keragaman suku di ntt dan ntb

Upload: ginas-septian-nurfakhri

Post on 19-Oct-2015

494 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Keragaman Suku di NTT dan NTB

Suku Bangsa KuiOrang Kui berdiam didaerah kolona dan daerah Pureman sebgai bagian dari wilayah administratif kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Orang kui Merupakan satu kelompok yang jumlah anggotanyarelativekecil, namun mereka memiliki bahasa sendiri yaitu Bahasa Kui. Pada tahun 2010, Shiohara menulis penggunaan bahasa oleh orang kui berdasar konsep multibahasa dan membandingkannya dengan penggunaan bahasa Sumbawa di Pulau Sumbawa,Nusa Tenggara Barat. Shiohara juga membahas upaya pemerintah daerah dan masyarakat dalam hal penggunaan bahasa Kui. Dia menyatakan bahwa gerakan mendorong penggunaan bahasa daerah hampir sama sekali tidak ada.Tradisi Lisan orang Kui, terutama mitologi danlego-lego,meru[akan medium penjaga struktur social orang Kui. Dengan tradisi lisan itu, orang Kui memiliki memori kolektif tentang siapa diri mereka sebagai orang Kui dan siapa diri mereka sebagai sebuah klan atau suku.Suku Kui merupakan kelompok masyarakat yang dalam kesehariannya memproduksi ujaran dan menciptakan serta produksi, resepsi, dan penggunaan berbagai bentuk material dapat diklaim memiliki dasar ontologis. Dalam melakukan hal tersebut masyarakat Kui selalu bekerja bersama-sama untuk tujuan dapat tercapai dan selesai tepat waktu, selain itu juga untuk memper erat tali persaudaraan antar masyarakat suku Kui.Suku Kui memiliki alat tenun yang berfungsi untuk membedakan motif tenun songket laki-laki dan perempuan. Suku Kui merupakan salah satu kelompok penduduk asal di wilayah Kabupaten Alor. Orang Kuiinihidup dari pertanianlading. Tanaman utama adalah jagung, yang sekaligus sebagai makanan pokok mereka.Sampai saat ini Suku Kui percaya akan dongeng, kosmologi, dan juga ritual. Hal tersebut menandakan bahwa Suku Kui masih menganut kepercayaan nenek moyang. Seniorang Kui tampak dalam motif tenin songketnya. Tenun songket orang Kui menyimbolkan perbedaan jender dan juga perbedaan struktur social orang Kui. Perbedaan jender itu tampak pada dua jenis kain yang diproduksi orang Kui, yaitu sarung untuk perempuan, dan selimut untuk laki-laki.

Suku Bangsa TetunTetun adalah bahasa yang lembut, karena kurangnya suara parau kasar.Stres biasanya pada suku kata kedua dari belakang dengan beberapa pengecualian.Pengetahuan Suku tetun ditujukan kepada sifat-sifat khusus badani dancaraproduksi, tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup yang lainnya. Masyarakat dibentuk oleh berkumpulnya individu-individu. Salah satu cara terbentuknya masyarakat adalah melalui perkawinan. Dalam tulisan ini saya mencoba menunjukkans secara khusus masyarakat Belu dalam kaitannya dengan perkawinanadatpatrilineal.Suku tetun adalah suku yang hidup dalam keselarasan. Suku ini sangat menjaga tali persaudaraan antar manusia terutama antar orang tetun sendiri. Suku tetun termasuk suku yang kaya. Kenapa bisa dibilang begitu? Karena dilihat dari adat pernikahannya, suku tetun mempunyai banyak syarat yang harus dijalani, salah astunya adalah mahar yang harus diberikan berupa uang perak, uang emas, selimut tenun ikat dan sulam, hewan besar, bahkan sampai tanah.Suku tetun hidup dengan berkerja sebagai petani, entah itu petanipadi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kacang kedelai, dll. Tapi suku tetun ini masih juga percaya akan hal-hal mistis yang dipengaruri oleh nenek moyang. Bibliku/Tihar, merupakan alat kesenian tradisional Suku tetun sebagai lambang pelestarian kebudayaan suku dan Bangsa Indonesia.

Suku SasakSuku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi. Jika saat kitab tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan.Nenek moyang Suku Sasak berasal dari campuran penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa Tengah yang terkenal dengan julukan Mataram, pada jaman Raja yang bernama Rakai Pikatan dan permaisurinya Pramudhawardani. Kata sasak itu sendiri berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan.Dalam masyarakat Sasak, kelompok kekeraatan terkecil adalah keluarga inti (nuclear family)yang disebutkuren.Keluarga inti umumnya keluarga monogami, meskipun adat membenarkan keluarga inti poligami. Adat menetao sesudah nikah adalah virilokal, meskipun ada yang uxorilokal dan neolokal. Garis keturunan suku Sasak ditarik menuruk sistempatrilineal.Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutanmerarikatauselarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut denganmesejatiatau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengannyelabaratau kesepakatan mengenai biaya resepsi.

Suku BimaSuku Bima tinggal di daerah dataran rendah, wilayah kabupaten Bima, Donggo dan Sangiang, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Suku Bima telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Lingkungan alam suku Bima berbeda-beda karena di daerah utara Lombok tanahnya sangat subur sedangkan sebelah selatan tanahnya gundul dan tidak subur.Kebanyakan dari mereka bermukim sekitar 5 km atau lebih dari pesisirpantai. Mereka juga disebut suku "Oma" (artinya "berpindah-pindah")karena sering hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yanglain. Suku Bima memiliki hubungan dengan suku Sasak yang tinggalberdekatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.Suku ini menggunakanBahasa BimaatauNggahi Mbojo. Menurut sejarahnya, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebutNcuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dariPandawa Lima,Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh paraNcuhisebagai Raja Bima pertama. Namun Sang Bima langsung mengangkat anaknya sebagai raja dan beliau kembali lagi keJawadan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagianbahasa Jawa Kunakadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.Mata pencaharian utamanya masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersamaMakassardanTernatepada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Suku SumbawaSuku Sumbawaadalah suku bangsa yang mendiami pulauSumbawadan menggunakanbahasa Sumawa. Suku yg berpopulasi 1,3 juta ini sebagian besar beragamaIslam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sumbawa, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni IslamWetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktek ibadah seperti itu.Populasi Suku Sumbawa yang terus berkembang saat ini merupakan campuran antara keturunan etnik-etnik pendatang atau imigran dari pulau-pulau lain yang telah lama menetap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya serta sanggup berakulturasi dengan para pendatang lain yang masih membawa identitas budaya nenek moyang mereka, baik yang datang sebelum maupun pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815.Para pendatang ini terdiri atas etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis,Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin),dan Cina (Tolkin dan Tartar), serta Arab yang rata-rata mendiami dataran rendah dan pesisir pantai pulau ini, sedangkan sebagian penduduk yang mengklaim diri sebagai pribumi atau tau Samawa asli menempati wilayah pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar akibat daerah-daerah pesisir dan dataran rendah yang dulunya menjadidaerah pemukiman mereka tidak dapat ditempati lagi pasca bencana alam Tamborayang menewaskan hampir dua pertiga penduduk Sumbawa kala itu.

Gambaran Umum Kondisi Infrastruktur Jalan di NTB

Jalan nasional di wilayah Nusa Tenggara Barat sepanjang lebih kurang 600 km. Sementara jalan provinsi yang umumnya terdiri dari jalan kelas 2 dan kelas 3, memiliki panjangsekitar 1800 km sebagian besar berada di Pulau Sumbawa dengan panjang 1,5 kali lebih daripada di Pulau Lombok. Sementara itu menurut data tahun 2008, panjang jalan kabupaten di seluruh wilayah NTB mencapai sekitar 4 ribu km.Karena terdiri dari dua pulau besar, makajaringan jalan di Nusa Tenggara Barat dapat dibagi menjadi dua,yakni jaringan jalan Pulau Lombok dan jaringan jalan Pulau Sumbawa.Indikator standar pelayanan minimum jalan dapat dinilai dari dua aspek, yakni aspek kuantitas dan aspek kualitasnya. Jika aspek kuantitas ditinjau dari aksesibilitas dan mobilitasnya, maka aspek kualitas jalan dapat dinilai dari kondisi jalan yang ada, sejauhmana cukup dan tidak rusak, dalam hubungannya dengan pelayanan operasional jalan seperti tingkat kecepatan perjalanan dalam jarak tempuh tertentu dan keselamatan.Secara kuantitas, pada tahun 2008, indeks aksesibilitas jalan di Provinsi NTB secara keseluruhan sudah mencapai 0,36, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang baru mencapai 0,23. Rinciannya, indeks aksesibilitas jalan nasional 0,03, jalan provinsi 0,09 dan jalan kabupaten/kota 0,24. Berbeda dengannya,indeks mobilitas jalan di Provinsi NTB yang mencapai 1,71 masih di bawah rata-rata nasional sebesar 1,92. Hal ini dipengaruhi oleh masih kecilnya indeks mobilitas dari jalan nasional (0,14) dan jalan provinsi (0,43),sementara indeks mobilitas jalan kabupaten relative sudah diatas rata-rata nasional. Sementara itu dari sisi panjang jalan, kecuali di Kota Mataram, indeks aksesibilitas panjang jalan keseluruhan (meliputi jalan nasional, provinsi dan kabupaten/kota) di tingkat kabupaten/kota sudah diatas standar pelayanan minimal (SPM). Sementara untuk indeks mobilitas, kecuali di Kabupaten Lombok Timur dan Kota Mataram, seluruh kabupaten/kota sudah memenuhi SPM panjang jalan.Lantas bagaimana dengan kondisi fisikjalan? Pada tahun 2008, meskipun jalan nasional yang dalam kondisi baiksudah lebih tinggi diatas rata-rata nasional (73 persen dibanding 50 persen), namun jalan berkategori mantap (yakni jalan berkondisi baik dan sedang) masih di bawah rata-rata nasional. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Kawasan Timur Indonesia, prosentase jalan mantap di provinsi NTB termasuk ke-2 terkecil setelah Papua. Sementara itu, jalan provinsi di wilayah NTB sepanjang 2004-2008 mengalami penurunan panjang jalan sekitar 27 km. Kondisi jalan provinsi yang dalam kondisi mantap masih stagnan pada kisaran 46 persen. Sementara itu dari aspek kondisi jalan sekitar 18 persen jaringan jalan di NTB tidak memenuhi lebar jalan standar, dan sekitar 29 persen belum memenuhi standar IRI(International Roughness Indexs).

Konflik Sosial

Provinsi NTB, yang masyarakatnya bersifat majemuk (prularisme), sampai saat ini belum bisa terbebas dari konflik sosial (kerusuhan dan kekerasan). Daerah ini syarat dengan gejolak sosial. Provinsi yang merupakan wilayah dengan konflik yang cukup tinggi dan sangat variatif. Maraknya konflik yang terjadi merupakan hal yang ironis dan paradoks, jika melihat identitas NTB sebagai daerah seribu masjid. Tempat ibadah yang menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakatnya tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Masyarakat begitu mudah terprofokasi, sehingga memicu terjadinya konflik komunal. Masih segar dalam ingatan kita tentang berbagai bentuk konflik sosial yang pernah terjadi dibeberapa tempat di wilayah provinsi ini. Mulai dari kerusuhan antar kampung, bentrok antara aparat dan masyarakat, konflik agraria, sampai dengan konflik yang berbau sara. Berbagai bentuk konflik sosial tersebut terkadang atau bahkan terulang kembali, baik di tempat yang sama maupun di wilayah (kampung, desa) yang lainnya dengan modus yang sama walaupun pelakunya berbeda. Terjadinya konflik-konflik sosial di daerah ini sempat menjadi headline berbagai media, baik bersekala lokal maupun nasional. Sehingga gemanya meluas, bahkan kerusuhan berbau sara tersebar ke hampir seluruh pelosok negeri.

Bila kita cermati dan urai kembali, konflik komunal yang terjadi di daerah ini, dapat kita ketahui beberapa faktor penyebab yang menjadi pemicunya, antara lain :1. Masalah personal yang melibatkan keluarga dan masyarakat setempat. Misalnya permusushan antar pemuda kampung atau desa, seperti tercermin dalam kasus-kasus kerusuhan yang pernah terjadi antar desa di Bima, Lombok Timur dan Lombok Tengah.2. Masalah perbedaan faham (idiologi) keagamaan. Misalnya, yang banyak menjadi sorotan di tingkat lokal maupun nasional, adalah kasus Ahmadiyah di Gerung Lombok Barat.3. Masalah penyebaran isu yang tidak sesuai dengan fakta atau belum terbukti kebenarannya. Misalnya merebaknya isu penculikan anak beberapa waktu yang lalu. Contoh lainnya, seperti kasus bentrok antara desa Godo dan Samili di Bima, yang berawal dari tersebarnya isu kematian seorang warga Godo karena di sihir oleh salah seorang warga Samili. Penyebaran isu sebagai faktor penyebab munculnya konflik sosial juga bisa kita peroleh dalam kerusuhan berbau sara yang baru-baru terjadi di Sumbawa (Selasa, 22 Januari 2013), yang bermula dari tersebarnya isu kekerasan melalui sms dan dari mulut ke mulut, yaitu isu tentang pemerkosaan dan kematian seorang mahasiswi yang dibunuh oleh pacarnya sendiri yang berbeda suku dan agama4. Masalah kebijakan pemerintah daerah yang tidak didukung oleh masyarakat setempat. Sehingga memicu terjadinya bentrok antara aparat dan warga masyarakat. Misalnya dalam kasus tragedi Treng Wilis di Lombok Timur.5. Masalah agraria. Masalah ini hampir terjadi di seluruh wilayah NTB, yang juga memancing terjadinya bentrok antara warga masyarakat dan aparat. Contoh dalam masalah ini, yang banyak menyita perhatian berbagai pihak adalah kasus yang terjadi di Sekotong Lombok Barat, di Gili Terawangan Kabupaten Lombok Utara, dan kasus (kerusuhan) Sape (Lambu) di Bima.

Dengan demikian konflik komunal di NTB sanga variatif dan sangat potensial terjadi, mulai dari persoalan personal, agama, etnis, suku, adat budaya, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan politik. Sehingga, faktor penyebab terjadinya konflik komunal secara garis besar dapat dirumuskan sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan agama masyarakat, lemahnya mental masyarakat, sifat dan sikap curiga (iri) dari satu kelompok atau suku (etnis) terhadap kelompok atau suku (etnis) yang lainnya (dekradasi sikap saling menghargai), faktor ekonomi dan politik serta lingkungan. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tepat, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat kembali meledak dengan dahsat.Terjadinya berbagai bentuk tindak kekerasan itu apapun lalar belakang dan modus atau motifnya, jelas mengejutkan kita semua. Para pelaku telah menunjukkan identitas diri dan kelompoknya dengan cara yang tidak sepantasnya. Mempertontonkan ego yang melukai hakekat diri sebagai manusia dan hamba Allah (Tuhan). Mengiris rasa kemanusiaan. Merobek dan mencabik rasa persaudaraan, kebersamaan dan toleransi antar ummat beragama. Menodai semangat bhineka tunggal ika yang telah menjadi konsensus bersama. Mengikis nilai-nilai (norma-norma) hidup bermasyarakat, dan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme).

Kerusuhan SumbawaRentetan kejadian konflik sosial, bagaimana pun besar kecil dan ragamnya, secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya korban jiwa, materiil, spiritual, dan perasaan takut atau mencekam (tekanan psikologis), serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Akibat lainnya, adalah semakin menguatkan opini daerah lain dan dunia luar, bahwa NTB sebagai daerah konflik. Opini berlebihan, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana, tentu akan merembet pada terhambatnya iklim investasi dan ekonomi di daerah ini.Maraknya kasus konflik sosial yang terjadi di NTB, menuntut kesadaran dan keberpihakan kita semua. Kita semua harus belajar kembali atas kejadian-kejadian tersebut. Setidaknya, pelajaran yang bisa kita petik dari konflik-konflik sosial yang terjadi di NTB adalah bahwa kita tidak bisa belajar dari sejarah dan tidak mampu memahami perbedaan sosial. Kekurangan dan kegagalan (ketidakmampuan) kita itu menyebabkan permusuhan, benterok dan kerusuhan selalu saja terjadi dan berulang kembali.Patut kita sadari dan pahami kembali, bahwa manusia dilahirkan ke dunia untuk mengemban amanah atau menjalankan misi kebaikan dan kedamaian, bukan untuk membuat permusuhan, kerusuhan, dan kerusakan. Tidak ada suku tertentu dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran agama mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan (kebencian) antar manusia atau antar etnik. Setiap agama mengajarkan tetang kebaikan dan kedamaian, persaudaraan (kebersamaan) dan keharmonisan.Para ulama (tuan guru, kiyai) dan tokoh-tokoh agama lainnya yang ada di daerah ini, dengan bercermin dari berbagai kasus kerusuhan yang telah terjadi, hendaknya mengevaluasi metode dakwah (ceramah) yang selama ini diterapkan. Dibutuhkan penyempurnaan pendekatan dalam berdakwah ke arah yang lebih mengena dengan realitas masyarakat.Disamping itu, ditinjau dari sisi penentu kebijakan, terjadinya berbagai bentuk konflik sosial merupakan cermin lemahnya perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut untuk mampu memberikan perhatian secara optimal, adil dan merata kepada seluruh masyarakat. Selain itu hendaknya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat, dilakukan sosialisasi secara tepat dan mendalam. Sehingga tidak menjadi pemicu timbulnya gejolak di masyarakat.

Kerusuhan SapeAparat keamanan (penegak hukum), juga dituntut untuk betul-betul mampu memberi rasa aman kepada masyarakat. Fungsi dekteksi dini harus mampu dijalankan dan dikembangkan dengan baik untuk mengidentifikasi potensi kerusuhan. Fungsi komunikasi aparat dengan warga jangan pula dilupakan dan dijalankan dengan optimal dalam rangka mengklarifikasi isu sesat ataupun untuk menetralisir suasana. Pengamanan yang diberikan harus betul-betul otimal dan mengena. Proses penegakan hukum harus mampu dilaksanakan secara tegas, transparan dan responsive. Sehingga masyarakat tidak merasa kecewa kepada aparat dalam proses penegakan hukum. Ketidakpercayaan (kekecewaan) masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya berbagai aksi kekerasan, kerusuhan, bentrok antar kampung dan lainnya. Kalau aparat kemanan bisa menangani persoalan terorisme dengan cekatan dan tegas, masak tidak mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik komunal di masyarakat dengan baik. Dengan demikian, tidak perlu ada ungkapan di media, bahwa aparat dan pemerintah terkesan membiarkan terjadinya kasus-kasus kerusuhan di masyarakat.

Konflik komunal yang terjadi secara berulang di wilayah NTB, menantang para pakar (ahli) antropologi dan sosiologi untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam dan tajam. Dengan begitu dapat diketahui akar persoalan yang sesungguhnya, dan mampu memberikan solusi yang tepat (komprehensif) dalam mencegah atau menanganinya, yang dapat dipedomani oleh pemerintah dan aparat dalam merumuskan (menetapkan) kebijakan dan tindakan (aksi).

Keterlibatan lembaga pendidikan tidak kalah pentingnya untuk membantu mencegah terulangnya kembali konflik-konflik komunal di masa depan. Institusi pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk mampu menumbuhkan kesadaran akan perbedaan, kebersamaan, persaudaraan, dan kedamaian (keharmonisan) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejak awal, sejak dini pada gemerasi baru. Institusi pendidikan dituntut untuk mampu menyiapkan generasi yang berkarakter positif.

Dengan demikian untuk dapat mencegah dan menangani konflik komunal di daerah ini, dibutuhkan pendekatan secara hukum, pendekatan sosio-kultural, dan antisipasi dengan melakukan penelitian, serta penyiapan generasi muda yang berkarakter melalui pendidikan.Upaya ini harus dilakukan secara terpadu, pihak-pihak yang berkepentingan (pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, para ahli, institusi pendidikan, dan lain-lainnya) tidak melakukannya secara terpisah. Masyarakat saat ini sedang tergerus oleh zaman sehingga diperlukan instrumen untuk mengatur irama masyarakat akar rumput. Masyarakat pada umumnya membutuhkan relaksasi sosial dan pemerintah perlu memfasilitasinya dengan melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Singkatnya, dibutuhkan adanya suatu sistem penanganan konflik yang integral dan terpadu.

http://fzhsafarina.blogspot.com/2013/03/keragaman-budaya-nusa-tenggara-barat.htmlhttp://ndyan10.blogspot.com/2013/11/nusa-tenggara-timur.htmlhttp://ervynkaffah.blogspot.com/2013/04/kondisi-jalan-dan-orientasi-kebijakan.htmlhttp://sosbud.kompasiana.com/2013/01/28/mengapa-kita-tidak-belajar-dari-sejarah-tinjauan-atas-konflik-sosial-di-nusa-tenggara-barat-ntb-528763.html