at - tanzir urut nomer - 1
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
1/20
SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TANZIR
Penanggung JawabSyamsuar Basyariah
RedakturErizar
PenyuntingAbdul Wahid
Redaktur PelaksanaFirdaus M. YunusMuhammad Thalal
Irsan Adrianda
Penyunting AhliYusny Saby
Rusydi Ali MuhammadHasbi Amiruddin
Amirul HadiMuliadi Kurdi
Fauzi SalehA.Rani UsmanUsamah El-MadnyMaimun Yusuf
A. Karim SyekhAzhari
Mursyidin ZakariaSudarman Alwy
Staf RedaksiSafrul Munir
Muzakkir AbdullahSyarifah Rohana
MarianiFakhrurrazi
Andi Syahputra
Alamat RedaksiJalan Teuku Umar, Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591E-mail: Prodi [email protected]: www.staidirundeng.ac.id
ISSN No.: 2085 255XVOL. II, No. 2 Agustus - Nopember 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAKWAH ISLAMIYAH
UPAYA ANTISIPASI PENDANGKALAN AQIDAH DI ACEH BARAT
Mahlil ........................................................................................................
EKSISTENSI BAHASA DAERAH SEBAGAI WADAH KOMUNIKASI
DAN EKSPRESI BUDAYA MASYARAKAT ACEH
M. Nur Daud..............................................................................................
MENGGAGAS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM
KERAGAMAN MASYARAKAT INDONESIA
Irsan Adrianda ...........................................................................................
GAGASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI SEBAGAI
LANDASAN ILMU KOMUNIKASI
Fachrur Rizha ............................................................................................
PERANANMARKETING PUBLIC RELATIONSDALAM
REPOSITIONINGCITRA HOTEL SOFYAN JAKARTA
Syailendra Reza Irwansyah Rezeki ...........................................................
MASJID SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Muhammad Yakub Yahya ........................................................................
DARI BENCANA ALAM MENEPI KE BENCANA SOSIAL
REFLEKSI TERHADAP RANGKAIAN BENCANA YANGMELANDA BANGSA
Sabirin .......................................................................................................
KONSEP FIQIH DALAM MEMPERKAYA KHAZANAH DAKWAH
ISLAMIYAH MENURUT HASBI ASH-SHIDDIQIE
Syibran Mulasi .........................................................................................
I
iii
133
153
163
176
192
209
218
234
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
2/20
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
3/20
DAKWAH ISLAMIYAH
UPAYA ANTISIPASIPENDANGKALAN
AQIDAH DI ACEH BARAT
1Oleh: Mahlil
Abstract
Based on the facts and information, signs and symptoms of apostasy which
recently occurred in West Aceh have emerged after the earthquake and tsunami
disaster on December 24, 2004. Most of community leaders cogently argue
that the apostasy phenomenon coincided with the start of aid activities
conducted by foreign Non Government Organizations (NGOs) which partly
infiltrated and covered by a non-Muslim religious mission (especially
Christianization) using Non Muslim religious symbols and social trainings
suspected to have links with the Christian mission and Christian worship
practices (rituals) involving some residents of West Aceh which resulted in theemergence of unrest and discomfort of Muslim majority resided in West Aceh.
In order to face this renunciation of faith, Muslims in West Aceh should
conduct anticipatory or preventive dakwahwith different dakwah models;
personal, educational, dialogic, missions,bi al-hal, cultural, structural, global-
scientific, integrative dakwah, and so forth to maintain stability and religious
harmony in the community of West Aceh. Anticipatory and comprehensive
dakwah models should be developed continuously in accordance with the
circumstances and conditions which are community-oriented benefit and
more wisely dakwah actions that create a sense of security, peace, and
productiveness and even in the governance of socio-religious life that will lead
the community of West Aceh to an order of conditions and circumstances that
are tolerant, fair, prosperous, and dignified.
Kata Kunci:Dakwah Islamiah, pendangkalan akidah.
1
Teungku Dirundeng Meulaboh.
Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Sekolah Tinggi Agama Islam
133
Pendahuluan
Setiap pemeluk agama Islam dan Kristen berkewajiban menyampaikan
agama yang diketahui dan dianutnya untuk dikhabarkan kepada orang lain atau
lazim disebut dakwah (dalam bahasa Islam) dan misi (dalam bahasa agama2Kristen). Pengkhabaran ini tidak terbatas pada sifatnya yang informatif dan
sekadar tahu, namun lebih jauh dari itu agar mereka yang mendapat khabar itu
bisa mengikuti langkah keyakinannya. Dengan kata lain, sifat misioner agama
merupakan turunan normatif dari setiap agama yang mengklaim bersifat3universal.
Dalam setiap agama, misi (dakwah), atau semangat menyebarkan
agama kepada orang lain merupakan bagian dari kewajiban agama. Hal ini
diperjelas dengan adanya perintah dalam kitab suci masing-masing agama
untuk menjalankan kewajiban tersebut. Dalam kitab suci Kristen terdapat
pernyataan, Pergilah kamu ke seluruh bumi, beritakan Injil itu ke sekalian
alam (Markus, 16: 15) dan Sebab itu pergilah kamu, jadikanlah sekalian
bangsa itu muridku serta membaptiskan dia dengan nama Bapa, Anak dan
Ruhul Kudus (Matius, 28: 19).
Hal serupa terdapat juga dalam agama Islam, sebagaimana dalam QS.5:67: yang artinya:
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu,
Dari landasan normatif dan doktrin di atas jelas bagaimana dua agama
itu mengajarkan dan mensosialisasikan agama kepada orang lain. Meski secara
normatif dan doktriner, dakwah atau misi adalah bagian integral dari agama,
namun dalam praktik penyampaiannya memiliki relasi dengan entitas lain
seperti perdagangan, kolonialisme, perkawinan, dan lain-lain. Dalam hal ini,
berbagai agama menampakkan potret yang berbeda-beda dalam menempuh
jalur misi atau dakwah. Namun yang jelas adalah bahwa, baik dakwah atau
misi bukan sesuatu yang independen, tetapi berjalan bersama praktik-praktikkehidupan lainnya.
Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian
barat Provinsi Aceh. Wilayah ini tergolong daerah yang memiliki keragaman
budaya, etnik bahkan agama. Kondisi multikultural agama tersebut telah
2Arnold, Sejarah Dakwah Islam,terj. A. Nawawi Rambe, (Jakarta: Widjaya, 1981), hal. 13Al-Andang,Agama yang Berpijak dan Berpihak,(Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 16.
134
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
4/20
menjadikan Aceh Barat sebagai daerah yang rentan terhadap perubahan dalam
aspek kehidupan seperti sosial-budaya, ekonomi, politik, dan agama. Dalam
aspek ekonomi, umpamanya, wilayah ini termasuk yang banyak menarik
investorlokal, nasionalbahkan internasional untuk menanamkan modalnya
dalam bidang kehutanan, pertambangan dan perkebunan.
Hal ini dimungkinkan karena potensi dan kekayaan alam yang dimilikikabupaten ini sangat menjanjikan dan menguntungkan para investor tersebut
dan bukan sesuatu yang mustahil, bila wilayah ini dapat menjadi daerah
penghasil devisayang handal dari aspek komoditas dan potensi alam yang
dimilikinya, bila mampu dikelola secara tepat dan benar.
Pasca musibah gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh Barat,
transformasi atau perubahan secara komprehensif (baik secara struktural
maupun kultural) terjadi di sini, termasuk di daerah lain yang juga menjadi
korban serupa di Provinsi Aceh. Ironisnya, sikap masyarakat dalam
berinteraksi dengan masyarakat luar (termasuk yang datang dari luar Aceh
ataupun masyarakat internasional) jauh lebih menarik dan komunikatifdibandingkan ketika berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya yang telah
terjadi selama bertahun-tahun. Akibatnya, para pemuka agama dan tokoh
daerah sering menjadi kalah saing dengan para pendatang, terutama dalam
kaitan rekonstruksi dan rehabilitasi tata nilai agama dan budaya masyarakat
yang porak-poranda akibat musibah itu.
Bencana besar itu telah menyebabkan masyarakat Aceh Barat
melakukan transformasisecara cepat terutama yang menyangkut penataan
kembali kebutuhanprimermasyarakat (seperti kebutuhan pokok; makanan,
pakaian, biaya belanja dan perumahan). Kondisi perubahan yang digerakkan
oleh masyarakat asing tersebut telah menambah sisispiritualmasyarakat yang
menjadi sasaran pengabdiannya.Investigasiawal tentang penemuan berbagai
simbol agama yang diselipkan dalam produk makanan yang diberikan,
menunjukan bahwa masyarakat asing tentu sedang menjalani misi
terselubungnya dalam rangka mendangkalkan keyakinan umat Islam di Aceh
Barat. Penyelipan ini seringkali beriringan dengan dilakukan penyaluran
bantuan kemanusiaan untuk masyarakat.
135
Tindakan tersebut di atas dapat menyebabkan keresahan serta
mengusik ketenteraman dalam hidup masyarakat, padahal selama ini
masyarakat Aceh Barat dikenal sebagai komunitas yang cinta damai dan rukun
dalam peribadatan. Dari kaca mata aturan beragama yang berlaku di
Indonesia, segala tindakan pihak non-muslim yang secara sengaja
mempengaruhi pemeluk agama lain (termasuk Islam), bertentangan dengankeputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 1978 tentang
Pedoman Penyiaran Agama. Dalam keputusan itu disebutkan bahwa
penyiaran dan pengembangan agama tidak boleh atau jangan ditujukan kepada
orang yang terlebih dahulu memeluk agama tertentu. Tindakan ini dinilai
bertentangan dengan semangat kerukunan beragama yang selama berabad-
abad telah mengakar dalam masyarakat majemuk di Indonesia. Keputusan
tersebut juga mengandung muatan kewajiban kita sesama pemeluk agama
untuk saling menghargai dan menghormati, sekaligus mengecam tindakan
bujukan atau pemberian materi kepada umat agama lain dengan tujuan untuk4menarik penganut agama tertentu.
Berdasarkan fenomena aktifitas misi agama tertentu yang secara makro
dinilai bertentangan dengan semangat kerukunan beragama di Indonesia,
maka semestinya pihak Islam melakukan tindakan antisipasi secara sistematis
untuk menjaga kestabilan dan keharmonisan beragama dalam masyarakat
Aceh Barat. Tindakan antisipasi ini perlu melibatkan berbagai elemen
masyarakat, secara perorangan atau lembaga dan organisasi agar tindakan
yang dilakukan tersebut tetap berada pada aturan main yang sesuai hukum5negara dan normativasiagama Islam itu sendiri.
Hakikat dan Reinterpretasi Dakwah
Dakwah menurut bahasa berarti menyeru, mengajak atau memanggil. Kata
dakwah berasal dari bahasa 'Arab: da'a, yad', da'watan yang berarti
4Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembi naan Kehi dupan Berag ama dala m
Pembangunan Nasional,Cet.1, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, t.t..), hal. 238.5Kegiatan misionaris dijalankan secara organisatoris yang rapi, trampil, secara
terselubung dan kokoh yang tersebar diseluruh dunia dan tercatat dalam peta politik
kolonialisme, sekolarisme dan dalam sektor ekonomi kapitalisme dan sosialisme barat.
Akibatnya, umat Islam sulit meengidentifikasi perilaku dan tindak tanduk kalangan
misionaris,sekularisdan kolonialis.
136
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
5/20
6panggilan, seruan atau ajakan. Kata dakwah terdapat dalam firman Allah,
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri?"(QS. 41:33).
Dakwah adalah proses penyampaian ajaran Islam dari seseorang
kepada orang lain (baik secara individu maupun kelompok). Penyampaianajaran tersebut dapat berupa perintah untuk melakukan kebaikan, dan
mencegah dari berbuat kejahatan. Usaha tersebut dilakukan secara sadar
dengan tujuan untuk terbentuknya individu dan keluarga yang bahagia (khayr
al-usrah) dan masyarakat atau umat yang terbaik (khayr al-ummah) dengan
cara taat menjalankan ajaran Islam. Usaha itu bisa dilakukan melalui bahasa
7lisan, tulisan, maupun perbuatan atau keteladanan.
Pada hakikatnya, gerakan dakwah Islam berporos pada amar ma'ruf-
nahi munkar.Ajaran Islam menuntun manusia dan memperkenalkan mana
yang makruf dan mana yangmunkar.Sebab itu, maka makruf dan mungkar itu
tidaklah terpisah dari pendapat umum. Kalau ada orang yang berbuat makruf,maka seluruh masyarakat umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji.
Kalau ada perbuatan mungkar, seluruh masyarakat menolak, membenci dan
tidak menyetujuinya. Sebab itu, bertambah tinggi kecerdasan beragama,
bertambah kenal akan yang makruf dan bertambah benci orang kepada yang8mungkar. Pada prakteknya, dalam tataran amar ma'ruf, siapapun bisa
melakukannya, karena kalau hanya sekedar menyuruh kepada kebaikan itu
mudah dan tidak beresiko bagi si penyuruh. Lain halnya dengan nahi
mungkar, jelas mengandung konsekwensi logis dan beresiko bagi yang
melakukannya. Karena mencegah kemungkaran itu melakukannya dengan
tindakan konkrit, nyata dan dilakukan atas dasar kesadaran tinggi dalam
6Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jil.1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), Hal. 280.7Rosyidi,Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran,
(Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 44-45.8M. Dawam Rahardjo,Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci,(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 625.
137
rangka menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, ia harus berhadapan secara vis9a vis dengan obyek yang melakukan kemungkaran itu.
Pada mulanya, secara lughawi dakwah berarti mengajak, tetapi secara
praksis (sosiologis, historis), khususnya yang dilakukan oleh Nabi dan para
sahabat ternyata dakwah bukan hanya sekadar menyeru dan mengajak. Lebih
dari itu, dakwah juga melakukan upaya-upaya secara Islami, manusiawinamun efektif dalam rangka membentuk akhlak yang mulia. Yaitu dengan
membebaskan manusia dari belenggu yang memenjara dirinya, sehingga
manusia dapat menjadi bebas-merdeka, berperadaban, dinamis, kreatif dan
inovatif.Upaya-upaya itu ternyata mampu memposisikan Nabi dan umat Islam
pada waktu itu sebagai masyarakat mulia yang dapat melaksanakan fungsi
kekhalifahan (membangun peradaban) secara baik dan sempurna, sehingga
jazirah Arab dapat diciptakan menjadi kehidupan yang manusiawi, damai dan10harmonis.
Dakwah memiliki peran untuk menjadikan kepribadian manusia
(individu-individu) yang utuh, tangguh, kokoh, sehingga dapat diterima ditengah-tengah masyarakat dan berupaya melakukan perubahan yang
membawa keselamatan di dunia dan di akhirat.
Sukses tidaknya suatu dakwah bukan diukur dari gelak tawa atau tepuk
riuh pendengarnya, bukan pula dari ratap tangis mereka. Sukses tersebut
diukur lewat, antara lain, bekas (atsar) yang ditinggalkan lewat benak
pendengarnya ataupun kesan yang terdapat dalam jiwa, yang kemudian
tercermin dalam tingkah laku mereka. Untuk mencapai sasaran tersebut,11tentunya semua unsur dakwah harus mendapat perhatian parad'i.
Sukses besar yang dicapai oleh Nabi Muhammad saw dalam12mengemban risalah dakwah karena beliau manusia yang kaya dalam hikmah.
Beliau tahu dan memahami kondisi mad'uyang dihadapinya. Sehingga beliau
9Andy Dermawan, Landasan Epistemologis Ilmu Dakwah, dalam Andy Dermawan,dkk, (ed.),Metodologi Ilmu Dakwah(Yogyakarta: LSFI, 2002), hal. 54.
10Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas, terj. Fungky Kusnaedi Timur,(Yogyakarta: Mitra Pustaka), hal. 2001.
11M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an(Bandung: Mizan, 1994), hal. 194.12Muhammad Ali Aziz,Ilmu Dakwah, (Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan
Ampel, 1993), hal. 73.
138
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
6/20
tahu kapan dan saat mana harus berbicara dan saat mana harus diam. Beliau
juga paham kapan, dan berhadapan dengan siapa harus bersikap tegas dan
kapan harus lembut. Beliau juga mahir dalam mengatur strategi dakwah.
Di era masyarakat global yang berorientasi industrial dan informasi,
gerakan dakwah memerlukan sentuhan hikmah dan pelajaran yang baik
yang relevan.Era informasi dan teknologi canggih sekarang ini akan berakibatmelahirkan: 1) Manusia yang inovatif; 2) manusia yang cenderung ingin
menginterpretasikan kenyataan secara ilmiah; 3) manusia yang cenderung
menolak kemapanan yang dianggap usang; 4) manusia yang ingin
mengembangkan metode keilmuan dengan mengadakan penelitian dan
pengembangan; 5) manusia yang menghargai waktu, kerja keras, efisiensi,
individual, berproduksi, obyektif atau secara sinis, kikir, dan banyak
perhitungan dalam sedekah/infaq; 6) gejala-gejala lain yang bisa saja muncul13karena watak inovatif dan cenderung mengalami perubahan.
Karena itu, sudah seyogyanya dakwah Islam memiliki landasan yang
berprinsip Qur'ani dan acuan dalam budaya; mempertahankan tradisi lama(mapan) yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru yang ternyata lebih
relevan dan baik. Dakwah Islam tidak akan mempertentangan ilmu agama dan
bukan agama. Bahkan justeru dakwah harus mampu menjadikan agama Islam
sebagai motivator dan dinamisator pengembangan keilmuan, kerja keras
sebagai amal saleh, kepribadian yang luhur, dan mempertahankan nilai-nilai
moralitas yang tinggi. Bagaimanapun harus diakui bahwa dakwah memiliki
potensi yang mampu menciptakan manusia berkualitas sebagai panutan.
Dakwah Islam secara 'arif mengeliminir konflik internal maupun eksternal.
Bentuk dan Misi Missionaris di Aceh
Sebelum penulis melakukan investigasi terkait dengan masalah
pendangkalan akidah di Aceh Barat, telah ada investigasi yang dilakukan oleh
Tim Pembinaan dan Pengawasan Pendangkalan Akidah (P3A) BRR NAD-
13Masturi, Idealisme Dakwah Islamiyah Era Industrialisasi, Makalah padaSeminar Nasional Strategi dan Gerakan Dakwah Islam Tanggal 2-4 September 1995,Yogyakarta, 7.
139
NIAS tahun 2006. Dari hasil penemuan yang dilakukan oleh Tim Investigasi
P3A BRR NAD-NIAS tentang fenomena pendangkalan Akidah di kabupaten
Aceh Barat, maka dapat dikemukakan beberapa data sebagai berikut:
1. Data Fisik
a. Terdapat 5 al-Kitab (Injil) dan 20 Perjanjian Baru dalam ukuran kecil di
Kompleks Pesantren Darul Aitam. Kasus ini melibatkan anak Aceh,Nurmahdi, yang telah murtad dan berganti nama dengan Theomotius
14Siregar.
b. 2 pintu toko di Jalan Teuku Umar, antara toko Riska Perabot dan toko
Kasur Ichtiar, yang dijadikan sebagai tempat peribadatan orang
Kristen. Di dinding toko tersebut terdapat tulisan GMI (Gereja
Methodist Indonesia).
c. 2 pintu toko di jalan Geurutee (Jalan PLN Lama) di Desa Kuta Padang,
yang dijadikan rumah ibadah Budha, sudah pernah dilarang
Pemerintah (Camat dan KUA Kecamatan Johan Pahlawan). Mereka
minta waktu 6 bulan untuk hengkang dan menutup tempat tersebut.d. Bantuan becak yang berlogo salib yang cukup besar dan transparan di
belakang becak, disalurkan oleh CWS (Church World Service).
e. Papan nama NGO pemberi bantuan dengan simbol palang salib yang
kentara di sejumlah lokasi.
f. VCD penyiaran agama Kristen dalam bahasa Aceh, pernah
ditayangkan oleh pihak Korem di Aula Pemda Aceh Barat.
2. Data Non Fisik
a. Pembatasan waktu ibadah bagi karyawan muslim oleh NGO non Islam,
dengan cara mengadakan rapat pada waktu-waktu shalat, kepada
karyawan yang tidak ikut dua kali rapat akan dipecat.
b. Melakukan aktivitas di saat waktu shalat.
c. Bantuan sembako yang disisipi permen, mainan anak-anak dan handuk
berlambang palang salib, oleh NGO Global Network di Barak Tanjong
Harapan dan Ujong Tanjong Kecamatan Meureubo.
14 Majalah Hidayatullah, Edisi April 2006.
140
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
7/20
d. Informasi dari Kepala MTsN 1 tentang kiriman buku tulis dari NGO
J.N. Kore, yang diselip beberapa gambar palang salib. Gambar
tersebut sudah dibakar agar tidak sampai ke tangan anak-anak.
Berdasarkan temuan data fisik dan non fisik dapat ditegaskan bahwa
upaya pendangkalan akidah di wilayah Aceh Barat sudah berlangsung lama,
pasca musibah tsunami pendangkalan akidah sudah giat dilakukan olehberbagai pihak, klimaksnya terjadi awal tahun 2006 M. Upaya-upaya
pendangkalan akidah terindikasi terjadi setelah para negara donor dan NGO
berdatangan. Upaya-upaya yang konkrit adalah dengan mendirikan sarana
ibadah bagi mereka. Padahal mereka tidak dibenarkan membuka tempat
ibadah baru. Juga menyelip berbagai lambang dan simbol agama selain Islam
dalam berbagai paket bantuan. Strategi lain yang ditempuh oleh NGO adalah
dengan memperlambat proses rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh Barat. Ini
adalah sebuah strategi agar mereka dapat berlama-lama di Aceh Barat, dengan
mencari simpati masyarakat dan menciptakan ketergantungan.
Dari berbagai kegiatan wawancara langsung yang penulis lakukan
dengan beberapa tokoh masyarakat Aceh Barat sebagai berikut:151. Drs. H. M. Arif Idris, mengemukakan bahwa gejala pendangkalan akidah
di Aceh Barat terjadi karena adanya faktor kelalaian beberapa orang Islam
yang bekerja di NGO asing dan tumbuhnya sifat dan paham materialisme
sebagian masyarakat Aceh Barat dalam menyikapi berbagai bantuan yang
datang dari NGO-NGO asing. Menurutnya, beberapa karyawan lokal yang
beragama Islam dan bekerja pada NGO Barat (non-muslim) setiap selesai
bekerja (pulang dari kantor) sebagiannya sering duduk-duduk dan minum
bersama orang-orang Barat di kafe-kafe menjelang shalat magrib sehingga
mereka menjadi terbiasa untuk meninggalkan shalat magrib. Dalam hal
menonjolnya sikap materialisme masyarakat, tampak pada kegiatan gotong
royong yang selalu diberi upah oleh NGO asing, sedangkan pekerjaan yang
dilakukan cenderung asal-asalan. Fakta ini menyebabkan masyarakat Islam
setempat menjadi malas dan timbul sifat ketergantungan.
15Kepala Kandepag Kabupaten Aceh Barat, wawancara dilakukan tanggal 18 April2009, di kantor Departemen Agama Meulaboh.
141
162. Fariani MS, MM, M.Ag, menggambarkan beberapa kronologis yang
terjadi di Aceh Barat saat itu antara lain adalah sebagai berikut:
Ketika kejadian gempa bumi dan tsunami, masyarakat mengalami
kegoncangan jiwa. Ulama langsung bereaksi mengumumkan
penanganan mayat-mayat, kemudian masyarakat, LSM lokal, PMI
mengurus mayat-mayat tersebut yang sebelumnya ditampung di
meunasah-meunasah, sekolah-sekolah dan tempat-tempat lainnya,
setelah itu dikuburkan.
Tiga bulan kemudian, situasi sudah mulai tenang. Bagi anak-anak yang
tidak mempunyai orang tua/keluarga ditampung oleh NGO Barat, di
antara mereka ada yang dibawa ke luar negeri.
Di titik-titik pos penampungan NGO mulai terdengar isu dan diketahui
adanya usaha pendangkalan akidah dan akhlak, maka pihak terkait
bertanggung jawab langsung untuk menangani dan mencegahnya.
NGO-NGO tersebut ada yang diberi peringatan dan ada pula yang
dipulangkan ke tempat asalnya.
Beberapa NGO yang terindikasi melakukan upaya pendangkalanakidah di antaranya adalah, Caritas, Spanish Red Cross, IOM dan
ADRA.
Caritas dan Spanish Red Cross menjalankan misi terselubung pada saat
melakukan pelayanan publik, adanya upacara seremonial dengan
menampakkan lambang-lambang atau isyarat-isyarat roh kudus.
IOM: salah satu proyek kegiatannya ketika itu adalah penanganan air
bersih, di samping itu mengirim orang-orang tertentu untuk membagi-
bagika n buk u-buku yan g bernua nsa non -Isl am dan ket ika
melaksanakan maulid Nabi Isa mereka mengundang orang-orang
Islam.
ADRA: ketika menyalurkan bantuan diselipkan palang salib, patungbunda MariaRoh Kudus. Masyarakat ada yang khawatir, resah dan
bahkan ada yang melakukan demonstrasi karena terjadinya kegiatan
tersebut. Namun aparat memantau dan mencegah upaya pendangkalan
akidah.
16Sekretaris Umum MPU Kabupaten Aceh Barat, wawancara dilakukan pada 22 April2009, di kantor MPU Aceh Barat.
142
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
8/20
Masyarakat hanya menerima bantuan sebagai penanganan
kemanusiaan, walaupun di kotak bantuan diselipkan komik cerita Injil.
Untuk mengatasi kejadian tersebut di atas, Fariani menyerukan
perlunya koordinasi antara Pemda, Depag, Dinas Syariat Islam, Dinas
Pendidikan dan instansi terkait lainnya agar syariat Islam dapat
terlaksana dengan baik di daerah ini.173. Jalinus Yanus T.H., S.Ip. Menyoal fenomena pendangkalan akidah di
Aceh Barat, menurut Jalinus bahwa:
Pada tahun 2005, 2006, dan 2007 memang ada upaya pendangkalan
akidah di Aceh Barat, tetapi menurutnya tidak membawa pengaruh
pada anak-didik yang diasuhnya karena setiap gejala itu muncul selalu
diingatkan oleh pihak yang berwenang.
Pada saat pembagian buku tulis untuk anak-anak sekolah diselipkan
palang salib, tetapi buku tersebut dikumpulkan dan dikembalikan.
Dengan datangnya NGO asing (non-muslim) terjadi perubahan sikap
muda-mudi, budaya westernisasi (kebarat-baratan) mulai dijadikantrend. Hal ini mendapat respons dari kabid pendidikan dan pengawas
sekolah.
Dalam pemberian bantuan dari NGO asing memang ada unsur-unsur
'sambil menyelam minum air', dengan kata lain misi-misi tertentu baik
berupa pendangkalan akidah lewat simbol-simbol agama maupun
budaya asing (porsi negatifnya) dapat berkembang biak di Aceh bila
tidak ditangani secara serius dan bertanggung jawab.
Jalinus mengajak berbagai pihak, supaya menerapkan dengan benar
UUPA, Qanun No. 5 tentang pendidikan wajib baca al-Qur'andengan
istilah memberdayakan sekolah. Sewajibnya, kata Jalinus, membaca
al-Qur'an dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal dengan
merekrut guru-guru pengajian dekat sekolah dan digaji Rp. 500.000,-
per-bulan.
17Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh Barat, wawancara tanggal 20 April2009, di Sekretariat MPD Aceh Barat.
143
181. Rusli Hasyim. Dari hasil pantauan Rusli soal usaha-usaha pendangkalan
akidah yang terjadi di Aceh Barat, beberapa argumen yang dapat
dirangkum sebagai berikut:
Perlu peningkatan pemahaman dan pengamalan agama dalam
melakukan kaderisasi generasi muda muslim. Kenyataan menunjukkan
bahwa tidak sedikit para pemuda yang malas shalat jum'at, sedangkanyang pemudi berpakaian yang tidak mengindahkan etika berpakaian.
Perlu pendalaman iman, ilmu, penghayatan dan pengamalan Islam
yang utuh untuk menjadikan setiap muslim tidak goyah dengan
berbagai bentuk usaha dan iming-iming pendangkalan akidah.
Pendangkalan akidah bukan hanya masalah pemurtadan keluar-masuk
antar agama, tetapi juga disebabkan oleh faktor internal umat Islam
sendiri yang tidak membentengi diri dari segala macam rayuan materi
dan godaan hawa nafsu, sehingga gampang kehilangan jati diri sebagai
muslim.
Rusli memang tidak menafikan adanya tradisi dari berbagai NGO asing
yang membagi-bagi bantuan dan mengadakan kegiatan
kemasyarakatan di saat waktu shalat tiba, pembangunan mushalla yang
mirip geraja, dan penyusupan simbol-simbol agama lain ke dalam
bantuan kemanusiaan di Aceh Barat.
Pemerintah perlu memberi bantuan produktif kepada masyarakat,
tetapi harus terlebih dahulu membekali masyarakat dengan berbagai
keterampilan. Ibarat pepatah, Jangan ikan terus diberikan, tetapi
kail dan cara memancing diajarkan dengan tepat dan benar.
Sebagaimana dimaklumi, masyarakat Aceh telah dikenal dalam
sejarahnya sampai sekarang ini sebagai masyarakat yang kental budaya,
pendidikan dan adat-istiadatnya berbasiskan Islam, bahkan salah satu
keistimewaan Aceh yang menjadi karakteristik pembeda dengan daerah-
daerah lain di Indonesia adalah kelapangan dan keleluasaan dalam
menjalankan syariat Islam. Adalah suatu kenyataan yang berupa aib,
18Geuchik Gampong Cot Seumeureung Kecamatan Sama Tiga, wawancaradilakukan tanggal 21 April 2009, di kediaman beliau gampong Cot Seumeureung.
144
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
9/20
mengganggu dan merusak martabat masyarakat Aceh bila gejala
pendangkalan akidah ini terjadi dalam masyarakat Aceh yang mayoritas
menganut agama Islam. Jadi wajar saja, menolak dengan tegas setiap orang
yang mengganggu aqidah umat Islam di Aceh Barat, bahkan usir mereka dari
bumi Teuku Umar ini.
Model-Model Dakwah Untuk Membendung Misi Pendangkalan Akidah
Untuk membentengi umat Islam dari segala bujuk rayu kaum kuffar
maka diperlukan usaha-usaha dan kerja nyata dakwah yang komprehensif oleh
berbagai komponen masyarakat Islam; pemerintah, ulama, ormas, parpol dan
setiap pribadi kaum muslim secara menyeluruh harus bekerja keras
menyebarkan kebenaran Islam, keadilan Islam, kemurnian Islam dan
keindahan Islam kepada siapapun di dunia ini. Setiap pribadi muslim harus
membentengi diri dengan beberapa langkah konkrit untuk memastikan agar
pemurtadan dan pemusyrikan tidak akan terjadi dalam kehidupan umat Islam.
Di antara langkah-langkah dakwah antisipatif yang perlu dipersiapkan umat
Islam dalam rangka membentengi diri dari segala misi pendangkalan akidah
adalah sebagai berikut:
1. Memperkokoh Akidah Umat Islam
Akidah yang benar adalah jauh dari kemusyrikan dan kemurtadan dari
agama Allah. Tidak menyembah selain Allah dan tidak mencampuradukkan
antara ajaran Islam dengan ajaran berhala dan tidak mencari agama selain
agama yang diturunkan Allah lewat Nabi Muhammad saw.. Setiap pribadi
Muslim harus pula menyandarkan segala acuan kata, pemikiran, sikap, dan
tingkah lakunya pada Alquran dan al-Sunnah Rasulullah saw untuk19memperkokoh akidahnya.
2. Memperindah Akhlak al-Karimah
Pendidikan akhlak al-karimah adalah faktor penting dalam membina20suatu umat atau membangun sebuah bangsa. Akhlak adalah kepunyaan orang
19Mustafa Masyhur, Bekalan di Sepanjang Jalan Dakwah, (Malaysia: DewanPustaka Fajar, Shah Alam, 2003), hal. 243-244.
20Nashruddin Razak,Dienul Islam,(Bandung: Ma'arif, 1977), hal. 37.
145
yang beradab dan tiang bagi masyarakat yang maju. Suatu masyarakat akan
tetap eksis selama moral masih dijunjung tinggi. Sebaliknya, masyarakat akan
lenyap dan hancur apabila moral telah tiada, bahkan tidak ada artinya
kehidupan bagi masyarakat tanpa pedoman moral dan tuntunan akhlak al-
21karimah.
3. Memelihara Persatuan dan KesatuanPersatuan dan kesatuan melambangkan keutuhan dan kekuatan sebuah
kelompok masyarakat. Kekuatan dan keutuhan ini akan tetap eksis selama
mereka tetap memeliharanya. Ketahanan dan keteguhan mereka akan teruji
bila berhadapan dengan pengaruh dan rayuan pihak-pihak luar dengan
berbagai hadiah dan pemberian. Di sinilah peran juru dakwah, para ulama,
pendidik dan guru untuk memperkuat keutuhan dan ketahanan sebuah
masyarakat Islam.
4. Selektif dalam Memilih Sajian Informasi Media
Kehidupan manusia modern sarat akan pengaruh media massa baik22cetak maupun elektronik, koran, majalah, selebaran, jurnal, dan buku
mempunyai peranan penting dan pengaruh yang besar, baik ditinjau dari daya23sebarnya maupun kecepatannya (waktu). Siaran audio visual seperti
sandiwara, bioskop, koran, majalah, tabloid, buku-buku, selebaran,
penerbitan, kaset tape recorder,video, dan sebagainya kini memainkan peran
yang sangat berpengaruh dalam pergolakan ideologi baik peringkat regional
maupun di peringkat internasional. Media teknologi menjadi trend kekinian
untuk mengobarkan perang ideologi saling menghancurkan dan24menyudutkan antar ideologi.
21Yusuf al-Qaradhawi,Iman dan Kehidupan,(Malaysia: Dewan Pustaka, 1985), hal.162.
22William Chang, Media Baru dan Rekonstruksi Sosial,Kompas, Kamis, 9Februari 2006, 6.
23Musthafa Masyhur,Teladan di Medan Dakwah,(Solo: Intermedia, 2000), hal. 174.24Mohammad Irham, Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam, dalam M. Jamil Yusuf,
dkk, (ed),Polmas dan HAM dengan Pendekatan Dakwah dan Adat Budaya Aceh, (BandaAceh: Polda NAD dan Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, 2009), hal. 76-79.
146
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
10/20
4. Model Dakwah Kultural
Pendekatan dakwah kultural adalah usaha-usaha dakwah Islam yang
dirintis dan dikembangkan dengan melakukan interaksi dan adaptasi terhadap
budaya dan adat istiadat yang telah lama hidup, tumbuh dan berkembang
dalam suatu wilayah dan daerah tertentu. Dalam bahasa dakwah dikenal
dengan usaha menyampaikan dakwah dengan bahasa kaumnya atauberdakwah sesuai dengan kemampuan daya tangkap masyarakat setempat
(khatibin nas 'ala qadri 'uqulihim). Pelajaran berharga dari suksesnya
eksistensi dan bertahannya Islam di Aceh adalah karena kedatangan dakwah
Islam ke Aceh tidak merusak dan menghancurkan budaya lokal yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Aceh, tetapi justeru menggunakan instrumen
adat, budaya dan tradisi Aceh untuk menyampaikan universalitas ajaran Islam.
Sehingga sampai saat ini antara adat dan agama Islam menjadi organ yang
saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat
Aceh.
5. Model Dakwah Struktural
Dakwah struktural yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah negara
dengan segenap perangkatnya. Artinya, segenap kegiatan yang dilakukan
negara (pemerintah) untuk mengkonstruksi tatanan masyarakat sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta tidak terlepas dari lingkaran amar ma'ruf25dan nahi munkar. Pendekatan dakwah struktural adalah dakwah yang
dikembangkan melalui kemitraan dengan para penguasa, pemimpin dan
pejabat yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengendalikan
persoalan masyarakat. Biasanya kecenderungan masyarakat adalah mengikuti
agama yang dianut oleh para pemimpin atau penguasanya. Dalam sejarah
Aceh, salah satu faktor yang menyebabkan agama Islam berhasil berkembang
pesat di Aceh karena kemampuan dan kecerdikan para da'imemikat hati parasultan sehingga mereka memilih Islam atas dasar pilihan sadar dan kebebasan,
bukan karena tekanan, paksaan dan peperangan.
25Ramli Ridwan, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Dakwah Struktural,dalam M. Jakfar Puteh dan Saifullah (ed),Dakwah Tekstual dan Konstektual Peran dan
Fungsinya dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: LD-NU Aceh bekerjasamadengan Dispora Aceh dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001), hal. 146.
147
6. Model Dakwahbi al-hal(tindakan dan kerja nyata)
Pendekatan dakwah bi al-haladalah dakwah yang dilakukan dengan26aksi, tindakan dan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia.
Disebabkan aksi atau tindakan nyata maka dakwahbi al-hallebih mengarah
pada tindakan menggerakkan (aksi menggerakkan mad'u) sehingga dakwah
ini lebih berorientasi pada pengembangan masyarakat. Usaha pengembanganmasyarakat Islam memiliki bidang garapan yang luas, meliputi pengembangan
pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat. Pengembangan pendidikan
merupakan bagian penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini
berarti bahwa pendidikan harus diupayakan untuk menghidupkan masyarakat
Aceh yang maju, efisien, mandiri, terbuka, dan berorientasi ke depan yang
lebih berkualitas.
7. Model Dakwah Global-Saintifik
Pada dekade ini masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi krisis
global yang serius, yaitu suatu krisis yang kompleks dan multidimensional
yang segi-seginya menyentuh setiap aspek keheidupan: kesehatan, mata
pencaharian, kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan
politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral, dan
spiritual, suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah27manusia.
Krisis ini juga menimpa aktivitas keberagamaan masyarakat dunia,
tidak terkecuali agama Islam melalui aktifitas dakwahnya. Dakwah untuk
masa mendatang, harus mampu mengakomodir semua lini dari manapun
datangnya, termasuk dari kultur Barat untuk dimanfaatkan sebagai sarana dan
tiang penyangga dakwah. Tantangan dakwah masa depan memang akan
semakin kompleks. Karena itu, tema-tema dakwah hendaklah mampu
mentransfer budaya-budaya modern sebagai upaya memodernisasi gerakan
dakwah dengan memanfaatkan teknologi dan cara berpikir modern.
26Yunan Yusuf,Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jurnal KajianDakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001. Lihat juga, Hasim,Kamus Istilah Islam,(Bandung: Pustaka, 1987), hal. 24.
27Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan KebangkitanKebudayaan, (terjemahan dari The Turning Point, Science and The Rising Culture),(Yogyakarta: Bentang, 1998), hal. 3.
148
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
11/20
Dakwah antisipatif terhadap upaya kalangan asing dalam
mendangkalkan akidah umat Islam perlu dihadapi dengan totalitas kesadaran
iman, ilmu, amal saleh, cara berpikir, metode, strategi dan kepribadian umat
Islam untuk menjadikan tauhid Islam sebagai ajaran yang aplikatif bagi
pembebasan umat Islam dari berbagai godaan dan iming-iming materil untuk
menyimpang dan keluar dari akidah Islam. Dalam konteks ini, beragam modeldakwah sebagaimana tersebut di atas dapat dijadikan jalan, alat, sarana,
metode, pendekatan dan gerakan dakwah (kegiatan pencerahan umat) dalam
rangka membentengi dan memantapkan akidah tauhid umat Islam dari
berbagai ancaman, tantangan dan godaan internal dan eksternal yang lambat
laun tapi pasti menodai, merusak dan bahkan menghancurkan akidah tauhid
umat Islam.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pasca gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004, beberapa
NGO/LSM asing (non-Muslim) datang ke Aceh Barat menyalurkan
berbagai paket bantuan kemanusiaan untuk menolong para korban
tsunami. Namun di balik bantuan tersebut punya misi terselubung
menyebarkan misi agama Kristen di kalangan orang Muslim di Aceh
Barat.
2. Sebelumnya, pada tahun 1976 M missionaris Simamora secara
meyakinkan menjelaskan bahwa umat Kristen akan mengembangkan
misinya di Aceh melalui tiga penjuru, yaitu Singkil, Aceh Tenggara dan
Sabang.
3. Kekurang berhasilan dan kegagalan upaya Kristenisasi sebagai upaya
mendangkalkan akidah Islam masyarakat Aceh Barat pada masa-masa
lampau telah menyebabkan mereka menanti-nanti saat yang tepat untuk
berhasil dengan mudah menjalankan misinya di Aceh. Ahad pagi, 26
Desember 2004 M gempa berkekuatan dahsyat dan gelombang tsunami
menghempas dan menerjang Aceh dan sekitarnya. Ratusan ribu Muslim
149
Aceh meninggal seketika dan ratusan ribu anak terenggut masa depannya.
Akibat tragedi kemanusiaan terbesar abad ini, para penginjil beranggapan
bahwa tragedi kemanusiaan terbesar ini merupakan cara Tuhan untuk
membuka pintu Aceh bagi misi penyebaran salib.
4. Bentuk dan misi kristenisasi yang dijalankan pihak non-Muslim yaitu
menyelipkan lambang Yesus saat penyaluran paket sekolah: buku dan alat-alat tulis; gambar bunda Maria pada obat-obatan (pil vitamin dan lain-lain);
baju berlogo dan berlambang agama tertentu; nama lorong dan dan desa
yang bernuansa Kristiani.
5. Keadaan yang dialami umat Islam pasca gempa dan tsunami serba
kekurangan dan mengalami keguncangan jiwa, maka pada saat itulah
pekerja NGO/LSM Barat datang menawarkan berbagai kemudahan dan
keluar dari kesulitan. Kondisi tersebut menyebakan mereka mau menerima
pemberian bantuan agar keluar dari kesulitan dan sebagian umat Islam
tidak mengetahui adanya misi terselubung Kristenisasi.
150
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
12/20
DAFTAR PUSTAKA
Arnold. Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya,
1981.
Al-Andang.Agama Yang Berpijak dan Berpihak Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Alamsyah Ratu Perwiranegara. Pembinaan Kehidupan Beragama dalam
Pembangunan Nasional,Cet.1. Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI,
t.t..
Abdul Azis Dahlan.Ensiklopedi Hukum Islam,jil.1. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994.
Rosyidi. Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan
Pikiran Jakarta: Paramadina, 2004.
M. Dawam Rahardjo. Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Andy Dermawan. Landasan Epistemologis Ilmu Dakwah, dalam Andy
Dermawan, dkk, (ed.),Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: LSFI,
2002.
Muhammad Quthub.Islam Agama Pembebas, terj. Fungky Kusnaedi Timur
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur'an. Bandung: Mizan, 1994.
Muhammad Ali Aziz.Ilmu Dakwah, Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan
Ampel, 1993.
Masturi. Idealisme Dakwah Islamiyah Era Industrialisasi, Makalah pada
Seminar Nasional Strategi dan Gerakan Dakwah Islam Tanggal 2-4
September 1995 di Yogyakarta.
Serambi Indonesia. Dua Orang Guru di Meulaboh Ditangkap; DidugaMenjalankan Misi Pendangkalan 'aqdah, Serambi Indonesia, 24
Desember 2008 .
Asep Syaefullah. Merukunkan Umat Beragama: Studi Pemikiran Tarmizi
Taher Tentang Kerukunan Umat Beragama. (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2007.
151
Tarmizi Taher. Menuju Ummatan Wasathan: Kerukunan Beragama diIndonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM,1998. 161.
----------.Menjadi Muslim Moderat: Beragama di Tengah Peradaban Global.Jakarta: Hikmah, 2004.
Muhammad Sulthon. Menjawab Tantangan Zaman Desain Ilmu Da'wahKajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Yogyakarta, PustakaPelajar, 2003.
Mustafa Masyhur. Bekalan di Sepanjang Jalan Dakwah. Malaysia: DewanPustaka Fajar, Shah Alam, 2003.
Nashruddin Razak.Dienul Islam.Bandung: Ma'arif, 1977.
Yusuf al-Qaradhawi.Iman dan Kehidupan.Malaysia: Dewan Pustaka, 1985.
William Chang. Media Baru dan Rekonstruksi Sosial, Kompas, Kamis, 9Februari 2006.
Musthafa Masyhur. Teladan di Medan Dakwah.Solo: Intermedia, 2000.
Mohammad Irham. Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam, dalam M. JamilYusuf, dkk, (ed.),Polmas dan HAM dengan Pendekatan Dakwah dan
Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Polda NAD dan Fakultas DakwahIAIN Ar-Raniry, 2009.
Ramli Ridwan. Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Dakwah Struktural,dalam M. Jakfar Puteh dan Saifullah (ed), Dakwah Tekstual dan
Konstektual Peran dan Fungsinya dalam Pemberdayaan EkonomiUmat.Yogyakarta: LD-NU Aceh bekerjasama dengan Dispora Acehdan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001.
Yunan Yusuf. Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jurnal
Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001.
Fritjof Capra. Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan KebangkitanKebudayaan, terjemahan dari The Turning Point, Science and TheRising Culture. Yogyakarta: Bentang, 1998.
152
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
13/20
EKSISTENSI BAHASA DAERAH
SEBAGAI WADAH KOMUNIKASI
DAN EKSPRESI BUDAYA
DAN ADAT MASYARAKAT ACEH
1Oleh: M. Nur Daud
Abstract
Culture is something produced by human and is destined for human survival. In
anthropology, there is no good and bad culture, but it is an institution, a
community tradition. The existence of culture is caused by an enlightened
human creativity which resulted in scientific works, skills and knowledge.
Culture is also interpreted as material and spiritual related. The existence of
culture can contribute the personal interests to the surrounding natural
environment. Language is one of very important elements because it is the coreof the culture and by which culture can be passed on and developed from
generation to generation. Thus, language is the primary means to capture,
understand, communicate, discuss, modify and pass on the meaning of culture
to new generations.
Kata Kunci: Bahasa, komunikasi, kebudayaan.
Pendahuluan
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap suku atau bangsa
di dunia ini memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-
beda antara satu dengan yang lainnya. Kebudayaan secara jelas menampakkankodrat manusia dari pelbagai suku, bangsa atau ras. Untuk itu pendefinisian
terhadap budaya dapat dilakukan oleh siapapun, namun manusia sebagai
cultural being, merupakan suatu fakta historis yang tidak berbantahkan oleh
1 Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, S2 Pendidikan (M.Pd) diraihpada Program Pascasarjana Unsyiah Darussalam Banda Aceh.
153
siapa pun juga. Sebagai cultural being,manusia adalah pencipta kebudayaan,
dan kebudayaan merupakan ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada2kebudayaan, manusia menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah.
Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri
merupakan produk kebudayaanya. Itulah dialektika fundamental yang
mendasari seluruh proses hidup manusia. Dialektika fundamental ini terdiri
atas tiga tahap, yaitu: (1) eksternalisasi, yakni proses pencurahan diri manusia
secara terus menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental; (2)
objektivasi, yakni aktivitas manusia yang melahirkan suatu realitas objektif
yang berada di luar diri manusia; (3) internalisasi, yakni realitas objektif hasil
ciptaan manusia diserap kembali oleh manusia sehingga membentuk dirinya3sebagai produk kebudayaan.
Manusia dan kebudayaan saling mengandaikan, adanya manusia
mengandaikan adanya kebudayaan; sebaliknya adanya kebudayaan
mengandaikan adanya manusia. Tanpa manusia takkan ada kebudayaan. Tanpa
kebudayaan manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya secara manusiawi.
Melalui kebudayaan manusia merealisasikan dirinya menjadi manusia dengan
cara menciptakan suatu dunia yang khas bagi dirinya secara dinamis dan
kreatif. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan.
Sebagai makhluk berbudaya, manusia terus-menerus
menyempurnakan hidupnya dalam konteks sosial tertentu, dalam jaringan
interaksi yang kompleks dengan sesamanya, dengan bermacam ragam
pranata sosial yang menentukan arah dan gerak hidup masyarakat, dan dalam
relasi fundamental dengan alam dan Ilahi. Untuk itu, manusia tidak bisa hidup
sendirian, maka masyarakat merupakan dasar bagi segala aktivitas yang
dilakukannya. Karena masyarakat bukan saja produk kebudayaan, tetapi juga
kondisi mutlak bagi kebudayaan.
2Rafael Raga Maran.Manusia dan Kebudayaandalamllmu Budaya Dasar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hal. 16-17.3Peter L. Berger. The Social Reality of Religion, (Norwich: Penguin Books, 1973),
hal. 14.
154
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
14/20
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
15/20
tentu saja dapat dianalisis melalui bahasanya. Jelaslah bahwa bahasa
mencerminkan bangsa. "Yang lurik kundi yang indah saga, yang baik sudi
yang indah bahasa".
Bahasa Daerah
Bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan daerah yangdilindungi oleh Undang-undang sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Bab XV
UUD 1945. Di Aceh terdapat lebih kurang 10 bahasa daerah yang tetap
terpelihara dan digunakan dalam komunikasi budaya dan adat istiadat daerah,
walaupun sedang bertarung dengan bahasa nasional dan bahasa asing. Dalam
kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa yang terdapat di Aceh
berfungsi sebagai; (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas
daerah, (3) sarana komunikasi keluarga dan masyarakat daerah, (4) sarana
komunikasi budaya dan adat-istiadat daerah. Keempat fungsi ini telah
mendapat tempat dalam masyarakat pendukungnya dan dilindungi oleh
negara. Lebih dari itu, bahasa-bahasa daerah merupakan unsur kebudayaan
nasional yang merupakan salah satu pilar dalam pengembangan bahasa
nasional, bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah menjadi pendukung bahasa
Indonesia.
Adat Istiadat
Dari berbagai definisi yang dikemukakan, adat dapat dibatasi sebagai
tata laku yang lebih teratur, berkesinambungan, dan sempurna untuk
kesahihan perbuatan, kebaikan, dan keselamatan pada semua anggota12masyarakat yang terlibat. Adat berfungsi sebagai format yang mengatur
keseluruhan tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat. Adat juga
merupakan segala peraturan yang ditetapkan oleh semua manusia untuk
keperluan hidup bermasyarakat dan menjadi hukum adat. Hukum itu adalah
hasil perbuatan manusia yang mengatur hubungan antara kemauan individu
dan keinginan kelompok. Dalam masyarakat Islam, adat bersendi syarak, dan
12Zainal Kling.Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.Makalah DialogUtara (Lhokseumawe, 2005), 6.
157
syarak bersendi kitabullah. Masyarakat Aceh yang dikenal taat beragama,
dapat juga diturunkan dari Islam, sehingga adat berfungsi menegaskan syariat,
dan syariat membersihkan adat. Agama dan adat bagai zat dengan sifat. Dalam
masyarakat Aceh dikenal sebuah pepatah:
Kong reumoh karena bajoe lingka puteng;
Kong syariat karena adat di geunireng".
Konsep adat berlapis dan mempunyai kedudukan yang berlainan.
Lapis itu adalah (1) Adatullah, yaitu adat istiadat yang sesuai dan mendukung
ajaran-ajaran
al Qur'an; (2) Adattunnah, yaitu adat istiadat yang sesuai dan mendukung
Sunah Rasul; (3) Adat Muhakamah, yaitu adat istiadat yang bersumber dari
hasil kesepatakan bersama terhadap sesuatu yang baik dan bernilai agama; (4)
Adat Jahiliah, yaitu kebiasaan yang diadatkan oleh masyarakat pendukungnya
karena sangat mereka gemari, namun bertentangan dengan Adatullah,
Adatunnah, dan Adat Muhakamah.
Adat sebagai Bagian dari Budaya
Adat merupakan suatu perbuatan berulang sebagai perilaku
masyarakat terhadap sesuatu, sehingga menjadi suatu kebiasaan dan bahkan
pada tingkat akhir dapat menjadi suatu norma atau kaedah sebagai segmen
peradaban manusia. Pada tingkat seremonial, ritualitas, berupa "adat istiadat".
Pada tingkat lain dapat berupa suatu perbuatan hukum yang apa bila dilanggar
akan mendapat sanksi. Perbuatan adat yang mengandung larangan atau delik
yang akan diberikan sanksi, dan perbuatan demikian disebut perbuatan
"hukum adat".
Dengan demikian ada perbedaan antara "adat" dengan "hukum adat".
Adat adalah suatu kebiasaan seremonial yang apabila tidak dilakukan, tidak
akan menimbulkan ancaman pelanggaran, melainkan sekedar cemohan
ringan, misalnya acara perkawinan duduk pada pelaminan yang dihiasi
meriah. Tetapi sesuatu perbuatan adat akan dikenakan sanksi, bila dilakukan
pelanggaran, misalnya dalam pemberian "tanda pengikat atau caram" dalam
pertunangan, bila salah satu melakukan wanprestasi atau pembatalan, maka
158
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
16/20
kehidupan sejahtera dan bermartabat kepada bangsanya, terutama sejak
peradaban dan budaya Islam melalui agama Islam masuk dan berkembang di
Aceh.
Bahasa Daerah dalam Aktivitas Adat dan Budaya
Dalam kenyataannya, bahasa-bahasa daerah yang hidup dan
berkembang di Aceh memiliki fungsi budaya dan adat istiadat. Bahasa-bahasa
itu telah digunakan sebagai media komunikasi budaya dan adat istiadat. Selain
ada kebanggaan menggunakan bahasa daerah dalam kegiatan adat, makna
yang terkandung dan rasa bahasanya lebih dipahami oleh masyarakatnya.
Makna budaya dan adat istiadat yang terkandung di dalam suatu bahasa daerah
tidak dapat digantikan dengan bahasa nasional atau bahasa daerah lainnya.
Hal ini tentunya merupakan konsekuensi logis dan bahasa sebagai produk
budaya dan alat pengembangan budaya. Suatu produk budaya hanya dapat
dikembangkan dengan bahasa dan budaya yang bersangkutan.
Dalam berbagai aktivitas kebudayaan di Aceh senantiasa
menggunakan bahasa daerah. Dalam hal ini bahasa daerah menjadi jati diri
budaya daerah sekaligus berfungsi sebagai media pengembangan kebudayaan
daerah. Misalnya, penggunaan bahasa Aceh dalam seudati dan jenis kesenian
lainnya. Apabila seudati dan kesenian Aceh lainnya digunakan bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris, dapat dipastikan seudati dan jenis kesenian
lainnya itu tidak bernilai seni. Demikian juga dengan berbagai aktivitas adat
seumpama "seumapa" pada pesta perkawinan. Dengan menggunakan bahasa
Aceh, pesan-pesan yang disampaikan lebih dalam bahasa Indonesia atau
bahasa asing, dapat dipastikan nilai seni dalam proses itu berkurang atau tidak
ada sama sekali.
Karena itu, bahasa-bahasa daerah itu perlu dilestarikan dan dibina
tidak hanya oleh masyarakat pendukungnya, tetapi juga perlu dibina oleh
pemerintah daerah dengan suatu kebijakan khusus dan perlu diundangkan
melalui Qanun Bahasa Daerah. Dengan adanya Qanun Bahasa Daerah,
masyarakat pengguna bahasa mempunyai kepastian hukum dalam
penggunaan bahasanya. Lembaga pendidikan dan kebudayaan memiliki
160
akan dikenakan sanksi adat berupa denda. Dalam masyarakat sebutan terhadap
adat istiadat atau hukum adat adalah populernya menggunakan istilah yang
satu yaitu "adat", padahal bila masuk ke dalam perilaku adat dari segi disiplin
ilmu akan terdapat ada "adat istiadat" dan ada "hukum adat".
Bila dikaitkan proses tingkah laku tumbuhnya adat istiadat atau hukum
adat dengan pengertian budaya sebagaimana dikatakan oleh Selo Soemardjan
dan Soelaeman yang merumuskan kebudayaan sebagai hasil dari karya, rasa
dan cipta masyarakat, maka adat istiadat adalah merupakan bentuk-bentuk
perilaku sebagai hasil nilai komunikasi lingkungan masyarakat dengan
sendirinya termasuk bagian dari budaya.
Kebudayaan suatu masyarakat sebetulnya merupakan hasil dari
pengalaman warga-warga masyarakat, yang menghasilkan sistem nilai-nilai
berupa konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap buruk untuk
dihindari dan apa yang dianggap baik perlu dijadikan pegangan. Dari beberapa
pandangan para ahli tentang kebudayaan dalam hubungan isyarat-isyarat al-
Qur'an. Sidi Gazalba merumuskan kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara
merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan
manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu.
Abidin Hasyim mengutip Koentjaraningrat yang membagi kebudayaan
dalam tiga wujud, yaitu:
1. sebagai kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia.
2. sebagai suatu kompleks aktvitas, misalnya interaksi manusia dari
dalam hidup bermasyarakat, pertemuan upacara, belajar, riset dan
lain-lain.
3. sebagai benda yaitu segenap hasil dari pada gagasan yang dijelmakan
melalui aktivitas misalnya dari perkakas, barang-barang teknologi,
pakaian, bangunan dan sebagainya.
Dengan demikian menjadi lebih jelas lagi bahwa adat merupakan
basil karya produksi manusia menjadi bagian dari budaya. "Adat Aceh" adalah
produksi budaya masyarakat Aceh dan budaya Aceh adalah bagian dari kultur
dan peradaban manusia (civilization). Budaya Aceh telah memberikan
159
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
17/20
rujukan dalam mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah dan
menerbitkan buku-buku dalam bahasa daerah. Para sastrawan dan budayawan
juga mempunyai referensi yang standar mengenai bahasa daerah. Lebih dari
itu, lembaga perguruan tinggi juga perlu memikirkan kemungkinan membuka
jurusan bahasa dan sastra daerah.
Penutup
Kebudayaan adalah suatu cara hidup bersama, cara khas manusia
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan alam, dan merupakan strategi
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan merupakan
keseluruhan dari ide atau gagasan dan sesuatu yang dihasilkan manusia dalam
pengalaman historisnya, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, kebiasaan (adat istiadat), keterampilan, serta perilaku lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Pelbagai arti yang diberikan manusia terhadap objek-objek, peristiwa-
peristiwa, fenomena dan perilaku merupakan jantung kebudayaan. Bahasa
merupakan sar ana u t ama untuk menangkap, memahami ,
mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah dan mewariskan arti-arti itu
kepada generasi baru. Dengan bahasa pula manusia menciptakan cara
berpikir, cara merasa, cara bertindak dan menciptakan dunianya yang khas
dan manusia.
Dalam berbagai aktivitas kebudayaan di Indonesia pada umunmya
menggunakan bahasa daerah. Dalam hal ini bahasa daerah menjadi jati diri
budaya daerah setempat sekaligus berfungsi sebagai media pengembangan
kebudayaan daerah.
161
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. Sosiologi Bahasa.Bandung: Angkasa, 1985.
Bakker, J.W.M.Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jakarta; Kanisius,1984.
Berger, Peter L. The Social Reality of Religion.Norwich: Penguin Books,1973.
Eilers, Franz-Josep.Berkomunikasi Antar-Budaya.Terj. Pon Tondjowidjodjo.Ene Flores: Nusa Indah, 1995.
Kling, Zainal.Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.MakalahDialog Utara, Lhokseumawe, 2005.
Maran, Rafael Raga. Manusia dan Kebudayaandalamllmu Budaya Dasar.Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Nababan, P.W.J. Sosiolinguitik.Jakarta: Gramedia, 1984.
Silzer, Peter J.Bahasa dan Kebudayaan; AnakKembar Siam.Jumal LinguistikIndonesia, Tahun 8, No. 1 Jakarta, 1990.
162
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
18/20
MENGGAGAS KOMUNIKASIANTARBUDAYA DALAM
KERAGAMAN MASYARAKATINDONESIA
1Oleh: Irsan Adrianda
Abstract
Conflict and violence in Indonesia are reflection of multidimensional social
inequalities exacerbated by the lack of adequate institutional and
constitutional framework for conflict resolution efforts. In resolving the
conflict, it is required a synergistic cooperation in all fields of development,
including development of mass media in developing societies in the frame
marked by the diversity of the egalitarian, tolerant and democratic attitude. In
addition to normative recommendations, it is also required a practical action
plan to optimize the role of mass media through a media strategy that is
planned, precise and measurable in order to develop the community within the
existing diversity.
Kata Kunci:Komunikasi antarbudaya, keragaman, media massa.
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen
dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang
sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah
menyebabkan dunia menuju ke arah desa dunia (global village)yang hampir
tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi
modern. Untuk itu masyarakat harus siap menghadapi situasi-situasi baru
1Dosen STAI Teungku Chik Dirundeng, Meulaboh.
163
dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan
komunikasi harus berjalan antara satu dengan yang lainnya.
Teknologi komunikasi telah mengantarkan manusia ke tahap yang
memungkinkan mereka berinteraksi dengan berbagai budaya lain. Misalnya,
fenomena yang terjadi sekarang ini dalam dunia global, sebagian interaksi
budaya bersifat tatap muka, sebagian lagi lewat media massa, sebagian
interaksi bersifat selintas atau berjangka pendek, sebagian lagi berjangka
panjang atau permanen. Proses interaksi dan komunikasi tersebut berlangsung
di saat melancong ke manca negara, belajar di luar negeri, melangsungkan
pekerjaan, bersahabat pena, konferensi kenegaraan, konser musik,
penayangan telenovela atau film lewat siaran televisi swasta maupun melalui
televisi kabel, penayangan berita atau serangkaian muatan lain dalam program
acara televisi dalam konteks nasional dan internasional. Semua hal tersebut
adalah fenomena komunikasi bernuansa perbedaan budaya dunia.
Fenomena komunikasi antarbudaya tersebut tampaknya akan dialami
setiap saat, apalagi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya
secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar
budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait
erat dengan cultural materialismyang mencermati budaya dari pola pikir dan
tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak
ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), maupun hubungan sosial tertentu.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan
perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari
kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orientasi kebudayaannya yang
khas, sehingga pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya
merupakan proses yang bermatra individual, sosial dan kultural sekaligus.
Dalam kenyataannya, persentuhan nilai-nilai budaya sebagai
manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus.
Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk, kesenjangan tingkat
pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan merupakan kendala bagi
tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati
secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara
164
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
19/20
berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai
aspek kehidupan.
Menurut Budiono, pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia
cenderung dapat dipandang sebagai suatu masyarakat besar yang belum
selesai. Hal ini dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan
sentripetal dan sentrifugal yang bersilangan secara terus menerus naik ke
permukaan secara silih berganti. Persentuhan antar budaya yang terjadi
secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata
nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran (shift) antar nilai, atau
peresengketaan(conflict)antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash)
antar nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang
budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan
adanya mekanisme yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui2jalur pendidikan maupun media massa.
Harus dipahami bahwa gagasan penggalian budaya nasional bukan
diarahkan pada konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai
dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia
dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu
fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan
pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat
universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya,
sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah
air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada
perwujudan budaya nasional, yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional
ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya
bangsa dan mempekokoh jati diri dan kepribadian bangsa.
Fenomena komunikasi antara komunitas-komunitas berbeda budaya di
Indonesia sekarang ini, dengan demikian tampaknya semakin rumit sejalan
dengan semakin beragamnya konsep diri, minat, kepentingan, gaya hidup,
2 Budiono Kusumohamodjojo, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, (Jakarta:
Grasindo, 2000), hal. 98.
165
kelompok rujukan, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat. Berbagai kajian akhirnya muncul untuk menjelaskan dan
menganalisisnya. Dari perspektif komunikasi, terdapat beberapa bidang yang
mengaitkan komunikasi dengan budaya, antara lain komunikasi antar budaya,
komunikasi lintas budaya, komunikasi internasional, dan secara lebih khusus
lagi kajian komunikasi antar etnik, kajian antar ras dan sebagainya.
Memahami keanekaragaman masyarakat Indonesia merupakan
realitas obyektif yang tidak dapat dipungkiri. Keanekaragaman masyarakat
dan budaya Indonesia tercermin dengan adanya keragaman yang muncul
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu wilayah geografis, latar
belakang historis, dan psikologis. Keanekaragaman ini di satu sisi akan
memberi warna positif pada sistem nilai budaya bangsa apabila terwujud
dalam bentuk interaksi yang saling melengkapi, tetapi di sisi lain dapat
menjadi sumber konflik apabila tidak dipahami dengan baik, apalagi
menjadikannya sebagai suatu kesatuan/unit dalam berkompetisi untuk
memperebutkan sumberdaya ekonomi dan politik.
Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap
kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya,
hingga orientasi politik. Karena itu, publikasi, film, televisi, dan berbagai
media komunikasi lainnya sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat
anti, menghina atau melecehkan budaya lain atau ajaran suatu agama. Sikap
respek terhadap budaya dan agama harus menjadi bagian dari kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah
maupun swasta dan menjadi budaya baru menuju masyarakat yang bersatu.
Untuk itu, dalam artikel ini penulis memahami keberadaan media sebagai
wadah pencerahan bangsa, sebagai pengemban amanah dalam mengikat
keragaman budaya yang ada.
Memahami Komunikasi Antarbudaya
Kajian komunikasi antarbudaya menjadi sangat populer, menarik dan
unik. Menarik karena garapannya sangat luas dan beragam. Di Indonesia
kurang lebih terdapat 200 etnis yang tersebar diberbagai daerah, mulai Sabang
166
-
7/22/2019 At - Tanzir Urut Nomer - 1
20/20
sampai Merauke seperti: etnis Aceh, Batak, Minangkabau, Jawa, Sunda,
Asmat, Ambon, dan lain-lain. Terlebih di seluruh dunia terdapat ribuan, bahkan
jutaan etnis, mulai dari etnis yang terdapat dikawasan Timur Tengah, Barat,
Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Unik karena etnis yang satu dengan yang
lainnya memiliki karakteristik yang berbeda. Hal inilah yang menjadi wilayah
kajian komunikasi antarbudaya lebih menarik dan dinamis.
Istilah intercultural communication dalam bahasa Indonesia
dipadankan dengan komunikasi antarbudaya atau komunikasi lintas budaya.
Istilah komunikasi antarbudaya dianggap lebih tepat, karena dalam
komunikasi antar penutur yang berbeda latar belakang budayanya pola
komunikasi yang terbentuk merupakan satu pola baru sebagai sinergi pola
komunikasi penutur dan mitra tutur.
Menurut Rogers dan Steinfatt kemampuan berkomunikasi antarbudaya
merupakan kemampuan seseorang untuk bertukar informasi secara efektif dan
tepat dengan orang yang berlatar belakang budaya berbeda. Berlatar belakang
budaya berbeda berarti memiliki lingkup kehidupan yang tidak sama. Lingkup
kehidupan mencakup pandangan hidup, agama, etika, norma hukum,
teknologi, sistem pendidikan dan hasil kebudayaan yang bersifat materi
maupun non materi. Proses sosialisasi seseorang sangat dipengaruhi oleh
lingkup kehidupannya. Kemampuan berkomunikasi antarbudaya merupakan
salah satu tujuan pengajaran bahasa asing, namun dalam pengajaran bahasa
asing perhatian lebih dipusatkan pada pengungkapan verbal yang sesuai
dengan pola komunikasi bahasa asing yang dipelajari, bukan proses interaksi
yang terjadi.
Dalam kajian linguistik, khususnya kajian pragmatik diteliti unsur-
unsur bahasa yang dianggap memiliki konsep universal kemudian
dibandingkan pengungkapan verbal konsep-konsep tersebut, seperti bentukbentuk bahasa yang mengungkapkan kesantunan. Hasil penelitian biasanya
dikaitkan dengan latar belakang penuturnya untuk melihat kaitan antara bahasa
dan budaya. Penelitian pragmatis yang telah dilakukan dapat dikembangkan ke
arah pragmatis antarbudaya, seperti pendapat Ehrhardt yang menyatakan
bahwa permasalahan kajian komunikasi antarbudaya bukan melihat hubungan
167
antara ungkapan verbal dengan latar belakang budaya, namun lebih
menitikberatkan pada interaksi yang terjadi, dan bagaimana persepsi penutur
terhadap mitra tutur dan sebaliknya, hal-hal ini kemudian dikaitkan dengan
strategi berkomunikasi.
Komunikasi dan budaya secara timbal balik saling berpengaruh satu
sama lain. Budaya dimana secara individu-individu disosialisasikan, akan
berpengaruh terhadap cara mereka dalam berkomunikasi. Cara bagaimana
individu-individu itu berkomunikasi, dapat mengubah budaya yang mereka
miliki dari waktu ke waktu. Hanya saja, kebanyakan analisis tentang
komunikasi antarpribadi mengabaikan hubungan ini dan aspek budaya
menjadi kosong dalam studi komunikasi. Sebaliknya, studi-studi tentang
komunikasi lintas budaya, menguji pengaruh budaya terhadap komunikasi.
Kebanyakan analisis tentang komunikasi lintas budaya membandingkan dan
mempertentangkan pola-pola komunikasi dari berbagai macam budaya.
Ada dua pendekatan utama untuk mengidentifikasikan budaya, yaitu
budaya sebagai sistem yang adaptif dan budaya sebagai sistem yang ideal.
Bagi orang yang melihat budaya sebagai hal yang adaptif, mereka memiliki
kecenderungan untuk melihat budaya sebagai hal yang menyatukan orang-
orang untuk sistem ekologi dimana mereka hidup. Harris berpendapat bahwa
budaya menurun kepada pola prilaku yang diasosiasikan dengan kelompok
orang tertentu, yaitu untuk kebiasaan atau untuk prinsip hidup seseorang.
Para teoritis budaya yang berpandangan seperti ini, melihat budaya sebagai
perkembangan menuju keseimbangan.
Teori-teori ideal dari budaya memandang budaya sebagai sistem
kognitif atau sistem simbolik. Goodenough berpendapat, budaya terdiri daristandar-standar untuk memutuskan apakah sesuatu itu, untuk memutuskan apa
yang dapat, untuk memutuskan apa yang dirasakan seseorang mengenai hal
tersebut, untuk memutuskan apa yang harus dilakukan mengenai hal itu dan
untuk memutuskan bagaimana caranya melakukan sesuatu itu. Geerzt
sebagai salah satu dari pendukung utama aliran budaya sebagai sistem
Komunikasi dan Budaya
168