan dalam keluarganya.

    Kehadiran perempuan PSK kalong pada malam Selasa Kliwon dan

    Jumat Kliwon telah mengurangi sakralitas tempat-tempat ziarah di Mancingan,

    Parangtritis. Tiga tempat ziarah di Mancingan yang dipercayai oleh masyarakat

    Jawa khususnya sebagai tempat yang bisa memberi berkahjika diziarahi dan atau

    tirakat di sana pada malam-malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon adalah

    Makam Syekh Maghribi, Makam Syekh Bela-Belu, dan petilasan Watu Gilang di

    Parangkusumo. Kehadiran para PSK kalong dalam jumlah yang besar pada

    malam-malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, menyebabkan kesakralan

    tempat-tempat ziarah itu berkurang karena sementara beberapa peziarah bertirakat

    4Dokumentasi Dinas Kesehatan Kab. Bantul, 2005.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    20/33

    20 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    di petilasan Parangkusumo mereka berkeliaran menawarkan diri di sekitar

    petilasan tersebut. Jumlah peziarah yang datang memang cenderung meningkat,

    tetapi motivasi peziarah mengalami pergeseran karena semakin kuatnya daya tarik

    perempuan PSK tersebut. Pergeseran motivasi itu paling tidak dapat dilihat dari

    dua indikator. Pertama, semakin kecilnya proporsi peziarah yang bertirakat di

    Parangkusumo, hanya sekitar 10 persen dari total pengunjung yang ada. Kedua,

    semakin dominannya peran petilasan Parangkusumo dibandingkan dengan

    Makam Syekh Maghribi dan Syekh Bela-Belu. Pada masa lalu, proporsi peziarah

    terbesar adalah ke Makam Syekh Bela-Belu dan minoritas ke petilasan

    Parangkusumo. Sekarang mayoritas peziarah berada di Petilasan Parangkusumo,

    minoritas ke Makam Syekh Bela-Belu. Perubahan angka-angka proporsi ini bisa

    dilihat sebagai akibat dari adanya pergeseran motivasi, sebab mereka yang datang

    ke Makam Syekh Maghribi dan Syekh Bela-Belu hampir dipastikan berniat untuk

    ziarah sementara mereka yang datang ke Petilasan Parangkusumo belum tentu

    berniat berziarah karena semakin besarnya perempuan PSK di sana.

    C. Kebijakan Pariwisata di Parangtritis

    Pola pengembangan obyek wisata di Parangtritis dikendalikan oleh

    Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, yang dalam hal ini dilakukan Dinas

    Pariwisata Kabupaten Bantul. Sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No.42

    Tahun 2000, Dinas Pariwisata merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di

    bidang kepariwisataan. Pada pasal 5 dari Perda tersebut disebutkan bahwa Dinas

    Pariwisata berfungsi untuk menyusun rencana dan program kebijakan bidang

    kepariwisataan, melakukan pembinaan umum dan pembinaan operasional bidang

    pariwisata, memberikan bimbingan tekhnis dan memberikan perijinan bidang

    kepariwisataan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian tekhnis bidang

    kepariwisataan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati. Untuk dapat

    menjalankan fungsi-fungsi tersebut telah dibangun organisasi Dinas Pariwisata

    yang penjabaran lebih rinci tentang tugas-tugas pokoknya diatur dalam Keputusan

    Bupati Bantul No.149 Tahun 2001.

    Dinas Pariwisata Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bantul telah

    menyusun rencana strategis pengembangan pariwisata di daerah Kabupaten

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    21/33

    21 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Bantul untuk tahun 2001-2-005, dimana visi yang dikembangkan adalah untuk

    menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan yang mampu menggerakkan roda

    perekonomian daerah Bantul. Untuk itu telah dirumuskan 5 misi pembangunan

    pariwisata, yaitu: (1) Mengembangkan wisata alam dan budaya serta seluruh

    potensi yang dimiliki dengan berorientasi pada wisata kerakyatan. (2)

    Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan multisektoral dan lintas wilayah.

    (3) Bekerja secara sistematis, berkesinambungan, ramah lingkungan dengan tetap

    memperhatikan aspek kelestarian potensi yang dimiliki. (4) Meningkatkan

    profesionalisme kualitas pelayanan pariwisata melalui peningkatan kualitas

    kelembagaan, manajemen, sumber daya manusia. (5) Mengenalkan produk daerah

    secara luas.

    Dengan 5 misi pengembangan pariwisata tersebut, maka pemerintah

    menggerakkan lebih kongkrit tentang kebijakan pengembangan pariwisata

    tersebut untuk: Melibatkan peran serta masyarakat, mengembangkan obyek dan

    daya tarik wisata dengan memperhatikan kelestarian serta kekhasan potensi

    wisata, menggunakan asas manfaat dan efisiensi, mendorong peran serta sektor

    swasta, dan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.5 Jadi dapat

    disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan pariwisata di kawasan Parangtritis

    juga mendorong keterlibatan masyarakat setempat atau keterlibatan sektor swasta,

    serta mengembangkan obyek wisata yang ada berdasarkan kekhasan yang

    dimiliki.

    Landasan kebijakan diatas semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan

    Daerah Kabupaten Bantul No.3 Tahun 2004 tentang Rencana Induk

    Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Bantul. Rencana induk ini

    memberikan rumusan pokok-pokok kebijakan dalam perencanaan dan

    pemanfaatan pembangunan pariwisata, termasuk didalamnya aspek ketataruangan

    usaha pariwisata, faktor penunjang dan pengembangan kepariwisataan yang

    berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

    5

    Dokumen Dinas Pariwisata Pemkab Bantul, Rencana Strategis Dinas PariwisataKabupaten Bantul, 2001-2005.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    22/33

    22 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Keterlibatan Masyarakat

    Pengembangan pariwisata di kawasan Parangtritis, sebagaimana sudah

    dikemukakan sebelumnya, berhasil menarik keterlibatan warga masyarakat desa

    untuk turut mengambil peluang yang terbuka di berbagai jenis kegiatan ekonomi

    suhubungan dengan semakin besarnya jumlah wisatawan yang datang. Dari

    berbagai jenis kegiatan ekonomi yang muncul sebagai akibat pengembangan

    pariwisata, mayoritas dilakukan oleh warga desa khususnya dari Dusun

    Mancingan. Pada kegiatan jasa penginapan, dari 189 hotel, losmen dan

    penginapan yang ada di Parangtritis sekitar 65 persen merupakan milik penduduk

    setempat. Sisanya (35%) dimiliki warga luar Desa Parangtritis, baik penginapan

    atau losmen yang status tanahnya legal maupun yang ilegal. Losmen atau hotel

    dengan kepemilikan tanah legal (12,5%) umumnya memiliki bangunan dan

    kualitas yang relatif bagus, dimiliki oleh warga luar desa tetapi mereka berasal

    dari daerah Kabupaten Bantul juga. Sementara losmen atau penginapan yang

    memakai tanah keraton secara ilegal (22,5%) umumnya dengan bangunan dan

    kualitas seadanya dimiliki pendatang dari berbagai daerah Propinsi DIY dan Jawa

    Tengah.

    Keterlibatan penduduk desa pada kegiatan-kegiatan ekonomi, restoran,

    rumah makan, tempat mandi dan WC, perdagangan kecil dan perparkiran tetap

    didominasi oleh warga desa khususnya dari Dusun Mancingan. Kegiatan ekonomi

    yang melibatkan modal kecil cenderung semakin didominasi warga desa,

    sementara kegiatan ekonomi yang membutuhkan modal besar seperti hotel dan

    restoran cenderung menghambat keterlibatan warga desa. Sudah tentu

    kecenderungan ini disebabkan keterbatasan modal yang dimiliki oleh warga desa

    Parangtritis.

    Di samping keterlibatan masyarakat desa pada sektor swasta, dan sebagian

    mereka juga terlibat pada berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah. Dalam

    hal ini keterlibatan masyarakat desa terbatas pada kegiatan-kegiatan yang

    berhubungan dengan program Sapta Pesona serta pemungutan retribusi masuk ke

    kawasan Parangtritis. Program Sapta Pesona yang digerakkan pemerintah cukup

    berhasil dalam hal membangun kesadaran warga desa tentang arti penting dunia

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    23/33

    23 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    wisata terhadap kesejahteraan hidup mereka. Kesadaran tersebut kelihatan lebih

    kuat di Dusun Mancingan, di tempat mana kegiatan wisata terpusat, sebagai hasil

    dari kegiatan-kegiatan yang diorganisir Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

    Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban (Trantib) desa, sebagai salah satu

    bagian dari program Sapta Pesona yang digerakkan pemerintah, telah melibatkan

    6 orang warga Dusun Mancingan sebagai tenaga yang sepenuhnya bekerja untuk

    itu. Rekruitmen keenam tenaga tersebut oleh pemerintah diserahkan sepenuhnya

    pada Pokdarwis yang ada. Mereka diangkat sebagai pegawai honorer yang

    dibayar pemerintah, yang bekerja pada siang hari di kawasan pariwisata tersebut.

    Untuk pemeliharaan kebersihan, bagian lain dari program Sapta Pesona

    pemerintah juga melibatkan 30 orang warga desa sebagai pegawai honorer

    pemerintah. Rekruitmen ke 30 orang ini diserahkan sepenuhnya oleh Pemerintah

    (Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul) kepada Pemerintahan Desa Parangtitis.

    Kegiatan untuk pemungutan retribusi masuk ke kawasan Parangtritis pada

    awalnya dilakukan Pemerintahan Desa, dengan tenaga-tenaga sepenuhnya dari

    warga Desa Parangtritis. Hasil pemungutan retribusi masuk tersebut oleh

    Pemerintah Desa diberikan ke Pemerintahan Daerah Kabupaten Bantul, sebagian

    dana retribusi itu dipergunakan untuk membayar tenaga warga desa yang

    dilibatkan serta untuk biaya operasional lainnya. Setelah tahun 1990, ketika

    jumlah wisatawan yang datang semakin banyak pasca pembangunan infrastruktur

    ke kawasan Parangtritis, pemungutan retribusi masuk itu diambil alih Perusahaan

    Daerah Anindya sekalipun tenaga-tenaga yang dipergunakan di lapangan tetap

    warga desa Parangtritis. Pada tahun 2001, sebagai implementasi dariPerdaNo.42

    tahun 2000, kegiatan pemungutan retribusi masuk tersebut diambil alih oleh Dinas

    Pariwisata Kabupaten Bantul. Dinas Pariwisata dalam hal ini melibatkan 9

    pegawainya di 2 Tempat Pemungutan Retribusi (TPR) dengan dibantu 29 orang

    tenaga honorer yang kebanyakan diambil dari warga desa. Pada tahun 2004,

    setelah pelaksanaan uji petik kegiatan pemungutan retribusi masuk tersebut

    pada tanggal 1 November31 Desember 2003, pelaksanaan pemungutan retribusi

    dilakukan lebih profesional sehingga menuntut tenaga-tenaga yang juga lebih

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    24/33

    24 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    profesional. Oleh karena, sejak tahun 2004 keterlibatan warga desa pada kegiatan

    pemungutan retribusi masuk tersebut menjadi sangat berkurang.

    Hilangnya keterlibatan warga desa pada kegiatan pemungutan retribusi di

    sisi lain telah menimbulkan permasalahan yang memperlebar jarak antara

    pemerintah dengan warga desa dalam pengembangan pariwisata di kawasan

    Parangtritis. Warga dan pemerintah desa yang mempunyai pengetahuan tentang

    besarnya jumlah uang retribusi menganggap hak-hak desa kurang

    dipertimbangkan pemerintah dalam pemanfaatan uang retribusi tersebut. Mereka

    menginginkan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat dalam penentuan

    redistribusi uang hasil pemungutan retribusi tersebut. Keinginan warga seperti ini

    terasa semakin kuat dalam era reformasi, sehingga secara perlahan menjadi

    semacam tuntutan yang apabila diabaikan bisa mengganggu keterlibatan

    masyarakat terhadap pengembangan pariwisata di Parangtritis.

    Pemanfaatan dan Pelestarian Obyek Wisata

    Salah satu dasar kebijakan dalam pengembangan pariwisata di daerah

    Bantul, sebagaimana yang tercantum pada pasal 2 Perda Kabupaten Bantul No.3

    Tahun 2004, adalah asas pemanfaatan dan pelestarian obyek-obyek wisata.

    Dengan demikian pengembangan obyek wisata Parangtritis dilakukan dengan

    memanfaatkan potensi-potensi yang ada untuk kegiatan pariwisata secara optimal

    tetapi dengan mempertimbangkan kelestarian dari berbagai obyek wisata tersebut.

    Namun bagaimana asas pemanfaatan dan pelestarian obyek-obyek wisata ini

    dilakukan, ternyata belum ada aturan teknisnya. Oleh karena itu kebijakan dalam

    pengembangan pariwisata di Parangtritis masih bersifat normatif, dalam arti

    implementasinya belum kelihatan nyata karena tidak didukung aturan-aturan yang

    lebih teknis.

    Keberadaan Gumuk Pasir di kawasan Pantai Parangtritis sesungguhnya

    merupakan obyek wisata yang potensial, karena ia merupakan fenomena alam

    yang hanya terdapat di Asia Tenggara. Bahkan Gumuk Pasir dalam bentuk

    barchan hanya terdapat di Pantai Parangtritis. Oleh karena itu pelestarian Gumuk

    Pasir merupakan suatu upaya untuk mempertahankan atau mempertinggi daya

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    25/33

    25 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    tarik pantai Parangtritis dengan menjadikannya sebagai suatu laboratorium alam

    atau cagar alam ilmiah. Gagasan semacam ini telah mulai dirintis dengan

    dibangunnya laboratorium alam di kawasan pantai Parangtritis oleh Fakultas

    Geografi Universitas Gadjah Mada, tetapi kelanjutanya belum tampak kuat

    sehingga sinergitas dengan kegiatan wisata pun belum kelihatan.

    Pemanfaatan Gumuk Pasir masih sangat terbatas, yaitu pemanfaatan yang

    bersifat insidental seperti beberapa perguruan tinggi yang kadang-kadang

    melakukan observasi atau riset terhadap Gumuk Pasir tersebut dengan

    melibatkann para mahasiswa. Beberapa komunitas profesi melakukan kemah,

    umat Islam kadang-kadang melakukan manasik haji dan sholat ied di kawasan

    Gumuk Pasir tersebut.

    Aspek pelestarian Gumuk Pasir belum tampak mendapat perhatian,

    sehingga kawasan Gumuk Pasir dibiarkan tanpa adanya konservasi atau

    perlindungan. Maka terjadi penggunaan Gumuk Pasir yang beralih fungsi menjadi

    pemukiman, warung atau bentuk penggunaan bangunan lainnya. Bahkan yang

    palingmendasar, masyarakat setempat belum mendapat pemahaman yang

    semestinya tentang arti penting dari Gumuk Pasir bagi lingkungan mereka. Hal ini

    menyebabkan munculnya sikap tidak peduli, sehingga memperbesar peluang

    terjadinya pencurian terhadap Gumuk Pasir yang dimanfaatkan untuk bahan

    bangunan. Maka dari perspektif kebijakan diperlukan adanya aturan-aturan yang

    melarang penduduk untuk menggunakan lahan Gumuk Pasir sebagai tempat

    usaha, rumah atau pun bahan bangunan.

    Obyek wisata kultural di Parangtritis merupakan daya tarik yang lebih

    spesifik karena telah melahirkan kegiatan-kegiatan sakral yang khas Parangtritis.

    Terdapat tiga obyek wisata kultural yang karena spesifikasi itu disebut sebagai

    roh Parangtritis, yaitu Makam Syekh Bela-Belu, Petilasan Parangkusumo, dan

    Makam Syekh Maulana Maghribi. Ketiga obyek wisata ini dianggap keramat oleh

    masyarakat Jawa umumnya sehingga berpotensi tinggi untuk diziarahi oleh

    mereka sebagai wisatawan potensial. Ketiga obyek tersebut dengan sendirinya

    menjadi tempat ziarah yang dilindungi oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    26/33

    26 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    dan untuk itu pihak keraton mengangkat 19 orang warga desa Parangtritis menjadi

    abdi keraton yang bertugas untuk memelihara ketiga tempat ziarah tersebut.

    Pencemaran terhadap kesakralan ketiga obyek tersebut timbul sebagai

    akibat dari pengembangan industri wisata yang syarat dengan dimensi

    ekonominya. Kawasan dari tiga tempat ziarah tersebut mulai dimasuki para

    pedagang sekalipun masih terbatas di bagian pinggiran. Di kawasan Petilasan

    Parangkusumo, keberadaan warung makan, penginapan, dan kehadiran

    perempuan PSK di sekitarnya telah menimbulkan pergeseran citra spiritual dari

    obyek ziarah itu menjadi citra ekonomi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa aspek

    pelestarian dari obyek-obyek ziarah tersebut belum mendapat perhatian yang

    memadai. Dari perspektif kebijakan diperlukan aturan yang kongkrit untuk

    penataan ruang di kawasan sekitar tempat-tempat ziarah tersebut, yang mengatur

    sampai di ruang mana kegiatan-kegiatan ekonomi tidak diperbolehkan demi

    memelihara citra spiritual dan kesakralan dari tiga obyek budaya tersebut.

    Lembaga kultural yang berupa kegiatan-kegiatan tradisional juga

    merupakan daya tarik Parangtritis sebagai obyek daerah tujuan wisata. Terdapat

    tiga lembaga kultural yang mempunyai daya tarik kuat di daerah Parangtritis,

    yaitu kegiatan tradisioinal Labuhan, Peh Cun, dan Pisungsun Jaladri Bhekti

    Pertiwi yang dilakukan sekali setahun di kawasan pantai Parangtritis. Labuhan

    dan Peh Cun merupakan kegiatan tradisional yang sudah berlangsung puluhan

    tahun di kawasan Parangtritis sehingga sudah dikenal luas dalam masyarakat Jawa

    dan masyarakat etnik Cina khususnya. Tetapi dalam pemanfaatan lembaga

    kultural ini tidak memperlihatkan pola pemanfaatan yang lebih maju. Dari

    perspektif kebijakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul sebenarnya sudah

    merumuskan dan mempersiapkan pengembangan pemanfaatan lembaga-lembaga

    kultural yang ada sebagai obyek wisata. Pada Keputusan Bupati Bantul no. 149

    Tahun 2001 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul,

    sangat jelas dirumuskan bahwa Dinas Pariwisata mempunyai tugas pokok untuk

    melaksanakan pembinaan, pengembangan, perijinan, dan menyiapkan bahan

    kerjasama bidang pariwisata. Tetapi implementasi dari kebijakan ini belum

    kelihatan nyata pada pelaksanaan acara Labuhan dan Peh Cun.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    27/33

    27 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Baik kegiatan Labuhan yang diselenggarakan Keraton maupun kegiatan

    Peh Cun yang diselenggarakan oleh masyarakat Cina, masih berlangsung seperti

    dulu yang diselenggarakan dalam satu hari. Pola pemanfaatan sebenarnya bisa

    dilakukan dengan menghadirkan sub-sub kegiatan penunjang seperti pameran

    hasil kerajinan rakyat Yogyakarta, festival kesenian rakyat, lomba layang-layang

    atau bendi. Sehingga masa penyelenggaraan kegiatan tradisional itu bisa

    berkembang menjadi dua atau tiga hari. Dengan pengembangan durasi

    penyelenggaraan serta bertambahnya sub-sub kegiatan yang ditawarkan, maka

    daya tarik kegiatan tradisional tersebut semakin kuat mengundang banyak

    pengunjung.

    Tetapi pengembangan pola pemanfaatan ini belum muncul karena menurut

    pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul terbentur pada keterbatasan dana.

    Namun sebenarnya keterbatasan dana bukanlah hambatan absolut, karena

    hambatan dana itu bisa diatasi dengan membangun kerjasama dengan pihak-pihak

    lain yang terkait. Sebab membangun kerjasama dengan pihak lain sebenarnya

    merupakan salah satu tugas pokok pemerintah (Dinas Pariwisata), sebagaimana

    dapat dilihat pada Keputusan Bupati Bantul No. 149 Tahun 2001.

    Kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi sesungguhnya merupakan

    inovasi dari masyarakat Dusun Mancingan untuk melakukan serangkaian kegiatan

    tradisional dalam satu paket waktu yang lebih panjang. Seperti telah dipaparkan

    sebelumnya, kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan-kegiatan tradisional

    merti dusun, pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, labuhan sedekah laut,

    dan kenduren yang diselenggarakan selama 4 hari berturut-turut dengan tujuan

    memperbesar daya tariknya mengundang wisatawan. Tetapi inovasi dari

    masyarakat dusun ini belum berhasil optimal karena keterbatasan dana swadaya

    mereka, sementara pemerintah kurang responsif terhadap kreasi inovatif dari

    masyarakat dusun tersebut.

    Ancaman terhadap kelestarian nilai dari kegiatan-kegiatan tradisional

    tersebut, seperti yang terjadi pada tempat-tempat ziarah di Parangtritis, selalu

    muncul dari semakin merebaknya kehadiran perempuan PSK di kawasan

    Parangtritis. Keberadaan 110 PSK yang menetap di Dusun Mancingan, ditambah

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    28/33

    28 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    ratusan PSK kalong yang datang pada malam hari Selasa Kliwon dan Jumat

    Kliwon, telah mencemari nilai kultural yang sesungguhnya dari kegiatan-kegiatan

    tradisional tersebut. Kehadiran kalangan PSK ini telah menimbulkan pergeseran

    citra serta pergeseran daya tarik kegiatan-kegiatan tradisional tersebut dari yang

    semula bersifat kultural menjadi bersifat lebih sek-komersial. Para pengunjung

    yang datang ke petilasan di Parangkusumo sebagian besar sudah lebih tertarik

    pada kalangan PSK tersebut daripada maksud ziarah yang sesungguhnya.

    Kebijakan pemerintah terhadap ancaman pencemaran dari kehadiran PSK

    tersebut bukan tidak ada, tetapi kebijakan yang muncul sekalipun sudah dalam

    bentu aturan-aturan yang bersifat teknis operasional tetap tidak berhasil karena

    berbagai faktor. Kebijakan pemerintah itu terlihat pada Keputusan Bupati Bantul

    No.407 Tahun 2002, tentang Tim Penanggulangan Penyakit Masyarakat di

    Kabupaten Bantul, di mana tim yang dibentuk pemerintah bertugas untuk

    mencegah meluasnya penyakit masyarakat seperti pelacuran, perjudian, minuman

    keras, dan penyalahgunaan narkoba. Keputusan Bupati ini kemudian dibuat lebih

    operasional dengan munculnya Instruksi Bupati Bantul No.05 Tahun 2002 tentang

    Larangan Penyakit Masyarakat di Kabupaten Bantul, yang ditujukan ke seluruh

    camat, lurah, pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan, dan lembaga swadaya

    masyarakat di Kabupaten Bantul. Namun instruksi tersebut tampak tidak efektif di

    Parangtritis, terbukti dengan tetap hadirnya ratusan PSK di Dusun Mancingan

    khususnya, karena berbagai faktor seperti kemiskinan yang melilit masyarakat,

    terbatasnya peluang kerja serta besarnya permintaan dari pengunjung terhadap

    jasa perempuan PSK tersebut. Kenyataan seperti ini menyebabkan Tri Waldiyana,

    Kepala Dusun Mancingan, cenderung untuk berpendapat bahwa kehadiran PSK

    itu sebaiknya dilokalisasi oleh pemerintah agar dampak negatif kehadiran mereka

    lebih terkendali.

    Implikasi Kebijakan

    Berangkat dari analisis di atas dapat diberikan beberapa saran yang

    diharapkan berguna bagi pembuat kebijakan dalam pengembangan pariwisata di

    kawasan wisata Parangtitis. Sampai sekarang kegiatan pariwisata di kawasan

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    29/33

    29 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Parangtitis terkonsentrasi di Dusun Mancingan, yang menyebabkan terjadinya

    ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat Desa Parangtitis.

    Ketimpangan dalam prespektif ekonomi ini berakibat pada ketimpangan di bidang

    sosial demografi. Untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan yang berdampak

    lebih luas, perlu dilakukan relokasi kegiatan pariwisata dengan membangun

    kegiatan wisata yang beraneka di beberapa dusun di luar Mancingan. Kegiatan

    wisata laut dan nelayan, misalnya, dapat dilakukan dengan mengembangkan apa

    yang sudah ada di Dusun Depok yang memiliki Tempat Pelelangan Ikan. Pada

    perbukitan di sebelah timur, dari atas tebing yang terjal dapat disaksikan

    keindahan laut dan kawasan pantai Parangtitis. Di sini bisa dikembangkan atraksi

    wisata modern sekaligus sebagai sarana pengembangan hobi terbang layang,

    karena perbukitan tersebut sangat cocok untuk tempat peluncuran terbang,

    melayang menikmati keindahan-keindahan alam sepanjang kawasan pantai

    Parangtitis.

    Wisata ritual yang mengandalkan trilogi roh yaitu makam Syekh Maulana

    Maghribi, makam Syekh Bela-Belu, dan petilasan Parangkusumo, sampai

    sekarang masih merupakan kekuatan utama yang menarik kedatangan wisatawan.

    Maka kelestarian makna sakralitas ketiga obyek wista spiritual tersebut sangat

    perlu dilestarikan dengan cara mengeliminasasi dampak negatif yang timbul dari

    kehadiran perempuan PSK serta pedagang pengasong yang berseliweran di sekitar

    ketiga tempat sakral tersebut. Upaya ke arah ini antara lain dapat dilakukan

    dengan cara zonaisasi area seputar tempat-tempat sakral tersebut, sehingga ruang

    di seputar ketiga tempat sakral itu dapat steril dari kegiatan-kegiatan yang

    mengurangi nilai spiritualitasnya.

    Institusi budaya yang juga berdaya tarik kuat terhadap kehadiran

    wisatawan adalah upacara labuhanpada hari satu suro serta Peh cunyang secara

    tradisional dilangsungkan oleh masyarakat cina. Dua kegiatan ini berlangsung

    secara tradisional, belum tersentuh inovasi, sehingga pelaksanaannya masih

    terkesan sederhana dan selesai dalam sehari. Melihat daya tariknya yang kuat,

    inovasi kultural dapat dilakukan dengan menciptakan kegiatan atau atraksi

    penunjang sehingga durasi kegiatan Labuhandan Peh cun tersebut menjadi dua

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    30/33

    30 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    atau tiga hari. Kegiatan atau atraksi penunjang itu bisa berupa bazaar, festival,

    atau pameran di bidang kesenian, ekonomi dan perdagangan.

    Inovasi kultural yang telah dilakukan masyarakat Dusun Mancingan dalam

    kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi bisa dijadikan sebuah model, dan

    inovasi yang muncul dari ide masyarakat ini seharusnya disambut positif oleh

    pemerintah dengan bantuan dana serta pengorganisasian. Sebuah inovasi dapat

    berhasil ketika diterima oleh masyarakat, sehingga inovasi yang muncul dari

    kreasi masyarakat merupakan modal kultural yang sangat strategis untuk

    dikembangkan. Melihat perkembangan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi yang

    kurang berkembang karena keterbatasan swadaya masyarakat, maka pemerintah

    perlu mengambil kebijakan untuk mendukung kegiatan kultural tersebut.

    Kebijakan ini bukan saja untuk mensukseskan munculnya suatu kegiatan kultural

    yang berdurasi 4 hari, sehingga kehadiran wisatawan di Parangtitis bisa lebih

    lama, tetapi juga sebagai reward terhadap masyarakat yang telah melakukan

    inovasi cemerlang tersebut. Dengan demikian ide-ide masyarakat dihargai,

    sehingga penghargaan tersebut dapat mendorong mereka untuk berkreasi lanjut

    dalam pengembangan industri wisata.

    Kebijakan pemerintah di bidang pariwisata secara normatif cukup

    memadai, tetapi tidak kuat dalam implementasinya. Permasalahan yang

    menghambat adalah pada keterbatasan dana serta organisasi yang kurang efektif.

    Keterbatasan dana bisa diatasi dengan membangun jaringan kerjasama pada

    kalangan investor atau perusahaan-perusahaan besar dengan asas saling

    menguntungkan. Di samping itu pemerintah bisa membuka ruang lebih lebar pada

    masyarakat setempat untuk melakukan inisiatif swakelola dari beberapa potensi

    ekonomi di kawasan wisata tersebut. Hal mana sejalan dengan semangat

    desentralisasi sistem pemerintah sekarang. Beberapa jenis pungutan retribusi

    kegiatan ekonomi yang selama ini semuanya dimonopoli pemerintah (Kabupaten),

    diserahkan pada pemerintahan desa untuk mereka manfaatkan bagi

    pengembangan ekonomi wisata di desanya.

    Kebijakan dalam bentuk program Sapta Pesona, khususnya untuk

    membangun rasa nyaman, aman dan melahirkan kenangan yang baik, peraturan

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    31/33

    31 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    pemerintah yang melarang adanya praktek prostitusi ternyata tidak sejalan dengan

    hadirnya ratusan perempuan PSK di kawasan wisata Parangtitis. Hambatan utama

    adalah kemiskinan yang menyebabkan praktek prostitusi tersebut sulit

    dihilangkan. Sementara di sisi lain masyarakat desa mengeluhkan dampak negatif

    terhadap kehadiran PSK tersebut terhadap pembentukan moral anak-anak mereka.

    Oleh karena itu pemerintah sebaiknya mengambil langkah kebijakan yang lebih

    realistis dengan melakukan lokalisasi perempuan PSK tersebut, di samping untuk

    mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat desa juga dapat dikelola sebagai

    sumber pendapatan desa.

    Fenomena pendatang liar yang menimbulkan kesemrawutan tata ruang dan

    bangunan di kawasan pantai Parangtitis berkaitan dengtan status tanah keraton

    (Sultan Ground) yang kurang jelas status pemanfaatan dan pengawasannya. Maka

    pemerintah perlu segera mendata status pemanfaatan tanah-tanah keraton serta

    memastikan sistem pengawasan dalam pemanfaatan tanah-tanah keraton tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ardika, I Gede, 2001, Zamrud Khatulistiwa Yang Kurang Di Promosikan,

    Majalah Angkasa No IX, Juni Tahun XI.

    BPS Kabupaten Bantul, 2006, Kabupaten Bantul Dalam Angka 2006, BPS

    Kabupaten Bantul.

    BPS Propinsi DIY, 2006, Data Statistik Pariwisata DIY Tahun 2006, BPS

    Yogyakata.

    BPS Kabupaten Bantul, 2010, Kecamatan Kretek Dalam Angka 2010, BPS

    Kabupaten Bantul.Cristianto E, 2001, Masa Depan Pariwisata Makin Menjanjikan, Pikiran Rakyat,

    13 Mei

    Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, 2001, Rencana Strategis Dinas Pariwisata

    Kabupaten Bantul 2001-2005, Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul.

    Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, 2003, Peta Potensi Pariwisata Kabupaten

    Bantul, CV. Karya Sejati, Bantul.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    32/33

    32 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012

    Effendi, Tadjuddin N, 1995, Pengembangan Dan Dampak Sosial Budaya

    Pariwisata,Tourisma, edisi perdana: April Hlm 1-9.

    Effendi, Tadjuddin N, 1985, Pembangunan dan Transformasi Tenaga Kerja,

    Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.

    Erawan, N, 1987, Efek Pengganda Pengeluaran Wisatawan Di Bali, Disertasi

    S3, Fakultas Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.

    Garis-Garis Besar Haluan Negara, 2005, Arah Dan Kebijakan Pembangunan

    Nasional, GBHN.

    Hadi, Koentjoro, 1979,Mengenal Kepariwisataan, Masa Baru, Bandung.

    Manning, Chris, 1992, Kegiatan Ekonomi Angkatan Kerja Di Indonesia, Pusat

    Penelitian dan Studi Kependudukan UGM, Yogyakarta.

    Mantra, Ida Bagoes, 1992, Dampak Struktural Dan Kultural Industri Pariwisata

    Di DIY Dan Propinsi Bali, Sustainable Development UGM, Yogyakarta.

    Moleong, Lexy J, 1985, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja

    Rosdakarya, Bandung.

    Permata, Tirta Dwijati et.all, 1991,Dampak Pariwisata Terhadap Peluang Usaha

    Dan Kerja Luar Pertanian, Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian

    IPB, Series no : A-13.

    Prajogo MJ, 1976, Pengantar Pariwisata Indonesia, Direktorat Jendral

    Pariwisata, Jakarta.

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata UGM, 1999, Penelitian Dampak

    Sosial Budaya Pembangunan Pariwisata, Puspar UGM.

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata UGM, 2000, Penyusunan

    Rencana Induk Pengembangan Obyek Wisata Parangtitis, Puspar UGM.

    Reading, Hugo F, 1986,Kamus Ilmu-ilmu Sosial, Rajawali, Jakarta.

    Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.

    Spillane, J James, 1987, Ekonomi Pariwisata, Sejarah, Dan Prospeknya,

    Kanisius, Yogyakarta.

    Suartha, Nyoman, 1994, Pengaruh Pariwisata Terhadap Lingkungan Sosial

    Ekonomi Masyarakat : Desa Batubulan Daerah Tk II Gianyar, Tesis,

    Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

  • 7/23/2019 parangtritis riset

    33/33

    Subdin PP, 2005, Himpunan Data Pelayanan Informasi, Dinas Pariwisata

    Kabupaten Bantul.

    Taneko, Soleman B, 1993, Struktur dan Proses Sosial, Raja Grafindo Persada,

    Jakarta.